Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG RESTORASI LAHAN


GAMBUT PASCA KEBAKARAN

Disusun Oleh:

Raga Samudera Widodo (B1A122360)


Ewaldo Putra Sianipar (B1A122382
Dandi Prasetya Ananta (B1A122379)
Wanda Anjarwati (B1A122359)
Aditya Putra (B1A122350)

Dosen Pengampu :
Dr.Harati, S.H., M.H.

PRPGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas curahan nikmat

dan karunia-Nya sehingga kelompok penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Kebijakan pemerintah tentang restorasi lahan gambut pasca kebakaran” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Dr.

Hartati, S.H., M.H pada mata kuliah Hukum Lingkungan. Selain itu, makalah ini juga

bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila sebagai Ideology Negara bagi

para pembaca dan juga bagi penulis.

Kelompok Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi

kesempurnaan makalah ini.

Jambi, Maret 2023

Kelompok Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dua dekade terakhir, lahan gambut di beberapa wilayah di Jambi perlahan hilang
dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri skala besar. Pengeringan
dan kebakaran yang terjadi ikut mempercepat hilangnya ekosistem gambut.

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi sekitar 70 persen dari total 751
ribu hektar lahan gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro
Jambi telah dikeringkan dan digunduli untuk izin perkebunan sawit dan HTI.Ironisnya,
pemerintah justru memberi lampu hijau Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
(BPDPKS) untuk replanting sawit di kawasan gambut dalam yang semestinya direstorasi.
Replanting sawit di Desa Mekar Jaya, Kacamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi hanya
akan memperparah kerusakan ekosistem gambut.

Data Dinas Kehutanan Provinsi Jambi menyebut 80% dari 900 ribu hektare total luas
lahan gambut di Jambi rusak akibat kebakaran 2015. Kondisi ini semakin parah karena kebakaran
terus berulang di tahun selanjutnya. Bahkan 2019 luas area kebakaran meningkat tajam dari tiga
tahun sebelumnya. Badan Restorasi Gambut punya target untuk merestorasi 200.772 hektare
lahan gambut terdiri dari 46.415 hektare berada dalam kawasan lindung, dan 25.885 hektare di
kawasan budidaya tak berizin, sisanya 128.472 hektar di kawasan budidaya berizin

B. Rumusan Masalah
1. Apa manfaat lahan gambut?
2. Apa faktor kebakaran lahan gambut?
3. Apa kebijakan pemerintah tentang lahan gambut?

C. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk :
1. Mengetahui tujuan adanya lahan gambut
2. Mengetahui faktor kebakaran lahan gambut
3. Mengetahui peran pemerintah dalam masalah restorasi lahan Gambut
A. Sejarah pembentukan lahan gambut di Indonesia

Menurut Eero Paavilainen dan Juhani Paivanen, lahan gambut adalah bentanglahan tersusun
oleh tanah hasil dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi pepohonan tergenang air sehingga
kondisinya anaerobik (tanpa oksigen). Gambut adalah bahan berwarna hitam kecoklatan yang
terbentuk dalam kondisi asam, dan kondisi anaerobik lahan basah. Gambut terdiri dari bahan
organik yang sebagian terurai secara bebas dengan komposisi lebih dari 50% karbon. Gambut
terdiri dari lumut Sphagnum, batang, dan akar rumput-rumputan sisa-sisa hewan, sisa-sisa
tanaman, buah, dan serbuk sari.

Gambut terbentuk dari timbunan sisa tanaman yang telah mati. Timbunan terus bertambah
karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lain
yang menyebabkan perkembangan biota pengurai rendah. Dalam klasifikasi tanah (soil
taxonomy), tanah gambut dikelompokkan kedalam ordo histosol (histos = jaringan) atau
sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis
tanah mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan
asal, proses pembentukan, dan lingkungannya .

Lahan gambut di Indonesia terdapat di dataran rendah dan dataran tinggI pada umumnya,
lahan rawa gambut di dataran rendah terdapat di kawasan rawa pasang surut dan rawa
pelembahan, terletak di antara dua sungai besar pada fisiografi backswamp, swalle, closed
basin, dan coastal plain. Lahan rawa gambut di dataran tinggi umumnya terdapat di cekungan
seperti di Rawa Pening (Jawa Tengah), Padang Sidempuan (Sumatera Utara), dan Danau
Sentanu, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat).

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk
maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh
kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu
pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan
ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk
secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan
gambut dengan lapisan di bawahnya berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada
bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan
gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh.

Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen
karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen
biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu
tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah
kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut
topogen.
Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya
dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.

Tjahyono dalam Subiksa & Wahyunto (2004) menyatakan, bahwa


sejarah pembentukan gambut di Indonesia dimulai ketika pada zaman es yaitu
terjadi proses penurunan permukaan air laut (regresi) yang menyebabkan erosi
kuat di hulu-hulu sungai. Akibatnya endapan batuan kasar seperti gravel dan
kerikil yang disebut old alluvium, yang diendapkan di atas sedimen tersier yang
menjadi dasar cekungan gambut.

Proses deposisi bahan organik sebagai bahan pembentuk gambut


dimulai setelah akhir periode Pleistosen sampai awal periode Holosen (10.000
– 5.000 tahun yang lalu), sejalan dengan meningkatnya permukaan air laut
(transgresi) secara perlahan sampai sekarang. Peningkatan air laut tersebut
diiringi dengan peningkatan suhu dan curah hujan di daerah Sumatera dan
Kalimantan, yang menyebabkan batuan di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan dan Meratus
mengalami pelapukan kimia yang kuat, dan menghasilkan
endapan lempung halus pada garis pantai di pesisir timur Sumatera dan selatan
Kalimantan.

Garis pantai tersebut semakin maju ke arah laut, selanjutnya


terbentuklah tanggul-tanggul sungai, meander, dan rawa-rawa yang segera
ditumbuhi oleh tanaman rawa seperti nipah dan bakau yang kemudian disusul
oleh tumbuhan hutan rawLingkungan pengendapan yang semula fluvial (bagian dari alur
sungai) berubah menjadi paralik (terpisah dengan sungai dibatasi tanggul), dimana tumbuhan
dan binatang air tawar mulai berkembang. Tumbuhan yang telah mati, roboh dan sebagian
besar terendam terawetkan dalam rawa-rawa, yang jenuh air dan tidak teroksidasi.
Selanjutnya dengan bantuan bakteri aerobik dan bakteri anaerobic.

Tumbuhan tersebut terurai menjadi sisa-sisa tumbuhan yang


lebih stabil dan terproses menjadi endapan organik yang disebut gambut
(peatification). Oleh karena itu, sifat dari endapan gambut ini adalah selalu
jenuh air hingga 90% walaupun letaknya di atas permukaan laut.
Subagyo dalam Subiksa & Wahyunto (2004) menyatakan bahwa
gambut yang terbentuk di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan dimulai
sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu, dan diperkirakan hampir bersamaan
waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulaupulau delta di
rawa pasang surut yang ada sekarang ini.
Pada awalnya diakhir

zaman Pleistosin sampai awal zaman Holosin dimana terjadi kenaikan muka air
laut sekitar 100-135 m Menurut Andriesse dalam Subiksa & Wahyunto (2004),
kenaikan permukaan air laut di Indonesia diperkirakan lebih dari 100 m.a. Lingkungan
pengendapan yang semula fluvial (bagian dari alur sungai)
berubah menjadi paralik (terpisah dengan sungai dibatasi tanggul), dimana
tumbuhan dan binatang air tawar mulai berkembang. Tumbuhan yang telah
mati, roboh dan sebagian besar terendam terawetkan dalam rawa-rawa, yang
jenuh air dan tidak teroksidasi. Selanjutnya dengan bantuan bakteri aerobik dan
bakteri anaerobik, tumbuhan tersebut terurai menjadi sisa-sisa tumbuhan yang
lebih stabil dan terproses menjadi endapan organik yang disebut gambut
(peatification). Oleh karena itu, sifat dari endapan gambut ini adalah selalu
jenuh air hingga 90% walaupun letaknya di atas permukaan laut.

Subagyo dalam Subiksa & Wahyunto (2004) menyatakan bahwa


gambut yang terbentuk di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan dimulai
sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu, dan diperkirakan hampir bersamaan
waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulaupulau delta di
rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Pada awalnya diakhir
zaman Pleistosin sampai awal zaman Holosin dimana terjadi kenaikan muka air
laut sekitar 100-135 m Menurut Andriesse dalam Subiksa & Wahyunto (2004),
kenaikan permukaan air laut di Indonesia diperkirakan lebih dari 100 m.

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau


yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah
(Noor, dalam Subiksa & Wahyunto , 2004). Tanaman yang mati dan melapuk,
secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi
antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah
mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari
danau dangkal ini dan secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut,
sehingga danau tersebut menjadi penuh. Bagian gambut yang tumbuh mengisi
danau dangkal tersebut dikenal sebagai gambut topogen, karena proses
pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan.

B. Kebakaran lahan gambut Di Provinsi Jambi

Kebakaran massif di Jambi sejak 1997 hingga sekarang menimbulkan dampak yang
merugikan masyarakat. Tahun 2015, selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga Oktober
2015, berdasarkan citra satelit, terdapat sebaran kebakaran 52.985 hektar di Sumatera
dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993 hektar. Indeks mutu lingkungan hidup
kemudian tinggal 27%. Instrumen untuk mengukur mutu lingkungan Hidup dilihat
dari daya dukung dan daya tampung, Instrumen Hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat, penggunaan scientific dan pengetahuan lokal masyarakat memandang
lingkungan hidup.

Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca
(GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran
hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas
yang dilepas Jerman.

25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA
dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui
batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari
kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3
di Riau dan 1 orang di Sumsel.
Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa
diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di Jambi
sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan sekolah
walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di Kalbar dan
Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.

Kelima daerah kemudian menyatakan darurat asap sehingga diperlukan upaya Negara
untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.

Kebakaran dapat mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan, menimbulkan


kerugian bagi masyarakat, bangsa, dan negara serta polusi asap akan mengganggu
hubungan regional dan internasional. Malaysia sudah menyampaikan nota protes
kepada Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency (NEA)
melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di Singapura.

Entah mengapa tahun 2019 kebakaran kembali berulang. Ditempat yang sama dan
mengakibatkan jumlah korban yang terus bertambah. Data dari Dinkes menyebutkan
hingga September 2019, jumlah korban ISPA sudah mencapai 64.147 orang. Angka
mengerikan dibandingkan tahun 2015.

Disatu sisi, Polda Jambi sudah menyatakan 12 perusahan yang menyebabkan


kebakaran. Sedangkan menurut KLHK, 7 perusahaan telah disegel. 6 adalah
perusahaan yang terletak digambut. Perusahaan yang terbakar kembali setelah tahun
2015.

Lalu dimana problema kebakaran 2019. Apakah pemberian izin digambut yang
kemudian menyebabkan kebakaran yang menjadi persoalan ?

Tanggungjawab perusahaan yang beraktivitas diareal gambut merupakan


konsekwensi dari pemegang izin. Sebagai perusahaan yang bersedia beraktivitas
digambut, maka selain pengelolaan yang harus tunduk dengan mekanisme yang telah
diatur didalam regulasi negara, juga harus mempunyai peralatan yang mendukung.
Baik peralatan pencegahan maupun peralatan penanggulangan. Mekanisme inilah
yang menjadi materi didalam pemeriksaan dalam proses hukum.
Sedari awal, problema kebakaran terutama diareal gambut adalah problema
pemberian izin diareal gambut. Regulasi yang masih membolehkan pengelolaan
gambut (PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, Permen LHK No. 15,16,17/2017,
Permentan No. 5/2018) tidak mampu mencegah kebakaran yang terus berulang. Lalu
apakah regulasi yang tidak dipatuhi ? Atau memang ada problema pengelolaan
gambut yang masih menyisakan persoalan ?

UU No. 32/2009 sudah mewanti-wanti. Gambut kemudian diletakkan sebagai


kawasan unik (ecosystem essensial). Sebagai kawasan unik maka gambut haruslah
diperlakukan khusus. Tidak dapat disandingkan dengan model pengelolaan dengan
entitas lain seperti minyak, panas bumi, sawit, hutan.

Turunan UU No. 32/2009 seperti PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016 kemudian
menegaskan. Pasal 9 ayat (2) kemudian menyebutkan fungsi gambut. Yakni fungsi
lindung dan fungsi budidaya. Pasal 9 ayat (4) PP No. 71/2014 kemudian menyebutkan
kategori gambut lindung seperti kedalaman 3 meter lebih, terdapat plasma nutfah
spesifik dan spesies yang dilindungi.

Pertanyaannya ? Apakah gambut dikedalamanan 3 meter merupakan areal yang aman untuk
dikelola ?

Dalam praktek ditengah masyarakat, kawasan gambut sering disebutkan seperti


Tanah redang (Riau), Soak, danau, lopak, Payo, Payo dalam, Bento, hutan hantu pirau
(Jambi), Rawang Hidup, lebak Lebung, Lebak Berayun (Sumsel), Tanah Sapo, Gente
(Kalbar), Pakung pahewa, Tanah Petak, Petak Sahep (Kalteng), Tanah Ireng, Tanah
Item (Kalsel), Tanah Begoyang (Papua).

Tempat-tempat yang disebutkan malah tidak dibenarkan untuk dibuka (konversi).


Baik untuk pertanian. Apalagi untuk perkebunan. Daerah ini hanya digunakan untuk
mengambil ikan dan air bersih (akses). Sehingga dipastikan dari dulu memang daerah
itu adalah dilarang untuk dikelola. Daerah ini kemudian dikenal sebagai gambut
dalam. Secara scientific ditempatkan sebagai kawasan lindung.
Lalu berapa kedalaman areal gambut lindung berdasarkan praktek ditengah
masyarakat ?
Di Dayak dikenal proses mengetahui tekstur tanah. Dengan menancapkan Mandau
dan kemudian menariknya, maka akan ditentukan apakah daerah itu boleh dibuka atau
tidak boleh. Apabila diujung Mandau terdapat tanah, maka tanah boleh digunakan.
Sedangkan apabila diujung Mandau ternyata tidak ditemukan tanah, maka daerah itu
kemudian tidak boleh diganggu.

Didaerah Kumpeh ditandai dengan akar bekait, pakis dan jelutung (Walhi, 2016).
Didaerah Hilir Jambi dikenal dengan dua-tigo mato cangkul (Perdes Sungai Beras,
Tanjabtim). Kesemuanya bermakna sebagai fungsi lindung. Dan rata-rata
dikedalaman cuma 0,5 meter.

Didaerah lindung gambut inilah, areal hanya digunakan untuk mengambil ikan, air
dan pandan serta purun.

Lalu ketika areal yang dilindungi masyarakat kemudian dianggap sebagai daerah tidak
bertuan atau Tanah liar (woeste grond). Sehingga ketika tanah, hutan, tanah liar, tanah
terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong maka kemudian negara
memberikan izin. Baik kepada perkebunan di areal APL maupun kepada pemegang
konsensi kehutanan (kawasan hutan). Pemberian massif sejak 2006.

Pemegang konsesi kemudian membangun kanal utama (kanal primer). Mengeringkan


dan kemudian menanam sawit. Sehingga daerah-daerah kemudian kering. Dan mudah
terbakar.

Lalu ketika kebakaran 2006, 2010, 2011, 2012, 2013, 2015 dan 2019 dan terus
berulang, maka menimbulkan persoalan dalam tataran empiris.

Di Desa Sungai Aur nama-nama tempat seperti Danau Ara, Danau Selat, Danau
Rumbe, Talang babi, Lubuk Ketapang, Pematang kerangi, Pematang Kayo, pematang
duren, Sungai Batanghari, Sungai Sumpit, Sungai Aur, Sungai Palu dan Olak Resam
adalah tempat-tempat menyediakan air untuk tanaman padi. Khas Payo.
Kebakaran 2015 kemudian menghanguskan seluruh areal yang semula ditanami padi
dan kemudian telah menjadi tanaman sawit. Padahal Desa Sungai Aur terkenal
sebagai lumbung padi sebelum kedatangan sawit tahun 2000-an.

Begitu juga di Desa Kota Kandis Dendang dikenal tempat seperti Hutan Hijau,
Pematang Gede Mat, Ujung Sungai Bungur, Ujung Pematang Tepulo, Ujung
Pematang Sirih, Ujung Pematang Tepus (Desa Sungai Bungur).

Sehingga dipastikan, data-data empiris yang berangkat dari praktek pengetahuan di


Desa sekitar gambut yang meletakkan sebagai daerah budidaya gambut oleh regulasi
negara yang kemudian terbakar adalah daerah lindung yang harus dikembalikan
fungsinya. Fungsi lindung. Sehingga harus dikembalikan dibasahi (restorasi gambut).

Sehingga penetapan fungsi lindung dikategorikan kedalamanan 3 meter terbantahkan


dengan kebakaran massif yang terus berulang hingga tahun 2019.

Justru regulasi menetapkan kedalaman 3 meter harus sesuai dengan tipologi gambut.
Berdasarkan kebakaran yang terus berulang dan praktek pengetahuan ditengah
masyarakat justru regulasi harus menetapkan kedalamanan gambut 0,5 meter. Praktek
yang sudah dikenal masyarakat gambut turun temurun.

Bukankah pasal Pasal 11 ayat (1) junto Pasal 18 ayat (1) PP No. 57/2016 sudah
mengamanatkan perubahan fungsi. Fungsi budidaya dikembalikan ke fungsi lindung.
Menteri kemudian dapat melakukannya (Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) PP No.
57/2016).

Sedangkan pemegang izin berkewajiban untuk memulihkan. Mandat yang tegas


dinyatakan didalam Pasal 30 ayat 1 PP No. 57 Tahun 2016 junto Pasal 31 A PP No.
57/2016.
C. KONSERVASI LAHAN GAMBUT

ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat
penting bagi lingkungan hidup Oleh karenanya, ekosistem ini harus dilindungi agar
fungsinya dapat dipertahankan sampai generasi mendatang

Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut datur dalam Keputusan Presiden Na
32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap kawasan gambut
dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai
penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan
yang bersangkutan Konservasi lahan ganbut juga dimaksudkan untuk meminimalkan
teremisinya karbon tersimpan yang jumlahnya

sangat besar. Konservasi kawasan gambut sangat penting karena hasil penelitian
menunjukkan bahwa telah terjadi penyusutan luasan ganbut di beberapa tempat di
Indonesia. Di kawasan Delta Pulau Petak pada tahun 1952 masih tercatat sekitar
51.360 ha lahan gambut. Pada tahun 1972 kawasan gambut d daerah tersebut
menyusut menjadi 26.400 ha dan selanjutnya pada tahun 1992 menyusut lagi menjadi
9.600 ha (Sarvani dan Widjaja Adhi, 1994). Hal ini menunjukkan bahwa laju
kerusakan gambut berjalan sangat cepat. Selain hilangnya fungsi hidrologis lahan
gambut, ada bahaya lain bila tanah mineral di bawah lapisan ganbut adalah tanah
mineral berpirit. Saat ini sebagian besar dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi
lahan sulfat masam aktual terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan
perairan di daerah sekitarnya

Semakin tebal gambut, semakin penting fungsinya dalam memberikan perlindungan


terhadap lingkungan, dan sebaliknya semakin ringkih (fragile) jika dijadikan lahan
pertanian Pertanian di lahan gambut tebal lebih sulit pergeldaarnya dan mahal
biayanya karena kesuburannya rendah dan daya dukung (bearing capacity) tanahnya
rendah sehingga sulit dilalui kendaraan pengangkut sarara pertanian dan hasil panen
Gambut tipis, tetapi berpotensi sulfat masam (mempunyai lapisan pirit relatif
dangkal), juga sangat berbahaya kalau dikonversi menjadi lahan pertanian
Gambut dengan ketebalan <3 m masih bisa digunakan untuk budidaya tanaman
dengan syarat tidak masuk dalam kawasan lindung, substratumnya bukan pasir kuarsa
dan tingkat kematangannya tidak saprik atau hemik (BB Litbang SDLP, 2008) serta
tidak berpotensi sulfat masam Untuk kawasan yang memenuhi syarat tersebut, dalam
pemanfaatannya juga harus tetap berdasarkan pendekatan konservasi.

Widjaja Adhi (1997) menyarankan agar wilayah ekosistem lahan ganbut dibagi
menjadi 2 kawasan yaitu kawasan non-budidaya dan kawasan budidaya.

- Menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut

Hutan dan lahan gambut dapat terbakar karena kesengajaan atau


ketidaksengajaan. Faktor pemicu parahnya kebakaran hutan dan lahan gambut
adalah kemarau yang ekstrim (misalnya pada tahun El-Nino) dan/atau penggalian
dainase lahan gambut secara berlebihan.
Api dapat dicegah melalui perbaikan sistem pengelolaan air (meninggikan
muka air tanah), peningkatan kewaspadaan terhadap api serta pengendalian api
apabila terjadi kebakaran Salah satu bentuk pengendalian kebakaran adalah dengan
cara memblok saluran drainase yang sudah terlanjur digali, terutama pada lahan
terlantar seperti di daerah eks Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) sejuta ha, sehingga
muka air tanah lebih dangkal.

Sistem pertanian tradisional di beberapa tempat di lahan gambut


melakukan praktek pembakaran sebagai salah satu cara untuk menyuburkan tanah
(lihat Bagian 4.14). Sistemini dapat menyebabkan emisi dan subsiden relatif tinggi.
Praktek tersebut dilakukan karena petani tidak mempunyai sarana untuk
mendapatkan pupuk dan/atau amelioran (lihat Tabel 2) untuk meningkatkan
kesuburan tanah Oleh karena itu petani perlu dibantu untuk menerapkan sistem
alternatif yang tidak melibatkan pembakaran gambut
Penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon

Tanaman pohon-pohonan menyumbangkan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan


tanaman semusim Penambatan karbon mendekati no pada sistem padi dan sekitar
9tCO, ha¹ tahun untuk taraman sagu, karet atau sawit. Namun karena sawit
memerlukan drainase yang relatif dalam maka penambatan karbon oleh tanaman sawit
jauh lebih rendah dibandingkan dengan emisi karena terdekomposisinya ganbut.
Dengan demikian, gabungan dari tanaman yang menantat CO2 dalam jumlah banyak
serta yang toleran dengan drainase dangkal atau tanpa drainase, seperti sagu dan karet,
merupakan pilihan utama dalam konservasi lahan gambut.

Landasan Hukum Restorasi Lahan Gambut

1. Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016 tentang restorasi gambut


2. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut
3. Keputusan Gubernur Jambi Nomor 838/Kep.Gub/BAPPEDA-43/2017
Tentang Pembentukan Tim Restorasi Gambut Daerah Provinsi Jambi

Restorasi lahan gambut


Gambut merupakan sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi secara tidak sempurna
dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa
sehingga membentuk material organik terbentuk secara alami. Ekosistem gambut
adalah satu kesatuan secara utuh dan menyeluruh serta saling mempengaruhi untuk
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya.

13 Lahan gambut sebagai ekosistem yang didalamnya terdapat banyak kehidupan


terkadang rusak ataupun sengaja dirusak baik secara alami ataupun secara campur
tangan manusia. Tanpa di sadari, banyak kehidupan yang bergantung pada lahan
gambut, tak hanya flora dan fauna tetapi juga manusia itu sendiri. Kesadaran diri
manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki akal dan pikiran dinilai kurang untuk
menjaga kelestarian alam. Semisal, membuka lahan baru ditanah gambut dengan cara
membakar, hal itu memiliki resiko yang cukup besar untuk menimbulkan kebakaran
hutan dikarenakan dengan sifat dari lahan gambut itu sendiri. Oleh karenanya perlu
restorasi lahan gambut untuk pemulihan kembali bagi lahan gambut itu sendiri.

Kerusakan lahan gambut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti tata air yang
salah sehingga menyebabkan degrasi lahan gambut. Penyebabdegrasi lahan gambut
juga bisa dikarenakan kebakaran dan kegiatan penambangan yang dilakukan secara
berlebihan seingga berdampak pada merusak alam, dan dampak dari kebakaran hutan
pada lahan gambut akan turut membantu dalam kontribusi terhadap perubahan iklim
global yang merupakan dampak dari pertambahan emisi gas rumah kaca yang
dilepaskan ke udara.14
Badan Restorasi Gambut atau disebut juga BRG yang ditetapkan oleh Peraturan
Presiden No. 1 Tahun 2016 merupakan upaya pemerintah Indonesia dalam bentuk
institusi untuk memperkuat upaya pencegahan kebakaran dan upaya untuk
mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim.
Restorasi gambut merupakan upaya untuk mempercepat pemulihan fungsi ekosistem
rawa gambut kembali setelah mengalami kerusakan dari dampak kebakaran ataupun
hal lainnya pada satu kesatuan hidrologis gambut dan untuk perlindungan dan
pengaturan tata air alaminya.

Badan Restorasi Gambut sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 71/2014
Junto PP 57/2016 Tentang Pengelolaan Dan Perlindungan Ekosistem Gambut, yang
mana membagi kawasan gambut menjadi fungsi budidaya dan fungsi lindung dengan
skala pendekatan berasih KHG.15 Provinsi Jambi sebagai salah satu dari 7 provinsi
yang diprioritaskan untuk restorasi lahan gambut, memiliki luas lahan gambut
621.000 ha data

pada tahun 2011.16 Beberapa tahun terakhir provinsi jambi pun mengalami kebakaran
hutan yang cukup besar. Dengan begitu, banyak lahan gambut yang mengalami
kerusakan dampak dari kebakaran hutan tersebut baik secara ekosistem ataupun
secara ekonomis bagi masyarakat Jambi. Oleh karenanya diperlukan restorasi lahan
gambut diterapkan di Provinsi Jambi.
Kerangka Konseptual

1. Pemerintah daerah
Pemerintah daerah adalah penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari
gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah.17 sesuai dengan undang-
undang nomor 32 tahun 2004 yang dimaksud dengan Pemerintah daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip negara kesatuan republik indonesia
2. Kebijakan
Secara etimologi kebijakan berasal sari bahasa yunani, sansekerta, dan latin.Kebijakan
memiliki arti sebagai upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian
tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu
berjangka panjang dan menyeluruh. Kebijakan juga adalah suatu kumpulan keputusan
yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih
tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu.19
3. Restorasi
Restorasi menurut KBBI adalah pengembalian atau pemulihan ke keadaan semula
(tentang gedung bersejarah, kedudukan raja, negara), pemugaran.20 pengertian
restorasi juga bisa dimaksudkan untuk pemulihan kembali lahan gambut yang
mengalami kerusakan atas dampak dari kebakaran hutan dan kerusakan hutan lainnya.

4. Lahan Gambut
Lahan gambut adalah lahan basah yang terbentuk dari materi organik yang berasak
dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut dan jasad hewan yang membusuk.21 Lahan
gambut merupakan ekosistem lahan basah yang tergenang udara sehingga bahan-
bahan tanaman tidak dapat sepenuhnya dikembangkan. Hal ini membuat produksi
bahan organik menjadi lebih banyak dari proses pembusukan yang terjadi sehingga
terjadi akumulasi bahan gambut.
KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai