Anda di halaman 1dari 77

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS POST OP ACL

DENGAN MODALITAS TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL


NERVE STIMULATION DAN
TERAPI LATIHAN

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH :
MUHAMMAD REZA TARIGAN
NIM. 1911401013

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SITI HAJAR
MEDAN
2022
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS POST OP ACL
DENGAN MODALITAS TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL
NERVE STIMULATION DAN
TERAPI LATIHAN

KARYA TULIS ILMIAH


Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Ahli Madya Kesehatan(A.Md.Kes)
Pada Program Studi DIII Fisioterapi STIKes Siti Hajar

OLEH :
MUHAMMAD REZA TARIGAN
NIM: 1911401013

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SITI HAJAR
MEDAN
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS POST OP ACL DENGAN


MODALITAS TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL
NERVE STIMULATION DAN
TERAPI LATIHAN

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH:
MUHAMMAD REZA TARIGAN
NIM. 1911401013

Pembimbing Ketua Program Studi DIII


STIKes Siti Hajar

Anggriani, SST,Ft,M.K.M Wahyu Wijanarko, Ftr., M.K.M


NIDN. 0129067803 NIDN. 08863701019

i
LEMBAR PENGESAHAN

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS POST OP ACL DENGAN


MODALITAS TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL
NERVE STIMULATION DAN
TERAPI LATIHAN

KARYA TULIS ILMIAH

Disusun oleh
MUHAMMAD REZA TARIGAN
NIM. 1911401013

Penguji I Penguji II

Maryaningsih, Ftr,S.Pd., M.K.M Roy Daniel, S.Ftr,M.K.M


NIDN. 0117038403

Mengetahui
Ketua STIKes Siti Hajar Medan

Maryaningsih, Ftr,S.Pd., M.K.M


NIDN.0117038403

ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Muhammad Reza Tarigan

NIM : 1911401013

Asal : DIII Fisioterapi STIKes Siti Hajar Medan

Judul karya tulis ilmiah : Penatalaksanaan Fisioterapi pada kasus post op ACL

dengan modalitas Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation dan Terapi

Latihan. Menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa Sari pustaka yang saya

tulis benar-benar tidak dari duplikasi Sari pustaka sebelumnya atau dari yang lain.

Apabila dalam kenyataan terbukti Sari pustaka hasil dari duplikasi maka Sari

pustaka saya bersedia untuk dibatalkan dan mengajukan Sari pustaka yang baru.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan dalam

keadaan sadar serta tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun.

Medan , 29 juli 2022

Muhammad Reza Tarigan


NIM :1911401013

iii
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS POST OP ACL DENGAN
MODALITAS TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL
NERVE STIMULATION DAN
TERAPI LATIHAN

ABSTRAK
Muhammad Reza Tarigan¹, Anggriani²

Latar Belakang : Anterior Cruciate Ligament (ACL) merupakan salah satu dari 4
ligament yang berfungsi untuk menjaga kestabilan pada sendi lutut. Setiap
cdedera pada ACL berpotensi menimbulkan gangguan kestabilan pada sendi lutut.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan cedera acl antara lain mulai dari adanya
benturan hingga perubahan posisi yang tidak sempurna saat melakukan suata
gerakan tertentu. Tujuan : Untuk mengetahui penatalaksanaan TENS, dan Terapi
Latihan dalam mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan otot, dan meningkatkan
luas gerak sendi. Hasil : Setelah dilakukan 6 kali terapi pada pasien Post Op Acl
didapatkan hasil sebagai berikut penurunan nyeri diam T1 : 4 menjadi T6 : 2 nyeri
tekan T1 : 8 menjadi T6 : 4 nyeri gerak T1 : 8 menjadi T6 : 4. Peningkatan pada
kekuatan otot fleksi T1 : 3 menjadi. Peningkatan T4 : 4, peningkatan pada
kekuatan otot ekstensi T1 : 3 dan T4 : 4, lingkup gerak sendi pada gerakan fleksi
T1 :60’ menjadi T6 : 90’ gerakan ekstensi T1 :0 dan T6 : 0. Kesimpulan :
Penatalaksanaan TENS dan Terapi Latihan dapat mengurangi nyeri,
meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan luas gerak sendi pada penderita
Post Op ACL.

Kata kunci : ACL, TENS, dan Terapi Latihan

iv
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS POST OP ACL DENGAN
MODALITAS TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL
NERVE STIMULATION DAN
TERAPI LATIHAN

ABSTRACT

Muhammad Reza Tarigan¹, Anggriani²

Background : The Anterior Cruciate Ligament (ACL) is one of the 4 ligaments


that function to maintain stability in the knee joint. Any injury to the ACL has the
potential to cause instability in the knee joint. Several things can cause ACL
injuries, including from an impact to an imperfect change in position when
performing certain movements. Objective: To determine the management of
TENS, and exercise therapy in reducing pain, increasing muscle strength, and
increasing joint range of motion. Results: After 6 treatments for Post Op Acl
patients, the following results were found to decrease silent pain T1 : 4 to T6 : 2
tenderness T1 : 8 to T6 : 4 motion pain T1 : 8 to T6 : 4. Increase in flexion muscle
strength T1 : 3 becomes. Increase in T4 : 4, increase in muscle strength in
extension T1 : 3 and T4 : 4, joint range of motion in flexion movements T1 : 60'
to T6 : 90' in extension movements T1 : 0 and T6 : 0. Conclusion : Management
of TENS and Exercise Therapy can reduce pain, increase muscle strength and
increase joint range of motion in patients with Post Op ACL.

Keywords: ACL, TENS, and Exercise Therapy

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

karya tulis ilmiah tentang “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Post Op ACL

Dengan Modalitas Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation dan Terapi

Latihan untuk melengkapi tugas akhir pada program pendidikan Diploma III

fisioterapi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Siti Hajar Medan.

Selama dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis telah banyak

mendapatkan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah

ini. Oleh karna itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada :

1. Ibu Dr. Hj. Amira Permatasari Taringan M.Ked (Paru), Sp.P(K),selaku

Pembina STIKes Siti Hajar Medan.

2. Bapak Ir. Adi Mukhsin selaku Yayasan STIKes Siti Hajar Medan

3. Ibu Maryaningsih, SST.FT, SPd, FTr, M.Kes, selaku Ketua STIKes Siti

Hajar Medan

4. Bapak Wahyu Wijanarko, S.ST. Ftr, M.K.M, selaku Ketua Program Studi

Diploma III Fisioterapi STIKes Siti Hajar Medan

5. Ibu Anggriani, SST,Ft,M.K.M selaku Pembimbing Karya Tulis Ilmiah ini

6. Bapak dan Ibu dosen serta staff pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Siti Hajar Medan

7. Khusus untuk Alm. Ayah tercinta Alm. M. Saman Tarigan dan ibunda

tercinta Ratna Wati Barus. Terima kasih atas pengorbanan, kasih sayang,

vi
dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis selama masa pendidikan

sampai dengan selesainya Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

8. Saudara-saudara serta abang terhebat penulis M. Ramadhan Tarigan,

Antonius Barus, M. Azahari Tarigan, Cici Sembiring, Michael Barus,

Olivia Anggita Barus, Ahmad Farhan Tarigan serta nenek terhebat penulis

Udung Biring tercinta. Terimakasih untuk ketulusan dan do’a yang di

berikan kepada penulis.

9. Kekasih saya Ragil Aulia Ananda yang berjuang dan selalu memotivasi

saya untuk bersama-sama menempuh Karya Tulis Ilmiah.

10. Sahabat-sahabat seperjuangan di Stikes Siti Hajar Medan.

Penulis menyadari banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam

penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis berharap semoga Karya Tulis

Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu pengetahuan bidang

kesehatan pada umumnya dan menambah wawasan bagi Pembaca pada

Khususnya .

Medan , 29 juli 2022

Muhammad Reza Tarigan

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1 Latar belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 7


2.1 Anatomi Lutut ..................................................................................... 7
2.2 Biomekanik Sendi Lutut ................................................................... 15
2.3 Defenisi Anterior Cruciate Ligament................................................ 16
2.4 Etiologi .............................................................................................. 17
2.5 Epidemiologi ..................................................................................... 17
2.6 Patofisiologi ...................................................................................... 18
2.7 Tanda dan Gejala .............................................................................. 19
2.8 Klasifikasi Cedera ACL .................................................................... 19
2.9 Diagnosis........................................................................................... 20
2.10 Rekonstruksi ACL .......................................................................... 24
2.11 Fase Pasca Rekonstruksi ACL ........................................................ 27
2.12 Prognosis ......................................................................................... 29
2.13 Problematika Fisioterapi ................................................................ 29
2.14 Modalitas Fisioterapi ...................................................................... 30
2.14.1 Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) ......... 30

viii
2.14.2 Terapi Latihan ...................................................................... 32

BAB III PELAKSANAAN STUDI KASUS ...................................................... 35


3.1 Pengkajian Fisioterapi ...................................................................... 35
3.1.1 Anamnesis ............................................................................... 35
3.1.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................... 37
3.1.3 Pemeriksaan Spesifik untuk FTA/FTB/FTC/FTD/FTE ......... 39
3.2 Interprestasi Data/ Diagnosis Fisioterapi ......................................... 43
3.3 PROGRAM/ RENCANA FISIOTERAPI ........................................ 44
3.4 PELAKSANAAN TERAPI .............................................................. 45
3.5 Evaluasi ............................................................................................. 49
3.6 Edukasi .............................................................................................. 51

BAB IV PEMBAHASAHAN KASUS ............................................................... 52


4.1 Pembahasan Hasil ............................................................................. 52
4.1.1 Penurunan Nyeri....................................................................... 52
4.1.2 Peningkatan Lingkup Gerak Sendi .......................................... 54
4.1.3 Peningkatan Kekuatan Otot ..................................................... 55
4.1.4 Peningkatan kemampuan Fungsional....................................... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 58


5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 58
5.2 Saran ................................................................................................. 59

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 60


LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Lutut ..................................................................................... 7


Gambar 2.2 Tulang Pembentuk............................................................................... 9
Gambar 2.3 Ligamen Pada Lutut .......................................................................... 11
Gambar 2.4 Otot Ekstensor ................................................................................... 12
Gambar 2.5 Gambar Otot Flexor .......................................................................... 12
Gambar 2.6 Meniscus............................................................................................ 15
Gambar 2.7 Anterior Drawer Test ........................................................................ 21
Gambar 2.8 Lachman Test .................................................................................... 22
Gambar 2.9 Pivot Shift Test .................................................................................. 23
Gambar 3.1 Penatalaksanaan TENS ..................................................................... 46
Gambar 3.2 Latihan Heel Slide ............................................................................. 47
Gambar 3.3 Latihan Mobilisasi Patela .................................................................. 48
Gambar 3.4 Latihan Hamstring ............................................................................. 48

x
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Skala Pengukuran Nyeri Dengan Vas ................................................... 41


Tabel 3.2 Pengukuran LGS dengan Goniometer .................................................. 41
Tabel 3.3 Pemeriksaan kekuatasn otot dengan MMT ........................................... 42
Tabel 3.4 Evaluasi Nyeri Dengan VAS ................................................................ 49
Tabel 3.5 Evaluasi LGS Dengan Goniometer ....................................................... 49
Tabel 3.6 Evaluasi Kekuatan Otot Dengan MMT ................................................ 50
Tabel 3.7 Evaluasi Kemampuan Fungsional Dengan Skala Jette ......................... 50
Tabel 4.1 pengkuran kemampuan fungsional dengan skala jette .......................... 56

xi
DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Pengukuran Nyeri dengan VAS........................................................... 52


Grafik 4.2 Pengukuran LGS dengan Goniometer ................................................. 54
Grafik 4.3 Pengukuran Kekuatan Otot dengan MMT ........................................... 55

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kesehatan dan kekuatan jasmani merupakan salah satu dari sejumlah

syarat mutlak yang wajib dimiliki oleh semua orang. Setiap melakukan aktivitas

sehari-hari sebaiknya dilakukan dengan benar dan tidak overuse. Aktivitas yang

dilakukan dengan tidak benar dan overuse beresiko menimbulkan cedera fisik.

Cedera fisik dapat mengakibatkan terganggunya sistem muskuloskeletal yang

meliputi otot, tulang, sendi, tendon, ligamen serta jaringan ikat yang mendukung

dan mengikat jaringan dan organ bersama-sama (Dhuhairi, 2021)

Aktivitas fisik memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, contohnya bagi

kesehatan jantung, tubuh dan pikiran. Aktivitas fisik sendiri didefinisikansebagai

setiap pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka danmembutuhkan

pengeluaran dari energi tubuh (WHO, 2020). Secara umum ada 3 macam aktivitas

fisik yang digolongkan berdasarkan intensitas dan besarankalori yang digunakan

yaitu : aktivitas fisik harian, latihan fisik dan olahraga. Yang termasuk dengan

aktivitas fisik harian adalah kegiatan sehari-hari seperti jalan kaki dan mengurus

rumah. Sedangkan untuk latihan fisik dan olahraga merupakan suatu aktivitas

yang dilakukan secara terstruktur dan terencana seperti jogging, push up, sepak

bola, basket dan sebagainya (Indonesia, K. K. R., 2018).

ACL adalah salah satu dari empat ligamen utama di dalam lutut yang

menghubungkan tulang tibia dan femur. Fungsi utama ligamen ini untuk

mencegah tulang tibia bergeser ke arah depan dari tulang femur dan untuk

1
2

mengontrol gerakan rotasi dari lutut. Cedera acl sering terjadi akibat adanya

cedera saat melakukan olahraga, seperti salah mendarat saat melakukan lompatan

atau kontak fisik. Cedera olahraga adalah cedera yang terjadi pada sistem otot dan

rangka tubuh selama olahraga akibat suatu ketidaksengajaan (kecelakaan) maupun

kesalahan yang sebenarnya dapat dihindari seperti kurang pemanasan, gangguan

motorik, Intensitas latihan yang terlalu berat, dan tingkat stress psikologis yang

sedang tinggi. Cedera olahraga yang paling sering terjadi yaitu keseleo, cedera

lutut, cedera ligament, cedera tendon, fraktur dan disklokasi. Bentuk cidera yang

terjadi pada ACL berupa ruptur ACL adalah robeknya atau koyaknya Anterior

Cruciate Ligament yang merupakan bagian dari empat ligamen utama yang

menstabilisasi sendi lutut yang diakibatkan oleh trauma (Imam, 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Australia selama tahun 2000

sampai 2015, terdapat kasus pembedahan ACL sebanyak 68,2% terjadi pada laki-

laki dan 31,8% pada wanita. (Zbrojkiewicz, Vertullo, & Grayson, 2018).

Sedangkan di Indonesia sendiri khususnya di Jakarta pada tahun 2009

terdapat setidaknya 85 kasus cidera, tahun 2010 terdapat 146 dan pada tahun 2011

terdapat 353 kasus. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa terjadi peningkatan

cidera pada setiap tahunnya. Jenis cidera yang terjadi paling sedikit ialah cidera

pada kulit yaitu 7,9% dan kasus cidera yang terbanyak adalah terjadi pada ligamen

yaitu sebanyak 41,11% (Fajari, Amanati, & Novalanda, 2018).


3

Menurut data yang didapatkan dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS),

proporsi cedera yang mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari di

Indonesia sebanyak 1.017.290 kasus dan sebanyak 55.352 kasus di Sumatera

Utara pada tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018). Sedangkan, di Kota Medan didapati

sebanyak 10.928 kasus untuk proporsi cedera yang mengakibatkan terganggunya

kegiatan sehari-hari pada tahun 2018. Prevalensi proporsi bagian tubuh yang

cedera berdasarkan data dari RISKESDAS, anggota Universitas Sumatera Utara

2gerak bawah memiliki tingkat terbanyak jika dibandingkan dengan bagian tubuh

lainnya yaitu sebanyak 67,9 % (Balitbangkes Depkes RI, 2018).

Rekonstruksi ACL adalah salah satu teknik ortopedi yang paling umum

dilakukan di seluruh dunia. Pembedahan merupakan lini pertama untuk

penanganan cedera ACL pada pasien aktif. Autograft yang paling umum

digunakan untuk rekonstruksi ACL adalah tendon patella dan tendon hamstring

(Paschos N K & Howel, 2017). Kondisi pasca rekonstruksi Anterior Cruciate

Ligament (ACL) menyebabkan adanya masalah komplikatif sehingga terjadi

nyeri, oedema, penurunanan LGS, penurunan kekuatan otot. (Thomas et al.,

2017).

Pasca rekonstruksi ACL rehabilitasi sangat penting untuk mengembalikan

performa atlet sebelum kembali berolahraga, biasanya dibutuhkan waktu sekitar 6

bulan yang terbagi menjadi 4 fase untuk kembali ke aktivitas normal. Kasus

pasca rekonstruksi ACL fase 1 dimulai setelah rekonstruksi hari pertama

berlangsung hingga dua sampai empat minggu pertama pasca rekonstruksi

sebelum lanjut ke fase berikutnya (Paschos & Howell, 2016).


4

Pada kasus ACL yang menjadi problem fisioterapi antara lain adalah

adanya rasa nyeri yang menyebabkan pasien untuk enggan menggerakkan

lututnya. Karena hal tersebut maka linggup gerak sendi lutut akan mengalami

keterbatasan pergerakan dan menyebabkan otot-otot penggerak lutut fleksor dan

ekstensor akan mengalami kelemahan. Selain itu masalah lainnya yaitu pasien

akan mengalami kesulitan dalam aktivitas jongkok ke berdiri dan kesulitan saat

jalan dalam jarak yang cukup jauh. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation

adalah intervensi fisioterapi yang bekerja dengan memblok nyeri di sekitar bagian

cedera menggunakan tenaga listrik kekuatan rendah yang dialirkan melalui

elektroda yang ditempelkan pada area nyeri. Arus listrik pada TENS dapat

menstimulus sel neuron sensory dengan diameter luas agar masuk ke dalam

gerbang disubtansia gelatinosa untuk mencegah sel nociceptor yang berdiameter

lebih kecil untuk menyampaikan informasi ke otak sehingga rangsangan nyeri

tidak disalurkan ke otak dan nyeri dapat berkurang (Santoso & Lesmana, 2018).

Pemberian terapi latihan dengan mobilisasi patella dan heel slide mampu

meningkatkan LGS karena efek dari latihan mobilisasi patella dan heel slide yang

mampu meningkatkan cardiac output yang berperan dalam memperlancar

metabolisme sehingga dapat menurunkan oedema. Oedema yang mengalami

penurunan akan membentuk zat nociceptor menjadi berkurang sehingga

menyebabkan nyeri berkurang. Saat nyeri dan oedema berkurang makan akan

menyebabkan peningkatan lingkup gerak sendi (Santoso et al., 2018).


5

Terapi latihan yang dilakukan pasien berupa latihan Range of Motion

(ROM) paska rekonstruksi ACL bertujuan untuk peningkatan lingkup gerak

sendi,meningkatkan massa otot, tonus otot dan menjaga mobilitas sendi dan

meminimalkan penurunan dalam elastisitas jaringan di sekitar sendi dan

pembentukan kontraktur. Latihan heel slide dan mobilisasi patella dilakukan

untuk meningkatkan ROM lutut pasien pasca rekonstruksi ACL (Fukuda et al.,

2013).

Berdasarkan latar belakang diatas di atas dan referensi dari sumber-sumber

yang mendukung maka penulis melakukan penelitian dengan judul

Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus “Post Op ACL dengan modalitas

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation dan Terapi Latihan”. Semoga

penelitian ini, dapat berguna bagi peneliti, tenaga medis maupun masyarakat

umum.

Selama praktek dirumkit saya mendapati kasus ACL berjumlah sangat

banyak ketimbang kasus fisioterapi lainnya, karna banyaknya kasus ACL maka

saya mengangkat kasus ini sebagai judul karya ilmiah dan bisa saya evaluasi

perkembangannya. Pasien yang melakukan terapi di Rs Putri Hijau Tk II Kesdam

1/BB dengan terapi modalitas tens dan terapi latihan selama 6 kali pertemuan
6

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS) dapat

mengurangi nyeri pada kasus Post Op Anterior Cruciate Ligament?

b. Apakah Terapi Latihan dapat meningkatkan Luas Gerak Sendi pada kasus

Post Op Anterior Cruciate Ligament?

c. Apakah Terapi Latihan dapat meningkatkan Kekuatan Otot pada kasus

Post OP Anterior Cruciate Ligament?

d. Apakah Terapi Latihan dapat meningkatkan Kemampuan Fungsional pada

kasus Post Op Anterior Cruciate Ligament?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk memenuhi syarat kelulusan pendidikan Diploma-III fisioterapi

b. Untuk mengetahui praktisi tentang penatalaksanaan TENS dan Terapi

Latihan pada kasus Post Op ACL.

1.4 Manfaat Penulisan

a. Untuk mengetahui manfaat TENS pada kasus Post Op ACL terhadap

pengurangan nyeri

b. Untuk mengetahui manfaat Terapi Latihan pada kasus Post Op ACL

terhadap peningkatan luas gerak sendi

c. Untuk mengetahui manfaat Terapi Latihan pada kasus Post Op ACL

terhadap peningkatan kekuatan otot

d. Untuk mengetahui manfaat Terapi Latihan pada kasus Post Op ACL

terhadap peningkatan kemampuan fungsional.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Lutut

Gambar 2.1 Anatomi Lutut

Seperti halnya anggota gerak atas, anggota gerak bawah dihubungkan oleh

sebuah gelang sendi. Anggota bawah khusus untuk menopang berat badan,

mengatur gaya berat dan berjalan. Persendian atau artikulasi adalah suatu

hubungan antara dua tulang atau lebih yang dihubungkan melalui pembungkus

jaringan ikat pada bagian luar dan pada bagian dalam terdapat rongga sendi

dengan permukaan tulang yang dilapisi oleh tulang rawan. Fungsi dari sendi

secara umum adalah untuk melakukan gerakan pada tubuh (Quinn, E: 2016).

Lutut memiliki beberapa persendian lain adalah tibiofemoral joint,

patellofemoral joint, proximal tibiofemoral joint. Meskipun sendi lutut memiliki

7
8

konstruksi yang baik, fungsinya sering terganggu bila terjadi gerakan berlebihan

pada lutut. Sendi lutut tersusun atas tulang, otot, ligament, saraf dan meniscus

(Hassebrock et al., 2020).

a. Tulang Pembentuk

Lutut merupakan sendi yang paling kompleks yang terdiri dari 2 sendi

yaitu sendi tibiofemoral dan sendi patellofemoral (Abulhasan J & Grey M, 2017).

Lutut terdiri dari empat tulang yaitu femur (tulang paha), tibia (tulang kering),

patella (tempurung lutut) dan fibula. Permukaan tulang femur, tibia dan patella

ditutupi dengan tipis oleh tulang rawan artikular. Femur adalah tulang terbesar,

terpanjang dan terkuat di bagian lutut. Bagian proksimal femur membentuk bola

dan soket yang akan menyatu dengan panggul, sedangkan bagian distal femur

memiliki dua kondilus yang terdiri dari kondilus medial dan kondilus lateral

(Santoso et al., 2018).

Tulang terbesar setelah femur adalah tibia. Tibia juga dikenal sebagai

tulang kering. Tibia berhubungan lansung dari lutut ke sendi pergelangan kaki.

Tiga ligament lutut melekat pada bagian ini diantaranya anterior cruciate

ligament, posterior cruciate ligament dan ligamentum kolateral medial (Santoso et

al., 2018).

Tulang terbesar ketiga dilutut adalah fibula. Fibula membentang

disepanjang sisi lateral tibia. Ligament kolateral lateral (LCL) adalah ligament

yang menghubungkan fibulla dengan sisi lateral femur.


9

Tulang keempat di lutut adalah patella. Patella juga dikenal sebagai

tempurung lutut yang memiliki bentuk datar dan segitiga. Selain melindungi

bagian anterior sendi lutut, fungsi utama patella adalah untuk meningkatkan

kekuatan otot quadriceps femoris (Santoso et al., 2018).

Gambar 2.2 Tulang Pembentuk

b. Ligamentum Sendi Lutut

Ligamentum pada lutut terdiri atas ligamentum kolateral meliputi

ligamentum kolateral medial (MCL) dan ligamentum kolateral lateral (LCL),

ligamentum cruciatum meliputi ligamentum cruciatum anterior (ACL) dan

ligamentum cruciatum posterior (PCL). (Boro et al, 2016).


10

Ligamentum kolateral medial (MCL) adalah pita datar jaringan ikat yang

membentang dari epikondilus medial femur ke kondilus medial tibia (Naqvi U &

Sherman Al, 2020) yang berfungsi sebagai stabilisator utama sisi medial lutut

sehingga dapat melindungi dari tekanan valgus dan gaya rotasi Ligamentum

kolateral lateral (LCL) atau disebut juga ligamentum fibula karena membentang

dari epikondilus lateral femur ke kaput fibula (Boro et al, 2016) yang berfungsi

sebagai stabilisator utama untuk aspek lateral lutut sehingga dapat menahan

kekuatan varus kearah lateral lutut (Haddad et al, 2016).

Ligamentum cruciate anterior (ACL) adalah ligament yang membentang

antara kondilus lateral femur dan area interkondilus anterior pada tibia (Boro et al,

2016) dan berfungsi untuk menahan gerakan tibia ke anterior yang berlebihan dan

membantu menahan hiperekstensi berlebihan (Boro et al, 2016).

Ligamentum cruciate posterior (PCL) membentang antara permukaan

kondilus medial femur dan area interkondilus posterior tibia (Boro et al, 2016) dan

berfungsi untuk menahan gerakan tibia ke posterior yang berlebihan dan juga

menahan gerakan lateral tibia (Boro et al, 2016).


11

Gambar 2.3 Ligamen Pada Lutut

c. Otot Penyusun

Otot adalah stabilisator sekunder dari sendi lutut. Otot-otot yang termasuk

didalamnya adalah otot yang mengelilingi lutut sampai di pinggul dan otot

gastrocnemius. Meskipun fungsi utama otot adalah menghasilkan gerak, otot juga

berhubungan dengan neuromuscular yang berfungsi untuk mengontrol gerakan

otot sehingga otot juga berperan penting dalam propriosepsi lutut. Mayoritas otot

pada lutut adalah monoarticular yang berfungsi hanya pada lutut untuk

menggerakkan dan menstabilkan lutut, sedangkan biarticular memiliki aksi ganda

di kedua lutut dan juga pinggul (Abulhasan J & Grey M, 2017).

Otot penyusun lutut terbagi menjadi 2 grup otot penggerak yaitu grup otot

extensor dan grup otot flexor.


12

Gambar 2.4 Otot Ekstensor

Grup otot penggerak extensor yaitu grup otot Quadriceps yang meliputi otot

rectus femoris, otot vastus lateralis, otot Vastus medialis, dan otot vastus

intermedius.

Gambar 2.5 Gambar Otot Flexor


13

Grup otot penggerak flexor yaitu grup otot hamstring meliputi bicep femoris,

semitendinosus, dan semimembranosus (Spalteholz, 2014).

d. Persarafan Sendi Lutut

Persarafan pada sendi lutut sangat kompleks karena saraf genikular

bercabang dari 3 saraf utama yaitu saraf ischiadicus, saraf femoral dan saraf

obturatorius. Ketiga saraf ini berasal dari pleksus lumbalis (Jamison D E & Cohen

S P, 2018).

Saraf ischiadicus atau saraf sciatic adalah saraf terbesar dalam tubuh

manusia, berasal dari medulla spinalis L4-S3 yang mempersarafi kulit dan otot

regio cruris dan pedis, otot-otot bagian dorsal regio femoris, serta persendian pada

ekstremitas inferior. Saraf ischiadicus mempercabangkan saraf tibialis dan saraf

peroneus communis pada fossa popliteal. Saraf tibialis berada pada aspek

posterior tungkai bawah yang akan bercabang menjadi saraf superomedial (SM)

dan inferomedial (IM) yang akan berjalan ke aspek posterior sendi lutut. Saraf

peroneus communis berjalan melewati aspek anterior tungkai bawah (Jamison D

E & Cohen S P, 2018).

Saraf femoralis merupakan cabang dari plexus lumbalis yang dibentuk

oleh saraf spinalis L2-L4. Saraf femoralis akan mempercabangkan saraf

saphenous yang merupakan cabang sensorik kulit (Jamison D E & Cohen S P,

2018). Saraf saphenous merupakan 10 cabang terbesar dan terpanjang dari saraf

femoralis yang mempersarafi regio cruris bagian medial sampai di 1/3 bagian

distal cruris. Saraf obturatorius dibentuk oleh saraf saraf spinalis L2-L4. Saraf

obturatorius bersifat motorik untuk musculus adductors.


14

Ada beberapa pembuluh darah yang memperdarahi sendi lutut. Cabang

utama arteri pada sendi lutut adalah arteri femoralis dan arteri poplitea yang akan

membentuk suatu jaringan (articular rate). Cabangcabang yang membentuk

articular rate diantaranya arteri genikularis medial superior, arteri genikularis

medial superior, arteri genikularis lateral superior, arteri genikularis medial

inferior, arteri geninkularis lateral inferior, arteri genikularis desendens dan arteri

tibialis anteriror cabang rekuren (Boro et al, 2016).

e. Meniscus

Meniscus adalah lempeng berbentuk sabit fibrocartilago pada permukaan

artikular tibia. Pinggirannya tebal dan cembung. Melekat pada bursa. Dalamnya

cekung dan membentuk tepian bebas. Permukaan atasnya cekung, dan

berhubungan langsung dengan condylus femoris. Meniscus berfungsi sebagai

shockabsorber dan bantalan sendi lutut. Meniscus dapat menahan beban 40-70%

dari beban yang diberikan pada sendi lutut, mempermudah gerakan rotasi, sebagai

stabilisator dengan menyerap setiap penekanan dan merusaknya sendi, membantu

ligament dengan stabilitas lutut, melindungi kartilago artikular. Ketika meniscus

rusak dapat menyebabkan sendi lutut menjadi longgar atau tidak stabil, maka lutut

dapat mengarah ke kondisi yang disebut osteoarthritis (Pratama, 2019).

1. Meniscus Medialis

Berbentuk huruf C. lebih lebar di posterior daripada anterior, kurang

mobile daripada meniscus lateralis.


15

2. Meniscus Lateralis

Hampir berbentuk sirkuler atau U, lebih kecil, lebih dapat digerakkan

secara bebas.

Gambar 2.6 Meniscus

2.2 Biomekanik Sendi Lutut

Osteokinematika menggambarkan gerakan tulang pada permukaannya.

Klasifikasi mekanika osteokinematik terdiri atas gerak swing dan spin. Perubahan

sudut pada axis panjang tulang pembentuk disebabkan oleh gerakan ayunan atau

dikenal dengan gerakan swing. Sementara pada gerakan spin tulang pembentuk

akan bergerak namun tidak diikuti oleh perubahan axis mekanik sendi

(Rachmawatietal,2018).
16

Arthrokinematika pada sendi lutut yaitu terdapat gerakan fleksiekstensi,

serta gerak rotasi apabila bisa dilakukan. Dibagi menjadi 2 bagian pada gerakan

arthrokinematika knee joint (Rachmawati et al, 2018), yakni sebagai berikut:

1) Concave (Cekung)

Gerakan gliding dan rolling terjadi searah pada tibia ketika fleksi

maupun ekstensi. Gerakan fleksi mengikuti dorsal, sedangkan ekstensi

mengarah ke depan.

2) Convex (Cembung)

Gerakan gliding dan rolling berlawanan arah. Ketika fleksi, femur ke

belakang, sebaliknya gliding ke depan. Gerakan ekstensi terjadi

sebaliknya ke depan kemudian gliding ke belakang.

2.3 Defenisi Anterior Cruciate Ligament

Ligamen cruciatum anterior (ACL) merupakan salah satu ligamen dari 4

ligamen terkuat yang menjaga stabilitas pada sendi lutut. ACL tersusun atas 10

jaringan fibrosa yang berhubungan dengan tulang di persendian. Cedera ACL

adalah cedera lutut yang paling sering dialami oleh atlet. Cedera ACL pada

umumnya disebabkan oleh adanya pergerakan pada lutut seperti perubahan arah

gerak, gerakan zig-zag, dan perubahan kecepatan yang mendadak. Sepak bola,

futsal, voli, basket dan olahraga lain seperti ski ataupun beladiri memiliki resiko

yang lebih tinggi untuk terjadinya cedera ACL (Zein, 2016). Cedera ACL

memiliki tingkat penyembuhan yang rendah sehingga rekontruksi ACL menjadi

yang utama dalam penanganan cedera ACL (Kiapour & Murray, 2016).
17

2.4 Etiologi

Mekanisme yang sangat umum ditemui saat terjadinya rupture ACL adalah

kombinasi dari gerakan berhenti yang terlalu tiba-tiba dari kaki yang disertai

gerakan memutar yang tiba-tiba dari lutut. Saat ACL terrobek, sipenderita

merasakan bahwa lututnya seperti keluar dari persendian dan sering terdengar

suara yang sangat keras. Jika sipenderita mencoba untuk berdiri, biasanya akan

terasa tidak stabil dan akhirnya menyerah. Lutut biasanya menjadi bengkak,

sangat sakit, dan sulit untuk di gerakkan.

2.5 Epidemiologi

Cedera lutut yang paling sering dijumpai adalah cedera pada ligamen

cruciatum anterior. Hampir 60% cedera olahraga yang terjadi pada tingkat sekolah

menengah merupakan cedera lutut. Lebih dari 50 % pada cedera lutut merupakan

cedera ligamen cruciatum anterior. Cedera ACL yang sering terjadi pada atlet

memiliki prevalensi sebesar 80% dari semua cedera olahraga (Sayampanathan et

al., e2017). Insidensi terjadinya cedera ACL diperkirakan sebanyak 30 sampai 78

dalam 100.000 orang per tahunnya (Gans et al., 2018). Rekonstruksi pada ACL

merupakan pilihan utama sebagai penatalaksanaan dari cedera ACL. Diperkirakan

sekitar 200.000 rekonstruksi ACL yang dilakukan pada tiap tahunnya di Amerika

Serikat (Paschos & Howell, 2016). 61% sampai 89% dari atlet yang menjalani

rekonstruksi ACL sukses kembali berolahraga sekitar 8 sampai 18 bulan setelah

rekonstruksi (Gans et al., 2018).


18

2.6 Patofisiologi

Cedera Ligamen Cruciatum Anterior Cedera ACL dapat terjadi melalui tiga

mekanisme :

1) Cedera kontak tidak langsung

Pukulan pada anggota tubuh lain contohnya pada paha dapat menyebabkan

perpindahan kekuatan pukulan yang berlebihan secara paksa pada sendi

lutut sehingga terjadi cedera ACL secara tidak langsung.

2) Cedera kontak langsung

Cedera ACL yang terjadi secara kontak langsung dijumpai pada lutut yang

menerima pukulan secara langsung. (Alghanim et al., 2018).

3) Cedera tanpa ada kontak

Cedera ACL yang terjadi tanpa adanya kontak dapat muncul ketika adanya

arah gerak yang sudah ditetapkan secara mendadak mengalami perubahan

sehingga terjadinya translasi tibia pada femur dan menyebabkan kegagalan

pada ACL Mekanisme ini bertanggung jawab dalam 70% kerusakan ACL.

Pendaratan setelah meloncat pada olahraga seperti sepak bola, basket dan

futsal termasuk dalam contoh cedera ACL tanpa adanya kontak (Swords,

2018).
19

2.7 Tanda dan Gejala

a. Terdengar atau merasakan bunyi “pop” atau popping saat

terjadinya cedera.

b. Pembengkakan dan rasa nyeri yang muncul pada saat beraktivitas.

Rasa nyeri pada cedera ACL tergantung pada kondisi ligamen.

Ligamen yang robek secara komplit tidak menimbulkan rasa nyeri

sementara pada ligamen yang robek sebagian atau parsial akan

menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa.

c. Haemarthrosis yang terjadi dalam 2 jam setelah cedera (Filbay &

Grindem, 2019)

2.8 Klasifikasi Cedera ACL

Cedera ACL dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu grade I, grade II dan grade III.

1) Grade I

Pada grade I jaringan pada ligamen teregang namun tidak dijumpai adanya

robekan. Kemerahan dan pembengkakan dapat dijumpai namun lutut

masih dapat menjaga stabilitasnya dan tidak terasa lemas pada saat

beraktivitas.

2) Grade II

Pada Grade II Jaringan pada ligamen sudah sangat teregang dan terdapat

robekan parsial dengan adanya perdarahan. Terdapat adanya nyeri tekan

dan pembengkakan. Pada saat beraktivitas sendi sudah tidak bisa menjaga
20

keseimbangannya dan terasa lemas. Nyeri akan semakin meningkat pada

saat dilakukan Lachman’s test dan anterior drawer test.

3) Grade III

Pada Grade III jaringan pada ligamen sudah robek seluruhnya dan terbagi

menjadi dua bagian. Terdapat nyeri tekan dan bisa dijumpai atau bahkan

banyak pembengkakan. Pergerakan lutut sudah tidak bisa dikontrol oleh

ligamen dan lutut menjadi tidak stabil serta lemas pada waktu tertentu.

Pada pivot shift test dijumpai hasil yang positif dengan adanya

ketidakstabilan rotasi. Haemarthrosis terjadi dalam 1-2 jam (William,

2016).

2.9 Diagnosis

a. Riwayat Cedera

Cedera ACL dicurigai jika pasien melaporkan adanya gambaran klinis

yaitu terdengar bunyi “pop” atau popping pada saat terjadinya cedera yang

menandakan robeknya ligamen dan diikuti dengan pembengkakan serta

hemartrosis yang terjadi 2 jam setelah cedera dan adanya riwayat cedera

olahraga yang mengakibatkan terjadinya cedera ACL baik secara kontak

langsung maupun tidak langsung.

b. Pemeriksaan Fisik

1) Anterior drawer test

dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang/supine, kemudian

pinggul dan lutut difleksikan masingmasing 45° dan 90°. Sementara kaki

distabilkan kemudian dokter melakukan gaya antero-posterior manual


21

dengan cara dokter menggunakan kedua tangan untuk memegang daerah

tibial plateau dan melakukan tarikan tegak lurus kearah anterior secara

perlahan-lahan. Perpindahan anteroposterior tibia dapat diukur dan

dibandingkan dengan sisi yang normal. Perpindahan lebih dari 6 mm atau

gerakan berlebihan adalah suatu indikasi ACL robek (Décary S et al,

2018).

Gambar 2.7 Anterior Drawer Test

2) Lachman test

Lachman test pada umumnya lebih unggul dibandingkan uji anterior

drawer test dan pivot shift test (Coffey R & Bordoni B, 2020). Menurut

Arnheim dan Brukner lachman tets lebih disukai banyak orang karena

lachman test tidak memaksa lutut ke posisi yang menyakitkan (sangat

nyeri) pada sudut 90°. Tes ini dilakukan pada pasien dengan posisi tidur
22

terlentang/supine dengan lutut difleksikan 20° hingga 30° diikuti rotasi

eksternal pada tibia kemudian dokter memfiksasi tulang paha bagian distal

sementara tangan lainnya memegang tibia proksimal dan dilakukan tarikan

ke anterior pada tibia proksimal. Tes ini dianggap positif jika translasi

anterior yang berlebihan dari tibia proksimal yang dicurigai cedera

dibandingkan dengan sisi yang normal (Coffey R & Bordoni B, 2020).

Gambar 2.8 Lachman Test


3) Pivot shift test

adalah salah satu pemeriksaan fisik untuk menilai kestabilan lutut dan juga

salah satu pemeriksaan untuk pasien dengan 17 suspect cedera ACL.

Untuk melakukan pivot shift test pasien dalam posisi tidur

terlentang/supine, dokter memegang calcaneus dilanjutkan rotasi internal

tibia dan tangan lainnya memegang distal femur dan berikan gaya valgus

kemudian ubah posisi kaki dari ekstensi ke fleksi. Tes positif jika tibia
23

tertarik ke posterior, hal ini terjadi Karena ACL telah robek (Priyonoadi B,

2019).

Gambar 2.9 Pivot Shift Test

c. Pemeriksaan Penunjang

Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan gold standard untuk

pemeriksaan penunjang dalam diagnosa cedera ACL. MRI memberikan

gambaran yang jelas untuk mengetahui cedera jaringan lunak yaitu pada

ligamen, tendon dan bantalan sendi. Dalam penegakan diagnosis cedera

ACL pada atlet usia muda MRI memiliki sensitivitas sebesar 95% dan

spesifisitas sebesar 88% (Maralisa & Lesmana, 2020).


24

2.10 Rekonstruksi ACL

Operasi rekonstruksi cedera ACL merupakan suatu tindakan operasi untuk

menyambung kembali ligamen ACL yang robek. Standar operasi rekonstrksi

untuk cedera ACL yaitu Arthroscopic ACL Double Bundle Reconstruction (Iman

Santoso, dkk: 2018:71). Penangan operasi rekonstruksi yang dilakukan berguna

untuk mengembalikan stabilitas lutut.

Menurut Paschos dan Howel (2016:399) ada beberapah hal yang perlu

diperhatikan oleh peneliti bedah ortopedi saat melakukan teknik rekonstruksi

ACL, yaitu sebagai berikut:

1) Waktu yang tepat

Tiga hal yang harus dipertimbangkan dan diseimbangkan waktu

rekonstruksi ACL yaitu meningkatnya terjadinya cedera meniskus dan

chondral jika rekonstruksi ACL ditunda, resiko artofibrosis terkait dengan

awal rekonstruksi ACL, dan hilangnya kekuatan otot karena otot disekitar

daerah cedera tidak aktif melakukan aktiftas olahraga karena operasi

rekonstruksi yang ditunda (Paschos dan Howel, 2016:399). Pasca

rekontruksi ACL biasanya akan menimbulkan permasalahan seperti

kekakuan pasca operasi (ROM menurun), nyeri, bengkak, penurunan

kekuatan otot (atrofi otot). Akibat permasalahan tersebut, rehabilitasi pasca

operasi memerlukan jangka waktu yang cukup panjang untuk dapat

kembali ke aktivitas normal, biasanya akan dibutuhkan waktu sekitar 6

bulan (Wilk, et al. 2012:154).


25

2) Jenis Graft

Menurut Marieswaran, et al (2018:9) pada saat pergantian graft perlu

dilakukan seleksi untuk cangkok graft yang meliputi penempatan graft,

revaskularisasi, rehablitasi dan perlindungan pergantian graft. Menrut

Paschos dan Howel (2016) menyatakan bahwa ada 3 jenis pergantian graft

yaitu: Natural graft, Sintesis graft, dan Engineered graft.

A. Natural Graft

yang diklasifikasikan menjadi autograft, allograft, dan xenograft.

I. Autograft

Pada rekonstruksi ACL ada dua jenis autograft yang sering digunakan

untuk pergantian graft yaitu tendon patella (PT) yang sering dikenal

dengan Bone Patellar tendon Bone (BPTB) graft dan tendon hamstring

(HT) (Marieswaran, et al: 2018:9). Patella tendon graft diambil dari

bagian lutut untuk menggantikan ACL yang rusak. Dalam prosedur ini,

bagian tengah ketiga dari tendon patella diambil untuk ditempatkan

pada lokasi ACL yaitu menyilang pada femur dan tibia (Iman Santoso,

dkk:2016:71). Menurut Paschos dan Howel (2018:400-401) adanya

kelebihan pemilihan patellar tendon graft yaitu ligamen ACL akan lebih

kuat, menurunkan rata-rata kembali cedera ACL, penyusunan dan

penyembuhan awal, serta menjadikan stabiltas lutut yang lebih baik.

Sedangkan kekurangannya yaitu nyeri bagian anterior lutut,

meningkatnya terjadinya Osteoarthritis setelah rekonstruksi ACL,

kehilangan ekstensi yang lebih tinggi karena adhesi. Kelebihan


26

menggunakan tendon hamstring yaitu sayatan lebih kecil, gangguan

fungsional minor dari pergantian graft, dan reegnerasi sebelumnya dari

paha depan. Sedangkan kekurangan terjadinya cedera kembali yang

lebih tinggi dan keterlambatan atau kelemahan lutut.

II. Allograft

Allograft adalah pergantian graft dengan donor dari orang lain.

Menurut Pachos, et al (2018:402) plihan allograft untuk rekonstruksi

adalah patellar Achilles dan tendon tibialis. Keuntungan dari allograft

adalah kurangnya morbiditas tempat donor, waktu pembedahan yang lebih

pendek, dan jaminan jaringan graft yang cocok. Sebaliknya, allograft

memiliki banyak kekurangan yaitu resiko penularan penyakit, potensi

keterlambatan penggabungan dan kekebalan tubuh, serta biaya yang sangat

mahal.

III. Xenograft

Xenograft adalah pergantian graft dari spesies hewan lain, seperti

babi dan sapi. Menurut Marieswaran, et al (2018:10) pergantian graft

xenograft mirip dengan allograft tetapi resiko penularan penyakit dan

penolakan tubuh terhadap benda asing lebih tinggi.

B. Sintesis graft

Pergantian graft dengan bahan sintetis dilakukan sebagai perlindungan

awal autograft yang lama dan terjadi revaskularisasi.Menurut

Marieswaran, et al (2018:10) bahan untuk sintetis graft meliputi perak baja

tahan karat, nilon, sutra dan beberapa eksperimen untuk ligamen sintesis.
27

C. Engineered graft

Engginered graft merupakan pergantian graft dengan rekayasa vitro

kultur dari neoligament dengan sel dan faktor pertumbuhan. Bahan turunan

yang digunakan yaitu kolagen, sutra, asam hialunorat, kitosin, dan

algianat. Sedangka bahann sintesis yang diguankan adalah polidiaxonane,

asam poliglikolat, asam poli laktat, dan poli kaprolakton (Marieswaran, et

al: 2018: 10)

2.11 Fase Pasca Rekonstruksi ACL

Fase pasca rekonstruksi ACL terdiri dari (Darmawan A, 2017):

1) Fase 1

Periode 1-14 hari, tujuan dari fase ini adalah untuk meredakan nyeri pasca

operasi, penyembuhan luka, melepas kruk, dan melatih pasien untuk

berjalan normal. Pencapaian yang diperlukan pada tahap ini adalah

penyembuhan luka, mengonrol morbiditas lokasi tempat donor graft,

memfiksasi menggunakan brace dan mengembalikan graft ke posisi yang

rata. Pada tahap ini saat nyeri dan bengkak mulai berkurang dapat dimulai

pemberian partial hingga full weight bearing. Peregangan hamstring secara

gentle harus dimulai sesegera mungkin. Robekan hamstring biasanya

terjadi dalam 14 hari hingga 6 minggu pertama sehingga pemberian

tahanan ke hamstring harus dihindari setidaknya 4-6 minggu.

2) Fase 2

Periode 2-6 minggu, tujuan dari fase ini adalah mengembalikan fungsional

pasien ke normal dan mempersipakan pasien ke tahap selanjutnya. Pada


28

fase ini pencapaian yang diperlukan adalah range of motion (ROM) penuh

tanpa batasan, peningkatan control otot dan keterampilan proprioseptif

dini, mengembalikan normal gait, kemampuan menaiki tangga dan

mengurangi efusi yang persiten. Masalah yang mungkin terjadi adalah

kekakuan sendi, ketegangan hamstring, peningatan laxity graft dan

kerusakan graft.

3) Fase 3 (proprioseptif)

Periode 6-12 minggu, tujuan dari fase ini adalah untuk memperbaiki

control neuromuscular dan proprioseptif. Capaian yang diinginkan pada

fase ini adalah mengembalikan kapasitas endurance otot dan kepercayaan

diri pasien. Masalah yang mungkin terjadi pada fase ini adalah

athrofibrosis, iritabilitas patellofemoral, peradangan kronis dan ruptur

laxity graft. Pada fase ini masih belum dianjurkan untuk melakukan latihan

quadriceps open chain tetapi olahraga tunggal seperti bersepeda, joging

dan berenang dapat dilakukan dengan retriksi ringan atau tanpa retriksi.

4) Fase 4

Periode 3-5 bulan, tujuan dari fase ini adalah untuk mempersiapkan pasien

kembali ke aktivitas sehari-hari dan olahraga. Pencapaian yang diperlukan

pada fase ini adalah memperkenalkan pelatihan ketangkasan dan waktu

reaksi dalam latihan proprioseptif serta meningkatkan kepercayaan diri

pasien. Masalah yang mungkin terjadi pada fase ini adalah iritabilitas

patellofemoral.
29

5) Fase 5

Periode waktu 5-6 bulan, bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan

diri pasien sehingga pasien dapat kembali ke aktivitas olahraga secara

aman.

2.12 Prognosis

Pasien yang dilakukan operasi rekonstruksi memiliki tangga kesembuhan

jangka panjang yang mencapai 82-95%. Namun, pasien dengan rupture ACL

meskipub telah melalui rekonstruksi yang sukses memiliki resiko terkena

osteoarthritis (Gammons ,2015).

2.13 Problematika Fisioterapi

Problematika fisioterapi yang muncul pada kondisi post of ACL dapat

berupa impairment, functional limitation, dan participation reactriction.

a. Impairment

Impairment adalah adanya gangguan kapasitas fisik yang berhubungan dan

dapat mengganggu aktifitas fungsional dasar dalam kasus ini terdapat

nyeri dilutut bagian kanan, penurunan luas gerak sendi dan penurunan

kekuatan otot.

b. Functional Limitation

Functional limitation adalah aktifitas seseorang dalam melakukan aktifitas

fungsionalnya yang berhubungan dengan kemandirian yang disebabkan

adanya gangguan muskuloskeletal sehingga seseorang tersebut tidak dapat

melakukan aktifitas fungsionalnya secara mandiri. Dilihat dari

impairmentnya maka penderita merasakan ketidak nyamanan dan


30

mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari seperti pasien merasakan

nyeri ketika ingin berdiri dari posisi duduk, pasien belum bisa berlari dan

pasien merasakan nyeri ketika lutut ditekuk dalam posisi berdiri.

c. Participation Restriction

Participation restriction, suatu keterbatasan seseorang dalam melakukan

aktivitas fungsionalnya berhubungan dengan individu lain atau

komunikasi. Hal itu dikarenakan gangguan dari impairment dan fungsional

limitation.

Aktifitas keseharian penderita Post Op Acl yang berhubungan dengan kaki

akan terganggu, seorang mahasiswa tidak bisa pergi mengikuti kegiatan baik

didalam atau diluar kampus.

2.14 Modalitas Fisioterapi

2.14.1 Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation adalah intervensi fisioterapi

yang bekerja dengan memblok nyeri di sekitar bagian cedera menggunakan tenaga

listrik kekuatan rendah yang dialirkan melalui elektroda yang ditempelkan pada

area nyeri. Arus listrik pada TENS dapat menstimulus sel neuron sensory dengan

diameter luas agar masuk ke dalam gerbang disubtansia gelatinosa untuk

mencegah sel nociceptor yang berdiameter lebih kecil untuk menyampaikan

informasi ke otak sehingga rangsangan nyeri tidak disalurkan ke otak dan nyeri

dapat berkurang (Santoso & Lesmana, 2018). Pengaplikasian TENS dapat

dilakukan dengan menempelkan panel yang bermuatan positif (+) dan negative (-)

pada arah horizontal dan vertikal dari titik nyeri pada area lutut sehingga kedua
31

elektroda yang dihubungkan pada bagian nyeri akan dialiri implus listrik yang

akan menjalar pada serabut saraf sehingga rangsangan nyeri berkurang (Santoso

2018).

a. Indikasi TENS

Adapun indikasi dari trancutaneous electrical nerve stimulation

antara lain sebagai berikut (Hayes & Hall, 2015):

1) Osteoarthritis

2) Rheumatoid arthritis

3) Keluhan nyeri mofasial servikal dan trigger point

4) Nyeri akut dan kronis

5) Hipertonik atau spastic

6) Kelumpuhan/kelemahan otot

b. Kontraindikasi TENS

Adapun kontra indikasi dari trancitaneous electrical nerve

stimulation antara lain sebagai berikut (Hayes & Hall, 2015):

1) Kehamilan

2) Penyakit arteri

3) Pembentukan thrombus

4) Infeksi akut

5) Gangguan sensibilitas
32

2.14.2 Terapi Latihan

Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan menggunakan

gerak tubuh baik secara active maupun passive untuk pemeliharaan dan perbaikan

kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas,

stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional.

Pemberian terapi latihan baik secara aktif maupun pasif, baik

menggunakan alat maupun tanpa menggunakan alat dapat memberikan efek

naiknya adaptasi pemulihan kekuatan tendon, ligament serta dapat menambah

kekuatan otot, sehingga dapat mempertahankan stabilitas sendi dan menambah

luas gerak sendi.

a. Range Of Motion Exercise

Range of motion exercise adalah latihan dengan menggunakan prinsip

dasar dengan menggerakan sendi yang kaku berfungsi untuk memperbaiki

tingkat kemampuan mobilitas sendi dan jaringan lunak sehingga mampu

meningkatkan tonus otot dan masa otot untuk meminimalkan kontraktur.

Latihan ROM dapat dilakukan dengan gerakan aktif maupun pasif.

Kontraindikasi ROM exercise dilakukan dengan memperhatikan ketepatan

sehingga dapat mencegah timbulnya peradangan (Gasibat & Jahan, 2018).

Latihan aktif dan pasif sebagai pencegahan terjadinya disfungsi pada

sendi, melindungi lingkup gerak sendi dan melancarkan aliran darah secara

maksimal yang berdampak pada berkurangnya nyeri pada pasien

(Pramudiana & Pristianto, 2022). Bentuk Latihan ROM pasca rekonstruksi

Anterior Cruciate Ligament yang diberikan berupa:


33

1) Mobilisasi Patella

Latihan mobilisasi patella adalah latihan yang dilakukan untuk

mengurangi nyeri dan jaringan parut pada sekitar lutut serta

meningkatkan ROM saat menekuk lutut. Latihan ini dilakukan

secara pasif dengan posisi supine lying luruskan tungkai, kemudian

gerakan patella kearah horizontal (kanan-kiri) dan vertical

(naikturun) secara maksimal.

2) Heel Slide

Latihan heel slide merupakan latihan yang dilakukan untuk

meningkatkan ROM sendi lutut. Gerakan ini dilakukan dengan posisi

pasien tidur terlentang dan tungkai lurus kemudian gerakan fleksi

secara perlahan-lahan sampai batas toleransi pasien.

b. Strengthening Exercise

Strengthening exercise yaitu latihan yang digunakan untuk

meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional pasca rekontruksi

Anterior Cruciate Ligament (ACL) secara isometrik dan isotonik melalui

kontraksi otot. Latihan ini dapat mempercepat laju metebolisme,

peningkatan kepadatan tulang, membangun kembali jaringan otot yang

hilang. Pasca operasi ACL mengakibatkan melemahnya otot pada sendi

lutut terutama pada kelompok otot quadriceps (Maralisa & Lesmana,

2020). Latihan penguatan sangat penting untuk activasi otot pada lutut

yang lemah paska rekonstruksi ACL. Latihan Strengthening dapat

menyebabkan peningkatan jumlah serabut otot (myosin dan filament actin


34

yang penting dalam proses kontraksi otot) dan sarkomer sehingga saat

terjadi pembentukan serabut otot baru yang dapat meningkatkan kekuatan

otot (Thomas et al., 2017). Latihan strengthening yang dapat diberikan

yaitu quaridriset exercise, hamstringset exercise maksimal bantalan ke

bawah sehingga otot quadriceps berkontraksi.

c. Hamstringset Exercise

Hamstring exercise dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot

hamstring dan kemampuan fungsional pasca ACL rekontruksi. Latihan ini

menyebabkan peningkatan motor unit recruitment yang mengaktivasi

badan golgi sehingga otot bekerja maksimal saat kontraksi otot sehingga

terjadi peningkatan komponen serabut otot hamstring. Gerakan dilakukan

dengan posisi duduk bersandar dengan posisi tungkai fleksi knee 90 minta

pasien untuk menekan tumit ke bawah tarik ke belakang secara maksimal

sehingga otot hamstring berkontraksi.


BAB III
PELAKSANAAN STUDI KASUS

3.1 Pengkajian Fisioterapi

Assesment

Pemeriksaan merupakan komponen penting dalam manajemen

penatalaksanaan fisioterapi. Pemeriksaan adalah proses yang berkelanjutan yang

diambil setiap dan selama intervensi fisioterapi. Pemeriksaan ini menjadi begitu

penting karena sedikitnya ada 3 alasan pokok, yaitu: (1) Dapat mengidentifikasi

masalah pasien yang akan diintervensi oleh fisioterapis, (2) Dapat

mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada pasien dari waktu ke waktu, (3)

Memberikan motivasi pada pasien dan memberikan informasi tentang efektivitas

terapi yang berguna untuk menentukan manajemen penatalaksanaan fisioterapi

selanjutnya. Langkah – langkah pemeriksaan meliputi :

3.1.1 Anamnesis

Anamnesis merupakan cara pengumpulan data dengan Tanya jawab antara

terapis dengan sumber data. Dalam pelaksanaannya anamnesis terdapat dua cara,

yaitu: autoanamnesis dan heteroanamnesis. Pada kasus ini dilaksanakan

heteroanamnesis dimana terapis bertanya kepada orang tua pasien. Dari hasil

anamnesis diperoleh data :

1. Anamnesis Umum:

Pada anamnesis umum ini membuat tentang identitas pasien. Data yang

diperoleh yaitu :

35
36

Nama : Ahmad Fariz Rivaldi Harahap

Umur : 21 Tahun

Jenis Kelamin : Laki Laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Perumahan Denai

No. Cm : 080830

2. Anamnesis Khusus

Anamnesis khusus meliputi hal-hal yang berkaitan dengan keadaan/ penyakit

pasien. Data yang diperoleh :

a. Keluhan utama : Pasien mengeluh rasa nyeri pada lutut bagian kanan

b. Riwayat penyakit sekarang : pada 5 bulan yang lalu pasien bermain futsal

dan jatuh pada posisi kaki tidak menapak serta lutut menekuk dan disertai

bunyi, pasien pernah melakukan pijet (kusuk) pada sekitar seminggu

setelah kejaidan namun tidak ada perubahan, psien lalu memeriksa

kondisinya di rs putri hijau dan dianjurkan untuk melakukan operasi ACL

sekitar 3 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan nyeri bertambah ketika

posisi berdiri dan berkurang ketika istirahat atau duduk, hingga px dirujuk

ke poli fisioterapi untuk dilakukan terapi sampai sekarang.

c. Riwayat dahulu :

Hipertensi (-)

Trauma (-)
37

d. Riwayat pribadi :

Px seorang seorang mahasiswa aktif dan kesehariannya kekampus

e. Riwayat keluarga :

Tidak ada keluarga yang sama mempunyai penyakit seperti ini

3. Anamnesis sistem

Anamnesis sistem dilakukan untuk memperoleh data mengenai sistem

tubuh. Hasil yang diperoleh:

1.Kepala dan Leher : px tidak ada keluhan pusing atau kaku pada leher

2.Kardiovaskuler : Px tidak ada keluhan jantung berdebar-debar

3.Respirasi : Px tidak ada keluhan sesak nafas dan batuk

4.Gastrointesnital : Tidak ada keluhan sulit BAB

5.Uroginetalis : Tidak ada keluhan sulit BAK

6.Muskuloskeletal : Adanya rasa nyeri pada sekitar lutut bagian kanan

7.Nervorum : Nyeri menjalar hingga ketelapak kaki kanan

3.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk melengkapi anamnesis dan yang termasuk dalam

pemeriksaan fisik pada kasus Post op acl antara lain :

A. Pemeriksaan Fisik

1.Tekanan darah : 120/80 Mmhg

2.Denyut nadi : 84x/ Menit

3.Pernafasan : 25x/Menit

4.Temperatur : 36ºC

5.Tinggi badan : 175 Cm


38

6.Berat badan : 60 Kg

7.Golongan darah :A

B. Inspeksi :

1) Statis

- px dating menggunakan alat bantu kruk

- px tampak menahan nyeri pada saat berjalan

2) Dinamis

- px kesulitan menggerakkan kaki kanannya

C. Palpasi :

- Tidak ada oedem

- Suhu local kaki kanan dan kiri sama

- Adanya nyeri tekan pada lutut kanan

D. Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

E. Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

F. Pemeriksaan gerak dasar


1) Pemeriksaan gerak aktif

pada knee pasien mampu digerakkan fleksi dan ekstensi, secara aktif,

namun tidak full ROM, adanya nyeri.

2) Pemeriksaan gerak pasif

pada knee pasien mampu melakukan fleksi dan ekstensi secara pasif tidak

full ROM, adanya nyeri, dan end feelnya soft.


39

3) Pemeriksaan gerak isometrik melawan tahanan

Pada knee pasien mampu digerakkan fleki ekstensi secara aktif melawan

tahanan, tidak full ROM, adanya nyeri pada saat melawan tahanan

terutama saat gerakan fleksi.

G. Kognitif, intrapersonal dan interpersonal

- Kognitif : Pasien mampu menjelaskan tentang awal mula sakitnya.

- intrapersonal : Pasien mempunyai motivasi yang tinggi untuk sembuh.

- Interpersonal : Pasien mampu berkomunikasi dengan baik.

H. Kemampuan fungsional dan lingkungan aktifitas

a. Fungsional dasar : Pasien mampu bangun dari tidur ke duduk, mampu

berdiri disertai nyeri.

b. Fungsional aktivitas : Pasien belum mampu melakukan aktivitas secara

mandiri

c. .Lingkungan aktivitas : Lingkungan fisioterapi sangat mendukung proses

kesembuhan pasien, lingkungan rumah sangat mendukung proses

kesembuhan pasien.

3.1.3 Pemeriksaan Spesifik untuk FTA/FTB/FTC/FTD/FTE

Pemeriksaan spesifik adalah memeriksa hal-hal yang perlu untuk

menegakan diagnose ataupun dasar penyusunan problematika, tujuan dan tindakan

fisioterapi pemeriksaan ini antara lain:

1. Lachman Tes

Lachman test dilakukan dengan posisi pasien terlentang. Lutut yang

terluka ditekuk menjadi 30 derajat. Caranya menempatkan 1 tangan dibelakang


40

tibia dengan ibu jari pemeriksa pada tuberculum tibialis dan tangan

lainnya pada paha bawah pasien. Selanjutnya tibia ditarik kedepan dan

dibandingkan dengan lutut yang tidak cedera.

Peningkatan gerakan anterior tibialis relatif terhadap tulang paha tanpa

titik akhir yang jelas dibandingkan dengan pemerikasaan lutut yang tidak cedera,

sehingga menunjukkan ACL yang robek atau cedera. Lachman test merupakan tes

yang digunakan untuk melihat pergeseran antara tungkai atas dan bawah yang

menunjukkan ketidakstabilan lutut. Hasilnya (+)

2. Anterior Drawer Test

Anterior drawer test juga dilakukan dengan posisi pasien terlentang

dengan lutut fleksi 90 derajat. Pemeriksa memegang tibia tepat dibawah lutut,

dengan ibu jari pemeriksa ditempatkan pada kedua sisi tendon patella. Caranya

tibia ditarik kedepan sehingga akan dapat dibandingkan dengan kaki yang

berlawanan atau tidak cedera bahwa akan terjadi translasi dari anterior tibialis.

Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa adanya robekan ACL. Hasilnya (-).

3. Pivot Test

Pivot test dilakukan dengan pasien pada posisi terlentang dan posisi lutut

ekstensi. Pemeriksa menekan sisi lateral lutut sementara secara bertahap

melenturkan lutut pasien. Sebuah “bunyi” memberiakan gejala yang terjadi pada

bagian tibia yang subluksasi kebagian femur atau tulang paha yang menunjukkan

adanya cedera ACL. Pivot test jarang dilakukan karena memberikan rasa sakit

pada daerah sekitar lutut. Hasilnya (+).


41

4. Pengukuran nyeri dengan VAS

Tabel 3.1 Skala Pengukuran Nyeri Dengan Vas

Nyeri Nilai

Nyeri Diam 4

Nyeri Tekan 8

Nyeri Gerak 8

Keterangan :

Skala nyeri 0 : Tidak terasa nyeri.

Skala nyeri 1-3 : Nyeri ringan seperti gatal, kesetrum, nyut-nyutan,perih.

Skala nyeri 4-6 : Nyeri sedang seperti kram, kaku, terbakar, ditusuk-tusuk.

Skala nyeri 7-9 : Nyeri berat namun masih dapat dikontrol oleh pasien.

Skala nyeri 10 : Nyeri berat yang tidak dapat dikontrol pasien.

5. Pengukuran LGS dengan Goniometer

Tabel 3.2 Pengukuran LGS dengan Goniometer

Gerakan Nilai

Flexi knee dx 60

Ekstensi knee dx 0
42

6. Pemeriksaan kekuatan otot dengan MMT Gerak Pasif

Tabel 3.3 Pemeriksaan kekuatasn otot dengan MMT

Otot Nilai

Flexor knee dx 3

Ekstensor knee dx 3

Keterangan

Nilai 0: paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot

Nilai 1: kontaksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot,

dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakan sendi.

Nilai 2: otot hanya mampu mengerakkan persendian tetapi kekuatannya

tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.

Nilai 3: dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh

gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan pemeriksa.

Nilai 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan

otot terhadap tahanan yang ringan.

Nilai 5: kekuatan otot normal.


43

7. Pemeriksaan Kemampuan Fungsional Dengan Skala Jette

Tabel 3.4 Pemeriksaan Kemampuan Fungsional Dengan Skala Jette

Gerakan Nyeri Kesulitan Ketergantungan

Jongkok ke berdiri 3 3 3

Naik turun tangga 2 trap 3 3 3

Jalan 6 meter 2 1 2

berdasarkan dari hasil pemeriksaan kemampuan fungsional

menggunakan skala jette pada aktivitas jongkok ke berdiri terdapat nyeri

dengan nilai nyeri ringan, kesulitan dengan nilai agak mudah, dan

ketergantungan dengan dengan nilai tanpa bantuan alat. Sedangkan pada

aktivitas naik tangga 2 trap terdapat nyeri dengan nilai nyeri ringan, kesulitan

dengan nilai agak mudah, dan ketergantungan dengan nilai tanpa bantuan alat.

Saat aktivitas berjalan 6 meter tidak terdapat nyeri, kesulitan dengan nilai

mudah,dan ketergantungan dengan dengan nilai tanpa bantuan alat.

3.2 Interprestasi Data/ Diagnosis Fisioterapi

1) Impairment (Karakteristik gangguan fungsional)

- Adanya nyeri gerak tekan dan diam pada m. quadriceps

- Adanya penurunan kekuatan otot

- Adanya penurunan luas gerak sendi

- Adanya penurunan kemampuan fungsional


44

2) Fungsional Limitation (Karakteristik Gangguan Fungsi)

- Pasien merasakan nyeri ketika ingin berdiri dari posisi duduk

- Pasien belum bisa berlari

- Pasien merasakan nyeri ketika lutut ditekuk dalam posisi berdiri

3) Participation Retriction (Keterbatasan Sosialisasi Lingkungan)

- Pasien kesulitan untuk mengikuti kegiatan di lingkungan sekitar rumah

3.3 Program/ Rencana Fisioterapi

1) .Tujuan Fisioterapi

a. Tujuan Jangka Pendek :

- Mengurangi nyeri

- Meningkatkan luas gerak sendi

- Meningkatkan kekuatan otot

- Meningkatkan Kemampuan Fungsional

b. Tujuan Jangka Panjang :

- Melanjutkan tujuan jangka pendek

- Meningkatkan aktivitas gerak fungsional seoptimal mungkin

2) Tindakan Fisioterapi

a. Teknologi Fisioterapi

1. Teknologi alternative

- IR

-TENS

- SWD

- ULTRASOUND
45

- MASSAGE

- TERAPI LATIHAN

2. Teknologi terpilih

- TENS

- Terapi latihan

b. Evaluasi

- Evaluasi nyeri dengan VAS

- Evaluasi luas gerak sendi dengan Goniometer

- Evaluasi kekuatan otot dengan MMT

3.4 Pelaksanaan Terapi

1) Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

a. Persiapan alat : Pastikan terhubung arus listrik

b. Persiapan pasien : Tidur terlentang diatas bed senyaman mungkin

Pelaksanaan alat : Letakkan elektroda pada area yang sakit, menggunakan

frekuensi 200, waktu 15 menit dan atur intensitas sampai merasakan adanya

rangsangan berupa getaran yang nyaman atau sesuai toleransi pasien.


46

Gambar 3.1 Penatalaksanaan TENS

2) Terapi latihan

a. Heel slide

Pasien melakukan gerakan fleksi secara perlahan-lahan hingga batas

ketidaknyamanan (rasa nyeri) yang dialami pasien, pertahankan posisi

tersebut selama 10 detik, dilakukan sebanyak 3 set dengan 10 repetisi di

setiap set dengan jeda istirahat per set adalah 10 detik.


47

Gambar 3.2 latihan Heel Slide

b. Mobilisasi patella

Posisi pasien tidur telentang dengan tungkai diusahakan lurus dan

relaks (tanpa ada rasa nyeri dari pasien), kemudian terapis menggerakkan

patella ke arah vertikal (naik-turun) dan ke arah horizontal (kanan-kiri)

secara maksimal. Gerakan ini dilakukan sebanyak 3 set dengan 10 repetisi

di setiap set tanpa adanya jeda istirahat.


48

Gambar 3.3 Latihan Mobilisasi Patela


c. Hamstring exercise

Posisi pasien terlentang dan tungkai dalam keadaan fleksi, kemudian

pasien diminta untuk mengkontraksikan otot hamstring secara maksimal,

dilakukan dalam 3 set dengan 10 repetisi pada setiap set dengan istirahat

istirahat per set 1o detik.

Gambar 3.4 Latihan Hamstring


49

3.5 Evaluasi

1. Nyeri dengan VAS

Tabel 3.4 Evaluasi Nyeri Dengan VAS

Jenis nyeri T1 T2 T3 T4 T5 T6

Nyeri diam 4 4 4 2 2 2

Nyeri tekan 8 8 8 6 4 4

Nyeri gerak 8 8 6 6 6 4

2. Pemeriksaan LGS dengan Goniometer

Tabel 3.5 Evaluasi LGS Dengan Goniometer

Gerakan T1 T2 T3 T4 T5 T6

Fleksi 0’- 0’- 0’- 0’- 0’- 0’-

knee dx 0’60’ 0’-60’ 0’-70’ 0’-70’ 0’-80’ 0’-90’

Ekstensi 0’-0’- 0’- 0’- 0’- 0’- 0’-

knee sx 0’ 0’- 0’ 0’-0’ 0’-0’ 0’-0’ 0’-0’


50

3. Pemeriksaan kekuatan otot dengan MMT

Tabel 3.6 Evaluasi Kekuatan Otot Dengan MMT

Otot T1 T2 T3 T4 T5 T6

Fleksor 3 3 3 4 4 4

knee dx

Ekstensor 3 3 3 4 4 4

knee dx

4. Pemeriksaan Kemampuan fungsional Menggunakan Skala Jette

Tabel 3.7 Evaluasi Kemampuan Fungsional Dengan Skala Jette

Bentuk Aktivitas T1 T2 T3 T4 T5 T6

Jongkok ke berdiri

1. Nyeri 3 3 3 3 2 2

2. Kesulitan 3 3 2 2 2 1

3. Ketergantungan 3 3 2 2 2 1

Jalan 6 meter

1. Nyeri 2 2 2 2 1 1

2. Kesulitan 1 1 1 1 1 1

3. Ketergantungan 2 2 2 1 1 1
51

Naik turun tangga

1. Nyeri 3 3 2 2 2 2

2. Kesulitan 3 3 2 3 2 1

3. Ketergantungan 3 3 2 2 2 1

Jumlah 23 23 18 18 15 11

3.6 Edukasi

- Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan yang sudah diajarkan oleh terapis.

- Pasien dianjurkan untuk menghindari naik turun tangga

- Pasien dianjurkan untuk memperbaiki postur


BAB IV
PEMBAHASAHAN KASUS

4.1 Pembahasan Hasil

Pasien yang bernama AFRH berusia 21 tahun dengan diagnose post of acl

dextra dengan problematika fisioterapi yang ditemukan adalah adanya nyeri tekan

dan nyeri gerak pada lutut, adanya penurunan luas gerak sendi, adanya penurunan

kekuatan otot. Setelah dilakukan intervensi fisioterapi sebanyak 6 kali dengan

modalitas fisioterapi Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation dan Terapi

Latihan didapatkan hasil yang signifikan. Perkembangan intervensi fisioterapi

tersebut dapat dinilai dari evaluasi awal terapi sampai akhir terapi. Hasilnya dapat

dilihat dalam grafik tersebut

4.1.1 Penurunan Nyeri

10

6 Diam

4 Tekan
Gerak
2

0
T1 T2 T3 T4 T5 T6
.

Grafik 4.1 pengukuran nyeri dengan VAS

52
53

Pengukuran nyeri menggunakan VAS. Evaluasi dari pemeriksaan awal

sampai akhir terapi diperoleh data sebagai berikut :

Pada terapi pertama T1 nyeri diam yaitu 4 kemudian pada T2 nyeri diam

tetap 4 kemudian T3 nyeri diam tetap 4 kemudian T4 nyeri diam berkurang

menjadi 2 sampai T6. T1 nyeri tekan yaitu 8 kemudian T2 tetap 8 kemudian T3

berkurang menjadi 6 kemudian T4 tetap 6 kemudian T5 nyeri tekan berkurang

menjadi 4 sampai T6. T1 nyeri gerak yaitu 8 kemudian pada T2 tetap 8 kemudian

T3 tetap 8 kemudian T4 nyeri gerak berkurang menjadi 6 kemudian pada T5 tetap

6 kemudian T6 berkurang menjadi 4.

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation adalah intervensi fisioterapi

yang bekerja dengan memblok nyeri di sekitar bagian cedera menggunakan tenaga

listrik kekuatan rendah yang dialirkan melalui elektroda yang ditempelkan pada

area nyeri. Arus listrik pada TENS dapat menstimulus sel neuron sensory dengan

diameter luas agar masuk ke dalam gerbang disubtansia gelatinosa untuk

mencegah sel nociceptor yang berdiameter lebih kecil untuk menyampaikan

informasi ke otak sehingga rangsangan nyeri tidak disalurkan ke otak dan nyeri

dapat berkurang (Santoso & Lesmana, 2018). Pengaplikasian TENS dapat

dilakukan dengan menempelkan panel yang bermuatan positif (+) dan negative (-)

pada arah horizontal dan vertikal dari titik nyeri pada area lutut sehingga kedua

elektroda yang dihubungkan pada bagian nyeri akan dialiri implus listrik yang

akan menjalar pada serabut saraf sehingga rangsangan nyeri berkurang (Santoso

2018).
54

4.1.2 Peningkatan Lingkup Gerak Sendi

100
80
60
ekstensi
40
Fleksi
20
0
T1 T2 T3 T4 T5 T6

Grafik 4.2 pengukuran LGS dengan goniometer

Pengukuran luas gerak sendi menggunakan goniometer. Evaluasi dari

pemeriksaan awal sampai akhir terapi diperoleh data sebagai berikut :

Pada terapi pertama LGS ketika flexi yaitu 60, kemudian pada T2 tetap 60

kemudian T3 bertambah menjadi 70, kemudian pada T4 tetap 70 kemudian T5

bertambah menjadi 80 dan pada T6 bertambah menjadi 90.

Meningkatnya luas gerak sendi pada knee dari T1 sampai T6, Terapi

latihan digunakan untuk meningkatkan Luas gerak sendi. Range Of Motion

exercise adalah latihan dengan menggunakan prinsip dasar dengan menggerakan

sendi yang kaku berfungsi untuk memperbaiki tingkat kemampuan mobilitas

sendi dan jaringan lunak sehingga mampu meningkatkan tonus otot dan masa otot

untuk meminimalkan kontraktur.


55

Latihan ROM dapat dilakukan dengan gerakan aktif maupun pasif

kontraindikasi ROM exercise dilakukan dengan memperhatikan ketepatan

sehingga dapat mencegah timbulnya peradangan (Gasibat & Jahan, 2018).

Latihan aktif dan pasif sebagai pencegahan terjadinya disfungsi pada

sendi, melindungi lingkup gerak sendi dan melancarkan aliran darah secara

maksimal yang berdampak pada berkurangnya nyeri pada pasien (Pramudiana &

Pristianto, 2022) Adanya kelemahan otot quadriceps harus dikuatkan guna

menstabilkan lutut. Selain itu lingkup gerak sendi harus segera di perbaiki dengan

peningkatan lingkup gerak sendi lutut. Terapi latihan dilakukan agar dapat

mengembalikan fungsi tubuh (Amin, 2018).

4.1.3 Peningkatan Kekuatan Otot

5
4
3
Flexor
2
Ekstensor
1
0
T1 T2 T3 T4 T5 T6

Grafik 4.3 pengukuran kekuatan otot dengan MMT

Pengukuran kekuatan otot menggunakan MMT. Evaluasi dari pemeriksaan

awal sampai akhir terapi diperoleh data sebagai berikut :

Pada terapi pertama T1 kekuatan otot ketika flexor ekstensor didapatkan hasil

dengan nilai 3 kemudian pada T2 tetap 3 kemudian pada T3 tetap 3 kemudian


56

pada T4 kekuatan otot ketika fleksor ekstensor bertambah dengan nilai yaitu 4

sampai T6 tetap menjadi 4.

Meningkatnya kekuatan otot pada pasien dari T1 sampai T6, Terapi latihan

digunakan untuk meningkatkan otot. Strengthening excrcise yaitu latihan yang

digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot pasca rekontruksi Anterior Cruciate

Ligament (ACL) secara isometrik dan isotonik melalui kontraksi otot. Latihan ini

dapat mempercepat laju metebolisme, peningkatan kepadatan tulang, membangun

kembali jaringan otot yang hilang. Pasca operasi ACL mengakibatkan

melemahnya otot pada sendi lutut terutama pada kelompok otot quadriceps

(Maralisa & Lesmana, 2020). Latihan penguatan sangat penting untuk activasi

otot pada lutut yang lemah paska rekonstruksi ACL. Latihan Strengthening dapat

menyebabkan peningkatan jumlah serabut otot. (Thomas et al., 2017).

4.1.4 Peningkatan kemampuan Fungsional

Tabel 4.1 pengkuran kemampuan fungsional dengan skala jette

Bentuk Aktivitas T1 T2 T3 T4 T5 T6

Jongkok ke berdiri

4. Nyeri 3 3 3 3 2 2

5. Kesulitan 3 3 2 2 2 1

6. Ketergantungan 3 3 2 2 2 1

Jalan 6 meter

4. Nyeri 2 2 2 2 1 1

5. Kesulitan 1 1 1 1 1 1
57

6. Ketergantungan 2 2 2 1 1 1

Naik turun tangga

4. Nyeri 3 3 2 2 2 2

5. Kesulitan 3 3 2 3 2 1

6. Ketergantungan 3 3 2 2 2 1

Jumlah 23 23 18 18 15 11

Peningkatan kemampuan fungsional pada pasien dari T1 sampai T6,

dengan menggunakan terapi latihan dapat meningkatkan kemampuan fungsional

pada pasien. Kemampuan fungsional pada lutut dapat diukur menggunakan skala

jette.

Hal-hal yang dinilai dalam pemeriksaan status fungsional jette meliputi:

(1) berdiri dari posisi duduk, (2) berjalan 15 meter dan (3) naik tangga 2 trap.

Interpretasi nilai berdasarkan tingkat nyeri dari aktivitas yang dilakukan yaitu: (1)

Tidak nyeri, (2) Nyeri ringan, (3) Nyeri sedang, dan (4) Sangat nyeri. Interpretasi

nilai berdasarkan tingkat kesulitan dari aktivitas yang dilakukan yaitu: (1) Sangat

mudah, (2) Agak mudah, (3) Tidak mudah atau tidak sulit, (4) Agak sulit, dan (5)

Sangat sulit. Sedangkan interpretasi nilai berdasarkan tingkat ketergantungan dari

aktivitas yang dilakukan yaitu: (1) Tanpa bantuan (2) Butuh bantuan dengan alat,

(3) Butuh bantuan orang, (4) Butuh batuan orang dan alat, dan (5) Tidak dapat

melakukan (Aji,2014).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Cidera anterior cruciate ligament (ACL) merupakan kondisi dimana terjadi

peregangan atau bahkan robeknya ligament ACL.. ACL merupakan salah satu liga

ment pada persendian lutut yang berfungsi untuk stabilisasi sendi lutut dan

menghubungkan tulang paha dengan tulang kering pada persendia lutut.

Anterior cruciatum ligament (ACL) sering mengalami cidera pada

olahraga hight impact pada gerakan sepak bola dengan gerakan berputar atau

pivot dan berbelok tiba-tiba atau lompatan yang menyebabkan tumpuan pada

lutut. Anterior cruciatum ligament (ACL) juga dapat mengalami cidera pada

waktu jatuh dengan posisi tungkai bawah atau tibia terdorong kebelakang

terhadap tulang paha atau femur seperti pada waktu jatuh akibat tekel sepak bola

dan kecelakaan lalu lintas

Sesuai dengan permasalahan fisioterapi yang ditemukan, manajemen

fisioterapi di Post OF ACL dextra bertujuan untuk (1) mengurangi nyeri (2)

meningkatkan jangkauan gerak sendi (3) meningkatkan kekuatan otot. Modalitas

fisioterapi yang diberikan pada kondisi Post ACL berupa Transcutaneous

Electrical Nerve Stimulation dan terapi latihan dimulai dari T1-T6 dan sesuai

dengan hasil yang dicapai terbukti ada pengaruhnya terhadap proses

penyembuhan Post ACL dextra.

58
59

5.2 Saran

Pada kasus Post of acl setelah dilakukan tindakan fisioterapi telah

memberikan hasil yang cukup baik yang dimana pelaksanaannya sangat

membutuhkan kerja sama antara terapis dengan keluarga penderita dan bekerja

sama dengan tim medis lainnya, agar tercapai hasil pengobatan yang maksimal.

Selain itu hal-hal yang harus diperhatikan antara lain :

a. Bagi penderita disarankan untuk melakukan dan melanjutkan terapi secara

rutin, serta melakukan latihan-latihan yang sudah di ajarkan terapis sesuai

dengan modalitas fisioterapi yang tepat dan efektif untuk penderita.

b. Bagi fisioterapishendaknya benar-benar melakuka tugasnya secara

professional yaitu melakukan pemeriksaan dengan teliti sehingga dapat

menegakkan diagnosa, menentukan problematika dan menentukan tujuan

terapi yang tepat untuk menentukan modalitas fisoiterapi yang tepat dan

efektif bagi penderitac. Bagi dokter / tim medis disarankan, jika ada pasien

dengan kondisi post of acl hendakmya segera di rujuk ke fisioterapi untuk

segera mungkin mendapatka penanganan dan saling kerja sama demi

kesembuhan pasien.

c. Bagi keluarga pasien disarankan agar terus berpartisipasi dalam

mengawasi kesembuhan pasien.

d. Bagi masyarakat disarankan jika mengalami keluhan dilutut yang tidak

kunjung sembuh segera memeriksakan diri ke dokter karena ditakutkan

timbulnya masalah baru dan dapat memperparah keluhan.


DAFTAR PUSTAKA

Abulhasan, J., & Grey, M. (2017). Anatomy and Physiology of Knee Stability.
Journal of Functional Morphology and Kinesiology, 2, 34.
https://doi.org/10.3390/jfmk2040034.
Amin, A. A., Amanati, S., & Novalda, W. (2018). Pengaruh Terapi Latihan,
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation dan Kinesiology Taping
pada Post Rekontruksi Anterior Cruciatum Ligament. Jurnal Fisioterapi
dan Rehabilitasi, 2(2). DOI: https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v2i2.
Andrews, K., Lu, A., Mckean, L., & Ebraheim, N. (2017). Review: Medial
Collateral Ligament Injuries. Journal of orthopaedics, 14(4), 550–554.
https://doi.org/10.1016/j.jor.2017.07.017.
Boro, Zeth, & Cahyani, N. (2016). Penatalaksanaan Cedera Tendinitis Patella
Pada Atlet Bulutangkis. Jurnal Olahraga Prestasi, 12(2).
https://doi.org/10.21831/jorpres.v12i2.11876
Chang-Ik Hur, Eun-Kyoo Song and Jong-Keun Seon (2017). Early anterior
cruciate ligament reconstruction can save meniscus without any
complications. Indian Journal of Orthopaedics. 51 (2), 168-173.
Décary, S., Fallaha, M., Belzile, S., Martel-Pelletier, J., Pelletier, J. P., Feldman,
D., Sylvestre, M. P., Vendittoli, P. A., & Desmeules, F. (2018). Clinical
Diagnosis of Partial or Complete Anterior Cruciate Ligament Tears
Using Patients' history Elements and Physical Examination Tests. PloS
one, 13(6), e0198797. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0198797.
Domnick, C., Raschke, M., & Herbort, M. (2016). Biomechanics of the Anterior
Cruciate Ligament: Physiology, Rupture and Reconstruction Techniques.
World Journal of Orthopaedic, 7(2), 82- 93. DOI: 10.5312/wjo.v7.i2.82
Dyah Ayu Woro Setyaningrum, Cedera Olahraga Serta Penyakit Terkait Olahraga
(2019). Jurnal Biomedika Dan Kesehatan. 2(1), 39-44
Fajari, ahmad al, Amanati, S., & Novalanda, W. (2018). Pengaruh Terapi Latihan
, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation Dan Kinesiology Taping.
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi. 2 (2), 115-124.
Fukuda, T. Y., Fingerhut, D., Moreira, V. C., Camarini, P. M. F., Scodeller, N. F.,
Duarte, A., Martinelli, M., & Bryk, F. F. (2013). Open kinetic chain
exercises in a restricted range of motion after anterior cruciate ligament
reconstruction: A randomized controlled clinical trial. American Journal
of Sports Medicine, 41(4), 788–794.
https://doi.org/10.1177/0363546513476482

60
Gans et al (2017) Epidemiology of Recurrent Anterior Cruciate Ligament Injuries
in National Collegiate Athletic Association Sports. Orthopedic journal of
sports medicine 6 (6), 2325967118777823.
Haddad, M. A., Budich, J. M., & Eckenrode, B. J. (2016). Conservative
Managemant of An Isolated Grade III Lateral Collateral Ligament Injury
in An Adolescent Multi-Sport Athlete: A Case Report. International
Journal of Sports Physical Therapy, 11(4), 596–606.
Indonesia KKR. (2018) Potret Sehat Indonesia dari Riskesdas 2018.
http://www.depkes.go.id/article/view/18110200003/potret-sehat-
indonesia- dari-riskesdas-2018.html Diakses 23 Agustus 2022
Kiapour, A., & Murray, M. (2014). Basic Science of Anterior Cruciate Ligament
Injury and Repair. Bone & joint research 3(2), 20-31.
Jeffrey D Hassebrock, Matthew T Gulbrandsen, Walker L Asprey, Justin L
Makovicka, Anikar Chhabra, (2020) Knee ligament anatomy and
biomechanics. Sports medicine and arthroscopy review 28 (3), 80-86
Pamela J Lang, Dai Sugimoto, and Lyle J Micheli (2017). Prevention, treatment,
and rehabilitation of anterior cruciate ligament injuries in children open
Access. J Sports Med 8: 133–141. doi: 10.2147/OAJSM.S133940
Paschos N.K & Howell S.M. (2016). Anterior Cruciate Ligament Reconstruction:
Principles of Treatment. EFORT open reviews 1 (11), 398-408.
Pratama, Aditya Denny. (2019). “Intervensi Fisioterapi Pada Kasus Osteoarthritis
Genu di RSPAD Gatot Soebroto.” Jurnal Sosial Humaniora Terapan
1(2), 21-34.
Quinn, . E. (2021) What is Ligament? Journal of the American Academy of
Orthopaedic Surgeons 10,5435
http://sportsmedicine.about.com/od/glossary/g/ligament.htm.

Rahmawati, L. D., & Wardhana, T. H. (2018). Demographic Profile , Clinical and


Analysis of Osteoarthritis Patients in Surabaya. Biomolecular and Health
Science Journal 1 (1), 34-39,
Santoso, I., Sari, I. D. K., Noviana, M., & Pahlawi, R. (2018). Penatalaksanaan
Fisioterapi Pada Post Op Rekonstruksi Anterior Cruciate Ligament
Sinistra Grade III Akibat Ruptur Di RSPAD Gatot Soebroto. Jurnal
Vokasi Indonesia, 6(1), 66–80. DOI:
http://dx.doi.org/10.7454/jvi.v6i1.117
Thomas Abbey C, villwock mark, wojtys Edward M, Palmieri smith riann M.
(2017). Muscle atrophy contributes to quadriceps. Journal of Science and
Medicine in Sport 19 (1), 7-11,

61
Williams, Donna .(2016). Anterior Cruciate Ligament Functional Sports
Asssessment. Jakarta : Erlangga
William E. Prentice. (2001). Rehabilitation Technique For Sports Medicine And
Athletic Training, 4th ed. New York: McGraw Hill Publications.
Rehabilitation of Sports medicine, 185-193.
Zbrojkiewicz, D., Vertullo, C., & Grayson, J. E. (2018). Increasing rates of
anterior cruciate ligament reconstruction in young Australians, 2000-
2015. The Medical Journal of Australia, 208(8), 354–358.

62
RIWAYAT HIDUP
1. DATA PRIBADI
Nama : Muhammad Reza Tarigan
Tempat /Tanggal Lahir : Lubuk Pakam / 11 Januari 2002
Agama : Islam
Email : ezaachmad7@gmail.com
Alamat : Dusun II Bandar Labuhan

2. DATA ORANG TUA


Nama Orang Tua
Ayah : Alm. M.Saman Tarigan
Ibu : Ratnawati Br Barus
Pekerjaan Orang Tua
Ayah :-
Ibu : Petani
Alamat Orang Tua : Dusun II Bandar Labuhan

3. RIWAYAT PENDIDIKAN
Pendidikan TK : TKA- Annisa Aziz Rahim
Pendidikan SD : SD Negeri 101897
Pendidikan SMP : MTS Nurul Ikhwan
Pendidikan SMA : SMA Negeri 1 Tanjung Morawa
Pendidikan Perguruan Tinggi : STIKes SITI HAJAR MEDAN
(DIII FISIOTERAPI)

Anda mungkin juga menyukai