Anda di halaman 1dari 11

Prodi Manajemen Bisnis Syariah

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam


Institut Agama Islam Negeri Kediri

LARANGAN CURANG DALAM TAKARAN DAN


SUAP MENYUAP

Dosen Pengampu :
Dr. Jamaludin Acmad
Nama anggota: Kholik, Lc. MA.

Richad Dicky Saputra Ahmad Rahid Indra Laksmana Mochammad Rezka Maulana
21403071 21403188 21403081
A. Larangan Suap Menyuap Dalam Surat At-
Takatsur

1. Surat At Takatsur ayat 1

‫ُث‬‫ا‬ ‫َك‬ ‫َّت‬‫ال‬ ‫ُم‬ ‫ُك‬‫ا‬ ‫َه‬ ‫ْل‬‫َأ‬


‫ُر‬
Artinya : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

Kata alhaakum (‫ )الهاكم‬berasal dari kata lahaa-yalhaa (‫ )لها – يلهى‬yang artinya menyibukkan diri dengan sesuatu sehingga
mengabaikan hal lain yang lebih penting. At takaatsur (‫ )التكاثر‬berasal dari kata katsrah (‫ )كثرة‬yang artinya banyak. Kata
ini menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang bersaing, semua memperbanyak. Sehingga yang satu mengaku
memiliki lebih banyak dari yang lain.
Hasan Al Basri menafsirkan, bermegah-megahan dan saling berbangga dalam ayat ini adalah dengan harta dan anak-
anak.
Sedangkan Syaikh Wahbah Az Zuhaili menafsirkan, kalian disibukkan oleh berbangga-bangga dengan harta, keturunan
dan kawan. Sibuk dengan memperbanyak hal itu memalingkan kalian dari beribadah kepada Allah dan beramal untuk
akhirat.
Surat At Takatsur ayat 2
‫َحَّتى ُزْر ُتُم اْلَم َق اِبَر‬
Artinya : “sampai kamu masuk ke dalam kubur.”

Kata zurtum (‫ )زرتم‬seakar dengan kata ziyarah (‫ )زيارة‬yang artinya


kunjungan. Memberikan isyarat yang lembut bahwa hingga mati dan
dikuburkannya manusia di dunia ini, tetap saja ia hanyalah ziyarah
(kunjungan). Kematian bukanlah akhir, justru ia awal dari kehidupan
abadi.

Kata al maqabir (‫ )المقابر‬semakna dengan maqbarah (‫ )مقبرة‬yang


artinya tempat pemakaman. Sebagian ulama berpendapat
terpilihnya kata ini agar terjadi penyesuaian bunyi akhir ayat. Namun
pendapat itu tidak memuaskan karena persesuaian juga bisa terjadi
jika menggunakan kata qubuur (‫)قبور‬.

Al-Qur’an hanya sekali menggunakan kata al maqabir. Hanya di ayat


ini. Menurut pakar bahasa Mesir, Bint asy Syaathi’, satu tempat
pemakaman disebut qabr (‫)قبر‬. Bentuk jamaknya adalah qubuur
(‫)قبور‬. Bentuk jamak dari sekumpulan qubuur adalah maqbarah
(‫)مقبرة‬. Di sini ada pelipatgandaan beruntun yang menyesuaikan
dengan kecaman memperbanyak yang dikandung dalam ayat
pertama, at takatsur.
Surat At Takatsur ayat 3
‫َك اَّل َس ْو َف َتْع َلُم وَن‬

Artinya : “Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Setelah mengecam perbuatan itu,
Allah mengingatkan agar sekali-kali jangan melakukan perbuatan berbangga-bangga dan saling berlomba
memperbanyak harta

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan, “Berbangga-bangga dan saling bermegahan itu menyebabkan saling tidka
menyapa, hasud, benci, menelantarkan amalan akhirat dan umat serta tidak memperbaiki budi pekerti. Kalian akan
mengetahui semua itu kelak pada hari kiamat.”
Surat At Takatsur ayat 4
‫ُثَّم َك اَّل َس ْو َف َتْع َلُم وَن‬

Artinya : “dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.”


Al Hasan mengatakan bahwa dalam ayat ini terkandung pengertian ancaman sesudah ancaman. Jangan sekali-kali
melakukan perbuatan berbangga-bangga dan saling berlomba memperbanyak harta. Sebab kelak kalian akan
mengetahu akibatnya.
Surat At Takatsur ayat 5

‫َك اَّل َلْو َتْع َلُم وَن ِع ْلَم اْلَي ِق يِن‬


Artinya : “Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,”
Syaikh Adil Muhammad Khalil dalam Awwal Marrah at Tadabbar al Qur’an menjelaskan, ilmul yaqin adalah Anda
mendengar sesuatu tapi tidak melihatnya. Sedangkan ainul yaqin adalah Anda melihat sesuatu dengan mata kepada
sendiri.
Ibnu Katsir menjelaskan, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang sebenarnya, niscaya kalian tidak akan
terlena dengan memperbanyak harta hingga lupa mencari pahala akhirat. Sampai kalian masuk ke kubur.
Surat At Takatsur ayat 6

‫َلَت َرُو َّن اْلَجِح يَم‬


Artinya : niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
Ibnu Katsir menjelaskan, Allah mengancam mereka dengan keadaan saat ahli neraka melihat neraka. Ketika neraka bergolak
dengan sekali golak. Maka menyungkurlah semua malaikat terdekat karena takut menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan
itu.
Surat At Takatsur ayat 7

‫ُثَّم َلَت َرُو َّنَه ا َع ْي َن اْلَي ِق يِن‬


Artinya : “dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin.”
Ainul yaqin adalah mengetahui secara yakin. Yakni karena telah melihat dengan mata kepala sendiri. Saat seseorang dimasukkan
neraka, saat itu ia benar-benar mengetahui secara yakin bahwa neraka yang selama ini dilalaikannya ternyata ada dan siap
membakar mereka.
Neraka bagi orang-orang kafir adalah tempat tinggal selamanya. Sedangkan bagi mukmin yang masuk ke sana, ia hanya tempat
tinggal sementara karena ia pasti akan Allah masukkan ke dalam surga.
Surat At Takatsur ayat 8
‫ُثَّم َلُتْس َأُلَّن َيْو َم ِئٍذ َع ِن الَّنِع يِم‬

Artinya : “kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
Kata latus’alunna (‫ )لتسألن‬berasal dari kata sa’ala (‫ )سأل‬yang digandengkan dengan huruf lam sebagai sumpah dan huruf nun
sebagai penekanan. Sa’ala sendiri berarti meminta, baik materi maupun informasi.

Bahwa semua manusia nanti di akhirat akan ditanya. Akan dimintai pertanggungjawaban. Atas segala kenikmatan yang
terangkum dalam kata an na’iim (‫)النعيم‬.
B. Larangan Suap Menyuap Dalam Surat Al-Baqarah

Surat Al-Baqarah ayat 188

Suap dalam bahasa arab diartikan dengan risywah. Secara etimologi diambil dari
konteks anak burung yang menjulurkan kepalanya kedalam mulut induknya untuk
mengambil makanan yang berada di dalam mulut induknya. Secara terminology
risywah adalah sesuatu yang diberikan kepada hakim atau seseorang yang memiliki
kekuasaan untuk memberi keputusan agar pemberi mendapatkan keputusan yang
sesuai dengan keinginannya. Pendapat ulama risywah adalah pemberiann yang
ditujukan sebagai bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.

‫َو اَل َتْأُكُلْٓو ا َاْم َو اَلُكْم َبْي َنُكْم ِباْلَباِط ِل َو ُتْد ُلْو ا ِبَه ٓا ِاىَل اْلُحَّكاِم ِلَت ْأُكُلْو ا َف ِرْيًق ا ِّم ْن َاْم َو اِل الَّناِس ِباِاْلْثِم َو َاْنُتْم َتْع َلُم ْو َن‬

Artinya : “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar
kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui.”

Pada kata ‫ َو اَل َتْأُكُلْٓو ا َاْم َو اَلُكْم َبْي َنُكْم‬memiliki makna janganlah sebagian dari kalian memakan
harta sebagian yang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan agama. ‫َو اَل َتْأُكُلْٓو ا‬
maksudnya adalah jangan mengambil atau merampas. Istilah memakan karena tujuan
harta diambil karena untuk dimakan. Mengambil harta dengan cara yang tidak
disyariaatkan memiliki dua bentuk model. Pertama, mengambil dengan cara paksa
seperti mencuri, merampas, atau sejenisnya. Kedua, meraupnya dari pekerjaan yang
dilarang seperti berjudi, dan cara-cara yang dilarang oleh syari’at.
C. Larangan Suap Menyuap Dalam Surat Al-maidah

Secara terminologis Risywah (suap) artinya pemberian yang diberikan seseorang


kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak
dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan. Hal ini sudah menjadi fenomena yang
lazim di negara kita.

Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum,
bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan
beberapa Nash Qur’aniyah dan Sunnah Nabawiyah berikut ini :

‫َو َتٰر ى َك ِث ْي ًرا ِّم ْن ُه ْم ُيَس اِرُع ْو َن ِفى اِاْلْثِم َو اْلُع ْد َو اِن َو َاْك ِلِه ُم الُّس ْحَۗت َلِبْئ َس َم ا َك اُنْو ا َيْع َم ُلْو َن‬

Artinya : “Dan kamu akan melihat banyak di antara mereka (orang Yahudi) berlomba
dalam berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sungguh, sangat buruk
apa yang mereka perbuat.”

Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah :

Wahai rasul, kamu akan melihat bahwa kebanyakan orang-orang Yahudi itu cepat-cepat
terjerumus dalam dosa, yaitu kebohongan, mengambil harta orang, berbuat zalim, dan
memakan harta haram seperti riba dan risywah (korupsi), sungguh amat buruk apa
yang mereka kerjakan itu
D. Larangan Suap Menyuap Dalam Surat Al-Muttafiqqin

‫﴾َيْو َم َيُق وُم الَّناُس ِلَرِّب اْلَع اَلِم يَن‬٥﴿ ‫﴾ِلَي ْو ٍم َع ِظ يٍم‬٤﴿ ‫﴾َأاَل َيُظ ُّن ُأوَٰل ِئَك َأَّنُه ْم َم ْب ُع وُثوَن‬٣﴿ ‫﴾َو ِإَذ ا َك اُلوُه ْم َأْو َو َزُنوُه ْم ُيْخ ِس ُروَن‬٢﴿ ‫﴾اَّلِذيَن ِإَذ ا اْك َت اُلوا َع ىَل الَّناِس َيْس َت ْو ُف وَن‬١﴿ ‫َو ْيٌل ِلْلُم َط ِّف ِف يَن‬

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta
alam (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6)

Makna muthaffifîn Kata wail ( ‫ )َو ْيٌل‬artinya adzab yang dahsyat di akherat. Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Itu adalah satu
jurang di Jahannam, tempat mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.”

Sementara kata ‫( الَّت ْط ِف يُف‬at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata ini berasal dari kata ‫ الَّط ِف ْي ُف‬yang artinya sesuatu yang sedikit.
(Pelakunya-red) disebut mutathaffif karena tidaklah ia mencuri (mengambil) milik orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan
kecuali kadar yang sedikit.

Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan
menyempurnakannya.

Allâh Azza wa Jalla langsung menafsirkan hakekat muthaffifîn (yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya, dengan
berfirman. yang artinya, “Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (al-Muthaffifîn/83:1-6)
PERINTAH MENYEMPURNAKAN TAKARAN DAN TIMBANGAN

Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama
atas dasar keadilan dan keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman

‫َو َأِقيُم وا اْلَو ْز َن ِباْلِق ْس ِط َو اَل ُتْخ ِس ُروا اْلِم يَزاَن‬

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu [ar-Rahmân/55:9].

‫َو َأْو ُف وا اْلَكْي َل َو اْلِم يَزاَن ِباْلِق ْس ِط ۖ اَل ُنَكِّلُف َنْف ًس ا ِإاَّل ُوْس َع َه ا‬

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya [al-An’âm/6:152].

Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, “Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan
timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada takaran dan timbangannya,
tidak mengapa karena tidak disengaja”.
Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. Dan sampai
sekarang, praktek ini masih menjadi karakter sebagian orang yang melakukan jual-beli, baik pedagang maupun pembeli. Dengan
mendesak, pembeli meminta takaran dan timbangan dipenuhi, dan ditambahi. Sementara sebagian pedagang melakukan hal sebaliknya,
melakukan segala tipu muslihat untuk mengurangi takaran dan timbangan guna meraup keuntungan lebih darikecurangannyaini.
Ada pertanyaan?

“Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allah


akan memberi kemudharatan kepadanya, barangsiapa yang merepotkan
(menyusahkan) seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia.”(Hadits
riwayat Abu Dawud nomor 3635,
Sekian dan terima kasih

Anda mungkin juga menyukai