Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KONSELING MULTIKULTUR

INTERVENSI BERWAWASAN BUDAYA


Dosen Pengampu: Tika Febriyani M.Pd.

Disusun Oleh:

Rifki Wardana Nasution 2111080168


Wahyu setianingrum 2111080092

KELAS B / KELOMPOK 11

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan nikmat berupa nikmat iman, ilmu, dan kesehatan
sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Intervensi
Berwawasan Budaya” dengan tepat waktu.
Terima kasih kepada miss Tika Febriyani, M.Pd selaku pengampu dosen
mata kuliah Konseling Multikultural yang telah memberikan arahan dan
bimbingan terkait pengerjaan tugas makalah ini. Tanpa bimbingan dan arahan
dari beliau mungkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini sesuai format
dan waktu yang telah ditentukan.
Terakhir kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi kebaikan penulisan makalah kedepannya. Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Bandar Lampung, April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
A. Gaya komunikasi; komunikasi nonverbal; Prapsemik; Komunikasi
Konteks Tinggi-Rendah ............................................................................. 3
B. Aspek Sosial Politik Komunikasi Nonverbal; Nonverbal sebagai
Refleksi Bias; Nonverbal sebagai Pemicu Bias dan Ketakutan ........... 12
C. Konseling dan Terapi sebagai Gaya Komunikasi; Keterampilan
Diferensial dalam Konseling/Terapi Multikultural .............................. 15

B III PENUTUP ................................................................................................ 19


A. Kesimpulan ............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia yang merupakan negara kepualauan, terbentang dari Sabang
sampai Merauke, memiliki kekayaan berbagai ragam suku bangsa dan budaya.
Keberagaman budaya yang merupakan aset dan kekayaan Indonesia ini patut
untuk dilestarikan. Keberagaman Budaya ini ternyata juga membutuhkan
pemahaman tersendiri bagi orang lain yang berasal di luar budaya tersebut.
Perbedaan Budaya menjadikan pula pemahaman dan cara tersendiri dalam
menjalin komunikasi, termasuk didalamnya dalam pemberian pelayanan
bimbingan dan konseling.
Proses Konseling merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi yang
berlangsung secara intensif antara konselor dan klien. Dipandang dari perspektif
budaya, situasi konseling adalah sebuah perjumpaan
kultural antara konselor dengan klien. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki
kepekaan budaya agar dapat memahami dan membantu klien sesuai dengan
konteks budayanya. Konselor yang demikian adalah konselor yang menyadari
benar bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan dalam
proses konseling akan membawa karakteristik tersebut.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
a. Bagaimana Gaya komunikasi; komunikasi nonverbal; Prapsemik;
Komunikasi Konteks Tinggi-Rendah?
b. Bagaimana Aspek Sosial Politik Komunikasi Nonverbal; Nonverbal
sebagai Refleksi Bias; Nonverbal sebagai Pemicu Bias dan Ketakutan;?
c. Bagaimana Konseling dan Terapi sebagai Gaya Komunikasi;
Keterampilan Diferensial dalam Konseling/Terapi Multikultural;?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis memiliki tujuan
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Gaya komunikasi; komunikasi nonverbal; Prapsemik;
Komunikasi Konteks Tinggi-Rendah
b. Untuk mengetahui Aspek Sosial Politik Komunikasi Nonverbal;
Nonverbal sebagai Refleksi Bias; Nonverbal sebagai Pemicu Bias dan
Ketakutan;
c. Untuk mengetahui Konseling dan Terapi sebagai Gaya Komunikasi;
Keterampilan Diferensial dalam Konseling/Terapi Multikultural;

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Communication style; Nonverbal communivation; Prpxemics; High-


Low Context Communication (Gaya komunikasi; komunikasi
nonverbal; Prapsemik; Komunikasi Konteks Tinggi-Rendah)

1. Gaya komunikasi

Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai


seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam
suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan
gaya bahasa yang baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal
yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan,
penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak (Widjaja, 2000: 57).
Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan
bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan
menciptakan hubungan yang harmonis.

Gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi


yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam
situasi tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang
digunakan, bergantung pada maksud dari pengirim (sender) dan harapan
dari penerima (receiver).

Gaya komunikasi dipengaruhi situasi bukan kepada tipe seseorang,


gaya komunikasi bukan tergantung pada tipe seseorang melainkan kepada
situasi yang dihadapi. Setiap orang akan menggunakan gaya komunikasi
yang berbeda-beda ketika mereka sedang gembira, sedih, marah, tertarik,
atau bosan. Begitu juga dengan seseorang yang berbicara dengan sahabat
baiknya, orang yang baru dikenal dan dengan anak-anak akan berbicara
dengan gaya yang berbeda. Selain itu gaya yang digunakan dipengaruhi
oleh banyak faktor, gaya komunikasi adalah sesuatu yang dinamis dan

3
sangat sulit untuk ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah
sesuatu yang relatif.

a. Komunikasi Nonverbal

Diibesarkan dalam masyarakat kelas menengah Euro-Amerika,


profesional kesehatan mental mungkin berasumsi bahwa perilaku atau
aturan berbicara tertentu bersifat universal dan memiliki arti yang sama.
Ini dapat menciptakan masalah besar bagi terapis dan klien yang berbeda
secara budaya. Karena perbedaan dalam gaya komunikasi yang paling
sangat dimanifestasikan dalam komunikasi nonverbal, bab ini
berkonsentrasi pada aspek-aspek komunikasi yang melampaui kata-kata
tertulis atau lisan. Pertama, kami mengeksplorasi bagaimana ras/budaya
dapat mempengaruhi beberapa area perilaku nonverbal: (1) proksemik, (2)
kinesik, (3) parabahasa, dan (4) konteks tinggi-rendah komunikasi. Kedua,
kita membahas secara singkat fungsi dan pentingnya perilaku nonverbal
yang berkaitan dengan stereotip dan praduga bahwa kita mungkin
memiliki kelompok yang beragam.

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas


dalambentuk tanpa kata-kata. Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal
jauh lebihbanyak dipakai daripada komuniasi verbal. Dalam
berkomunikasi hampir secaraotomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai.
Karena itu, komunakasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada.
Komunikasi nonverbal lebih bersifat jujur mengung kapkan hal yang mau
diungkapkan karena spontan.

Nonverbal juga bisa diartikan sebagai tindakan-tindakan manusia


yangsecara sengaja dikirimkan dan diinterpretasikan seperti tujuannya dan
memilikipotensi akan adanya umpan balik (feed back) dari penerimanya.
Dalam arti lain,setiap bentuk komunikasi tanpa menggunakan lambang-
lambang verbal sepertikata-kata, baik dalam bentuk percakapan maupun
tulisan. Komunikasi non verbaldapat berupa lambang-lambang seperti
gesture, warna, mimik wajah dll

4
Komunikasi nonverbal (nonverbal communicarion) menempati
porsipenting. Banyak komunikasi verbal tidak efektif hanya karena
komunikatornyatidak menggunakan komunikasi nonverbal dengan baik
dalam waktu bersamaan.Melalui komunikasi nonverbal, orang bisa
mengambil suatu kesimpulanmengenai suatu kesimpulan tentang berbagai
macam persaan orang, baik rasasenang, benci, cinta, kangen dan berbagai
macam perasaan lainnya. Kaitannyadengan dunia bisnis, komunikasi non
verbal bisa membantu komunikator untuklebih memperkuat pesan yang
disampaikan sekaligus memahami reaksikomunikan saat menerima pesan.

Bentuk komunikasi nonverbal sendiri di antaranya adalah, bahasa


isyarat,ekspresi wajah, sandi, symbol-simbol, pakaian sergam, warna dan
intonasi suara.Beberapa contoh komunikasi nonverbal:

a. Sentuhan, Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam


tangan,berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan
lain-lain.

b. Gerakan Tubuh, Dalam komunikasi nonverbal, kinesik atau gerakan


tubuhmeliputi kontak mata, ekspresi wajah, isyarat, dan sikap tubuh.
Gerakan tubuhbiasanya digunakan untuk menggantikan suatu kata atau
frase, misalnyamengangguk untuk mengatakan ya; untuk mengilustrasikan
atau menjelaskansesuatu; menunjukkan perasaan.

c. Vokalik, Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam


suatuucapan, yaitu cara berbicara. Contohnya adalah nada bicara, nada
suara, kerasatau lemah- nya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara,
intonasi, dan lain-lain.

d. Kronemik, Kronemik adalah bidang yang mempelajari penggunaan


waktudalam komunikasi nonverbal. Penggunaan waktu dalam komunikasi
nonverbalmeliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas,
banyaknya aktivitasyang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu
tertentu, serta ketepatanwaktu (punctuality).

5
Dale G. Leathers (1976) dalam Nonverbal Communication
Systems, komunikasi-non.html, menyebutkan enam alasan mengapa pesan
nonverbal sangat signifikan, yaitu:

a. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi


interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatamuka, kita
banyakmenyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan
nonverbal. Padagilirannya orang lainpun lebih banya ’membaca’ pikiran
kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal.

b. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan noverbal


ketim-bang pesan verbal.

c. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas


daripenipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur
olehkomunikator secara sadar

d. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat


diperlukanuntuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi
metakomunikatifartinya memberikan informasi tambahan yang
memeperjelas maksud danmakna pesan. Diatas telah kita paparkan pesan
verbal mempunyai fungsirepetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan
aksentuasi.

e. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien


dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat
tidak efisien.Dalam paparan verbal selalu terdapat redundansi, repetisi,
ambiguity, danabtraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk
mengungkapkan pikiran kitasecara verbal.

f. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada


situasikomunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan dan
emosisecara tidak langsung. Sugesti ini dimaksudkan menyarankan
sesuatu kepadaorang lain secara implisit (tersirat).

6
b. Gaya Komunikasi Proksemik

Studi tentang Proksemik mengacu pada persepsi dan penggunaan


pribadi dan ruang antarpribadi. Ada norma yang jelas mengenai
penggunaan jarak fisik di interaksi sosial. E. T. Hall (1969)
mengidentifikasi empat zona jarak antarpribadi karakteristik budaya AS:
intim, dari kontak hingga 18 inci; pribadi, dari 1,5 kaki sampai 4 kaki;
sosial, dari 4 kaki hingga 12 kaki; dan publik (ceramah dan pidato), lebih
besar dari 12 kaki.

Dalam masyarakat ini, individu tampaknya tumbuh lebih tidak


nyaman ketika orang lain berdiri terlalu dekat daripada terlalu jauh.
Rentang perasaan dan reaksi ini terkait dengan pelanggaran ruang pribadi
termasuk penerbangan, penarikan, kemarahan, dan konflik (Pearson,
1985). Di sisi lain, kita cenderung membiarkan lebih dekat kedekatan atau
untuk bergerak lebih dekat dengan orang-orang yang kita sukai atau
rasakan secara interpersonal daya tarik menuju. Beberapa bukti ada bahwa
ruang pribadi dapat dibingkai ulang dalam istilah dominasi dan status.
Mereka yang memiliki status, prestise, dan kekuatan yang lebih besar
dapat menempati lebih banyak ruang (rumah, mobil, atau kantor yang
lebih besar). Namun, berbeda budaya mendikte jarak yang berbeda dalam
ruang pribadi.

Edward Twitchell Hall (16 Mei 1914-20 Juli 2009)


mengembangkan konsep proksemik, yakni deskripsi tentang bagaimana
orang berperilaku dan bereaksi dalam berbagaijenis “ruang” pribadi
berdasarkan kebudayaan. Semua asal konsep teori tersebut dapatditelusuri
melalui tiga karya utama yang ditulisnya yaitu; The Silent Language
(1959); TheHidden Dimension (1966), dan Beyond Culture (1976). Kajian
tentang ruang tersebut ditelaahsecara lengkap melalui bukunya “The
Hidden Dimension” dan dalam “The Chicago Journals”(Hall E. T., 1968,
p. 83). Ruang pribadi dalam masyarakat Anglo-Saxon Amerika Utara
dimanaHall hidup, merupakan hal penting dalam interaksi sehari-hari.
Namun dalam kontek smasyarakat Asia, khususnya di Indonesia, riset

7
komunikasi mengenai ruang pribadi dan ruang publik ini belum banyak
diminati. Hal yang paling mendekati pandangan Hall tentang Proksemik
adalah, sebagai suatu studi tentang persepsi manusia dan penggunaan
ruang yang cenderung berada dalam settingruang yang tidak disadari. Hal
ini sebagaimana telaah dari Sapir (1927) dan Whorf (1956) sebagai
berikut:

Hall yakin bahwa persepsi manusia terhadap ruang, meskipun


nampaknya berasal dariaparat sensorik, merupakan persepsi manusia
terhadap “ruang” yang telah “tercetak danberpola” dalam kebudayaan.
Hall berargumen bahwa perbedaan budaya akan membuat
orangmembangun kerangka budaya yang berbeda, terutama ketika dia
mendefinisikan dan mengatur ruang. Hal ini karena konsep tentang ruang
merupakan pengetahuan yang telah diinternalisasikan kepada semua orang
ketika berada pada tingkat bawah sadar. Oleh karenaitu kata Hall,
kegagalan serius dalam komunikasi terletak pada bagaimana kita
memahami dan mengatur pengetahuan kita sendiri sebelum berkomunikasi
lintas budaya (Brown, 2009).Dalam perkembangan ilmu komunikasi
selanjutnya, proksemik dijadikan sebagai sub kategori dari studi
komunikasi nonverbal bersama dengan haptics (sentuhan), kinesics
(gerakan tubuh),vocalics (paralanguage), dan chronemics (struktur waktu).

Kajian tentang setting ruang atau proksemik yang telah


dikemukakan di atas, sering muncul dalam berbagai telaah komunikasi
nonverbal, di mana ruang memiliki peran dalam memfasilitasi interaksi
komunikasi namun tidak secara verbal. Konteks ruang juga menjadi
bagian penting untuk dikaji lebih mendalam, sebab tiap individu memiliki
pemahaman ruangyang berbeda-beda, dimana hal tersebut seringkali
menjadi hambatan dalam melakukan proses komunikasi. Setting
Proksemik merupakan bagian dari komunikasi nonverbal, dimana tiap
klasifikasi komunikasi nonverbal menyumbangkan peranan yang besarnya
tidak senantiasa menghasilkan ketepatan pengaruh dalam interaksi.

8
Ada tiga tingkatan proksemik, yaitu infracultural, precultural dan
microcultural (HallE. T., 1966: 101-112). Microcultural menjadi titik
perhatian dalam penelitian ini dan jugabanyak penelitian lain tentang
proksemik, dimana bisa ditinjau terdiri dari tiga aspek yaitu: a) Fixed-fitur,
merupakan ruang yang dikenal dan diakui sebagai salah satu fitur dasar
bagiaktifitas indvidu dan kelompok; b) Semifixed-fitur, ruang semifixed-
fitur sebagai penjelas ataukonsep ruang sosiofugal (ruang yang cenderung
memisahkan orang seperti kereta api, ruang tunggu dan lain-lain) dan
ruang sosiopetal (ruang yang cenderung menyatukan sejumlah orang
bersama-sama (meja kafe di emperan took atau restoran di pinggir jalan
dimana penataan semifixed-fitur dapat memilki efek yang mendalam pada
perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk “menyatu atau
memisahkan diri” (isolate). Ada perbedaan konseptual antar budaya
terhadap ruang fixed-fitur dengan ruang semifixed-fitur, juga antara ruang
sosiofugal dansosiopetal, dan c) Informal adalah jenis ruang informal yang
menjelaskan jarak (fisik) antarpersonal/tubuh agar dapat dibedakan dengan
ruang sosial di antara manusia.

Teritori merupakan home space yang dikembangkan secara virtual


oleh tiap mahlukhidup (Littlejohn & Foss, 2009:807; Hall E. T., 1966:7).
Menurut Hall, ada empat bentuk proksemik teritori yang mempengaruhi
interaksi antara kita dengan dengan orang lain(Liliweri, 2016: 101-102;
Hall E. T., 1966: 116-125), yaitu: a) Public territory (wilayahpublik), yaitu
tempat dimana semua orang bebas masuk. Jenis teritori ini jarang di
kontrol karena bersifat konstan dan diakui semua orang; b) Interactional
territory, yaitu wilayah interaksional, tempat dimana orang berkumpul
secara informal; c) Home territory, yaitu tempat. dimana orang terus
memilki kontrol atas wilayah masing-masing; d) Body territory,
yaituwilayah tubuh atau ruang yang mengelilingi kita. Perbedaan level
teritori ini, selain sebagaifaktor yang melibatkan ruang pribadi kita, namun
pengetahuan tentang teritori ini membantukita untuk memilih perilaku
komunikasi yang sesuai dengan orang-orang dari budaya lain.

9
c. Gaya Komunikasi Konteks Tinggi-Rendah.

Komunikasi Antar budaya menjelaskan tentang komunikasi antar


budaya yaitu meru-pakan interaksi dan komunikasi antar pribadi yang
dilakukan oleh beberapa orang yang memilki latar belakang kebudayaan
yang berbeda (Liliweri, 2009). Salah satu analisis mengenai perbedaan
gaya berkomunikasi dikemukakan oleh Hall dalam Andriani
(2012).Menurut Hall budaya dapat diklasifikasikankedalam gaya
komunikasi konteks tinggi dangaya komunikasi konteks rendah. Dalam
budaya konteks tinggi, maka terinternalisasi padaorang yang
bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan. Kebanyakan
masyarakat berbudaya konteks tinggi mengidentifikasi hubungan dengan
melibatkan komunikasi nonverbal sebagai pemaknaan dalam
berhubungan.

Komunikasi konteks tinggi adalah komu-nikasi yang bersifat bias


makna dan ambigu,yang menuntut penerima pesan agar menaf-sirkannya
sendiri. Komunikasi konteks tinggibersifat tidak langsung, tidak apa
adanya.Komunikasi konteks tinggi mengandung pesanimplisit dan banyak
terdapat dalam konteksfisik (physical context), sehingga makna
pesanhanya dapat dipahami dalam konteks pesantersebut. Dalam
komunikasi konteks tinggi,makna terinternalisasikan pada orang yang
bersangkutan, dan pesan lebih ditekankan pada aspek non verbal
(internalized in theperson while very little is in the coded).

Ciri-ciri Komunikasi Konteks Tinggi ada-lah Typically short,


pithy, and poetic (komu-nikasinya yang singkat, penuh arti, dan puitis).
Komunikasi konteks tinggi sangat mungkin dipahami jika digunakan di
dalam kelom-poknya sendiri (in group), tidak untuk kelompok luar
(outsiders). Komunikasi konteks-tinggi bertipikal sedikit berbicara,
implisit, danpuitis. Orang berbudaya konteks-tinggi me-nekankan isyarat
kontekstual, sehingga ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi
dan lokasi interaksi lebih bermakna.Orang dalam berbudaya konteks-

10
tinggi mengharapkan orang lain memahami suasanahati yang tak
terucapkan, isyarat halus danisyarat lingkungan.

Komunikasi konteks rendah adalah ko-munikasi yang bersifat


langsung, apa adanya,lugas tanpa berbelit-belit. Karakter komunikasi
semacam ini biasa terjadi di Barat, mereka tidaksuka basa-basi. Pada
umumnya, komunikasi konteks-rendah ditujukan pada pola komu-nikasi
mode lisan langsung (direct verbalmode)- pembicaraan lurus, kesiapan
nonverbal (nonverbal immediacy) dan mengirim berorientasi nilai (sender-
oriented values). Pengirim bersikap tanggung jawab untuk menyampaikan
secara jelas. Dalam komunikasi konteks rendah, pembicara diharapkan
untuk lebih bertanggung jawab untuk membangun sebuah kejelasan, pesan
yang meyakinkan sehingga pendengar dapat membaca sandi(decode)
dengan mudah. Ciri-ciri Komunikasi Konteks Rendah yaitu, must be
longer, moreelaborated, and explicit (komunikasinya menggambarkan atau
menjelaskan hingga cukup tampak rinci dan panjang, dan saat itujuga
disampaikan secara eksplisit).

Dalam komunikasi antar budaya, kesaba-ran penting untuk


memahamai bahasa konteks tinggi dan bahasa konteks rendah. Untuk
itukita sering meng gunakan eufimisme, yaitu ungkapan – ungkapan yang
menghaluskan situasi yang sebenarnya buruk, juga keboho-ngan putih
(white lies) untuk tidak menyinggung perasaan atau memperlakukan orang
lain.Sebenarnya gaya komunikasi tidak dapat dikategorikan menjadi
komunikasi konteks –tinggi dan komunikasi konteks – rendah.Namun
persepsi budaya dapat menjadi suatu rujukan kenapa hal tersebut menjadi
suatu acuan. Meskipun diakui bahwa kedua gaya komunikasi tersebut
boleh jadi ada dalambudaya yang sama, tetapi biasanya salah satunya
mendominasi (Mulyana, 2010).

11
B. Sociopolitical Facets of Nonverbal Communication; Nonverbals as
Reflections of Bias; Nonverbals as Triggers to Biases and Fears;
(Aspek Sosial Politik Komunikasi Nonverbal; Nonverbal sebagai
Refleksi Bias; Nonverbal sebagai Pemicu Bias dan Ketakutan;)

a. Aspek Sosial Politik Komunikasi Nonverbal

Asumsi orang minoritas, pertama adalah bahwa semua Whites


dalam masyarakat ini rasis. Asumsi kedua adalah bahwa sebagian besar
Whites menemukan konsep seperti mengganggu dan akan berusaha keras
untuk menyangkal bahwa mereka rasis atau bias. Yang terakhir dari
asumsi ini adalah bahwa perilaku nonverbal adalah refleksi yang lebih
akurat tentang apa yang orang putih pikirr atau merasa daripada apa yang
mereka katakan.
Pentingnya berkomunikasi yang efektif dan elegan dalam dunia
politik dapat mencegah kesalahpahaman mengenai makna pesan politik
yang disampaikan. Selain itu, sebelum bahasa ditemukan dan menjadi
umum bagi sebuah komunitas tertentu, komunikasi dilakukan dengan
gerakan tubuh. Makna yang terkandung dalam suatu gerak tubuh bisa jadi
memunculkan pro maupun kontra yang dikarenakan perbedaan budaya
antara pemberi dan penerima pesan. Perlu kesepahaman mengenai
gerakan tubuh maupun isyarat non verbal lainnya dalam menyampaikan
informasi. Komunikasi non verbal seperti gerakan tubuh, intonasi suara,
dan gerakan mata merupakan ekspresi yang terkadang tidak dapat
diutarakan dalam bentuk kata- kata. Isyarat-isyarat tersebut digunakan
untuk menyakinkan khalayak atas pesan yang disampaikan dan sangat
efektif untuk penekanan pada ucapan-ucapan yang dirasa belum mewakili
maksud si komunikator. Utamanya, bahasa tubuh dapat menjadi identitas
bagi seorang komunikator politik di depan publik.
b. Nonverbal sebagai Refleksi Bias
Dalam masyarakat kita, kita telah belajar menggunakan kata-kata
(lisan atau tulisan) untuk menutupi atau menyembunyikan pikiran kita
yang sebenarnya dan perasaan. Perhatikan bagaimana politisi dan

12
pengacara kita dapat mengatasi suatu masalah tanpa mengungkapkan
banyak dari apa yang mereka pikirkan atau percayai. Perilaku nonverbal
memberikan petunjuk untuk penipuan sadar atau tidak sadar bias (Utsey,
Gernat, & Hammar, 2005). Ada bukti bahwa akurasi komunikasi
nonverbal bervariasi dengan bagian tubuh yang digunakan: Wajah
ekspresi lebih terkontrol daripada tangan, diikuti oleh kaki dan sisanya
tubuh (Hansen, Stevic, & Warner, 1982). Implikasi bagi multikultural
konseling sudah jelas. Seorang terapis yang tidak menanganinya secara
memadai bias sendiri dan sikap rasis mungkin tanpa disadari
mengomunikasikannya kepada aklien yang berbeda budaya. Jika
konselor tidak menyadari bias mereka sendiri, nonverbal paling mungkin
mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya. Studi menunjukkan
bahwa wanita dan minoritas adalah pembaca isyarat nonverbal yang lebih
baik daripada pria kulit putih (E. T. Hall, 1976; Jenkins, 1982; Pearson,
1985; Weber, 1985). Banyak dari ini mungkin karena orientasi HC
mereka, tetapi alasan lain mungkin karena kelangsungan hidup .
Istilah bias nonverbal untuk merujuk pada perilaku nonverbal
yang bervariasi secara sistematis sebagai fungsi dari kategori sosial
target. Misalnya, bias nonverbal terjadi ketika perilaku nonverbal sangat
positif terhadap orang Kaukasia, wanita langsing, atau penggemar New
York Yankees dan terutama negatif terhadap penggemar Hispanik,
wanita berat, atau Boston Red Sox. Ada banyak bukti bahwa bias
nonverbal memang ada. Misalnya, orang Afrika-Amerika, wanita gemuk,
dan orang dewasa lanjut usia telah terbukti mendapatkan perilaku
nonverbal yang lebih negatif daripada orang Eropa-Amerika, wanita
langsing, dan orang dewasa muda, masing-masing, dalam situasi
eksperimental dan naturalistic.
Bias nonverbal juga cenderung berpengaruh. Artinya, bias
sistematis dalam perilaku nonverbal mewakili keteraturan lingkungan dan
orang sangat selaras dengan keteraturan tersebut. Misalnya, jika orang
dihadapkan pada lingkungan sosial di mana panjang tulang kering
(pendek) dan mudah disukai, mereka mungkin menyimpulkan bahwa

13
orang berkulit pendek sangat disukai dan berharap menyukai orang
dengan tulang kering pendek .Orang-orang tampaknya selaras bahkan
dengan keteraturan yang paling halus dan kecil.sedemikian rupa sehingga
paparan terhadap korelasi kecil antara ras dan atletis dapat menimbulkan
keyakinan bahwa, misalnya, orang kulit hitam adalah atlet yang unggul.
Singkatnya, orang terbiasa dengan keteraturan lingkungan dan keyakinan
tentang berbagai macam orang dapat berasal dari keteraturan ini.
Paparan terhadap bias nonverbal (sebagai keteraturan lingkungan)
dapat memengaruhi keyakinan dan sikap dari satu penerima tetapi bias
semacam itu harus cukup lazim dalam budaya untuk menghasilkan
keyakinan dan sikap yang dibagikan secara budaya. Poin penting,
kemudian, adalah bahwa pengaruh budaya bias nonverbal yang tersebar
luas bergantung pada prevalensi bias itu.
c. Nonverbal sebagai Pemicu Bias dan Ketakutan

Seringkali orang menganggap bahwa menjadi terapis


multikultural yang efektif adalah proses langsung yang melibatkan
perolehan pengetahuan tentang berbagai kelompok ras/etnis. Jika kita
tahu bahwa orang Asia Amerika dan Afrika Orang Amerika memiliki
pola kontak mata yang berbeda dan jika kita tahu bahwa ini pola
menandakan hal yang berbeda, maka kita harus bisa menghilangkan bias
dan stereotip yang kita miliki. Jika begitu mudah, kita mungkin telah
memberantas rasisme bertahun-tahun lalu. Meskipun meningkatkan basis
pengetahuan kita tentang gaya hidup dan pengalaman kelompok
minoritas penting, itu bukan kondisi yang cukup dalam diri. Sikap,
keyakinan, dan perasaan rasis kami sangat mendarah daging dalam
totalitas kami makhluk. Selama bertahun-tahun pengkondisian mereka
telah memperoleh dasar irasional yang kuat, penuh dengan simbolisme
emosional tentang setiap minoritas tertentu. Secara sederhana membuka
teks dan membaca tentang orang Afrika-Amerika dan Latin/Hispanik
akan tidak berurusan dengan ketakutan dan bias kita yang mendalam.
Salah satu hambatan utama untuk pemahaman yang efektif adalah
kesamaan asumsi bahwa kelompok budaya yang berbeda beroperasi

14
sesuai dengan pidato yang identik dan konvensi komunikasi. Di Amerika
Serikat, sering diasumsikan bahwa ciri khas ras, budaya, dan bahasa
menyimpang, inferior, atau memalukan (Kochman, 1981; Singelis, 1994;
Stanback & Pearce, 1985).

C. Counseling and Therapy as Communication Style; Differential Skills


in Multicultural Counseling/Therapy; (Konseling dan Terapi sebagai
Gaya Komunikasi; Keterampilan Diferensial dalam
Konseling/Terapi Multikultural)

a. Konseling dan Terapi sebagai Gaya Komunikasi;


Keterampilan diferensial dalam Multikultural Konseling / Terapi
Kelompok budaya yang berbeda-mungkin lebih mudah menerima gaya
konseling / komunikasi tertentu karena faktor budaya dan sosial politik
(Herring, 1997; Lin, 2001; Wehrly, 1995) Implikasi untuk Multikultural
Konseling / Terapi Konseling multikultural yang efektif terjadi ketika
konselor dan klien dapat mengirim dan menerima pesan baik verbal dan
nonverbal secara tepat dan akurat Praktek Terapi
Terapis harus mampu menggeser gaya terapi untuk memenuhi
kebutuhan perkembangan klienPada hakikatnya komunikasi bertujuan
untuk mempengaruhi keadaan seseorang untuk memfokuskan diri pada
pesan yang di sampaiakan oleh komunikator. Pesan tersebut bisa berupa
stimulus untuk melakukan sesuatu agar komunikan berperilaku sesuai
yang di inginkan seorang komunikator. Komunikasi interpersonal pada
dasarnya adalah untuk mempengaruhi psikologis serta tindakan dari
individu untuk melakukan sesuatu sesuai isi pesan. Kemudian tindakan
itu akan dilakukan individu sesuai interpretasi dari pesan yang
disampaikan secaara sadar dan disengaja dalam bentuk rasional.1
Kemudian dalam teori respon dijelaskan bahwa komunikasi bertujuan
untuk mendapatkan respon yang positif dari komunikan dengan pesan

1
Pip Jhon, Alih Bahasa Ferdiyani Ahmad S, Pengantar Teori-Teori Fungsinalisme Hingga
Post-Modernisme, (Yayasan Pustaka Obor:Jakarta), 2009, hlm. 25.

15
yang disampaikan. Dalam pesan ini seorang konselor (komunikan)
kepada (konseli) merupakan tindakan untuk mempengaruhi secara
psikologis pada tingkat kepercayaan diri yang rendah agar meningkat.
Menurut Onong Uchjana Effendy bahwa umpan balik atau respons
memainkan peranan yang amat penting dalam komunikasi, sebab ia
menentukan berlanjutnya atau berhentinya komunikasi yang dilancarkan
oleh komunikator.2 Budaya komunikasi yang penuh dengan kelekatan
emosi (emotional attachment) hal ini perlu dikuasi seorang pembimbing
untuk meningkatan kepercayaan diri (konseli). Kelekatan emosi ini akan
memunculkan respon positif dalam reaksi dan tindakan yang sesuai
dengan stimulus yang langsung di konfirmasi kepada pemberi pesan
(konselor). Jalaludin Rahmat menguraikan dengan mengutip pendapat
Siebrug dan Larson Bahwa konfirmasi adalah “ setiap prillaku yang
menyebabkan orang lain lebih menghargai dirinya sendiri”. Sebaliknya
diskonfirmasi adalah “perilaku-perilaku yang menyebabkan orang-orang
kurang menghargai dirinya sendiri”.3 Budaya dan kelekatan emosi yang
dibangun dalam komunikasi interpesonal konselor dapat mempengaruhi
psikologi narapidana yang mengalami penurunan kepercayaan diri.
Kedua teori ini saling menghubungkan secara tindakan sebagai sebab
akibat teori yang di munculkan dari hasil komunikasi peribadi konselor
dengan konseli secara psikologis untuk meningkatkan kepercayaan diri
konseli .

b. Keterampilan Diferensial dalam Konseling/Terapi Multikultural


a) Konseling/terapi
Sama seperti ras, budaya, etnis, dan jenis kelamin dapat
mempengaruhi gaya komunikasi, ada banyak bukti bahwa orientasi
teoretis dalam konseling akan mempengaruhi gaya membantu juga.
Ada dukungan kuat untuk keyakinan bahwa kelompok budaya yang

2
Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komuniasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm.73.
3
Djalaludin Rahmat, Metodologi Penelititan Komunikasi, (Bandung: PT. Rosdakarya,
2000), hal.14.

16
berbeda mungkin lebih mudah menerima gaya konseling/komunikasi
karena faktor budaya dan sosial politik (Choudhuri, Santiago Rivera,
& Garrett, 2012; Diller, 2011; West-Olatunji & Conwill, 2011).

b) Implikasi untuk Konseling atau Terapi Multikultur

Ketika gaya konseling konselor tidak cocok dengan gaya


komunikasi kliennya yang beragam secara budaya, banyak kesulitan
mungkin timbul: penghentian sesi sebelum waktunya,
ketidakmampuan untuk menetapkan hubungan, atau penindasan
budaya klien. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa efektif
Konseling multikultural terjadi ketika konselor dan klien mampu
mengirim dan menerima pesan baik verbal maupun nonverbal dengan
tepat dan akurat. Ketika konselor mampu terlibat dalam kegiatan
seperti itu, kredibilitas dan daya tarik akan meningkat. Gaya
komunikasi dimanifestasikan dalam konteks klinis dapat meningkatkan
atau meniadakan efektivitas dari konseling multikultural. Beberapa
implikasi utama untuk konseling dapat dibedakan.

c) Produks terapi

Kesulitan dalam pergeseran gaya mungkin merupakan fungsi


dari praktik yang tidak memadai, ketidakmampuan untuk memahami
pandangan dunia orang lain, atau bias pribadi atau sikap rasis yang
belum telah diselesaikan secara memadai. Dalam kasus ini, konselor
mungkin mempertimbangkan beberapa alternatif: (1) mencari
pelatihan/pendidikan tambahan, (2) mencari konsultasi dengan a
konselor yang lebih berpengalaman, (3) merujuk klien ke terapis lain,
dan (4) menyadari keterbatasan gaya komunikasi pribadi dan mencoba
untuk mengantisipasi kemungkinan dampaknya pada klien yang
beragam secara budaya. Seringkali, seorang terapis yang menyadari
keterbatasan gaya membantunya dan tahu bagaimana caranyadampak
klien yang beragam budaya dapat mengambil langkah-langkah untuk
meminimalkan kemungkinan konflik. Menariknya, satu studi (Yao,

17
Sue, & Hayden, 1992) menemukan bahwa sekali hubungan dan
hubungan kerja dibangun dengan klien minoritas, konselor mungkin
memiliki kebebasan yang lebih besar dalam menggunakan gaya
membantu yang sangat berbeda dari klien. Elemen penting tampaknya
adalah kemampuan konselor untuk mengakui keterbatasan dalam gaya
membantunya dan untuk mengantisipasi dampak negatifnya miliki
pada klien yang beragam secara budaya.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat


perilaku antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu.
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk
tanpa kata-kata. Selain itu, dalam komunikasi antar budaya, kesabaran penting
untuk memahamai bahasa konteks tinggi dan bahasa konteks rendah. Istilah bias
nonverbal untuk merujuk pada perilaku nonverbal yang bervariasi secara
sistematis sebagai fungsi dari kategori sosial target. Konseling / Terapi Konseling
multikultural yang efektif terjadi ketika konselor dan klien dapat mengirim dan
menerima pesan baik verbal dan nonverbal secara tepat dan akurat Praktek Terapi.
Sama seperti ras, budaya, etnis, dan jenis kelamin dapat mempengaruhi
gaya komunikasi, ada banyak bukti bahwa orientasi teoretis dalam konseling akan
mempengaruhi gaya membantu juga. Ketika gaya konseling konselor tidak cocok
dengan gaya komunikasi kliennya yang beragam secara budaya, banyak kesulitan
mungkin timbul: penghentian sesi sebelum waktunya, ketidakmampuan untuk
menetapkan hubungan, atau penindasan budaya klien. Dengan demikian, menjadi
jelas bahwa efektif Konseling multikultural terjadi ketika konselor dan klien
mampu mengirim dan menerima pesan baik verbal maupun nonverbal dengan
tepat dan akurat

19
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, K. P. (2012). BAHASA TUBUH DALAM KOMUNIKASI


POLITIK. Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan, 1(2), 1-
12.

Pip Jhon, Alih Bahasa Ferdiyani Ahmad S, Pengantar Teori-Teori Fungsinalisme


Hingga Post-Modernisme, Yayasan Pustaka Obor:Jakarta, 2018.

Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komuniasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.

Djalaludin Rahmat, Metodologi Penelititan Komunikasi, Bandung: PT.


Rosdakarya, 2019.

Wing Sue, Derald., and David Sue. (2013). Cuonseling The Culturally Diverse
Theory and Practice (6th ed). Canada: John wiley & Sons, Inc.,
Hoboken, New Jersey

20

Anda mungkin juga menyukai