Profil Perusahaan
Batavia Air (nama resmi: PT Metro Batavia) adalah sebuah maskapai penerbangan di
Indonesia. Batavia Air memulai bisnis di Indonesia selama lebih dari dua puluh tahun. Dimulai
dari usaha agen travel, perusahaan kemudian tumbuh menjadi usaha charter angkutan udara.
Batavia Air berdiri pada tahun 2001. Lalu pada tahun 2002, Batavia Air memperoleh Sertifikasi
sebagai Operator Penerbangan. Batavia Air mulai beroperasi pada tanggal 5 Januari 2002,
memulai dengan satu buah pesawat Fokker F28 dan dua buah Boeing 737-200.
Dengan pengalaman di bidang usaha biro perjalanan dan industri angkutan udara, dan
didukung dengan armada yang dapat dipercaya disertai sumber daya manusia yang handal,
Batavia Air percaya dan optimis dapat bertahan di dalam melaksanakan kompetisi angkutan
udara.
Pada tanggal 31 Januari 2013, Batavia Air berhenti beroperasi karena dinyatakan pailit
oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Keputusan pailit PT. Metro Batavia disebabkan oleh utang sebanyak USD 4,68 juta yang
sudah lewat jatuh tempo namun tidak kunjung dibayar. Tuntutan pailit ini telah diajukan
semenjak 20 Desember 2012 dan diputuskan pada tanggal 30 Januari 2013.
Hutang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender pelayanan haji
dengan menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC. Namun, dari total kontrak
leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun berturut-turut Batavia Air kalah tender di Kementerian
Agama untuk mengangkut jemaah haji.
Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb di tahun pertama,
USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga dan ke empat, dan USD 520rb di tahun
kelima dan keenam. Keseluruhan hutang dari ILFC sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal
jatuh tempo di 13 Desember 2012. Karena masalah keuangan yang dihadapi oleh PT Batavia
Air membuat mereka tidak dapat melakukan pembayaran sewa pesawat kepada ILFC.
Akibatnya, pesawat yang sudah disewa tidak dapat dioperasikan dan menganggur, sehingga
menambah beban utang PT Batavia Air.
Selain gugatan dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang sebesar USD 4,94 juta kepada
Sierra Leasing Limited yang jatuh tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK
Research Sdn Bhd di bulan Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD
40 juta.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan utang sebagai modal operasional ataupun
ekspansi usaha merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan oleh lembaga atau perusahaan.
Pailitnya Batavia Air ini mendeskripsikan pengelolaan keuangan kurang bagus yang dapat
terindikasi dari kemampuan menghasilkan nilai lebih dari utang atau biasanya disebut sebagai
cost lebih besar dari benefit. Hal ini dapat terjadi mungkin saja disebabkan telaah kondisi bisnis
serta sense of crisis pihak manajemen Batavia Air mengalami kendala. Karena bagaimanapun
ketika membuat keputusan untuk berutang haruslah memperkirakan kemampuan untuk
melunasi serta kemampuan memprediksi trens pasar untuk kepentingan bisnis.
Dari latar belakang terjadinya kepailitan oleh PT Batavia Air yang sudah dijelaskan
sebelumnya, maka berlakulah ketentuan pada pasal 2 ayat 1 mengenai Undang-Undang
Kepailitan. Dalam pasal tersebut, terdapat tiga syarat terjadinya kepailitan, yaitu: 1) Debitur
tidak mampu membayar utang-utangnya secara teratur; 2) debitur tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajiban lainnya; dan 3) debitur memiliki keadaan harta yang tidak memadai untuk
melunasi seluruh utang-utangnya.
Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara
lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba Sumahadi.
Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat,
pengadilan mengeluarkan putusan pailit terhadap PT Batavia Air dan menunjuk kurator sebagai
pengelola aset perusahaan.
Setelah ditunjuk sebagai pengelola aset, kurator melakukan penjualan aset PT Batavia Air
untuk membayar utang-utang perusahaan. Beberapa aset yang dijual antara lain pesawat, mesin
pesawat, dan bangunan-bangunan yang dimiliki perusahaan. Aset Batavia Air saat itu ditaksir
sebesar Rp500 miliar nilai buku. Kuasa Hukum Batavia Air Catur Wibowo mengungkapkan,
aset-aset tersebut sudah menyusut sekitar 60% lebih akibat lama ditelantarkan. Sementara, total
utang Batavia Air saat pailit tercatat sebesar Rp1,2 triliun. Kewajiban tersebut meliputi utang
pada karyawan, kantor pajak, bank, lessor, hingga operator bandara. Selain penyusutan aset
alami karena terlantar, aset-aset perusahaan juga banyak dijual murah oleh pihak kurator. Hal
inilah yang membuat kewajiban utama, terutama pesangon dan gaji 3.200 eks karyawan Batavia
Air masih terkatung-katung.
Lalu proses selanjutnya adalah pembayaran utang-utang. Dari hasil penjualan aset, kurator
membayar utang-utang PT Batavia Air kepada para kreditur. Namun, tidak semua utang-utang
dapat terbayar sepenuhnya karena nilai aset yang terjual tidak cukup untuk melunasi seluruh
utang-utang perusahaan.
Dari penjualan tahap pertama sudah terjual aset tanah, gedung, pesawat, kendaraan, dan
ground handling. Beberapa pesawat dan simulator juga dijual dalam rongsokan karena rusak.
Sehingga pada waktu itu hanya tersisa 3 dari 20 pesawat.
Setelah penjualan tahap pertama, kini sisa aset tersebut meliputi satu pesawat Boeing
737-400 dengan nilai buku Rp23,6 miliar, Boeing 737-400 senilai Rp6,5 miliar, Boeing 737-300
senilai Rp 26,3 miliar. Aset lainnya berupa 5 mesin pesawat, 177 kendaraan, dan simulator
senilai Rp 37,7 miliar.
Proses yang terakhir adalah pembubaran perusahaan. Setelah semua aset dijual dan
utang-utang terbayar sebisa mungkin, perusahaan kemudian dibubarkan oleh pengadilan.
Dengan demikian, PT Batavia Air resmi tidak lagi beroperasi dan tidak memiliki aktivitas
usaha.
Selama beroperasi PT. Batavia Air tidak hanya melakukan penjualan tiket secara reguler
saja, namun PT. Batavia Air juga melakukan kerja sama bisnis dengan pihak lain seperti
dengan Asosiasi Travel Agen Indonesia Jakarta (Asita) dan Astindo Sulawesi Jawa Tengah.
Asosiasi Travel Agen Indonesia Jakarta (Asita) yang terdiri dari 1500 agen travel mencatat
kerugian atas dana deposit yang hilang sejumlah 20 miliar rupiah. Sementara itu, Astindo
Sulawesi Jawa Tengah mencatat kerugian uang deposit mencapai 500 juta rupiah.
Akibat berhentinya semua kegiatan usaha PT. Batavia Air maka pelanggan harus mencari
maskapai lain untuk memenuhi kebutuhan perjalanan mereka. Ini mungkin menyebabkan
harga tiket pesawat menjadi lebih mahal karena ketersediaan penerbangan yang berkurang.
Namun, ada beberapa airlines yang telah menawarkan bantuan bagi penumpang Batavia Air
dengan booking ulang secara gratis untuk rute-rute tertentu. Seperti Tiger Ways
menyediakan bantuan untuk rute CGK - SG, CGK - PKB, CGK - Padang, dan CGK - SUB.
Sementara itu, Express Air yang menyediakan bantuan untuk mengakomodir penumpang
Batavia Air untuk rute Yogyakarta-Pontianak.
Bagi penumpang yang sudah memesan tiket sebenarnya dapat melakukan pelaporan
kepada pihak PT. Batavia Air namun pelaporan tersebut tidak menjamin adanya
pengembalian dana pelanggan. Hal tersebut dikarenakan perusahaan yang sudah pailit maka
keputusan lebih lanjut akan diserahkan sepenuhnya kepada kurator.
Selama beroperasi Batavia Air melayani 44 rute penerbangan domestik. Ketika Batavia Air
berhenti beroperasi maka akan terjadi kekurangan sumber daya untuk perjalanan di antara
44 rute tersebut. Akhirnya Kementerian Perhubungan mengatur dan mengarahkan kepada
perusahaan penerbangan lain untuk mengambil alih rute yang selama ini dilayani oleh PT.
Batavia Air contohnya ada pengalihan rute kepada Mandala Airlines Lion Air, dan Sri
Wijaya. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak kesulitan untuk melakukan penerbangan di
antara bekas rute yang dilayani PT. Batavia Air tersebut.
Pailitnya Batavia Air dapat berdampak pada perekonomian secara keseluruhan karena
hilangnya sumber daya ekonomi dan pendapatan yang berasal dari perusahaan. Pemerintah
kehilangan pajak usaha dan menimbulkan kenaikan harga barang berupa tiket pesawat
karena permintaan yang tinggi. Selain itu tingkat pengangguran juga bertambah akibat
adanya pemutusan hubungan kerja bagi karyawan dan ketidakjelasan status pesangon
mereka.
Langkah utama yang dapat dilakukan adalah dengan adanya escrow account (rekening
bersama) untuk deposit travel agent dan tiket yang belum terpakai. Escrow account adalah
suatu akun yang disediakan oleh pihak ketiga untuk bisa menampung serta menyalurkan uang
pada pihak yang terlibat dalam kegiatan transaksi. Keberadaannya juga memastikan bahwa para
pihak yang terlibat dalam transaksi melaksanakan kewajiban dan mendapatkan haknya agar
tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, dengan terjadinya kasus pailit Batavia Air,
Astindo (Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan) mendesak Departemen Perhubungan
untuk membuat peraturan baru dimana deposit travel agent dan deposit tiket yang belum
terpakai ditempatkan dalam escrow account sebagai akun penjaminan yang terpisah dari
operasional perusahaan penerbangan. Sehingga dalam kasus-kasus pailit seperti Batavia Air,
deposit tersebut dapat diamankan secara terpisah.
Langkah kedua yang dapat diajukan yakni dengan menjalin kerjasama di antara asosiasi
travel yang sudah ada, seperti Astindo, Asita, maupun asosiasi-asosiasi lainnya, untuk membuat
sebuah “early detection system". Early detection ini dapat menggunakan beberapa indikasi,
diantaranya: pengurangan rute penerbangan secara signifikan, hutang yang mulai gagal bayar,
analisa perbandingan hutang dengan aset perusahaan, dan sebagainya. Dengan fasilitas seperti
ini, iuran tahunan asosiasi-asosiasi yang terkadang berjumlah cukup besar dapat menjadi lebih
berguna.