Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup Borneo Islam


Mata Kuliah : Islam Dan Budaya Borneo
Pengampu : Eka Hendry AR, S.Ag., S.Pd., M.Si.

Disusun Oleh :
Amanda Patresilia (12103012)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan
karunianya kami dapat menyusun dengan baik dan tepat pada wktunya. Dalam makalah ini kami
membahas Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup Borneo Islam.

Ada pun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah.
Selain itu, makalah ini juga kami tulis bertujuan untuk memahami dan menguasai bagi para
pembaca maupun bagi penulis.

Kami ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga kami
dapat menambah wawasan dan pengetahuan sesuai dengan bidang studi tersebut.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran teman-teman akan membangunkan kami demi kesempurnaan
makalah ini.

Pontianak, 29 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................................4

A. Latar Belakang......................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................5

C. Tujuan...................................................................................................................................5

BAB II.............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN..............................................................................................................................6

A. Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup Borneo...................................6

B. Corak Pemikiran Para Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup Borneo
.............................................................................................................................................8

C. Pemikiran Islam Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup Borneo.....13

BAB III..........................................................................................................................................17

PENUTUP.....................................................................................................................................17

A. Kesimpulan.........................................................................................................................17

B. Saran...................................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pasca reformasi, persoalan etnisitas di Kalbar tidak selesai begitu saja. Beberapa
kejadian yang mengarah pada pertikaian antaretnis tetap saja berlangsung. Belum
diterimanya kembali warga Madura di Sambas, kasus Gang 17, Data BPS tahun 2000,
makalah Hasan Karman, patung Naga, pembakaran gedung DPRD Mempawah,
penyegelan kantor Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) di Landak, dan
kasus FPI tahun 2012 hanyalah beberapa peristiwa yang menunjukkan adanya potensi
laten konflik sosial di Kalbar. Selain itu, potensi konflik di wilayah ini juga terjadi jika
berdekatan dengan masa pilgub atau pilkada karena pada masa-masa tersebut isu etnisitas
menjadi isu yang sangat “seksi”.
Menurut al-Qadrie (2011:14) masyarakat Kalbar pada masa-masa sesudah
reformasi masih berada pada tahap transisi demokrasi yang ditandai dengan adanya
kebangkitan etnis. Persoalan-persoalan tersebut, dan juga persoalan lain sebagaimana
telah disebut di paragraf sebelumnya, menjadi landasan pemikiran bagi semua pihak
untuk merumuskan kembali falsafah damai antarsuku dan agama di Kalbar.
Menurut Suharso dan Retnoningsih (2005: 137) falsafah adalah sebuah anggapan,
gagasan, dan sikap batin dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat. Oleh karena itu,
falsafah damai dalam kajian ini berarti suatu gagasan tentang upaya damai.
Gagasan mengenai upaya damai ini ditulis oleh para cendekiawan dalam
bukubuku karya mereka terkait dengan kondisi sosial masyarakat Kalimantan
Barat.Kondisi Kalbar dengan keragaman suku dan agama yang sangat tinggi serta sejarah
pertikaian yang kelam membutuhkan upaya yang lebih keras untuk membangun dan
membentuk hubungan masyarakat Kalbar yang harmonis. Masing-masing perlu
memberikan kontribusi bagi perdamaian masyarakat Kalbar, termasuk para cendekiawan
yang ada di sana. Kontribusi terpenting seorang cendekiawan sebagai agen perubahan
sosial adalah peran pemikirannya melalui karya tulis. Oleh karena itu, persoalan pokok
dalam kajian ini adalah bagaimana para cendekiawan Kalbar merespon dan
memformulasikan pemikiran perdamaian yang kemudian dituangkan dalam karya tulis
mereka sebagai satu bentuk sumbangan pemikiran menghadapi problem sosial yang
cukup kompleks pada masyarakat Kalbar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana memahami terkait Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah


Hidup Borneo Islam?
2. Bagaiaman mengetahiu corak pemikiran para Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan
Maupun Falsafah Hidup Borneo Islam?
3. Bagaimana memahami pemikiran Islam Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun
Falsafah Hidup Borneo Islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup


Borneo Islam.
2. Untuk mengetahui corak pemikiran para Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun
Falsafah Hidup Borneo Islam
3. Untuk mengetahui pemikiran Islam Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun
Falsafah Hidup Borneo Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup Borneo

Dengan demikian untuk mempelajari serta menyelidiki filsafat, tentu saja kita
tidak dapat bertumpu pada berbagai kesalahpahaman pengertian tersebut di atas. Kita
terlebih dahulu berusaha untuk memahami secara etimologi, untuk dapat memahaminya
sebagaimana dimaksudkan dari dibentuknya istilah filsafat tersebut. Selanjutnya mencoba
memperoleh pengertian dari beberapa orang yang memang terlibat dalam kegiatan
filsafat, bukan dari orang yang memandang filsafat secara sekilas pandang saja.
Menurut Pudjawijatn (1963) kata filsafat itu kata Arab yang berhubung rapat
dengan kata Yunani, bahkan asalnyapun dari kata Yunani pula., yaitu filosofia. Kata
filosofia merupakan kata majemuk yang terjadi dari kata filo dan sofia. Filo artinya
“cinta” dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin yang disertai usaha untuk mencapai
yang diingini. Sedangkan sofia artinya “kebijaksanaan”, yaitu mengerti secara mendalam.
Jadi menurut namanya filsafat boleh diartikan “cinta kepada kebijaksanaan”, atau “ingin
mengerti secara mendalam”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Pythagoras sebagai
ejekan atau sindiran terhadap para “sofis” yang berpendapat bahwa mereka tahu jawaban
untuk semua pertanyaan. Namun menurut Pythagoras: hanya Tuhan mempunyai hikmat
yang sungguhsungguh, sedangkan manusia harus puas dengan tugasnya di dunia ini,
yaitu “mencari hikmat”, “mencintai pengetahuan”. Yang sebenarnyla layak disebut sofis
itu hanya Tuhan, dan manusia hanya sekedar disebut fisosofos.
Untuk memahami apa sebenarnya filsafat itu, tentu saja tidak cukup hanya
mengetahui pengertiannya secara etimologis saja, melainkan juga harus memperhatikan
konsep dan definisi yang diberikan oleh para filsuf menurut pemahaman mereka masing-
masing. Pemahaman beberapa filsuf, sebagaimana ditulis oleh Beekman dan yang telah
diterjemahkan oleh Rivai (1984), dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Bertrand Russell: Filsafat adalah tidak lebih dari suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau dogmatis seperti kita
lakukan pada kehidupan sehari-hari dan bahkan dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi
secari kritis.
2. R. Beerling: Filsafat adalah pemikliran-pemikiran yang bebas, diilhami oleh rasio,
mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.
3. Corn Verhoeven: Filsafat adalah meradikalkan keheranan ke segala jurusan.
4. Arne Naess: Filsafat terdiri dari pandangan-pandangan yang menyeluruh, yang
diungkapkan dalam pengertianpengertian.
5. Walter Kaufmann: Filsafat adalah pencarian akan kebenaran dengan pertolongan
fakta-fakta dan argumentasi-argumentasi, tanpa memerlukan kekuasaan dan tanpa
mengetahui hasilnya terlebih dahulu.
6. Plato: Filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling
akhir dari segala sesuatu yang ada.
7. Aristoteles: Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari
prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada ini.
8. Rene Descartes: Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal
penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.

Pada umumnya orang menggolongkan filsafat itu ke dalam ilmu pengetahuan.


Meskipun filsafat itu muncul sebagai salah satu ilmu pengetahuan, akan tetapi filsafat
mempunyai struktur tersendiri dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai ilmu
pengetahuan. Tidak ada satupun ilmu pengetahuan yang universal; setiap ilmu
pengetahuan adalah fragmentaris. Setiap ilmu pengetahuan hanya mempelajari suatu
fragmen, suatu bagian tertentu dari seluruh kenyataan. Sedangkan filsafat tidak
fragmentaris, dan seorang filsuf tidak menempatkan “pisau ke dalam keseluruhan
kenyataan”; dia tidak memisahkan sebagian dari kenyataan untuk selanjutnya
membuatnya sebagai bidang penyelidikannya. Filsafat tidak membatasi diri pada suatu
bidang yang terbatas, melainkan ingin menyelidiki dan memikirkan segala sesuatu yang
ada. (Beekman, 1984, 79-80).
Selain menyelidiki bidang tertentu dari kenyataan, setiap ilmu pengetahuan selalu
melihat obyek penyelidikannya semata-mata dari sudut pandangan tertentu; sudut-sudut
pengamatan lain, yang barangkali mungkin pula ada, selanjutnya tidak diperhatikan.
Sedangkan filsafat tidak membiarkan dirinya terikat oleh satu pandangan atau sudut
pandang tertentu, akan tetapi mencoba untuk merangkum segala aspek dan segala segi ke
dalam penyelidikannya. Filsafat adalah yang paling kongkrit dari segala ilmu
pengetahuan. Tidak ada sesuatu pun yang ditinggalkannya dari kenyataan; filsafat
menjauhi setiap abstraksi, tetapi ingin mengalami segala-galanya dan memikirkannya
seperti adanya. Filsafat tidak mempelajari suatu bagian tertentu dari kenyataan, dan
dipandang dari suatu sudut pengamatan tertentu.

Namun filsafat mencoba mempelajari seluruh kenyataan, dengan


meneropongnyadari segala sudut penglihatan. (Beekman, 1984, 81-82).Setiap ilmu
pengetahuan mempunyai suatu metodik, suatu metoda kerja yang khas bagi ilmu itu, dan
yang tidak dapat begitu saja diubah atau diabaikan. Filsafat berlainan dengan ilmu
pengetahuan, karena filsuf tidak melarangpenggunaan satu pun dari sekian banyak
metode untuk memperoleh pengertian. Dalam filsafat segala macam cara dapat
digunakan, asalkan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

B. Corak Pemikiran Para Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup
Borneo

1. Pemikiran Eka Hendry


a. Etnisitas dan Politik
Eka Hendry mengemukakan kalau dinamika etnis dan asal daerah penduduk
Kota Pontianak mengalami perubahan dalam lima belas tahun terakhir ini.
Perubahan tersebut ditandai dengan munculnya paguyuban masyarakat
berdasarkan afiliasi etnis dan daerah. Empat paguyuban tersebut yakni Majelis
Adat Budaya Melayu (MABM), Dewan Adat Dayak (DAD), Ikatan Keluarga
Besar Madura (IKBM), dan Majelis Adat dan Budaya Tionghoa (MABT). Selain
itu, muncul juga organisasi kelompok etnik seperti Bugis, Batak, Banjar, dan Jawa
(Hendry, 2008: 27)
b. Hubungan Antaretnis
Hubungan antaretnis yang harmonis, saling kerja sama, saling menghormati
dan menghargai keberadaan etnis masing-masing telah ditulis oleh Eka Hendry
dalam laporan hasil penelitian yang berjudul “Integrasi Sosial antar Etnis pada
masyarakat Desa Sungai Kelambu”. Desa ini adalah desa dengan penduduk yang
multietnis. Sebagian besar warga Sungai Kelambu adalah Melayu Sambas (2.995
orang), Jawa (18 jiwa), Bugis (18 jiwa), Tionghoa (21 jiwa), Dayak (5 jiwa), Aceh
(1 jiwa), danMadura (58 orang) (Hendry, 2010: 41).
Satu contoh interaksi antaretnis yang harmonis terjadi di Sungai Kelambu
yakni penyelenggaraan pesta perkawinan yang senantiasa diawali dengan meteng.
Metengadalah sebuah tahapan dalam perkawinan dimana pemilik hajat
mengundang tokoh masyarakat untuk membicarakan pernikahan yang akan
dilangsungkan. Prosesi tersebut kemudian diakhiri dengan kesepakatan kerja
sama, gotong royong, dan sebagainya, sebagaimana dijelaskan oleh Hendry
sebagai berikut:
“Meteng adalah pihak yang bermaksud melaksanakan hajat perkawinan
mengundang seorang tokoh masyarakat, entah kepala desa maupun tetua desa,
untuk membicarakan prosesi perkawinan, seperti saprahan (pola penyajian
jamuan bagi tetamu), hingga tarup (pentas utama untuk mepromosikan pengantin
dan penempatan undangan). Setelah meteng selesai, kepala desa atau tetua desa
mensosialisasikan rencana hajatan tersebut kepada masyarakat sekitar, dan
mengupayakan kesepakatan bersama untuk melakukan gotong royong, bahu
membahu mensukseskan pesta perkawinan” (Hendry, 2010:44).

c. Pemikiran Eka Hendry terhadap DDII


DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) di Kalbar Kesimpulan dari
penelitian Hendry tentang DDII Kalbar adalah bahwa corak pemikiran aktifis
DDII Kalbar ada dua tipe cendekiawan DDII Kalbar yakni beberapa aktifis yang
berpikiran skripturalis dan ada beberapa aktifis lainnya yang bersikap terbuka dan
kontekstual (Hendry, 2007:116). Sebagian mereka bersikap tektualis terutama
ketika memandang persoalanpersoalan yang berkaitan dengan akidah dan
hubungann antaragama dan persoalan-persoalan yang terkait. Tetapi dalam
wilayah mu’amalah, mereka lebih bersikap terbuka dan kontekstual meskipun ada
yang menutup sama sekali ruang dialog (Hendry, 2007: 116). DDII di Kalbar
bukanlah gerakan keagamaan radikal sebagaimana dituduhkan oleh beberapa
orang selama ini, karena DDII di Kalbar memiliki corak yang berbeda dengan
DDII pusat yang ada di Jakarta. Meskipun ada sebagian kader DDII yang
skripturalis tetapi pemahaman mereka tidak sampai ke arah faham radikal. Hal ini
juga disebabkan oleh corak masyarakat Kalbar yang masih berkutat dengan
persoalan etnisitas.

2. Pemikiran Syarif Ibrahim al-Qadrie


Pemikiran al-Qadarie tertuang di dalam kumpulan tulisannya yang berjudul
Matahari Akan Terbit di Barat, Kumpulan Karangan Terpilih sejak 1986–2010. Buku
yang diterbitkan oleh Borneo Tribune Press ini dapat dikategorikan sebagai respon
pemikiran cendekiawan ini terhadap etnisitas dan problem sosial masyarakat Kalbar.
Beberapa respon pemikiran al-Qadrie adalah sebagai berikut:
a. Kesadaran Etnis di Kalbar Menjadi Pemicu
Terjadinya KonflikAl-Qadrie memiliki anggapan bahwa kesadaran etnis
tertentu dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Kesadaran etnis dipicu oleh
adanya keinginan untuk tidak berada di bawah atau minimal sama dengan
kelompok etnis lain. Kesadaran etnis dapat terbentuk berdasarkan 2 hal, yaitu
kesadaran dari dalam kesadaran dari luar. Kesadaran dari dalam identik dengan
revivalisasi. Kesadaran ini menampilkan wajah ramah dan merupakan proses
pembelajaran yang mengakui dan menghargai keberadaan kelompok sendiri dan
kelompok lain sehingga akan timbul relasi dan interaksi etnis yang konstruktif.
Kesadaran ini akan melahirkan sikap dan perilaku positif yang diwujudkan
dengan bekerja, belajar dan berusaha keras untuk mengejar ketertinggalan
mereka dari kelompok lain (alQadrie, 2011: 14-15).
Kesadaran etnis yang kedua timbul setelah para anggota dari satu kelompok
etnis tertentu berdampingan dengan dan merasa tidak sama atau berbeda dari
kelompok etnis lain. Sikap kedua ini mengandung unsur negatif yaitu keinginan
untuk tidak tertinggal dari kelompok lain secara cepat dan melalui jalan pintas
(menerabas) dengan tidak melalui proses usaha, belajar, dan kerja keras. Sejarah
pertikaian antarkomunitas, khususnya di Kalbar, yang terjadi setiap tiga puluh
tahun sekali selama empat periode (alQadrie, 2000) mendukung uraian di atas
(alQadrie, 2011: 14-15).
Analisis al-Qadrie memberikan gambaran bahwa etnis tertentu di Kalbar
sedang mengalami kondisi yang dinamakan kesadaran etnis. Analisis ini
memberikan kesadaran bagi semua pihak agar lebih pandai menangani persoalan
etnis tersebut secara lebih proporsional.
b. Konflik Sambas
Dalam pandangan al-Qadrie konflik Melayu Sambas vs Madura bukan
semata-mata karena karakter orang Madura yang berani, kuat, ulet, keras hati,
kerja keras, hemat, tidak memilih jenis pekerjaan, bersedia menerima upah
rendah, dan karakter miring lainnya yang berbeda dengan orang Madura
pendatang lama. Akan tetapi, konflik tersebut lebih merupakan reaksi spontan
terhadap tindakan dua ratus orang Madura pendatang baru yang menyerang
perkampungan Melayu pada Idul Fitri (19 Januari 1999), mengobrak abrik,
membunuh, dan melukai sejumlah orang yang tidak berdosa (al-Qadrie,
2011:105). Konflik etnik di Sambas ini bukanlah konflik antara kelompok
Madura dengan Melayu secara menyeluruh, tetapi konflik itu lebih terbatas
antara pendatang baru Madura sebagai Madura Sambas dengan Melayu Sambas
(al-Qadrie, 135-136).
Al-Qadrie menegaskan bahwa dalam kasus Sambas, konflik yang terjadi
hanyalah antara pendatang baru Madura dengan Melayu Sambas, bukan antara
Madura Sambas dengan Melayu Sambas secara keseluruhan. Penegasan tersebut
dapat disebut sebagai upaya menciptakan damai dengan cara membatasi oknum
konflik agar tidak menyeret persoalan menjadi semakin besar yang dapat
menyulut isu etnisitas.
c. Kasus Singkawang
Respon al-Qadrie terhadap kasus Singkawang diuraikan kutipan berikut.
Singkawang berada pada kondisi siaga satu. Gejala kerusuhan mulai
tampak ketika Patung Naga didirikan di perempatan jalan di kawasan kota. Di
tambah dengan makalah Hasan Karman yang disampaikan pada 26 Agustus
2008 dianggap “berbau SARA” dan menyinggung marwah nenek moyang
Melayu lalu menuai kritik. Yang menyebabkan sebagian kelompok masyarak
Pontianak merasa terusik sehingga DPRD ancang-ancang memanggil HK (al-
Qadrie, 2011:34).
Al-Qadrie kemudian menggambarkan penanganan kasus Singkawang
dapat diatasi dengan baik karena upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Kapolda menginstruksikan jajarannya bertindak cepat dan tegas dengan
mengingatkan provokator dan perusuh. (Equator, 18 /6–2010:1 dalam al-Qadrie,
2011:46), sedangkan upaya penyelesaian makalah dilakukan oleh Walikota
Singkawang dengan melakukan:
Permintaan maaf secara tertulis dilakukan pada tanggal 4 Juni 2010. Permintaan
maaf ini diterima dengan lapang dada oleh pihak Kesultanan Sambas.
Permintaan maaf dengan cara menjalani prosesi adat di istana Kesultanan
Sambas yang dilaksanakan pada tanggal 14 Juni 2010 dan dihadiri oleh sembilan
kesultanan Kalbar.
d. Kasus Gang 17 tahun 2007
Kasus Gang 17 tahun 2007 terjadi pada hari Kamis, tanggal 06 Desember
2007 pukul 20.00 WIB di Jalan Tanjungpura Pontianak. Kericuhan terjadi akibat
adanya kesalahpahaman antara keluarga SY dan IH, keduanya bertetangga.
Keluarga SY menyerang IH karena tidak terima salah satu keluarga mereka
dipukul IH hingga terluka, akibatnya terjadi perkelahian. Akibat peristiwa
tersebut pagar (rolling door) rumah IH rusak karena diserang keluarga IH
(Pontianak Post, Sabtu, 08 Desember 2007).
Efek kericuhan yang terjadi di Gang 17 Tanjungpura tersebut
mengakibatkan Kota Pontianak berada dalam kondisi siaga, pihak keamanan
melakukan sweeping selama beberapa hari di sekitar kota Pontianak untuk
menghindari terjadinya kericuhan yang lebih besar. Hal ini karena konflik Gang
17 melibatkan melibatkan kelompok Habib dan Tionghoa. Mensikapi kasus
Gang 17 tersebut, al-Qadrie mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Kedua masyarakat memiliki karakter yang memandang perselisihan
dengan anggota kelompok lain sebagai masalah individu yang harus diselesaikan
secara pribadi melalui proses hukum. Oleh karena itu, perselisihan atau
kebencian terhadap kelompok lain dapat diturunkan menjadi kebencian individu.
sehingga perselisihan yang terjadi tidak membesar dan dapat cepat diselesaikan.
Kedua masyarakat tersebut memiliki keterkaitan sejarah yang mencatat
kedekatan antara kelompok Tionghoa dan Melayu sejak berdirinya Kesultanan
Qadariyah.
Selain itu, kedekatan geografis juga menunjukkan mereka mengalami
hidup berdampingan, berasimilasi melaui perkawinan dan pengangkatan anak
dan berintegrasi satu sama lain, terutama di kawasan Gang Ketapang, Gang 17,
Gang Siam dan Gang Kedah yang dihubungkan dengan jalan utama:
Tanjungpura dan Gajah Mada (alQadrie, 2011:135 – 136). Dari pandangannya
tersebut, al-Qadrie mengemukakan pentingnya kematangan bersikap dari tiap-
tiap etnis untuk tidak meningkatkan kebencian individu menjadi kebencian
kelompok. Jika kebencian individu meningkat menjadi kebencian kelompok
maka yang terjadi adalah konflik kekerasan antaretnis.

C. Pemikiran Islam Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup


Borneo

1. Pemikiran Islam Klasik


Periodisasi pemikiran Islam Periode Klasik2 dapat dibagi ke dalam dua fase,
yaitu fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000); dan fase disintegrasi
(1000-1250). Fase pertama (650-1000) yaitu zaman dimana wilayah Islam mulai
meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke
India di Timur. Wilayah itu berada dalam teritorial khalifah yang pada mulanya
berkedudukan di Madinah dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad.
Di masa inilah berkembang dengan pesat ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti
fiqh, filsafat, sufisme dan termasuk teologi. Dari periode ini ulama–ulama fiqh yang
mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam
bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam AlMaturidi,
Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai. Fase kedua (1000-1250)
adalah persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik
politik seringkali melanda sehingga hancurnya imperium Islam yang menyebabkan
Baghdad berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.
Terjadinya gelombang ekspansi pertama, semenanjung Arab, Palestina, Suria,
Irak, Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Pada 661 M,
Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi
yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan
kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal. Namun konflik
internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani
Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih 90 tahun (661 M – 750 M) dan
kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah. Bani Abbasiyah (750 M – 1258 M)
diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah,
Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan sebagian
wilayah Asia Tengah.
Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti
Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani
Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan pengetahuan. Semangat agama
yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani
‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M).
Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab terjadi secara besar-
besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar
Bait alHikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) di Baghdad yang
kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.
Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan
filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat
Islam sebenarnya adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam
bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin
untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat
Yunani atau Helenisme. Elaborasi karya klasik dengan dialektika dogma dan stigma
masyarakat, melahirkan karya mutakhir pada zamannya yang bercorak Islam.
Gairah penggalian terhadap ilmu pengetahuan telah mendorong para ilmuan
Islam untuk dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru seperti; di bidang
kedokteran (Muhammad Ibn Zakariyyah Ar-Razi: Kitab Al-Judari wal Hashbah: buku
tentang cacar dan campak. Abu Ali Al-Husain Ubn Zina: Al-Qahun Fi-ith-Thiha :
Pedoman ilmu Kedokteran), Farmasi (Abdullah bin Ahmad Ibn Baytar: Jami’ Fi
adwiyat al-Mufradah: Bahn lengkap tentang ramuan obat sederhana) Astronomi
( Abu Rasyihan al-Biruni: Maqolid Ilm Al-Hay’ah: Kunci ilmu bintang-bintang)
Pertanian (Abi Zakariyya Ibn Awwam: Kitab Al Filahah: Biku Ilmu pertanian) Ilmu
Hewan (Syaraf Az-Zaman Al Mawazi: Thabay Al Hayawan: Ilmu tentang tabiat
binatang. Lahirnya cendekiawan dan ilmuan muslim mencitrakan Islam menjadi
referensi peradaban pada masanya.
2. Corak Pemikiran Islam Abad
PertengahanPada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I
(1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada faseini ‘benih’ perpecahan dan
disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syai’ah
semakin menajam. Di sisi lain secara geografis dunia Islam mengalami perpecahan
menjadi nation-state kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam
terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina,
Mesirdan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua yaitu bagian Persia
yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai
pusat.
Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman
kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu
adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan
Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing
kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khususnya di bidang literatur dan
seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan
di era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam
terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam atau masih sangat rendah. Periode
ini biasanya dikenal dengan zaman kebekuan atau kejumudan. Kata jumud
mengandung arti keadaan membeku, statis, tiada perubahan. Keadaan seperti ini
melanda umat Islam sejak akhir abad 13 hingga memasuki abad 18 M.
Pemikiran rasional yang dulu mendapat tempat yang proporsional digantikan
dengan pemikiran tradisional. Adanya pengingkaran terhadap potensi manusia.
Kemandekan dan kejumudan pemikiran keagamaan terjadi, banyak mempersepsikan,
sebagai ‘dimenangkan’ oleh ulama tradisionalis. Banyak referensi mencatat bahwa
hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan
mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya Tahafut alFalasifa (Kerancuan atas
Para Filosof).
Ibnu Rusyd membidas balik kritik AlGhazali, dan mencoba mensucikan filsafat.
Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim.
Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya
tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai
sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning)
yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan
antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi , filosof pertama yang memadukan
keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama
yang filosofis karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas
berserta filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa
agama dan filsafat bertentangan. Hasan Hanafi menyatakan, sebagaimana yang
dikutip A. Khudori Soleh, bahwa penyebab kejumudan dan kebekuan pemikiran
keagamaan adalah
a. Eksklusifisme. Karena adanya pentokohan, bahkan pensakralan individu, sikap
tradisionalistik menggiring terbentuknya sikap-sikap eksklusif yang hanya
menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak
keberadaan fihak lain.
b. Subjektifisme. Sebagai akibat lanjut dari eksklusifisme, orang-orang kelompok ini
menjadi kehilangan sikap objektifitas dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan
salah tidak lagi didasarkan atas persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari
dan oleh kelompok mana atau tokoh siapa.

Determinisme. Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi diatas, dimana
masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka menjadi
terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah
keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah apalagi menolak.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Menurut Pudjawijatn (1963) kata filsafat itu kata Arab yang berhubung rapat
dengan kata Yunani, bahkan asalnyapun dari kata Yunani pula., yaitu filosofia. Kata
filosofia merupakan kata majemuk yang terjadi dari kata filo dan sofia. Filo artinya
“cinta” dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin yang disertai usaha untuk mencapai
yang diingini. Sedangkan sofia artinya “kebijaksanaan”, yaitu mengerti secara mendalam.
Jadi menurut namanya filsafat boleh diartikan “cinta kepada kebijaksanaan”, atau “ingin
mengerti secara mendalam”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Pythagoras sebagai
ejekan atau sindiran terhadap para “sofis” yang berpendapat bahwa mereka tahu jawaban
untuk semua pertanyaan. Namun menurut Pythagoras: hanya Tuhan mempunyai hikmat
yang sungguhsungguh, sedangkan manusia harus puas dengan tugasnya di dunia ini,
yaitu “mencari hikmat”, “mencintai pengetahuan”. Yang sebenarnyla layak disebut sofis
itu hanya Tuhan, dan manusia hanya sekedar disebut fisosofos.
Corak Pemikiran Para Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup
Borneo ada dua yaitu : Pemikiran Eka Hendry dan Pemikiran Syarif Ibrahim al-Qadrie
Pemikiran Islam Budaya Borneo Ilmu Pengetahuan Maupun Falsafah Hidup
Borneo adalah Pemikiran Islam Klasik dan Corak Pemikiran Islam Abad.

B. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,


akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki.
Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan
penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA

- Dr. Syarif, MA., "CORAK PEMIKIRAN ISLAM BORNEO (Studi Pemikiran Tokoh Muslim
Kalimantan Barat Tahun 1990-2017)", Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam, At-Turats Vol. 12
No.1 (2018)

- MASFIAH UMI, "FALSAFAH DAMAI UNTUK BORNEO (Studi terhadap Pesan Damai
dalam Karya Tiga Cendekiawan Muslim Kalbar Pasca Reformasi)", Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Semarang, Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015

- Wahana Paulus, "FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN", Pustaka Diamond, Yogyakarta,


Agustus 2016

Anda mungkin juga menyukai