Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi
individu, termasuk berpikir, berkomunikasi, merasakan, dan mengekspresikan emosi, serta
gangguan otak yang ditandai dengan pikiran yang tidak teratur, delusi, halusinasi, dan
perilaku aneh. Skizofrenia adalah penyakit yang mempengaruhi berbagai area fungsi
individu, termasuk: berpikir, berkomunikasi, menerima, menafsirkan realitas, merasakan, dan
menunjukkan emosi (Wulandari, Y., Pardede, J. A., 2020).

Skizofrenia merupakan kondisi psikotik yang berpengaruh terhadap area fungsi individu,
termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima, menafsirkan kenyatan, merasakan dan
menunjukkan emosi serta penyakit kronis yang ditandai dengan pikiran kacau, delusi,
halusinasi, dan perilaku aneh. Halusinasi merupakan distorsi persepsi palsu yang terjadi pada
respon neurobiologist maladaptive, penderita sebenarnya mengalami distorsi sensori sebagai
hal yang nyata dan meresponnya. Faktor-faktor yang mampu mempengaruhi kekambuhan
penderita skizofrenia dengan halusinasi meliputi ekspresi emosi keluarga yang tinggi,
pengetahuan keluarga yang kurang, ketersediaan pelayanan kesehatan, penghasilan keluarga
dan kepatuhan minum obat pasien skizofrenia (Pardede, 2020).

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan, prevalensi


skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga. Artinya, dari 1.000
rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga (ART)
pengidap skizofrenia/psikosis. Secara umum, hasil riset riskesdas tahun 2018 juga
menyebutkan sebanyak 84,9% pengidap skizofrenia/psikosis di Indonesia telah berobat.
Namun, yang meminum obat tidak rutin lebih rendah sedikit daripada yang meminum obat
secara rutin. Tercatat sebanyak 48,9% penderita psikosis tidak meminum obat secara rutin
dan 51,1% meminum secara rutin. Sebanyak 36,1% penderita yang tidak rutin minum obat
dalam satu bulan terakhir beralasan merasa sudah sehat. Sebanyak 33,7% penderita tidak
rutin berobat dan 23,6% tidak mampu membeli obat secara rutin (Riskesdas, 2018).
Halusinasi adalah sebagai pengalaman yang salah atau persepsi yang salah atau respon yang
salah terhadap stimulasi sensorik. Suatu penyimpangan persepsi palsu yang terjadi pada
respon neurologis maladatif. Seseorang sebenarnya mengalami penyimpangan sensorik
sebagai hal yang nyata dan meresponya. Halusinasi dapat muncul dari salah satu panca indra.
Respon terhadap halusinasi dapat mendengar suara, curiga, khawatir, tidak mampu
mengambil keputusan, tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata. Pasien halusinasi
disebabkan karena faktor pola asuh, perkembangan, neurobiology, psikologis sehingga
menimbulkan gejala halusinasi. Seseorang yang mengalami halusinasi bicara sendiri, senyum
sendiri, tertawa sendiri, menarik diri dari orang lain, tidak dapat membedakan nyata dan tidak
nyata (Fitri, 2019).

Hasil survey awal yang dilakukan diruang rawat inap Sinabung di RSJ Prof, Dr, M.Ildrem,
terdapat 18 orang pasien yang mengalami skizofrenia dengan masalah gangguan presepsi
sensori : Halusinasi. Sehingga penulis tertarik untuk memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan masalah halusinasi pendengaran.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana memberikan asuhan keperawatan jiwa Pada Tn. A dengan Gangguan Persepsi
Sensori: Halusinasi Pendengaran di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Medan.

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuannya sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan jiwa pada Tn.A dengan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di RSJ Prof. Dr. Muhammad
Ildrem Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien Tn.A dengan gangguan
presepsi sensori : halusinasi pendengaran
b. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa atau masalah keperawatan pada Tn.A
dengan gangguan presepsi sensori : halusinasi pendengaran
c. Mampu menetapkan intervensi keperawatan secara menyeluruh pada Tn.A dengan
gangguan presepsi sensori : halusinasi pendengaran
d. Mahasiswa mampu melakukan tindakan keperawatan yang nyata pada Tn.A dengan
gangguan presepsi sensori : halusinasi pendengaran
e. Mahasiswa mampu mengevaluasi sebagai tolak ukur guna menerapkan asuhan
keperawatan pada Tn.A dengan gangguan presepsi sensori : halusinasi pendengaran
f. Mahasiswa mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Tn.A dengan
gangguan presepsi sensori : halusinasi pendengaran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Halusinasi
2.1.1 Pengertian
Stuart & Laraia (2009) mendefinisikan halusinasi sebagai suatu tanggapan dari panca
indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal Halusinasi merupakan gangguan
persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Ada
lima jenis halusinasi yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan dan
perabaan. Halusinasi pendengaran merupakan jenis halusinasi yang paling banyak
ditemukan terjadi pada 70% pasien, kemudian halusinasi penglihatan 20%, dan
sisanya 10% adalah halusinasi penciuman, pengecapan dan perabaan.

Halusinasi merupakan distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respon neurobiologist
maladaptive, penderita sebenarnya mengalami distorsi sensori sebagai hal yang nyata
dan meresponnya (Pardede, 2020).

2.1.2 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut
(Nurhalimah, 2016):
a. Data Subyektif:
Pasien mengatakan :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau
monster
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b. Data Obyektif
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8) Menutup hidung
9) Sering meludah
10) Muntah
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit

2.1.3 Proses Terjadi Halusinasi


Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi
Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi (Nurhalimah,
2016) :
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari :
1) Faktor Biologis : Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
2) Faktor Psikologis Memiliki riwayat kegagalan yang berulang. Menjadi
korban, pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih
sayang dari orang-orang disekitar atau overprotektif.
3) Sosiobudaya dan lingkungan Sebahagian besar pasien halusinasi berasal dari
keluarga dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat
penolakan dari lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi
seringkali memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta pernahmmengalami
kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak
bekerja.

b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, adanya
riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam
hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang
sering tidak sesuai dengan pasien serta konflik antar masyarakat.

2.1.4 Rentang Respon Neurobiologis


Menurut Stuart dan Laraia (2005) halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif
individu yang berada dalan rentang respon neurobiologis. Ini merupakan respon
persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat mampu
mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui pancaindra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan,
peraban), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus pancaindra
walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Rentang respon tersebut dapat
digambarkan seperti dibawah ini (Muhith, 2015 ) :

Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran ilusi 1. Gangguan pikir/delusi


2. Persepsi akurat 2. Reaksi emosi 2. Halusinasi
3. Emosi konsisten berlebihan 3. Sulit merespon emosi
dengan pengalaman 3. Perilaku aneh atau 4. Perilaku disorganisasi
4. Perilaku sesuai tidak biasa 5. Isolasi social
5. Berhubungan sosial 4. Menarik diri
2.1.5 Tahapan Halusinasi
Halusinasi yang dialami pasien memiliki tahapan sebagai berikut (Nurhalimah, 2016):
a. Tahap I : Halusinasi bersifat menenangkan, tingkat ansietas pasien sedang. Pada
tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan.
Karakteristik : Karakteristik tahap ini ditAndai dengan adanya perasaan bersalah
dalam diri pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba
menenangkan pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui bahwa
pikiran dan sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non
psikotik).
Perilaku yang Teramati:
1) Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
2) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3) Respon verbal yang lambat
4) Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.

b. Tahap II : Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat


berat dan halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien.
Karakteristik : pengalaman sensori yang dialmi pasien bersifat menjijikkan dan
menakutkan, pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan kendali,
pasien berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan,
pasien merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang
lain (non psikotik).
Perilaku yang teramati :
1) Peningkatan kerja susunan sarapotonom yang menunjukkan timbulnya
ansietas
2) seperti peningkatan nadi, TD dan pernafasan.
3) Kemampuan kosentrasi menyemspit.
4) Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan kemampuan untuk
5) membedakan antara halusinasi dan realita.

c. Tahap III : Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien,
pasien berada pada tingkat ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi menguasai
pasien.
Karakteristik : Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk
melawan pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya.
Isi halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian
jika pengalaman tersebut berakhir ( Psikotik .
Perilaku yang teramati:
1) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
pada
2) menolak.
3) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
4) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari ansietas
berat seperti : berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti petunjuk.
d. Tahap IV : Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat
ansietas berada pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit
dan saling terkait dengan delusi.
Karakteristik : Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti
perintah halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari
apabila tidak diintervensi (psikotik).
Perilaku yang teramati :
1) Perilaku menyerang - teror seperti panik.
2) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
3) Amuk, agitasi dan menarik diri.
4) Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek .
5) Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
2.1.6 Jenis Halusinasi
Jenis halusinasi Data Obyektif Data Subyektif

Halusinasi 1. Bicara atau tertawa 1. Mendengar suara-


sendiri suara atau kegaduhan.
Pendengaran
2. Marah-marah tanpa 2. Mendengar suara
sebab yang mengajak
3. Menyedengkan telinga bercakap-cakap
ke arah tertentu 3. Mendengar suara
4. Menutup telinga menyuruh melakukan
sesuatu yang
berbahaya.
Halusinasi 1. Menunjuk-nunjuk ke 1. Melihat bayangan,
arah tertentu sinar,
Penglihatan
2. Ketakutan pada sesuatu 2. bentuk geometris,
yang tidak jelas. bentuk
3. kartoon, melihat
hantu atau monster.
Halusinasi 1. Mengisap-isap seperti 1. Membaui bau-bauan
Penghidu sedang membaui bau- seperti bau darah,
bauan tertentu. urin, feses, kadang-
2. Menutup hidung. kadang bau itu
menyenangkan.

Halusinasi 1. Sering meludah 1. Merasakan rasa


2. Muntah seperti darah, urin
Pengecapan
atau feses
Halusinasi 1. Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada
Perabaan permukaan serangga di
2. kulit 2. permukaan kulit
3. Merasa seperti
tersengat
4. Listrik
2.1.7 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta
ungkapan pasien. Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Data Subyektif: Pasien mengatakan :
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau
monster
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
6) Merasakan rasa seperti darah, urin atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya

b. Data Obyektif
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga ke arah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
7) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
8) Menutup hidung.
9) Sering meludah
10) Muntah
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit

2.2 Konsep Asuhan Keperawataan Jiwa


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah proses pertama dalam proses keperawatan. Tahap pengkajian
merupakan proses pengumpulan data secara sistematis yang digunakan untuk
menentukan status kesehatan juga fungsional kerja serta respons pasien pada saat ini
dan sebelumnya. Tujuan dari pengkajian keperawatan yaitu untuk menyusun databes
atau data dasar mengenai kebutuhan, masalah kesehatan dan juga respons pasien
terhadap masalah (Sutejo 2017).
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, No MR, tanggal masuk RS, tangal pengkajian.
2. Alasan masuk
Biasanya klien masuk dengan alasan sering mengamuk tanpa sebab, memukul,
membanting, mengancam, menyerang orang lain, melukai diri sendiri,
mengganggu lingkungan, bersifat kasar dan pernah mengalami gangguan jiwa
dimasa lalu kambuh karena tidak mau minum obat secara teratur (Keliat,2016).
3. Faktor Predisposisi
a. Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa lalu dan pernah
dirawat atau baru pertama kali mengalami gangguan jiwa (Parwati, Dewi &
Saputra 2018).
b. Biasanya klien berobat untuk pertama kalinya kedukun sebagai alternative
serta memasung dan bila tidak berhasil baru di bawa kerumah sakit jiwa
(Fadillah, 2021).
c. Trauma, biasanya klien pernah mengalami atau menyaksikan penganiayaan
fisik, seksual, penolakan, dari lingkungan (Siregar, S. L., 2022).
d. Biasanya ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, kalau ada
hubungan dengan keluarga, gejala, pengobatan dan perawatan (Amelia, dkk.,
2013).
e. Biasanya klien pernah mengalami pengalaman masa lalu yang tidak
menyenangkan misalnya, perasaan ditolak, dihina, dianiaya, penolakan dari
lingkungan (Sahputra, A., 2021).
4. Fisik Pengkajian fisik
a. Ukur dan observasi tanda-tanda vital seperti tekanan darah akan bertambah
naik, nadi cepat, suhu, pernapasan terlihat cepat.
b. Ukur tinggi badan dan berat badan.

c. Yang kita temukan pada klien dengan prilaku kekerasan pada saat
pemeriksaan fisik (mata melotot, pandangan tajam, tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah)

d. Verbal (mengancam, mengupat kata-kata kotor, berbicara kasar dan ketus).


5. Psikososial
a. Genogram
Genogram dibuat 3 generasi keatas yang dapat menggambarkan hubungan
klien dengan keluarga. Tiga generasi ini dimaksud jangkauan yang mudah
diingat oleh klien maupun keluarga pada saat pengkajian (Pangaribuan, 2022).
b. Konsep diri
Biasanya ada anggota tubuh klien yang tidak disukai klien yang
mempengaruhi keadaan klien saat berhubungan dengan orang lain sehingga
klien merasa terhina, diejek dengan kondisinya tersebut (Winranto, 2022).
c. Identitas
Biasanya pada klien dengan prilaku kekerasan tidak puas dengan
pekerjaannya, tidak puas dengan statusnya, baik disekolah, tempat kerja dan
dalam lingkungan tempat tinggal (Novia, 2022).
d. Harga diri
Biasanya klien dengan risiko prilaku kekerasan hubungan dengan orang lain
akan terlihat baik, harmoni sata terdapat penolakan atau klien merasa tidak
berharga, dihina, diejek dalam lingkungan keluarga maupun diluar lingkungan
keluarga (Ginting, 2022).
e. Peran diri
Biasanya klien memiliki masalah dengan peran atau tugas yang diembannya
dalam keluarga, kelompok atau masyarakat dan biasanya klien tidak mampu
melaksanakan tugas dan peran tersebut dan merasa tidak berguna (Muhith,
2015).
f. Ideal diri
Biasanya klien memilki harapan yang tinggi terhadap tubuh, posisi dan
perannya baik dalam keluarga, sekolah, tempat kerja dan masyarakat
(Rahmawati, 2017).
6. Hubungan sosial (Effendy, 2021).
a. Orang yang berarti tempat mengadu, berbicara
b. Kegiatan yang diikuti klien dalam masyarakat dan apakah klien berperan aktif
dalam kelompok tersebut
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain/tingkat keterlibatan klien
dalam hubungan masyarakat (Rahmawati, 2017)..
7. Spiritual (Effendy, 2021).
a. Nilai dan keyakinan
b. Biasanya klien mengatakan bahwa dia tidak mengalami gangguan jiwa.
c. Kegiatan ibadah
d. Biasaya dalam selama sakit klien jarang melakukan ibadah.
8. Status mental (Effendy, 2021).
a. Penampilan
Biasanya penampilan klien kotor.
b. Pembicaraan
Biasanya pada klien halusinasi pada saat dilakukan pengkajian bicara lambat,
apatis, dan membisu.
c. Aktivitas Motorik
Biasanya aktivitas motoric klien dengan halusinasi akan terlihat lesu, gelisah,
gerakan otot muka berubah- ubah.
d. Alam Perasaan
Biasanya akan merasa sedih dan gembira berlebihan
e. Efek
Biasanya afek klien tumpul, labil dan tidak kemampuan ekspresi emosi yang
tampak dari tatapan mata kosong, irama suara monoton dan bahasa tubuh
yang sangat kurang (Effendy, 2021).
f. Interaksi selama wawancara
Biasanya klien dengan halusinasi akan terlihat tidak kooperatif, tidak mau
menatap lawan bicara dan mudah tersinggung (Dwi, 2020).
g. Persepsi
Biasanya klien dengan halusinasi memiliki presepsi mendengar bisikan dan
melihat benda tidak nyata (Devi, 2020).
h. Isi pikir
Biasanya klien meyakini dirinya tidak sakit, dan baik-baik saja.
i. Tingkat kesadaran
Biasanya klien prilaku kekerasan kadang tampak bingung,
j. Memori
Biasanya klien diwaktu wawancara dapat mengingat kejadian yang terjadi dan
mengalami gangguan daya ingat jangka panjang.
k. Kemampuan penilaian
Biasanya klien mengalami kemampuan penilaian ringan dan sedang dan tidak
mampu mengambil keputusan
l. Daya fikir diri
Biasanya klien mengingkari penyakit yang dideritanya
9. Kebutuhan persiapan pulang (Effendy, 2021).
a) Makan
Biasanya klien tidak mengalami perubahan
b) BAB/BAK
Biasanya klien dengan risiko prilaku kekerasan tidak ada gangguan
c) Mandi
Biasanya klien jarang mandi, tidak menyikat gigi, jarang mencuci rambut dan
bercukur atau berhias. Badan klien sangat bau dan kotor, dan klien hanya
melakukan kebersihan diri jika disuruh.
d) Berpakaian
Biasanya klien jarang mengganti pakaian, dan tidak mau berdandan. Klien
tidak mampu mengenakan pakaian dengan sesuai dan klien tidak mengenakan
alas kaki
e) Istirahat dan tidur
Biasanya klien tidak melakukan persiapan sebelum tidur, seperti: menyikat
gigi, cucu kaki, berdoa. Dan sesudah tidur. Seperti: merapikan tempat tidur,
mandi atau cuci muka dan menyikat gigi. Frekuensi tidur klien berubah-ubah,
kadang nyenyak dan kadang gaduh atau tidak tidur.
f) Penggunaan obat
Biasanya klien mengatakan minum obat 3 kali sehari dan klien tidak
mengetahui fungsi obat dan akibat jika putus minum obat.
g) Pemeliharaan Kesehatan
Biasanya klien tidak memperhatikan kesehatannya, dan tidak peduli tentang
bagaimana cara yang baik untuk merawat dirinya.
h) Aktifitas didalam rumah
Biasanya klien mampu merencanakan, mengolah, dan menyajikan makanan,
merapikan rumah, mencuci pakaian sendiri dan mengatur biaya sehari-hari.
10. Mekanisme koping
Biasanya klien menggunakan respon maldaptif yang ditandai dengan tingkah laku
yang tidak terorganisir, marah-marah bila keinginannya tidak terpenuhi, memukul
anggota keluarganya, dan merusak alat-alat rumah tangga.
11. Masalah psikologis dan lingkungan
Biasanya klien merasa ditolak dan mengalami masalah interaksi dengan
lingkungan
12. Pengetahuan
Biasanya klien dengan prilaku kekerasan kurang pengetahuan tentang
penyakitnya,dan klien tidak mengetahui akibat dari putus obat dan fungsi Dari
obat yang diminumnya.

Anda mungkin juga menyukai