Anda di halaman 1dari 4

TEMPAT DI MANA KITA SEBUT RUMAH

Amira Jasmine R.

Lail terbangun dari tidurnya di tengah siang bolong ini, dia


segera mempause lagu yang ia dengarkan dari earphone-nya sejak
semalam. Bergadang sudah jadi sahabat sejak pandemi ini, dia
sendiri juga bingung bagaimana cara mengatasi kebiasaan
buruknya. Dia tak dapat memejamkan matanya sebelum subuh tiba.
Lail adalah anak tunggal dalam keluarganya.
Tak heran jika kedua orang tuanya sangat menyayanginya
dan menginginkan yang terbaik untuknya. Lail lahir dari keluarga
yang tergolong mampu, apapun yang ia mau pasti selalu dituruti.
Kasih sayang yang didapatkan Lail bisa dikatakan lebih dari cukup.
Namun entah mengapa, setiap minggu pasti selalu ada perselisihan
antara dia dan ayahnya.
Lail tidak suka jika ayahnya bersikap banyak menuntut
dalam kehidupannya, apalagi kalau itu tentang nilai sekolahnya.
Ayahnya selalu menuntut nilai minimal 90 dalam semua pelajaran.
Hal tersebut membuat Lail merasa tertekan. Ya, karena pada
dasarnya Lail hanya menyukai kebebasan hehe.
Lail adalah anak yang bisa dibilang santai. Ia tidak suka
didekte dan diatur oleh siapa pun. Dan dari segala aspek yang
paling ia sukai adalah musik, buku, dan game sebagai pelarian dari
segala beban hidupnya. Hal itulah yang selalu menjadi percikan-
percikan pertikaiannya dengan sang ayah. Mereka berdua tidak
sefrekuensi. Sang ayah yang selalu menuntut kesempurnaan dan
Lail adalah seseorang yang menyukai kebebasan.
“Aku benci ayah!” teriak Lail sambil menahan tangis.
Lail, perempuan yang kini berlari keluar dari apartemennya
menuju rooftop untuk mencari udara segar setelah berdebat dengan
ayahnya untuk yang kesekian kalinya karena bangun kesiangan. Lail
muak dengan semua tekanan dari ayahnya itu, dia ingin sekali
mengumpat.
Namun, ia masih sadar diri kalau yang dihadapinya itu
ayahnya. Bagaimanapun, ia harus tetap hormat kepadanya. Kini
hanya musik dari earphone-nya yang menurutnya bisa membuat
dirinya tenang, namun sepertinya tidak untuk waktu yang lama.
Sesampainya di rooftop, Lail memilih untuk duduk di
sebuah gazebo yang ada di sudut kolam renang. Lail terdiam, duduk
melamun di gazebo memandang jernihnya air kolam renang yang
ada di rooftop apartemennya sambil menikmati alunan musik dari
earphone-nya. Kota Jakarta cukup terik di hari libur ini. Namun,
ketika sedang asyik-asyiknya menikmati belaian angin sepoi-sepoi
dan alunan musik kesukaan Lail, tiba-tiba langit muram seolah ikut
merasakan suasana hati Lail yang sedang kelabu. Lail berusaha
menikmati kelabunya kota Jakarta tanpa bergeming. Sampai-sampai
ia tak menyadari ada seseorang yang mendekatinya dan
mengajaknya bicara.
"Need someone to talk to?" tanya Semesta kepada Lail.
Ternyata orang itu adalah Semesta. Semesta dan Lail
berteman sejak Lail pindah ke Jakarta untuk ikut ayahnya bekerja.
Dia bertemu Semesta di toko piringan hitam dekat apartemennya
dan kebetulan mereka sama-sama menyukai lagu-lagu karya
Mozart. Awalnya, Semesta bercerita tentang betapa kagumnya dia
dengan karya-karya Mozart. Lail juga tak mau kalah hingga
akhirnya mereka saling bertukar pengalaman. Obrolan mereka kala
itu sangat seru. Dari situlah akhirnya Semesta dan Lail menjadi
dekat dan bersahabat.
Bagi Lail, Semesta adalah orang yang sangat
menyenangkan. Kehadiran Semesta selalu bisa mencairkan suasana.
Dia pun mempercayai Semesta sebagai tempat berkeluh kesah saat
dia merasa gundah. Dia adalah seseorang yang selalu ada saat Lail
sedang membutuhkan seorang teman.
Balik lagi ke Semesta yang sedang bertanya kepada Lail. Lail
hanya terdiam tidak menjawab, dia masih merasa kesal dengan
sikap ayahnya. Bagaimana tidak, ayahnya sampai-sampai
meninggikan suaranya saat berbicara kepadanya. Itu bukan yang
Lail inginkan dari seorang ayah. Menurutnya, semua bisa
dibicarakan dengan baik-baik. “Gue bisa kok diajak bicara baik-baik.
Tanpa harus ada bentakan,” kata Lail.
Satu per satu rinai hujan mulai turun, bersama dengan
tetesan air mata Lail yang sedari tadi ia tahan agar tak berderai.
Semesta mencoba menghiburnya.
“Lail, coba lihat. Kalau lu nangis, langit pun ikut menangis.
Ayo, mana senyum manismu agar dunia pun ikut tersenyum
bersamamu,” kata Semesta sambil mengembangkan senyumnya.
Hujan semakin deras, dia menarik tangan Lail dan berlari
bersama Lail ditengah derasnya hujan. “Berteriaklah sesukamu Lail!
Keluarkan semua kekesalan di dunia ini! Terkadang tidak apa-apa
untuk menjadi rapuh!” seru Semesta.
“Gue lelah dituntut dapet nilai yang memuaskan. Adu mulut
sama bokap tiap minggu, setiap argumen bokap pasti selalu minta
maaf duluan. Tapi, dia bakal selalu mengulangi hal yang sama. Gue
terkadang berharap tidak dilahirkan di dunia ini!” teriak Lail di
bawah derasnya hujan di kota Jakarta.
“Hidup itu ibarat lu lagi belajar naik sepeda, Lail. Lu pasti
bakal terjatuh. Dan lu ga bakal cuman terjatuh sekali atau dua kali,
tapi lebih. Dari situlah lu bisa belajar dari kesalahan buat bisa jadi
kuat,” jawab Semesta.
Lail merenungi kalimat yang dilontarkan Semesta
kepadanya. “Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja dengan
berjalannya waktu. Maafin ayah kamu dan saling berkomunikasi, ya.
I hope it can fix both of you,” sambung Semesta.
Semesta berlompat-lompat kecil, disusul oleh Lail yang
berlompat-lompat kecil juga. Semesta berhasil membuat Lail
kembali tersenyum. Mereka merasa bebas di bawah derasnya hujan.
Lail tak salah, Semesta adalah seseorang yang sangat
menyenangkan dan seorang pendengar yang baik. Ketika Lail
sedang dalam masalah, dia selalu menasihati dan memberikan
solusi atas permasalahan yang sedang ia hadapi. Bagi Lail, tidak ada
yang menyenangkan di dunia selain bermain-main di bawah ribuan
tetes hujan bersama Semesta. “Terima kasih Semesta, kau sudah
memberi warna di hidupku,” kata Lail dalam hati. Semestapun
begitu menyayangi Lail. Ia berharap Lail selalu mengisi hari-harinya
sampai mereka menua bersama.

***

Anda mungkin juga menyukai