Kelas : PPJK2E
Nama Kelompok 4 :
1. Audy Vionika / 2122091
2. Agnes Febyyana / 2122097
3. Fadillah Sekar N /2122098
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PERTAMBAHAAN NILAI ATAS BARANG
MEWAH
1.PENGERTIAN
1.1 PPN
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas
transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau
wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
1.2 PPNbM
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang
dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen
(pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2.DASAR HUKUM
2.1 DASAR HUKUM PPN.
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan PPnBM (Pajak
Penjualan atas Barang Mewah) yang disahkan pada 1 April 1985.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
Setelah UU No. 8 Tahun 1983, muncul perubahan kedua yaitu Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM. Perubahan ini dilakukan
dengan tujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang tepat untuk
masyarakat juga untuk meningkatkan penerimaan negara.
3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (PERUBAHAN PADA UU CIPTA
KERJA)
Perubahan ketiga adalah UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan PPnBM. Untuk melengkapi kekurangan pada UU
PPN sebelumnya, undang-undang ini bertujuan memberikan keadilan hukum
dan keamanan bagi negara dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang jauh
lebih sederhana.
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Meski ketentuan baru tentan PPN ini juga diatur kembali dalam UU No.11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada klater perpajakan, namun UU 42 Tahun
2009 sebagian masih berlaku.
3.OBJEK.
3.1 PPN.
Objek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan
Objek PPN adalah:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak atau (BKP) yaitu merupakan barang berwujud
yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang
tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan
UU PPN. Pengaturan cakupan BKP dalam UU PPN bersifat “negative list”,
dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali
ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN dan Jasa Kena Pajak (JKP)
yang merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang pesanan atau permintaan dengan bahan dan/atau petunjuk dari
pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.Seperti halnya cakupan
BKP, pengaturan cakupan JKP dalam UU PPN juga bersifat “negative list”,
dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh jasa merupakan JKP, kecuali
ditetapkan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
b) Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
c) Ekspor BKP dan/atau JKP
d) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan
e) Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak
untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya
dapat dikreditkan
Daerah Pabean yang dimaksud adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan yakni
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, namun ada kawasan
bebas yang merupakan istilah yang mengacu pada kawasan perdagangan bebas
yang ada dalam wilayah hukum Indonesia.
Kawasan bebas ini perlakuannya terpisah dari daerah pabean, dalam
kawasan bebas tidak ada pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan cukai. Hasil dalam kawasan
bebas ini juga tidak mesti untuk kepentingan ekspor. Kawasan bebas di
Indonesia ini terdiri atas empat, yakni di Batam, Sabang, Bintan dan Karimun
kawasan bebas diberikan perlakuan istimewa dalam aspek perpajakan.Syarat
Penetapan Kawasan Berikat & Kawasan Bebas
Tidak semua kawasan industri menjadi kawasan berikat, meski peruntukan
kawasan industri tersebut untuk kepentingan ekspor. Ada sejumlah syarat khusus
yang harus dipenuhi agar suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan
berikat.Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Melalui keputusan Presiden
Kawasan yang mendapat izin Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB)
apabila mendapat persetujuan dari pemerintah dan dikukuhkan melalui
Keputusan Presiden.
2. Memenuhi persyaratan perusahaan tertentu
Jenis perusahaan yang dapat diberikan izin PKB adalah perusahaan-
perusahaan yang berbentuk:
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau keseluruhan sahamnya
Non-PMA atau PMDN dengan badan hukum Perseroan Terbatas (PT)
Koperasi yang memiliki badan hukum
Yayasan
3. Perusahaan yang memenuhi syarat PKB
Untuk bisa mendapatkan izin PKB, suatu perusahaan harus memenuhi beberapa
ketentuan, antara lain:
Ada di dalam kawasan industri.
Jika berada dalam daerah yang tidak memiliki kawasan industri, maka
perusahaan tersebut berlokasi di kawasan yang diperlakukan sebagai kawasan
industri/kawasan peruntukan industri. Penentuannya merupakan kewenangan
Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya).
Telah memiliki kawasan industri sebelum ketentuan mengenai kawasan
berikat disahkan.
Sedangkan untuk kawasan bebas, penentuannya merupakan kewenangan
pemerintah pusat Indonesia, dengan [pengukuhan lewat Peraturan Pemerintah.
Misalnya, saat penentuan kawasan bebas Bintan, yang dikukuhkan lewat PP
Nomor 41 Tahun 2017.
Badan yang ditunjuk untuk mengelola kawasan bebas ini untuk selanjutnya
disebut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
atau lazim disebut Badan Pengusahaan (BP), seperti yang ada di Batam dan
Bintan yang dinamakan BP Batam dan BP Bintan.Perlakuan perpajakan dalam
kawasan berikat memiliki landasan hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 255/PMK.04/2011 yang merupakan PMK perubahan atas PMK Nomor
147/PMK.04/2011. PMK ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
85 Tahun 2015.Pada kawasan berikat, PPN dan PPnBM tidak dikenakan pada
beberapa aktivitas pemasukan, antara lain:
1. Pemasukan barang dari dalam daerah pabean ke kawasan berikat untuk diolah.
2. Pemasukan barang hasil produksi kawasan berikat, yang bersifat kerja
subkontrak dari kawasan berikat lain atau perusahaan industri di tempat lain
dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat.
3. Pemasukan kembali mesin atau moulding, dengan sifat peminjaman dari
kawasan berikat lain atau dari perusahaan lain yang masih di dalam lingkup
daerah pabean.
4. Pemasukan hasil produksi kawasan berikat lain atau perusahaan lain yang masih
di dalam lingkup daerah pabean, yang menggunakan bahan baku yang berasal
dari dalam daerah pabean untuk kemudian diolah dalam kawasan berikat.
5. Pemasukan hasil produksi dari kawasan berikat lain atau perusahaan lain yang
masih di dalam lingkup daerah pabean, dengan menggunakan bahan baku dari
tempat lain dalam daerah pabean, yang kemudian digabungkan dengan barang
hasil produksi kawasan berikat untuk diekspor.
6. Pemasukan pengemas dan alat bantu pengemas dari tempat lain dalam daerah
pabean ke kawasan berikat, yang kemudian menjadi satu dengan hasil produksi
di kawasan berikat.
Sementara, untuk aktivitas pengeluaran pada kawasan berikat, PPN dan
PPnBM tidak dikenakan pada aktivitas sebagai berikut:
1. Pengeluaran hasil produk kawasan berikat yang menggunakan bahan baku dari
tempat lain dalam daerah pabean dan dikirim ke kawasan berikat lain.
2. Pengeluaran atas bahan baku dan bahan penolong, moulding dan/atau mesin,
dengan sifat pekerjaan subkontrak dari suatu kawasan berikat ke kawasan berikat
lain atau ke perusahaan industri di tempat lain di dalam daerah pabean.
3. Pengeluaran atas batang yang rusak atau apkir, yang berasal dari tempat lain di
dalam daerah pabean, yang tidak diproses di kawasan berikat lain. PPN dan
PPnBM tidak dikenakan sepanjang barang tersebut dikembalikan ke perusahaan
tempat asal barang.
4. Pengeluaran atas mesin atau moulding, yang dipinjamkan ke perusahaan industri
di tempat lain dalam daerah pabean dan kawasan berikat lain. PPN dan PPnBM
tidak dikenakan sepanjang barang hasil produksi akhirnya diserahkan ke
pemberi pinjaman di kawasan berikat asal.
Untuk kawasan bebas, landasan hukum yang digunakan adalah PP Nomor
10 Tahun 2012. Pada kawasan bebas, masuknya barang dari luar daerah pabean
mendapatkan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dilakukan
pemungutan PPh Pasal 22 serta bisa juga mendapatkan pembebasan cukai.
Syarat agar barang mendapatkan fasilitas pembebasan pajak ini antara lain:
1. Pemasukan dan pengeluaran hanya bisa dilakukan pengusaha yang sudah
mendapatkan izin usaha dari badan pengusahaan kawasan.
2. Pengusaha yang ditunjuk oleh badan pengusahaan kawasan hanya dapat
memasukan atau mengeluarkan baran yang berhubungan dengan kegiatan
usahanya.
3. Pemasukan barang untuk konsumsi dari luar daerah pabean, yang ditujukan
untuk kebutuhan penduduk yang berada dalam kawasan bebas. Untuk kegiatan
ini, hanya pengusaha yang sudah mendapat izin dari badan pengusahaan
kawasan dan dengan jumlah serta jenis yang juga ditentukan oleh badan
pengusahaan kawasan.
Untuk Barang Kena Pajak (BKP), pemasukan ke kawasan bebas melalui
pelabuhan atau bandar udara yang telah ditunjuk oleh badan pengusahaan
kawasan, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Namun, ketentuan ini tidak berlaku
bagi BKP yang telah dilunasi PPN-nya, yang dalam pengiriman telah disertakan
stiker “Lunas PPN” serta bahan bakar minyak subsidi.
Fasilitas PPN dan PPnBM tidak akan dipungut sepanjang BKP yang
dimaksud telah masuk dalam kawasan bebas dan dilengkapi dengan dokumen-
dokumen yang terlebih dahulu sudah diberikan endorsement oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Tanpa adanya endorsement dari DJP, BKP yang masuk ke
kawasan bebas tetap akan terkena pungutan PPN.
Dokumen yang disampaikan untuk mendapatkan endorsement dari DJP
ini adalah Pemberitahuan Pabean FTZ-03 (PP FTZ-03), yang sebelumnya
didaftakan terlebih dahulu di kantor pabean.Dokumen-dokumen yang tertera
dalam PP FTZ-03 ini antara lain:
1. Fotokopi dan asli faktur pajak (lembar pembeli)
2. Fotokopi dan asli bill of lading, aitway bill atau delivery order
3. Fotokopi dan asli faktur penjualan
4. Surat kuasa dari pengusaha yang melakukan kegiatan pemasukan BKP ke
kawasan bebas
Objek Pajak Pertambahan Nilai yang lain diatur dalam pasal 16 C dan
Pasal 16 D UU PPN 1984 dan perubahannya yaitu:
1. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan
2. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha
Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan.
3.2 PPNbM
Perlu diketahui adanya karakteristik dari pada PPnBM ini, setidaknya ada
4 karakteristik umum dari PPnBM, yaitu:
1. Pengenaan PPnBM hanya terjadi satu kali saja pada waktu penyerahan barang
yang dilakukan oleh pabrik atau penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha
kepada produsennya yang menghasilkan barang kena jasa yang termasuk dalam
kategori barang mewah.
2. PPnBM tidak akan memberlakukan pengkreditan atas PPNnya, namun jika
eksportir melakukan pengeksporan Barang Kena Pajak yang termasuk kategori
mewah, maka PPnBM yang sudah dibayarkan saat perolehan dapat diajukan
kembali sebagai restitusi.
3. Tidak ada pajak masukan dalam PPnBM.
4. Jika sudah melakukan penyerahan, maka penyerahan selanjutnya tidak akan
dikenakan pajak penjualan atas barang mewah kembali.
Dimana sebagaimana yang tercantum dalam UU PPN dan PPnBM
penyerahan barang kena pajak yang termasuk dalam kategori mewah
merupakan barang yang bukan kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi oleh
sebagian masyarakat berpenghasilan tinggi, ataupun barang yang dipakai untuk
menunjukan status.
4.SUBJEK
4.1 PPN
Subjek PPN dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU no.42 tahun 2009.
Penbgusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan kriteria
pengusaha kecil tidak wajib menjadi pengusaha kena pajak, kecuali memilih
untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah bruto dan/atau penerimaan bruto
tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 .
PPN dipungut oleh PKP dalam kondisi berikut :
PKP melakukan penyerahan BKP atau JKP
PKP melakukan ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP
Pengusaha yang melakukan penyerahan atau mengekspor Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak berwujud maupun tidak berwujud di wilayah
pabean, merupakan subjek PPN yang wajib melakukan hal-hal berikut :
Melaporkan usaha dan dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak)
Memungut pajak terutang
Menyetorkan PPN yang masih dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
daripada pajak masukan, yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang
Melaporkan penghitungan pajak
Sebagai subjek PPN, PKP diwajibkan untuk buat Faktur Pajak dalam
format yang sudah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni
Faktur Pajak elektronik atau e-Faktur, atas penyerahan dan penerimaan BKP
atau JKP serta melaporkannya.
2.Non PKP.
Seorang individu atau pribadi dan non-PKP yang menggunakan BKP
atau JKP di wilayah pabean Indonesia merupakan subjek PPN.Akan tetapi,
umumnya harga yang dibayarkan oleh konsumen sudah termasuk PPN. Aturan
mengenai ini tertuang dalam dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) Pasal
4 Ayat (1) huruf b dan huruf e, serta Pasal 16C.
PPN akan tetap terutang walaupun yang melakukan kegiatan bukanlah PKP,
dalam kondisi :
Impor BKP
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean
Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
4.2 PPNbM.
Subjek pajak PPnBM adalah pengusaha kena pajak yang menghasilkan
Barang Kena Pajak (BKP) yang tegolong mewah dalam lingkungan perusahaan
atau pekerjaannya dan pengusaha yang mengimpor barang yang tergolong
mewah. PPnBM diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(UU 42/2009). Jika dilihat dalam UU 42/2009, mengenai perhitungan PPnBM
memiliki karakteristik yang berbeda dengan PPN yaitu:
1. PPnBM merupakan pungutan tambahan.
2. PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada saat impor Barang Kena Pajak
(BKP) yang tergolong mewah atau atas BKP yang tergolong mewah, atau atas
BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP pabrikan.
3. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN.
4. Jika mengekspor BKP yang tergolong mewah, PPnBM yang dibayar pada saat
perolehannya dapat diminta kembali.
5.TARIF
5.1 PPN.
a) Tarif PPN sebesar 10%
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Perpajakan (UU HPP), bab IV Pasal 7 ayat (1) tentang PPN, tarif PPN yang
semula 10% akan naik secara bertahap, yaitu sebesar 11% pada tahun 2022 dan
akan menjadi 12% pada tahun 2025 mendatang.Pada tanggal 1 April 2022,
Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk
menaikkan tarif PPN menjadi 11% dan sudah berlaku hingga sekarang.
Kenaikan tarif PPN ini menjadi salah satu upaya pemerintah dalam
meningkatkan jumlah penerimaan negara di sektor pajak. Tidak hanya itu,
kenaikan tarif ini juga berguna untuk menambal beban keuangan negara serta
memperkokoh fondasi perpajakan Indonesia.
b) Tarif PPN sebesar 0%
Tarif 0% dikenakan atas ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak
berwujud/ekspor JKP. Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari
pengenaan PPN. Dengan demikian, pajak yang telah dibayar untuk perolehan
BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan.Untuk menghitung tarif PPN maka akan dijelaskan melalui contoh
soal berikut ini :
PT ABC sebagai PKP yang bergerak di penjualan alat elektronik menjual 10 set
PC desktop kepada PT XYZ dengan total harga senilai Rp300.000.000. Maka,
berapa besaran PPN atas transaksi tersebut?
=> Diketahui dari soal tersebut, dasar pengenaan pajak atau DPP adalah
Rp300.000.000. Maka ini cara sederhana menghitung PPN atas transaksi
tersebut.
Besaran PPN= Tarif PPN x DPP Besaran PPN= 11% x Rp300.000.000
Besaran PPN= Rp33000000
Maka, total nilai transaksi ditambahkan dengan PPN sebesar Rp333.000.000.
5.2 PPNbM.
a) Tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%*
b) Perbedaan tarif PPnBM didasarkan pada pengelompokan barang yang
tergolong mewah yang dikenai PPnBM
c) Pengelompokan barang-barang yang dikenai PPnBM terutama didasarkan
pada:
d) tingkat kemampuan golongan masyarakat yang menggunakan barang tersebut,
disamping didasarkan pada nilai guna barang bagi masyarakat pada umumnya
e) konsultasi dengan DPR
f) PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang yang tergolong
mewah di dalam negeri. Oleh karena itu, barang mewah yang diekspor atau
dikonsumsi di luar negeri dikenai PPnBM dengan tarif 0%. PPnBM yang telah
dibayar atas perolehan barang mewah yang diekspor tersebut dapat diminta
kembali
Pengenaan tarif Barang Kena Pajak tergolong mewah digolongkan ke
dalam beberapa kategori sebagai berikut:
1. Tarif 10% untuk kendaraan umum kategori tertentu, alat rumah tangga, alat
pendingin, hunian mewah, televisi, dan minuman non-alkohol.
2. Tarif 20% untuk kendaraan bermotor kategori tertentu, alat fotografi, berbagai
jenis permadani, peralatan olahraga impor, dan barang.
3. Tarif 25% untuk kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar, misalnya
combi, pick up, dan minibus.
4. Tarif 35% untuk minuman bebas alkohol, bahan berbahan kulit impor, batu
kristal, bus, dan barang pecah belah.
6.DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP).
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang
terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor,
atau nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai
berikut :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10.untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Pelaksanaan proyek milik pemerintah yang dananya berasal dari hibah atau
pinjaman dari luar negeri Impor barang operasional oleh mitra kerja pertamina
untuk membangun kilang
2. Impor berdasarkan kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi
Jenis BKP dan JKP yang dibebaaskan dari pengenaan PPN meliputi :
1. Impor dan/atau penyerahan BKP/JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan
PPN
2. Impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang
negara asing atau badan internasional serta pejabat atau tenaga ahlinya.
7.2 PENYERAHAN TIDAK TERUTANG PPN
Penyerahan yang tidak terutang PPN merupakan penyerahan bukan BKP
dan/atau bukan JKP, tidak termasuk penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut
dan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud, yang menurut sifat
atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan
barang tidak berwujud (merek dagang, hak paten dan lain-lain) yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPn dan PPnBM.Bukan Barang Kena Pajak
(Bukan BKP) jenis nya adalah sebagai berikut :
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak.
1. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas
transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau
wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Dasar hukum dari penerapan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
3. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang
tidak berwujud (merek dagang, hak paten dan lain-lain) yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang- Undang PPn dan PPnBM.
4. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas
atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
PPn dan PPnBM.
DAFTAR PUSTAKA
Resmi, Siti. 2016. Perpajakan; TEori dan Kasus, Buku 2, Penerbit Salemba
Empat,
Jakartahttps://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pajak-pertambahan-nilai-
ppn
https://klikpajak.id/blog/siapa-saja-subjek-ppn-kriteria-dan-apa-kewajibannya/
#Subjek_PPN
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/ini-tarif-ppn-2022-yang-berlaku-
dan- contoh-mudah-perhitungannya
https://www.online-pajak.com/seputar-efaktur-ppn/pajak-penjualan-atas-barang-
mewah-ppnbm
https://katadata.co.id/agungjatmiko/ekonopedia/630c6655a4c4c/memahami-ppnbm-
definisi-dasar-hukum-pemungutan-dan-tarif-terbaru
https://fiskal.kemenkeu.go.id/fiskalpedia/2021/07/13/173618726358430-pajak-
pertambahan-nilai-ppn
https://www.pajakku.com/read/6350c1bfb577d80e800c5e09/Apa-Itu-Penyerahan-
Barang-Kena-Pajak?