Anda di halaman 1dari 27

PERPAJAKAN II

Kelas : PPJK2E
Nama Kelompok 4 :
1. Audy Vionika / 2122091
2. Agnes Febyyana / 2122097
3. Fadillah Sekar N /2122098
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PERTAMBAHAAN NILAI ATAS BARANG
MEWAH

1.PENGERTIAN
1.1 PPN
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas
transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau
wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
1.2 PPNbM
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang
dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen
(pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.

2.DASAR HUKUM
2.1 DASAR HUKUM PPN.
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan PPnBM (Pajak
Penjualan atas Barang Mewah) yang disahkan pada 1 April 1985.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
Setelah UU No. 8 Tahun 1983, muncul perubahan kedua yaitu Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM. Perubahan ini dilakukan
dengan tujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang tepat untuk
masyarakat juga untuk meningkatkan penerimaan negara.
3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (PERUBAHAN PADA UU CIPTA
KERJA)
Perubahan ketiga adalah UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan PPnBM. Untuk melengkapi kekurangan pada UU
PPN sebelumnya, undang-undang ini bertujuan memberikan keadilan hukum
dan keamanan bagi negara dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang jauh
lebih sederhana.
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Meski ketentuan baru tentan PPN ini juga diatur kembali dalam UU No.11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada klater perpajakan, namun UU 42 Tahun
2009 sebagian masih berlaku.

2.2 DASAR HUKUM PPNBM.


PPnBM memiliki dasar hukum yang sama dengan PPN, yaitu Undang-
undang (UU) Nomor 42 tahun 2009, yang sudah diganti atau dicabut dengan
UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Dalam
UU tersebut, diatur mengenai objek pengenaan PPnBM, ketentuan tarif secara
umum, hingga cara pemungutan pajak. Sementara, ketentuan mengenai jenis
barang yang dikenakan PPnBM diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
61 tahun 2020.

3.OBJEK.
3.1 PPN.
Objek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan
Objek PPN adalah:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak atau (BKP) yaitu merupakan barang berwujud
yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang
tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan
UU PPN. Pengaturan cakupan BKP dalam UU PPN bersifat “negative list”,
dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali
ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN dan Jasa Kena Pajak (JKP)
yang merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau
hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang pesanan atau permintaan dengan bahan dan/atau petunjuk dari
pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.Seperti halnya cakupan
BKP, pengaturan cakupan JKP dalam UU PPN juga bersifat “negative list”,
dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh jasa merupakan JKP, kecuali
ditetapkan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
b) Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
c) Ekspor BKP dan/atau JKP
d) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan
e) Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak
untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya
dapat dikreditkan
Daerah Pabean yang dimaksud adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan yakni
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, namun ada kawasan
bebas yang merupakan istilah yang mengacu pada kawasan perdagangan bebas
yang ada dalam wilayah hukum Indonesia.
Kawasan bebas ini perlakuannya terpisah dari daerah pabean, dalam
kawasan bebas tidak ada pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan cukai. Hasil dalam kawasan
bebas ini juga tidak mesti untuk kepentingan ekspor. Kawasan bebas di
Indonesia ini terdiri atas empat, yakni di Batam, Sabang, Bintan dan Karimun
kawasan bebas diberikan perlakuan istimewa dalam aspek perpajakan.Syarat
Penetapan Kawasan Berikat & Kawasan Bebas
Tidak semua kawasan industri menjadi kawasan berikat, meski peruntukan
kawasan industri tersebut untuk kepentingan ekspor. Ada sejumlah syarat khusus
yang harus dipenuhi agar suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan
berikat.Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Melalui keputusan Presiden
Kawasan yang mendapat izin Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB)
apabila mendapat persetujuan dari pemerintah dan dikukuhkan melalui
Keputusan Presiden.
2. Memenuhi persyaratan perusahaan tertentu
Jenis perusahaan yang dapat diberikan izin PKB adalah perusahaan-
perusahaan yang berbentuk:
 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
 Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau keseluruhan sahamnya
 Non-PMA atau PMDN dengan badan hukum Perseroan Terbatas (PT)
 Koperasi yang memiliki badan hukum
 Yayasan
3. Perusahaan yang memenuhi syarat PKB
Untuk bisa mendapatkan izin PKB, suatu perusahaan harus memenuhi beberapa
ketentuan, antara lain:
 Ada di dalam kawasan industri.
 Jika berada dalam daerah yang tidak memiliki kawasan industri, maka
perusahaan tersebut berlokasi di kawasan yang diperlakukan sebagai kawasan
industri/kawasan peruntukan industri. Penentuannya merupakan kewenangan
Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya).
 Telah memiliki kawasan industri sebelum ketentuan mengenai kawasan
berikat disahkan.
Sedangkan untuk kawasan bebas, penentuannya merupakan kewenangan
pemerintah pusat Indonesia, dengan [pengukuhan lewat Peraturan Pemerintah.
Misalnya, saat penentuan kawasan bebas Bintan, yang dikukuhkan lewat PP
Nomor 41 Tahun 2017.
Badan yang ditunjuk untuk mengelola kawasan bebas ini untuk selanjutnya
disebut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
atau lazim disebut Badan Pengusahaan (BP), seperti yang ada di Batam dan
Bintan yang dinamakan BP Batam dan BP Bintan.Perlakuan perpajakan dalam
kawasan berikat memiliki landasan hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 255/PMK.04/2011 yang merupakan PMK perubahan atas PMK Nomor
147/PMK.04/2011. PMK ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
85 Tahun 2015.Pada kawasan berikat, PPN dan PPnBM tidak dikenakan pada
beberapa aktivitas pemasukan, antara lain:
1. Pemasukan barang dari dalam daerah pabean ke kawasan berikat untuk diolah.
2. Pemasukan barang hasil produksi kawasan berikat, yang bersifat kerja
subkontrak dari kawasan berikat lain atau perusahaan industri di tempat lain
dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat.
3. Pemasukan kembali mesin atau moulding, dengan sifat peminjaman dari
kawasan berikat lain atau dari perusahaan lain yang masih di dalam lingkup
daerah pabean.
4. Pemasukan hasil produksi kawasan berikat lain atau perusahaan lain yang masih
di dalam lingkup daerah pabean, yang menggunakan bahan baku yang berasal
dari dalam daerah pabean untuk kemudian diolah dalam kawasan berikat.
5. Pemasukan hasil produksi dari kawasan berikat lain atau perusahaan lain yang
masih di dalam lingkup daerah pabean, dengan menggunakan bahan baku dari
tempat lain dalam daerah pabean, yang kemudian digabungkan dengan barang
hasil produksi kawasan berikat untuk diekspor.
6. Pemasukan pengemas dan alat bantu pengemas dari tempat lain dalam daerah
pabean ke kawasan berikat, yang kemudian menjadi satu dengan hasil produksi
di kawasan berikat.
Sementara, untuk aktivitas pengeluaran pada kawasan berikat, PPN dan
PPnBM tidak dikenakan pada aktivitas sebagai berikut:
1. Pengeluaran hasil produk kawasan berikat yang menggunakan bahan baku dari
tempat lain dalam daerah pabean dan dikirim ke kawasan berikat lain.
2. Pengeluaran atas bahan baku dan bahan penolong, moulding dan/atau mesin,
dengan sifat pekerjaan subkontrak dari suatu kawasan berikat ke kawasan berikat
lain atau ke perusahaan industri di tempat lain di dalam daerah pabean.
3. Pengeluaran atas batang yang rusak atau apkir, yang berasal dari tempat lain di
dalam daerah pabean, yang tidak diproses di kawasan berikat lain. PPN dan
PPnBM tidak dikenakan sepanjang barang tersebut dikembalikan ke perusahaan
tempat asal barang.
4. Pengeluaran atas mesin atau moulding, yang dipinjamkan ke perusahaan industri
di tempat lain dalam daerah pabean dan kawasan berikat lain. PPN dan PPnBM
tidak dikenakan sepanjang barang hasil produksi akhirnya diserahkan ke
pemberi pinjaman di kawasan berikat asal.
Untuk kawasan bebas, landasan hukum yang digunakan adalah PP Nomor
10 Tahun 2012. Pada kawasan bebas, masuknya barang dari luar daerah pabean
mendapatkan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dilakukan
pemungutan PPh Pasal 22 serta bisa juga mendapatkan pembebasan cukai.
Syarat agar barang mendapatkan fasilitas pembebasan pajak ini antara lain:
1. Pemasukan dan pengeluaran hanya bisa dilakukan pengusaha yang sudah
mendapatkan izin usaha dari badan pengusahaan kawasan.
2. Pengusaha yang ditunjuk oleh badan pengusahaan kawasan hanya dapat
memasukan atau mengeluarkan baran yang berhubungan dengan kegiatan
usahanya.
3. Pemasukan barang untuk konsumsi dari luar daerah pabean, yang ditujukan
untuk kebutuhan penduduk yang berada dalam kawasan bebas. Untuk kegiatan
ini, hanya pengusaha yang sudah mendapat izin dari badan pengusahaan
kawasan dan dengan jumlah serta jenis yang juga ditentukan oleh badan
pengusahaan kawasan.
Untuk Barang Kena Pajak (BKP), pemasukan ke kawasan bebas melalui
pelabuhan atau bandar udara yang telah ditunjuk oleh badan pengusahaan
kawasan, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Namun, ketentuan ini tidak berlaku
bagi BKP yang telah dilunasi PPN-nya, yang dalam pengiriman telah disertakan
stiker “Lunas PPN” serta bahan bakar minyak subsidi.
Fasilitas PPN dan PPnBM tidak akan dipungut sepanjang BKP yang
dimaksud telah masuk dalam kawasan bebas dan dilengkapi dengan dokumen-
dokumen yang terlebih dahulu sudah diberikan endorsement oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Tanpa adanya endorsement dari DJP, BKP yang masuk ke
kawasan bebas tetap akan terkena pungutan PPN.
Dokumen yang disampaikan untuk mendapatkan endorsement dari DJP
ini adalah Pemberitahuan Pabean FTZ-03 (PP FTZ-03), yang sebelumnya
didaftakan terlebih dahulu di kantor pabean.Dokumen-dokumen yang tertera
dalam PP FTZ-03 ini antara lain:
1. Fotokopi dan asli faktur pajak (lembar pembeli)
2. Fotokopi dan asli bill of lading, aitway bill atau delivery order
3. Fotokopi dan asli  faktur penjualan
4. Surat kuasa dari pengusaha yang melakukan kegiatan pemasukan BKP ke
kawasan bebas
Objek Pajak Pertambahan Nilai yang lain diatur dalam pasal 16 C dan
Pasal 16 D UU PPN 1984 dan perubahannya yaitu:
1. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang

dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan
2. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa

aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha
Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan.

3.1.1 Barang yang Tidak Dikenai PPN 11% (Non-BKP)


1. Barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya:
a) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak:
 beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
 garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
 daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus
 telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan,
atau dikemas
 susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas
 buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas; dan sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik,
dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar
yang dicacah
2. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, tidak termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga
atau catering
3. Uang, emas batangan, dan surat berharga (misalnya saham, obligasi)
5. minyak mentah (crude oil)
6. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat
7. panas bumi
8. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata,
bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit,
gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir
dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers
earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan
trakkit; dan
9. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta
bijih bauksit.
3.1.2 Jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non JKP)
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan sosial
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa keuangan
5. Jasa asuransi
6. Jasa keagamaan
7. Jasa Pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
10.Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
11.Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar
negeri
12.Jasa tenaga kerja
13.Jasa perhotelan
14.Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum
15.Jasa penyediaan tempat parkir.
16.Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
17.Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
18.Jasa boga atau katering

3.2 PPNbM
Perlu diketahui adanya karakteristik dari pada PPnBM ini, setidaknya ada
4 karakteristik umum dari PPnBM, yaitu:
1. Pengenaan PPnBM hanya terjadi satu kali saja pada waktu penyerahan barang
yang dilakukan oleh pabrik atau penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha
kepada produsennya yang menghasilkan barang kena jasa yang termasuk dalam
kategori barang mewah. 
2. PPnBM tidak akan memberlakukan pengkreditan atas PPNnya, namun jika
eksportir melakukan pengeksporan Barang Kena Pajak yang termasuk kategori
mewah, maka PPnBM yang sudah dibayarkan saat perolehan dapat diajukan
kembali sebagai restitusi. 
3. Tidak ada pajak masukan dalam PPnBM.
4. Jika sudah melakukan penyerahan, maka penyerahan selanjutnya tidak akan
dikenakan pajak penjualan atas barang mewah kembali. 
Dimana sebagaimana yang tercantum dalam UU PPN dan PPnBM
penyerahan barang kena pajak yang termasuk dalam kategori mewah
merupakan barang yang bukan kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi oleh
sebagian masyarakat berpenghasilan tinggi, ataupun barang yang dipakai untuk
menunjukan status. 

4.SUBJEK
4.1 PPN
Subjek PPN dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU no.42 tahun 2009.
Penbgusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan kriteria
pengusaha kecil tidak wajib menjadi pengusaha kena pajak, kecuali memilih
untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah bruto dan/atau penerimaan bruto
tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 .
PPN dipungut oleh PKP dalam kondisi berikut :
 PKP melakukan penyerahan BKP atau JKP
 PKP melakukan ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP
Pengusaha yang melakukan penyerahan atau mengekspor Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak berwujud maupun tidak berwujud di wilayah
pabean, merupakan subjek PPN yang wajib melakukan hal-hal berikut :
 Melaporkan usaha dan dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak)
 Memungut pajak terutang
 Menyetorkan PPN yang masih dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
daripada pajak masukan, yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang
 Melaporkan penghitungan pajak
Sebagai subjek PPN, PKP diwajibkan untuk buat Faktur Pajak dalam
format yang sudah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni
Faktur Pajak elektronik atau e-Faktur, atas penyerahan dan penerimaan BKP
atau JKP serta melaporkannya.
2.Non PKP.
Seorang individu atau pribadi dan non-PKP yang menggunakan BKP
atau JKP di wilayah pabean Indonesia merupakan subjek PPN.Akan tetapi,
umumnya harga yang dibayarkan oleh konsumen sudah termasuk PPN. Aturan
mengenai ini tertuang dalam dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) Pasal
4 Ayat (1) huruf b dan huruf e, serta Pasal 16C.
PPN akan tetap terutang walaupun yang melakukan kegiatan bukanlah PKP,
dalam kondisi :
 Impor BKP

 Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah

pabean
 Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean

 Melakukan kegiatan pembangunan.

4.2 PPNbM.
Subjek pajak PPnBM adalah pengusaha kena pajak yang menghasilkan
Barang Kena Pajak (BKP) yang tegolong mewah dalam lingkungan perusahaan
atau pekerjaannya dan pengusaha yang mengimpor barang yang tergolong
mewah. PPnBM diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(UU 42/2009). Jika dilihat dalam UU 42/2009, mengenai perhitungan PPnBM
memiliki karakteristik yang berbeda dengan PPN yaitu:
1. PPnBM merupakan pungutan tambahan.
2. PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada saat impor Barang Kena Pajak
(BKP) yang tergolong mewah atau atas BKP yang tergolong mewah, atau atas
BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP pabrikan.
3. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN.
4. Jika mengekspor BKP yang tergolong mewah, PPnBM yang dibayar pada saat
perolehannya dapat diminta kembali.

5.TARIF
5.1 PPN.
a) Tarif PPN sebesar 10%
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Perpajakan (UU HPP), bab IV Pasal 7 ayat (1) tentang PPN, tarif PPN yang
semula 10% akan naik secara bertahap, yaitu sebesar 11% pada tahun 2022 dan
akan menjadi 12% pada tahun 2025 mendatang.Pada tanggal 1 April 2022,
Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk
menaikkan tarif PPN menjadi 11% dan sudah berlaku hingga sekarang.
Kenaikan tarif PPN ini menjadi salah satu upaya pemerintah dalam
meningkatkan jumlah penerimaan negara di sektor pajak. Tidak hanya itu,
kenaikan tarif ini juga berguna untuk menambal beban keuangan negara serta
memperkokoh fondasi perpajakan Indonesia.
b) Tarif PPN sebesar 0%
Tarif 0% dikenakan atas ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak
berwujud/ekspor JKP. Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari
pengenaan PPN. Dengan demikian, pajak yang telah dibayar untuk perolehan
BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan.Untuk menghitung tarif PPN maka akan dijelaskan melalui contoh
soal berikut ini :
PT ABC sebagai PKP yang bergerak di penjualan alat elektronik menjual 10 set
PC desktop kepada PT XYZ dengan total harga senilai Rp300.000.000. Maka,
berapa besaran PPN atas transaksi tersebut?
=> Diketahui dari soal tersebut, dasar pengenaan pajak atau DPP adalah
Rp300.000.000. Maka ini cara sederhana menghitung PPN atas transaksi
tersebut.
Besaran PPN= Tarif PPN x DPP Besaran PPN= 11% x Rp300.000.000
Besaran PPN= Rp33000000
Maka, total nilai transaksi ditambahkan dengan PPN sebesar Rp333.000.000.

5.2 PPNbM.
a) Tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%*
b) Perbedaan tarif PPnBM didasarkan pada pengelompokan barang yang
tergolong mewah yang dikenai PPnBM
c) Pengelompokan barang-barang yang dikenai PPnBM terutama didasarkan
pada:
d) tingkat kemampuan golongan masyarakat yang menggunakan barang tersebut,
disamping didasarkan pada nilai guna barang bagi masyarakat pada umumnya
e) konsultasi dengan DPR
f) PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang yang tergolong
mewah di dalam negeri. Oleh karena itu, barang mewah yang diekspor atau
dikonsumsi di luar negeri dikenai PPnBM dengan tarif 0%. PPnBM yang telah
dibayar atas perolehan barang mewah yang diekspor tersebut dapat diminta
kembali
Pengenaan tarif Barang Kena Pajak tergolong mewah digolongkan ke
dalam beberapa kategori sebagai berikut:
1. Tarif 10% untuk kendaraan umum kategori tertentu, alat rumah tangga, alat
pendingin, hunian mewah, televisi, dan minuman non-alkohol.
2. Tarif 20% untuk kendaraan bermotor kategori tertentu, alat fotografi, berbagai
jenis permadani, peralatan olahraga impor, dan barang.
3. Tarif 25% untuk kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar, misalnya
combi, pick up, dan minibus.
4. Tarif 35% untuk minuman bebas alkohol, bahan berbahan kulit impor, batu
kristal, bus, dan barang pecah belah.
6.DASAR PENGENAAN PAJAK (DPP).
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang
terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor,
atau nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai
berikut :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10.untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

7.PENYERAHAN TERUTANG PPN DAN TIDAK TERUTANG PPN.


7.1 PENYERAHAN TERUTANG PPN
Penyerahan yang terutang PPn dikelompokkan menjadi :
1. Ekspor;

Ekspor terdiri atas setiap kegiatan menyerahkan BKP berwujud/BKP tidak


berwujud/JKP dari dalam daerah Pabean ke luar daerah Pabean oleh pengusaha
kena pajak. Atas ekspor tersebut terutang PPN dan PPnBM dengan tarif 0%.
2. Penyerahan dalam negeri, terdiri atas :

a. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri;

Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri merupakan PPN atas


penyerahan BKP/JKP di dalam daerah Pabean/di dalam negeri selain kepada
Pemungut PPN
b. Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN;

Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN merupakan


penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut PPN. Atas penyerahan ini PPn
langsung dipungut oleh pembeli, yang disebut sebagai Pemungut PPN.
c. Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut;

Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut meliputi (Sukardji,2014) :


1. Impor BKP tertentu yang dibebaskan dari Bea Masuk dan dibebaskan PPN

Pelaksanaan proyek milik pemerintah yang dananya berasal dari hibah atau
pinjaman dari luar negeri Impor barang operasional oleh mitra kerja pertamina
untuk membangun kilang
2. Impor berdasarkan kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi

3. Kawasan pengembangan ekonomi terpadu

d. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Jenis BKP dan JKP yang dibebaaskan dari pengenaan PPN meliputi :
1. Impor dan/atau penyerahan BKP/JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan

PPN
2. Impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang

dibebaskan dari pengenaan PPN


3. Pemberian restitusi atau pembebasan PPN dan/atau PPnBM kepada perwakilan

negara asing atau badan internasional serta pejabat atau tenaga ahlinya.
7.2 PENYERAHAN TIDAK TERUTANG PPN
Penyerahan yang tidak terutang PPN merupakan penyerahan bukan BKP
dan/atau bukan JKP, tidak termasuk penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut
dan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud, yang menurut sifat
atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan
barang tidak berwujud (merek dagang, hak paten dan lain-lain) yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPn dan PPnBM.Bukan Barang Kena Pajak
(Bukan BKP) jenis nya adalah sebagai berikut :
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari

sumbernya.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan


suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau
fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang PPn dan PPnBM.

8.SAAT TERUTANG PPN


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Sebagaimana Telah beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, terutangnya PPN terjadi pada saat:
1. Penyerahan atas BKP
 Penyerahan BKP berwujud yang menurut hukum dan sifatnya berupa barang
bergerak terjadi saat:
 BKP berwujud diserahkan secara langsung ke pembeli atau pihak ketiga untuk
dan atas nama pembeli.
 BKP berwujud diserahkan langsung ke penerima barang untuk pemberian cuma-
cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan antar cabang.
 BKP berwujud diserahkan ke juru kirim atau pengusaha jasa angkutan (kurir).
 Harga atas penyerahan BKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau saat
diterbitkannya faktur penjualan oleh PKP sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dan diimplementasikan secara konsisten.
2. Penyerahan BKP berwujud berdasarkan hukum dan sifatnya berupa barang
tidak bergerak terjadi saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai
BKP berwujud tersebut, secara nyata atau secara hukum ke pihak pembeli.
3. Penyerahan BKP tidak berwujud terjadi saat:
 Harga atas penyerahan BKP TB diakui sebagai piutang atau pada saat
diterbitkannya faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku secara umum dan diterapkan secara konsisten.
 Perjanjian atau kontrak ditandatangani atau saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian, atau seluruhnya, sebagaimana
yang dimaksud pada poin sebelumnya tidak diketahui.
4. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat terjadinya pembubaran
perusahaan:
 Berakhirnya jangka waktu berdirinya suatu perusahaan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar.
 Telah ditandatanganinya akta pembubaran oleh notaris.
 Tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan sudah dibubarkan.
 Diketahui perusahaan secara nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
sudah dibubarkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau
dokumen yang ada.
5. Peralihan BKP dalam rangka peleburan, penggabungan, pemecahan,
pemekaran, dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal
1A ayat (2) huruf d UU PPN atau perubahan bentuk usaha terjadi saat:
 Ditetapkan atau disepakatinya penggabungan, pemekaran, peleburan,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai dengan
hasil rapat umum pemegang saham yang terutang dalam perjanjian yang sudah
disepakati.
 Ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, pemekaran, peleburan,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh
notaris.
6. Impor BKP yang terjadi saat BKP dimasukan ke dalam daerah pabean.
7. Penyerahan JKP terjadi saat:
 Harga penyerahan JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau ketika
diterbitkannya faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
 Perjanjian atau kontrak ditandatangani dalam hal saat sebagaimana dimaksud
pada poin sebelumnya tidak diketahui.
 Mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk digunakan secara nyata, baik
seluruhnya atau sebagian dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian
sendiri JKP.
 Pemanfaatan BKP TB dari luar daerah pabean.
 Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean.
1. Ekspor BKP berwujud terjadi saat BKP dikeluarkan dari daerah pabean.
2. Ekspor BKP TB terjadi saat penggantian atas BKP TB yang diekspor tersebut
dicatat atau diakui sebagai penghasilan atau piutang.
3. Ekspor JKP terjadi saat penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau
diakui sebagai penghasilan atau piutang.

9.SAAT PENYETORAN DAN PELAPORAN PPN


Penyetoraaan PPN oleh Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Penyetoran PPN
dilakukan dengan menggunakan formulir surat setoran pajak. Pelaporan PPN
oleh Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling lama pada akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT masa PPN).

10.PRINSIP PPN DAN PPNbM.


Di Indonesia sendiri prinsip yang diterapkan ialah destinasi.Prinsip
destinasi (destination principle) memiliki arti sebagai PPN yang dikenakan atau
dibebankan atas barang ataupun jasa yang dikonsumsi atau digunakan dalam
negeri (domestic). Sedangkan, untuk prinsip tempat asalnya (origin principle)
memiliki arti sebagai PPN yang dikenakan atau dipungut atas barang ataupun
jasa yang berasal dari dalam negeri.
Merujuk pada Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU
PPN), pungutan atau pengenaan PPN terjadi, karena adanya transaksi atau
kegiatan atas penyerahan serta pemanfaatan di dalam wilayah pabean dan impor
dengan pengenaan tarif tugas sebesar 10%. Namun, untuk saat ini tarif tunggal
mengalami peningkatan sebesar 11%, hal ini tertuang dalam UU Nomor 7
Tahun 2021 (UU HPP). Sedangkan, untuk kegiatan atau transaksi ekspor yang
termasuk objek pajak akan dikenakan tarif sebesar 0%, hal ini diatur dalam UU
PPN Pasal 7.
Di sisi lain, apabila suatu negara menerapkan prinsip tempat asal (origin
principle), maka transaksi atau kegiatan impor bukanlah objek PPN atau dengan
kata lain kegiatan tersebut dikenakan tarif 0%. Sementara itu, untuk kegiatan
atau transaksi ekspor dalam prinsip ini akan dikenakan pajak yang disesuaikan
dengan tarif dalam negeri atau negara tersebut.

11.PELAPORAN FAKTUR PPN


Faktur Pajak. Dalam penyerahan barang/jasa kena pajak (BKP/JKP) oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP), PKP wajib membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutan Pajak (PPN/PPnBM). Kewajiban tersebut dibebankan kepada PKP
untuk setiap penyerahan barang kena pajak, jasa kena pajak, ekspor barang kena
pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena
pajak.
Sehubungan dengan hal tersebut, wajib pajak tentu
membutuhkan software pengelolaan Faktur Pajak terbaik yang dapat
memudahkan penyerahan Barang Kena Pajak. Dengan Tarra e-Faktur Pajakku,
wajib pajak dapat menikmati beragam fitur yang ditawarkan, seperti:
1. Registrasi Perusahaan
2. Pengelolaan data user, master data, dan user role
3. Pengelolaan Faktur Pajak masukan dan Faktur Pajak keluaran
4. Pengelolaan dokumen lain Faktur Pajak masukan dan Faktur Pajak keluaran
5. Pengelolaan nota retur Faktur Pajak masukan dan Faktur Pajak keluaran
6. Pengelolaan dan submit SPT
7. Pengelolaan rekonsiliasi dan laporan.
Tarra e-Faktur Pajakku memberikan wajib pajak efisiensi waktu serta
kemudahan dalam proses pengiriman Faktur Pajak dari SPT ke DJP. Nikmati
kelola Faktur Pajak secara online, realtime, dan minimalisir human erorr. 

12.CONTOH PENGENAAN PPN DAN PPNbM


12.1 PPN
 Contohnya adalah ketika anda membeli baju, harga baju tersebut adalah Rp.
100.000 dan PPN sebesar 10% yaitu Rp.10.000, sehingga uang yang harus anda
bayarkan adalah Rp. 110.000. Anda tidak menyetorkan langsung nilai PPN
sebesar 10% ke kas negara, tetapi anda sebagai konsumen membayarkan PPN
anda kepada penjual dan penjual bertanggung jawab untuk menyetorkannya ke
kas negara. Hal inilah yang disebut pajak tidak langsung.
 PT. Impian Semesta merupakan distributor penjualan komputer. Selama bulan
November 2020 PT. Impian Semesta melakukan transaksi sebagai berikut:
1. 3 November Perusahaan membeli 3-unit komputer masing-masing seharga
Rp.7.000.000, belum termasuk PPN
2. 10 November PT. Impian Semesta menjual 2-unit komputer kepada PT. Sumber
Abadi masing-masing Rp.15.000.000, belum termasuk PPN
3. 20 November Pemilik PT. Impian Semesta membeli karangan bunga dari CV.
Cahaya Cemerlang untuk ucapan selamat pernikahan kepada kerabat sebesar
Rp.1.000.000, belum termasuk PPN.
PT. Impian Semesta dan lawan transaksi lainnya merupakan PKP. Berapa
PPN yang harus disetorkan PT. Impian Semesta pada bulan November?
Pajak Keluaran:
Penjualan komputer
= 10% x (2-unit x Rp. 15.000.000)
= 10% x Rp. 30.000.000
= Rp. 3.000.000
Pajak Masukan:
Pembelian komputer             
= 10% x (3-unit x Rp. 7.000.000)
= 10% x Rp. 21.000.000 = Rp. 2.100.000 (bisa dikredreditkan)
Pembelian Karangan bunga
= 10% x Rp.   1.000.000 = Rp.    100.000 (tidak dapat dikreditkan)
PPN Masa November  = Pajak Keluaran – Pajak Masukan
= Rp. 3.000.000 - Rp. 2.100.000
= Rp.  900.000
PPN yang harus disetorkan oleh PT. Impian Semesta masa November 2020
adalah Rp. 900.000 (Kurang Bayar). PT. Impian semesta harus melakukan
penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN paling lambat tanggal 31 Desember
2020.
Note: PT. Impian tidak bisa mengkreditkan Pajak Masukan atas karangan
bunga karena karangan bunga tidak ada hubungan langsung dengan proses
kegiatan usaha.
 CONTOH
1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp
25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
Penggantian sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai
Impor sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong
Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya
dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp5.000.000,00
= Rp500.000,00
c. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00
= Rp1.000.000,00
5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian
dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM
dengan tarif misalnya 35%.Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP
yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar
Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh
PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN
dan PPn BM yang terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
c. c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak
masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak
keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat
dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat
dikreditkan oleh PKP “X”.
KESIMPULAN

1. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas
transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau
wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Dasar hukum dari penerapan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
3. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang
tidak berwujud (merek dagang, hak paten dan lain-lain) yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang- Undang PPn dan PPnBM.
4. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas
atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
PPn dan PPnBM.
DAFTAR PUSTAKA

Resmi, Siti. 2016. Perpajakan; TEori dan Kasus, Buku 2, Penerbit Salemba
Empat,
Jakartahttps://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pajak-pertambahan-nilai-
ppn
https://klikpajak.id/blog/siapa-saja-subjek-ppn-kriteria-dan-apa-kewajibannya/
#Subjek_PPN
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/ini-tarif-ppn-2022-yang-berlaku-
dan- contoh-mudah-perhitungannya
https://www.online-pajak.com/seputar-efaktur-ppn/pajak-penjualan-atas-barang-
mewah-ppnbm
https://katadata.co.id/agungjatmiko/ekonopedia/630c6655a4c4c/memahami-ppnbm-
definisi-dasar-hukum-pemungutan-dan-tarif-terbaru
https://fiskal.kemenkeu.go.id/fiskalpedia/2021/07/13/173618726358430-pajak-
pertambahan-nilai-ppn
https://www.pajakku.com/read/6350c1bfb577d80e800c5e09/Apa-Itu-Penyerahan-
Barang-Kena-Pajak?

Anda mungkin juga menyukai