Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

Dosen Pengampu : Aditya, M.Farm

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3

207210XX - 2HB01

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS GUNADARMA

DEPOK 2023
PRAKTIKUM 3

DISPERSI MOLEKULER DAN FENOMENA DISTRIBUSI

A. TUJUAN
 Menentukan kelarutan sampel dalam suatu pelarut dan campuran
pelarut
 Menentukan koefisien distribusi dan jumlah zat yang terlarut dari
bahan farmasi dalam pelarut air dan minyak yang tidak saling
bercampur

B. DASAR TEORI
Sistem dispersi atau sistem sebaran adalah suatu sistem yang
menunjukkan bahwa suatu zat terbagi halus dalam zat lain. Zat yang
terbagi atau dispersikan disebut fase terdispersi, fase intern atau fase
diskontinu, sedangkan zat yang digunakan untuk mendispersikan disebut
fase pendispersi, fase ekstern, atau fase kontinu. Fase pendispersi lebih
dikenal sebagai medium pendispersi. Berdasarkan perbedaan ukuran zat
yang didispersikan, sistem disperse dibedakan menjadi dispersi kasar,
dispersi halus, dan dispersi molukuler.
 Dispersi kasar atau suspensi adalah sistem dua fase yang
heterogen, tidak jernih, dan memilki diameter partikel lebih besar
dari 10-5 cm. Partikel-partikel suspensi dapat dilihat dengan
mikroskop biasa, mudah diendapkan, dan tidak dapat melewati
kertas saring biasa maupun membrane semipermeable.
 Dispersi halus atau koloid adalah dua fase yang ketercampurannya
berada di antara homogen dan heterogen, agak keruh, serta
memiliki diameter partikel 10-7 cm hingga 10-5 cm. Partikel-partikel
koloid tidak dapat dilihat dengan miskroskop biasa tetapi dapat
dilihat dengan miskroskop ultra, mudah diendapkan dan dapat
melewati kertas saring biasa maupun membrane semipermeable.
 Dispersi molekuler atau larutan adalah sistem satu fase yang
homogen, jernih dan memiliki diameter tidak lebih dari 10-7 cm,
partikel-partikel larutan tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa
maupun mikroskop ultra, sukar diendapkan, dan dapat melewai
kertas saring biasa maupun membran semiparmeabel
1) Pengertian Kelarutan dan Larutan
Kelarutan dapat didefinisikan dalam istilah kuantitatif sebagai
konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada suhu tertentu dan
secara kuantitatif dapat pula dinyatakan sebagai interaksi spontan dari
dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekul yang homogen.
Menurut kesetimbangan, larutan dibagi menjadi tiga yaitu:
 Larutan jenuh
Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan (tepat larut dalam batas kelarutannya) dengan fase
pelarutnya.
 Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh
Suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di
bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada
temperatur tertentu.
 Larutan lewat jenuh
Suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi yang
banyak pada suhu tertentu sehingga terdapat zat terlarut yang tidak
dapat larut lagi.
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat
kimia (obat) yang terlarut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam
pelarut yang saling bercampur. Oleh karena molekul-molekul dalam
larutan tersebut terdispersi secara merata maka penggunaan larutan
sebagai bentuk sediaan, umumnya memberikan jaminan keseragaman
dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan tersebut
diencerkan atau dicampur.
Istilah-istilah Kelarutan (Dirjen POM, 1979)

Faktor-faktor yang memengaruhi kelarutan:


 Sifat dari solute (zat terlarut) dan solvent (pelarut)
Zat terlarut yang sifatnya polar akan mudah larut dalam solvent yang
polar pula. Misalnya garam-garam anorganik larut dalam air.
Sedangkan zat terlarut yang nonpolar larut dalam solvent yang
nonpolar pula. Misalnya, alkaloid basa (umumnya senyawa organik)
larut dalam kloroform.
 Cosolvensi (zat penambah kelarutan)
Cosolvensi adalah peristiwa kenaikan kelarutan suatu zat karena
adanya penambahan pelarut lain atau modifikasi pelarut. Misalnya
luminal tidak larut dalam air, tetapi larut dalam campuran air dan
gliserin atau solutio petit.
 Salting out
Salting out adalah peristiwa adanya zat tertentu yang mempunyai
kelarutan lebih besar disbanding zat utama, akan menyebabkan
kelrutan zat utama atau terbentuknya endapan karena ada reaksi kimia.
Contohnya pada kelarutan minyak atsiri dalam air akan turun bila ke
dalam air tersebut ditambahkan larutan natrium klorida jenuh.
 Temperature
Kebanyakan garam anorganik dapat meningkatkan kelarutannnya yaitu
sejalan dengan peningkatan temperature. Biasanya merupakan duatu
keuntungan untuk melanjutkan proses pengendapan, penyaringan, dan
pencucian dengan larutan panas. Partikel-partkel berukuran besae
dapat dihasilkan, penyaringan akan lebih cepat, dan kotoran-kotoran
terurai lebih jauh. Maka menggunakan air panas dalam kasus –kasus
dimana kelarutan dari endapan tetap tidak berarti pada temperature
yang lebih tinggi. Bagaimana pun juga, dalam kasus senyawa yang
cukup dapat larut seperti magnesium amoniak sulfat, larutan harus
didinginkan dalam air es sebelum dolakukan penyaringan. Senyawa ini
akan hilang dalam jumlah yang berarti apabila laruta disaring dalam
keadaan panas.
 Ion sekutu
Sebuah endapan secara umum lebih dapat larut dalam air murni
dibandingkan di dalam sebuah larutan yang mengandung satu dari ion-
ion endapan (efek ion sekutu). Dalam menjalankan pengendapan,
analisi selalu menambahkan beberapa kelebihan unsur pengendapan,
analisis selalu menambahkan beberapa kelebihan unsur pengendapan
untuk memastikan pengendapan selesai. Dalam mencuci sebuah
endapan di mana pengurangan kelarutan cukup berarti, sebuah ion
sekutu dapat dipergunakan dalam cairan pencuci untuk dipergunakan
dalam cairan pencuci untuk mengurangi kelarutan. Dengan hadirnya
ion sekutu yang berlebih, kelarutan dari sebuah endapan bisa jadi lebih
besar daripada nilai yang telah diperkirakan melalui tetapan kelarutan
produk. Secara umum, yang biasanya diminta adalah penambahan
sekitar 10% kelebihan unsur pengendapan.
Semakin besar nilai konstanta dielektriknya maka akan bersifat polar
sehingga akan mudah larut dalam senyawa polar begitu juga
sebaliknya.
 Konstanta dieletrik
Semakin besar nilai konstanta dielektriknya maka akan bersifat polar
sehingga akan mudah larut dalam senyawa polar begitu juga
sebaliknya.
 Efek pH
Kelarutan dari dari garam sebuah asam lemah tergantung pada pH
larutan tersebut
2) Koefisien Partisi atau Koefisien Distribusi
Ketika suatu senyawa (atau zat terlarut) ditambahkan ke dalam
campuran pelarut yang saling tidak tercampur, zat terlarut tersebut
mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut berdasarkan
afinitasnya pada masing-masing fase. Senyawa polar (misalnya gula,
asam amino, atau obat-obat terion) akan cenderung menyukai fase
berair atau fase polar, sedangkan senyawa-senyawa nonpolar
(misalnya obat yang tidak terion), akan menyukai fase organic atau
fase nonpolar. Senyawa yang ditambahkan mendistribusikan dirinya
senidri di antara kedua pelarut yang tidak bercampur berdasarkan
hukum partisi, yang menyatakan bahwa “senyawa tertentu yang saling
tidak bercampur pada perbandingan konsentrasi yang tetap ini dikenal
dengan koefisien partisi. Senyawa tersebut dinyatakan secara
matematis sebagai berikut:
Cw
P = Co
Ket :
P = Koefisien partisi
Cw = Konsentrasi dalam air
Co = Konsentrasi dalam lemak/minyak

Makna nilai Koefisien partisi pada zat obat :


P >1 = memiliki nilai afinitas lebih besar pada air disbanding
minyak
P =1 = memiliki nilai afinitas yang sama antara air dan minyak
P <1 = memilki afinitas lebih besar pada minyak
P adalah koefisien partisi senyawa organik adalah konsentrasi
senyawa dalam fase organik atau fase minyak dan air adalah
konsentrasi senyawa dalam fase air. Koefisien partisi adalah
perbandingan konsentrasi sehingga satuannya dihilangkan dan P tidak
memiliki satuan.
C. ALAT DAN BAHAN
1) Alat

No Nama Alat Gambar

1 Buret

2 Corong kaca

3 Labu ukur

4 Gelas ukur

5 Timbangan analitik

6 Spatel
7 Sendok tanduk

8 Labu erlenmeyer

9 Statif dan klem

10 Gelas Beaker

11 Corong pisah

12 Kertas saring
2) Bahan
 Kertas Perkamen
 Aquadest (FI III, hal 96)
Rumus Kimia : H2O
Nama Resmi : Aqua Destilata
Nama Lain : Aquadest, Air Suling
Pemerian : Cairan jernih; tidak berbau,tidak berwarna,
tidak berasa
Kelarutan : larut dalam etanol gliser
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

 Asam Salisilat (FI III, hal 56)


Rumus Kimia : C7H6O3
Nama Resmi : Acidum Salicylicum
Nama Lain : Asam Salisilat
Pemerian : hablur ringan tidak berwarna atau serbuk
putih, hampir tidak berbau, rasa agak manis
dan tajam
Kelarutan : larut dalam 550 bagian air dan dalam 4
bagian etanol 95% P, mudah larut dalam
kloroform P, dan dalam eter P, larut dalam
larutan ammonium asetat P, dinatrium
hydrogen fosfat P, helium sitrat P dan
natrium sitrrat P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sampel

 Propilen Glikol (FI IV, hal 712)


Rumus Kimia : C3H8O2
Nama Resmi : Propylen glycolum
Nama Lain : Propilen glikol
Pemerian : cairan kental, jernih tidak berwarna, rasa
khas, praktis tidak berbau, higroskopis
Kelarutan : dapat bercampur dengan air, aseton,
kloroform; larut dalam eter dan minyak
esensial
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapa

 Gliserin (FI IV, hal 413)


Rumus Kimia : C3H8O2
Nama Resmi : Glycerolum
Nama Lain : Gliserol, gliserin
Pemerian : cairan seperti sirup, jernih, tidak berwarna,
tidak berbau, manis diikuti rasa hangat,
higroskopik
Kelarutan : dapat bercampur dengan air dan dengan
etanol 95% P, praktis tidak larut dalam
kloroform P, dan eter P, dan dalam minyak
lemak
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat

 Benzen
Rumus Kimia : C6H6
Nama Resmi : Benzene
Nama Lain : Benzena
Pemerian : cairan transparan, tidak berwarna dan
mudah terbakar
Kelarutan : larutdalam alkohol, CHCl3, CCl4, dietil
eter, aseton, asam asetat
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat

 Natrium Hidroksida (FI III, hal 412)


Rumus Kimia : NaOH
Nama Resmi : Natrii hydroxidum
Nama Lain : Natrium Hidroksida
Pemerian : bentuk batang, butiran, massa hablur, atau
keping, keras, rapuh dan menunjukkan
susunan hablur, putih mudah meleleh, basah,
sangat alaklis dan korosif, cepat menyerap
CO2
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air dan etanol
95% P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Larutan Baku/Sebagai Titran

 Asam Oksalat( FI III )


Rumus Kimia : (CO2H)2.2H20
Nama Resmi : Acidum Oksalat
Nama Lain : Asam Oksalat
Pemerian : Serbuk putihh atau kuning gading
Kelarutan : Larut dalam air dan etanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Larutan blangko

 Fenolftalein ( FI III, hal 94)


Rumus Kimia : C20H14O4
Nama Resmi : Phenolphthaleinum
Nama Lain : Fenolftalein
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan
lemah; tidak berbau; tidak berasa
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air; larut dalam
etanol; agak sukar larut dalam eter
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Indikator

D. CARA KERJA
1) Kelarutan dan Kosolvensi
2) Koefisien Distribusi

E. HASIL PENGAMATAN
1) Kelarutan dan Kosolvensi
 Sampel  Asam Salisilat (BM : 138,12)

 Pembakuan NaOH
- Sampel Larutan baku primer (Bobot Asam Oksalat) = 0,1
gram/100 mg
- Sampel Larutan Baku Sekunder (Volume NaOH 0,1 N) = 15,6
mL

#Perhitungan#
mg
NaOH (V × N × Valensi) = ×Valensi
Mr
mg ×Valensi Asam oksalat
N NaOH =
Mr ×Vol NaOH ×Valensi NaOH
100 mg× 2
N NaOH =
126× 15,6 mL ×1
N NaOH = 0,1017 N
Tabel Variasi Hasil Konsentrasi dan Kombinasi Kosolvent

Kode Air Kosolvent 1 Kosolvent 2 Titik Akhir Kadar


Sampel (% v/v) Gliserin Propilen Glikol Titrasi (mL) Sampel (%)

1 100 - - 1,7 11,93%

2 60 0 40 5,2 36,31%

3 60 5 35 2,8 19,55%

4 60 10 30 5,5 38,5%

5 60 20 20 10,7 72,2%

6 60 30 10 5,6 39,01%

7 60 40 5 2,5 16,8%

8 60 50 0 4,2 28,89%

Rumus :
V titran × N titran× BE sampel
Kadar (% b/b) = ×100 %
Berat sampel (mg)

Dimana :
V titran = Volume peniter saat telah mencapai titik akhir
titrasi
N titran = Normalitas peniter setelah dibakukan
BE Sampel = Berat Ekivalein sampel (BE sama dengan BM
analit dibagi valensinya)
#Perhitungan#
 Kode Sampel 1
Titik Akhir Titrasi = 1,7 mL
1, 7 ×0,1017 × 138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 11,93%

 Kode Sampel 2
Titik Akhir Titrasi = 5,2 mL
5,2× 0,1017 ×138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 36,31%

 Kode Sampel 3
Titik Akhir Titrasi = 2,8 mL
2,8× 0,1017 ×138,12
Kadar (% b/b) = × 100 %
200 mg
= 19,55%

 Kode Sampel 4
Titik Akhir Titrasi = 5,5 mL
5,5× 0,1017 ×138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 38,5%

 Kode Sampel 5
Titik Akhir Titrasi = 10,7 mL
1, 7 ×0,1017 × 138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 72,2%

 Kode Sampel 6
Titik Akhir Titrasi = 5,6 mL
1, 7 ×0,1017 × 138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 39,01%

 Kode Sampel 7
Titik Akhir Titrasi = 2,5 mL
1, 7 ×0,1017 × 138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 16,8%
 Kode Sampel 8
Titik Akhir Titrasi = 4,2 mL
1, 7 ×0,1017 × 138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 28,89%

2) Koefisien Distribusi

Perlakuan Titik Akhir Titrasi Kadar Sampel


(mL) (%)

Titrasi Langsung 0,8 5,05%

Lapisan Air Hasil 0,5 14,04%


Campuran LS – B

Berat Sampel yang digunakan : 50 mg


Pelarut (Aquadest) yang digunakan : 50 mL

#Perhitungan#
Sampel 1 (Titrasi Langsung)
0,8 ×0,1017 ×138,12
Kadar (% b/b) = × 100 %
50 mg
= 22,47%

Sampel 2 (Lapisan Air hasil campuran LS – B)


0,5 ×0,1017 ×138,12
Kadar (% b/b) = × 100 %
50 mg
= 14,04%

#Perhitungan Koefisien Partisi#


Cw
P=
Co
22,47 %
P=
14,04 %
P = 1,6  nilai afinitas lebih besar pada air dibanding lemak

Makna nilai Koefisien partisi pada zat obat :


P > 1 = Memiliki nilai afinitas lebih besar pada air dibanding lemak.
P = 1 = Memiliki nilai afinitas yang sama antara air dan lemak
P < 1 = Memiliki nilai afinitas lebih besar pada lemak

F. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan percobaan dispersi molekuler dan
fenomena distribusi. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk
menentukan kelarutan sampel dalam suatu pelarut dan campuran pelarut,
serta untuk menentukan koefisien distribusi dan jumlah zat yang terlarut
dari bahan bahan farmasi dalam pelarut air dan minyak yang tidak saling
bercampur. Pada praktikum ini bahan yang digunakan air, gliserin, dan
propilen glikol dengan beberapa variasi perbandingan volumenya.
1) Kelarutan dan Kosolvensi
Pada percobaan yang pertama yakni mengenai kelarutan dan
kosolvensi. Kelarutan merupakan kemampuan suatu zat untuk larut dalam
pelarut tertentu, sedangkan kosolvensi yaitu kemampuan suatu pelarut
untuk meningkatkan kelarutan suatu zat dalam pelarut lain. Dalam
percobaan ini, dilakukan pembuatan campuran bahan pelarut antara air,
gliserin dan propilen glikol dengan beberapa variasi perbandingan
volumenya.

Setiap campuran bahan pelarut tersebut kemudian dititrasi dengan


titran NaOH dan dengan penambahan indikator fenolftalein (PP) hingga
mencapai titik akhir titrasi. Yang mana dari hasil titrasi tersebut
didapatkan nilai titik akhir titrasi dalam satuan mL untuk setiap campuran
bahan pelarut. Kemudian, dilakukan perhitungan kadar sampel yang
dihasilkan dari setiap campuran bahan pelarut dengan menggunakan
rumus :

V titran × N titran × BE sampel


Kadar (% b/b) = ×100 %
Berat sampel (mg )

Dimana :
V titran = Volume peniter saat telah mencapai titik akhir
titrasi
N titran = Normalitas peniter setelah dibakukan
BE Sampel = Berat Ekivalein sampel (BE sama dengan BM
analit dibagi valensinya)
Larutan NaOH merupakan larutan baku sekunder yang perlu
dibakukan terlebih dahulu menggunakan larutan baku primer. Hal ini
disebabkan larutan baku sekunder memiliki konsentrasi yang tidak dapat
ditentukan secara pasti, karena berasal dari zat yang tidak pernah murni.
Untuk membakukan larutan NaOH digunakan asam oksalat sebagai
larutan baku primer dan fenolftalein sebagai indikator.
Indikator fenolftalein digunakan karena titik akhir titrasi berada pada
rentang pH yang dimilikinya sehingga perubahan warna dapat diamati.
Warna yang diberikan oleh fenolftalein adalah rosa atau merah muda.
Perubahan warna ini menunjukkan titik akhir titrasi telah tercapai.
Percobaan uji Kelarutan dan Kosolvensi ini digunakan kode Sampel 1,
yang mana variasi pelarut yang digunakan hanya Aquadest dengan
perbandingan full 100% tanpa penambahan Kosolvent 1 (Gliserin) dan
Kosolvent 2 (Propilen glikol). Adapun dalam pembuatan pelarut
campuran, digunakan air, gliserin, serta propilenglikol. Penggunaan
gliserin, dan propilenglikol ditujukan untuk meningkatkan kelarutan suatu
solut yang sukar larut dalam air, juga untuk meningkatkan stabilitas zat
yang mudah terhidrolisis. Agar hasil yang didapat lebih akurat, maka
titrasi dilakukan sebanyak tiga kali. Dari hasil perhitungan pada kode
sampel 1, volume NaOH hasil titrasi yang didapatkan yaitu 2.6 mL; 1.6
mL; dan 0.9 mL, sehingga rata-rata volume titrasi yaitu 1.7 mL. Dengan
konsentrasi V x N x Valensi didapatkan konsentrasi NaOH yaitu 0.1017
N. Sedangkan hasil dari % kadar sampel kode sampel 1 didapatkan nilai
11.93%, dimana hasil tersebut didapat dari perhitungan :
Titik Akhir Titrasi = 1,7 mL
1, 7 ×0,1017 × 138,12
Kadar (% b/b) = ×100 %
200 mg
= 11,93%
Dari tabel variasi hasil konsentrasi dan kombinasi kosolvent
didapatkan juga beberapa hasil % kadar sampel kode 2 sampai 8 dari
pencampuran antara air, gliserin dan propilen glikol. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa semakin banyak propilen glikol yang ditambahkan
dalam campuran bahan pelarut yaitu air dan gliserin, maka kadar sampel
yang dihasilkan akan semakin meningkat. Namun dari hasil tabel yang
didapat, terdapat peningkatan hasil % kadar sampel antara propilen glikol
dan gliserin pada perbandingan 60 : 20 : 20, dimana kadar yang dihasilkan
yakni lebih besar dibandingkan perbandingan lain yaitu sebesar 72,2%.
Perbedaan hasil yang meningkat ini dapat disebabkan oleh efek interaksi
antara propilen glikol dan gliserin yang dapat mempengaruhi kelarutan
suatu zat dalam campuran bahan pelarut. Interaksi antara propilen glikol
dan gliserin dapat menghasilkan sebuah campuran dengan sifat yang
berbeda dari sifat campuran bahan pelarut awal. Hal ini dapat
mempengaruhi interaksi antara zat yang akan dilarutkan dengan campuran
bahan pelarut, sehingga dapat mempengaruhi kelarutan zat tersebut. Selain
itu, propilen glikol juga dapat bersifat polar seperti gliserin, sehingga dapat
bersaing dengan gliserin dalam berinteraksi dengan zat yang akan
dilarutkan. Hal ini dapat mempengaruhi kelarutan zat dan akhirnya
menghasilkan kadar sampel yang berbeda. Namun, diluar dari faktor
interaksi tersebut dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor yang lain
seperti human error dalam pengukuran volume bahan pelarut, keakuratan
dalam pengukuran volume titran NaOH, dan konsistensi dalam
penggunaan indikator fenolftalein (PP).
2) Koefisien Distribusi
Untuk percobaan yang kedua adalah fenomena distribusi yang dapat
diartikan sebagai fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua
fase cair yang tidak saling bercampur tergantung pada interksi fisik dan
kimia antara pelarut dan zat terlarut dalam dua fase. Adapun sampel yang
digunakan pada praktikum ini yaitu asam salisilat sedangkan pelarutnya
yaitu air dan benzen. Kedua pelarut ini tidak dapat larut satu sama lain dan
tidak saling bercampur tetapi sampel dapat larut ke dalam dua pelarut
tersebut. Hal ini disebabkan air merupakan pelarut polar sedangkan benzen
merupakan pelarut non polar. Dalam benzen terdapat karbon sehingga
menyebabkan bentuk streokimianya simetris sehingga tidak memiliki
momen dipol. Momen dipol menentukan suatu zat bersifat polar atau
kurang polar.
Pada praktikum ini, hal yang pertama dilakukan adalah menyiapkan
alat dan bahan. Setelah itu, ditimbang asam salisilat sebanyak 50 mg,
masukkan dalam labu takar 50 mL dan tambahkan aquadest 50 mL.
Larutan ini diukur sebanyak 50 mL kemudian masukkan dalam
erlenmeyer 25 mL (untuk larutan blanko) dan diukur kadar sampel
dengam metode titrimetri yang tertera dalam farmakope, lalu catat
hasilnya. Selain itu, diambil lagi 25 mL kemudian dimasukkan ke dalam
corong pisah (untuk larutan stok). Larutan stok yang dibuat kemudian
ditambahkan 25 mL benzen dan kemudian dilakukan pengocokan kuat
selama ±5 menit dalam corong pisah. Hal ini bertujuan agar gugus polar
dan non (kurang) polar dari asam salisilat dapat bereaksi dengan fase air
dan benzen sehingga dapat dilihat pelarut mana yang kelarutannya paling
besar. Gugus benzena dari asam salisilat meupakan gugus karbon yang
memiliki momen dipol yang kecil sehingga konsentrasi elektriknya juga
kecil dan gugus ini akan bereaksi dengan larutan benzen. Air memiliki
momen dipol dan konstanta dielektriknya yang besar sehingga bersifat
polar jadi mudah menarik gugus polar dari asam salisilat.
Setelah dikocok, campuran dibiarkan beberapa saat (±5 menit). Hal ini
bertujuan agar pemisahan antara kedua pelarut tersebut bisa sempurna.
Pada corong pisah akan terlihat fase minyak berada diatas dan fase air
berada dibawah. Hal ini terjadi karena massa jenis benzen lebih kecil dari
pada massa jenis air. Setelah itu, lapisan air yang berada dibawah diambil/
ditampung dalam labu erlenmeyer sedangkan lapisan minyaknya dibuang.
Hal ini dikarenakan lapisan air dari pengocokan lah yang akan dititrasi.
Bila lapisan minyak yang dititrasi maka akan terjadi saponifikasi
(penyabunan).
Lapisan air yang ditampung dalam erlenmeyer tadi diberi label dan
ditambahkan 3 tetes indicator PP 0,1%, kemudian dititrasi dengan NaOH
0,1 N.
Metode titrasi yang digunakan adalah alkalimetri yang dilakukan
berdasarkan reaksi netralisasi yaitu sampel asam yang dititrasi dengan
titran basa akan bereaksi sempurna dengan semua asam sehingga dapat
diperoleh larutan dari bening menjadi merah muda.
Mekanisme perubahan warna yang terjadi pada titrasi alkalimetri
yang digunakan adalah pada larutan titer bersifat asam yang telah
ditambahkan indikator PP 0,1 % dititrasi dengan titran yang bersifat basa,
dimana akan terjadi reaksi antara sampel asam yaitu asam salisilat dengan
titran basa yaitu NaOH 0,1 N membentuk larutan garam. Hal ini akan terus
terjadi hingga larutan asam tepat telah habis bereaksi dengan NaOH dan
disebut titik ekuivalen. Pada titik ekuivalen ini, belum terjadi perubahan
warna tetapi kelebihan satu tetes saja larutan NaOH akan menyebabkan
terjadinya perubahan dari bening menjadi merah muda yang berasal dari
kelebihan titran basa denan indikator PP.
Adanya titrasi blanko pada uji ini bertujuan sebagai pembanding
pada larutan yang sudah diberi minyak/benzen. Maksudnya untuk
membandingkan distribusi zat dalam satu pelarut dan distribusi zat yang
dipengaruhi pelarut lainnya. Adapun kadar blanko yang didapatkan yaitu
22,47% sedangkan kadar ekstraknya yaitu 14,04%. Kadar blanko lebih
tinggi dibanding kadar ekstrak. Hal ini dikarenakan adanya tambahan
minyak pada ekstrak yang mempengaruhi perubahan pada titik akhir
titrasi. Sedangkan pada blanko tidak terdapat penambahan minyak
sehingga konsentrasi yang diperlukan tinggi untuk dapat merubah larutan
dari bening menjadi merah muda.
Setelah mendapat nilai kadar blanko, maka selanjutnya menghitung
koefisien distribusi. Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan
yang tidak bercampur harus sama dengan satu. Artinya bahwa senyawa
tersebut terdistribusi secara merata pada dua fase yaitu fase minyak dan
fase cair. Jika nilai koefisien distribusi <1 maka senyawa tersebut
cenderung untuk terdistribusi dalam fase minyak. Namun dari perhitungan
yang dilakukan, didapatkan hasil sebesar 1,6 dengan kategori nilai
Koefisien partisi P > 1, yang mana nilai afinitas lebih besar pada air
dibandingkan lemak, sehingga senyawa tersebut cenderung terdistribusi
dalam fase air.

G. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan maka disimpulkan bahwa :
 Faktor-faktor yang memengaruhi kelarutan adalah sifat dari solute
(zat terlarut) dan solvent (pelarut), Cosolvensi (zat penambah
kelarutan), Salting out, Temperature, Ion sekutu, Konstanta
dieletrik, serta Efek pH.
 Dari hasil perhitungan pada kode sampel 1, volume NaOH hasil
titrasi yang didapatkan yaitu 2.6 mL; 1.6 mL; dan 0.9 mL,
sehingga rata-rata volume titrasi yaitu 1.7 mL. Dengan konsentrasi
V x N x Valensi didapatkan konsentrasi NaOH yaitu 0.1017 N.
Sedangkan hasil dari % kadar sampel kode sampel 1 didapatkan
nilai 11.93%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin
banyak propilen glikol yang ditambahkan dalam campuran bahan
pelarut yaitu air dan gliserin, maka kadar sampel yang dihasilkan
akan semakin meningkat disebabkan oleh efek interaksi antara
propilen glikol dan gliserin yang dapat mempengaruhi kelarutan
suatu zat dalam campuran bahan pelarut.
 Adanya titrasi blanko pada uji ini bertujuan sebagai pembanding
pada larutan yang sudah diberi minyak/benzen. Adapun kadar
blanko yang didapatkan yaitu 22,47% sedangkan kadar ekstraknya
yaitu 14,04%. Kadar blanko lebih tinggi dibanding kadar ekstrak.
Hal ini dikarenakan adanya tambahan minyak pada ekstrak yang
mempengaruhi perubahan pada titik akhir titrasi.
 Setelah mendapat nilai kadar blanko, maka selanjutnya menghitung
koefisien distribusi. Jika nilai koefisien distribusi <1 maka
senyawa tersebut cenderung untuk terdistribusi dalam fase minyak.
Namun dari perhitungan yang dilakukan, didapatkan hasil sebesar
1,6 dengan kategori nilai Koefisien partisi P > 1, yang mana nilai
afinitas lebih besar pada air dibandingkan lemak, sehingga
senyawa tersebut cenderung terdistribusi dalam fase air.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas Indonesia


Press: Jakarta

Cammarata, S. 1995. Farmasi Fisika. UI-Press: Jakarta. Hal 778,779,792.

Day, R. A., dan Underwood, L. A. 2002. Analisis kimia kunatitatif. Jakarta:


Erlangga.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Depkes RI: Jakarta

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI: Jakarta

Lachman, et all. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri edisi III. Jakarta:
UI-Press

Martin, A. 1990. Farmasi Fisika jilid I. Universitas Indonesia Press: Jakarta

Martin, A. 1993. Farmasi Fisika jilid II. Universitas Indonesia Press: Jakarta

Martin, A. 1993. Farmasi Fisika, edisi II, Jilid 3. Jakarta: UI Press.


Martin, A., James S., dan Arthur C. 2009. Farmasi Fisik. UI-Press: Jakarta

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi IV . Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.

Widyaningsih, L. 2009. Pengaruh Penambahan Kosolven Propilen Glikol


Terhadap Kelarutan Asam Mefenamat. Universitas Muhammadiyah
Surakarta: Surakarta

LAMPIRAN

 Hasil percobaan Kelarutan dan Kosolvensi

 Hasil percobaan Koefisien Distribusi

Anda mungkin juga menyukai