Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sekarang ini tindak kejahatan semakin marak, baik tindak pidana ringan maupun

tergolong tindak pidana berat, salah satu yang tergolong tindak pidana berat adalah tindak

pidana yang dapat menghilangkan nyawa seseorang (Pembunuhan). Kriteria pelaku tindak

pidana pembunuhan pun tidak disangka-sangka, Pria, wanita,ataupun anak –anak yang

masih tergolong dibawah umur. Modus dan motif dari tindak pidana pembunuhan pun

bervariatif. Sekian banyak kasus pembunuhan tang tidak terjadi di belahan dunia, ditemukan

beberapa kasus pembunuhan yang tak biasa, yang menjadikan tidak biasa adalah dari modus

maupun motif dari pelaku. Bahkan modus pelaku membunuh kemungkinan dapat terjadi

karena beberapa faktor , misalnya karena faktor keturunan, penyakit kejiwaan, Rumah

Tangga dan keluarga.

Pada makalah ini, kami mengangkat kasus pembunuhan yang dilakukan oleh ibu

terhadap ketiga anaknya yang masih balita, yang terjadi di Kabupaten Gianyar. Keterangan

kasus ini menjurus pada psikologis pelaku yang notabene adalah ibu kandung dari ketiga

anak tersebut. Dari sini, munculah peran psikologi forensic sebagai cabang dari ilmu

psikologi hukum, yaitu melakukan penyelidikan secara mendalam, serta menganalisis kasus

pembuhan tersebut dari perspektif psikologi hukum.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas dapat ditarikk suatu rumusan masalah, yaitu :

“Bagaimana Analisis Kasus Pembunuhan yang dilakukan oleh Terdakwa I Putu Septyani

Permadani dari Perspektif Psikologi Hukum?”.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kasus Posisi

Kasus ini bermula ketika rumah tangga Septyani dengan I Putu Moh. Diana yang

sudah dikaruniai tiga anak pada tahun 2011 berujung keretakan dan sempat cekcok berkali –

kali. Akibatnya ibu tiga anak ini putus asa. Dia Mengambil jalan pintas untuk membunuh

anaknya dan melakukan upaya bunuh diri.

Pada 8 Februari 2018, sekitar pukul 13.00 Wita, Septyani membeli obat nyamuk cair

dan disimpan di lemari pakaian. Saat tengah malam, Septyani mengunci pintu kamar.

Sejurus Kemudian, dia ,membekap anak pertamanya dengan kain sehingga meninggal

karena kekurangan nafas. Hal itu juga dilakukan kepada anak kedua dan anak ketiga.

Septyani lalu berusaha bunuh diri dengan meminum obat nyamuk cair. Namun

aksinya tersebut ketahuan penghuni rumah dan kasus itu pun terungkap dan Septyani diadili.

Jaksa Penuntut Umum menuntut Septyani selama 19 tahun penjara. Tetapi

Pengadilan Negeri (PN) Gianyar hanya memutus (Vonis) dengan 4 Tahun 6 bulan penjara.

Pada Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi (PT) Bali menolak permohonan Banding Jaksa

Penuntut Umum, sehingga Septyanii tetap dihukum 4 tahun 6 bulan penjara. Menguatkan

Putusan Pengadilan (PN) Gianyar Nomor 80/Pid.Sus/2018/PN.Gin tanggal 9 Oktober 2018

yang dimintakan Banding. Pada tingkat Kasasi terdakwa di vonis oleh Mahkamah Agung

(MA) dengan pidana 7 tahun dan 6 bulan penjara. 1

1
https://www.inews.id/daerah/bali/begini-pengakuan-mengejutkan-ibu-di-gianyar-membunuh-3-anak-
kandungnya.

2
2.2 Analisis Dari Perspektif Psikologi Hukum

2.2.1 Perilaku Melanggar Hukum Ditinjau Dari Aspek Psikologi Hukum

Tindak pidana yang terjadi di masyarakat bentuknya sangat beragam,

Misalnya: Pencurian, penipuan, penganiayaan, pemerkosaan bahkan sampai dengan

menghilangkan nyawa seseorang (pembunuhan), dengan kata lain tindakan tersebut

mengandung unsur pemaksaan ataupun kekerasan fisik, psikis dan harta benda

korban. Dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ni Putu Septyani, rasa

Keheranan,ketakutan, kebencian dan kengerian bahkan trauma psikis barangkali

menjadi kata-kata yang terungkap setelah kasus tersebut terungkap. Cenderung

menyebabkan seseorang menjadi pribadi yang Introvert. Banyak sudut pandang yang

digunakan untuk menjelaskan fenomena perilaku melanggar hukum, misalnya dari

sisi psikis pelakunya. Terkait dengan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh

Septyani, terungkap bahwa pelaku mempunyai rasa sayang, kekhawatiran dan trauma

yang sangat mendalam. Perbuatann Septyani merupakan dampak dari kekerasan

rumah tangga yang dialaminya, yaitu disiksa oleh suaminya.

Akumulasi dari kekerasan dalam rumah tangga yang dialami pelaku ini,

membuat pelaku mengalami depresi berat sehingga menunjukkan guncangan dalam

dirinya akibat lemahnya dukungan sosial untuk dapat menjadi kartasis (Pelepasan

Kecemasan) atas beban yang di pikulnya.2

Kasus pembunuhan tersebut bisa terjadi karena kegagalan individu dalam

menghadapi lingkungannya. Berhasil atau tidaknya seseorang, tujuan ini tergantung

dari kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya selain

2
https://m.detik.com/news/berita/d-4310078/ibu-pembunuh-3-anak-kandung-di-bali-tetap-dihukum-45-tahun-
bui

3
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Tekanan atau

gangguan kepribadian disebabkan oleh :

1. Tekanan kekecewaan,konflik dan kekhawatiran yang tidak teratasi yang

menimbulkan gejala Neurosis (Sakit saraf) dan Psychosis (Kegilaan)

2. Gangguan pada perkembangan kepribadian, sehingga menyebabkan

terjadinya gejala sosiopatik3

Teori tentang gangguan kepribadian pertama kali di populerkan oleh Carl Jung,

yang menggolongkan gangguan kepribadian menjadi 3 Tipe, yaitu :

1. Introvert

Adalah orang yang cenderung focus pada pikiran, perasaan, dan mood yang

berasal dari dalam diri sendiri alias internal.

Beberapa Ciri-Ciri umum dari Intorvert adalah :

a. Introvert adalah kepribadian yang cenderung menyimpan perasaan

sendiri.

b. Terlihat pendiam atau menarik diri ketika berada di tengah-tengah

sekumpulan orang yang tidak mereka kenal baik.

c. Sangat sadar diri dan memikirkan segala sesuatu sebelum bertindak

d. Merupakan pengamat yang baik dan cenderung mempelajari situasi

yang sekitarnya melalui pengamatan terdahulu.

e. Lebih mudah bersosialisasi jika bersama dengan orang yang sudah

mereka kenal dengan baik

3
Prof. Dr.Drs. Abintoro Prakoso, SH, MS, Hukum & Psikologi HUkum, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hal. 106

4
Seseorang dengan gangguan introvert lebih beresiko terkena depresi.

Orang introvert biasanya memang banyak berpikir mendalam soal

dirinya dan kehidupannya, tapi dengan kacamata yang realistis. Bila

seseorang terlalu tenggelam dalam pikirannya, inilah yang mungkin

memicu pemikiran atau perasaan putus asa khas orang depresi.

2. Ekrtovet

Adalah kepribadian yang senang mencari dan mendapatkan energy saat

bersosialisasi. Orang yang memiliki kepribadian ektrovet yang tinggi

bahkan memerlukan stimulasi sosial untuk merasa bersemangat.

Beberapa ciri – cirri kepribadian ekstrovet adalah:

a. Hangat dan ramah pada orang lain

b. Senang bersosialisasi dan bersenang-senang kegembiraan

c. Suka berbincang

d. Suka menjadi pusat perhatian

e. Antusias dan mudah bergaul.

3. Ambivert

Adalah mereka yang memiliki kepribadian yang seimbang antara introvert

dan ekstrovet. Kepribadian ambivert adalah kepribadian yang dapat

menggambarkan saat mereka senang bersosialisasi, tapi juga membutuhkan

waktu untuk menyendiri.

Beberapa ciri-ciri kepribadian ambivert adalah :

a. Ambivert adalah kepribadian yang bias mengerjakan tugas secara

individu maupun dalam kelompok

5
b. Kepribadian yang senang menjadi pusat perhatian, tapi lama-lama

risih juga galam kondisi tersebut

c. Ambivert adalah orang yang suka bicara dengan banyak orang atau

basa-basi terasa menyenangkan. Akan tetapi kalau sudah terlalu

banyak orang atau percakapannya didominasi dengan basa-basi anda

akan lelah juga.4

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi orang melanggar hukum

Pelanggaran hukum merupakan salah satu gejala sosial, tidak beridiri sendiri,

namun adanya korelasi dari berbagai perkembangan sosial, ekonomi, teknologi,

hukum, serta berbagai perkembangan lainnya terutama di bidang transportasi,

komunikasi dan informasi adalah salah satu akibat sampingan negative dari setiap

kemajuan atau perubahan sosial di dalam masyarakat.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan perbuatan

melanggar hukum adalah :

1. Keturunan

Teori evolusi Charles Darwin mempengaruhi teori avatisme Lambroso yang

menerangkan bahwa kehidupan manisua mengikuti hukum evolusi, yaitu

berkembang dari manusia primitive yang kasar dan brutal menuju manusia

yang memiliki kepribadian dan watak yang baik.

Johanes Lange penganut Lambroso berkesimpulan bahwa seseorang menjadi

jahat karena pengaruh keturunan.5

4
https://Hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/tentang-kepribadian-introvet/

5
Prof.Dr.Drs.Abintoro Prakoso, SH,MS, Hukum & Psikologi Hukum, laksbang Grafika, Yogyakarta, Hal 130

6
2. Penyakit Jiwa

Terjadinya kejahatan skah satu penyebabnya adalah kondisi kejiwaan

seseorang.Bahkan beberapa dokter ahli jiwa berpendapat hamper semua

penjahat menderitta penyakit jiwa. Sementara itu ada pula kejahatan yang

dilakukan oleh orang yang memiliki Feebleminded atau keterbelakangan

otak.

3. Rumah Tangga dan Keluarga

Suatu gambaran umum tentang tindakan melanggar hukum yang dikaitkan

dengan rumah tangga dan keluarga sehingga mendorong orang untuk

melakukan kejahatan adalah :

a. Broken Home

b. Penerapan disiplin dan latihan dalam keluarga

c. Lingkungan

2.2.3 Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan terhadap perempuan telah lama terjadi. Akan tetapi, hal tersebut

baru menjadi perhatian dunia internasional pada tahun 1975. Kekerasan dalam

Rumah terhadap perempuan menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam

deklarasi Penghapusan kekerasan terhadap perempuan Pasal 1 adalah segala bentuk

tindak kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan

mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan, baik secara fisik,

seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan baik yang

terjadi di area public atau domestik.6

6
Kekerasan terhadap perempuan berbasis Gender (KTPBG), paket Informasi, Yogyakarta : Rifkka Annisa Women’s
Crisis Center, t.t, Hal. 2

7
Kekerasan rumah tangga, khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan

salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penelitian masyarakat

menunjukkan bahwa penganiayaan istri tidak terhenti pada penderitaan seorang istri

atau anaknya saja. Rentetan penderitaan akan menular keluar lingkup rumah tangga

dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat.7 Banyaknya kekerasan rumah

tangga yang terjadi, hanya beberapa kasus yang dapat diselsesaikan dengan adil. Hal

ini karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam

rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangan tidak pantasa

jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak diketahui publik.

Secara garis besar, faktor-faktor yang menjadikan kekerasan dalam rumah

tangga dapat dirumuskan menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal berkaitan erat hubungannya dengan kekuasaan suami dan

diskriminasi di kalangan masyarakat, diantaranya sebagai berikut:

1. Budaya Patriarkhi, yang menempatkan posisi laki-laki lebih unggul daripada

perempuan dan berlaku tanpa perubahan, seolah-olah itulah kodrat

2. Interpretasi agama yang tidak sesuai dengan universal agama.

3. Kekerasan berlangsung justru tumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi

bagian dari budaya, keluarga, Negara, dan praktik di masyarakat sehingga

menjadi bagian kehidupan.8

7
Ciciek Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam rumah Tangga Belajar dari Kehidupan Rasulullah SAW, Cet.I,
Jakarta: Lembaga Kajian Agama dam Gender, Desember 1999, Hal. 22.

8
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula untuk Pendampingan Korban Kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak, PSG dan Pilar Media, 2006, Hal. 8-10.

8
Adapun faktor internal timbulnya kekerasan terhadap istri adalah kondisi psikis

dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan, yaitu:

1. Sakit Mental

2. Pecandu alkohol

3. Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan

4. Kurangnya komunikasi

5. Penyelewengan seks

6. Citra diri yang rendah

7. Frustasi

8. Perubahan situasi dan kondisi

9. Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (Pola

kebiasaan keturunan dari keluarga atau orang tua).

Adapun dampak yang ditimbulkan dari kekerasan terhadap perempuan di rumah

tangga misalnya, secara kejiwaan adalah kecemasan, murung, setres, minder,

kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya.

Dampak psikologis lainnya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh

orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri

dan konsep diri korban ( ia akan melihat dirinya selalu negative dan banyak

menyalahkan) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat

dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan, dan kemarahan yang tidak dapat

diungkapkan (cenderung akan menjadi pribadi yang Introvet).9

2.2.4 Psikologi Pidana Putusan terhadap Kasus Ni Putu Septyani Perdani


9
Kristi Poerwandari, Kekerasan terhadap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku Penghapusan Diskriminasi
terhadap Wanita, Baandung: alumni, 2000, Hal. 283.

9
Kasus Pembunuhan yang dilakukan oleh Septyani telah mendapatkan kekuatan

hukum yang tetap di tingkat kasasi. Hakim Mahkamah Agung menjatuhi hukuam

kepada Terdakwa dengan hukuman 7 tahun dan 6 bulan penjara sesuai Pasal 80

Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan

ancaman pidana kurungan maksimal 15 tahun

Pasal 80

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan

dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang

Tuanya. 

Selain itu, ada beberapa pertimbangan hakim sehingga dapat memutus perkara

Septyani lebih ringan. Hal – hal yang meringankan tersebut adalah :

1. Belum pernah dihukum,“Terdakwa belum pernah dihukum”, Seseorang

yang belum pernah dihukum, menandakan bahwa seseorang itu punya track

record yang baik di mata hukum. Belum pernah bermasalah dengan hukum

10
atau belum pernah dipidana. sehingga para hakim memberikan

pertimbangani sebagai peringanan hukuman dengan alasan orang itu

sebelum melakukan tindak pidana tersebut, termasuk orang yang baik

dimata hukum.

2. Kooperatif “Terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap sopan dan

kooperatif selama persidangan sehingga memperlancar jalannya

persidangan”. Sikap kooperatif ini membuat jalannya persidangan menjadi

lancar dan mudah. Para pelaku dianggap kooperatif sehingga para hakim

menggali fakta-fakta dengan mudah dan lancar. Dengan rasa kooperatifnya

yang dibangun atas rasa terus terang itu, para hakim memberikan

kekooperatifannya tersebut sebagai alasan yang meringankan hukuman

bagi para pelaku tindak pidana tersebut.

3. “Sopan dalam persidangan”. Kesopanan menjadi hal yang juga

dipertimbangkan oleh hakim dalam memberikan dasar putusannya. Para

pelaku yang bersikap dan berperilaku sopan dianggap menghormati

persidangan. Sehingga sopan dalam persidangan ini membuat dasar

pertimbangan para hakim dan membuatnya sebagai alasan yang

meringankan bagi para pelaku"

4. Rasa menyesal “Terdakwa menyesal perbuatannya”. Perlu mendalami

lebih dalam dan lebih jauh terhadap sikap batin para pelaku. Sebelum

menjatuhkan putusannya, beliau selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha

Esa agar diberikan petunjuk apakah orang tersebut benar – benar menyesal

atau hanya ingin pura – pura agar mendapatkan keringanan hukuman dari

11
hakim semata. Apabila pelaku dirasa benar – benar menyesal, maka baru

alasan itu diberikan sebagai alasan yang meringankan bagi para pelaku.

Karena pelaku benar – benar telah telah menyesal dan berjanji tidak akan

mengulangi tindakanya tersebut.

Sesuai dengan putusan hakim Mahkamah Agung (MA) pada tingkat Kasasi,

maka secara tidak langsung menggugurkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang

pada di tingkat pertama dan tingkat Banding, memasang Pasal Pembunuhan

berencana terhadap Septyanii yang notabene ancaman maksimal hukuman mati.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

12
1. Seorang Dapat melakukan perbuatan melanggar hukum seperti menghilangkan nyawa

seseorang (Pembunuhan) dapat terjadi Karen beberapa faktor, salah satunya yaitu

kegagalan individu dalam menghadapi lingkungannya. Tekanan atau gangguan

kepribadian disebabkan oleh gejala Neurosis dan Gejala Sosiopatik, sehingga seseorang

cenderung menjadi introvert karena mengalami depresi berat dan trauma. Hal ini terjadi

pada Kasus pembunuhan 3 orang anak dan upaya bunuh diri yang dilakukan oleh ibu

kandungnya yang bernama Septyani. Pembunuhan yang dilakukannya sebenranya

cenderung dilatar belakangi karena pelaku mengalami depresi dan trauma berat terhadap

kondisi rumah Tangganya yang terdahulu.

2. Hakim pada tingkat Kasasi menetapkan bahwa Ni Putu Septyani Perdani, menetapkan

putusan 7 tahun dan 6 bulan penjara dipotong masa tahanan, merupakan putusan yang

tepat. Karena pertimbangan bahwa Septyanii melakukan tindak pidana pembunuhan

terhadap anaknya karena ada gangguan psikis yang dialami selama berumah tangga,

sehingga ini menggugurkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang awalnya mendakwa

Septyani dengan pasal pembunuhan berencana.

3.2 Saran

Berdasarkan hasil uraian pembahasan dan kesimpulan, saran dalam tugas ini adalah sebagai

berikut :

1. Melihat pentingnya upaya pencegahan terjadinya tindak pidana pembunuhan yang disebabkan

oleh orang tua atau keluarga dimana pelaku tindak pidana tersebut dalam keadaan depresi dan

trauma berat, hendaknya diperlukan komunikasi dan lingkungan yang “Sehat” antara anggota

keluarga sehingga menekan angka tindak pidana yang terjadi di lingkungan rumah tangga.

13
2. Kepada pemerintah, diperlukannya sosialisasi ke desa atau pun ke organisasi terkait untuk

melakukan penyuluhan tentang bahaya dan dampak bagi seseorang yang mengalami depresi, baik

yang bersifat edukatif sebagai pengetahuan bagi masyarakat yang bersifat pengembangan diri

seperti di tempat keagamaan, konseling tentang diri dan juga disarankan untuk meningktakan

kesadaran hukum pada masyarakat, khususnya dalam kasus pembunuhan yang terjadi di

lingkungan rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

14
BUKU
Ciciek Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam rumah Tangga Belajar dari Kehidupan

Rasulullah SAW, Cet.I, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dam Gender, Desember

1999, Hal. 22.

Prof. Dr.Drs. Abintoro Prakoso, SH, MS, Hukum & Psikologi HUkum, Laksbang Grafika,

Yogyakarta, hal. 106

Harrys Pratama Teguh, Teori dan Praktek Perlindungan Anak Dalam hukum Pidana, Andi

Yogyakarta,2018,

Kristi Poerwandari, Kekerasan terhadap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku

Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, Baandung: alumni, 2000, Hal. 283.

Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula untuk

Pendampingan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, PSG dan Pilar

Media, 2006, Hal. 8-10.

JURNAL

Kekerasan terhadap perempuan berbasis Gender (KTPBG), paket Informasi, Yogyakarta :

Rifkka Annisa Women’s Crisis Center, t.t, Hal. 2

UNDANG-UNDANG

Kitab Undang Undang Hukum pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

INTERNET

15
https://Hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/tentang-kepribadian-introvet/

https://www.inews.id/daerah/bali/begini-pengakuan-mengejutkan-ibu-di-gianyar-

membunuh-3-anak-kandungnya

https://m.detik.com/news/berita/d-4310078/ibu-pembunuh-3-anak-kandung-di-bali-tetap-

dihukum-45-tahun-bui

16

Anda mungkin juga menyukai