1. Model Mental
Apabila perancang ingin membangun sebuah sistem yang mudah digunakan, maka
seorang oerancang ada baiknya perancang harus melihat dunia nyata dengan
menggunakan sudut pandang pengguna, sehingga perancang akan benar-benar
memahami apa yang dirasakan pengguna ketika mereka menggunakan program
rancangannya. Untuk melakukan hal tersebut, perancang harus memahami bagaimana
manusia mengatasi kompleksitas suatu lingkungan kerja yang kompleks secara teknis.
Proses untuk menciptakan kerangka kerja tentang suatu proses atau cara kerja suatu
benda disebut dengan "model mental". Model mental adalah penyajian kognitif suatu
proses atau obyek yang menyatakan suatu perkiraan logis dan dapat diterima tentang
bagaimana suatu benda dibentuk atau bagaimana benda berfungsi.
Secara ideal, model mental (pengguna) haruslah persis sama dengan model konseptual
yang diciptakan oleh perancang. Tetapi karena berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh
pengguna, model mental seringkali berbeda dengan model konseptual. Dengan
mengacu pada hal tersebut, maka tantangan yang dihadapi oleh perancang antarmuka
adalah menciptakan antarmuka yang sesuai atau mendekati model mental yang
dibangun oleh pengguna.
2. Pemetaan
Ketika pengguna berinteraksi dengan sebuah peranti atau sebuah system, pengguna
akan mencoba untuk mempertemukan apa yang pengguna inginkan dengan apa yang
sesungguhnya dilakukan oleh peranti yang bersangkutan. Menurut Hutchins et al (1986)
hal seperti itu disebut sebagai jarak semantik Antara pengguna dengan sistem. Aspek
lain yang bias diamati adalah adanya jarak Antara penampakan fisik suatu peranti
dengan fungsi yang sesungguhnya yang disebut dengan jarak artikulatori. Jarak
semantik menunjukkan hubungan antara fungsionalitas yang tersedia dengan
fungsionalitas yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Hal tersebut
merupakan salah satu ukuran kedayagunaan (usefulness) dari sebuah rancangan.
Perancang interaksi harus berusaha secara maksimal untuk meminimalisir kedua jarak
ini.
4. Affordance
Sesuai apa yang dinyatakan Norman (1990), affordance menyatakan hubungan antara
obyek dengan penggunanya, bukan merupakan atribut obyek tersebut. Apa yang bagi
seseorang merupakan affordance belum tentu berlaku bagi orang lain. Sebagai contoh,
affordance dari antarmuka penyantang tunanetra pasti sangat berbeda dengan
antarmuka untuk orang normal. Dalam perancangan, persepsi terhadap affordance akan
membantu dalam hal memeahami kebergunaan (usability) sebuah system. Perancang
perlu meyakinkan bahwa affordance yang diperlukan pengguna harus Nampak nyata
dan tidak boleh kontradiktif dengan apa yang pengguna harapkan.
Sumber :