Anda di halaman 1dari 24

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Mellitus

3.1.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kinerja insulin atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit gangguan
metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat
dari gangguan produksi insulin atau gangguan kinerja insulin atau karena kedua-
duanya. Penyakit ini bersifat kronik bahkan seumur hidup. Sampai sekarang
belum ada obat yang dapat mengobati penyakitnya, yang ada saat ini hanyalah
usaha untuk mengendalikan glukosa darah seperti glukosa darah pada orang
normal.1

3.1.2 Epidemiologi

DM dapat ditemukan pada hampir semua lapisan masyarakat di seluruh


dunia, namun insidensi dan prevalensi diabetes (angka kejadian diabetes) serta
distribusi relatif diabetes ini menunjukan perbedaan-perbedaan pokok antara
negara dan kelompok etnik yang berbeda di dalam suatu negara.
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan jumlah
penderita diabetes di Indonesia dapat mencapai 28,57 juta pada 2045. Jumlah ini
lebih besar 47% dibandingkan dengan jumlah 19,47 juta pada 2021. Jumlah
penderita diabetes pada 2021 tersebut meningkat pesat dalam sepuluh tahun
terakhir.1

3.1.3 Klasifikasi

Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:2


a. Diabetes mellitus tipe 1

1
Terjadi destruksi sel β pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolute akibat proses imunologik maupun idiopatik. 2
b. Diabetes mellitus tipe 2
Penyebab spesifik dari tipe diabetes ini masih belum diketahui, terjadi
gangguan kerja insulin dan sekresi insulin, bisa predominan gangguan
sekresi insulin ataupun predominan resistensi insulin. 2
c. Diabetes mellitus tipe lain
Diabetes mellitus tipe lainnya disebabkan oleh berbagai macam penyebab
lainnya seperti defek genetik fungsi sel beta, defek genetik pada kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat
kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain
yang berkaitan dengan DM. 2
d. Diabetes mellitus gestational
Diabetes mellitus gestational yaitu diabetes yang terjadi pada kehamilan,
diduga disebabkan oleh karena resistensi insulin akibat hormon-hormon
seperti prolaktin, progesteron, estradiol, dan hormon plasenta.2

3.1.4 Patofisiologi
1. Patofisiologi DM tipe 1
DM tipe-1 ini disebabkan oleh karena adanya proses autoimun / idiopatik
yang menyebabkan defisiensi insulin absolut. Ditandai dengan ketidakmampuan
pankreas untuk mensekresikan insulin dikarenakan kerusakan sel beta yang
disebabkan oleh proses autoimun.1
2. Patofisiologi DM tipe 2
Terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu Resistensi insulin dan Disfungsi
sel B pancreas. 1
Pada DM terjadi gangguan pada reaksi RIS (Receptor Insulin
Substrate) sehingga menurunkan jumlah transporter glukosa terutama GLUT 4
yang mengakibatkan berkurangnya distribusi glukosa kejaringan yang
menyebabkan penumpukan glukosa darah yang pada akhirnya akan menimbulkan
hiperglikemia atau meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh. 1
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun
karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara

2
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin
banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.
Pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang
berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun
seperti DM tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya
bersifat relatif dan tidak absolut. 1
Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada
sekresi rtama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara
progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. 1

3.1.5 Faktor Resiko


Peningkatan jumlah penderita DM, berkaitan dengan beberapa faktor
yaitu:
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 25 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200 mg%.2
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan
dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer. 2
3. Riwayat Keluarga DM
Seorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Diduga
bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat
homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita DM. 2
4. Dislipedimia
Dislipidemia dalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak
darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan
plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat

3
pada pasien diabetes. Selain itu timbunan lemak bebas yang tinggi
dapat menyebabkan meningkatnya uptake sel terhadap asam lemak
bebas dan memacu oksidasi lemak yang pada akhirnya akan
menghambat penggunaan glukosa dalam otot yang menyebabkan
resistensi insulin. 2
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena DM adalah > 45
tahun. Resiko seseorang untuk menderita diabetes melitus tipe 2 akan
bertambah seiring berjalannya usia terutama usia diatas 45 tahun. Hal
ini dikarenakan jumlah sel beta pankreas produktif semakin berkurang
dengan bertambahnya usia. 2
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi
>4000 gram. 2
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi
familial. Risiko emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan
meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara
kandung mengalami penyakit ini. 2
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan
ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak
aktifan fisik, faktorfaktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari
lingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi
perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga
berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu
metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan
mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah. 2

4
3.1.6 Gejala Klinis
Sindroma klinik yang sering dijumpai pada diabetes mellitus yakni
poliuria, polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemia. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dikonsumsi
mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi
glikogendan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Semua proses tersebut
terganggu pada DM, glukosa tidak dapat masuk ke sel hingga energi terutama
diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia sendiri
relatif tidak berbahaya, kecuali bila kadarnya tinggi sekali sehingga darah menjadi
hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang berbahaya adalah glikosuria yang
timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis meningkat
disertai hilangnya berbagai elektrolit (poliuria). Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada pasien DM sehingga terjadi
koma hiperglikemik hiperosmolar nonketosis. Karena adanya dehidrasi, maka
tubuh berusaha mengatasinya dengan banyak minum (polidipsia).3
Selain itu, polifagia juga timbul karena adanya perangsangan pusat nafsu
makan di hipotalamus akibat kurangnya pemakaian glukosa di sel, jaringan, dan
hati . Normalnya lemak yang berada dalam aliran darah, melewati hati dan
dipecah menjadi gliserol dan asam lemak. Asam lemak kemudian diubah menjadi
senyawa keton (asam asetoaseat, aseton, asam betahidroksibutirat) dan dilepaskan
ke aliran darah kembali untuk disirkulasikan ke sel tubuh agar dimetabolisme
menjadi energi, CO2 dan air. Pada saat terjadi gangguan metabolit, lipolisis
bertambah dan lipogenesis terhambat, akibatnya dalam jaringan terbentuk
senyawa keton lebih cepat daripada sel tubuh dapat memetabolismenya. Maka,
terjadi akumulasi senyawa keton dan asidemia (penurunan pH darah dan
meningkatnya ion hidrogen dalam darah). Sistem buffer tubuh berusaha untuk
menetralkan perubahan pH yang ditimbulkannya, tetapi bila ketosis yang timbul
lebih hebat maka pH darah tidak dapat dinetralisir dan terjadi diabetik
ketoasidosis. Keadaan klinis ini ditandai dengan nafas yang cepat dan dalam,
disebut pernafasan kussmaul, disertai adanya bau aseton. 3

5
3.1.7 Diagnosa dan Kriteria
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa dapat juga dilihat dari keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien berupa lemah, kesemutan, gatal, dan mata kabur. 2
GDS≥ 200 mg/dl,sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes
mellitus. Hasil pemeriksaanglukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa gejala khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari
hasil TTGO didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl. 2

3.1.8 Penatalaksanaan
1. Edukasi
DM tipe-2 umumnya terjadi dikarenakan adanya pola gaya hidup dan
perilaku yang sudah terbentuk secara mapan. Untuk menuju adanya perubahan
perilaku seperti merokok dan minum minuman beralkohol diperlukan partisipasi
aktif pasien,keluarga, lingkungan. 1
2. Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total, agar dapat berhasil. Setiap penderita diabetes sebaiknya mendapat Terapi
Gizi Medis sesuai dengan kebutuhan agar sasaran terapi dapat tercapai.Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin. 1
3. Intervensi Farmakologis

6
Pengobatan Diabetes Mellitus berbeda untuk DM tipe 1 dan DM tipe 2.
a. Pengobatan DM tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 harus bergantung pada insulin eksogen untuk
mengontrol hiperglikemia. Tujuan pemberian insulin pada DM tipe 1 adalah
untuk memelihara konsentrasi gula darah mendekati kadar normal dan mencegah
besarnya penyimpangan kadar glukosa darah yang dapat menyebabkan timbulnya
komplikasi jangka panjang. Insulin eksogen yang dipakai untuk pengobatan DM
memiliki beberapa jenis yaitu insulin kerja cepat, insulin kerja sedang, dan insulin
kerja lama. Efek samping dari pemberian insulin tersebut berupa reaksi alergi,
hipoglikemia akibat dosis yang berlebihan, dan lipodistrofi di tempat penyuntikan.
b. Pengobatan DM tipe 2
Langkah pertama dalam mengelola DM selalu dimulai dengan pendekatan
non farmakologi, yaitu berupa perencanaan makan/terapi nutrisi medik, olahraga,
dan penurunan berat badan. Bila dengan langkah tersebut sasaran terapi
pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau
intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis
perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam penyebab terjadinya
hiperglikemia. 4
Obat antidibetika oral dibagi dalam 6 kelompok, sebagai berikut:
a. Sulfonilurea (misalnya: tolbutamid, klorpropamida, glibenklamida, gliklazida,
glipizida, glikidon dan glimepirida)
Mekanisme kerja sulfonilurea dengan menstimulasi insulin dari sel beta-pankreas.
Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang memiliki afinitas tinggi
yang berkaitan dengan saluran K-ATP pada sel β-pankreas, akan menghambat
effluks kalium sehingga terjadi depolarisasi kemudian membuka saluran Ca dan
menyebabkan influks Ca sehingga meningkatkan pelepasan insulin. Di samping
itu, sulfonilurea juga dapat meningkatkan kepekaan reseptor terhadap insulin di
hati dan di perifer. 3
b. Penyekat kanal kalium(misalnya:r epaglinidadan nateglinida)
Golongan ini mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea, hanya
pengikatan reseptornya terjadi di tempat lain dan kerjanya lebih singkat.
c. Biguanida (misalnya: metformin)

7
Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan
tidak menurunkan gula-darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan
sehingga berat badan tidak meningkat, maka dapat diberikan pada penderita yang
kegemukan. Penderita ini biasanya mengalami resitensi insulin, sehingga
sulfonilurea kurang efektif. Mekanisme kerjanya yaitu dengan meningkatkan
kemampuan insulin untuk memindahkan glukosa ke dalam sel (insulin
sensitizers).
d. Glukosidase-inhibitors (misalnya: akarbose dan miglitol)
Obat golongan ini bekerja dengan merintangi enzim alfaglukosidase di mukosa
duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi monosakarida
terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke
dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar
gula darah dapat dihindarkan. 3
e. Thiazolidindion (misalnya: rosiglitazon dan pioglitazon).
Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan
meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin (insulin sensitizers).
f. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers) .
Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP4 sehingga
produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon inkretin berperan utama
dalam produksi insulin di pankreas dan pembentukan hormon GLP-1 (glukagon-
like peptide-1) dan GIP (glucosedependent insulinotropic polypeptide) di saluran
cerna yang juga berperan dalam produksi insulin. Dengan penghambatan enzim
DPP-4 akan mengurangi penguraian dan inaktivasi inkretin, GLP-1 dan GIP,
sehingga kadar insulin akan meningkat.

3.1.9 Komplikasi

Komplikasi akut pada kasus diabetes adalah ketoasidosis diabetes (diabetic


ketoacidosis/DKA) dan hiperosmolaritas hiperglikemi (hyperglycaemic
hyperosmolarity/HHS). DKA terjadi akibat defisiensi absolut atau relatif insulin
yang dikombinasi dengan regulatori kelebihan hormon glukagon, katekolamin,
kortisol. Ketosis terjadi akibat peningkatan perlepasan asam lemak bebas dari

8
adiposit, yang akhirnya mengakibatkan sintesa badan keton di hepar. Turunnya
kadar insulin disertai peningkatan katekolamin dan growth factor, meningkatkan
lipolisis dan perlepasan asam lemak bebas. Secara normal, asam lemak bebas ini
akan diubah menjadi trigliserida atau Very Low Density Lipoprotein (VLDL) di
hepar. Pada DKA, hiperglukagonemi merubah metabolism hepar untuk
meningkatkan formasi badan keton dengan mengaktivasi enzim karnitin
palmitotranferase I. Enzim ini penting dalam regulasi transportasi asam lemak ke
dalam mitokondria, di mana terjadi oksidasi beta dan konversi badan keton
terjadi.
Pada PH yang fisiologis, badan keton wujud sebagai ketoasid yang
dineutralisasi oleh bikarbonat. Peningkatan asam laktat juga menyumbang kepada
terjadinya asidosis metabolik. Tanda-tanda terjadinya DKA termasuk mual,
muntah, dahaga, poliuri, respirasi kussmaul, takikardi, takipnea, dehidrasi,
hipotensi, nyeri abdomen dan sebagainya. HHS sering terjadi pada lansia dengan
DM tipe 2 dengan riwayat beberapa minggu sebelumnya, poliuri, penurunan berat
badan yang akhirnya mengakibatkan perobahan status mental. Beda HHS dan
DKA adalah tiadanya simptom mual, muntah dan nyeri abdomen pada DKA.
Komplikasi kronik dari diabetes dapat berupa komplikasivaskuler, yang dibagi
menjadi makrovaskular yaitu penyakit pembuluh darah koroner, pembuluh darah
tungkai bawah dan mikrovaskular yaitu retinopati, nefropati, dan lainnya. 4
Penyakit diabetes melitus yang tidak terkontrol dalam waktu lama akan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang
dapat mengalami kerusakan dibagi menjadi dua jenis, yakni pembuluh darah besar
dan kecil. Yang termasuk dalam pembuluh darah besar antara lain: 4
a. Pembuluh darah jantung, yang jika rusak akan menyebabkan penyakit jantung
koroner dan serangan jantung mendadak.
b. Pembuluh darah tepi, terutama pada tungkai, yang jika rusak akan
menyebabkan luka iskemik pada kaki.
c. Pembuluh darah otak, yang jika rusak akan dapat menyebabkan stroke.
Kerusakan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) misalnya mengenai
pembuluh darah retina dan dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, dapa

9
tterjadi kerusakan pada pembuluh darah ginjal yang akan menyebabkan
nefropatidiabetikum. 4

3.2 KAD

3.2.1 Definisi KAD


Diagnosis ketoasidosis diabetik (KAD) ditegakkan jika terdapat :
 Hiperglikemia yaitu kadar glukosa darah > 200 mg/dL (>11 mmol/L)
 Asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau HCO3 <15 mEq
 Ketonemia dan ketonuria

3.2.2 Epidemiologi
Kekerapan KAD berkisar 4-8 kasus pada setiap 1000 pengidap diabetes dan
masih menjadi masalah terutama di rumah sakit dengan fasilitas minimal. Angka
kematian berkisar 0,5-7% tergantung dari kualitas pusat pelayanan yang
mengelola KAD tersebut. Berdasarkan penelitian nasional berbasis populasi,
mortalitas KAD di beberapa negara cukup konstan, di Amerika Serikat 0,15%,
Kanada 0,18% dan Inggris 0,31%. Pada tempat-tempat dengan fasilitas yang
kurang memadai maka risiko kematian akibat KAD lebih tinggi. Edema serebri
bertanggung jawab atas 60-90% kematian akibat KAD.

3.2.3 Patogenesis
Kombinasi dari defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan
kadar hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol, hormon
pertumbuhan, dan somatostatin) akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik
dan inflamasi berat dengan akibat peningkatan produksi glukosa oleh hati dan
ginjal (melalui proses glikogenolisis dan gluconeogenesis) dan gangguan utilisasi
glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas.
Defisiensi insulin dan peningkatan hormone kontra regulator terutama
epinefrin juga mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak yang
mengakibatkan peningkatan lipolysis. Peningkatan lipolysis dan ketogenesis akan

10
memicu ketonemia dan asidosis metabolic. Populasi bend aketon utama terdiri
dari 3-beta hidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton. Sekitar 75-85% benda keton
terutama adalah 3-beta hidroksibutirat. Walaupun sudah dibentuk banyak bend
aketon untuk sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih lapar dan terus membentuk
glukosa.
Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotic, dehidrasi,
dan kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan memicu lebih lanjut hormon
stress sehingga akan terjadi perburukan hiperglikemia dan hiperketonemia yang
akan menimbulkan dehidrasi yang berat serta asidosis metabolic. Ketoasidosis
akan diperburuk oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.

3.2.4 Pencetus
Pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Pencetus lain
diantaranya adalah menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke
akut, pankreatitis, dan obat-obatan. Awitan baru atau penghentian pemakaian
insulin seringkali menjadi sebab DM tipe 1 jatuh pada keadaan KAD. Pada
beberapa pasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan
pencetus yang jelas dan setelah diberikan insulin dalam periode pendek
keadaannya cepat membaik, bahkan tidak membutuhkan medikasi sama sekali.
Varian diabetes seperti tersebut disebut DM tipe 1.5

3.2.5 Klasifikasi KAD


Untuk kepentingan tata laksana, KAD diklasifikasikan berdasarkan derajat
beratnya asidosis dan dibagi menjadi 3 yaitu :
 KAD ringan : pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L
 KAD sedang : pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L
 KAD berat : pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L

3.2.6 Manifestasi Klinis


 Dehidrasi, dengan derajat yang bervariasi. Dapat ditemukan takikardi,
hipotensi, turgor kulit menurun dan syok.

11
 Perubahan kesadaran dengan derajat yang bervariasi, mulai dari bingung
sampai koma.
 Mual, muntah, dan nyeri perut
 Pola nafas Kussmaul
 Gejala klasik DM berupa polyuria, polidipsi, polifagia, serta penurunan
berat badan
3.2.7 Diagnosis Banding
Ketoasidosis harus dibedakan dengan status hiperglikemi hyperosmolar (SHH),
walaupun pengelolaannya hampir sama tetapi prognosisnya sangat berbeda. Pada
SHH hipeglikemia biasanya lebih berat, dehidrasi berat, dan disertai gangguan
kesadaran tanpa ketoasidosis yang berat.
Beberapa keadaan ketoasidosis karena sebab lain juga harus dipikirkan saat
berhadapan dengan pasien yang dicurigai KAD. Ketoasidosis alkoholik dan
ketosis starvasi dapat disingkirkan dengan anamnesis yang baik dan hasil gula
darah yang rendah sampai meningkat ringan saja. Biasanya hasil HCO3 jarang
dibawah 18 mEq/L.

Perbedaan KAD dan HHS

KAD HHS
Glukosa plasma >250 mg/dL Glukosa
plasma >600
Ringan Sedang Berat mg/dL
pH arteri 7,25-7,30 7,00-<7,24 <7,00 >7,30
Bikarbonat 15-18 10-<15 <10 >18
Serum
Keton Urin Positif Positif Positif Kecil
Keton Serum Positif Positif Positif Kecil
Osmolalitas Bervariasi Bervariasi Bervariasi >320
serum efektif mOsm/kg
Kesenjangan >10 >12 >12 Bervariasi
anion
Status Mental Siaga Siaga/mengantuk Stupor/koma Stupor/koma

3.2.8 Tatalaksana
Keberhasilan tatalaksana KAD tergantung pada koreksi dehidrasi, asidosis,
gangguan keseimbangan elektrolit dan hiperglikemia. Prinsip tatalaksana KAD
meliputi terapi cairan untuk mengkoreksi dehidrasi dan menstabilkan fungsi

12
sirkulasi, pemberian insulin untuk menghentikan produksi badan keton yang
berlebihan, mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit, mengatasi faktor
presipitasi atau penyakit yang mendasari KAD serta monitor komplikasi terapi.
Tatalaksana awal :
a. Amankan airway, breathing, circulation:
 Airway: amankan jalan napas. Jika perlu kosongkan isi lambung
 Breathing: berikan oksigen pada pasien dengan dehidrasi berat atau
syok.
 Circulation: pemantauan jantung sebaiknya menggunakan EKG untuk
mengevalusi adanya kemungkinan hiperkalemia atau hipokalemia.
 Sebaiknya dipasang dua kateter intravena.
b. Nilai kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale)
c. Timbang berat badan pasien (Gunakan berat badan aktual untuk
menghitung kebutuhan cairan maupun kebutuhan insulin)
d. Nilai derajat dehidrasi
 Dehidrasi dianggap sedang jika dehidrasinya mencapai 5%- 9%, tanda-
tanda dehidrasi meliputi capillary refill time memanjang, turgor
menurun, hiperpnea, serta adanya tanda-tanda dehidrasi seperti
membran mukus yang kering, mata cekung, dan tidak ada air mata.
 Dehidrasi dianggap lebih dari 10% atau berat jika terdapat nadi yang
lemah, hipotensi, dan oliguria.
 Mengingat derajat dehidrasi dari klinis sangat subyektif dan seringkali
tidak akurat maka direkomendasikan bahwa pada KAD sedang
dehidrasinya adalah 5-7% sedangkan pada KAD berat derajat
dehidrasinya adalah 7-10%.
e. Evaluasi klinis apakah terdapat infeksi atau tidak
f. Ukur kadar glukosa darah dan keton urin
g. Lakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium
glukosa plasma, elektrolit, kadar bikarbonat, kreatinin, osmolalitas plasma,
pH dan pCO2 vena, darah tepi lengkap, albumin, fosfor, dan magnesium
h. Periksa HbA1c
i. Pemeriksaan urinalisis.

13
j. Jika terdapat demam atau tanda infeksi lainnya lakukan kultur (darah, urin,
atau kultur dari spesimen lainnya) sebelum pemberian antibiotik.
k. Lakukan EKG jika hasil pemeriksaan kalium tertunda.

Terapi Cairan
Jika tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal kronik berat, cairan salin
isotonik (NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-20 cc/kgBB/jam pertama. Tindak
lanjut cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik,
status hidrasi, elektrolit, dan produksi urin.
Penggantian cairan dapat dilakukan sampai dengan 24 jam, dan penggantian
cairan sangat mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda keton
dan perbaikan asidosis
Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin regular
dosis rendah intravena sekitar 0,1-1,15 unit/jam. Dengan pemberian insulin
intravena dosis rendah diharapkan terjadi penuruna glukosa plasma dengan
kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam sampai glukosa turun ke sekitar 200 mg/dl,
lalu kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05 unit/kgBB/jam. Jika glukosa
sudah berada sekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus dekstrose dianjurkan
untuk mencegah hipoglikemia.
Kalium
Jika saat masuk kalium pasien normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat
defisiensi kalium yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium
yang adekuat karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut.
Pemberian KCl (bila K <6) dengan dosis K <3 : 75 meq; K 3-4,5 : 50 meq; K 4,5-
6 : 25 meq.
Bikarbonat
Terapi bikarbonat yang tidak pada tempatnya dapat meningkatkan risiko
terjadinya hipokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan, edema serebri, dan

14
asidosis susunan saraf pusat paradoksal. Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi
hiperkalemia berat atau jika pH darah <6,9

3.2.9 Komplikasi
Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia dan hiperglikemia
berulang. Untuk mencegah terjadinya komplikasi tesebut maka diperlukan
monitoring yang ketat (gula darah diperiksa tiap 1-2 jam) dan penggunaan insulin
dosis rendah. Pasien KAD yang mengalami hipoglikemia seringkali tidak
menunjukkan gejala hiperadrenergik.

3.2.10 Pencegahan
 Edukasi tentang diabetes untuk pasien dan keluarga
 Monitoring gula darah secara terstruktur
 Memantau keton dan beta-hidroksibutirat
 Suplementasi insulin kerja singkat saat dibutuhkan
 Diet makanan cair mudah cerna saat sakit
 Mengurangi, tetapi bukan menghentikan insulin saat pasien tidak makan

3.2.11 Prognosis
Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar lainnya,
jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada pasien KAD adalah
karena penyakit penyerta berat yang datang pada fase lanjut.

3.3 Tuberkulosis
3.3.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh M. tuberculosis

yang bersifat menetap seumur hidup. Paru merupakan port d’ entry M.


tuberculosis.
Kasus penderita TB di dunia tahun 1916 – 1917 mencapai angka 400,000
hingga 500,000. Hal ini membuat tentara Jerman dan sekutunya berhati-hati saat
merekrut pasukan untuk melangsungkan Perang Dunia I. Mereka melakukan

15
rontgen dada untuk menapis penderita TB. WHO Expert Committee on
Tuberculosis dalam Ninth Report 1974 kemudian merekomendasikan
pemeriksaan mikroskopik sputum sebagai penapis dan modalitas diagnosis TB
daripada menggunakan foto toraks dan tes tuberculin (Daniel, 2018).

3.3.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko


WHO memperkirakan bahwa terdapat 8.6 juta kasus TB pada tahun 2012
yang 13% dari totalnya merupakan pasien dengan HIV positif. Indonesia
merupakan penyumbang kasus baru dan memiliki penduduk terinfeksi TB
terbanyak nomor 5 di dunia (Hastuti, 2016).

Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus TB di dunia mencapai angka


6% atau sekitar 530.000 pasien per tahunnya dengan sekitar 8% dari total
kematian yang disebabkan oleh TB (IDAI, 2007).

3.3.3 Etiologi dan Patogenesis


Bakteri Mycobacteria masuk dalam golongan famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul Bakteri ini bersifat aerobik, basil
tahan asam, bukan merupakan bakteri gram positif atau gram negatif (karena tidak
dapat diwarnai dengan pewarnaan gram). Bakteri ini memiliki dinding lipid yang
tebal (sekitar 60%) yang mengandung asam mikolat sehingga bersifat tahan asam
(Levinson, 2016).
Bakteri ini bertumbuh secara perlahan, dengan doubling time 18 jam sehingga
kultur specimen klinis bakteri harus dilakukan 6 sampai 8 minggu sebelum
diinterpretasi sebagai negatif. Bakteri ini dapat dikultur menggunakan media
Löwenstein-Jensen yang mengandung nutrien (kuning telur) dan pewarna
(malachite green). Pewarna ini berfungsi untuk menghambat normal flora yang
tidak diinginkan pada sampel sputum (Levinson, 2016).
Mycobacterium bersifat obligat aerobik sehingga hidup di jaringan dengan
kadar oksigen yang tinggi, seperti pada lobus atas paru dan ginjal. Cord factor
yang berkorelasi dengan faktor virulensi organisme ini akan berperan dalam

16
hipersensitivitas tipe 4. Bakteri berukuran <5m ini akan ditransmisikan dari
individu ke individu lainnya melalui aerosol masuk hingga alveolus. Bakteri akan
masuk dan tinggal didalam sel retikuloendotelial (makrofag) di alveolus. Bakteri
yang tidak mampu dibunuh oleh makrofag akan menginfeksi sel lainnya atau
diseminasi ke organ lainnya. Kuman TB yang berasal dari makrofag yang lisis
akan membentuk lesi yang disebut fokus primer Gohn. Kuman TB yang menyebar
melalui saluran limfe akan menyebabkan inflamasi pada saluran limfe
(limfangitis) dan kelenjar limfe (limfadenitis) perihiler dan atau paratrakeal.
Gabungan ketiga fokus ini disebut kompleks primer. Masa inkubasi ini
berlangsung selama 2 – 12 minggu (Levinson, 2016).

3.3.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat kuman TB bergantung pada 3
faktor, yaitu kuman TB (jumlah dan virulensi), faktor pejamu (usia, kompetensi
imun), dan interaksi keduanya (kompetensi imun dan kerentanan). Manifestasi
sistemik yang ditimbulkan berupa (Pinxteren, 2017) :
 Demam tidak tinggi selama >2 minggu dan/atau berulang tanpa sebab
yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dll.), yang
dapat disertai dengan keringat malam.
 Batuk >3 minggu dengan penyebab lain telah disingkirkan.
 Berat badan turun tanpa sebab jelas, atau tidak naik dengan penanganan
gizi yang adekuat
 Anoreksia dengan failure to thrive
 Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Sedangkan, manifestasi spesifik organ yang dapat ditimbulkan adalah:


1. Kelenjar limfe superfisialis – limfadenopati yang multipel, unilateral, tidak
nyeri, tidak hangat, mobile, dan confluence
2. Susunan saraf pusat – meningitis (nyeri kepala, penurunan kesadaran,
kaku kuduk, muntah proyektil, kejang) dan tuberkuloma (proses desak
ruang)
3. Sistem skeletal – nyeri, sendi bengkak, range of movement terbatas
4. Mata – Konjungtivitis fliktenularis dan tuberkel koroid

17
5. Organ lain.

3.3.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Uji Tuberkulin
Uji Tuberkulin, Tuberculin Skin Test (TST) merupakan pemeriksaan respon
imun terhadap kuman TB (bukan ada/tidaknya kuman). Pada saat penyuntikan
secara intrakutan akan terjadi indurasi disekitar suntikan karena terjadi
vasodilatasi local, edema, endapan fibrin, dan akumulasi sel inflamasi di daerah
suntikan. Uji tuberkulin memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 75 – 85 %
dan 50 – 70% (Pinxteren, 2017).

b. Radiologi
Foto toraks yang normal jika disertai klinis dan pemeriksaan penunjang lain
yang mendukung ke arah TB, tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB. Namun,
foto toraks tidak mampu berdiri sendiri, kecuali gambaran TB milier. Foto toraks
yang digunakan adalah gambaran antero-posterior dan lateral. Selain, foto toraks,
dapat dilakukan computed tomography scan untuk mendapatkan gambaran paru
yang lebih jelas (WHO, 2014). Gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
 Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
 Konsolidasi segmental/lobar
 Kalsifikasi dengan infiltrat
 Atelektasis
 Kavitas
 Efusi pleura
 Tuberkuloma.

c. Serologi
Pemeriksaan serologi merupakan salah satu modalitas yang sedang
berkembang. Pemeriksaan serologi menggunakan interaksi imun antigen terhadap
antibodi yang spesifik terhadap kuman M. tuberculosis seperti PPD, A60, 38kDa,
lipoarabinomanan dengan sampel yang berasal dari darah, sputum, cairan bronkus,
cairan pleura, dan cairan serebrospinal. Modalitas yang masih terus berkembang

18
adalah deteksi anti-interferon-gamma autoantibody (anti IFN-), PAP TB,
Mycodot, Immunochromatographic test (ICT), dll. Modalitas serologi ini masih
dalam tahap penelitian dan penggunaan secara rutin untuk diagnosis TB pada anak
belum direkomendasikan di Indonesian (IDAI, 2007).

d. Mikrobiologi
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman bakteri dalam
sampel pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang digunakan
terdiri atas pemeriksaan mikroskopis dengan apusan langsung (sebagian besar
negatif) dan pemeriksaan kultur (waktu pembiakan mencapai 6 – 8 minggu).
Spesimen sputum sulit didapatkan sehingga dapat menggunakan spesimen bilas
lambung 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Pemeriksaan dengan kultur Bactec
hanya membutuhkan 1 – 3 minggu, tapi biaya mahal dan teknologi lebih rumit.2
Modalitas pemeriksaan mikrobiologi terbaru adalah dengan pemeriksaan PCR
yang memiliki senstivitas yang lebih tinggi. Namun, kelemahan pemeriksaan ini
terdapat pada variasi tingkat sensitivitas PCR berbeda pada setiap laboratorium,
mudah terjadi kontaminasi kuman dari pemeriksaan sebelumnya sehungga
menyebabkan keadaan positif palsu, kuman persisten atau dorman dapat
menunjukkan hasil positif, dan biaya pemeriksaan mahal.

Pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak bermanfaat. Spesimen yang biasa
digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau cairan serebrospinal
(PDPI, 2013).

e. Perkembangan modalitas diagnostik – Xpert MTB/RIF (Mycobacterium


tuberculosis/ Resistance to Rifampicin)
Xpert MTB/RIF merupakan tes yang sepenuhnya didasari oleh automated
real-time DNA yang dapat mendeteksi TB dan resistensi terhadap rifampisin
hanya dalam waktu kurang dari 2 jam dengan menggunakan sampel sputum,
cairan bilas lambung, dan aspirasi nasofaring. WHO merekomendasikan
penggunaan Xpert MTB/RIF sebagai tes diagnostik awal TB paru dan TB
ekstrapulmonal (limfadenopati TB, TB abdomen, meningitis TB atau jaringan

19
lainnya) menggantikan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan histopatologi. Xpert
MTB/RIF (Gene Xpert ®) direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai
modalitas diagnostik awal penderita suspek TB-Multi Drugs Resistance atau TB
dengan HIV. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada spesimen dengan hasil
apusan negatif. Perlu diingat bahwa penggunaan Gene Xpert ® tidak berarti
pemeriksaan mikroskopis tidak dilakukan.21 Gene Xpert ® mulai
diimplementasikan di Indonesia pada tahun 2011 dan terus dikembangkan
penggunaannya untuk skala nasional. Keberhasilan pengobatan TB mencapai
angka 90% dan tingkat deteksi kasus baru TB >70% pada tahun 2013 (WHO,
2014).

3.3.6 Tatalaksana
Definisi kasus TB orang dewasa yang dimaksud disini adalah kasus TB
yang belum ada resistensi OAT (PDPI, 2013).
Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. OAT Lini Pertama
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer (Gangguan
(H) saraf tepi), psikosis toksik,
gangguan fungsi hati,
kejang.
Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome(gejala
(R) influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan
fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik.
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,
(Z) gangguan fungsi hati, gout
arthritis.
Streptomisin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan,

20
gangguan keseimbangan dan
(S) pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia,
agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta
(E) warna, neuritis perifer
(Gangguan saraf tepi).

b. OAT Lini Kedua


Grup Golongan Jenis Obat
A Florokuinolon  Levofloksasin (Lfx)
 Moksifloksasin (Mfx)
 Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik  Kanamisin (Km)
lini kedua  Amikasin (Am)*
 Kapreomisin (Cm)
Streptomisin (S)**

C OAT oral lini  Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)*


kedua  Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)*
 Clofazimin (Cfz)
 Linezolid (Lzd)
D D1 OAT lini  Pirazinamid (Z)
pertama  Etambutol (E)
 Isoniazid (H) dosis
tinggi
D2 OAT baru  Bedaquiline (Bdq)
 Delamanid (Dlm)*
 Pretonamid(PA-
824)*
D3 OAT  Asam para

21
tambahan aminosalisilat (PAS)
 Imipenemsilastatin
(Ipm)*
 Meropenem (Mpm)*
 Amoksilin
clavulanat (Amx-
Clv)*
 Thioasetazon (T)*

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan yang digunakan adalah;


1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini
ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid,
Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.
Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa

Kategori-1: Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

22
a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
c) Pasien TB ekstra paru.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Tarigan, T J. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata K, M.,


Setiyonadi, B. & Syam, A. F.(eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4ed.
Jakarta: Internal Publishing. 2014; 2377-80
2. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia. 2011
3. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrison’s principle of internal
Evi Kurniawaty JUKE, Volume 4, Nomor 7, Maret Tahun 2014 119
medicine. 18th ed. United States of America; 2012.
4. Waspadji S. Buku ajarilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jilid ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
5. Joint British Diabetes Society Inpatient Care Group. The management of
Diabetic Ketoacidosis in Adult. March. 2010
6. Wolfsdorf J, Craig MF, Daneman D, Dunger D, et al. Diabetic ketoacidosis
in children and adolescent with diabetes. Pediatric diabetes. 2009; 10 9
suppl. 12): 118-33
7. Rewers MJ, Pillay K, de Beaufort C, Craig ME, Hanas R, dkk. ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2014 Compendium: Assessment and
monitoring of glycemic control in children and adolescents with diabetes.
Pediatric Diabetes 2014: 15 (Suppl. 20): 102–114.
8. Daniel, TM. The history of tuberculosis. Res Med Journal, 2018.
9. Hastuti EB, Yuzwar YE.. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB
Anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit editors. Jakarta, 2016.
10. Levinson, WE. Mycobacterium Tuberculosis : Review of Medical
Microbiology and Immunology. McGraw-Hill Education. New York, 2016.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Jakarta, 2013.
12. Pinxteren LAH, Ravn P, Agger EM, Pollock J, Andersen P. Diagnosis of
Tuberculosis based on the Two Specific Antigens ESAT-6 and CFP10. Clin
Diagn Lab Immunol, 2017.
13. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta, 2007.
14. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis. Geneva. WHO Press,
2014.

24

Anda mungkin juga menyukai