Anda di halaman 1dari 16

TUGAS FARMASI PRAKTIS

TOPIK 2. KCKT DAN TITRASI

Disusun Oleh Kelompok 1:


Lisa Yuhana 192211101111
Al Kautsar 192211101112
I Wayan Seniarta 192211101113
Rachmad Hidayat 192211101114

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

Soal :
Departemen QC suatu industry ingin melakukan verifikasi metode analisis penetapan kadar
sirup Paracetamol yang mengandung 120mg/5mL dengan metode KCKT.

1. Apa perbedaan Validasi dan Verifikasi metode analisis ?


No Keterangan Validasi Metode Analisis Verifikasi Metode Analisis
1 Parameter Akurasi Kadar
Presisi  Akurasi
 Repitabilitas  Presisi
 Presisi Intermediet  Spesifisitas
Spesifitas Impuritas
Limit Deteksi/LOD  Akurasi
Limit Kuantitasi/LOQ  Presisi
Linieritas  LOD/LOQ
Rentang Identifikasi
 Spesifisitas
2 PenerapanPada metode tidak baku Dilakukan pada metode
(tidak berdasarkan baku/standard/kompendial
kompendial)
(Sumber: POPP I, 2013; Hal 604-605)

2. Jelaskan parameter apa sajakah yang harus dilakukan pengujian dan persyaratan
yang harus dipenuhi !
a. Akurasi
Akurasi metode pengujian dinilai sesuai rentang pengujian dengan 5 cara penentuan
metode analisis untuk penetapan kadar bahan aktif obat dalam bahan awal dan
produk jadi:
1. Menggunakan metode analisis untuk menetapkan kadar analit dalam bahan aktif
obat yang diketahui kemurniannya (misalnya bahan awal pembanding sekunder).
2. Bahan aktif obat atau cemaran dalam jumlah yang diketahui ditambahkan
kedalam plasebo. Metode analisis ini akan digunakan untuk penetapan kadar
bahan aktif obat / cemaran dalam produk obat.
3. Bila plasebo tidak bisa diperoleh, verifikasi akurasi metode dapat dilakukan
dengan teknik standar adisi, yaitu dengan menambahkan sejumlah tertentu analit
ke dalam produk obat yang telah diketahui kadarnya. Metode analisis ini
digunakan untuk penetapan kadar bahan aktif/cemaran dalam produk obat.
4. Menambahkan cemaran dalam jumlah tertentu ke dalam bahan aktif/produk obat.
Metode analisis ini digunakan untuk penetapan kadar cemaran dalam bahan aktif
obat dan produk obat.
5. Membandingkan dua metode analisis untuk mengetahui ekivalensinya,yaitu
membandingkan hasil yang diperoleh dari metode analisis yang divalidasi
terhadap hasil yang diperoleh dari metode analisis yang valid (akurasi metode
analisis yang valid ini telah diketahui). Metode analisis ini digunakan untuk
penetapan kadar bahan aktif obat dalam bahan aktif obat, produk obat dan
penetapan kadar cemaran.
Akurasi dinilai menggunakan minimal 9 (sembilan) penentuan dari 3 (tiga) tingkat
konsentrasi yang berbeda dalam rentang pengujian metode analisis tersebut dan
masing-masing konsentrasi 3 (tiga) kali penetapan.

(Sumber: POPP I, 2013; Hal 607-608)


b. Presisi
Dikenal tiga tipe presisi :
1. Keberulangan (Repeatability)
Keberulangan dinilai terhadap :
 Keberulangan SISTEM, minimum 6 penentuan pada konsentrasi 100%
kadar analit
 Keberulangan METODE, minimum 9 penentuan dalam rentang penggunaan
metode analisis tersebut (misalnya 3 konsentrasi yang berbeda, masing-
masing 3 replikasi ), atau
2. Presisi Antara
Dapat menggunakan beberapa operator dengan alat dan hari yang berbeda.
3. Reprodusibilitas
Menggunakan minimal 2 laboratorium untuk validasi metode analisis, agar
diketahui pengaruh lingkungan yang berbeda terhadap kinerja metode analisis.
Data yang disajikan :Rata-rata
 RSD adalah (Simpangan Baku/Rata-rata) x 100%,
 Persyaratan RSD adalah sebagai berikut :

 “Confidence Interval”
(Sumber: POPP I, 2012; Hal 608-609)
c. Spesifitas
Spesifisitas merupakan ukuran seberapa spesifik metode analisis. Spesifitas metode
analisis diuji terhadap bahan aktif obat, bahan pembantu (plasebo), pelarut, impuritas
dan produk jadi Bila menggunakan metode KCKT:
 Resolusi antara puncak yang berdampingan terpisah secara nyata atau sesuai
persyaratan.
 Khromatogram seluruh hasil uji disajikan dalam bentuk 1 gambar
(“overlaid”) (Sumber: POPP I, 2013; Hal 606)
d. Limit Deteksi/LOD
Konsentrasi terendah senyawa uji yang terkandung dalam sampel yang dapat
dideteksi. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan batas
deteksi tergantung pada jenis metode analisis apakah metode analisis instrumental
atau noninstrumental.
1. Berdasarkan evaluasi visual
Evaluasi visual dapat digunakan untuk metode analisis noninstrumental, tapi
dapat juga digunakan untuk metode analisis instrumental. Batas deteksi
ditentukan dengan melakukan analisis terhadap sampel yang diketahui
konsentrasinya dan menetapkan kadar terendah yang dapat dideteksi dengan baik.
2. Berdasarkan rasio signal terhadap noise
Pendekatan ini hanya dapat diterapkan pada metode analisis yang memberikan
baseline noise. Penentuan signal to noise dilakukan dengan membandingkan
pengukuran signal sampel yang diketahui mengandung analit dalam konsentrasi
rendah dan blanko, kemudian dapat ditetapkan konsentrasi minimum analit yang
dapat dideteksi dengan baik. Rasio signal to noise sama dengan 3 atau 2 : 1
umumnya dianggap dapat diterima untuk memperkirakan batas deteksi.
3. Simpangan respon dan kemiringan (“slope”) kurva kalibrasi
Batas deteksi dapat dinyatakan sebagai:

Keterangan rumus :
DL= Batas deteksi
σ = simpangan baku respon
S = kemiringan (slope) kurva kalibrasi. Slope dapat ditentukan dari kurva
kalibrasi analit
σ dapat ditentukan dengan :
Simpangan baku dari blanko. Mengukur beberapa respon dari larutan blanko
dan hitung simpangan baku dari respon
Kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dibuat dengan contoh yang mempunyai rentang
di sekitar Batas Deteksi. Residu simpangan baku (residual standard deviation)
atau simpangan baku dari y-intercepts dari garis regresi adalah σ (simpangan
baku) (Sumber: POPP I, 2013; Hal 609-610)
e. Limit Kuantitasi/LOQ
Konsentrasi terendah senyawa uji yang terkandung dalam sampel yang dapat
ditetapkan secara kuantitatif dan reprodusibel. Beberapa pendekatan yang dapat
digunakan untuk penentuan batas kuantitasi tergantung pada jenis metode analisis
instrumental atau noninstrumental.
1. Berdasarkan evaluasi visual
Evaluasi visual dapat digunakan untuk metode analisis noninstrumental, tapi
dapat juga digunakan untuk metode analisis instrumental. Batas kuantitasi
ditentukan dengan melakukan analisis terhadap sampel yang diketahui
konsentrasinya dan menetapkan kadar terendah analit yang dapat ditentukan
secara kuantitatif dengan akurasi dan presisi yang dapat diterima.
2. Berdasarkan rasio signal terhadap noise :
Pendekatan ini hanya dapat digunakan pada metode analisis yang memberikan
baseline noise. Penentuan rasio signal terhadap noise dilakukan dengan
membandingkan signal yang diukur dari sampel yang mempunyai konsentrasi
analit yang rendah dan blankonya, kemudian ditentukan konsentrasi terendah
analit yang dapat ditetapkan secara kuantitatif dengan baik, umumnya pada rasio
signal terhadap noise 10:1.
3. Simpangan baku dari respon dan kemiringan (slope) kurva kalibrasi:
Batas kuantitasi dapat dinyatakan sebagai:

Keterangan rumus :
LOQ = batas kuantitasi
Σ = Simpangan baku respon
S = Kemiringan (slope) kurva kalibrasi. Slope dapat ditentukan dari kurva
kalibrasi analit.
σ dapat ditentukan dengan :
Simpangan baku dari blanko. Mengukur beberapa respon dari larutan blanko
dan hitung simpangan baku dari respon.
Kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi dibuat dengan contoh yang mempunyai rentang
di sekitar Batas Deteksi. Residu simpangan baku (residual standard deviation)
atau simpangan baku dari y-intercepts dari garis regresi adalah σ (simpangan
baku) (Sumber: POPP I, 2013; Hal 610-611)
f. Linieritas
Untuk mengetahui apakah kuantitas yang terukur proporsional terhadap kadar
senyawa uji dalam sampel. Linearitas diuji sesuai RENTANG yang ditetapkan.
Pengujian dapat dilakukan minimal dengan 5 tingkat konsentrasi
 Bahan aktif obat : pengenceran larutan induk
 Produk jadi : penimbangan terpisah sesuai rentang

(Sumber: POPP I, 2013; Hal 606)


g. Rentang
Rentang minimum berikut ini berlaku untuk:
1. Penetapan kadar bahan aktif obat: lazimnya konsentrasi zat uji berkisar antara 80
hingga 120% kadar yang tertera pada label;
2. Keseragaman kandungan: meliputi konsentrasi zat uji sekurangkurangnya
berkisar antara 70 hingga 130% pernyataan kadar pada label, kecuali diperlukan
rentang yang lebih lebar dapat digunakan, tergantung pada sifat bentuk sediaan
(misalnya, inhaler dosis terukur);
3. Pengujian disolusi : lebih kurang 20% syarat spesifikasi misalnya: syarat
spesifikasi untuk sediaan yang pelepasannya terkendali meliputi rentang dari
20%, setelah 1 jam, hingga 90% sesudah 24 jam, maka rentang yang divalidasi
menjadi 0 - 110% pernyataan kadar pada label;
4. Penentuan cemaran: rentang konsentrasi zat uji mulai dari batas cemaran yang
dilaporkan hingga 120% syarat spesifikasi; dan
5. Bila validasi metode analisis penetapan kadar dan penetapan cemaran dilakukan
bersama-sama sekaligus dan hanya menggunakan satu standar 100% saja, maka
pengujian linearitas harus meliputi rentang dari kadar cemaran yang dilaporkan
hingga 120% syarat kadar dalam spesifikasi.
6. Konsentrasi kadar bahan aktif obat dengan “stability overage” agar
memperhatikan persyaratan pada saat pelulusan maupun paska pemasaran
(Sumber: POPP I, 2013; Hal 607) (BPOM, 2013)

3. Tentukan kondisi analisis penetapan kadar ?


Kondisi analisis untuk penetapan kadar sirup Paracetamol :
Fase gerak : air-metanol (3:1)
Kolom : C18 (30 cm x 3,5 mm)
Laju alir : ± 1,5 mL/menit
Volume injeksi : ± 10 μL
Detektor : UV 243 nm
(FI VI, 2020; hal 1364) (Kementerian Kesehatan RI, 2020)

4. Buatlah prosedur detail untuk verifikasi metode analisis sediaan tersebut !


a. Pembuatan fase gerak
 Dibuatkan campuran air-metanol P (3:1)
b. Pembuatan larutan baku induk paracetamol
 Ditimbang dengan seksama sejumlah paracetamol BPFI
 Dilarutkan dalam fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,01 mg per mL (10 ppm)
10 mg/100 mL x 1000 g/mL = 100 ppm
1 mL/10 mL x 100 ppm = 10 ppm
2 Larutan uji persediaan
 Diukur seksama sejumlah larutan oral setara dengan lebih kurang 500 mg
paracetamol
 Dimasukkan ke dalam labu terukur 250 mL
 Diencerkan dengan fase gerak sampai tanda (kadar larutan lebih kurang 2 mg per
mL=2000 ppm)
120 mg/ 5 mL = 500 mg/ X mL
X = 21 mL
500 mg/250 mL x 1000 mg/L = 2000 ppm
3 Larutan uji
 Dipipet larutan uji persediaan dan diencerkan dengan fase gerak hingga kadar
lebih kurang 0,01 mg per mL (10 ppm)
 Disaring larutan melalui penyaring dengan porositas 0,5 µm atau lebih halus
 Dibuang 10 mL filtrat pertama
 Gunakan larutan jernih sebagai larutan uji
0,5 mL/100 mL x 2000 ppm = 10 ppm
4 Prosedur
a. Uji Kesesuaian Sistem
 Suntikkan larutan standar ke sistem KCKT 6 kali, amati respons pada panjang
gelombang 276 nm dan hitung RSD dari hasil perhitungan alat. Kriteria
keberterimaan: SD maksimal 2%
 Hitung angka lempeng teoritis dari kolom. Kriteria keberterimaan: minimal
750
 Amati waktu retensi relatif. Kriteria keberterimaan antara 2 menit sampai
dengan 2,5 menit
 Hitung faktor ikutan (tailing faktor). Kriteria keberterimaan: maksimum 2
b. Selektivitas atau Spesifisitas
 Suntikkan ke sistem KCKT
Fasa gerak, larutan standar, dan larutan sampel
c. Akurasi
 Pembuatan larutan
Ditimbang sejumlah tertentu parasetamol standar sehingga menghasilkan
kadar 80%, 100% dan 120% dari formula Parasetamol Sirup dan campur
(konsentrasii optimum = 10 ppm, 80% dari 10 ppm = 8 ppm; 100% dari 10
ppm = 10 ppm; 120% dari 10 ppm = 12 ppm)
 8 ppm
8 mg/100 mL x 1000 mgL = 80 ppm
1 mL/10 mL x 80 ppm = 8 ppm
 10 ppm
10 mg/100 mL x 1000 mgL = 100 ppm
1 mL/10 mL x 100 ppm = 10 ppm
 12 ppm
12 mg/100 mL x 1000 mgL = 120 ppm
1 mL/10 mL x 120 ppm = 12 ppm
 Buat larutan spike seperti pada pembuatan larutan sampel
 Diukur seksama sejumlah larutan oral setara dengan lebih kurang 500 mg
paracetamol
 Dimasukkan ke dalam labu terukur 250 mL
 Diencerkan dengan fase gerak sampai tanda (kadar larutan lebih kurang 2
mg per mL=2000 ppm)
120 mg/ 5 mL = 500 mg/ X mL
X = 21 mL
500/250 mL x 1000 mg/L = 2000 ppm
 Dipipet larutan uji persediaan dan diencerkan dengan fase gerak hingga
kadar lebih kurang 0,01 mg per mL (10 ppm)
 Disaring larutan melalui penyaring dengan porositas 0,5 µm atau lebih
halus
 Dibuang 10 mL filtrat pertama
 Gunakan larutan jernih sebagai larutan uji
0,5 mL/100 mL x 2000 ppm = 10 ppm
Periksa larutan uji dengan KCKT pada panjang gelombang 276 nm.
 Suntikkan masing-masing konsentrasi sebanyak 3 kali, dan catat respons pada
panjang gelombang 276 nm.
Kriteria keberterimaan:
Perolehan kembali : 98 – 102%
RSD dari semua konsentrasi : maksimal 2%
d. Presisi
 Keberulangan (Ripitabilitas)
 Diukur seksama sejumlah larutan oral setara dengan lebih kurang 500 mg
paracetamol
 Dimasukkan ke dalam labu terukur 250 mL
 Diencerkan dengan fase gerak sampai tanda (kadar larutan lebih kurang 2
mg per mL=2000 ppm)
120 mg/ 5 mL = 500 mg/ X mL
X = 21 mL
501/250 mL x 1000 mg/L = 2000 ppm
 Dipipet larutan uji persediaan dan diencerkan dengan fase gerak hingga
kadar lebih kurang 0,01 mg per mL (10 ppm)
 Disaring larutan melalui penyaring dengan porositas 0,5 µm atau lebih
halus
 Dibuang 10 mL filtrat pertama
 Gunakan larutan jernih sebagai larutan uji
0,5 mL/100 mL x 2000 ppm = 10 ppm
 Periksa larutan uji dengan KCKT pada panjang gelombang 276 nm.
Lakukan duplo untuk tiap pengujian.
 Kriteria keberterimaan : RSD harus < 2%
 Presisi Antara:
Lakukan pengujian di atas oleh 2 analis yang berbeda dan/atau menggunakan
alat yang berbeda. RSD maksimal dari 2 pengujian harus < 2%
e. Linearitas dan Rentang
 Buat larutan standar untuk pengujian Linearitas
Buat seri larutan standar dengan konsentrasi, 80%, 90%, 100%, 110%, 120%
dari larutan induk yang diambil menggunakan pipe volume, jumlah larutan
(konsentrasii optimum = 10 ppm, 80% dari 10 ppm = 8 ppm; 90% dari 10
ppm = 9 ppm; 100% dari 10 ppm = 10 ppm; 110% dari 10 ppm = 11 ppm;
120% dari 10 ppm = 12 ppm).
 8 ppm
8 mg/100 mL x 1000 mgL = 80 ppm
1 mL/10 mL x 80 ppm = 8 ppm
 9 ppm
9 mg/100 mL x 1000 mgL = 90 ppm
1 mL/10 mL x 90 ppm = 9 ppm
 10 ppm
10 mg/100 mL x 1000 mgL = 100 ppm
1 mL/10 mL x 100 ppm = 10 ppm
 11 ppm
11 mg/100 mL x 1000 mgL = 110 ppm
1 mL/10 mL x 110 ppm = 11 ppm
 12 ppm
12 mg/100 mL x 1000 mgL = 120 ppm
1 mL/10 mL x 120 ppm = 12 ppm
 Ukur 5 seri larutan dengan konsentrasi yang berbeda tersebut dengan KCKT,
panjang gelombang 276 nm. Kemudian buat garis linearitasnya, hitung
"Slope" dan Regresi linearnya. Kriteria keberterimaan : r > 0.999.
(Sumber: POPP I, 2013; Hal 615-617, FI VI, 2020; hal 1363)
TITRASI

Soal:
Departemen PPIC kedatangan bahan aktif farmasi berupa asam asetilsalisilat. Untuk
memverifikasi kemurnian bahan yang baru datang, Departemen QC melakukan penetapan
kadar asam asetilsalisilat tersebut dengan metode titrasi sesuai dengan Farmakope Indonesia
VI.

1. Deskripsikan tentang asam asetil salisilat

a. Pemerian dan sifat


Pemerian Hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau
serbuk hablur putih; tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara kering; di dalam
udara lembap secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.
Kelarutan Sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol; larut dalam kloroform
dan dalam eter; agak sukar larut dalam eter mutlak.
(FI VI, 2020; hal 170)
b. Bentuk sediaam farmasi yang ada di pasaran
 Sedian tablet
 Sediaan tablet lepas tunda
 Sediaan tablet efervesen
c. Indikasi obat tersebut
Memiliki indikasi sebagai anti-inflamasi dan antipiretik
(Martindale, 2014; hal 3)

2. Sebutkan macam-macam titrasi untuk penetapan kadar ! Termasuk dalam titrasi


apakah penetapan kadar asam salisilat tersebut ?
Macam-macam titrasi
a. Titrasi Langsung
Titrasi langsung adalah perlakuan terhadap suatu senyawa yang larut (titrat),
dalam suatu bejana yang sesuai, dengan larutan yang sesuai yang sudah dibakukan
(titran), dan titik akhir ditetapkan dengan instrumen atau secara visual menggunakan
bantuan indikator yang sesuai.
Titran ditambahkan dari buret yang dipilih sedemikian hingga sesuai dengan
kekuatannya (normalitas), dan volume yang ditambahkan adalah antara 30% dan 100%
kapasitas buret. [Catatan Jika dibutuhkan titran kurang dari 10 mL, harus digunakan
mikroburet yang sesuai]. Titrasi dilakukan dengan cepat tetapi hati-hati, mendekati titik
akhir titran ditambahkan tetes demi tetes dari buret agar tetes terakhir yang ditambahkan
tidak melewati titik akhir. Jumlah senyawa yang dititrasi dapat dihitung dari volume dan
faktor normalitas atau molaritas titran dan faktor kesetaraan untuk senyawa, yang tertera
pada masing-masing monografi (FI VI, 2020; hal 1975).
b. Titrasi Residual
Beberapa penetapan kadar dalam Farmakope memerlukan penambahan larutan
volumetrik yang terukur, berlebih dari jumlah yang sebenarnya diperlukan untuk
bereaksi dengan senyawa yang ditetapkan kadarnya, kelebihan larutan ini kemudian
dititrasi dengan larutan volumetrik kedua. Titrasi ini dikenal sebagai “titrasi kembali”.
Jumlah senyawa yang ditiratasi dapat dihitung dari selisih antara volume larutan
volumetrik yang ditambahkan mula-mula dan volume titran dalam titrasi kembali,
dengan memperhatikan faktor normalitas atau molaritas kedua larutan dan faktor
kesetaraan untuk senyawa yang tertera pada masingmasing monografi (FI VI, 2020; hal
1975).
c. Titrasi Kompleksometri
Keberhasilan titrasi kompleksometri tergantung dari beberapa faktor. Tetapan
kesetimbangan untuk pembentukan kompleks analit-titran harus cukup besar, sehingga
pada titik akhir hampir 100% analit sudah membentuk kompleks. Pembentukan akhir
dari kompleks harus berlangsung secara cepat. Jika reaksi analisis berjalan lambat, perlu
dilakukan titrasi kembali.
Secara umum, indikator kompleksometri berperan sebagai senyawa pembentuk
kompleks. Reaksi antara ion logam dan indikator harus cepat dan reversible. Tetapan
kesetimbangan yang terbentuk dari kompleks logam-indikator harus cukup besar untuk
menghasilkan perubahan warna yang tajam, tetapi harus lebih kecil dari tetapan
kesetimbangan kompleks logam-titran. Pemilihan indikator sangat ditentukan oleh
rentang pH pada saat reaksi kompleks berlangsung, dan juga adanya ion lain yang
berasal dari sampel atau dapar. Ion pengganggu dapat ditutup (masking) atau dilapis
dengan penambahan senyawa pembentuk kompleks lain. (Tehnik masking ini juga dapat
digunakan dalam titrasi reduksi-oksidasi) (FI VI, 2020; hal 1977).
d. Titrasi Oksidasi Reduksi (REDOKS)
Penetapan dilakukan dengan menggunakan pereaksi yang menyebabkan reaksi
oksidasi atau reduksi pada analit. Beberapa kurva titrasi redoks tidak simetris pada titik
kesetaraan sehingga penetapan titik akhir dengan grafik tidak mungkin dilakukan, tetapi
tersedia indikator untuk beberapa penetapan. Beberapa pereaksi redoks dapat juga
berfungsi sebagai indikator. Seperti dalam beberapa tipe titrasi, perubahan warna
indikator harus sangat dekat dengan titik kesetaraan. Jika titran yang digunakan juga
berfungsi sebagai indikator, perbedaan antara titik akhir dan titik kesetaraan ditetapkan
berdasarkan kemampuan analis melihat perubahan warna. Contoh umum adalah
penggunaan ion permanganat sebagai titran pengoksidasi, sedikit kelebihan titran dapat
dilihat dengan terjadinya warna merah muda. Titran lain yang dapat berfungsi sebagai
indikator adalah iodum, garam serium(IV), dan kalium dikromat. Dalam beberapa
keadaan, penggunaan indikator redoks yang tepat akan menghasilkan titik akhir yang
lebih tajam.
Mungkin diperlukan penyesuaian tingkat oksidasi dari analit sebelum dilakukan
titrasi dengan menggunakan senyawa pengoksidasi atau pereduksi yang tepat; kemudian
kelebihan pereaksi harus dihilangkan dengan cara pengendapan. Hal ini hampir selalu
dilakukan pada penetapan senyawa pengoksidasi karena hampir semua larutan
volumetrik senyawa pereduksi secara perlahan akan teroksidasi oleh oksigen di atmosfir
(FI VI, 2020; hal 1978).
e. Titrasi Bebas Air (Titrasi dalam Pelarut bukan Air)
Asam dan basa adalah senyawa yang memberikan ion hidrogen dan ion hidroksil
bila dilarutkan dalam air. Definisi yang diperkenalkan oleh Arrhenius ini tidak mencakup
kenyataan bahwa sifat yang spesifik dari asam dan basa ini dapat juga terjadi dalam
pelarut lain. Definisi yang lebih umum adalah definisi Bronsted, yang menyatakan
bahwa asam adalah suatu senyawa yang dapat memberikan proton, dan basa adalah suatu
senyawa yang dapat mengikat proton. Yang lebih luas lagi adalah definisi Lewis, yang
menyatakan bahwa asam adalah setiap senyawa yang dapat menerima pasangan elektron,
basa adalah bahwa setiap senyawa dapat memberikan pasangan elektron, dan netralisasi
adalah pembentukan ikatan koordinasi antara suatu asam dan suatu basa (FI VI, 2020;
hal 1978).
f. Titrasi Nitrimetri
Metode ini umum digunakan untuk penetapan sebagian besar obat sulfonamida
dan sediaannya dalam Farmakope, juga obat-obat lain jika titrasi nitrimetri ini sesuai
untuk digunakan. Baku pembanding yang digunakan adalah Sulfanilamida. Selain itu
dilakukan pengeringan pada suhu 105º selama 3 jam sebelum digunakan. Simpan dalam
wadah tertutup rapat dan terlindung cahaya (FI VI, 2020; hal 1981).
Penetapan kadar asam asetil salisilat
Penetapan kadar asam asetil salisilat dilakukan dengan metode alkalimetri dalam pelarut
bebas air (titrasi bebas air) dengan menimbang saksama lebih kurang 1,5 g zat,
masukkan ke dalam labu, tambahkan 50,0 mL natrium hidroksida 0,5 N LV dan didihkan
secara perlahan selama 10 menit. Tambahkan indikator fenolftalein LP. Titrasi kelebihan
natrium hidroksida dengan asam sulfat 0,5 N LV. Lakukan penetapan blangko. Tiap mL
natrium hidroksida 0,5 N setara dengan 45,04 mg C9H8O4 (FI VI, 2020; hal 171).

3. Penetapan kadar tersebut apakah termasuk titrasi langsung, tidak langsung, atau
titrasi terbalik ? jelaskan
Penetapan kadar yang dilakukan menggunakan metode titrasi alkalimetri. Titrasi
alkalimetri pada penetapan asam asetilsalisilat merupakan titrasi langsung. Hal ini sesuai
dengan pernyataan pada Farmakope Indonesia VI bahwa titrasi langsung merupakan
perlakuan terhadap suatu senyawa yan larut (titrat), dalam suatu bejanan yang sesuai,
dengan larutan yang sesuai yang sudah dibakukan (titran), dengan titik akhir ditetapkan
dengan instrumen atau secara visual menggunakan bantuan indikator yang sesuai. Dalam
hal ini titrat pada penetapan ini yaitu zat yang telah dilarutkan dalam NAOH 0,5 N.
Kemudian, titran yang digunakan adalah asam sulfat 0,5 N. Dan indikator yang
digunakan adalah fenolftalein LP

4. Buatlah prosedur detail untuk penetapan kadar asam asetil salisilat mulai dari
pembuatan larutan-larutan yang dibutuhkan !
a. Timbang saksama lebih kurang 1,5 g zat, masukkan ke dalam labu, tambahkan 50,0
mL natrium hidroksida 0,5 N LV dan didihkan secara perlahan selama 10 menit.
b. Tambahkan indikator fenolftalein LP.
c. Titrasi kelebihan natrium hidroksida dengan asam sulfat 0,5 N LV.
d. Lakukan penetapan blangko (FI VI, 2020; hal 171)
Tiap mL natrium hidroksida 0,5 N setara dengan 45,04 mg C9H8O4
DAFTAR PUSTAKA

BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). 2013. Petunjuk Operasional Penerapan
Pedoman CPOB 2012, Jilid I. Jakarta: Badan POM RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai