Anda di halaman 1dari 29

Tugas Makalah 17 September 2021

KEBUTUHAN KESEHATAN MASYARAKAT KHUSUS


(SPECIAL COMMUNITY HEALTH NEEDS)

OLEH:

007510152021 Muhammad Ridwan Musa

007310152021 Siti Hadriyanti Yapi

DOSEN :

Dr. Sitti Patimah, SKM, M.Kes

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN

KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

MAKASSAR

2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi..............................................................................................................2

1. Kesehatan Mental dan Cacat Mental.........................................................3

2. Kesehatan Cacat, Rehabilitasi Fisik dan Kebutuhan Kesehatan

Kelompok Khusus........................................................................................4

3. Kesehatan Gay dan Lesbian.......................................................................5

4. Kesehatan Tahanan...................................................................................10

5. Kesehatan Pengungsi.................................................................................13

6. Kesehatan Bencana....................................................................................17

7. Perlindungan Kesehatan dalam Bencana................................................21

Daftar Pustaka..................................................................................................29

2
1. Kesehatan mental dan cacat mental

Pengertian kesehatan secara umum menurut WHO yaitu: “keadaan (status)


sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan
yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan” (Smet, 1994). Artinya, seseorang
dinilai sehat apabila terjadi keseimbangan yang baik antara kondisi fisik dan
mentalnya. Realitanya masih banyak masyarakat Indonesia yang masih awam
tentang kesehatan jiwa dan mental.

Secara khusus, menurut Karl Menninger, individu yang sehat mentalnya


adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menahan diri, menunjukkan
kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan orang lain, serta memiliki
sikap hidup yang bahagia.

Pieper dan Uden mengatakan bahwa kesehatan mental adalah suatu


keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya
sendiri, memiliki estimasi yang realistis terhadap dirinya sendiri dan dapat
menerima kekurangan dan kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-
masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya serta
memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Selain itu, World Health Organization menyatakan bahwa kesehatan


mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di
dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan
yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta
di komunitasnya.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa


kesehatan mental adalah kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi
diri dan memiliki kepuasan dalam hidupnya.

3
2. Cacat, Rehabilitasi Fisik dan Kebutuhan Kesehatan Kelompok
Khusus
Cacat mental retardasi adalah kecacatan karena seseorang yang
perkembangan mentalnya (IQ) tidak sejalan dengan pertumbuhan usia
biologisnya.
Eks psikotik adalah kecacatan seseorang yang pernah mengalami
gangguan jiwa
Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan penyandang
disabilitas salah satunya yaitu Puskesmas. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan
bahwa Puskesmas merupakan penyedia layanan kesehatan yang
menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan
Perseorangan (UKP) dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif. Tujuan Puskesmas yaitu mewujudkan kecamatan sehat.
Puskemas memiliki syarat lokasi yang terdapat pada pasal 10 antara lain
yaitu jalur transportasi aksesibel, dilengkapi fasilitas keamanan, serta
memperhatikan pengelolaan kesehatan lingkungan. Tenaga kesehatan
yang wajib ada di Puskesmas sesuai pasal 16 antara lain yaitu dokter,
dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan masyarakat dan tenaga
laboratorium.
Faktor yang berhubungan dengan akses penyandang disabilitas
terhadap pelayanan kesehatan antara lain biaya pelayanan dan transportasi.
Ketidakpuasan antara biaya pelayanan dan manfaat kesehatan yang
diperoleh dirasakan oleh 32-33% penduduk secara umum. Ketidakpuasan
pada penyandang disabilitas sebesar 51-53%. Biaya transportasi dirasakan
terutama di daerah dengan jumlah penyedia layanan Kesehatan tidak
memadai. Faktor lain yang juga berhubungan dengan akses penyandang
disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yaitu hambatan fisik, berkaitan
dengan desain fasilitas kesehatan yang tidak mengakomodasi penyandang

4
disabilitas. Selain itu terdapat pula faktor kemampuan petugas Kesehatan
yang kurang memadai dalam melayani pasien penyandang disabilitas.
Faktor terakhir berhubungan dengan peran pemerintah yang belum
maksimal dalam menjamin pelaksanaan peraturan berkaitan dengan hak
penyandang disabilitas.

3. Kesehatan gay dan lesbian

Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal


lahirnya gerakan ini adalah pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di
London tahun 1970, Gerakan ini terinspirasi dari gerakan pembebasan
sebelumnya di Amerika Serikat tahun 1969 yang terjadi di Stonewall
Kampanye LGBT berfokus pada upaya penyadaran kepada kaum lesbian, gay,
biseksual dan transgender dan masyarakat umum bahwa perilaku mereka
bukan penyimpangan sehingga mereka layak mendapatkan hak-hak seksual
sebagaimana orang lain.

Indonesia menjadi negara kelima terbesar di dunia dalam


menyumbang penyebaran LGBT atau lesbi, gay, biseksual, dan transgender.
Demikian hasil survei CIA di lansir six pack magazine.net. Populasi LGBT di
Indonesia ke-5 terbesar di dunia, setelah China, India, Eropa, dan Amerika.
Sedangkan pengguna Facebook di Amerika yang menyatakan secara terbuka
sebagai LGBT berjumlah 26 juta. Sejumlah lembaga survei independen dalam
dan luar negeri menyebut, Indonesia memiliki populasi 3% LGBT. Dengan
kata lain, dari 250 juta penduduk Indonesia, sekitar 7,5 jutanya adalah LGBT.
Berarti dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat, 3 di antaranya
memungkinkan mereka adalah LGBT .

Berdasar estimasi Kemenkes tahun 2012, terdapat 1.095.970 homo


atau gay yang di istilahkan LSL: lelaki seks dengan lelaki, baik yang tampak
atau tidak. Lebih dari lima persennya atau sebanyak 66.180 mengidap HIV.
Sedangkan, badan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan memprediksi
jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa, itu di tahun 2011.

5
Mereka berlindung di balik ratusan organisasi masyarakat yang mendukung
kecenderungan untuk berhubungan seks sesama jenis.

Kota Makassar menuju kota megapolitan. Perkembangannya


begitu pesat. Mau tidak mau dampak sosial tak terhindarkan, termasuk gaya
hidup seks. Kini, sebagian kaum sudah beralih ke gaya trans seksual atau
hubungan seks sesama jenis. Mereka lazimnya disebut kaum homoseksual
atau gay untuk pria dan lesbi untuk perempuan. Pengelola Program Komisi
Penanggulangan Aids (KPA) Kota Makassar, Rodham mengungkapkan saat
ini di Makassar sudah ada seks sesama jenis. Kaum ini makin tumbuh dan
terus memasuki sosial masyarakat.

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh


hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.
Bentuk-bentuk perilaku ini beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Perilaku seksual
pra nikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual
dengan lawan jenisnya melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap
perilaku seksual yang paling ringan hingga tahap yang paling berat. Sekarrini
dalam penelitiannya pada tahun 2011 mengkategorikan perilaku seksual
menjadi perilaku seksual berisiko berat dan perilaku seksual berisiko ringan.
Perilaku seksual berisiko ringan mulai dari mengobrol, nonton film, pegangan
tangan, jalan-jalan, pelukan, sampai cium pipi. Sedangkan perilaku seksual
berisiko berat mulai dari ciuman bibir, ciuman mulut, ciuman leher, meraba
daerah erogen, petting, dan intercourse.

Seks bebas adalah hubungan yang didorong oleh hasrat seksual,


baik dengan awan jenis maupun dengan sesama jenis yang dilakukan pada
pasangan tanpa adanya ikatan pernikahan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
perilaku seks bebas adalah perilaku hubungan seksual yang didorong oleh
hasrat seksual dilakukan oleh lawan jenis maupun sesama jenis tanpa adanya
ikatan pernikahan.

6
Eccles dan Igartua, menjelaskan identitas seksual sebagai persepsi
individu tentang peran seksual dirinya yang dipengaruhi oleh kematangan
individu Selanjutnya, Dilorio dan Igartua mengartikan perilaku seksual
sebagai suatu sikap dan tindakan untuk melakukan kontak seksual dengan
orang lain (laki-laki, wanita, atau keduanya). Dalam pengertian ini, perilaku
seksual merujuk pada aktivitas dan tindakan seksual dari seseorang.
Sementara itu, American Psychological Association mendeskripsikan orientasi
seksual sebagai sebuah kondisi emosional yang bertahan lama, romantis, dan
daya pikat seksual untuk berhubungan dengan orang lain (laki-laki, wanita,
atau keduanya).

American Psychological Association juga menyatakan bahwa


orientasi seksual merujuk pada suatu perasaan dan konsep diri dari individu.
Artinya, apa yang individu rasakan tentang orientasi seksualnya mungkin akan
diekpresikan atau tidak diekspresikan dalam bentuk perilaku seksualnya,
karena hal tersebut berhubungan juga dengan bagaimana konsep diri yang
dimiliki oleh seseorang. Jadi, bagaimana seseorang melihat dan memikirkan
tentang dirinya juga akan mempengaruhi apakah orientasi seksualnya akan
ditampakkan atau tidak ditampakkan dalam bentuk perilakunya. Dengan
bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa mungkin seseorang mempunyai
kecenderungan untuk melakukan orientasi seksual seperti apa yang ada dalam
pikirannya, tetapi orang tersebut tidak mengimplementasikan kecenderungan
tersebut dalam bentuk perilaku yang tampak, atau orang tersebut hanya
menyimpan orientasi seksualnya di dalam otaknya, tetapi tidak pernah
melakukan kontak seksual dalam bentuk perilaku seksual.

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku


reproduksiremaja di antaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang
melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak di antaranya berasal
dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik
dan perpecahan. Hubungan orang tua remaja, mempunyai pengaruh langsung
dan tidak langsung dengan perilaku seksual pranikah remaja. Hasil penelitian
yang dilakukan Soetjiningsih menunjukkan, makin baik hubungan orang tua

7
dengan anak remajanya, makin rendah perilaku seksual pranikah remaja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja
paling tinggi adalah hubungan antara orang tua dengan remaja, tekanan teman
sebaya, pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan eksposur media
pornografi.

Pengalaman pertama dari aktivitas seksual dari setiap gay berbeda-


beda. Komunitas gay mulai berani memiliki pasangan saat SMA atau umur 17
tahun. Pengalaman melakukan aktivitas seksual pertama terjadi pada rentang
umur 17-20 tahun. Banyak pengalaman yang muncul dari aktivitas seksual
pertama mereka. Ada yang terlibat trafficking, ada yang karena ingin tahu,
pengaruh lingkungan, pelecehan seksual, ada pula yang disebabkan karena
beban psikologi dengan pasangan heteroseksual.

Di sisi lain, mereka juga bertemu dengan hal yang baru dalam
kehidupan social kemasyarakatannya. Mereka sadar mereka bukan lagi anak-
anak, tetapi mereka juga belum mampu untuk mengekpresikan kemampuan
dan potensi mereka dengan benar, karena orang-orang disekitar mereka juga
tidak menerima dan tidak mengakui mereka sebagai orang dewasa. Mereka
mendapatkan sesuatu yang aneh dengan diri dan hidup mereka, tetapi mereka
tidak dapat mengerti hal tersebut dengan pasti. Lebih jauh, ketika para remaja
itu sendiri dan tidak ada orang yang membimbing dan membantu mereka,
maka kemungkinan sesuatu akan terjadi pada mereka di tahap perkembangan
ini, dan itu bukan saja tentang kendala dalam menemukan identitas diri
mereka, tetapi juga mengenai identitas seksual dan orientasi seksual mereka.
Oleh karena itulah, banyak sekali penelitian yang telah dilakukan mencakup
orientasi seksual yang terjadi di masa remaja

Perkembangan merupakan salah satu faktor yang dapat


menjelaskan mengapa individu mempunyai kecenderungan untuk mempunyai
orientasi seksual secara lebih spesifik. Santrock Sigelman dan Rider
menjelaskan bahwa perkembangan merujuk pada proses perubahan dan
mendapatkan kemantapan dalam orientasi seksual. Artinya, bagaimana
individu menjadi tertarik pada orientasi seksual secara lebih spesifik telah

8
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sepanjang masa kehidupannya,
mulai dari dalam kandungan dan permulaan hidup (neonate) sampai pada
tahap orientasi seksual muncul, yakni masa remaja. Salah satu tugas
perkembangan dimasa remaja adalah menentukan orientasi seksual. Masa
remaja ini, dianggap sebagai proses puncak untuk menemukan identitas diri
dan orientasi seksual seseorang secara lebih spesifik, apakah sebagai
heteroseksual, homoseksual, atau sebagai biseksual. Proses tersebut secara
relative berhubungan dengan bagaimana individu mendapatkan kasih sayang
dan perlakuan dari orang-orang yang ada di sekitar mereka.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa orientasi seksual


ini mencakup tiga domain, yaitu heteroseksual, homoseksual dan biseksual.
Berdasarkan ketiga domain tersebut, dua diantaranya yakni homoseksual dan
biseksual mengarah pada orientasi seksual yang tidak sehat (unhealthy),
karena menurut Ott, kesehatan seksual itu merujuk pada bagaimana individu
membangun hubungan dan kedekatan dengan orang lain dan bagaimana
individu tersebut mengekspresikan dan menikmati hasrat cinta mereka dengan
cara-cara yang wajar. Penyaluran hasrat cinta dan seksual dengan cara yang
wajar inilah yang disebut sebagai orientasi seksual yang heteroseksual.

Homoseksual dan biseksual mempunyai dampak yang lebih besar terhadap


permasalahan kesehatan, baik secara fisik ataupun secara mental dari pada
heteroseksual. Homoseksual dan biseksual secara umum bukan hanya
mengikat dan menyebabkan diri seseorang pada bahaya perilaku seksual,
tetapi juga dapat diikuti oleh alcohol dan penyalahgunaan obat (drugs).
Temuan tersebut juga didukung oleh Noell & Ochs, yang mendeskripsikan
negative orientasi seksual (homoseksual dan biseksual) mempunyai
kecenderungan untuk menggunakan rokok, alkohol, penyalahgunaan obat
(drug abuse), atau bahkan mengalami depresi dan melakukan bunuh diri
dibandingkan dengan individu yang mempunyai orientasi seksual yang wajar
(heteroseksual). Selanjutnya, Homoseksual gay dan laki-laki biseksual
mempunyai kesehatan yang lebih rawan dan bahaya perilaku seksual yang
lebih tinggi dibanding laki-laki heteroseksual.

9
4. Kesehatan Tahanan

Rumah Tahanan Negara merupakan suatu unit pelaksana teknis di


bawah Dirjen Pas Kemenkumham atau Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rumah Tahahan Negara
(RUTAN) merupakan tempat untuk melaksanakan pelayanan terhadap
seseorang yang terjerat kasus pidana. Baik Narkoba, pemerkosaan, pencurian,
dan tindak kejahatan yang lain. Penghuni Rumah Tahanan Negara atau
Lembaga Pemasyarakatan bisa disebut narapidana atau warga binaan
Pemasyarakatan dan statusnya masih tahanan, tahanan adalah seseorang yang
dalam penahanan dan amasih menjalani proses hukum yanga ada untuk di
adili dan diputuskan. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
di suatu tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
kebijakan penetapannya.

Rumah Tahanan Negara (RUTAN) juga bagian dari fasilitas publik


bagi orang-orang yang ditahan sedang melaksanakan penyidikan, penuntutan
dan juga pemeriksaan di sidang pengadilan, yang disebut tahanan. Sebagai
salah satu fasilitas negara, seyogyanya pemerintah memberikan pelayanan
yang baik terhadap narapidana yang menjadi tahanan di rutan terkait. Kualitas
Suatu pelayanan (service quality) telah menjadi suatu faktor yang menentukan
sesuatu dalam menjaga keberlangsungan birokrasi pemerintah. Pelayanan
pelayanan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa public dan
sesuai dengan peraturan peraturan yang telah ditetapkan dan yang ada, sangat
penting penerapannya bagi upaya untuk mewujudkan suatu kepuasan
pengguna jasa publik (Customer satisfaction).

Seperti halnya kehidupan yang dialami oleh manusia pada


umumnya, narapidana juga berhak mendapatkan fasilitas hidup yang layak,
seperti menghirup udara segar, beribadah dengan khusyu’, mendapatkan
layanan kesehatan yang baik, serta pembinaan diri.

10
Pelayanan narapidana dan tahanan adalah suatu perlakuan atau
kegiatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dihukum atau dalam
proses hukum di dalam penjara atau Lemabaga Pemasyarakatan atau Rumah
Tahanan Negara yang dimana tindakan yang serupa memiliki tujuan yang
haruslah sejauh mana mengizinkannya, untuk menumbuhkan suatu kesadaran
terhadap kesahannya yang salah dan dapat mendjadi pribadi yang lebih baik di
dalam diri mereka serta kemauan untuk menjalani hidup dan mematuhi hukum
yang ada dan sudah berlaku serta memenuhi kebutuhan diri sendiri setelah
bebas nantinya. Pelayanan narapidana dan tahanan pada intinya merupakan
suatu pelayanan yang saling berkaitan dengan pelaksanaan hak-hak dan
kewajiban narapidana dan tahanan berupa perawatan, pembinaan, pendidikan
dan pembimbingan, serta kesehatan. Rumah Tahanan Negara merupakan
bagian dari sistem peradilan pidana yang tidak dapat di lepaskan dari suastu
tugas dan sautu fungsinya sebagai penegak hukum yang ada . Fungsi Rumah
Tahanan Negara sebagai suatu penegak hukum akan sangat ditentukan dengan
kualitas pelayanannya yang ada dalam Rumah Tahanan Negara tersebut.

Adapun bentuk pelayanan kesehatan dalam Rumah Tahanan


Negara dibagi menjadi dua. Pertama, Pelayanan Umum. Pelayanan umum
adalah suatu pelayanan kesehatan yang mana diberikan oleh lembaga kepada
narapidana atau tahanan sebagaimana biasanya sesuai dengan program
pelayanan kesehatan di rutan tersebut. Secara teknis, pelayanan umum bagi
narapidana tertuang dalam PP No. 32 tahun 1999 pasal (16) yakni :

(1) Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1


(satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan.

(2) Dalam hal narapidana atau anak didik pemasyarakatan ada keluhan
kesehtan, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya di LAPAS wajib
melakukan pemeriksaan.

Pada program pelayanan umum, setidak-tidaknya lapas tersebut


menyediakan tenaga kesehatan (dokter/perawat), peralatan medis, ruang
pelayanan kesehatan yang layak, dan obat-obatan.

11
Kedua, pelayanan khusus. Pelayanan khusus kesehatan ini
berkaitan dengan saran dan prasarana bagi narapidana yang memiliki riwayat
kesehatan khusus seperti penyakit menular yang memerlukan penanganan
secara spesifik dan profesional. Jenis penyakit tersebut seperto TBC,
HIV/AIDS, gangguan jiwa, dan wanita hamil/melahirkan. Dalam
penyelengaraan kesehatannya, lapas secara khusus memiliki kerjasama dengan
lembaga kesehatan atau dinas kesehatan setempat. Hal tersebut juga sudah
dijamin oleh PP No. 32 tahun 1999 pada pasal (17) yakni :

(1) Dalam hal penderita yang memiliki penyakit menular atau


membahayakan, maka penderita tersebut dirawat secara khusus dan
memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter lapas memberikan
rekomendasi kepada kepala lapas agar pelayanan kesehatan dilakukan d
rumah sakit umum pemerintah di luar lapas.

Tidak hanya mendapatkan perawatan di rumah sakit pemerintah,


bagi narapidana yang memiliki riwayat penyakit menuar perlu disediakan
tempat khusus untuk karantina, agar tidak menularkan penyakit yang sama
pada narapidana yang lain.

Dalam rangka mewujudkan peningkatan pelayanan kesehatan di


Rutan, maka pada tahun 2003 melalui Surat Keputusan Direktur Jendral
Pemasyarakatan Nomor E.03.PP.02. tahun 2003 telah ditetapkan standar
pelayanan minimal pelayanan kesehatan dan makanan bagi narapidana di
Lapas dan Rutan sebagaimana berikut :

1. Secara melembaga pelayanan kesehatan yang ada masih dalam taraf


sederhana yaitu pelayanan dokter dan klinik yang sifatnya pertolongan
pertama.

2. Rujukan penderita dilakukan secara seadanya, tergantung kondisi pada


masing-masing Lapas.

3. Bentuk bentuk layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi


dilakukan secara sistematis.

12
5. Kesehatan pengungsi

Pengungsi yang kita tahu adalah korban dari bencana yang mengalami
trauma dan kesehatan mentalnya terganggu. Bila dikaji berdasarkan dimensi
kesehatan mental, maka hal yang pertama adalah terpenuhinya adequate feeling of
security (rasa aman yang memadai). Pengungsi akibat terjadinya bencana alam,
perang, ataupun krisis dan konflik negara harus merasakan rasa aman setelah
bencana itu terjadi. Hilangnya perasaan aman akan membuat tekanan yang ada
dalam diri pengungsi. Terlebih dengan terjadinya bencana, maka muncul ancaman
kehilangan pekerjaan, kehidupan sosial dan keluarga pun menjadi terancam.
Pemenuhan rasa aman bagi pengungsi dapat dilakukan dengan cara memberi
jaminan pemenuhan kebutuhan hidup, dukungan mengenai pekerjaan, ataupun
informasi mengenai bagaimana keadaan keluarganya.
Kedua adalah adequateself evaluation (kemampuan menilai diri sendiri
yang memadai). Pengungsi membutuhkan perasaan bahwa mereka masih
mempunyai potensi untuk bisa mengubah keadaan hidup mereka yang diakibatkan
karena terjadinya bencana. Perasaan seperti ini akan mengurangi rasa bersalah dan
tertekan yang dialami oleh pengungsi. Pengungsi anak-anak juga harus diberikan
dorongan agar bisa membangkitkan semangat untuk mengembangkan potensi
dalam diri mereka melalui kegiatan positif untuk menghilangkan trauma akibat
kejadian saat bencana terjadi.

Ketiga adalah spontaneity and emotionaliti (memiliki spontanitas dan


perasaan memadai dengan orang lain) Pengungsi saat setelah bencana itu terjadi
harus memiliki ikatan emosional untuk membentuk hubungan persahabatan dan
cinta, sehingga memberikan dampak positif kepada sesama pengungsi lainnya,
serta mampu mengontrol perasaan negatif. Dengan demikian, tekanan dalam diri
pengungsi bisa berkurang. Dalam hal ini, terkait dengan pengungsi anak-anak,
maka kemampuan mereka untuk tertawa dan menyenangi apa yang ada pada diri
mereka sendiri adalah hal penting.

13
Keempat adalah efficient contact with reality (mempunyai kontak yang
efisien dengan realitas). Pengungsi juga harus terhindar dari fantasi atau
berhalusinasi tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan realita. Hal itu bisa
menyebabkan pengungsi tidak bisa menerima kenyataan yang ada (fakta) yang
terjadi pada dirinya, sehingga akan merasakan perasaan kecewa, merasa gagal
serta tidak berharga.

Kelima adalah adequate desires and ability to grafity them (keinginan-


keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya).
Pengungsi dalam hal ini harus terpenuhi kebutuhan jasmaninya, kebutuhan untuk
menikmati makan, tidur dan mampu untuk bekerja sebagai aktivitas seharihari.
Hal ini akan memperkecil perbedaan yang ada pada saat sebelum dan sesudah
terjadinya bencana dalam kehidupan pengungsi. Anakanak dalam hal ini juga
tetap mendapatkan pendidikan walaupun sebagai pengungsi, hendaknya anak-
anak tetap bisa makan dan tidur yang layak di tempat dia mengungsi.

Keenam adalah adequate self knowledge (mempunyai kemampuan positif


yang wajar). Pengungsi juga harus mempunyai tujuan dan keinginan tentang
kehidupan setelah bencana, hal ini membuat mereka mempunyai semangat untuk
kembali memulai kehidupan dan merubah kehidupan yang ada saat sebagai
pengungsi. Pengungsi juga harus menyadari dan dapat menerima keadaannya
yang sekarang sedang menimpanya.

Ketujuh adalah integration and consistency of personality


(kepribadian yang utuh dan konsisten) Pengungsi juga harus bisa
mengembangkan diri dengan lingkungan baru di tempat pengungsian. Mampu
berkonsentrasi dan punya minat yang cukup besar di dalam semua aktivitasnya,
sehingga ada kemampuan untuk bisa bangkit dari dampak buruk bencana. Selain
itu, kemampuan untuk mengembangkan diri juga akan mengurangi konflik dalam
diri pengungsi sendiri. Hal ini terkait dengan apa yang menjadi keinginan dari
pengungsi dibandingkan dengan kenyataan yang ada, yang kemungkinan besar hal
ini berbeda, sehingga kemampuan dalam mengembangkan diri ini bisa menjadi
jalan untuk mewujudkan keinginan para pengungsi untuk menjadi kenyataan.

14
Kedelapan adalah adequate of life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar).
Pengungsi baik itu dewasa dan anak-anak harus samasama mempunyai tujuan
dalam hidup mereka. Tujuan hidup ini berguna agar mereka bisa menata
bagaimana kehidupan mereka selanjutnya. Tujuan ini harus juga disesuaikan
dengan keadaan dari pengungsi, tujuan yang terlalu berlebihan akan membuat
pengungsi menjadi stress karena tidak bisa mencapai tujuannya tersebut.

Kesembilan adalah ability of learn from experience (kemampuan belajar


dari pengalaman). Pengungsi harus bisa beradaptasi dan belajar dari kejadian
bencana yang telah dialaminya. Kemampuan ini berguna untuk memperkuat
mental para pengungsi ketika kejadian yang sama terulang di kemudian hari.

Kesepuluh adalah ability to satisfy to requirements of the group


(kemampuan memuaskan tuntutan kelompok). Pengungsi harus mampu untuk
beradaptasi dengan lingkungan dan kelompok baru di kehidupannya. Kemampuan
beradaptasi ini akan membuat pengungsi bisa membaur dan berinteraksi dengan
kelompook baru. Kemampuan beradaptasi membuat pengungsi mempunyai rasa
tanggung jawab dan hubungan persahabatan yang baik dengan kelompok barunya
sebagai sesama pengungsi, sehingga bisa mengurangi tekanan dan trauma akibat
dari bencana yang dialaminya.

Kesebelas adalah adequate emancipation from the group or culture


(mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya). Pengungsi
mampu untuk menilai baik buruknya suatu tindakan tanpa adanya pengaruh dari
orang lain. Pengungis juga mampu menghargai perbedaan dengan kebudayaan
orang lain. Hal ini menjadi penting bagi pengungsi agar tidak mudah terjadi
konflik dengan sesama pengungsi yang memiliki nilai dan budaya yang berbeda.
Berdasarkan analisa terhadap kondisi pengungsi dikatikan dengan dimensi
kesehatan mental tersebut, maka berbagai macam dimensi kesehatan mental
tersebut harus diusahakan untuk dapat dipenuhi agar para pengungsi dapat
terhindar dari gangguan kesehatan mental yang sangat mungkin untuk terjadi.

Pemenuhan kebutuhan dan kapasitas para pengungsi terkait kesebelas


dimensi kesehatan mental tersebut dinilai mampu untuk menekan tingkat stress

15
dan trauma dari pengungsi. Untuk itu, diperlukan bantuan dan dukungan dari para
praktisi yang bergeran di bidang pengananan pengungsi dan yang berkecimpung
dalam penanganan kesehatan mental. Salah satunya adalah profesi pekerjaan
sosial yang dapat turut berperan serta menangani para pengungsi agar terhindar
dari gangguan kesehatan mental.

Adapun peran yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial dalam hal ini
adalah:

1. Advokasi
Dalam melakukan advokasi, pekerja sosial dapat melakukan upaya
perlindungan dan mewakili kepentingan para pengungsi dalam melakukan
koordinasi dengan pihakpihak terkait (terutama dengan pihak Pemerintah)
agar hak-hak dari para pengungsi dan kebutuhan dasar mereka dapat
terpenuhi dengan layak. Selain itu Pekerja sosial juga dapat mengadvokasi
agar para pengungsi dapat tetap memperoleh kehidupan yang layak yang
diberikan oleh negara dan pihak-pihal lainnya secara lebih luas.

2. Fasilitator
Sebagai fasilitator, pekerja sosial dapat membantu para pengungsi dalam
berhubungan dengan sistem sumber yang berkompeten guna memenuhi
kebutuhan mereka. Sistem sumber yang dimaksud adalah sumber terhadap
pemenuhan kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan pangan, sandang dan
pangan. Selaian itu juga sistem sumber untuk akses pekerjaan dan pendidikan
serta sistem sumber terkait bantuan lainnya. Terutama yang bisa dilakukan
oleh lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah.

3. Membentuk Kelompok-kelompok Bantu Diri (Self Help).


Pembentukan kelompok ini dimaksudkan agar pengungsi dapat saling
mendukung di antara mereka sendiri dalam menghadapi situasi dan kondisi
kehidupan di dalam kamp penampungan, memikirkan dan merencanakan
alternatif-alternatif pemecahan masalah dan langkahlangkah yang dapat
ditempuh apabila bencana terjadi kembali dan menginventarisir berbagai

16
macam kebutuhan maupun sistem sumber yang diharapkan dapat membantu
mereka.

4. Partisipasi
Pekerja sosial dapat melibatkan para pengungsi dalam kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan di kamp pengungsian, seperti dapur umum, membangun fasilitas
umum atau perbaikan sanitasi lingkungan dan menciptakan beberapa kegiatan
baru, misalnya dengan menyelenggarakan latihan keterampilan yang
sederhana, melibatkan para orang tua untuk ikut mendirikan dan mengajar di
sekolah tenda dan sebagainya. Kegiatan ini bertujuan agar pengungsi dapat
mengalihkan berbagai macam perasaan negatifnya seperti rasa cemas, rasa
takut dan lain sebagainya menjadi perasaan yang lebih positif dengan
mengikuti berbagai macam kegiatan yang sifatnya gotong royong dan
konstruktif.

6. Kesehatan Bencana

Salah satu dampak bencana terhadap menurunnya kualitas hidup


penduduk dapat dilihat dari berbagai permasalahan kesehatan masyarakat yang
terjadi. Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan
masalah kesehatan yang sebenamya diawali oleh masalah bidang/sektor lain.
Bencana gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka
pendek dapat berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang
memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan
fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air. Timbulnya masalah kesehatan
antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya
kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari
perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular.

Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari


proses teöadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan
mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban
bencana. Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak memenuhi

17
syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat
menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan
menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan
kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala akibat
fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis Obat serta alat kesehatan,
terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat
menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan,

Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berbeda-beda,


antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Kasus cedera
yang memerlukan perawatan medis, misalnya, relatif lebih banyak dijumpai pada
bencana gempa bumi dibandingkan dengan kasus cedera akibat banjir dan
gelombang pasang. Sebaliklya, bencana banjir yang terjadi dalam waktu relatif
lama dapat menyebabkan kerusakan sistem sanitasi dan air bersih, serta
menimbulkan potensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare dan
leptospirosis. Terkait dengan bencana gempa bumi, selain dipengaruhi kekuatan
gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi banyak sedikitnya korban
meninggal dan cedera akibat bencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari
terjadinya gempa dan kepadatan penduduk

Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi


masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2) UU Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: l).
Bayi, balita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3).
Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok
penduduk tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Pedoman Tata Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan 'orang sakit'
sebagai bagian dari kelompok rentan dalam kondisi bencana. Upaya
perlindungan tentunya perlu diprioritaskan pada kelompok rentan tersebut, mulai

18
dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan
dan psikososial.

Identifikasi kelompok rentan pada situasi bencana menjadi salah satu hal
yang penting untuk dilakukan. Penilaian cepat kesehatan (rapid health
assessment) paska gempa bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul, misalnya,
dapat memetakan kelompok rentan serta masalah kesehatan dan risiko penyakit
akibat bencana. Penilaian cepat yang dilakukan pada tanggal 15 Juni 2006 di
lima kecamatan terpilih di wilayah Kabupaten Bantul (Pleret, Banguntapan,
Jetis, Pundong dan Sewon) ini meliputi aspek keadaan umum dan lingkungan,
derajat kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan Kesehatan. Hasil penilaian
cepat terkait dengan kelompok rentan beserta permasalahan kesehatan yang
dihadapi adalah sebagaimana terlihat. Permasalahan kecukupan gizi dijumpai
pada kelompok penduduk rentan balita dan ibu hamil, sedangkan kondisi fisik
yang memerlukan perhatian terutama dijumpai pada kelompok rentan ibu baru
melahirkan, korban cedera, serta penduduk yang berada dalam kondisi tidak
sehat.

Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering tidak


memadai. Hal ini terjadi antara lain aldbat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak
memadainya jumlah dan jenis Obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga
kesehatan, terbatasnya dana operasional pelayanan di lapangan. Hasil penilaian
cepat paska gempa Bantul 2006, misalnya, mencatat sebanyak 55,6 persen
Puskesmas Induk dan Perawatan dari 27 unit yang ada di Kabupaten Bantul
mengalami kerusakan berat, begitu juga dengan kondisi Puskesmas Pembantu
(53,6 persen) serta Rumah Dinas Dokter dan Paramedis (64,8 persen). Bila tidak
segera ditangani, kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan dampak yang
lebih buruk akibat bencana tersebut.

Tidak hanya fasilitas kesehatan yang rusak, bencana alam tidak jarang
juga menimbulkan dampak langsung pada masyarakat di suatu wilayah yang
menjadi korban. Pada kasus gempa Bantul 2006, sebagian besar (81,8 persen)
rumah penduduk hancur, bahkan tidak ada rumah yang tidak rusak meskipun
hanya rusak ringan (3,1 persen). Selain itu, 70,4 persen penduduk masih

19
mengandalkan sumber air bersih dari sumur, namun ada sebagian kecil (4,8
persen) penduduk dengan kualitas fisik sumur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan. Masih banyak masyarakat yang mengobati dirinya sendiri di rumah
(30,2 persen) atau bahkan mendiamkan saja luka yang diderita (6,6 persen).
Ketersediaan cadangan bahan makanan pokok masih bisa mencukupi
kebutuhan keluarga untuk 14 hari, sedangkan bahan makanan Iain masih bisa
mencukupi untuk kebutuhan selama satu minggu, kecuali buah-buahan (3 hari).
Hampir dua minggu paskagempa, sudah banyak lingkungan responden yang
telah mendapatkan bantuan kesehatan dari berbagai instansi atau LSM, namun
bantuan pengasapan (fogging) untuk mengurangi populasi nyamuk baru 47,6
persen, penyemprotan (spraying) untuk membunuh bibit penyakit berbahaya
baru 20 persen, dan upaya pengolahan air hanya 21 persen.

Salah satu permasalahan kesehatan akibat bencana adalah meningkatnya


potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Bahkan, tidak
jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa penyakit menular tertentu,
seperti KLB diare dan disentri yang dipengaruhi lingkungan dan sanitasi yang
memburuk akibat bencana seperti banjir. Diagram 1, misalnya, memperlihatkan
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan keluhan yang yang paling
banyak diderita pengungsi sepuluh jenis penyakit bencana letusan Gunung
Merapi tahun 2010 di Kabupaten Sleman. Data EHA - WHO Indonesia (2010)
per 27 Oktober 2010 juga mencatat 91 korban bencana Merapi harus dirujuk ke
RS Sardjito di Yogyakarta, sebagian besar diantaranya karena mengalami
gangguan pernafasan dan/atau luka bakar.

Permasalahan kesehatan lingkungan dan sanitasi juga sering dijumpai pada


kondisi bencana alam. Berbagai literatur menunjukkan bahwa sanitasi merupakan
salah satu kebutuhan vital pada tahap awal setelah terjadinya bencana (The Sphere
Project, 2011; Tekeli-Yesi1, 2006). Kondisi lingkungan yang tidak higienis,
persediaan air yang terbatas dan jamban yang tidak memadai, misalnya, seringkali
menjadi penyebab korban bencana lebih rentan untuk mengalami kesakitan
bahkan kematian akibat penyakit tertentu.

20
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang
perlu mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana yang berdampak kepada
masyarakat dalam waktu relatif lama. Studi Hapsari dkk (2009) mengidentiftasi
temuan menarik berkaitan dengan kebutuhan pelayanan keluarga berencana (KB)
paskabencana gempa bumi di Bantul (Yogyakarta) pada tahun 2006. Satu tahun
paskagempa, mereka yang menggunakan alat KB suntik dan implant cenderung
menurun, sebaliknya mereka yang menggunakan pil KB dan metode pantang berkala
cenderung meningkat. Studi ini juga menunjukkan bahwa prevalensi kehamilan tidak
direncanakan lebih tinggi dijumpai pada mereka yang sulit mengakses pelayanan KB
dibandingkan mereka yang tidak mengalami kendala. Oleh karena itu, peran penting
petugas kesehatan diperlukan, tidak hanya untuk memberikan pelayanan KB pada
situasi bencana, tetapi juga untuk mengedukasi pasangan untuk mencegah kejadian
kehamilan yang tidak direncanakan.

7. Perlindungan Kesehatan dalam Bencana

Bencana alam merupakan kejadian luar biasa yang disebabkan oleh


peristiwa/faktor alam atau perilaku manusia yang menyebabkan kerugian besar
bagi manusia dan lingkungan dimana hal itu berada diluar kemampuan manusia
untuk dapat mengendalikannya. Mengingat bencana alam yang cukup beragam
dan semakin tinggi intensitasnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-
Undang (UU) No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dengan
lahimya UU tersebut, terjadi perubahan paradigna penanganan bencana di
Indonesia, yaitu penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap
darurat, tetapi lebih menekankan pada keseluruhan manajemen penanggulangan
bencana mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat sampai dengan
rehabilitasi. Berdasarkan W No 24 tersebut, tahapan penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi:

1. Prabencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan


bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam
perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan
rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan

21
standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan
mitigasi bencana).

2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap lokasi, kerusakan


dan sumber daya, penentuan status keadan darurat, penyelamatan dan evakuasi
korban, pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan psikososial dan kesehatan.

3. Paskabencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah


bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial,
psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi
(pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana, termasuk
fungsi pelayanan kesehatan).

Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang harus


segera diberikan baik saat terjadi dan paskabencana disertai pengungsian. Upaya
penanggulangan bencana perlu dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak
masyarakat, antara lain hak untuk mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan sosial, pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana serta hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 UU No 24 tahun 2007,
pelayanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
pada kondisi bencana, di samping kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya: l). air
bersih dan sanitasi, 2). pangan, 3). sandang, 4). pelayanan psikososial serta 5).
penampungan dan tempat hunian.

Penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi bencana ditujukan


untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi korban akibat
bencana dan pengungsi sesuai dengan standar minimal. Secara khusus, upaya ini
ditujukan untuk memastikan: l). Terpenuhinya pelayanan kesehatan bagi korban
bencana dan pengungsi sesuai standar minimal; 2). Terpenuhinya pemberantasan
dan pencegahan penyakit menular bagi korban bencana dan pengungsi sesuai
standar minimal; 3). Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi korban
bencana dan pengungsi sesuai standar minimal; 4). Terpenuhinya kesehatan
lingkungan bagi korban bencana dan pengungsi sesuai standar minimal; serta 5).

22
Terpenuhinya kebutuhan papan dan sandang bagi korban bencana dan pengungsi
sesuai standar minimal.

Dalam upaya memaksimalkan peran jajaran kesehatan pada


penanggulangan bencana, termasuk didalamnya Puskesmas, Kementerian
Kesehatan telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No.
145/Menkes/SW1/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang
Kesehatan. Dokumen tersebut mengatur berbagai hal, termasuk kebijakan,
pengorganisasian dan kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masing-
masing jajaran kesehatan. Dalam Kepmenkes tersebut juga disebutkan bahwa
pada prinsipnya dalam penanggulangan bencana bidang kesehatan tidak ada
kebijakan untuk membentuk sarana prasarana secara khusus. Upaya lebih
difokuskan dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah ada, hanya
saja intensitas kerjanya ditingkatkan dengan memberdayakan semua sumber daya
pemerintah, masyarakat dan unsur swasta terkait (Departemen Kesehatan, 2007).

Pengorganisasian sektor kesehatan dilakukan berjenjang mulai dari tingkat


pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai dengan lokasi kejadian. Di lokasi kejadian
misalnya, penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana
adalah Kepala Dinas Kabupaten/Kota, sedangkan yang bertindak sebagai
pelaksana tugas adalah Kepala Puskesmas di lokasi kejadian. Selanjutnya,
pelaksanaan kegiatan dikelompokkan pada fase Prabencana, Saat bencana dan
Paskabencana. Pada masing-masing fase tersebut, telah dikelompokkan kegiatan-
kegiatan yang perlu dilaksanakan oleh Tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota
dan Kecamatan. Peran Puskesmas, misalnya, sangat beragam pada setiap fase
bencana dan memerlukan koordinasi kegiatan dengan instansi Iain serta kelompok
masyarakat (Tabel 1).

23
Prabencana Saat Bencana Paskabencana

• Membuat peta Puskesmas di lokasi bencana: Menyelenggarakan pelayanan

geomedik daerah kesehatan dasar di tempat


• Menuju lokasi bencana dengan penampungan (Pos Kesehatan
rawan bencana
membawa peralatan yang Lapangan)
• Membuat jalur diperlukan untuk
evakuasi
melaksanakan triase dan • Memeriksa kualitas air bersih
• Mengadakan memberikan pertolongan dan sanitasi lingkungan
pelatihan pertama
• Melaksanakan surveilans
• Inventarisasi sumber
• Melaporkan kejadian bencana penyakit menular dan gizi buruk
daya sesuai dengan
kepada Kepala Dinas yang mungkin timbul
potensi bahaya yang
Kesehatan (Kadinkes)
mungkin terjadi • Segera melapor ke Dinkes
Kabupaten/Kota
• Menerima dan Kabupaten/Kota bila terjadi
• Melakukan penilaian cepat
KLB penyakit menular dan gizi
menindaklanjuti
masalah kesehatan awal (initial buruk
informasi peringatan
rapid health assessment) Memfasilitasi relawan, kader
dini (early warning
• Menyerahkan tanggung jawab dan petugas pemerintah tingkat
system) untuk
kepada Kadinkes Kabupaten/ kecamatan dalam memberikan
kesiapsiagaan bidang
Kota bila telah tiba di lokasi komunikasi, informasi dan
kesehatan
edukasi (KIE) kepada
• Membentuk tim Puskesmas di sekitar lokasi masyarakat luas, bimbingan
kesehatan lapangan bencana: pada kelompok serta konseling
yang tergabung dalam
pada individu yang berpotensi
Satgas • Mengirimkan tenaga dan
mengalami gangguan stres
• Mengadakan perbekalan kesehatan serta
paskatrauma
ambulans/transportasi Iain ke
koordinasi lintas Merujuk penderita yang tidak
lokasi bencana dan tempat
sektor dapat ditangani dengan
penampungan pengungsi.
konseling awal dan
• Membantu perawatan dan membutuhkan konseling
evakuasi korban serta Ianjut, psikoterapi atau

24
pelayanan kesehatan penanggulangan lebih spesifik.
pengungsi.

Pengorganisasian sektor kesehatan dilakukan berjenjang mulai dari


tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai dengan lokasi kejadian. Di lokasi
kejadian misalnya, penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan
bencana adalah Kepala Dinas Kabupaten/Kota, sedangkan yang bertindak
sebagai pelaksana tugas adalah Kepala Puskesmas di lokasi kejadian.
Selanjutnya, pelaksanaan kegiatan dikelompokkan pada fase Prabencana,
Saat bencana dan Dalam penanggulangan bencana, peran Puskesmas mengacu
pada tugas dan fingsi pokoknya, yaitu sebagai pusat (l) penggerak pembangunan
kesehatan masyarakat, (2) pemberdayaan masyarakat dan (3) pelayanan
kesehatan tingkat

Dalam penanggulangan bencana, peran Puskesmas mengacu pada tugas


dan fingsi pokoknya, yaitu sebagai pusat (l) penggerak pembangunan kesehatan
masyarakat, (2) pemberdayaan masyarakat dan (3) pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Sebagai pusat penggerak pembangunan kesehatan masyarakat,
Puskesmas melakukan fungsi penanggulangan bencana melalui kegiatan
surveilans, penyuluhan dan kerjasama lintas sektor. Sebagai pusat pemberdayaan
masyarakat, Puskesmas dituntut mampu melibatkan peran aktif masyarakat, baik
peroangan maupun kelompok, dalam upaya penanggulangan bencana. Sedangkan
sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama, Puskesmas melakukan
berbagai kegiatan seperti: pelayanan gawat darurat 24 jam, pendirian pos
kesehatan 24 jam di sekitar lokasi bencana, upaya gizi, KIA dan sanitasi
pengungsian, upaya kesehatan jiwa serta upaya kesehatan rujukan.

Initial rapid health assessment merupakan kegiatan penting yang perlu


dilaksanakan petugas kesehatan di lokasi bencana. Sebagaimana diuraikan pada
bagian sebelumnya, hasil kajian paskagempa Bantul 2006 dapat memetakan
kelompok rentan serta masalah kesehatan dan risiko penyakit akibat bencana.
Selanjumya, dari hasil penilaian cepat kesehatan ini dapat direkomendasikan

25
upaya-upaya apa saja yang perlu dilakukan berbagai pihak terkait untuk
memulihkan sistem kesehatan di wilayah Kabupaten Bantul .

Selain berdasarkan SK Menkes 145/2007, peran dan tugas Puskesmas


dalam penanggulangan bencana juga mengacu pada SK Menkes Nomor
1357/Menkes/SK/XIV2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah
Kesehatan akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi. Dalam dokumen tersebut,
standar minimal yang harus dipenuhi meliputi berbagai aspek:

1. Pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan masyarakat, kesehatan


reproduksi1 dan kesehatan jiwa2. Terkait dengan sarana pelayanan kesehatan,
satu Pusat Kesehatan pengungsi idealnya digunakan untuk melayani 20.000
orang, sedangkan satu Rumah Sakit untuk 200.000 sasaran. Penyediaan
pelayanan kesehatan juga dapat memanfaatkan partisipasi Rumah Sakit
Swasta, Balai Pengobatan Swasta, LSM lokal maupun internasional yang
terkait dengan bidang kesehatan.

2. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, seperti vaksinasi,


penanganan masalah umum kesehatan di pengungsian, manajemen kasus,
surveilans dan ketenagaan. Berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM),
Kementerian Kesehatan telah menetapkan jumlah kebutuhan tenaga
kesehatan untuk penanganan 10.000-20.000 pengungsi, terdiri dari: pekerja
kesehatan lingkungan (10-20 orang), bidan (5-10 orang), dokter (1 orang),
paramedis (4-5 orang), asisten apoteker (l orang), laboratorium (l orang),
pembantu umum (5-10 orang), pengawas sanitasi (24 orang), asisten
pengawas sanitasi (1020 orang).

3. Gizi dan pangan, termasuk penanggulangan masalah gizi di pengungsian,


surveilans gizi, kualitas dan keamanan pangan. Identifikasi perlu dilakukan
secepat mungkin untuk mengetahui sasaran pelayanan, seperti jumlah
pengungsi, jenis kelamin, umur dan kelompok rentan (balita, ibu hamil, ibu
menyusui, lanjut usia). Data tersebut penting diperoleh, misalnya untuk

26
mengetahui kebutuhan bahan makanan pada tahap penyelamatan dan
merencanakan tahapan surveilans berikutnya. Selain itu, pengelolaan bantuan
pangan perlu melibatkan wakil masyarakat korban bencana, termasuk kaum
perempuan, untuk memastikan kebutuhankebutuhan dasar korban bencana
terpenuhi.

4. Lingkungan, meliputi pengadaan air, kualitas air, pembuangan kotoran


manusia, pengelolaan limbah padat dan limbah cair dan promosi kesehatan.
Beberapa tolok ukur kunci yang perlu diperhatikan adalah:

a. persediaan air harus cukup minimal 15 liter per orang per hari,

b. jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter,
satu kran air untuk 80-100 orang,

c. satu jamban digunakan maksimal 20 orang, dapat diatur menurut


rumah tangga atau menurut jenis kelamin,

d. jamban berjarak tidak lebih dari 50 meter dari pemukian atau tempat
pengungsian,

e. bak atau lubang sampah keluarga berjarak tidak lebih dari 15 meter
dan lubang sampah umum berjarak tidak lebih dari 100 meter dari
pemukiman atau tempat pengungsian,

f. baWlubang sampah memiliki kapasitas 100 liter per 10 keluarga,


serta

g. tidak ada genangan air, air hujan, luapan air atau banjir di sekitar
pemukiman atau tempat pengungsian.

5. Hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar kesehatan, seperti


penampungan keluarga, sandang dan kebutuhan rumah tangga. Ruang tertutup
yang tersedia, misalnya, setidaknya Selain piranti-piranti legal di atas,
Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2008 juga mengatur pemberian
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan tempat
penampungan/hunian sementara, pangan, nonpangan, sandang air bersih dan

27
sanitasi serta pelayanan kesehatan. Dalam peraturan tersebut, disebutkan
bahwa bantuan pelayanan kesehatan diberikan dalam bentuk: 1). pelayanan
kesehatan umum, meliputi pelayanan kesehatan dasar dan klinis; 2).
pengendalian penyakit menular, meliputi pencegahan umum, campak,
diagnosis dan pengelolaan kasus, kesiapsiagaan kejadian luar biasa (KLB),
deteksi KLB, penyelidikan dan tanggap serta HIV/AIDS; serta 3).
pengendalian penyakit tidak menular, meliputi cedera, kesehatan reproduksi,
aspek kejiwaan dan sosial kesehatan serta penyakit laonis. Bentuk-bentuk
pelayanan kesehatan tersebut dilengkapi dengan standar minimal bantuan
yang harus dipenuhi dalam situasi bencana alam.

28
DAFTAR PUSTAKA

Hasnah, & Alang, S. (2019). Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender (Lgbt)
Versus Kesehata: Studi Etnografi. Jurnal Kesehatan, 12(1), 63–72.
https://doi.org/10.24252/kesehatan.v12i1.9219

Marjuki, 2010, Penyandang CacatBerdasarkan Klasifikasi International


Classification of Functioning for Disability and Health (ICF)
http://www.scribd.com/doc/24613087/Penyandang-Cacat-Berdasarkan-
Klasifikasi-International-Classification-of-Functioning-for-Disability-and-
Health-ICF, diakses pada tanggal 17 September 2021,pukul 21.20 WIB

Santoso, M. B., Zaenuddin, M., Krisnani, H., & Assidiq, R. A. (2018). Dimensi
Kesehatan Mental Pada Pengungsi Akibat Bencana. Prosiding Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(1), 23.
https://doi.org/10.24198/jppm.v5i1.16022

Syahputra, R. (2020). Pelayanan Kesehatan Terhadap Narapidana Dan Tahanan


Sebagai Wujud Pemenuhan Hak Asasi Manusia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu
Hukum Dan Humaniora, 7(4), 1689–1699.

Syukria, O. A., & Supriyanto, S. (2016). Determinan Pemanfaatan Puskesmas


pada Anak Penyandang Disabilitas. Jurnal Administrasi Kesehatan
Indonesia, 4(1), 37. https://doi.org/10.20473/jaki.v4i1.2016.37-47

29

Anda mungkin juga menyukai