OLEH:
DOSEN :
KESEHATAN MASYARAKAT
MAKASSAR
2021
DAFTAR ISI
Daftar Isi..............................................................................................................2
Kelompok Khusus........................................................................................4
4. Kesehatan Tahanan...................................................................................10
5. Kesehatan Pengungsi.................................................................................13
6. Kesehatan Bencana....................................................................................17
Daftar Pustaka..................................................................................................29
2
1. Kesehatan mental dan cacat mental
3
2. Cacat, Rehabilitasi Fisik dan Kebutuhan Kesehatan Kelompok
Khusus
Cacat mental retardasi adalah kecacatan karena seseorang yang
perkembangan mentalnya (IQ) tidak sejalan dengan pertumbuhan usia
biologisnya.
Eks psikotik adalah kecacatan seseorang yang pernah mengalami
gangguan jiwa
Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan penyandang
disabilitas salah satunya yaitu Puskesmas. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan
bahwa Puskesmas merupakan penyedia layanan kesehatan yang
menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan
Perseorangan (UKP) dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif. Tujuan Puskesmas yaitu mewujudkan kecamatan sehat.
Puskemas memiliki syarat lokasi yang terdapat pada pasal 10 antara lain
yaitu jalur transportasi aksesibel, dilengkapi fasilitas keamanan, serta
memperhatikan pengelolaan kesehatan lingkungan. Tenaga kesehatan
yang wajib ada di Puskesmas sesuai pasal 16 antara lain yaitu dokter,
dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan masyarakat dan tenaga
laboratorium.
Faktor yang berhubungan dengan akses penyandang disabilitas
terhadap pelayanan kesehatan antara lain biaya pelayanan dan transportasi.
Ketidakpuasan antara biaya pelayanan dan manfaat kesehatan yang
diperoleh dirasakan oleh 32-33% penduduk secara umum. Ketidakpuasan
pada penyandang disabilitas sebesar 51-53%. Biaya transportasi dirasakan
terutama di daerah dengan jumlah penyedia layanan Kesehatan tidak
memadai. Faktor lain yang juga berhubungan dengan akses penyandang
disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yaitu hambatan fisik, berkaitan
dengan desain fasilitas kesehatan yang tidak mengakomodasi penyandang
4
disabilitas. Selain itu terdapat pula faktor kemampuan petugas Kesehatan
yang kurang memadai dalam melayani pasien penyandang disabilitas.
Faktor terakhir berhubungan dengan peran pemerintah yang belum
maksimal dalam menjamin pelaksanaan peraturan berkaitan dengan hak
penyandang disabilitas.
5
Mereka berlindung di balik ratusan organisasi masyarakat yang mendukung
kecenderungan untuk berhubungan seks sesama jenis.
6
Eccles dan Igartua, menjelaskan identitas seksual sebagai persepsi
individu tentang peran seksual dirinya yang dipengaruhi oleh kematangan
individu Selanjutnya, Dilorio dan Igartua mengartikan perilaku seksual
sebagai suatu sikap dan tindakan untuk melakukan kontak seksual dengan
orang lain (laki-laki, wanita, atau keduanya). Dalam pengertian ini, perilaku
seksual merujuk pada aktivitas dan tindakan seksual dari seseorang.
Sementara itu, American Psychological Association mendeskripsikan orientasi
seksual sebagai sebuah kondisi emosional yang bertahan lama, romantis, dan
daya pikat seksual untuk berhubungan dengan orang lain (laki-laki, wanita,
atau keduanya).
7
dengan anak remajanya, makin rendah perilaku seksual pranikah remaja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja
paling tinggi adalah hubungan antara orang tua dengan remaja, tekanan teman
sebaya, pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan eksposur media
pornografi.
Di sisi lain, mereka juga bertemu dengan hal yang baru dalam
kehidupan social kemasyarakatannya. Mereka sadar mereka bukan lagi anak-
anak, tetapi mereka juga belum mampu untuk mengekpresikan kemampuan
dan potensi mereka dengan benar, karena orang-orang disekitar mereka juga
tidak menerima dan tidak mengakui mereka sebagai orang dewasa. Mereka
mendapatkan sesuatu yang aneh dengan diri dan hidup mereka, tetapi mereka
tidak dapat mengerti hal tersebut dengan pasti. Lebih jauh, ketika para remaja
itu sendiri dan tidak ada orang yang membimbing dan membantu mereka,
maka kemungkinan sesuatu akan terjadi pada mereka di tahap perkembangan
ini, dan itu bukan saja tentang kendala dalam menemukan identitas diri
mereka, tetapi juga mengenai identitas seksual dan orientasi seksual mereka.
Oleh karena itulah, banyak sekali penelitian yang telah dilakukan mencakup
orientasi seksual yang terjadi di masa remaja
8
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sepanjang masa kehidupannya,
mulai dari dalam kandungan dan permulaan hidup (neonate) sampai pada
tahap orientasi seksual muncul, yakni masa remaja. Salah satu tugas
perkembangan dimasa remaja adalah menentukan orientasi seksual. Masa
remaja ini, dianggap sebagai proses puncak untuk menemukan identitas diri
dan orientasi seksual seseorang secara lebih spesifik, apakah sebagai
heteroseksual, homoseksual, atau sebagai biseksual. Proses tersebut secara
relative berhubungan dengan bagaimana individu mendapatkan kasih sayang
dan perlakuan dari orang-orang yang ada di sekitar mereka.
9
4. Kesehatan Tahanan
10
Pelayanan narapidana dan tahanan adalah suatu perlakuan atau
kegiatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dihukum atau dalam
proses hukum di dalam penjara atau Lemabaga Pemasyarakatan atau Rumah
Tahanan Negara yang dimana tindakan yang serupa memiliki tujuan yang
haruslah sejauh mana mengizinkannya, untuk menumbuhkan suatu kesadaran
terhadap kesahannya yang salah dan dapat mendjadi pribadi yang lebih baik di
dalam diri mereka serta kemauan untuk menjalani hidup dan mematuhi hukum
yang ada dan sudah berlaku serta memenuhi kebutuhan diri sendiri setelah
bebas nantinya. Pelayanan narapidana dan tahanan pada intinya merupakan
suatu pelayanan yang saling berkaitan dengan pelaksanaan hak-hak dan
kewajiban narapidana dan tahanan berupa perawatan, pembinaan, pendidikan
dan pembimbingan, serta kesehatan. Rumah Tahanan Negara merupakan
bagian dari sistem peradilan pidana yang tidak dapat di lepaskan dari suastu
tugas dan sautu fungsinya sebagai penegak hukum yang ada . Fungsi Rumah
Tahanan Negara sebagai suatu penegak hukum akan sangat ditentukan dengan
kualitas pelayanannya yang ada dalam Rumah Tahanan Negara tersebut.
(2) Dalam hal narapidana atau anak didik pemasyarakatan ada keluhan
kesehtan, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya di LAPAS wajib
melakukan pemeriksaan.
11
Kedua, pelayanan khusus. Pelayanan khusus kesehatan ini
berkaitan dengan saran dan prasarana bagi narapidana yang memiliki riwayat
kesehatan khusus seperti penyakit menular yang memerlukan penanganan
secara spesifik dan profesional. Jenis penyakit tersebut seperto TBC,
HIV/AIDS, gangguan jiwa, dan wanita hamil/melahirkan. Dalam
penyelengaraan kesehatannya, lapas secara khusus memiliki kerjasama dengan
lembaga kesehatan atau dinas kesehatan setempat. Hal tersebut juga sudah
dijamin oleh PP No. 32 tahun 1999 pada pasal (17) yakni :
12
5. Kesehatan pengungsi
Pengungsi yang kita tahu adalah korban dari bencana yang mengalami
trauma dan kesehatan mentalnya terganggu. Bila dikaji berdasarkan dimensi
kesehatan mental, maka hal yang pertama adalah terpenuhinya adequate feeling of
security (rasa aman yang memadai). Pengungsi akibat terjadinya bencana alam,
perang, ataupun krisis dan konflik negara harus merasakan rasa aman setelah
bencana itu terjadi. Hilangnya perasaan aman akan membuat tekanan yang ada
dalam diri pengungsi. Terlebih dengan terjadinya bencana, maka muncul ancaman
kehilangan pekerjaan, kehidupan sosial dan keluarga pun menjadi terancam.
Pemenuhan rasa aman bagi pengungsi dapat dilakukan dengan cara memberi
jaminan pemenuhan kebutuhan hidup, dukungan mengenai pekerjaan, ataupun
informasi mengenai bagaimana keadaan keluarganya.
Kedua adalah adequateself evaluation (kemampuan menilai diri sendiri
yang memadai). Pengungsi membutuhkan perasaan bahwa mereka masih
mempunyai potensi untuk bisa mengubah keadaan hidup mereka yang diakibatkan
karena terjadinya bencana. Perasaan seperti ini akan mengurangi rasa bersalah dan
tertekan yang dialami oleh pengungsi. Pengungsi anak-anak juga harus diberikan
dorongan agar bisa membangkitkan semangat untuk mengembangkan potensi
dalam diri mereka melalui kegiatan positif untuk menghilangkan trauma akibat
kejadian saat bencana terjadi.
13
Keempat adalah efficient contact with reality (mempunyai kontak yang
efisien dengan realitas). Pengungsi juga harus terhindar dari fantasi atau
berhalusinasi tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan realita. Hal itu bisa
menyebabkan pengungsi tidak bisa menerima kenyataan yang ada (fakta) yang
terjadi pada dirinya, sehingga akan merasakan perasaan kecewa, merasa gagal
serta tidak berharga.
14
Kedelapan adalah adequate of life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar).
Pengungsi baik itu dewasa dan anak-anak harus samasama mempunyai tujuan
dalam hidup mereka. Tujuan hidup ini berguna agar mereka bisa menata
bagaimana kehidupan mereka selanjutnya. Tujuan ini harus juga disesuaikan
dengan keadaan dari pengungsi, tujuan yang terlalu berlebihan akan membuat
pengungsi menjadi stress karena tidak bisa mencapai tujuannya tersebut.
15
dan trauma dari pengungsi. Untuk itu, diperlukan bantuan dan dukungan dari para
praktisi yang bergeran di bidang pengananan pengungsi dan yang berkecimpung
dalam penanganan kesehatan mental. Salah satunya adalah profesi pekerjaan
sosial yang dapat turut berperan serta menangani para pengungsi agar terhindar
dari gangguan kesehatan mental.
Adapun peran yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial dalam hal ini
adalah:
1. Advokasi
Dalam melakukan advokasi, pekerja sosial dapat melakukan upaya
perlindungan dan mewakili kepentingan para pengungsi dalam melakukan
koordinasi dengan pihakpihak terkait (terutama dengan pihak Pemerintah)
agar hak-hak dari para pengungsi dan kebutuhan dasar mereka dapat
terpenuhi dengan layak. Selain itu Pekerja sosial juga dapat mengadvokasi
agar para pengungsi dapat tetap memperoleh kehidupan yang layak yang
diberikan oleh negara dan pihak-pihal lainnya secara lebih luas.
2. Fasilitator
Sebagai fasilitator, pekerja sosial dapat membantu para pengungsi dalam
berhubungan dengan sistem sumber yang berkompeten guna memenuhi
kebutuhan mereka. Sistem sumber yang dimaksud adalah sumber terhadap
pemenuhan kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan pangan, sandang dan
pangan. Selaian itu juga sistem sumber untuk akses pekerjaan dan pendidikan
serta sistem sumber terkait bantuan lainnya. Terutama yang bisa dilakukan
oleh lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah.
16
macam kebutuhan maupun sistem sumber yang diharapkan dapat membantu
mereka.
4. Partisipasi
Pekerja sosial dapat melibatkan para pengungsi dalam kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan di kamp pengungsian, seperti dapur umum, membangun fasilitas
umum atau perbaikan sanitasi lingkungan dan menciptakan beberapa kegiatan
baru, misalnya dengan menyelenggarakan latihan keterampilan yang
sederhana, melibatkan para orang tua untuk ikut mendirikan dan mengajar di
sekolah tenda dan sebagainya. Kegiatan ini bertujuan agar pengungsi dapat
mengalihkan berbagai macam perasaan negatifnya seperti rasa cemas, rasa
takut dan lain sebagainya menjadi perasaan yang lebih positif dengan
mengikuti berbagai macam kegiatan yang sifatnya gotong royong dan
konstruktif.
6. Kesehatan Bencana
17
syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat
menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan
menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan
kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala akibat
fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis Obat serta alat kesehatan,
terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat
menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat
Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan,
18
dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan pelayanan kesehatan
dan psikososial.
Identifikasi kelompok rentan pada situasi bencana menjadi salah satu hal
yang penting untuk dilakukan. Penilaian cepat kesehatan (rapid health
assessment) paska gempa bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul, misalnya,
dapat memetakan kelompok rentan serta masalah kesehatan dan risiko penyakit
akibat bencana. Penilaian cepat yang dilakukan pada tanggal 15 Juni 2006 di
lima kecamatan terpilih di wilayah Kabupaten Bantul (Pleret, Banguntapan,
Jetis, Pundong dan Sewon) ini meliputi aspek keadaan umum dan lingkungan,
derajat kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan Kesehatan. Hasil penilaian
cepat terkait dengan kelompok rentan beserta permasalahan kesehatan yang
dihadapi adalah sebagaimana terlihat. Permasalahan kecukupan gizi dijumpai
pada kelompok penduduk rentan balita dan ibu hamil, sedangkan kondisi fisik
yang memerlukan perhatian terutama dijumpai pada kelompok rentan ibu baru
melahirkan, korban cedera, serta penduduk yang berada dalam kondisi tidak
sehat.
Tidak hanya fasilitas kesehatan yang rusak, bencana alam tidak jarang
juga menimbulkan dampak langsung pada masyarakat di suatu wilayah yang
menjadi korban. Pada kasus gempa Bantul 2006, sebagian besar (81,8 persen)
rumah penduduk hancur, bahkan tidak ada rumah yang tidak rusak meskipun
hanya rusak ringan (3,1 persen). Selain itu, 70,4 persen penduduk masih
19
mengandalkan sumber air bersih dari sumur, namun ada sebagian kecil (4,8
persen) penduduk dengan kualitas fisik sumur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan. Masih banyak masyarakat yang mengobati dirinya sendiri di rumah
(30,2 persen) atau bahkan mendiamkan saja luka yang diderita (6,6 persen).
Ketersediaan cadangan bahan makanan pokok masih bisa mencukupi
kebutuhan keluarga untuk 14 hari, sedangkan bahan makanan Iain masih bisa
mencukupi untuk kebutuhan selama satu minggu, kecuali buah-buahan (3 hari).
Hampir dua minggu paskagempa, sudah banyak lingkungan responden yang
telah mendapatkan bantuan kesehatan dari berbagai instansi atau LSM, namun
bantuan pengasapan (fogging) untuk mengurangi populasi nyamuk baru 47,6
persen, penyemprotan (spraying) untuk membunuh bibit penyakit berbahaya
baru 20 persen, dan upaya pengolahan air hanya 21 persen.
20
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang
perlu mendapatkan perhatian, khususnya pada bencana yang berdampak kepada
masyarakat dalam waktu relatif lama. Studi Hapsari dkk (2009) mengidentiftasi
temuan menarik berkaitan dengan kebutuhan pelayanan keluarga berencana (KB)
paskabencana gempa bumi di Bantul (Yogyakarta) pada tahun 2006. Satu tahun
paskagempa, mereka yang menggunakan alat KB suntik dan implant cenderung
menurun, sebaliknya mereka yang menggunakan pil KB dan metode pantang berkala
cenderung meningkat. Studi ini juga menunjukkan bahwa prevalensi kehamilan tidak
direncanakan lebih tinggi dijumpai pada mereka yang sulit mengakses pelayanan KB
dibandingkan mereka yang tidak mengalami kendala. Oleh karena itu, peran penting
petugas kesehatan diperlukan, tidak hanya untuk memberikan pelayanan KB pada
situasi bencana, tetapi juga untuk mengedukasi pasangan untuk mencegah kejadian
kehamilan yang tidak direncanakan.
21
standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan
mitigasi bencana).
22
Terpenuhinya kebutuhan papan dan sandang bagi korban bencana dan pengungsi
sesuai standar minimal.
23
Prabencana Saat Bencana Paskabencana
24
pelayanan kesehatan penanggulangan lebih spesifik.
pengungsi.
25
upaya-upaya apa saja yang perlu dilakukan berbagai pihak terkait untuk
memulihkan sistem kesehatan di wilayah Kabupaten Bantul .
26
mengetahui kebutuhan bahan makanan pada tahap penyelamatan dan
merencanakan tahapan surveilans berikutnya. Selain itu, pengelolaan bantuan
pangan perlu melibatkan wakil masyarakat korban bencana, termasuk kaum
perempuan, untuk memastikan kebutuhankebutuhan dasar korban bencana
terpenuhi.
a. persediaan air harus cukup minimal 15 liter per orang per hari,
b. jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter,
satu kran air untuk 80-100 orang,
d. jamban berjarak tidak lebih dari 50 meter dari pemukian atau tempat
pengungsian,
e. bak atau lubang sampah keluarga berjarak tidak lebih dari 15 meter
dan lubang sampah umum berjarak tidak lebih dari 100 meter dari
pemukiman atau tempat pengungsian,
g. tidak ada genangan air, air hujan, luapan air atau banjir di sekitar
pemukiman atau tempat pengungsian.
27
sanitasi serta pelayanan kesehatan. Dalam peraturan tersebut, disebutkan
bahwa bantuan pelayanan kesehatan diberikan dalam bentuk: 1). pelayanan
kesehatan umum, meliputi pelayanan kesehatan dasar dan klinis; 2).
pengendalian penyakit menular, meliputi pencegahan umum, campak,
diagnosis dan pengelolaan kasus, kesiapsiagaan kejadian luar biasa (KLB),
deteksi KLB, penyelidikan dan tanggap serta HIV/AIDS; serta 3).
pengendalian penyakit tidak menular, meliputi cedera, kesehatan reproduksi,
aspek kejiwaan dan sosial kesehatan serta penyakit laonis. Bentuk-bentuk
pelayanan kesehatan tersebut dilengkapi dengan standar minimal bantuan
yang harus dipenuhi dalam situasi bencana alam.
28
DAFTAR PUSTAKA
Hasnah, & Alang, S. (2019). Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender (Lgbt)
Versus Kesehata: Studi Etnografi. Jurnal Kesehatan, 12(1), 63–72.
https://doi.org/10.24252/kesehatan.v12i1.9219
Santoso, M. B., Zaenuddin, M., Krisnani, H., & Assidiq, R. A. (2018). Dimensi
Kesehatan Mental Pada Pengungsi Akibat Bencana. Prosiding Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(1), 23.
https://doi.org/10.24198/jppm.v5i1.16022
29