PNEUMONIA
Di Susun Oleh :
LULU SANDRIANA PUTRI
433131420120145
Transportasi O2 terganggu
Hipertermi Suhu tubuh meningkat
Risiko Hipovolemia
Risiko Defisit Nutrisi Refluk fagal
Mual, muntah
Patofisiologi:
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari anak
sampai usia lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan
gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan
tubuhnya , adalah yang paling berisiko. Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan
hidup normal pada tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun,
misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan
dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru. Kerusakan jaringan
paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak disebabkan oleh reaksi
imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang
dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung
merusak sel-sel system pernapasan bawah. Pneumonia bakterialis menimbulkan
respon imun dan peradangan yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian
jaringan dari lobus paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari
lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi
terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling
umum sebagai penyebab pneumonia (Sipahutar, 2007).
Proses pneumonia mempengaruhi ventilasi. Setelah agen penyebab
mencapai alveoli, reaksi inflamasi akan terjadi dan mengakibatkan ektravasasi
cairan serosa ke dalam alveoli. Adanya eksudat tersebut memberikan media bagi
pertumbuhan bakteri. Membran kapiler alveoli menjadi tersumbat sehingga
menghambat aliran oksigen ke dalam perialveolar kapiler di bagian paru yang
terkena dan akhirnya terjadi hipoksemia (Engram 1998).
Setelah mencapai alveoli, maka pneumokokus menimbulkan respon yang
khas terdiri dari empat tahap yang berurutan (Price, 2005):
a. Kongesti (24 jam pertama): merupakan stadium pertama, eksudat yang kaya
protein keluar masuk ke dalam alveolar melalui pembuluh darah yang
berdilatasi dan bocor, disertai kongesti vena. Paru menjadi berat, edematosa
dan berwarna merah.
b. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): terjadi pada stadium kedua, yang
berakhir setelah beberapa hari. Ditemukan akumulasi yang masif dalam ruang
alveolar, bersama-sama dengan limfosit dan magkrofag. Banyak sel darah
merah juga dikeluarkan dari kapiler yang meregang. Pleura yang menutupi
diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak berwarna kemerahan, padat
tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati yang masih segar dan
bergranula (hepatisasi = seperti hepar).
c. Hepatisasi kelabu (3-8 hari): Pada stadium ketiga menunjukkan akumulasi
fibrin yang berlanjut disertai penghancuran sel darah putih dan sel darah
merah. Paru-paru tampak kelabu coklat dan padat karena leukosit dan fibrin
mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
d. Resolusi (8-11 hari): Pada stadium keempat ini, eksudat mengalami lisis dan
direabsorbsi oleh makrofag dan pencernaan kotoran inflamasi, dengan
mempertahankan arsitektur dinding alveolus di bawahnya, sehingga jaringan
kembali pada strukturnya semula. (Underwood, 2000).
4. Pemeriksaan Diagnostic
a. Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis pneumonia.
Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi dengan air
bronchogram, penyebaran bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas.
Radiologi (foto toraks), terindikasi adanya penyebaran (misal: lobus dan
bronkial), dapat juga menunjukkan multipel abses/infiltrat, empiema
(staphilokokus), penyebaran atau lokasi infiltrat (bakterial), atau
penyebaran/extensive nodul infiltrat (sering kali viral), pda pneumonia
mycoplasma foto toraks mungkin bersih.
b. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul, Leukosit
polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula
ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan LED
meningkat.
c. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur darah untuk
mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan koagulasi antigen
polisakarida pneumokokkus.
d. Analisa Gas Darah
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus, tekanan
parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut
menunjukkan asidosis respiratorik.
5. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena
hal itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:
a. Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.
b. Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
c. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia
mikroplasma.
d. Menganjurkan untuk tirah baring sampai infeksi menunjukkan tanda-tanda
e. Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.
f. Bila terjadi gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup.
(Roudelph, 2007)
6. Komplikasi
a. Sianosis: warna kulit dan membran mukosa kebiruan atau pucat karena
kandungan oksigen yang rendah dalam darah.
b. Hipoksemia: penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah, kadang-kadang
khusus sebagai kurang dari yang, tanpa spesifikasi lebih lanjut, akan mencakup
baik konsentrasi oksigen terlarut dan oksigen yang terikat pada hemoglobin
c. Bronkaltasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebaran
bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis
dan muskular dinding bronkus.
d. Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang
diserang tidak mengandung udara dan kolaps). Terjadi akibat penumpukan
secret.
e. Meningitis: terjadi karena adanya infeksi dari cairan yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang.
(Elizabeth, 2009)
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Data dasar pengkajian pasien:
a. Pengkajian Primer
1) Circulation
a) Akral dingin
b) Adanya sianosis perifer
2) Airway
a) Terdapat sekret di jalan napas (sumbatan jalan napas)
b) Bunyi napas ronchi
3) Breathing
a) Distress pernapasan: pernapasan cuping hidung
b) Menggunakan otot-otot asesoris pernapasan, pernafasan cuping hidung
c) Kesulitan bernapas: lapar udara, diaporesis, dan sianosis
d) Pernafasan cepat dan dangkal
4) Dissability
Pada kondisi yang berat dapat terjadi asidosis metabolic sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran
5) Exposure
b. Pengkajian Sekunder
1) Wawancara
a) Klien
Dilakukan dengan menanyakan identitas klien yaitu nama, tanggal lahir,
usia. Serta dengan menanyakan riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan
sekarang, riwayat tumbuh kembang serta riwayat sosial klien
b) Anamnese
Klien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, dan sesak nafas.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada semua kelompok umur, akan dijumpai adanya napas cuping hidung.
Pada auskultasi, dapat terdengar pernapasan menurun. Gejala lain adalah dull
(redup) pada perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas menurun, dan
terdengar fine crackles (ronkhi basah halus) didaerah yang terkena. Iritasi
pleura akan mengakibatkan nyeri dada, bila berat dada menurun waktu
inspirasi.
Pemeriksaan berfokus pada bagian thorak yang mana dilakukan dengan
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dan didapatkan hasil sebagai berikut:
a) Inspeksi: Perlu diperhatikan adanya takipnea, dispnea, sianosis sirkumoral,
pernapasan cuping hidung, distensis abdomen, batuk semula nonproduktif
menjadi produktif, serta nyeri dada saat menarik napas.
b) Palpasi: Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membeasar,
fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin
mengalami peningkatan (tachichardia)
c) Perkusi: Suara redup pada sisi yang sakit
d) Auskultasi: Dengan stetoskop, akan terdengar suara nafas berkurang,
ronkhi halus pada sisi yang sakit, dan ronkhi basah pada masa resolusi.
Pernapasan bronkial, egotomi, bronkofoni, kadang-kadang terdengar
bising gesek pleura.
3) Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen thoraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia. Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi
tambahan, misalnya efusi pleura. Foto thoraks tidak dapat membedakan antara
pneumonia bakteri dari pneumonia virus. Gambaran radiologis yang klasik
dapat dibedalan menjadi tiga macam yaitu ; konsolidasi lobar atau segmental
disertai adanya air bronchogram, biasanya disebabkan infeksi akibat
pneumococcus atau bakteri lain. Pneumonia intersitisial biasanya karena virus
atau Mycoplasma, gambaran berupa corakan bronchovaskular bertambah,
peribronchal cuffing dan overaeriation; bila berat terjadi pachyconsolidation
karena atelektasis. Gambaran pneumonia karena S aureus dan bakteri lain
biasanya menunjukkan gambaran bilateral yang diffus, corakan peribronchial
yang bertambah, dan tampak infiltrat halus sampai ke perifer.
Staphylococcus pneumonia juga sering dihubungkan dengan
pneumatocelle dan efusi pleural (empiema), sedangkan Mycoplasma akan
memberi gambaran berupa infiltrat retikular atau retikulonodular yang
terlokalisir di satu lobus. Ketepatan perkiraan etiologi dari gambaran foto
thoraks masih dipertanyakan namun para ahli sepakat adanya infiltrat alveolar
menunjukan penyebab bakteri sehingga pasien perlu diberi antibiotika. Hasil
pemeriksaan leukosit > 15.000/μl dengan dominasi netrofil sering didapatkan
pada pneumonia bakteri, dapat pula karena penyebab non bakteri. Laju endap
darah (LED) dan C reaktif protein juga menunjukkan gambaran tidak khas.
Trombositopeni bisa didapatkan pada 90% penderita pneumonia dengan
empiema (Kittredge, 2000). Pemeriksaan sputum kurang berguna. Biakan
darah jarang positif pada 3 – 11% saja, tetapi untuk Pneumococcus dan H.
Influienzae kemungkinan positif 25 –95%. Rapid test untuk deteksi antigen
bakteri mempunyai spesifitas dan sensitifitas rendah.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas (mis.
nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan).
c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (mis. infeksi).
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (mis.
inflamasi)/
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi Keperawatan
No Keperawatan Keperawatan Indonesia Indonesia (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1. Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif (I.01006)
efektif intervensi keperawatan Observasi
Definisi: selama 1 x 2 jam maka □ Identifikasi kemampuan batuk
Ketidakmampuan Bersihan Jalan Napas □ Monitor adanya retensi sputum
membersihkan secret serta (L.01001) Meningkat, □ Monitor tanda dan gejala
obstruksi jalan napas untuk dengan kriteria hasil: infeksi saluran pernapasan
mempertahankan jalan napas □ Batuk efektif □ Monitor input dan output
tetap paten. meningkat (5) cairan (mis. jumlah dan
□ Produksi sputum karakteristik)
Penyebab menurun (5) a. Terapeutik
Fisiologis: □ Mengi menurun (5) □ Atur posisi semifowler atau
1. Spasme jalan napas □ Wheezing menurun (5) fowler
2. Hipersekresi jalan napas □ Mekonium (pada □ Pasang perlak dan bengkok di
3. Disfungsi neuromuskuler neonatus) menurun (5) pangkuan pasien
4. Benda asing dalam jalan □ Dispnea menurun (5) □ Buang secret pada tempat
napas sputum
□ Ortopnea menurun (5)
5. Adanya jalan napas buatan Edukasi
□ Sulit bicara
6. Sekresi yang tertahan □ Jelaskan tujuan dan prosedur
menurubn. (5)
7. Hiperplasia dinding jalan batuk efektif
□ Sianosis menurun (5)
napas □ Anjurkan tarik napas dalam
□ Gelisah menurun (5)
8. Proses infeksi melalui hidung selama 4 detik,
□ Frekuensi napas
9. Respon alergi ditahan selama 2 detik,
membaik (5)
10. Efek agen farmakologis kemudian kelurkan darimulut
□ Pola napas membaik
(mis. anastesi) dengan bibir mencucu
(5)
Situasional (dibulatkan) selama 8 detik
1. Merokok aktif
2. Merokok pasif □ Anjurkan mengulangi tarik
3. Terpajan polutan napas dalam hingga 3 kali
Gejala dan Tanda Mayor □ Anjurkan batuk dengan kuat
Subjektif (tidak tersedia) langsung setelah tarik napas
Objektif: dalam yang ke-3
b. Batuk tidak efektif c. Kolaborasi
c. Tidak mampu batuk □ Kolaborasi pemberian
d. Sputum berlebih mukolitik atau ekspektoran,
e. Mengi, wheezing dan/atau jika perlu
ronkhi kering Manajemen Jalan Napas (I.14509)
f. Mekonium jalan napas Observasi
(pada neonatus) □ Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
Gejala dan Tanda Minor □ Monitor bunyi napas tambahan
Subjektif: (mis. gurgling, mengi,
1. Dispnea wheezing, ronkhi kering)
2. Sulit bicara □ Monitor sputum (jumlah,
3. Ortopnea warna, aroma)
Objektif: Terapeutik
1. Gelisah □ Pertahankan kepatenan jalan
2. Sianosis napas dengan head-tilt dan
3. Bunyi napas menurun chin-lift (jaw-thrust jika
4. Frekuensi napas berubah dicurigai trauma servikal)
5. Pola napas berubah □ Posisikan semi-fowler atau
fowler
□ Berikan minum hangat
□ Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
□ Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik
□ Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
□ Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep McGill
□ Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
□ Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari, jika tidak
kotraindikasi
□ Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
□ Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
1. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi yang
dibuat.
2. Evaluasi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. 2009. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,
Vol. 1. Jakarta: EGC
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Depkes RI. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta
Gallo & Hudak. 2010. Keperawatan Kritis, edisi VI. Jakarta: EGC
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik
Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Pricee, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2006. Infeksi Pada Parenkim Paru:
Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit volume 2 edisi 6.
Jakarta: EGC