Anda di halaman 1dari 4

PENYIMPANGAN KODE ETIK JAKSA OLEH JAKSA PINANGKI

BAB I

PENDAHULUAN

Kode etik adalah sebuah sistem norma, nilai dan juga aturan profesional secara tertulis juga
dengan tegas menyatakan yang baik dan benar, serta apa yang tidak benar dan juga tidak baik
untuk profesional. Selain itu, definisi dari kode etik yakni ialah suatu pola aturan, cara-cara,
tanda, pedoman etis dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan dan pedoman dalam berperilaku.

Tujuan kode etik, yaitu profesional dalam memberikan jasa dengan sebaik-baiknya kepada para
pengguna ataupun para nasabahnya. Dengan adanya kode etik dapat melindungi dari perbuatan
yang tidak profesional. Selain itu, ketaatan dari tenaga profesional terhadap kode etik yang ada
yakni ialah sebuah ketaatan yang naluriah, yang memang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan
juga perilaku dari tenaga profesional tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Permasalahan Tentang Penyimpangan Kode Etik Jaksa

Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H. menjadi sosok Jaksa Agung Muda yang menorehkan tinta
kusam terhadap dunia hukum-peradilan Indonesia. Jaksa Pinangki adalah tersangka dalam kasus
penyuapan uang 500 ribu dolar AS, sekitar Rp 7,3 miliar ( kurs Rp 14.633 ) dari buronan Bank
Bali Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa bebas di Mahkamah Agung melalui Kejaksaan
Agung. Bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra berdasarkan
putusan Peninjauan Kembali No 12 tertanggal 11 Juni 2009 tidak dieksekusi sehingga Djoko
Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman. Uang suap tersebut, Pinangki
gunakan untuk membayar sewa dua apartemen miliknya, perawatan kesehatan, perawatan
kecantikan di Amerika Serikat, sewa apartemen di Amerika Serikat, dan membeli mobil BMW
X5.
B. Analisis

Dalam kasus diatas jelas telah terjadi pelanggaran kode etik profesi jaksa dimana jaksa Pinangki
didakwa menerima uang US$500 ribu dari Djoko Tjandra. Uang itu dimaksudkan untuk
membantu pengurusan fatwa Mahkamah Agung melalui Kejagung agar pidana penjara yang
dijatuhkan ke Djoko Tjandra selama dua tahun tidak dapat dieksekusi. Uang US$500 ribu itu
merupakan fee dari US$1 juta yang dijanjikan Djoko Tjandra, uang itu diterima Pinangki melalui
Andi Irfan Jaya. Dari jumlah itu, sebesar US$50 ribu diberikan kepada pengacara Djoko, yaitu
Anita Kolopaking. Dalam UU Kejaksaan yang baru menyangkut wewenang kejaksaan diatur
dalam Pasal 30 ayat (1)mdinyatakan bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang:

a. Melaksanakan penuntutan.

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana


pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.

d. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksananya dikoordinasikan dengan penyidik.

Sementara itu, kejaksaan selain mempunyai tugas di bidang perdata dan tata usaha negara. Hal
ini sesuai ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan bahwa di
bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di
dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Kemudian dalam
bidang ketertiban umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan Pasal 30 ayat (3):

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum

c. Pengawasan peredaran barang cetakan.

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.

e. Pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama.


Dalam kode etik jaksa Pasal 10 ayat 2, dinyatakan bahwa dimana jaksa bersumpah untuk setia
kepada negara dengan cara menjunjung tinggi dan menegakkan hukum yang ada di Indonesia.
Dalam penyimpangan kode etik jaksa oleh jaksa Pinangki, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan
Agung menjerat Pinangki dengan tiga dakwaan dengan Pasal gratifikasi, Pasal Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU), dan Pasal Pemufakatan Jahat.

Pasal gratifikasi:

Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No.20/2001, berbunyi; setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No.20/2001, berbunyi; ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada KPK.

Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU):

Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena Tindak Pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal Pemufakatan Jahat:

Pasal 88 KUHP, menyebutkan “Dikatakan ada pemufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih
telah sepakat akan melakukan kejahatan.” Sementara Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor
disebutkan “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
BAB III

PENUTUP

Dalam penyimpangan kode etik jaksa oleh jaksa Pinangki, dimana Pinangki menggunakan
kewenangannya untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain, yang mana telah melanggar
kode etik jaksa. Padahal jelas-jelas dalam kode etik jaksa Pasal 10 ayat 2, dimana jaksa
bersumpah untuk setia kepada negara dengan cara menjunjung tinggi dan menegakkan hukum
yang ada di Indonesia. Itu sangat disayangkan ketika ada jaksa yang melanggar kode etik jaksa
yang seharusnya dia tahu sebagai orang hukum bahwa hukum dibuat untuk dipatuhi bukan untuk
dilanggar.

Anda mungkin juga menyukai