Anda di halaman 1dari 17

KELOMPOK 4

ETHICAL, ENVIRONMENTAL AND SOCIAL ENTREPRENEURSHIP


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan, Koperasi dan
UMKM
Dosen Pengampu :
Lili Bariadi, S.Ag., M.Si

Disusun Oleh :

Liya Amaliyah
NIM. 11210530000056

Muhammad Rafiq
NIM. 11210530000066

Muhammad Syahid Alfatah


NIM. 11210530000068

Nur Annisa Salsabila


NIM. 11210530000070

Kelas 4B
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2023
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................3

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..........................................................................................................................4

A. Latar Belakang......................................................................................................................4

BAB II.............................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.............................................................................................................................5

A. Definisi Etika Kewirausahaan..............................................................................................5

B. Kewirausahaan dan Organisasi Kriminal.............................................................................6

C. Etika dalam Persilangan Budaya Bisnis...............................................................................8

D. Kewirausahaan Sosial...........................................................................................................9

E. Ecopreneurs........................................................................................................................11

F. Kewirausahaan di Kalangan Masyarakat Kurang Beruntung.............................................12

BAB III.........................................................................................................................................16

PENUTUP....................................................................................................................................16

A. Kesimpulan.........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................17
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sejarah Retorika” ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Kewirausahaan, Koperasi dan UMKM. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Lili Bariadi, S.Ag., M.Si selaku dosen mata
kuliah Kewirausahaan, Koperasi dan UMKM yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Mei 2023

Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kewirausahaan adalah kegiatan bisnis atau usaha yang bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan. Kewirausahaan pada dasarnya merupakan suatu disiplin ilmu yang
mempelajari nilai-nilai, keterampilan, dan perilaku manusia dalam menghadapi cobaan
hidup untuk memperoleh peluang dengan siap menanggung berbagai resiko.

Salah satu aspek yang sangat populer dalam dunia bisnis dan membutuhkan perhatian
adalah norma dan etika bisnis. Etika bisnis selain dapat menjamin kepercayaan dan
loyalitas semua faktor yang mempengaruhi perusahaan, juga menentukan kemajuan atau
kemunduran perusahaan tersebut.

Etika bisnis sangat penting untuk menjaga loyalitas pemangku kepentingan dalam
pengambilan keputusan dan memecahkan berbagai permasalahan perusahaan. Karena
semua keputusan perusahaan sangat dipengaruhi oleh para pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan yang dimaksud adalah semua individu atau kelompok yang
memiliki kepentingan dan mempengaruhi keputusan perusahaan itu.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Etika Kewirausahaan

Pengusaha sosial adalah orang yang sangat etis, tetapi tidak semua pengusaha dapat
dikatakan sebagai pengusaha yang etis. Di kawasan Asia-Pasifik, wirausahawan sosial
dan bisnis sering menghadapi korupsi dan kejahatan korporasi. Etika bisnis tentu bukan
topik baru bagi dunia ini. Etika telah menonjol dalam pemikiran filosofis setidaknya
sejak zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Sekitar 560 SM, pemikir Yunani Chilon berpendapat bahwa lebih baik bagi seorang
wirausaha untuk menerima kerugian yang jujur daripada mendapatkan keuntungan yang
tidak jujur. Hal itu karena kehilangan mungkin menyakitkan sesaat, tetapi ketidakjujuran
menyakitkan selamanya, dan itu masih nasihat yang yang sampai sekarang masih terus
diingat.1 (7)

Dalam arti luas, etika memberikan aturan tentang bagaimana masyarakat melakukan
aktivitas apapun dengan cara yang 'dapat diterima'.2 "Etika menentukan kode perilaku
tentang apa yang baik dan benar atau apa yang dimiliki dan salah pada waktu tertentu.
Moral adalah nilai yang dipegang oleh seorang individu (atau komunitas moral) dan
menentukan apa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik. Planet ini beroperasi dalam
lingkungan yang semakin dinamis dan berubah sehingga konsensus moral tidak ada". 3
Pengusaha dihadapkan oleh pemegang saham, pelanggan, manajer, masyarakat,
pemerintah, karyawan, kelompok kepentingan swasta, serikat pekerja, rekan kerja dan
sebagainya. Nilai, adat istiadat, dan norma sosial selalu berfluktuasi. Definisi etika dalam
lingkungan yang berubah dengan cepat harus lebih didasarkan pada proses daripada kode
statis.

1
Vernon R. LoucksJr, ‘A CEO Looks at Etics’, Business Horizons, (March/April 1987) h.2
2
Verne E. Henderson, ‘The Ethical Side of Enterprise’, Sloan Management Review, 23 (3), 1982, h.40
3
Richard Evans, ‘Business Ethics and Changes in Society’, Journal of Business Ethics, 10, 1991, h.871-6
Menurut Faisal Badroen (2006) Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti
kebiasaan (costum) atau karakter (character). Etika dapat didefinisikan sebagai suatu
studi mengenai sesuatu yang benar dan salah serta pilihan moral yang dapat dilakukan
seseorang. Keputusan etika merupakan suatu hal yang benar mengenai perilaku standar.
Etika bisnis kadang-kadang disebut pula etika manajemen, yaitu penerapan standar moral
kedalam kegiatan bisnis. WF Schoell menyatakan bahwa “Business Ethics is a system of
‘oughts’ a collection of principles and rules of conduct based on beliefs about what is
right and wrong business behavior. Behavior that conforms to these principles is ethical”
(Schoell dalam Alma 2011).

Menurut Kasmir (2008) etika adalah tata cara berhubungan dengan manusia lainnya. Tata
cara pada masing-masing masyarakat tidaklah sama dan beragam bentuk. Hal ini
disebabkan beragamnya budaya kehidupan masyarakat yang berasal dari berbagai
wilayah. Tata cara ini diperlukan dalam berbagai sendi kehidupan manusia agar terbina
hubungan harmonis, saling menghargai satu sama lainnya.

Etika pada dasarnya adalah kewajiban untuk melakukan apa yang benar dan menghindari
apa yang salah. Etika bisnis adalah kode etik perilaku seorang aktor berdasarkan nilai
dan standar moral, yang berfungsi sebagai panduan untuk pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah. Etika bisnis sangat penting untuk menjaga loyalitas pemangku
kepentingan dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah organisasi. Etika
bisnis dapat diartikan sebagai cara, kebiasaan, dan aturan yang biasa diterapkan dalam
lingkungan bisnis. Oleh karena itu satu seorang wirausaha harus memiliki :

1. Budi pekerti yang baik.


2. Rasa sopan santun di dalam segi kegiatan kewirausahaan.
3. Takrama di dalam segala tindakan dan perbuatan waktu berwirausaha.
4. Memiliki tanggung jawab pada usahanya.
5. Bersikap jujur dan benar sesuai dengan profesi usahanya.

B. Kewirausahaan dan Organisasi Kriminal

Saat membahas sisi gelap kewirausahaan, kita mungkin menyebutkan pengusaha kriminal
yang sebenarnya adalah kejahatan itu sendiri. Bayangkan harus menjalankan perusahaan
rintisan dan pertumbuhan kriminal dalam lanskap yang selalu bermusuhan.4 Mosell
menyebutnya “manajemen sumber daya manusia di Cosa Nostra.5 Bolton dan Thompson
memiliki bab yang menarik tentang penjahat seperti Al Capone”. Sebuah studi tentang
pengusaha narkoba menunjukkan bahwa mereka dibentuk oleh pergeseran struktur
peluang.6 Keanekaragamannya berkisar dari rokok boot-legging, melalui penanam ganja
hidroponik, hingga mucikari dan prostitusi. Orang-orang ini harus menjadi manajer risiko
dan manajer informasi. Mereka adalah pembangun organisasi yang berorientasi pada
masa depan. Seperti pengusaha bisnis, mereka terus-menerus mengerjakan tepian atau
margin. Sine qua non lainnya untuk setiap pengusaha kriminal adalah keterampilan
manajemen informasinya. Seperti yang mereka katakan, untuk pengusaha 'know-who'
sama pentingnya dengan know-how. Banyak pengusaha kriminal sangat berorientasi pada
keluarga. Pengusaha kriminal adalah pemimpin dengan visi dan mendelegasikan kepada
rekanan yang dipercayainya. Apakah terlibat dalam kejahatan kecil seperti Martha
Stewart, penggelapan skala besar seperti Michael Milken, skema Penzi seperti Bernard
Madoff, atau kejahatan terorganisir seperti Gambino, pengusaha kriminal memiliki satu
kesamaan, mereka mencuri dari orang yang tidak bersalah.

Konsep kewirausahaan kriminal yang dikemukakan oleh para sarjana seperti Hobbs
(1988) dan Baumol (1990) sekarang diterima dengan baik di kalangan penelitian
kriminologis dan kewirausahaan, meskipun masih harus dikembangkan secara teoritis
dan konseptual untuk menjadikannya utilitas dalam istilah praktis. Istilah pengusaha
kriminal itu sendiri menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Kewirausahaan kriminal sering dikaitkan dengan konsep Kriminalitas Kerah Putih”


(Sutherland, 1940). Namun demikian, dari perspektif praktis istilah penjahat kerah putih
juga memiliki kegunaan yang terbatas. Selanjutnya, kewirausahaan kriminal sering
digabungkan dengan konsep kejahatan korporasi dan terorganisir.

4
PetrusC. Van Duyne, ‘Mobsters are Human Too: Behavioural Science and Organised Crime Investigation’,
Chrime, Law, and Social Change, 34 (4), 2000, h.369-90
5
Carlo Moselli, ‘Career Opportunities and Network-Based Privileges in the Cosa Nostra’, Chrime, Law, and Social
Change, 39 (4), 2003, h.383
6
H. Friman, ‘Informal Economies, Immigrant Entrepreneurship and Drug Crime in Japan’, Journal of Ethnic
&Migration Studies, I27 (2), 2001, h.313-33
Pengusaha legal adalah orang yang mengoperasikan perusahaan atau usaha baru dan
bertanggung jawab atas risiko yang melekat. Tugas pengusaha kriminal serupa tetapi
mereka harus menemukan dan mengeksploitasi peluang dalam situasi di mana ada
keuntungan yang bisa didapat dari aktivitas kriminal. Penemuan peluang adalah tentang
barang dan jasa berharga yang ada pasarnya (Symeonidou-Kastanidou, 2007). Oleh
karena itu, identifikasi barang dan jasa yang berharga terkait dengan identifikasi pasar
berharga yang mereka layani. Penemuan peluang berkaitan dengan generasi nilai, di
mana wirausahawan menentukan atau memengaruhi serangkaian pilihan sumber daya
yang diperlukan untuk menciptakan nilai. Dengan demikian, pengusaha kriminal
menghadapi tantangan yang sama dengan pengusaha legal. Ketika pengusaha legal
meluncur ke (atau membuat pilihan sadar rasional) menjadi pengusaha kriminal, orang
tersebut cenderung menerapkan teknik netralisasi yang digunakan oleh pelaku untuk
menyangkal dan dengan demikian meniadakan kriminalitas tindakan mereka (Heath,
2008; Siponen dan Vance, 2010 ).

C. Etika dalam Persilangan Budaya Bisnis

Salah satu masalah yang buruk adalah bahwa ada perspektif yang saling bertentangan
tentang bagaimana menjalankan bisnis di dalam dan lintas budaya. Dua posisi ekstrim
adalah etika relativis atau etika absolutis. Relativis mengatakan 'ketika di Roma, lakukan
seperti yang dilakukan orang Romawi. Absolutist berpendapat bahwa nilai-nilai negara
asal harus diterapkan di mana-mana seperti halnya saat di rumah.

Tentu sulit untuk mengajukan pertanyaan, “Berapa banyak yang anda terima atau
bayarkan tahun lalu dalam suap?” Laporan Korupsi Global merupakan evaluasi tahunan
terhadap persepsi korupsi di seluruh dunia, diproduksi oleh Transparency International,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi terkemuka di dunia. Indeks Persepsi
Korupsi berkaitan dengan persepsi tingkat korupsi yang dilihat oleh pelaku bisnis,
akademisi dan analis risiko dan berkisar antara 10 (sangat bersih) dan 0 (sangat korup).

Jelas pengusaha yang berorientasi global akan menghadapi segudang bisnis lingkungan di
Asia-Pasifik, mulai dari Selandia Baru dan Singapura yang relatif bersih hingga korupsi
bisnis yang mengerikan di negara-negara seperti Filipina dan Indonesia. Bahkan
melakukan bisnis di Korea Selatan dapat berarti menjalankan tantangan pejabat rendahan
dan suap sementara pasar besar seperti Cina dapat memerlukan orientasi yang benar-
benar baru untuk menangani korupsi.

Sebagai contoh, ambil suap (penawaran atau penerimaan hadiah, pinjaman, bayaran,
imbalan atau keuntungan lain kepada atau dari siapa pun sebagai bujukan untuk
melakukan sesuatu yang tidak jujur, melanggar hukum atau melanggar kepercayaan,
dalam pelaksanaan bisnis perusahaan).7 Ada peningkatan kesadaran akan risiko yang
ditimbulkan oleh suap, terutama mengingat skandal baru-baru ini dan masyarakat
mengharapkan akuntabilitas yang lebih besar dari sektor bisnis.

D. Kewirausahaan Sosial

Setelah melihat pengusaha kriminal dan ecocidal pengusaha tampaknya bidang


kewirausahaan cukup suram! Untungnya, sekarang kita dapat beralih ke sisi yang lebih
positif dari keragaman kewirausahaan, wirausaha sosial. Dekan London Business School,
Laura Tyson, pernah mendefinisikan wirausaha sosial sebagai seseorang yang didorong
oleh misi sosial, dengan keinginan untuk menemukan cara inovatif untuk memecahkan
masalah sosial yang tidak sedang atau tidak dapat ditangani baik oleh pasar atau sektor
publik. : Bill Drayton, pendiri Ashoka Fellows (jaringan pengusaha sosial) yang berbasis
di AS. membedakan spektrum dengan cara ini:

Profesional berhasil ketika dia telah memecahkan masalah klien. Manajer


menyebutnya berhenti ketika dia telah memungkinkan organisasinya untuk
berhasil. Pengusaha sosial melampaui masalah langsung untuk mengubah
sistem secara mendasar, menyebarkan solusi dan akhirnya membujuk
seluruh masyarakat untuk mengambil lompatan baru. 8

Mengingat pentingnya, sungguh menakjubkan bahwa bidang kewirausahaan sosial hanya


mendapat sedikit perhatian dalam penelitian atau pengajaran.9 Sebagian dari ini berkaitan

7
Transparency International, ‘Business Principles for Countering Bribery’, www.transparency.org.
8
Billl Drayton, ‘Social Entrepreneurs’, The Jobs Letter, 147, 27 June 2001, www.jobsletter.org.nz. See also J.
Gregory Dees, ‘Social Entrepeneurship’, in J. Gregory Dees, Jed Emerson aand Peter Economy (eds), Enterprising
Nonprofits: A Toolkit for Social Entrepreneur, New York: Wiley, 2001. h.1-18
9
www.schwabfound.org/sf/Social Entrepreneurs/profiles/Abouttheorganizationalmodels/index.htm.
dengan kurangnya definisi kewirausahaan yang disepakati dengan fokus sosial dan
sebagian darinya adalah transparansi. Sementara namanya mungkin relatif baru, individu
yang mengadopsi strategi kewirausahaan untuk mengatasi masalah sosial tidak.
Kewirausahaan sosial sudah ada sejak manusia hidup bermasyarakat. Tetapi banyak
orang melihat melalui fenomena dengan cara yang sama seperti orang tidak melihat
budaya mereka sendiri itu secara transparan.

Schwab Foundation telah mencirikan tiga jenis bisnis sosial.

1. Usaha nirlaba yang dimanfaatkan: Pengusaha mendirikan organisasi nirlaba untuk


mendorong adopsi inovasi mengatasi kegagalan pasar atau pemerintah. Dalam
melakukannya, dia melakukan lintas bagian dari masyarakat, termasuk swasta dan
public organisasi serta sukarelawan, untuk mendorong inovasi melalui pengganda
memengaruhi. Organisasi bergantung pada dana dari luar untuk kelangsungan
hidupnya, tetapi lebih lama. keberlanjutan istilah ditingkatkan karena komitmen
dari banyak actor dengan visi dan tujuan organisasi, yang seringkali berakhir
melampaui organisasi itu sendiri. Seiring waktu, wirausahawan pendiri dapat
berubah menjadi boneka, dalam beberapa kasus untuk gerakan yang lebih luas,
karena yang lain memikul tanggung jawab dan kepemimpinan.

2. Usaha nirlaba hibrida: Pengusaha mendirikan usaha nirlaba, tetapi klien, yang
miskin atau terpinggirkan dari masyarakat, pengusaha harus memobilisasi sumber
pendanaan lain dari publik dan/atau sektor filantropis. Dana tersebut bisa dalam
bentuk hibah atau pinjaman, bahkan quasi-equity.

3. Usaha bisnis sosial: Pengusaha mendirikan bisnis untuk mendorong perubahan


transformasional. Sementara keuntungan dihasilkan, tujuan utamanya bukan untuk
memaksimalkan keuntungan finansial bagi pemegang saham tetapi untuk
menumbuhkan usaha sosial dan menjangkau lebih banyak orang yang
membutuhkan secara efektif. Akumulasi kekayaan bukanlah prioritas dan
keuntungan diinvestasikan kembali dalam perusahaan untuk mendanai ekspansi.
Pengusaha mencari investor yang model mencakup beberapa tingkat pemulihan
biaya melalui penjualan barang dan jasa ke berbagai lembaga, publik dan swasta,
serta kelompok populasi sasaran. Namun, untuk dapat mempertahankan kegiatan
transformasi secara penuh dan memenuhi kebutuhan tertarik untuk menggabungkan
keuntungan finansial dan sosial atas investasi mereka.10

Salah satu bagian penting dari kewirausahaan sosial berkaitan dengan hak asasi
manusia. Pengusaha dapat memberikan kekuatan penyeimbang terhadap pelanggar hak
asasi manusia lokal, Organisasi hak asasi manusia telah lama menangani kekhawatiran
tentang bisnis karena mereka tidak kalah pentingnya dengan aktor lain di panggung
dunia.

E. Ecopreneurs

Salah satu ‘kejahatan’ terburuk di dunia adalah pemanasan global. Di masa lalu, beberapa
pengusaha hanya mencoba menyangkal masalah planet ini. Paling buruk, mereka
mengeksploitasi sumber daya yang langka bahkan lebih intensif sehingga mereka bisa
mendapatkan ‘bagian’ sebelum sumber daya tersebut benar-benar musnah. Tentu saja, itu
hanya memperburuk masalah. Untuk mengatasi perilaku ini, pemerintah telah
menerapkan serangkaian peraturan yang semakin memberatkan karena membatasi akses
lingkungan tersebut. Hal ini, pada gilirannya, meningkatkan biaya kepatuhan pada
perusahaan wirausaha, yang mengarah ke spiral golongan bawah yang ganas karena
penolakan bisnis terhadap peraturan menyebabkan lebih banyak tekanan pemerintah,
yang pada gilirannya menciptakan lebih banyak penolakan.

Untungnya bagi kita di abad ke-21, semakin banyak kelompok wirausahawan yang
menyadari bahwa pendekatan ramah lingkungan tidak serta merta menghasilkan laba
yang lebih tinggi. Bahkan, itu dapat menghasilkan keuntungan dalam profitabilitas.
Sebuah perusahaan kewirausahaan dengan memperoleh kompetitif memanfaatkan
seperti :

1. Mengurangi biaya dengan mengurangi hasil polusi dan mengurangi bahan baku yang
mereka gunakan.

10
2. Mendorong loyalitas pelanggan yang lebih besar dengan memenuhi permintaan
barang ramah lingkungan.

3. Menciptakan lingkungan yang diinginkan untuk bekerja, sehingga membuat


perekrutan paskah dan mampu mempertahankan staf terlatih.

Literatur menyoroti peran yang dimainkan individu dan organisasi wirausaha dalam
transformasi menuju keberlanjutan. Istilah ‘ecopreneurship’ adalah kombinasi dari dua
kata yakni ‘ekologis’ dan ‘kewirausahaan’. Seorang pengusaha terkadang berusaha untuk
sukses dengan memanfaatkan peluang pasar terlepas dari konsekuensinya. Hal ini
mungkin terlihat tidak sejalan dengan kebutuhan untuk melestarikan planet ini dan
mencegah kerusakan lingkungan akibat kekuatan pasar. Tetapi seorang ecopreneur
menggabungkan dorongan dan imajinasi yang tak henti-hentinya dari seorang pengusaha
dengan penata layanan seorang konservator.

Ecopreneurship telah menjadi konsep dalam riset bisnis sejak awal 1990-an. Elkington
dan Burke dalam buku mereka The Green Capitalists berpendapat bahwa
“environmentalisme adalah kepentingan jangka panjang terbaik pengusaha sebagai
penipisan sumber daya dan kemacetan transportasi mengurangi keuntungan”.11

Penting bagi argumen kapitalis hijau bahwa :

1. Bisnis dapat menyesuaikan perilakunya


2. Konsumen dapat membuat keputusan pembelian yang ramah lingkungan.

F. Kewirausahaan di Kalangan Masyarakat Kurang Beruntung

Satu lagi cara melihat kewirausahaan yang etis adalah dengan fokus pada wirausahawan
yang berasal dari latar belakang kesulitan atau penderitaan. Apa yang kita maksud
dengan pengusaha yang kurang beruntung/kesulitan? Ada beberapa cara untuk
mendefinisikan kata tersebut. Berikut adalah daftar pengekangan atau hambatan yang
dihadapi orang-orang yang kurang beruntung ketika mereka mempertimbangkan pilihan
wiraswasta nya :

11
John Elkington and T. Burke, The Green Capitalists, Victor Gollancz,(London, 1989)
1. Sosial dan individu
Kekurangan makanan, tempat tinggal atau pakaian, kecacatan, masalah keuangan dan
stres terkait, lingkungan keluarga yang sulit atau tanggung jawab keluarga yang berat,
rendah diri, terjadi masalah literasi, tingkat pendidikan dan kualifikasi formal yang
rendah, kurangnya keterampilan dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaan,
pengalaman negatif pendidikan, masalah psikososial, penyalahgunaan narkoba atau
alcohol, ketidakpuasan atau keterasingan dari sistem demokrasi, dan pencabutan hak
dari demokrasi proses.

2. Geografis
Isolasi pedesaan, lingkungan perkotaan yang kurang beruntung dengan pengangguran
antar generasi, dan kurangnya akses lokal ke pelatihan serta kesempatan pendidikan.

3. Komunitas
Kurangnya pendekatan lokal yang kohesif untuk memungkinkan transisi ke lapangan
kerja, kurangnya jaringan modal sosial dengan mereka yang bekerja, dan defisit
informasi yang berkaitan dengan pelatihan dan kesempatan kerja.

4. Budaya
Hambatan bahasa yang dialami oleh para imigran dan pengungsi, perbedaan budaya
yang dialami para imigran dan pengungsi, pengalaman rasisme di pihak etnis
minoritas, dan pengalaman diskriminasi atas dasar jenis kelamin, ras, usia, agama,
usia, orientasi seksual, kecacatan atau status keluarga.

5. Ekonomi
Sedikit atau tidak ada pekerjaan yang tersedia, kurangnya penyediaan pengasuhan
anak untuk memungkinkan mereka yang memiliki anak bekerja, dan disinsentif untuk
bekerja yang timbul dari sistem kesejahteraan/pajak.

6. Politik dan structural


Kurangnya penyediaan negara untuk layanan dan infrastruktur sosial, kebijakan
pemerintah yang membatasi kelayakan program pelatihan, kurangnya informasi yang
dapat diakses tentang hak dan masalah kewarganegaraan, dan batasan hak untuk
bekerja bagi pencari suaka.
7. Organisasi
Pelatihan organisasi dan pemberi kerja menggunakan rekrutmen terbatas praktik,
organisasi pelatihan yang memiliki kriteria kligibilitas terbatas, pelatihan pendekatan,
tempat dan struktur; pelatihan organisasi kurang dukungan sosial untuk peserta
pelatihan, dan program pelatihan dan pemberi kerja kurang terlibat dengan klien
kelompok.12

Intinya adalah bahwa menjadi kurang beruntung sebenarnya dapat membuat seseorang
menjadi lebih berwirausaha. Misalnya, Scase dan Goffee menyatakan bahwa
“wirausahawan mungkin lebih mungkin muncul dari kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang kekurangan atau terpinggirkan yaitu, kelompok yang didiskriminasi,
dianiaya, dipandang rendah atau dieksploitasi secara luar biasa”. 13 Beberapa penelitian
bahkan melihat pengusaha dalam konteks karakter yang terpinggirkan.Shapero
mengangkat isu pengusaha sebagai orang yang terlantar. 14 Hal ini sesuai dengan apa yang
disebut marginalitas sosial. Teori yang dikemukakan oleh Stanworth dan Curran, yang
menunjukkan bahwa “ketidaksesuaian antara atribut pribadi luar biasa yang dirasakan
individu dan posisi yang dipegang seseorang dalam masyarakat dapat mendorong mereka
untuk menjadi wirausaha.15 Hagen menyarankan bahwa di mana perilaku suatu kelompok
tidak diterima atau di mana kelompok didiskriminasi, maka ketidakseimbangan
psikologis akan terjadi.”16 Ini mungkin mendorong seseorang ke perilaku giat untuk
mengimbangi ketidakseimbangan ini.

Tentu saja, teori-teori ini tidak memperhitungkan semua pengusaha, tetapi merupakan
hipotesis yang menarik untuk berpikir bahwa orang yang kurang beruntung akan lebih
mungkin memulai usaha baru daripada orang lain.

12
Adapted from European Commission , Building the Information Society in Europe: A Pathway Approuch to
Employment Interventions for Disadvantaged Groups, Dublin: Itech Research, 2003, h.29, www.modelsresearch.ie.
13
R. Scase and R. Goffee, The Real World of the Business Owner, London: Croom Helm, 1980, h.29, cited in John
Willsdon, ‘Homosexual Entrepreneurs: Different but the same’ , Irish Journal of Management, 26(1), 2005, h.107-
22
14
A. Shapero, ‘The Displaced, Uncomfortable Entrepreneur’, Phsycology Today, (November1975), h.83-8
15
M.J.K Stanworth and J. Curran, ‘Growth and the Smaller Firm: An Alternative View’, Journal of Management
Studies, 13, 1976, h.95-110
16
E.E Hagen, On the Teory of SocialChange, Homewood, IL: The Dorsey Press, 1962
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika wirausaha merupakan ilmu mengenai bagaimana tata cara seorang pengusaha
dalam berperilaku didalam suatu usahanya tersebut. Bisnis yang beretika akan membawa
dampak baik pada perusahaan. Penerapan etika dalam kegiatan bisnis akan membawa
dampak yang positif bagi kelangsungan suatu bisnis. Dalam dunia bisnis etika memiliki
peran penting bagi perjalanan organisasi bisnis. Bisnis merupakan aktivitas yang
memerlukan tanggung jawab moral dalam pelaksanaannya, sehingga etika dalam praktik
bisnis memiliki hubungan yang erat. Bisnis tanpa etika akan membuat praktik bisnis
menjadi tidak terkendali dan justru merugikan tujuan utama dari bisnis itu sendiri.

Bagi perusahaan jasa memberikan layanan kepada pelanggan adalah tujuan utama untuk
menarik pelanggan dan menawarkan produknya. Menentukan karakteristik pelanggan
dan memberikan pelayanan adalah tugas utama dari setiap pihak internal pada
perusahaan. Kualitas layanan yang diberikan kepada pelanggan(pihak eksternal) sangat
tergantung pada kualitas relasi dan kerjasama pelanggan internal.
DAFTAR PUSTAKA

Howard H. Frederick and Donald F. Kuratko, Entreepreneurship: Theory, Process, Practice 2 nd


Asia-Pacific Edition (Sydney :Cengage Learning, 2010)

GOTTSCHALK, P. and SMITH, R. 2011. Criminal Entrepreneurship, White-Collar criminality,


and naturalization theory. Journal of Enterprising Communities, People and Places in the GlobaL
Economy 5 (4), pp. 300-308 (ISSN 1750-6204)

Anda mungkin juga menyukai