PENGERTIAN 3
ASMAUL HUSNA 17
SIFAT-SIFAT ALLAH 25
َصفَاتِ ِه َوَأ ْف َعالِ ِه َأ َحبَّهُ الَ َم َحالَة ْ َمنْ َع َرفَ هللاَ بَِأ
ِ س َماِئ ِه َو
“Barang siapa yang mengenal Allah melalui nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-
perbuatan-Nya, pasti dia akan mencintai-Nya!”
“Allah” adalah nama untuk Dzat Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada yang memiliki nama tersebut
selain Dia. Lafal “Allah” berasal dari tashrif ٌُألُوْ ِهيَّة-ٌِإالَهَة-ٌُألُوْ هَة-ُيَْألَه-َ َألِه. Selanjutnya, ٌ( ِإالَهَةIlahah)
bemakna ( المألوهAl-Ma’luh), sedangkan ( المألوهAl-Ma’luh) bermakna 7( المغبودAl-Ma’bud), yaitu
yang disembah karena rasa cinta dan pengagungan.
Para ulama berbeda pendapat tentang asal lafal “Allah”; apakah lafal tersebut adalah isim jamid
(bentuk tunggal/berdiri sendiri) atau isim musytaq (bentuk turunan).
Pendapat pertama: lafal jalalah ‘Allah’ merupakan isim jamid. Alasannya, kondisi
musytaq (penurunan bentuk kata) mengharuskan isim tersebut memiliki penyusun
sebelumnya, padahal nama Allah itu qadim (paling awal). Sesuatu yang qadim tidaklah
memiliki unsur. Hal ini sebagaimana seluruh nama yang hanya sekadar nama namun tak
memiliki hubungan dengan akar katanya. Contoh: seseorang bernama Nashir, namun
belum tentu dia suka menolong; seseorang bernama Mahmud, namun belum tentu
perangainya terpuji; seseorang bernama Syuja’, namun belum tentu dia pemberani.
Pendapat kedua: lafal jalalah ‘Allah’ merupakan isim musytaq. Dalilnya adalah firman
Allah,
“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang
kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu
usahakan.” (Q.s. Al-An’am: 3)
Terkait makna lafal jalalah ‘Allah’, Ibnu ‘Abbas radhiallhu ‘anhuma menyebutkan,
Yang rajih dalam hal ini adalah pendapat bahwa lafal jalalah ‘Allah’ adalah isim musytaq.
(Penjelasan ini terdapat dalam Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad Khalil
Harash dan Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin)
Ar-Rabb: Al-Murabbi (pemelihara) seluruh jagad raya beserta isinya. Segala sesuatu selain Allah
adalah makhluk bagi-Nya. Dia melengkapi kehidupan makhluk-Nya dengan segala sarana dan
prasarana. Dia curahkan nikmat berlimpah kepada mereka. Seandainya seluruh nikmat itu
lenyap, niscaya makhluk-Nya tak ‘kan mampu bertahan hidup. Apa pun nikmat yang dirasakan
(oleh setiap makhluk) maka itu datang hanya dari Allah. (Taisir Karimir Rahman)
Yang mendapat keistimewaan hak uluhiyyah hanya Dzat yang memiliki sifat rububiyyah.
Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu mencipta jagad raya, seluruh makhluk hidup,
gunung, laut, pohon, dan makhluk lainnya. Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu
menurunkan hujan, mendatangkan kemarau berkepanjangan, menimpakan paceklik,
mengguncangkan bumi dengan gempa, dan meluapkan air laut. Yang berhak disembah hanya
Dzat yang mampu menerbitkan matahari di timur dan menenggelamkannya di barat.
Mustahil seseorang adalah tuhan sedangkan dirinya saja diciptakan. Tidak mungkin seseorang
adalah tuhan jika dia tak mampu mendatangkan manfaat meski bagi dirinya sendiri. Tidak
mungkin seseorang adalah tuhan jika dia sendiri tak bisa menyelamatkan dirinya dari bahaya.
Tidak mungkin seseorang adalah tuhan jika dia tak bisa mengubah kondisi jagad raya dan isinya
sekehendak dirinya.
Mari kita lihat kisah dua manusia biasa yang mengklaim dirinya sebagai tuhan. Sebuah klaim
tanpa bukti nyata!
آج ِإ ْب َرا ِهي َم فِي ِربِّ ِه َأنْ آتَاهُ هّللا ُ ا ْل ُم ْل َك ِإ ْذ قَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم َربِّ َي الَّ ِذي يُ ْحيِـي َويُ ِميتُ قَا َل َأنَا ُأ ْحيِـي َوُأ ِميتُ قَا َل
َّ َألَ ْم تَ َر ِإلَى الَّ ِذي َح
َب فَبُ ِهتَ الَّ ِذي َكفَ َر َوهّللا ُ الَ يَ ْه ِدي ا ْلقَ ْو َم الظَّالِ ِمين ِ ق فَْأ
ِ ت بِ َها ِمنَ ا ْل َم ْغ ِر ِ ش ِر ْ س ِمنَ ا ْل َمِ ش ْم َّ ِإ ْب َرا ِهي ُم فَِإنَّ هّللا َ يَْأتِي ِبال
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)
karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata, ‘Saya
dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan
matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ maka terdiamlah orang kafir itu; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (Q.s. Al-Baqarah: 258)
Ternyata, maksud Namrud: dia mampu membiarkan seseorang tetap hidup dan dia mampu
membunuhnya (mematikannya) jika dia ingin. Padahal yang dimaksud Nabi Ibrahim adalah
kemampuan menciptakan makhluk hidup (dari tidak bernyawa menjadi bernyawa) dan
mematikannya (dari bernyawa menjadi tidak bernyawa). Tampak sekali bahwa Namrud tak
paham hakikat “menghidupkan dan mematikan”.
Untuk membungkam kesombongan Namrud, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menggunakan hujjah
lain. Beliau menantang Namrud untuk menerbitkan matahari dari barat. Namrud tak memiliki
sifat rububiyyah, maka bagaimana mungkin dia mampu mengubah letak matahari?
Akhirnya Namrud kalah telak. Betapa bodoh dan celakanya Namrud! (Penjelasan ini bisa
disimak di Taisir Karimir Rahman)
Inilah kisah Fir’aun. Si kafir yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, padahal dia sama sekali tak
memiliki sifat rububiyyah. Ketika laut yang dibelah oleh Allah akhirnya tertutup kembali, dia tak
dapat menyelamatkan dirinya maupun bala tentaranya!
Fir’aun mengklaim sifat rubbubiyah pada dirinya padahal sifat itu tidak ada padanya.
“Dia (Fir’aun) mengatakan: Saya Rab kalian yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)
Ini terjadi ketika dia merasa sangat nyaman ketika disembah, kemudian kesombongannya
bertambah. Akhirnya semakin parah dan mengaku sebagai Rab, yang artinya sang pemberi
kehidupan bagi rakyatnya. Sehingga fir’aun mengklaim hak uluhiyah dan sekaligus sifat
rububiyah. Sebagian ahli tafsir mengatakan, pengakuannya sebagai Rab dilakukan 40 tahun
setelah dia minta disembah (mengaku sesembahan). Di awal kekuasaannya, fir’aun minta
disembah, empat puluh tahun berikutnya, dia mengaku sang pemberi kehidupan mesir. (Aisar
Tafasir, untuk ayat di atas).
ص ْرحا ً لَّ َعلِّي َأطَّلِ ُع ِإلَى ِإلَ ِه ِ َِّوقَا َل فِ ْرع َْونُ يَا َأيُّ َها ا ْل َمُأَل َما َعلِ ْمتُ لَ ُكم ِّمنْ ِإلَ ٍه َغ ْي ِري فََأ ْوقِ ْد لِي يَا هَا َمانُ َعلَى الط
ْ َين ف
َ اج َعل لِّي
َسى َوِإنِّي َأَلظُنُّهُ ِمنَ ا ْل َكا ِذبِين َ ُمو
“Dan Fir’aun berkata, ‘Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain
aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan
yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar
yakin bahwa dia termasuk pendusta.’” (Q.s. Al-Qashash: 38)
َق َوظَنُّوا َأنَّ ُه ْم ِإلَ ْينَا اَل يُ ْر َجعُون ِ ستَ ْكبَ َر ُه َو َو ُجنُو ُدهُ ِفي اَأْل ْر
ِّ ض بِ َغ ْي ِر ا ْل َح ْ َوا
“Dan berlaku angkuhlah Fir’aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar
dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (Q.s. Al-
Qashash: 39)
َفََأ َخ ْذنَاهُ َو ُجنُو َدهُ فَنَبَ ْذنَا ُه ْم ِفي ا ْليَ ِّم فَانظُ ْر َكيْفَ َكانَ عَاقِبَةُ الظَّالِ ِمين
“Maka Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut.
Maka lihatlah akibat yang dirasakan oleh orang-orang zalim.” (Q.s. Al-Qashash: 40)
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala
tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). hingga bila Fir’aun itu telah
hampir tenggelam berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).’” (Q.s. Yunus: 90)
Demikianlah dua orang kafir dari kalangan kaum terdahulu. Sungguh ini adalah kisah nyata,
bukan dongeng atau hikayat khayalan. Tidak menutup kemungkinan masih ada juga orang yang
minta dipertuhankan di masa ini.
Hendaknya orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. Sungguh, hanya Allah Ar-Rabb Al-
Ilah. Tiada tandingan bagi-Nya!
Pandangan Imam Ali as Tentang Allah SWT
Ali bin Abi Thalib ketika menetapkan dan membuktikan keberadaan Allah swt berkata, ‘Segala
puji syukur hanyalah milik Allah yang menunjukkan keberadaannya dengan ciptaan-Nya,
penciptaan makhluk menunjukkan keazalian-Nya dan kesalahan yang makhluk-Nya perbuat
menunjukkan bahwa tidak ada yang menyerupai-Nya. Ia berkata, ‘Aku heran kepada orang yang
ragu dengan Allah sementara ia melihat ciptaan-Nya bahkan bagi akal ditampakkan kepada kita
tanda-tanda pengaturan yang rapi dan kepastian yang tidak berubah.
Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya, ‘Apakah engkau melihat Tuhanmu? Ali menjawab,
‘Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat? Kemudian beliau melanjutkan,
‘Allah tidak dapat dilihat dengan mata panca indera akan tetapi hati yang melihatnya dengan
hakikat iman. Allah lebih agung dari penetapan pengaturannya dengan hati.
Dalam doanya yang terkenal dengan nama doa Shabah beliau berkata, ‘Wahai Zat yang
menunjukkan diri-Nya dengan Zat-Nya. Zat yang suci dari penyerupaan dengan makhluk-Nya.
Zat yang lebih mulia dari kesamaan dengan makhluknya dalam kualitas. Wahai Zat yang lebih
dekat dari persangkaan yang terbetik dalam benak seseorang dan lebih jauh dari sekelebatan
pandangan dan mengetahui sesuatu yang belum terjadi.
Ali bin Abi Thalib memuat khotbah-khotbahnya dengan pengertian-pengertian yang tinggi yang
diambil dari ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan kekuatan ilahiah; langit dan bumi. Beliau
menjelaskan dengan panjang lebar bagaikan ilmuwan yang tahu betul apa yang diucapkannya. Ia
menjelaskan dengan detil ayat-ayat kekuasaan Allah yang membuat siapa yang mendengarnya
akan bertambah keimanan, kekhusyukan dan ketundukkannya kepada Allah swt. Karena begitu
mendengar ucapan Ali seseorang dapat merasakan langsung apa yang dibicarakannya.
Sebagaimana Ali berkata, ‘Demi Allah! Seandainya disingkap segala penutup dari diriku aku
tidak akan bertambah yakin’.
Ali bin Abi Thalib memberikan penggambaran yang detil tentang sifat-sifat Allah yang membuat
para filsuf menjadikan ucapan-ucapannya sebagai bahan kajian yang dapat membuka
pembahasan lebih luas. Tanpa ucapan-ucapan Ali pembahasan sifat ilahi para pembahas dapat
tersesat karena ucapan beliau bersumber dari hidayah rabbani.
Beliau berkata, ‘Kesempurnaan tauhid dan pengesaan Allah adalah ikhlas kepada-Nya.
Kesempurnaan keikhlasan kepada Allah swt adalah menafikan sifat dari-Nya. Hal itu
dikarenakan setiap sifat pasti bukan zat yang disifati dan setiap zat yang disifati pasti bukan sifat.
Oleh karenanya, barang siapa yang menyifati Allah swt berarti ia telah menjadikan teman bagi-
Nya. Dan barang siapa yang berpikir bahwa Allah memiliki teman itu berarti ia telah
menduakan-Nya. Barang siapa yang menduakan-Nya berarti ia telah membagi-Nya. Dan barang
siapa yang membagi-Nya berarti ia tidak mengerti tentang-Nya. Dan barang siapa yang tidak
mengetahui-Nya berarti ia telah menunjukkan-Nya. Barang siapa yang menunjuki-Nya berarti ia
telah membatasi-Nya. Dan barang siapa yang membatasi-Nya berarti telah menganggap-Nya
berbilang. Allah ada tanpa diciptakan, wujud-Nya tidak diperoleh setelah sebelumnya tidak ada.
Allah senantiasa bersama dengan segala sesuatu tapi tidak menemani mereka dan tidak bersama
segala sesuatu tapi tidak sirna.
Ali bin Abi Thalib berargumentasi tentang keesaan Allah dengan ucapannya, ‘Ketahuilah wahai
anakku, Seandainya Allah memiliki sekutu niscaya utusannya telah mendatangimu dan engkau
akan melihat bekas-bekas kerajaan dan kekuasannya. Ketahuilah wahai anakku, tidak ada
seseorang pun yang memberikan kabar berita tentang Allah swt sebagaimana kabar berita yang
dibawakan oleh Rasulullah saw maka relakanlah ia menjadi penuntunmu’.
Ali bin Abi Thalib memerikan keadilan Allah swt dengan ucapannya, ‘Keadilan membuat Allah
tidak berbuat kezaliman kepada hamba-Nya dan berbuat keadilan terhadap semua makhluk-Nya.
Allah berbuat keadilan kepada semua makhluk-Nya dalam hukum dan menghukumi segala
sesuatunya dengan keadilan. Ali kebudian berkata, ‘Sesungguhnya Allah tidak
memerintahkanmu kecuali ada kebaikan dibaliknya dan tidak akan melarangmu kecuali ada
kejelekan dibalik larangannya. Hukum-Nya satu tidak pilih kasih baik untuk penghuni langit atau
bumi. Allah tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga karena perbuatan yang
membuatnya seharusnya berada di neraka’.
Berikut ini saya ketengahkan beberapa pertanyaan yang biasa anak-anak tanyakan pada orang
tuanya:
Jawablah :
“Nak, Allah itu Yang Menciptakan segala-galanya. Langit, bumi, laut, sungai, batu, kucing,
cicak, kodok, burung, semuanya, termasuk menciptakan nenek, kakek, ayah, ibu, juga kamu.”
(Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
“Bentuk Allah itu seperti anu ..ini..atau itu….” karena jawaban seperti itu pasti salah dan
menyesatkan.
Jawablah begini :
“Adek tahu ‘kan, bentuk sungai, batu, kucing, kambing,..semuanya.. nah, bentuk Allah itu tidak
sama dengan apa pun yang pernah kamu lihat. Sebut saja bentuk apa pun, bentuk Allah itu tidak
sama dengan apa yang akan kamu sebutkan.” (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil
tersenyum manis)
ۖ
( صي ُر َ ض َج َع َل لَ ُكم ِّم ۡن َأنفُ ِس ُكمۡ َأ ۡز َوٲ ۬ ًجا َو ِمنَ ٱَأۡل ۡن َع ٰـ ِم َأ ۡز َوٲ ۬ ًج ۖا يَ ۡذ َرُؤ ُكمۡ فِي ِۚه لَ ۡي
ِ َس َك ِم ۡثلِ ِهۦ َش ۡى ۬ ٌء َوهُ َو ٱل َّس ِمي ُع ۡٱلب ِۚ ت َوٱَأۡل ۡر ِ َف
ِ اط ُر ٱل َّس َم ٰـ َوٲ
)١١
[Dia] Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-
pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan [pula], dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Asy-Syura:11)
Karena Allah itu gaib, artinya barang atau sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Jawaban bahwa Allah itu gaib (semata), jelas bertentangan dengan ayat berikut ini.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir; Yang Zahir dan Yang Batin ; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu. [Al-Hadid (57) : 3]
Dikhawatirkan, imajinasi anak yang masih polos akan mempersamakan gaibnya Allah dengan
hantu, jin, malaikat, bahkan peri dalam cerita dongeng. Bahwa dalam ilmu Tauhid dinyatakan
bahwa Allah itu nyata senyata-nyatanya; lebih nyata daripada yang nyata, sudah tidak
terbantahkan.
Apalagi jika kita menggunakan diksi (pilihan kata) “barang” dan “sesuatu” yang ditujukan pada
Allah. Bukankah sudah jelas dalil Surat Asy-Syura di atas bahwa Allah itu laysa kamitslihi
syai’un; Allah itu bukan sesuatu; tidak sama dengan sesuatu; melainkan Pencipta segala sesuatu.
Meskipun segala sesuatu berasal dari Zat-Sifat-Asma (Nama)-dan Af’al (Perbuatan) Allah, tetapi
Diri Pribadi Allah itu tidak ber-Zat, tidak ber-Sifat, tidak ber-Asma, tidak ber-Af’al. Diri Pribadi
Allah itu tidak ada yang tahu, bahkan Nabi Muhammad Saw. sekali pun. Hanya Allah yang tahu
Diri Pribadi-Nya Sendiri dan tidak akan terungkap sampai akhir zaman di dunia dan di akhirat.
[Muhammad melihat Jibril] ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu Yang Meliputinya.
Penglihatannya [Muhammad] tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak [pula]
melampaui-Nya. (Q.S. An-Najm: 16-17) {ini tafsir dari seorang arif billah, bukan dari saya
pribadi. Allahua’lam}
Jawablah begini :
Bisa kita jawab dengan balik bertanya padanya (sambil melatih adik comel berpikir retoris )
“Adik bisakah nampak matahari yang terang itu langsung? Tidak ‘kan..karena mata kita bisa jadi
buta. Nah,melihat matahari aja kita tak sanggup. Jadi,Bagimana kita mau melihat Pencipta
matahari itu. Iya ‘kan?!”
Atau bisa juga beri jawaban :
Adek, lihat langit yang luas dan ‘besar’ itu ‘kan? Yang kita lihat itu baru secuil dari bentuk langit
yang sebenarnya. Adek gak bisa lihat ujung langit ‘kan?! Nah, kita juga gak bisa melihat Allah
karena Allah itu Pencipta langit yang besar dan luas tadi. Itulah maksud kata Allahu Akbar
waktu kita salat. Allah Mahabesar.
Bisa juga dengan simulasi sederhana seperti pernah saya ungkap di postingan “Melihat Tuhan”.
Silakan hadapkan bawah telapak tangan Adek ke arah wajah. Bisa terlihat garis-garis tangan
Adek ‘kan? Nah, kini dekatkan tangan sedekat-dekatnya ke mata Adek. Masih terlihat jelaskah
jemari Sobat setelah itu?
Kesimpulannya, kita tidak bisa melihat Allah karena Allah itu Mahabesar dan teramat dekat
dengan kita. Meskipun demikian, tetapkan Allah itu ADA. “Dekat tidak bersekutu, jauh tidak
ber-antara.”
Dia bersemayam di atas ’Arsy. <— Ayat ini adalah ayat mutasyabihat, yaitu ayat yang wajib
dibelokkan tafsirnya. Kalau dalam pelajaran bahasa Indonesia, kita mengenal makna denotatif
dan konotatif, nah.. ayat mutasyabihat ini tergolong makna yang konotatif.
Dikhawatirkan anak akan otomatis berpikiran Allah itu banyak dan terbagi-bagi, seperti para
freemason atau politeis Yunani Kuno.
Jawablah begini :
“Nak, Allah itu dekat dengan kita. Allah itu selalu ada di hati setiap orang yang saleh, termasuk
di hati kamu, Sayang. Jadi, Allah selalu ada bersamamu di mana pun kamu berada.”
“Qalbun mukmin baitullah”, ‘Hati seorang mukmin itu istana Allah.” (Hadis)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya
Aku adalah dekat. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 186)
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 115)
Allah sering lho bicara sama kita.. misalnya, kalau kamu teringat untuk bantu Ibu dan Ayah,
tidak berantem sama kakak, adek atau teman, tidak malas belajar, tidak susah disuruh
makan,..nah, itulah bisikan Allah untukmu, Sayang.” (Ucapkan dengan menatap mata anak
sambil tersenyum manis)
Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Q.S.
Al-Baqarah: 213)
“Karena kalau kamu tidak menyembah Allah, kamu akan dimasukkan ke neraka. Kalau kamu
menyembah Allah, kamu akan dimasukkan ke surga.”
Jawaban seperti ini akan membentuk paradigma (pola pikir) pamrih dalam beribadah kepada
Allah bahkan menjadi benih syirik halus (khafi). Hal ini juga yang menyebabkan banyak orang
menjadi ateis karena menurut akal mereka,”Masak sama Allah kayak dagang aja! Yang namanya
Allah itu berarti butuh penyembahan! Allah kayak anak kecil aja, kalau diturutin maunya, surga;
kalau gak diturutin, neraka!!”
Jawablah begini :
“Nak, kita menyembah Allah sebagai wujud bersyukur karena Allah telah memberikan banyak
kebaikan dan kemudahan buat kita. Contohnya, Adek sekarang bisa bernapas menghirup udara
bebas, gratis lagi.. kalau mesti bayar, ‘kan Ayah sama Ibu gak akan bisa bayar. Di sungai banyak
ikan yang bisa kita pancing untuk makan, atau untuk dijadikan ikan hias di akuarium. Semua
untuk kesenangan kita.
Kalau Adek gak nyembah Allah, Adek yang rugi, bukan Allah. Misalnya, kalau Adek gak nurut
sama ibu-bapak guru di sekolah, Adek sendiri yang rugi, nilai Adek jadi jelek. Isi rapor jadi
kebakaran semua. Ibu-bapak guru tetap saja guru, biar pun kamu dan teman-temanmu gak nurut
sama ibu-bapak guru. (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam.
(Q.S. Al-Ankabut: 6)
“Adek mulai sekarang harus belajar cinta sama Allah, lebih daripada cinta sama Ayah-Ibu, ya?!
(Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
“Kenapa, Bu ?”
Karena suatu hari Ayah sama Ibu bisa meninggal dunia, sedangkan Allah tidak pernah mati.
Nah, kalau suatu hari Ayah atau Ibu meninggal, kamu tidak boleh merasa kesepian karena Allah
selalu ada untuk kamu. Nanti, Allah juga akan mendatangkan orang-orang baik yang sayang
sama Adek seperti sayangnya Ayah sama Ibu. Misalnya, Paman, Bibi, atau para tetangga yang
baik hati, juga teman-temanmu.”
Dan mulai sekarang rajin-rajin belajar Iqra supaya nanti bisa mengaji Quran. Mengaji Quran
artinya kita berbicara sama Allah. (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum
manis).
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222).
Maka derajat apa yang lebih tinggi dari pada mendapatkan kasih sayang Rabb semesta alam.
Dalam menceritakan tentang ibadurrahman yang Allah SWT berikan kemuliaan dengan
menisbahkan mereka kepada-Nya, serta menjanjikan bagi mereka surga, di dalamnya mereka
mendapatkan ucapan selamat dan mereka kekal di sana, serta mendapatkan tempat yang baik.
Firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan)dosa(nya)." (QS. Al Furqaan: 68-70.).
Keutamaan apalagi yang lebih besar dari pada orang yang bertaubat itu mendapatkan ampunan
dari Allah SWT , hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan?
Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya bagi orang-orang
yang bertaubat. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-
Zumar: 53)
Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan
melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun. Seperti
sabda Rasulullah Saw:
"Jika kalian melakukan kesalahan-kesalahan (dosa) hingga kesalahan kalian itu sampai ke langit,
kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan memberikan taubat kepada kalian." (Hadist
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, dan ia menghukumkannya sebagai hadits hasan
dalam kitab sahih Jami' Shagir - 5235)
Di antara keutamaan orang-orang yang bertaubat adalah: Allah SWT menugaskan para malaikat
muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdo'a kepada Allah SWT agar Allah SWT
menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga. Dan
menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan
para malaikat sibuk dengan mereka di langit. Allah SWT berfirman:
"(Malaikat-malaikat) yang memikul 'arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih
memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala
sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau
dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan
masukkanlah mereka kedalam surga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-
orang yang saleh di antara bapak -bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka
semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah
mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara
dari(pembalasan?)kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat
kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (QS.Ghaafir: 7-9).
Terdapat banyak ayat dalam Al Qur'an yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang
yang melakukan taubat jika taubat mereka tulus, dengan banyak redaksi. Dengan berdalil pada
kemurahan karunia Allah SWT, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak merasa sempit dengan
perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun kemaksiatan mereka telah demikian besar.
"Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? ." (QS.
At-Taubah: 104)
"Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-
kesalahan." (QS. Asy-Syuuraa: 25)
Dan dalam menyipati Dzat Allah SWT: "Yang mengampuni dosa dan menerima taubat." (QS.
Ghaafir: 3)
Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang
bertaubat dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah SWT dalam masalah pria
dan wanita yang mencuri:
"Maka barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan
itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah
Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maaidah: 39)
"Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang
berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS. Al An'aam: 54)
Puja-puji terhadap Allah SWT dengan nama-Nya "at-Tawwab" (Maha Penerima Taubat)
terdapat dalam al Quran sebanyak sebelas tempat. Seperti dalam do'a Ibrahim dan Isma'il a.s.:
"Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha
Penyayang." (QS. Al Baqarah: 128).
Juga seperti dalan sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak sapi:
"Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu, dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah
lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima
taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang ." (QS. Al
Baqarah: 54)
"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon
ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 64)
ASMA’UL HUSNA
Asma'ul husna secara harfiah adalah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung
sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu
kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah. Para ulama menekankan
bahwa Allah adalah sebuah nama kepada Dzat yang pasti ada namanya. Semua nilai kebenaran
mutlak hanya ada (dan bergantung) pada-Nya. Dengan demikian, Allah Yang Memiliki Maha
Tinggi. Tapi juga Allah Yang Memiliki Maha Dekat. Allah Memiliki Maha Kuasa dan
juga Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat-sifat Allah dijelaskan dengan
istilah Asmaaul Husna, yaitu nama-nama, sebutan atau gelar yang baik.
Asma’ul husna ini sendiri apabila kita mengamalakan atau sering membacanya maka asma’ul
husna ini seperti kita berdo’a kepada Allah dengan memohon sesuatu kepada Allah arena kita
yakin dan percaya tak ada suatu Dzat lainpun yang kita untuk memohon selain kepada Allah.
Misalnya kita menyebut Ar-rahman ( Maha Pengasih) dalam kehidupan kita sehari-hari maka
insya Allah apa yang kita lakukan selalu diberi pertolongoan oleh Allah. Contoh lain adalah
apabila kita menyebut Al-ghaffar ( Maha Pengampun) maka insya Allah dosa yang pernah kita
perbuat akan dihapuskan dengan catatan kita menyebut nama Allah ini dengan hati yang bersih
dan ikhlas serta dalam keadaan yang suci. Seperti dua contoh nama Allah yang dijabarkan di
atas, semua nama-nama Allah yang saya jelaskan di bawah ini memiliki keutamaan-keutamaan
pada setiap kedudukannya masing-masing. Namun, dengan catatan kita menyebut nama-nama
Allah tersebut dalam hati yang ikhlas, keadaan suci, benar-benar berserah diri, dan benar-benar
kita membutuhkan pertolongan dari Allah. Berikut saya menjelaskan Asma’ul Husna atau nama-
nama Allah yang baik :
2. Ar-Rahim: ( ) الرحيمMaha Penyayang, iaitu pemberi kenikmatan yang di luar jangkaan dan
penyayang di akhirat.
4. Al-Quddus: ( ) القدوسMaha Suci, iaitu tersuci dan bersih dari segala cela dan kekurangan.
6. Al-Mu’min: ( ) المؤمنMaha Pengaman / Pemelihara keamanan, iaitu siapa yang bersalah dan
makhlukNya itu benar-benar akan diberi seksa, sedang kepada yang taat akan benar-benar
dipenuhi janjiNya dengan pahala yang baik.
7. Al-Muhaimin: ( ) المحيمنMaha Pelindung/Penjaga / Maha Pengawal serta Pengawas, iaitu
memerintah dan melindungi segala sesuatu.
8. Al-’Aziiz: ( ) العزيزMaha Mulia / Maha Berkuasa, iaitu kuasaNya mampu untuk berbuat
sekehendakNya
10. Al-Mutakabbir: ( ) المتكبرMaha Megah / Maha Pelengkap Kebesaran. iaitu yang melengkapi
segala kebesaranNya, menyendiri dengan sifat keagungan dan kemegahanNya.
11. Al-Khaaliq: ( ) الخالقMaha Pencipta, iaitu mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga
yang menakdirkan adanya semua itu.
12. Al-Baari’: ( ) البارئMaha Pembuat / Maha Perancang / Maha Menjadikan, iaitu mengadakan
sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.
14. Al-Ghaffaar: ( ) الغفارMaha Pengampun, banyak pemberian maafNya dan menutupi dosa-
dosa dan kesalahan.
17. Ar-Razzaaq: ( ) الرزاقMaha Pengrezeki / Maha Pemberi Rezeki, iaitu memberi berbagai
rezeki serta membuat juga sebab-sebab diperolehnya.
19. Al-’Aliim: ( ) العليمMaha Mengetahui, iaitu mengetahui segala yang maujud dan tidak ada
satu benda pun yang tertutup oleh penglihatanNya.
20. Al-Qaabidh: ( ) القابضMaha Pencabut / Maha Penyempit Hidup / Maha Pengekang, iaitu
mengambil nyawa atau menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki olehNya.
21. Al-Baasith: ( ) الباسطMaha Meluaskan / Maha Pelapang Hidup / Maha Melimpah Nikmat,
iaitu memudahkan terkumpulnya rezeki bagi siapa yang diinginkan olehNya.
23. Ar-Raafi’: ( ) الرافعMaha Mengangkat / Maha Peninggi, iaitu terhadap orang yang selayaknya
diangkat kedudukannya kerana usahanya yang giat, iaitu termasuk golongan kaum yang
bertaqwa.
25. Al-Muzil: ( ) المذلMaha Menghina / Pemberi kehinaan, iaitu kepada musuh-musuhNya dan
musuh ummat Islam seluruhnya.
28. Al-Hakam: ( ) الحكمMaha Menghukum / Maha Mengadili, iaitu sebagai hakim yang
menetapkan / memutuskan yang tidak seorang pun dapat menolak keputusanNya, juga tidak
seorang pun yang berkuasa merintangi kelangsungan hukumNya itu.
29. Al-’Adl: ( ) العدلMaha Adil. Serta sangat sempurna dalam keadilanNya itu.
30. Al-Lathiif: ( ) اللطيفMaha Menghalusi / Maha Teliti / Maha Lembut serta Halus, iaitu
mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, pelik-pelik dan kecil-kecil.
32. Al-Haliim: ( ) الحليمMaha Penyabar / Maha Penyantun / Maha Penghamba, iaitu yang tidak
tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula gelojoh memberikan siksaan.
33. Al-’Adzhiim: ( ) العظيمMaha Agung, iaitu mencapai puncak tertinggi dan di mercu keagungan
kerana bersifat dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempunnaan.
36. Al-’Aliy: ( ) العليMaha Tinggi Martabat-Nya / Maha Tinggi serta Mulia, iaitu mencapai tingkat
yang setinggi-tingginya yang tidak mungkin digambarkan oleh akal fikiran sesiapa pun dan tidak
dapat difahami oleh otak yang bagaimanapun pandainya.
37. Al-Kabiir: ( ) الكبيرMaha Besar, yang kebesaranNya tidak dapat dicapai oleh pancaindera
ataupun akal manusia.
38. Al-Hafidz: ( ) الحفيظMaha Pemelihara Maha Pelindung / Maha Memelihara, iaitu menjaga
segala sesuatu jangan sampai rosak dan goyah. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-
hambaNya, sehingga tidak akan disia-siakan sedikit pun untuk memberikan balasanNya.
39. Al-Muqiit: ( ) المقيتMaha Pemberi kecukupan/ Maha Pemberi Keperluan , baik yang berupa
makanan tubuh ataupun makanan rohani.
41. Al-Jaliil: ( ) الجليلMaha Luhur, iaitu yang memiliki sifat-sifat keluhuran kerana kesempurnaan
sifat-sifatNya.
42. Al-Kariim: ( ) الكريمMaha Pemurah, iaitu mulia tanpa had dan memberi siapa pun tanpa
diminta atau sebagai penggantian dan sesuatu pemberian.
43. Ar-Raqiib: ( ) الركيبMaha Peneliti / Maha Pengawas Maha Waspada, iaitu yang mengamat-
amati gerak-geri segala sesuatu dan mengawasinya.
44. Al-Mujiib: ( ) المجيبMaha Mengabulkan, iaitu yang memenuhi permohonan siapa saja yang
berdoa padaNya.
45. Al-Waasi’: ( ) الواسعMaha Luas Pemberian-Nya , iaitu kerahmatanNya merata kepada segala
yang maujud dan luas pula ilmuNya terhadap segala sesuatu.
47. Al-Waduud: ( ) الودودMaha Pencinta / Maha Menyayangi, iaitu yang menginginkan segala
kebaikan untuk seluruh hambaNya dan juga berbuat baik pada mereka itu dalam segala hal dan
keadaan.
48. Al-Majiid: ( ) المجيدMaha Mulia, iaitu yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan
dan keutamaan.
49. Al-Ba’ithu: ( ) الباعثMaha Membangkitkan, iaitu membangkitkan semangat dan kemahuan,
juga membangkitkan para Rasul dan orang-orang yang telah mati dari kubur masing-masing
nanti setelah tibanya hari Qiamat.
51. Al-Haq: ( ) الحقMaha Haq / Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikit pun.
52. Al-Wakiil: ( ) الوكيلMaha Pentadbir / Maha Berserah / Maha Memelihara penyerahan, yakni
memelihara semua urusan hamba-hambaNya dan apa-apa yang menjadi keperluan mereka itu.
53. Al-Qawiy: ( ) القوىMaha Kuat / Maha Memiliki Kekuatan , iaitu yang memiliki kekuasaan
yang sesempurnanya.
54. Al-Matiin: ( ) المتينMaha Teguh / Maha Kukuh atau Perkasa / Maha Sempurna Kekuatan-
Nya , iaitu memiliki keperkasaan yang sudah sampai di puncaknya.
55. Al-Waliy: ( ) الولىMaha Melindungi, iaitu melindungi serta mengaturkan semua kepentingan
makhlukNya kerana kecintaanNya yang amat sangat dan pemberian pertolonganNya yang tidak
terbatas pada keperluan mereka.
56. Al-Hamiid: ( ) الحميدMaha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh
pujian dan sanjungan.
57. Al-Muhshii: ( ) المحصىMaha Menghitung / Maha Penghitung, iaitu yang tiada satu pun
tertutup dari pandanganNya dan semua amalan diperhitungkan sebagaimana wajarnya.
58. Al-Mubdi’: ( ) المبدئMaha Memulai/Pemula / Maha Pencipta dari Asal, iaitu yang melahirkan
sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum maujud.
60. Al-Muhyii: ( ) المحيMaha Menghidupkan, iaitu memberikan daya kehidupan pada setiap
sesuatu yang berhak hidup.
61. Al-Mumiit: ( ) المميتMaha Mematikan, iaitu mengambil kehidupan (roh) dari apa-apa yang
hidup.
63. Al-Qayyuum: ( ) القيومMaha Berdiri Dengan Sendiri-Nya , iaitu baik ZatNya, SifatNya,
Af’alNya. Juga membuat berdirinya apa-apa yang selain Dia. DenganNya pula berdirinya langit
dan bumi ini.
64. Al-Waajid: ( ) الواجدMaha Penemu / Maha Menemukan, iaitu dapat menemukan apa saja
yang diinginkan olehNya, maka tidak berkehendakkan pada suatu apa pun kerana sifat kayaNya
yang secara mutlak.
65. Al-Maajid: ( ) الماجدMaha Mulia, (sama dengan no. 48 yang berbeda hanyalah tulisannya
dalam bahasa Arab, Ejaan sebenarnya no. 48 Al-Majiid, sedang no. 65 A1-Maajid).
68. Ash-Shamad: ( ) الصمدMaha Diperlukan / Maha Diminta / Yang Menjadi Tumpuan, iaitu
selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu ada hajat keperluan.
73. Al-Awwal: ( ) األولMaha Pemulaan / Maha Pertama, iaitu terdahulu sekali dari semua yang
maujud.
74. Al-Aakhir: ( ) اآلخرMaha Penghabisan / Yang Akhir, iaitu kekal terus setelah habisnya segala
sesuatu yang maujud.
75. Azh-Zhaahir: ( ) الظاهرMaha Zahir / Maha Nyata / Maha Menyatakan, iaitu menyatakan dan
menampakkan kewujudanNya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaanNya
76. Al-Baathin: ( ) الباطنMaha Tersembunyi, iaitu tidak dapat dimaklumi ZatNya, sehingga tidak
seorang pun dapat mengenal ZatNya itu.
77. Al-Waalii: ( ) الوالىMaha Menguasai / Maha Menguasai Urusan / Yang Maha Memerintah,
iaitu menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaanNya dan menjadi milikNya.
78. Al-Muta’aalii: ( ) المتعالMaha Suci/Tinggi , iaitu terpelihara dari segala kekurangan dan
kerendahan.
79. Al-Bar: ( ) البارMaha Dermawan / Maha Bagus (Sumber Segala Kelebihan) / Yang banyak
membuat kebajikan, iaitu banyak kebaikanNya dan besar kenikmatan yang dilimpahkanNya.
81. Al-Muntaqim: ( ) المنتقمMaha Penyiksa / Yang Maha Menghukum, kepada mereka yang
bersalah dan orang yang berhak untuk memperoleh siksaNya.
82. Al-’Afuw: ( ) العفوMaha Pemaaf / Yang Maha Pengampun, menghapuskan kesalahan orang
yang suka kembali untuk meminta maaf padaNya.
83. Ar-Rauuf: ( ) الرؤفMaha Pengasih / Maha Mengasihi, banyak kerahmatan dan kasih
sayangNya.
84. Maalikul Mulk: ( ) المالك الملكMaha Pemilik Kekuasaan / Maha Menguasai kerajaan / Pemilik
Kedaulatan Yang Kekal, maka segala perkara yang berlaku di alam semesta, langit, bumi dan
sekitarnya serta yang di alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradatNya.
85. Zul-Jalaali Wal Ikraam: ( ) ذوالجالل واإلكرامMaha Pemilik Keagungan dan Kemuliaan / Maha
Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan. Juga Zat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan,
pemberi kurnia dan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah ruah.
88. Al-Ghaniy: ( ) الغنىMaha Kaya Raya / Maha Kaya serta Serba Lengkap, iaitu tidak
berkehendakkan apa juapun dari yang selain ZatNya sendiri, tetapi yang selainNya itu amat
mengharapkan padaNya.
90. Al-Maani’: ( ) المانعMaha Membela atau Maha Menolak / Maha Pencegah, iaitu membela
hamba-hambaNya yang soleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerosakan.
93. An-Nuur: ( ) النورMaha Pemberi Cahaya / Maha Bercahaya, iaitu menonjokan ZatNya
sendiri dan menampakkan untuk yang selainNya dengan menunjukkan tanda-tanda
kekuasaanNya.
94. Al-Haadi: ( ) الهادىMaha Pemberi Petunjuk / Yang Memimpin dan Memberi Pertunjuk, iaitu
memberikan jalan yang benar kepada segala sesuatu agar berterusan adanya dan terjaga
kehidupannya.
95. Al-Badii’: ( ) البديعMaha Indah / Tiada Bandingan / Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak
ada contoh dan yang menyamai sebelum keluarnya ciptaanNya itu.
97. Al-Waarits: ( ) الوارثMaha Membahagi / Maha Mewarisi / Maha Pewaris, iaitu kekal
setelah musnahnya seluruh makhluk.
98. Ar-Rasyiid: ( ) الرشيدMaha Cendekiawan / Maha Pandai / Bijaksana / Maha Memimpin, iaitu
yang memimpin kepada kebenaran, iaitu memberi penerangan dan panduan pada seluruh
hambaNya dan segala peraturanNya itu berjalan mengikut ketentuan yang digariskan oleh
kebijaksanaan dan kecendekiawanNya.
99. Ash-Shabuur: ( ) الصبورMaha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan seksaan dan
tidak juga cepat melaksanakan sesuatu sebelum masanya.
Sifat wajib terbagi empat bagian yaitu nafsiah, salbiah, ma’ani atau ma’nawiah.
1. Wujud (Ada)
Adanya Allah itu bukan karena ada yang mengadakan atau menciptakan, tetapi Allah itu ada
dengan zat-Nya sendiri.
o Dalil Aqli sifat Wujud
Adanya semesta alam yang kita lihat sudah cukup dijadikan sebagai alasan adanya Allah,
sebab tidak masuk akal seandainya ada sesuatu yang dibuat tanpa ada yang
membuatnya.
o Dalil Naqli sifat Wujud
هواالول واالخروالظاهروالباطن
Dialah yang awal dan yang akhir Yang zhohir dan yang bathin. (QS. Al-Hadid [57]:3)
3. Baqa’(Kekal)
Allah Akan Kekal dan Abadi Selamanya, Kekalnya Allah SWT tidak berkesudahan
o Dalil Aqli sifat Baqa’
Seandainya Allah tidak wajib Baqo, yakni Wenang Allah Tiada, maka tidak akan disifati
Qidam. Sedangkan Qidam tidak bisa dihilangkan dari Allah berdasarkan dalil yang telah
lewat dalam sifat Qidam.
o Dalil Naqli Sifat Baqa’
Ja’iz artinya boleh-boleh saja, dengan makna Allah Swt menciptakan segala sesuatu, yakni
dengan tidak ada paksaan dari sesuatupun juga, sebab Allah Swt bersifat Qudrat (kuasa) dan
Iradath (kehendak), juga boleh – boleh saja bagi Allah Swt meniadakan akan segala sesuatu
apapun yang ia mau.
Argumen yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-
perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham Asy’ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia
sebenarnya adalah Allah sendiri.ii[2]
Menurut irfat abd. al-Hamid dalam kitab dirasat fi Al Firaq wa Al-Aqoid al-Islamiyah Pada
prinsipnya, Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya
manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan
menciptakan pula pada diri manusia- daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi perbutan disini
adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai
pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. iii[3]
Menurut Harun Nasution ”Teori al-kasb (perolehan) dapat dijelaskan sebagai berikut, ”Segala
sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang
memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan.iv[4]
Menurut Imam al-Asy’ari : ”Sesungguhnya manusia itu berusaha untuk melakukan suatu
perbuatan. Namun sering terjadi bahwa hasil perbuatannya itu bukan seperti apa yang dikehendaki dan
apa yang diusahakan. Ini berarti bahwa manusia itu tidak menciptakan perbuatannya”.
Asy’ariyah mengkaitkan perbuatan manusia dengan hasil yang diperolehnya. Dalil-dalil naqli
yang diungkapkan Asy’ariyah hampir semuanya mengarah kesana. Diantaranya ayat yang menyatakan :
Menurut Al-Asy’ari, manusia punya kudrah dan iradah untuk berbuat, hanya saja ia bergantung
kepada takdir dari Allah. Orientasi perbuatan manusia al-Asy’ari adalah hubungan antara perbuatan
manusia dengan hasilnya: keberhasilannya atau kegagalannya. Apa yang dikerjakan manusia kepastian
hasilnya tidak ditentukan oleh manusia melainkan oleh ”perbuatan” Allah. v[5]
Sementara Itu Imam al-Baqilani tidak sepaham dengan al-Asy’ari mengenai Paham perbuatan
manusia. Kalau bagi al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Allah seluruhnya, menurut al-
Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang
diwujudkan Allah ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu
dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Dengan lain kata, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai
bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis ) adalah ciptaan
Allah, tetapi duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan species ( )ن وعdari
gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Allah itu,
mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi Al-Asy’ari daya
manusia dalam kasb tidak mempunya efek, bagi al-Baqillani daya itu mempunyai efek. vi[6]
Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya
serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang
ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula
pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu
Allah.vii[7]
Secara umum Perbuatan manusia menurut faham Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan
diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua
daya, yaitu daya Allah dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Allah yang
mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Allah.
Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya.viii[8]
Menurut faham Asy’ariyah, bahwa segala sesuatu itu dijadikan Allah, tetapi Allah juga
menciptakan IKHTIAR dan KASAB bagi manusia. Sesuatu yang diperbuat manusia adalah
PERTEMUAN IKHTIAR MANUSIA DENGAN TAKDIRNYA. Ikhtiar dan kasab adalah sebagai sebab
saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan sesuatu. Umpamanya, kalau sesuatu benda disentuh api,
maka ia terbakar. Bila orang makan maka kenyanglah. Tetapi bukan api yang membakarnya dan bukan
nasi yang mengenyangkannya, semua adalah Allah semata. Kadang-kadang terjadi sebaliknya bila Allah
menghendakinya. Banyak benda yang disentuh api tetapi tidak terbakar. Banyak orang berusaha sekuat
tenaga tetapi sial dan kemalangan yang diperoleh. Kalau obat itu mesti dapat menyembuhkan penyakit,
tentu tidak ada orang yang mati. Kenyataan menunjukan banyak penyakit tidak dapat disembuhkan. ix[9]
Manusia memperoleh hukuman karena ikhtiar dan kasabnya yang tidak baik dan akan diberi
pahala atas ikhtiar dan kasabnya yang baik. Firman Allah :
ت
ْ َت َو َعلَْي َها َما ا ْكتَ َسب
ْ َهَلَا َما َك َسب
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.(QS.Al-Baqarah : 286)
ii
iii
iv
vi
vii
viii
ix