Anda di halaman 1dari 35

DAFTAR ISI

PENGERTIAN 3

PANDANGAN IMAM ALI AS TENTANG ALLAH SWT. 7

JIKA ANAK BERTANYA TENTANG ALLAH SWT. 9

TUNTUNAN BERTAUBAT KEPADA ALLAH SWT. 14

ASMAUL HUSNA 17

SIFAT-SIFAT ALLAH 25

PERBUATAN ALLAH DAN MANUSIA 32

َ‫صفَاتِ ِه َوَأ ْف َعالِ ِه َأ َحبَّهُ الَ َم َحالَة‬ ْ ‫َمنْ َع َرفَ هللاَ بَِأ‬
ِ ‫س َماِئ ِه َو‬
“Barang siapa yang mengenal Allah melalui nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-
perbuatan-Nya, pasti dia akan mencintai-Nya!”

(Ibnul Qayyim, Al-Jawabul Kafi)

Allah adalah Al-Ilah

“Allah” adalah nama untuk Dzat Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada yang memiliki nama tersebut
selain Dia. Lafal “Allah” berasal dari tashrif ٌ‫ُألُوْ ِهيَّة‬-ٌ‫ِإالَهَة‬-ٌ‫ُألُوْ هَة‬-ُ‫يَْألَه‬-َ‫ َألِه‬. Selanjutnya, ٌ‫( ِإالَهَة‬Ilahah)
bemakna ‫( المألوه‬Al-Ma’luh), sedangkan ‫( المألوه‬Al-Ma’luh) bermakna 7‫( المغبود‬Al-Ma’bud), yaitu
yang disembah karena rasa cinta dan pengagungan.

Ringkasnya, Allah = Al-Ilah (sesembahan) = Al-Ma’luh (yang disembah) = Al-Ma’bud (yang


diibadahi)

Lafal jalalah ‘Allah’ adalah isim musytaq

Para ulama berbeda pendapat tentang asal lafal “Allah”; apakah lafal tersebut adalah isim jamid
(bentuk tunggal/berdiri sendiri) atau isim musytaq (bentuk turunan).

 Pendapat pertama: lafal jalalah ‘Allah’ merupakan isim jamid. Alasannya, kondisi
musytaq (penurunan bentuk kata) mengharuskan isim tersebut memiliki penyusun
sebelumnya, padahal nama Allah itu qadim (paling awal). Sesuatu yang qadim tidaklah
memiliki unsur. Hal ini sebagaimana seluruh nama yang hanya sekadar nama namun tak
memiliki hubungan dengan akar katanya. Contoh: seseorang bernama Nashir, namun
belum tentu dia suka menolong; seseorang bernama Mahmud, namun belum tentu
perangainya terpuji; seseorang bernama Syuja’, namun belum tentu dia pemberani.
 Pendapat kedua: lafal jalalah ‘Allah’ merupakan isim musytaq. Dalilnya adalah firman
Allah,

ِ ‫س َّر ُك ْم َو َجه َر ُك ْم َويَ ْعلَ ُم َما تَ ْك‬


َ‫سبُون‬ ِ ‫ت َوفِي اَأل ْر‬
ِ ‫ض يَ ْعلَ ُم‬ ِ ‫اوا‬ َّ ‫َو ُه َو هّللا ُ فِي ال‬
َ ‫س َم‬

“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang
kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu
usahakan.” (Q.s. Al-An’am: 3)

ِ ‫ فِي ال َّس َما َوا‬dikaitkan dengan lafal jalalah; maknanya:


Penggalan kata ‫ت‬

ِ ‫ت َوفِي اَأل ْر‬


‫ض‬ ِ ‫س َما َوا‬
َّ ‫َوه َُو المألوه فِي ال‬

“Dialah sesembahan di langit dan di bumi.”

Terkait makna lafal jalalah ‘Allah’, Ibnu ‘Abbas radhiallhu ‘anhuma menyebutkan,

‫هللا ذو األلوهية والعبودية على خلقه أجمعين‬


”Allah adalah pemilik hak uluhiyyah (ketuhanan) dan ‘ubudiyyah (penghambaan) atas seluruh
makhluk.”

Yang rajih dalam hal ini adalah pendapat bahwa lafal jalalah ‘Allah’ adalah isim musytaq.
(Penjelasan ini terdapat dalam Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad Khalil
Harash dan Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin)

Allah adalah Ar-Rabb

Ar-Rabb: Al-Murabbi (pemelihara) seluruh jagad raya beserta isinya. Segala sesuatu selain Allah
adalah makhluk bagi-Nya. Dia melengkapi kehidupan makhluk-Nya dengan segala sarana dan
prasarana. Dia curahkan nikmat berlimpah kepada mereka. Seandainya seluruh nikmat itu
lenyap, niscaya makhluk-Nya tak ‘kan mampu bertahan hidup. Apa pun nikmat yang dirasakan
(oleh setiap makhluk) maka itu datang hanya dari Allah. (Taisir Karimir Rahman)

Tarbiyah (pemeliharaan) Allah atas makhluk-Nya terdiri atas dua jenis:

1. At-tarbiyah al-‘ammah (pemeliharaan umum), berupa mencipta makhluk-makhluk,


memberi mereka rezeki, dan menunjuki jalan-jalan yang bermanfaat bagi kelangsungan
hidup mereka di muka bumi.
2. At-tarbiyah al-khashshah (pemeliharaan khusus), berupa penjagaan Allah terhadap para
wali-Nya (orang yang dekat dengan-Nya). Allah memelihara mereka melalui karunia
iman dan taufik. Allah pun menyempurnakan iman dan taufik itu bagi mereka. Allah juga
menghilangkan penghambat dan penghalang antara diri mereka dan diri-Nya. Hakikat
tarbiyah khusus ini adalah: (i) pemeliharaan di atas taufik menuju segala kebaikan; (ii)
penjagaan dari segala keburukan. Barangkali ini adalah makna tersembunyi di balik
sebagian besar doa para nabi yang menggunakan lafal “Ar-Rabb”; isi doa-doa mereka
adalah meminta at-tarbiyah al-khashshah dari Allah. (Taisir Karimir Rahman)

Berhak disembah karena memiliki sifat rububiyyah

Yang mendapat keistimewaan hak uluhiyyah hanya Dzat yang memiliki sifat rububiyyah.

Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu mencipta jagad raya, seluruh makhluk hidup,
gunung, laut, pohon, dan makhluk lainnya. Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu
menurunkan hujan, mendatangkan kemarau berkepanjangan, menimpakan paceklik,
mengguncangkan bumi dengan gempa, dan meluapkan air laut. Yang berhak disembah hanya
Dzat yang mampu menerbitkan matahari di timur dan menenggelamkannya di barat.

Mustahil seseorang adalah tuhan sedangkan dirinya saja diciptakan. Tidak mungkin seseorang
adalah tuhan jika dia tak mampu mendatangkan manfaat meski bagi dirinya sendiri. Tidak
mungkin seseorang adalah tuhan jika dia sendiri tak bisa menyelamatkan dirinya dari bahaya.
Tidak mungkin seseorang adalah tuhan jika dia tak bisa mengubah kondisi jagad raya dan isinya
sekehendak dirinya.

Klaim tanpa bukti


Jika seseorang mengaku-aku sebagai tuhan yang berhak disembah maka cek dahulu apakah dia
memiliki sifat rububiyyah.

Mari kita lihat kisah dua manusia biasa yang mengklaim dirinya sebagai tuhan. Sebuah klaim
tanpa bukti nyata!

1. Raja Namrud yang hidup di masa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.

‫آج ِإ ْب َرا ِهي َم فِي ِربِّ ِه َأنْ آتَاهُ هّللا ُ ا ْل ُم ْل َك ِإ ْذ قَا َل ِإ ْب َرا ِهي ُم َربِّ َي الَّ ِذي يُ ْحيِـي َويُ ِميتُ قَا َل َأنَا ُأ ْحيِـي َوُأ ِميتُ قَا َل‬
َّ ‫َألَ ْم تَ َر ِإلَى الَّ ِذي َح‬
َ‫ب فَبُ ِهتَ الَّ ِذي َكفَ َر َوهّللا ُ الَ يَ ْه ِدي ا ْلقَ ْو َم الظَّالِ ِمين‬ ِ ‫ق فَْأ‬
ِ ‫ت بِ َها ِمنَ ا ْل َم ْغ ِر‬ ِ ‫ش ِر‬ ْ ‫س ِمنَ ا ْل َم‬ِ ‫ش ْم‬ َّ ‫ِإ ْب َرا ِهي ُم فَِإنَّ هّللا َ يَْأتِي ِبال‬

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)
karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata, ‘Saya
dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan
matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ maka terdiamlah orang kafir itu; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (Q.s. Al-Baqarah: 258)

Benarkah Namrud bisa menghidupkan dan mematikan?

Ternyata, maksud Namrud: dia mampu membiarkan seseorang tetap hidup dan dia mampu
membunuhnya (mematikannya) jika dia ingin. Padahal yang dimaksud Nabi Ibrahim adalah
kemampuan menciptakan makhluk hidup (dari tidak bernyawa menjadi bernyawa) dan
mematikannya (dari bernyawa menjadi tidak bernyawa). Tampak sekali bahwa Namrud tak
paham hakikat “menghidupkan dan mematikan”.

Untuk membungkam kesombongan Namrud, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menggunakan hujjah
lain. Beliau menantang Namrud untuk menerbitkan matahari dari barat. Namrud tak memiliki
sifat rububiyyah, maka bagaimana mungkin dia mampu mengubah letak matahari?

Akhirnya Namrud kalah telak. Betapa bodoh dan celakanya Namrud! (Penjelasan ini bisa
disimak di Taisir Karimir Rahman)

2. Fir’aun yang hidup di masa Nabi Musa ‘alaihis salam

Inilah kisah Fir’aun. Si kafir yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, padahal dia sama sekali tak
memiliki sifat rububiyyah. Ketika laut yang dibelah oleh Allah akhirnya tertutup kembali, dia tak
dapat menyelamatkan dirinya maupun bala tentaranya!

Fir’aun mengklaim sifat rubbubiyah pada dirinya padahal sifat itu tidak ada padanya.

‫فَقَا َل َأنَا َربُّ ُك ُم اَأْل ْعلَى‬

“Dia (Fir’aun) mengatakan: Saya Rab kalian yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)

Ini terjadi ketika dia merasa sangat nyaman ketika disembah, kemudian kesombongannya
bertambah. Akhirnya semakin parah dan mengaku sebagai Rab, yang artinya sang pemberi
kehidupan bagi rakyatnya. Sehingga fir’aun mengklaim hak uluhiyah dan sekaligus sifat
rububiyah. Sebagian ahli tafsir mengatakan, pengakuannya sebagai Rab dilakukan 40 tahun
setelah dia minta disembah (mengaku sesembahan). Di awal kekuasaannya, fir’aun minta
disembah, empat puluh tahun berikutnya, dia mengaku sang pemberi kehidupan mesir. (Aisar
Tafasir, untuk ayat di atas).

‫ص ْرحا ً لَّ َعلِّي َأطَّلِ ُع ِإلَى ِإلَ ِه‬ ِ ِّ‫َوقَا َل فِ ْرع َْونُ يَا َأيُّ َها ا ْل َمُأَل َما َعلِ ْمتُ لَ ُكم ِّمنْ ِإلَ ٍه َغ ْي ِري فََأ ْوقِ ْد لِي يَا هَا َمانُ َعلَى الط‬
ْ َ‫ين ف‬
َ ‫اج َعل لِّي‬
َ‫سى َوِإنِّي َأَلظُنُّهُ ِمنَ ا ْل َكا ِذبِين‬ َ ‫ُمو‬

“Dan Fir’aun berkata, ‘Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain
aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan
yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar
yakin bahwa dia termasuk pendusta.’” (Q.s. Al-Qashash: 38)

َ‫ق َوظَنُّوا َأنَّ ُه ْم ِإلَ ْينَا اَل يُ ْر َجعُون‬ ِ ‫ستَ ْكبَ َر ُه َو َو ُجنُو ُدهُ ِفي اَأْل ْر‬
ِّ ‫ض بِ َغ ْي ِر ا ْل َح‬ ْ ‫َوا‬

“Dan berlaku angkuhlah Fir’aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar
dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (Q.s. Al-
Qashash: 39)

َ‫فََأ َخ ْذنَاهُ َو ُجنُو َدهُ فَنَبَ ْذنَا ُه ْم ِفي ا ْليَ ِّم فَانظُ ْر َكيْفَ َكانَ عَاقِبَةُ الظَّالِ ِمين‬

“Maka Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut.
Maka lihatlah akibat yang dirasakan oleh orang-orang zalim.” (Q.s. Al-Qashash: 40)

Di akhir hayatnya, Fir’aun mengaku bersalah. Namun penyesalannya terlambat sudah.

‫ق قَا َل آ َمنتُ َأنَّهُ ال ِإلِـهَ ِإالَّ الَّ ِذي آ َمنَتْ بِ ِه‬


ُ ‫س َراِئي َل ا ْلبَ ْح َر فََأ ْتبَ َع ُه ْم فِ ْرع َْونُ َو ُجنُو ُدهُ بَ ْغيا ً َو َعدْواً َحتَّى ِإ َذا َأ ْد َر َكهُ ا ْل َغ َر‬
ْ ‫َو َجا َو ْزنَا بِبَنِي ِإ‬
َ‫سلِ ِمين‬ ‫َأ‬
ْ ‫س َراِئي َل َو نَاْ ِمنَ ا ْل ُم‬
ْ ‫بَنُو ِإ‬

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala
tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). hingga bila Fir’aun itu telah
hampir tenggelam berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang
dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).’” (Q.s. Yunus: 90)

Demikianlah dua orang kafir dari kalangan kaum terdahulu. Sungguh ini adalah kisah nyata,
bukan dongeng atau hikayat khayalan. Tidak menutup kemungkinan masih ada juga orang yang
minta dipertuhankan di masa ini.

Hendaknya orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. Sungguh, hanya Allah Ar-Rabb Al-
Ilah. Tiada tandingan bagi-Nya!
Pandangan Imam Ali as Tentang Allah SWT
Ali bin Abi Thalib ketika menetapkan dan membuktikan keberadaan Allah swt berkata, ‘Segala
puji syukur hanyalah milik Allah yang menunjukkan keberadaannya dengan ciptaan-Nya,
penciptaan makhluk menunjukkan keazalian-Nya dan kesalahan yang makhluk-Nya perbuat
menunjukkan bahwa tidak ada yang menyerupai-Nya. Ia berkata, ‘Aku heran kepada orang yang
ragu dengan Allah sementara ia melihat ciptaan-Nya bahkan bagi akal ditampakkan kepada kita
tanda-tanda pengaturan yang rapi dan kepastian yang tidak berubah.

Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya, ‘Apakah engkau melihat Tuhanmu? Ali menjawab,
‘Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat? Kemudian beliau melanjutkan,
‘Allah tidak dapat dilihat dengan mata panca indera akan tetapi hati yang melihatnya dengan
hakikat iman. Allah lebih agung dari penetapan pengaturannya dengan hati.

Dalam doanya yang terkenal dengan nama doa Shabah beliau berkata, ‘Wahai Zat yang
menunjukkan diri-Nya dengan Zat-Nya. Zat yang suci dari penyerupaan dengan makhluk-Nya.
Zat yang lebih mulia dari kesamaan dengan makhluknya dalam kualitas. Wahai Zat yang lebih
dekat dari persangkaan yang terbetik dalam benak seseorang dan lebih jauh dari sekelebatan
pandangan dan mengetahui sesuatu yang belum terjadi.

Ali bin Abi Thalib memuat khotbah-khotbahnya dengan pengertian-pengertian yang tinggi yang
diambil dari ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan kekuatan ilahiah; langit dan bumi. Beliau
menjelaskan dengan panjang lebar bagaikan ilmuwan yang tahu betul apa yang diucapkannya. Ia
menjelaskan dengan detil ayat-ayat kekuasaan Allah yang membuat siapa yang mendengarnya
akan bertambah keimanan, kekhusyukan dan ketundukkannya kepada Allah swt. Karena begitu
mendengar ucapan Ali seseorang dapat merasakan langsung apa yang dibicarakannya.
Sebagaimana Ali berkata, ‘Demi Allah! Seandainya disingkap segala penutup dari diriku aku
tidak akan bertambah yakin’.

Ali bin Abi Thalib memberikan penggambaran yang detil tentang sifat-sifat Allah yang membuat
para filsuf menjadikan ucapan-ucapannya sebagai bahan kajian yang dapat membuka
pembahasan lebih luas. Tanpa ucapan-ucapan Ali pembahasan sifat ilahi para pembahas dapat
tersesat karena ucapan beliau bersumber dari hidayah rabbani.

Beliau berkata, ‘Kesempurnaan tauhid dan pengesaan Allah adalah ikhlas kepada-Nya.
Kesempurnaan keikhlasan kepada Allah swt adalah menafikan sifat dari-Nya. Hal itu
dikarenakan setiap sifat pasti bukan zat yang disifati dan setiap zat yang disifati pasti bukan sifat.
Oleh karenanya, barang siapa yang menyifati Allah swt berarti ia telah menjadikan teman bagi-
Nya. Dan barang siapa yang berpikir bahwa Allah memiliki teman itu berarti ia telah
menduakan-Nya. Barang siapa yang menduakan-Nya berarti ia telah membagi-Nya. Dan barang
siapa yang membagi-Nya berarti ia tidak mengerti tentang-Nya. Dan barang siapa yang tidak
mengetahui-Nya berarti ia telah menunjukkan-Nya. Barang siapa yang menunjuki-Nya berarti ia
telah membatasi-Nya. Dan barang siapa yang membatasi-Nya berarti telah menganggap-Nya
berbilang. Allah ada tanpa diciptakan, wujud-Nya tidak diperoleh setelah sebelumnya tidak ada.
Allah senantiasa bersama dengan segala sesuatu tapi tidak menemani mereka dan tidak bersama
segala sesuatu tapi tidak sirna.
Ali bin Abi Thalib berargumentasi tentang keesaan Allah dengan ucapannya, ‘Ketahuilah wahai
anakku, Seandainya Allah memiliki sekutu niscaya utusannya telah mendatangimu dan engkau
akan melihat bekas-bekas kerajaan dan kekuasannya. Ketahuilah wahai anakku, tidak ada
seseorang pun yang memberikan kabar berita tentang Allah swt sebagaimana kabar berita yang
dibawakan oleh Rasulullah saw maka relakanlah ia menjadi penuntunmu’.

Ali bin Abi Thalib memerikan keadilan Allah swt dengan ucapannya, ‘Keadilan membuat Allah
tidak berbuat kezaliman kepada hamba-Nya dan berbuat keadilan terhadap semua makhluk-Nya.
Allah berbuat keadilan kepada semua makhluk-Nya dalam hukum dan menghukumi segala
sesuatunya dengan keadilan. Ali kebudian berkata, ‘Sesungguhnya Allah tidak
memerintahkanmu kecuali ada kebaikan dibaliknya dan tidak akan melarangmu kecuali ada
kejelekan dibalik larangannya. Hukum-Nya satu tidak pilih kasih baik untuk penghuni langit atau
bumi. Allah tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga karena perbuatan yang
membuatnya seharusnya berada di neraka’.

Jika Anak Bertanya tentang Allah


Utamanya pada masa emas 0-5 tahun, anak-anak menjalani hidup mereka dengan sebuah potensi
menakjubkan, yaitu rasa ingin tahu yang besar. Seiring dengan waktu, potensi ini terus
berkembang (Mudah-mudahan potensi ini tidak berakhir ketika dewasa dan malah berubah
menjadi pribadi-pribadi “tak mau tahu” alias ignoran, hehehe). Nah, momen paling krusial yang
akan dihadapi para orang tua adalah ketika anak bertanya tentang ALLAH . Berhati-hatilah
dalam memberikan jawaban atas pertanyaan maha penting ini. Salah sedikit saja, bisa berarti kita
menanam benih kesyirikan dalam diri buah hati kita. Nauzubillahi min zalik, ya…

Berikut ini saya ketengahkan beberapa pertanyaan yang biasa anak-anak tanyakan pada orang
tuanya:

Tanya 1: “Bu, Allah itu apa sih?”


Tanya 2: “Bu, bentuk Allahitu seperti apa?”
Tanya 3: “Bu, kenapa kita gak bisa lihat Allah?
Tanya 4: “Bu, Allah itu ada di mana?
Tanya 5: “Bu, kenapa kita harus nyembah Allah?”

Tanya 1: “Bu, Allah itu apa sih?

Jawablah :

“Nak, Allah itu Yang Menciptakan segala-galanya. Langit, bumi, laut, sungai, batu, kucing,
cicak, kodok, burung, semuanya, termasuk menciptakan nenek, kakek, ayah, ibu, juga kamu.”
(Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)

Tanya 2: “Bu, bentuk Allah itu seperti apa?”

Jangan jawab begini :

“Bentuk Allah itu seperti anu ..ini..atau itu….” karena jawaban seperti itu pasti salah dan
menyesatkan.

Jawablah begini :

“Adek tahu ‘kan, bentuk sungai, batu, kucing, kambing,..semuanya.. nah, bentuk Allah itu tidak
sama dengan apa pun yang pernah kamu lihat. Sebut saja bentuk apa pun, bentuk Allah itu tidak
sama dengan apa yang akan kamu sebutkan.” (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil
tersenyum manis)
ۖ
( ‫صي ُر‬ َ ‫ض َج َع َل لَ ُكم ِّم ۡن َأنفُ ِس ُكمۡ َأ ۡز َوٲ ۬ ًجا َو ِمنَ ٱَأۡل ۡن َع ٰـ ِم َأ ۡز َوٲ ۬ ًج ۖا‌ يَ ۡذ َرُؤ ُكمۡ فِي ِۚ‌ه لَ ۡي‬
ِ َ‫س َك ِم ۡثلِ ِهۦ َش ۡى ۬ ٌ‌ء َوهُ َو ٱل َّس ِمي ُع ۡٱلب‬ ‌ِۚ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬ ِ َ‫ف‬
ِ ‫اط ُر ٱل َّس َم ٰـ َوٲ‬
)١١
[Dia] Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-
pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan [pula], dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Asy-Syura:11)

Tanya 3: “Bu, kenapa kita gak bisa lihat Allah?

Jangan jawab begini :

Karena Allah itu gaib, artinya barang atau sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Jawaban bahwa Allah itu gaib (semata), jelas bertentangan dengan ayat berikut ini.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir; Yang Zahir dan Yang Batin ; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu. [Al-Hadid (57) : 3]

Dikhawatirkan, imajinasi anak yang masih polos akan mempersamakan gaibnya Allah dengan
hantu, jin, malaikat, bahkan peri dalam cerita dongeng. Bahwa dalam ilmu Tauhid dinyatakan
bahwa Allah itu nyata senyata-nyatanya; lebih nyata daripada yang nyata, sudah tidak
terbantahkan.

Apalagi jika kita menggunakan diksi (pilihan kata) “barang” dan “sesuatu” yang ditujukan pada
Allah. Bukankah sudah jelas dalil Surat Asy-Syura di atas bahwa Allah itu laysa kamitslihi
syai’un; Allah itu bukan sesuatu; tidak sama dengan sesuatu; melainkan Pencipta segala sesuatu.

Meskipun segala sesuatu berasal dari Zat-Sifat-Asma (Nama)-dan Af’al (Perbuatan) Allah, tetapi
Diri Pribadi Allah itu tidak ber-Zat, tidak ber-Sifat, tidak ber-Asma, tidak ber-Af’al. Diri Pribadi
Allah itu tidak ada yang tahu, bahkan Nabi Muhammad Saw. sekali pun. Hanya Allah yang tahu
Diri Pribadi-Nya Sendiri dan tidak akan terungkap sampai akhir zaman di dunia dan di akhirat.

[Muhammad melihat Jibril] ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu Yang Meliputinya.
Penglihatannya [Muhammad] tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak [pula]
melampaui-Nya. (Q.S. An-Najm: 16-17) {ini tafsir dari seorang arif billah, bukan dari saya
pribadi. Allahua’lam}

Jawablah begini :

“Mengapa kita tidak bisa melihat Allah?”

Bisa kita jawab dengan balik bertanya padanya (sambil melatih adik comel berpikir retoris )

“Adik bisakah nampak matahari yang terang itu langsung? Tidak ‘kan..karena mata kita bisa jadi
buta. Nah,melihat matahari aja kita tak sanggup. Jadi,Bagimana kita mau melihat Pencipta
matahari itu. Iya ‘kan?!”
Atau bisa juga beri jawaban :

Adek, lihat langit yang luas dan ‘besar’ itu ‘kan? Yang kita lihat itu baru secuil dari bentuk langit
yang sebenarnya. Adek gak bisa lihat ujung langit ‘kan?! Nah, kita juga gak bisa melihat Allah
karena Allah itu Pencipta langit yang besar dan luas tadi. Itulah maksud kata Allahu Akbar
waktu kita salat. Allah Mahabesar.

Bisa juga dengan simulasi sederhana seperti pernah saya ungkap di postingan “Melihat Tuhan”.

Silakan hadapkan bawah telapak tangan Adek ke arah wajah. Bisa terlihat garis-garis tangan
Adek ‘kan? Nah, kini dekatkan tangan sedekat-dekatnya ke mata Adek. Masih terlihat jelaskah
jemari Sobat setelah itu?

Kesimpulannya, kita tidak bisa melihat Allah karena Allah itu Mahabesar dan teramat dekat
dengan kita. Meskipun demikian, tetapkan Allah itu ADA. “Dekat tidak bersekutu, jauh tidak
ber-antara.”

Tanya 4: “Bu, Allah itu ada di mana ?”

Jangan jawab begini :

“Nak, Allah itu ada di atas..di langit..atau di surga atau di Arsy.”


Jawaban seperti ini menyesatkan logika anak karena di luar angkasa tidak ada arah mata angin
atas-bawah-kiri-kanan-depan-belakang. Lalu jika Allah ada di langit, apakah di bumi Allah tidak
ada? Jika dikatakan di surga, berarti lebih besar surga daripada Allah…berarti prinsip Allahu
Akbar itu bohong? [baca juga Ukuran Allahu Akbar]

Dia bersemayam di atas ’Arsy. <— Ayat ini adalah ayat mutasyabihat, yaitu ayat yang wajib
dibelokkan tafsirnya. Kalau dalam pelajaran bahasa Indonesia, kita mengenal makna denotatif
dan konotatif, nah.. ayat mutasyabihat ini tergolong makna yang konotatif.

Juga jangan jawab begini :

“Nak, Allah itu ada di mana-mana.”

Dikhawatirkan anak akan otomatis berpikiran Allah itu banyak dan terbagi-bagi, seperti para
freemason atau politeis Yunani Kuno.

Jawablah begini :

“Nak, Allah itu dekat dengan kita. Allah itu selalu ada di hati setiap orang yang saleh, termasuk
di hati kamu, Sayang. Jadi, Allah selalu ada bersamamu di mana pun kamu berada.”

“Qalbun mukmin baitullah”, ‘Hati seorang mukmin itu istana Allah.” (Hadis)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya
Aku adalah dekat. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 186)

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.(Q.S. Al-Hadiid: 4)

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 115)

Allah sering lho bicara sama kita.. misalnya, kalau kamu teringat untuk bantu Ibu dan Ayah,
tidak berantem sama kakak, adek atau teman, tidak malas belajar, tidak susah disuruh
makan,..nah, itulah bisikan Allah untukmu, Sayang.” (Ucapkan dengan menatap mata anak
sambil tersenyum manis)

Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Q.S.
Al-Baqarah: 213)

Tanya 5: “Bu, kenapa kita harus nyembah Allah?”

Jangan jawab begini :

“Karena kalau kamu tidak menyembah Allah, kamu akan dimasukkan ke neraka. Kalau kamu
menyembah Allah, kamu akan dimasukkan ke surga.”

Jawaban seperti ini akan membentuk paradigma (pola pikir) pamrih dalam beribadah kepada
Allah bahkan menjadi benih syirik halus (khafi). Hal ini juga yang menyebabkan banyak orang
menjadi ateis karena menurut akal mereka,”Masak sama Allah kayak dagang aja! Yang namanya
Allah itu berarti butuh penyembahan! Allah kayak anak kecil aja, kalau diturutin maunya, surga;
kalau gak diturutin, neraka!!”

“Orang yang menyembah surga, ia mendambakan kenikmatannya, bukan mengharap


Penciptanya. Orang yang menyembah neraka, ia takut kepada neraka, bukan takut kepada
Penciptanya.” (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)

Jawablah begini :

“Nak, kita menyembah Allah sebagai wujud bersyukur karena Allah telah memberikan banyak
kebaikan dan kemudahan buat kita. Contohnya, Adek sekarang bisa bernapas menghirup udara
bebas, gratis lagi.. kalau mesti bayar, ‘kan Ayah sama Ibu gak akan bisa bayar. Di sungai banyak
ikan yang bisa kita pancing untuk makan, atau untuk dijadikan ikan hias di akuarium. Semua
untuk kesenangan kita.

Kalau Adek gak nyembah Allah, Adek yang rugi, bukan Allah. Misalnya, kalau Adek gak nurut
sama ibu-bapak guru di sekolah, Adek sendiri yang rugi, nilai Adek jadi jelek. Isi rapor jadi
kebakaran semua. Ibu-bapak guru tetap saja guru, biar pun kamu dan teman-temanmu gak nurut
sama ibu-bapak guru. (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam.
(Q.S. Al-Ankabut: 6)

Katakan juga pada anak:

“Adek mulai sekarang harus belajar cinta sama Allah, lebih daripada cinta sama Ayah-Ibu, ya?!
(Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)

“Kenapa, Bu ?”

“Karena suatu hari Ayah sama Ibu bisa meninggal

Karena suatu hari Ayah sama Ibu bisa meninggal dunia, sedangkan Allah tidak pernah mati.
Nah, kalau suatu hari Ayah atau Ibu meninggal, kamu tidak boleh merasa kesepian karena Allah
selalu ada untuk kamu. Nanti, Allah juga akan mendatangkan orang-orang baik yang sayang
sama Adek seperti sayangnya Ayah sama Ibu. Misalnya, Paman, Bibi, atau para tetangga yang
baik hati, juga teman-temanmu.”

Dan mulai sekarang rajin-rajin belajar Iqra supaya nanti bisa mengaji Quran. Mengaji Quran
artinya kita berbicara sama Allah. (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum
manis).

Tuntunan Bertaubat kepada Allah SWT


Keutamaan Taubat dan Orang-orang yang Bertaubat dalam al Qur'an

Tentang dorongan dan anjuran untuk bertobat, Al Qur'an berbicara:

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri." (QS. Al Baqarah: 222).

Maka derajat apa yang lebih tinggi dari pada mendapatkan kasih sayang Rabb semesta alam.

Dalam menceritakan tentang ibadurrahman yang Allah SWT berikan kemuliaan dengan
menisbahkan mereka kepada-Nya, serta menjanjikan bagi mereka surga, di dalamnya mereka
mendapatkan ucapan selamat dan mereka kekal di sana, serta mendapatkan tempat yang baik.
Firman Allah SWT:

"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan)dosa(nya)." (QS. Al Furqaan: 68-70.).

Keutamaan apalagi yang lebih besar dari pada orang yang bertaubat itu mendapatkan ampunan
dari Allah SWT , hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan?

Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya bagi orang-orang
yang bertaubat. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-
Zumar: 53)

Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan
melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun. Seperti
sabda Rasulullah Saw:

"Jika kalian melakukan kesalahan-kesalahan (dosa) hingga kesalahan kalian itu sampai ke langit,
kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan memberikan taubat kepada kalian." (Hadist
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, dan ia menghukumkannya sebagai hadits hasan
dalam kitab sahih Jami' Shagir - 5235)

Di antara keutamaan orang-orang yang bertaubat adalah: Allah SWT menugaskan para malaikat
muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdo'a kepada Allah SWT agar Allah SWT
menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga. Dan
menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan
para malaikat sibuk dengan mereka di langit. Allah SWT berfirman:

"(Malaikat-malaikat) yang memikul 'arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih
memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala
sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau
dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan
masukkanlah mereka kedalam surga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-
orang yang saleh di antara bapak -bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka
semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah
mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara
dari(pembalasan?)kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat
kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (QS.Ghaafir: 7-9).

Terdapat banyak ayat dalam Al Qur'an yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang
yang melakukan taubat jika taubat mereka tulus, dengan banyak redaksi. Dengan berdalil pada
kemurahan karunia Allah SWT, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak merasa sempit dengan
perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun kemaksiatan mereka telah demikian besar.

Seperti dalam firman Allah SWT:

"Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan
menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? ." (QS.
At-Taubah: 104)

"Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-
kesalahan." (QS. Asy-Syuuraa: 25)

Dan dalam menyipati Dzat Allah SWT: "Yang mengampuni dosa dan menerima taubat." (QS.
Ghaafir: 3)

Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang
bertaubat dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah SWT dalam masalah pria
dan wanita yang mencuri:

"Maka barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan
itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah
Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maaidah: 39)

"Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang
berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS. Al An'aam: 54)

"Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan


kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki
( dirinya) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.
An-Nahl: 119)

Puja-puji terhadap Allah SWT dengan nama-Nya "at-Tawwab" (Maha Penerima Taubat)
terdapat dalam al Quran sebanyak sebelas tempat. Seperti dalam do'a Ibrahim dan Isma'il a.s.:
"Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha
Penyayang." (QS. Al Baqarah: 128).

Juga seperti dalan sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak sapi:

"Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu, dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah
lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima
taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang ." (QS. Al
Baqarah: 54)

Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya:

"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon
ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 64)

ASMA’UL HUSNA
Asma'ul husna secara harfiah adalah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung
sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu
kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah. Para ulama menekankan
bahwa Allah adalah sebuah nama kepada Dzat yang pasti ada namanya. Semua nilai kebenaran
mutlak hanya ada (dan bergantung) pada-Nya. Dengan demikian, Allah Yang Memiliki Maha
Tinggi. Tapi juga Allah Yang Memiliki Maha Dekat. Allah Memiliki Maha Kuasa dan
juga Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat-sifat Allah dijelaskan dengan
istilah Asmaaul Husna, yaitu nama-nama, sebutan atau gelar yang baik.

Asma’ul husna ini sendiri apabila kita mengamalakan atau sering membacanya maka asma’ul
husna ini seperti kita berdo’a kepada Allah dengan memohon sesuatu kepada Allah arena kita
yakin dan percaya tak ada suatu Dzat lainpun yang kita untuk memohon selain kepada Allah.
Misalnya kita menyebut Ar-rahman ( Maha Pengasih) dalam kehidupan kita sehari-hari maka
insya Allah apa yang kita lakukan selalu diberi pertolongoan oleh Allah. Contoh lain adalah
apabila kita menyebut Al-ghaffar ( Maha Pengampun) maka insya Allah dosa yang pernah kita
perbuat akan dihapuskan dengan catatan kita menyebut nama Allah ini dengan hati yang bersih
dan ikhlas serta dalam keadaan yang suci. Seperti dua contoh nama Allah yang dijabarkan di
atas, semua nama-nama Allah yang saya jelaskan di bawah ini memiliki keutamaan-keutamaan
pada setiap kedudukannya masing-masing. Namun, dengan catatan kita menyebut nama-nama
Allah tersebut dalam hati yang ikhlas, keadaan suci, benar-benar berserah diri, dan benar-benar
kita membutuhkan pertolongan dari Allah. Berikut saya menjelaskan Asma’ul Husna atau nama-
nama Allah yang baik :

1. Ar-Rahmaan: ( ‫ ) الرحمن‬Maha Pengasih , yaitu pemberi kenikmatan yang agung-agung dan


pengasih di dunia.

2. Ar-Rahim: ( ‫ ) الرحيم‬Maha Penyayang, iaitu pemberi kenikmatan yang di luar jangkaan dan
penyayang di akhirat.

3. Al-Malik: ( ‫ ) الملك‬Maha Merajai/ Menguasai /Pemerintah, iaitu mengatur kerajaanNya sesuai


dengan kehendakNya sendiri.

4. Al-Quddus: ( ‫ ) القدوس‬Maha Suci, iaitu tersuci dan bersih dari segala cela dan kekurangan.

5. As-Salaam: ( ‫ ) السالم‬Maha Penyelamat, iaitu pemberi keselamatan dan kesejahteraan kepada


seluruh makhlukNya.

6. Al-Mu’min: ( ‫ ) المؤمن‬Maha Pengaman / Pemelihara keamanan, iaitu siapa yang bersalah dan
makhlukNya itu benar-benar akan diberi seksa, sedang kepada yang taat akan benar-benar
dipenuhi janjiNya dengan pahala yang baik.
7. Al-Muhaimin: ( ‫ ) المحيمن‬Maha Pelindung/Penjaga / Maha Pengawal serta Pengawas, iaitu
memerintah dan melindungi segala sesuatu.

8. Al-’Aziiz: ( ‫ ) العزيز‬Maha Mulia / Maha Berkuasa, iaitu kuasaNya mampu untuk berbuat
sekehendakNya

9. Al-Jabbaar: ( ‫ ) الجبار‬Maha Perkasa / Maha Kuat / Yang Menundukkan Segalanya, iaitu


mencukupi segala keperluan, melangsungkan segala perintahNya serta memperbaiki keadaan
seluruh hambaNya.

10. Al-Mutakabbir: ( ‫ ) المتكبر‬Maha Megah / Maha Pelengkap Kebesaran. iaitu yang melengkapi
segala kebesaranNya, menyendiri dengan sifat keagungan dan kemegahanNya.

11. Al-Khaaliq: ( ‫ ) الخالق‬Maha Pencipta, iaitu mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga
yang menakdirkan adanya semua itu.

12. Al-Baari’: ( ‫ ) البارئ‬Maha Pembuat / Maha Perancang / Maha Menjadikan, iaitu mengadakan
sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.

13. Al-Mushawwir: ( ‫ ) المصور‬Maha Pembentuk / Maha Menjadikan Rupa Bentuk, memberikan


gambaran atau bentuk pada sesuatu yang berbeza dengan lainnya. (Al-Khaaliq adalah
mengadakan sesuatu yang belum ada asal mulanya atau yang menakdirkan adanya itu. Al-Baari’
ialah mengeluarkannya dari yang sudah ada asalnya, manakala Al-Mushawwir ialah yang
memberinya bentuk yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya).

14. Al-Ghaffaar: ( ‫ ) الغفار‬Maha Pengampun, banyak pemberian maafNya dan menutupi dosa-
dosa dan kesalahan.

15. Al-Qahhaar: ( ‫ ) القهار‬Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaanNya


serta memaksa segala makhluk menurut kehendakNya.

16. Al-Wahhaab: ( ‫ ) الوهاب‬Maha Pemberi / Maha Menganugerah, iaitu memberi banyak


kenikmatan dan selalu memberi kurnia.

17. Ar-Razzaaq: ( ‫ ) الرزاق‬Maha Pengrezeki / Maha Pemberi Rezeki, iaitu memberi berbagai
rezeki serta membuat juga sebab-sebab diperolehnya.

18. Al-Fattaah: ( ‫ ) الفتاح‬Maha Membukakan / Maha Pembuka , iaitu membuka gedung


penyimpanan rahmatNya untuk seluruh hambaNya.

19. Al-’Aliim: ( ‫ ) العليم‬Maha Mengetahui, iaitu mengetahui segala yang maujud dan tidak ada
satu benda pun yang tertutup oleh penglihatanNya.
20. Al-Qaabidh: ( ‫ ) القابض‬Maha Pencabut / Maha Penyempit Hidup / Maha Pengekang, iaitu
mengambil nyawa atau menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki olehNya.

21. Al-Baasith: ( ‫ ) الباسط‬Maha Meluaskan / Maha Pelapang Hidup / Maha Melimpah Nikmat,
iaitu memudahkan terkumpulnya rezeki bagi siapa yang diinginkan olehNya.

22. AI-Khaafidh: ( ‫ ) الخافض‬Maha Menjatuhkan / Maha Menghinakan / Maha Perendah /


Pengurang, iaitu terhadap orang yang selayaknya dijatuhkan akibat kelakuannya sendiri dengan
memberinya kehinaan, kerendahan dan seksaan.

23. Ar-Raafi’: ( ‫ ) الرافع‬Maha Mengangkat / Maha Peninggi, iaitu terhadap orang yang selayaknya
diangkat kedudukannya kerana usahanya yang giat, iaitu termasuk golongan kaum yang
bertaqwa.

24. Al-Mu’iz: ( ‫ ) المعز‬Maha Menghormati / Memuliakan / Maha Pemberi


Kemuliaan/Kemenangan, iaitu kepada orang yang berpegang teguh pada agamaNya dengan
memberinya pentolongan dan kemenangan.

25. Al-Muzil: ( ‫ ) المذل‬Maha Menghina / Pemberi kehinaan, iaitu kepada musuh-musuhNya dan
musuh ummat Islam seluruhnya.

26. As-Samii’: ( ‫ ) السميع‬Maha Mendengar.

27. Al-Bashiir: ( ‫ ) البصير‬Maha Melihat.

28. Al-Hakam: ( ‫ ) الحكم‬Maha Menghukum / Maha Mengadili, iaitu sebagai hakim yang
menetapkan / memutuskan yang tidak seorang pun dapat menolak keputusanNya, juga tidak
seorang pun yang berkuasa merintangi kelangsungan hukumNya itu.

29. Al-’Adl: ( ‫ ) العدل‬Maha Adil. Serta sangat sempurna dalam keadilanNya itu.

30. Al-Lathiif: ( ‫ ) اللطيف‬Maha Menghalusi / Maha Teliti / Maha Lembut serta Halus, iaitu
mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, pelik-pelik dan kecil-kecil.

31. Al-Khabiir: ( ‫ ) الخبير‬Maha Waspada/  Maha Mengetahui.

32. Al-Haliim: ( ‫ ) الحليم‬Maha Penyabar / Maha Penyantun / Maha Penghamba, iaitu yang tidak
tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula gelojoh memberikan siksaan.

33. Al-’Adzhiim: ( ‫ ) العظيم‬Maha Agung, iaitu mencapai puncak tertinggi dan di mercu keagungan
kerana bersifat dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempunnaan.

34. Al-Ghafuur: ( ‫ ) الغفور‬Maha Pengampun, banyak pengampunanNya kepada hamba-


hambaNya.
35. Asy-Syakuur: ( ‫ ) الشكور‬Maha Pembalas / Maha Bersyukur, iaitu memberikan balasan yang
banyak sekali atas amalan yang kecil.

36. Al-’Aliy: ( ‫ ) العلي‬Maha Tinggi Martabat-Nya / Maha Tinggi serta Mulia, iaitu mencapai tingkat
yang setinggi-tingginya yang tidak mungkin digambarkan oleh akal fikiran sesiapa pun dan tidak
dapat difahami oleh otak yang bagaimanapun pandainya.

37. Al-Kabiir: ( ‫ ) الكبير‬Maha Besar, yang kebesaranNya tidak dapat dicapai oleh pancaindera
ataupun akal manusia.

38. Al-Hafidz: ( ‫ ) الحفيظ‬Maha Pemelihara Maha Pelindung / Maha Memelihara, iaitu menjaga
segala sesuatu jangan sampai rosak dan goyah. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-
hambaNya, sehingga tidak akan disia-siakan sedikit pun untuk memberikan balasanNya.

39. Al-Muqiit: ( ‫ ) المقيت‬Maha Pemberi kecukupan/ Maha Pemberi Keperluan , baik yang berupa
makanan tubuh ataupun makanan rohani.

40. Al-Hasiib: ( ‫ ) الحسيب‬Maha Penjamin / Maha Mencukupi / Maha Penghitung, iaitu


memberikan jaminan kecukupan kepada seluruh bamba-hambaNya pada hari Qiamat.

41. Al-Jaliil: ( ‫ ) الجليل‬Maha Luhur, iaitu yang memiliki sifat-sifat keluhuran kerana kesempurnaan
sifat-sifatNya.

42. Al-Kariim: ( ‫ ) الكريم‬Maha Pemurah, iaitu mulia tanpa had dan memberi siapa pun tanpa
diminta atau sebagai penggantian dan sesuatu pemberian.

43. Ar-Raqiib: ( ‫ ) الركيب‬Maha Peneliti / Maha Pengawas Maha Waspada, iaitu yang mengamat-
amati gerak-geri segala sesuatu dan mengawasinya.

44. Al-Mujiib: ( ‫ ) المجيب‬Maha Mengabulkan, iaitu yang memenuhi permohonan siapa saja yang
berdoa padaNya.

45. Al-Waasi’: ( ‫ ) الواسع‬Maha Luas Pemberian-Nya , iaitu kerahmatanNya merata kepada segala
yang maujud dan luas pula ilmuNya terhadap segala sesuatu.

46. Al-Hakiim: ( ‫ ) الحكيم‬Maha Bijaksana, iaitu memiliki kebijaksanaan yang tertinggi


kesempurnaan ilmuNya serta kerapiannya dalam membuat segala sesuatu.

47. Al-Waduud: ( ‫ ) الودود‬Maha Pencinta / Maha Menyayangi, iaitu yang menginginkan segala
kebaikan untuk seluruh hambaNya dan juga berbuat baik pada mereka itu dalam segala hal dan
keadaan.

48. Al-Majiid: ( ‫ ) المجيد‬Maha Mulia, iaitu yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan
dan keutamaan.
49. Al-Ba’ithu: ( ‫ ) الباعث‬Maha Membangkitkan, iaitu membangkitkan semangat dan kemahuan,
juga membangkitkan para Rasul dan orang-orang yang telah mati dari kubur masing-masing
nanti setelah tibanya hari Qiamat.

50. Asy-Syahiid: ( ‫ ) الشهيد‬Maha Menyaksikan / Maha Mengetahui keadaan semua makhluk.

51.  Al-Haq: ( ‫ ) الحق‬Maha Haq / Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikit pun.

52. Al-Wakiil: ( ‫ ) الوكيل‬Maha Pentadbir / Maha Berserah / Maha Memelihara penyerahan, yakni
memelihara semua urusan hamba-hambaNya dan apa-apa yang menjadi keperluan mereka itu.

53. Al-Qawiy: ( ‫ ) القوى‬Maha Kuat / Maha Memiliki Kekuatan , iaitu yang memiliki kekuasaan
yang sesempurnanya.

54. Al-Matiin: ( ‫ ) المتين‬Maha Teguh / Maha Kukuh atau Perkasa / Maha Sempurna Kekuatan-
Nya , iaitu memiliki keperkasaan yang sudah sampai di puncaknya.

55. Al-Waliy: ( ‫ ) الولى‬Maha Melindungi, iaitu melindungi serta mengaturkan semua kepentingan
makhlukNya kerana kecintaanNya yang amat sangat dan pemberian pertolonganNya yang tidak
terbatas pada keperluan mereka.

56. Al-Hamiid: ( ‫ ) الحميد‬Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh
pujian dan sanjungan.

57. Al-Muhshii: ( ‫ ) المحصى‬Maha Menghitung  / Maha Penghitung, iaitu yang tiada satu pun
tertutup dari pandanganNya dan semua amalan diperhitungkan sebagaimana wajarnya.

58. Al-Mubdi’: ( ‫ ) المبدئ‬Maha Memulai/Pemula / Maha Pencipta dari Asal, iaitu yang melahirkan
sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum maujud.

59. Al-Mu’iid: ( 2‫ ) المعيد‬Maha Mengulangi / Maha Mengembalikan dan Memulihkan, iaitu


menumbuhkan kembali setelah lenyapnya atau setelah rosaknya.

60. Al-Muhyii: ( ‫ ) المحي‬Maha Menghidupkan, iaitu memberikan daya kehidupan pada setiap
sesuatu yang berhak hidup.

61. Al-Mumiit: ( ‫ ) المميت‬Maha Mematikan, iaitu mengambil kehidupan (roh) dari apa-apa yang
hidup.

62. Al-Hay: ( ‫ ) الحي‬Maha Hidup, iaitu sentiasa kekal hidupNya itu.

63. Al-Qayyuum: ( ‫ ) القيوم‬Maha Berdiri Dengan Sendiri-Nya , iaitu baik ZatNya, SifatNya,
Af’alNya. Juga membuat berdirinya apa-apa yang selain Dia. DenganNya pula berdirinya langit
dan bumi ini.
64. Al-Waajid: ( ‫ ) الواجد‬Maha Penemu / Maha Menemukan, iaitu dapat menemukan apa saja
yang diinginkan olehNya, maka tidak berkehendakkan pada suatu apa pun kerana sifat kayaNya
yang secara mutlak.

65. Al-Maajid: ( ‫ ) الماجد‬Maha Mulia, (sama dengan no. 48 yang berbeda hanyalah tulisannya
dalam bahasa Arab, Ejaan sebenarnya no. 48 Al-Majiid, sedang no. 65 A1-Maajid).

66. Al-Waahid: ( ‫ ) الواحد‬Maha Esa.

67. Al-Ahad: ( ‫ ) األحد‬Maha Tunggal.

68. Ash-Shamad: ( ‫ ) الصمد‬Maha Diperlukan / Maha Diminta / Yang Menjadi Tumpuan, iaitu
selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu ada hajat keperluan.

69. Al-Qaadir: ( ‫ ) القادر‬Maha Berkuasa/ Maha Kuasa / Maha Berupaya

70. Al-Muqtadir: ( ‫ ) المقتدر‬Maha Menentukan.

71. Al-Muqaddim: ( ‫ ) المقدم‬Maha Mendahulukan / Maha Menyegera, iaitu mendahulukan


sebahagian benda dari yang lainnya dalam mewujudnya, atau dalam kemuliaannya, selisih
waktu atau tempatnya.

72. Al-Muakhkhir: ( ‫ ) المؤخر‬Maha Menangguhkan / Maha Mengakhirkan / Maha


Membelakangkan / Maha Melambat-lambatkan., iaitu melewatkan sebahagian sesuatu dari
yang lainnya.

73. Al-Awwal: ( ‫ ) األول‬Maha Pemulaan  / Maha Pertama, iaitu terdahulu sekali dari semua yang
maujud.

74. Al-Aakhir: ( ‫ ) اآلخر‬Maha Penghabisan / Yang Akhir, iaitu kekal terus setelah habisnya segala
sesuatu yang maujud.

75. Azh-Zhaahir: ( ‫ ) الظاهر‬Maha Zahir / Maha Nyata / Maha Menyatakan, iaitu menyatakan dan
menampakkan kewujudanNya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaanNya

76. Al-Baathin: ( ‫ ) الباطن‬Maha Tersembunyi, iaitu tidak dapat dimaklumi ZatNya, sehingga tidak
seorang pun dapat mengenal ZatNya itu.

77. Al-Waalii: ( ‫ ) الوالى‬Maha Menguasai / Maha Menguasai Urusan / Yang Maha Memerintah,
iaitu menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaanNya dan menjadi milikNya.

78. Al-Muta’aalii: ( ‫ ) المتعال‬Maha Suci/Tinggi , iaitu terpelihara dari segala kekurangan dan
kerendahan.
79. Al-Bar: ( ‫ ) البار‬Maha Dermawan / Maha Bagus (Sumber Segala Kelebihan) / Yang banyak
membuat kebajikan, iaitu banyak kebaikanNya dan besar kenikmatan yang dilimpahkanNya.

80. At-Tawwaab: ( ‫ ) التواب‬Maha Penerima Taubat, iaitu memberikan pertolongan kepada


orang-orang yang melakukan maksiat untuk bertaubat lalu Allah akan menerimanya.

81. Al-Muntaqim: ( ‫ ) المنتقم‬Maha Penyiksa / Yang Maha Menghukum, kepada mereka yang
bersalah dan orang yang berhak untuk memperoleh siksaNya.

82. Al-’Afuw: ( ‫ ) العفو‬Maha Pemaaf / Yang Maha Pengampun, menghapuskan kesalahan orang
yang suka kembali untuk meminta maaf padaNya.

83. Ar-Rauuf: ( ‫ ) الرؤف‬Maha Pengasih / Maha Mengasihi, banyak kerahmatan dan kasih
sayangNya.

84. Maalikul Mulk: ( ‫ ) المالك الملك‬Maha Pemilik Kekuasaan  / Maha Menguasai kerajaan / Pemilik
Kedaulatan Yang Kekal, maka segala perkara yang berlaku di alam semesta, langit, bumi dan
sekitarnya serta yang di alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradatNya.

85. Zul-Jalaali Wal Ikraam: ( ‫ ) ذوالجالل واإلكرام‬Maha Pemilik Keagungan dan Kemuliaan  / Maha
Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan. Juga Zat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan,
pemberi kurnia dan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah ruah.

86. Al-Muqsith: ( ‫ ) المقسط‬Maha Mengadili / Maha Saksama, iaitu memberikan kemenangan


pada orang-orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya dengan
keadilanNya.

87. Al-Jaami’: ( ‫ ) الجامع‬Maha Mengumpulkan / Maha Pengumpul, iaitu mengumpulkan berbagai


hakikat yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat manusia pada hari
pembalasan.

88. Al-Ghaniy: ( ‫ ) الغنى‬Maha Kaya Raya / Maha Kaya serta Serba Lengkap, iaitu tidak
berkehendakkan apa juapun dari yang selain ZatNya sendiri, tetapi yang selainNya itu amat
mengharapkan padaNya.

89. Al-Mughnii: ( ‫ ) المغنى‬Maha Pemberi kekayaan / Maha Mengkayakan dan Memakmurkan,


iaitu memberikan kelebihan yang berupa kekayaan yang berlimpah-ruah kepada siapa saja yang
dikehendaki dari golongan hamba-hambaNya.

90. Al-Maani’: ( ‫ ) المانع‬Maha Membela atau Maha Menolak / Maha Pencegah, iaitu membela
hamba-hambaNya yang soleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerosakan.

91. Adh-Dhaar: ( ‫ ) الضار‬Maha Mendatangkan Mudharat / Maha Pembuat Bahaya  / Maha


Pemberi bahaya, iaitu dengan menurunkan seksa-seksaNya kepada musuh-musuhNya
92. An-Naafi’: ( ‫ ) النافع‬Maha Pemberi Manfaat , iaitu meluaslah kebaikan yang dikurniakanNya
itu kepada semua hamba, masyarakat dan negeri.

93. An-Nuur: ( ‫ ) النور‬Maha Pemberi Cahaya  / Maha Bercahaya, iaitu menonjokan ZatNya
sendiri dan menampakkan untuk yang selainNya dengan menunjukkan tanda-tanda
kekuasaanNya.

94. Al-Haadi: ( ‫ ) الهادى‬Maha Pemberi Petunjuk / Yang Memimpin dan Memberi Pertunjuk, iaitu
memberikan jalan yang benar kepada segala sesuatu agar berterusan adanya dan terjaga
kehidupannya.

95. Al-Badii’: ( ‫ ) البديع‬Maha Indah / Tiada Bandingan  / Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak
ada contoh dan yang menyamai sebelum keluarnya ciptaanNya itu.

96. Al-Baaqi: ( ‫ ) الباقع‬Maha Kekal, iaitu kekal hidupNya untuk selama-Iamanya

97. Al-Waarits: ( ‫ ) الوارث‬Maha Membahagi / Maha Mewarisi  / Maha Pewaris, iaitu kekal
setelah musnahnya seluruh makhluk.

98. Ar-Rasyiid: ( ‫ ) الرشيد‬Maha Cendekiawan / Maha Pandai / Bijaksana / Maha Memimpin, iaitu
yang memimpin kepada kebenaran, iaitu memberi penerangan dan panduan pada seluruh
hambaNya dan segala peraturanNya itu berjalan mengikut ketentuan yang digariskan oleh
kebijaksanaan dan kecendekiawanNya.

99. Ash-Shabuur: ( ‫ ) الصبور‬Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan seksaan dan
tidak juga cepat melaksanakan sesuatu sebelum masanya.

SIFAT SIFAT ALLAH

A. Pengertian Sifat-Sifat Allah


Sifat-sifat Allah adalah sifat sempurna yang yang tidak terhingga bagi Allah. Sifat-sifat Allah
wajib bagi setiap muslim mempercayai bahwa terdapat beberapa sifat kesempurnaan yang tidak
terhingga bagi Allah. Maka, wajib juga dipercayai akan sifat Allah yang dua puluh dan perlu
diketahui juga sifat yang mustahil bagi Allah. Sifat yang mustahil bagi Allah merupakan lawan
kepada sifat wajib.

Sifat wajib terbagi empat bagian yaitu nafsiah, salbiah, ma’ani atau ma’nawiah.

B. Sifat-Sifat Wajib Allah


Sifat wajib Allah adalah sifat yang pasti ada pada Allah.
Berikut dibawah ini adalah sifat-sifat allah yang wajib :

1. Wujud (Ada)
Adanya Allah itu bukan karena ada yang mengadakan atau menciptakan, tetapi Allah itu ada
dengan zat-Nya sendiri.
o Dalil Aqli sifat Wujud
Adanya semesta alam yang kita lihat sudah cukup dijadikan sebagai alasan adanya Allah,
sebab tidak masuk akal seandainya ada sesuatu yang dibuat tanpa ada yang
membuatnya.
o Dalil Naqli sifat Wujud

‫جلقالسموات واالرض وما بينهمافي ستةايام ﷲالذى‬


Allahlah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam
(waktu) enam hari. (QS. AS sajdah [32]:4)
2. Qidam (Dahulu/Awal)
Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah swt sebagai Pencipta lebih dulu ada daripada semesta
alam dan isinya yang Ia ciptakan.
o Dalil aqli sifat Qidam
Seandainya Allah tidak qodim, mesti Allah hadits, sebab tidak ada penengah antara
qodim dan hadits. Apabila Allah hadits maka mesti membutuhkan muhdits (yang
membuat) mislanya A, dan muhdits A mesti membutuhkan kepada Muhdits yang lain,
misalnya B. Kemudian muhdits B mesti membutuhkan muhdits yang lain juga, misalnya
C. Begitulah seterusnya.Apabila tiada ujungnya, maka dikatakan tasalsul (peristiwa
berantau), dan apabila yang ujung membutuhkan kepada Allah maka dikatan daur
(peristiwa berputar). Masing-masing dari tasalsul dan daur adalah mustahil menurut
akal. Maka setiap yang mengakibatkan tasalsul dan daur, yaitu hudutsnya Allah adalah
mustahil, maka Allah wajib bersifat Qidam.
o Dalil Naqli sifat Qidam

‫هواالول واالخروالظاهروالباطن‬
Dialah yang awal dan yang akhir Yang zhohir dan yang bathin. (QS. Al-Hadid [57]:3)
3. Baqa’(Kekal)
Allah Akan Kekal dan Abadi Selamanya, Kekalnya Allah SWT tidak berkesudahan
o Dalil Aqli sifat Baqa’
Seandainya Allah tidak wajib Baqo, yakni Wenang Allah Tiada, maka tidak akan disifati
Qidam. Sedangkan Qidam tidak bisa dihilangkan dari Allah berdasarkan dalil yang telah
lewat dalam sifat Qidam.
o Dalil Naqli Sifat Baqa’

‫كلشئ هالك إالوجهه‬


Tiap sesuatu akan binasa (lenyap) kecuali Dzat-nya. (QS. Qoshos [28]:88)
4. Mukhalafatuhu Lilhawadith (berbeda dengan Ciptaannya/Makhluknya)
Sifat ini menunjukkan bahwa Allah SWT berbeda dengan hasil ciptaan-Nya. Coba kita perhatikan
tukang jahit hasil baju yang dijahit sendiri tidak mungkin sama dengan baju yang dibuat orang
lain.
o Dalil Aqli sifat mukhalafah lil hawadits
Apabila diperkirakan Allah menyamai sekalian makhluknya, niscaya Allah dalah baru
(Hadits), sedangkan Allah baru adalah mustahil
o Dalil Naqli sifat mukhalafah lil hawadits

‫ليس كمثله شيئ وهوالسميع البصير‬


Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan dia, dan dia-lah yang maha mendengar
lagi maha melihat. (QS. Asy-Syuro [42]:11)
5. Qiyamuhu Binafsihi (Allah Berdiri Sendiri)
Artinya Bahwa Allah SWT itu berdiri dengan zat sendiri tanpa membutuhkan bantuan yang lain.
Maksudnya, keberadaan Allah SWT itu ada dengan sendirinya tidak ada yang mengadakan atau
menciptakan.Contohnya,
Allah SWT menciptakan alam semesta ini karena kehendak sendiri tanpa minta pertolongan
siapapun.
o Dalil Aqli sifat Qiyamuhu Binafsihi
Seadainya Allah membutuhkan dzat, niscaya Allah adalah sifat, sebab hanya sifatlah
yang selalu membutuhkan dzat, sedangkan dzat selamanya tidak membutuhkan dzat
lain untuk berdirinya.
Dan apabila Allah “Sifat” adalah mustahil, sebab apabila Allah “sifat”, maka Allah tidak
akan disifati dengan sifat Ma’ani dan Ma’nawiyah, sedangkan sifat tersebut adalah
termasuk sifat-sifat yang wajib bagi Allah berdasarkan dalil-dalil tertentu. Berarti apabila
Allah tidak disifati dengan sifat Ma’ani dan Ma’nawiyah adalah salah (Bathil), dan batal
pula sesuatu yang mengakibatkannya, yaitu butuhnya Allah kepada dzat. Apabila batal
butuhnya Allah kepada dzat maka tetap Maha kaya (istighna)nya Allah dari dzat.
Seandainya Allah membutuhkan sang pncipta, niscaya Allah baru (Hadts), sebab yang
membutuhkan pencipta hanyalah yang baru sedangkan dzat qodim tidak
membutuhkannya. Dan mustahil Allah Hadits, karena segala sesuatu yang hadits harus
membutuhkan sang pencipta (mujid) yang kelanjutannya akan mengakibatkan daur atau
tasalul.
o Dalil Naqli Sifat Qiamuhu Binafsihi

‫إن اﷲ لغنى عن العا لمين‬


Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam
semesta. (QS. Al Ankabut [29]:6)
6. Wahdaniyyah (Tunggal/Esa)
Artinya adalah Bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa., baik itu Esa zat-Nya, sifat-Nya,
maupun perbuatannya.Esa zat-Nya maksudnya zat Allah SWT itu bukanlah hasil dari
penjumlahan dan perkiraan atau penyatuan satu unsur dengan unsur yang lain mkenjadi satu.
Berbeda dengan mahluk, mahluk diciptakan dari berbagai unsur, seperti wujudnya manusia, ada
tulang, daging, kulit dan seterusnya.Esa sifat-Nya artinya semua sifat-sifat kesempurnaan bagi
Allah SWT tidak sama dengan sifat-sifat pada mahluk-Nya, seperti marah, malas dan
sombong.Esa perbuatan-Nya berarti Allah SWT berbuat sesuatu tidak dicampuri oleh perbuatan
mahluk apapun dan tanpa membutuhkan proses atau tenggang waktu. Allah SWT berbuat
karena kehendak-Nya sendiri tanpa ada yang menyuruh dan melarang.
o Dalil Naqli

‫لوكان فيهماالهةإالاﷲ لفسد تا‬


Seandainya di langit dan dibumi ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi
akan rusak. (QS. Al Anbiya [21]:22)
7. Qudrat (Berkuasa)
Kekuasaan Allah SWT, atas segala sesuatu itu mutlak, tidak ada batasnya dan tidak ada yang
membatasi, baik terhadap zat-Nya sendiri maupun terhadap makhluk-Nya. Berbeda dengan
kekuasaan manusia ada batasnya dan ada yang membatasi.
o Dalil Aqli sifat Qudrot
Dalilnya adalah adanya alam semesta.
Proses penyusunan dalilnya, jika Allah tidak berkemampuan niscaya Allah lemah(‘Ajzun),
dan apabila Allah lemah maka tidak akan mampu menciptakan makhluk barang
sedikitpun.
o Dalil Naqli sifat Qudrot

‫إن اﷲعلى كل شيى قد ير‬


Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah [2]:20)
8. Iradah (berkehendak)
Allah SWT menciptakan alam beserta isinya atas kehendak-Nya sendiri, tanpa ada paksaan dari
pihak lain atau campur tangan dari siapa pun Apapun yang Allah SWT kehendakin pasti terjadi,
begitu juga setiap setiap Allah SWT tidak kehendaki pasti tidak terjadi.Berbeda dengan kehendak
atau kemauan manusia, tidak sedikit manusia mempunyai keinginan, tetapi keinginan itu kandas
di tengah jalan. Apabila manusia berkeinginan tanpa disertai dengan kehendak Allah SWT. Pasti
keinginan itu tidak terwujud. Hal ini menunjukan bahwa manusia memiliki keterbatasan,
sedangkan Allah SWT memiliki kehendak yang tidak terbatas.
o Dalil Aqli sifat Irodat.
Dalilnya adalah adanya alam semesta.
Proses penyusunan dalil, seasndainya allah tidak bersifat berkehendak niscaya bersifat
terpaksa (karohah), dan allah bersifat terpaksa adalah mustahil karena tidak akan disifati
qudrot, akan tetapi tidak disifatinya Allah dengan sifat qudrot adalah mustahil, sebab
akanberakibat lemahnya Alla, sedangkan lemahnya Allah adalah mustahi, karena tidak
akan mampu membuat makhluk barang sedikitpun.
o Dalil Naqli sifat Irodat.

‫ان ربك فعال لمايريد‬


Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki.
(QS. Hud[50]:107)
9. Ilmu (Mengetahui)
Artinya Allah SWT memiliki pengetahuan atau kepandaian yang sangat sempurna, artinya ilmu
Allah SWT itu tidak terbatas dan tidak pula dibatasi. Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang
ada di alam semesta, baik yang tampak maupun yang gaib.Bahkan, apa yang dirahasiakan
didalam hati manusia sekali pun. Bukti kesempurnaan ilmu Allah SWT, ibarat air laut menjadi
tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah SWT, tidak akan habis kalimat-kalimat tersebut
meskipun mendatangkan tambahan air yang banyak seperti semula.Kita sering kagum atas
kecerdasan dan ilmu yang dimiliki orang-orang pintar di dunia ini. Kita juga takjub akan indahnya
karya dan canggihnya tekhnologi yang diciptakan manusia. Sadarkah kita bahwa ilmu tersebut
hanyalah sebagian kecil saja yang diberikan Allah SWT kepada kita ?.
o Dalil Aqli sifat Ilmu
Dalilnya adalah adanya alam semesta.
Proses penyusunan dalil, seandainya Allah tak berilmu niscaya tidak akan berkehendak,
sedangkan allah tidak berkehendak adalah mustahil, karena tidak akan disifati qudrot,
akan tetapi Allah tidak disifati dengan qudrot adalah mustahil, sebab akan berakibat
lemahnya Allah. Sedangkan lemahnya Allah adalah mustahil, karena tidak akan mampu
membuat barang makhluk sedikitpun.
o Dalil Naqli sifat Ilmu

‫وهوبكل شيى عليم‬


Dan dia maha mengetahui segala sesuatu.
(QS.Al Hadid [57]:3 atau QS. Al Baqaroh [2]:29)
10. Hayat (Hidup)
Artinya Hidupnya Allah tidak ada yang menghidupkannya melainkan hidup dengan zat-Nya
sendiri karena Allah Maha Sempurna, berbeda dengan makhluk yang diciptakan-Nya.
Contohnya :
Manusia ada yang menghidupkan. Selain itu, mereka juga mmebutuhkan makanan, minuman,
istirahat, tidur, dan sebagainya. Akan tetapi, hidupnya Allah SWT tidak membutuhkan semua itu.
Allah SWT hidup selama-lamanya, tidak mengalami kematian bahkan mengantuk pun tidak.
o Dalil Aqli sifat hayat
Dalilnya adanya alam semesta. Proses penyusunan dalil, seandainya Allah tidak hidup
maka tidak akan disifati Qudrot, akan tetapi Allah tidak disifati dengan Qudrot adalah
mustahil, sebab akan berakibat lemahnya Allah, seangkan lemahnya Allah adalah
mustahil, karena tidak akan mampu membuat alam semesta.
o Dalil Naqli sifat Hayat
Firman Allah :

‫وتو كل على الحى الذ ى اليمو ت‬


Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup yang tidak mati. (QS. Al-Furqon [25]:58)
11. Sama’ (Mendengar)
Allah SWT mendengar setiap suara yang ada di alam semesta ini. Yidak ada suara yang terlepas
dari pendengaran Allah SWT walaupun suara itu lemah dan pelan., seperti suara bisikan hati dan
jiwa manusia.Pendengaran Allah SWT berbeda dengan pendengaran mahluk –Nya karena tidak
terhalang oleh suatu apapun, sedangkan pendengaran mahluk-Nya dibatasi ruang dan waktu.
DALIL :
”Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” … (QS Al Maidah :76)
12. Basar ( Melihat )
Allah SWT melihat segala sesuatu yang ada di alam semesta ini . penglihatan Allah bersifat
mutlak, artinya tidak dibatasi oleh jarak( jauh atau dekat) dan tidak dapat dihalangi oleh dinding
(tipis atau tebal). Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, kecil maupun besar, tampak atau
tidak tampak, pasti semuanya terlihat oleh Allah SWT.
DALIL:
”………Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” … (al-Baqarah: 265)
Dengan memahami sifat besar Allah SWT hendaknya kita selalu berhati-hati dalam berbuat.
Mungkin kita bisa berbohong kepada manusia, seperti orang tua, guru, atau teman. Akan tetapi
kita tidak akan bisa berbohong kepada Allah SWT.
13. Kalam ( Berbicara / Berfirman )
Allah SWT bersifat kalam artinya Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada
para nabi dan rasul-Nya. Pembicaraan Allah SWT tentu tidak sama dengan pembicaraan manusia
karena Allah SWT tidak berorgan (panca indra), seperti lidah dan mulut yang dimiliki oleh
manusia.Allah SWT berbicara tanpa menggunkan alat bantu yang berbentuk apapun sebab sifat
kalam Allah SWT sangat sempurna. Sebagai bukti bahwa adanya wahyu Allah SWT berupa al
qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab Allah yang diturunkan
kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW.
DALIL :
”……. Dan Allah berkata kepada Musa dengan satu perkataan yang jelas”
(QS AnNisa’ :164)Oleh karena itu kita sebagai hamba Allah SWT hendaknya membiasakan diri
mengucapkan kalimat-kalimat tayyibah, artinya kata-kata yang mulia, seperti ketika kita berbuat
salah, maka segeralah membaca istighfar.
14. Kaunuhu Qadirun
Yaitu Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.
DALIL
“Sesungguhnya Alllah berkuasa atas segala sesuatu“ (QS. Al Baqarah :20).
15. Kaunuhu Muridun
Yaitu Keadaan Allah Ta’ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu, Ia
berkehendak atas nasib dan takdir manusia.
DALIL
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Melaksanakan apa yang Dia kehendaki“ … (QS. Hud :107)
16. Kaunuhu ‘Alimun
Yaitu Keadaan Allah Ta’ala Yang Mengetahui akan Tiap-tiap sesuatu, mengetahui segala hal yang
telah terjadi maupun yang belum terjadi, Allah pun dapat mengetahui isi hati dan pikiran
manusia.
DALIL
“Dan Alllah Maha Mengetahui sesuatu“ … (QS. An Nisa’ :176)
17. Kaunuhu Hayyun
Yaitu Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup, Allah adalah Dzat Yang Hidup, Allah tidak akan pernah
mati, tidak akan pernah tidur ataupun lengah.
DALIL
“Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup kekal dan yang tidak mati“
(QS. Al Furqon :58)
18. Kaunuhu Sami’un
Yaitu Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar, Allah selalu mendengar pembicaraan manusia,
permintaan atau doa hambaNya.
DALIL
“Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui“ … (QS. Al Baqoroh :256).
19. Kaunuhu BasirunYAitu Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda
yang ada ).Allah selalu melihat gerak-gerik kita. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu berbuat
baik.
DALIL
“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan“ … (QS. Al Hujurat :18)
20. Kaunuhu Mutakallimun
Yaitu Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkata-kata, Allah tidak bisu, Ia berbicara atau berfirman
melalui ayat-ayat Al Quran.
Bila Al Quran menjadi pedoman hidup kita, maka kita telah patuh dan tunduk terhadap Allah
swt.

C. Sifat-Sifat Mustahil bagi Allah


Sifat Mustahil Bagi Allah artinya Sifat Yang Tidak Mungkin ada pada Allah Swt. Sifat Mustahil
Allah merupakan Lawan Kata/Kebalikan dari Sifat Wajib Allah
Berikut dibawah ini adalah 20 sifat-sifat mustahil bagi Allah swt.

1. ‘Adam, artinya tiada (bisa mati)


2. Huduth, artinya baharu (bisa di perbaharui)
3. Fana’, artinya binasa (tidak kekal/mati)
4. Mumathalatuhu Lilhawadith, artinya menyerupai akan makhlukNya
5. Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (ada kerjasama)
6. Ta’addud, artinya berbilang – bilang (lebih dari satu)
7. ‘Ajz, artinya lemah (tidak kuat)
8. Karahah, artinya terpaksa (bisa di paksa)
9. Jahl, artinya jahil (bodoh)
10. Maut, artinya mati (bisa mati)
11. Syamam, artinya tuli
12. ‘Umy, artinya buta
13. Bukm, artinya bisu
14. Kaunuhu ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya)
15. Kaunuhu Karihan, artinya terpaksa (dalam keadaannya)
16. Kaunuhu Jahilan, artinya jahil (dalam keadaannya)
17. Kaunuhu Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya)
18. Kaunuhu Asam, artinya tuli (dalam keadaannya)
19. Kaunuhu A’ma, artinya buta (dalam keadaannya)
20. Kaunuhu Abkam, artinya bisu (dalam keadaannya)

D. Sifat Ja’iz Bagi Allah Swt


Sifat Jaiz bagi Allah artinya boleh bagi Allah Swt mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan
sesuatu atau di sebut juga sebagai “mumkin”. Mumkin ialah sesuatu yang boleh ada dan tiada.

Ja’iz artinya boleh-boleh saja, dengan makna Allah Swt menciptakan segala sesuatu, yakni
dengan tidak ada paksaan dari sesuatupun juga, sebab Allah Swt bersifat Qudrat (kuasa) dan
Iradath (kehendak), juga boleh – boleh saja bagi Allah Swt meniadakan akan segala sesuatu
apapun yang ia mau.

PERBUATAN ALLAH DAN MANUSIA

PERBUATAN ALLAH DAN MANUSIA.

Teori Asy’ariyah menyatakan :


‫الكسب هوتعلق قدرة العبد وارادته بالفعل املقدور احملدث من اهلل على احلقيقة‬
Kasb adalah tergantungnya kudrat dan iradah (kehendak) manusia kepada perbuatan yang terjadinya itu
ditakdirkan oleh Allah pada hakekatnya.

 Menurut Al-Asy’ari dalam kitabnya Al-Ibanah An Ushul Ad Diyanah ia membedakan antara


khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (Khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia
sendiri mengupayakannya )muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu
termasuk keinginan manusia.i[1]

            Argumen yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:

‫َواللَّهُ َخلَ َق ُك ْم َو َما َت ْع َملُو َن‬


Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS.Ash-Shaffat : 96)

Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-
perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham Asy’ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia
sebenarnya adalah Allah sendiri.ii[2]

Menurut irfat abd. al-Hamid dalam kitab dirasat fi Al Firaq wa Al-Aqoid al-Islamiyah Pada
prinsipnya, Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa  perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya
manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan
menciptakan pula pada diri manusia- daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi perbutan disini
adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai
pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. iii[3]

Menurut Harun Nasution ”Teori al-kasb (perolehan) dapat dijelaskan sebagai berikut, ”Segala
sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang
memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan.iv[4]

Menurut Imam al-Asy’ari : ”Sesungguhnya manusia itu berusaha untuk melakukan suatu
perbuatan. Namun sering terjadi bahwa hasil perbuatannya itu bukan seperti apa yang dikehendaki dan
apa yang diusahakan. Ini berarti bahwa manusia itu tidak menciptakan perbuatannya”.

Asy’ariyah mengkaitkan perbuatan manusia dengan hasil yang diperolehnya. Dalil-dalil naqli
yang diungkapkan  Asy’ariyah hampir semuanya mengarah kesana. Diantaranya ayat yang menyatakan :

‫ض ُكلُّ ُه ْم مَجِ ًيعا‬ ْ ‫ك آَل ََم َن َم ْن يِف‬


ِ ‫اَأْلر‬ َ ُّ‫َولَ ْو َشاءَ َرب‬
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
(QS.Yunus : 99)

Menurut Al-Asy’ari, manusia punya kudrah dan iradah untuk berbuat, hanya saja ia bergantung
kepada takdir dari Allah. Orientasi perbuatan manusia al-Asy’ari adalah hubungan antara perbuatan
manusia dengan hasilnya: keberhasilannya atau kegagalannya. Apa yang dikerjakan manusia kepastian
hasilnya tidak ditentukan oleh manusia melainkan oleh ”perbuatan” Allah. v[5]

IMAM AL-BAQILANI BERBEDA DENGAN AL-ASY’ARI

Sementara Itu Imam al-Baqilani tidak sepaham dengan al-Asy’ari mengenai Paham perbuatan
manusia. Kalau bagi al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Allah seluruhnya, menurut al-
Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang
diwujudkan Allah ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu
dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Dengan lain kata, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai
bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis ) adalah ciptaan
Allah, tetapi duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan species (‫ )ن وع‬dari
gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Allah itu,
mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi Al-Asy’ari daya
manusia dalam kasb tidak mempunya efek, bagi al-Baqillani daya itu mempunyai efek. vi[6]

Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya
serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang
ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula
pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu
Allah.vii[7]

Secara umum Perbuatan manusia menurut faham Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan
diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua
daya, yaitu daya Allah dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Allah yang
mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Allah.
Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya.viii[8]

Menurut faham Asy’ariyah, bahwa segala sesuatu itu dijadikan Allah, tetapi Allah juga
menciptakan IKHTIAR dan KASAB bagi manusia. Sesuatu yang diperbuat manusia  adalah
PERTEMUAN IKHTIAR MANUSIA DENGAN TAKDIRNYA. Ikhtiar dan kasab adalah sebagai sebab
saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan sesuatu. Umpamanya, kalau sesuatu benda disentuh api,
maka ia terbakar. Bila orang makan maka kenyanglah.  Tetapi bukan api yang membakarnya dan bukan
nasi yang mengenyangkannya, semua adalah Allah semata. Kadang-kadang terjadi sebaliknya bila Allah
menghendakinya. Banyak benda yang disentuh api tetapi tidak terbakar. Banyak orang berusaha sekuat
tenaga tetapi sial dan kemalangan yang diperoleh. Kalau obat itu mesti dapat menyembuhkan penyakit,
tentu tidak ada orang yang mati. Kenyataan menunjukan banyak penyakit tidak dapat disembuhkan. ix[9]

Manusia memperoleh hukuman karena ikhtiar dan kasabnya yang tidak baik dan akan diberi
pahala atas ikhtiar dan kasabnya yang baik. Firman Allah :

‫ت‬
ْ َ‫ت َو َعلَْي َها َما ا ْكتَ َسب‬
ْ َ‫هَلَا َما َك َسب‬
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.(QS.Al-Baqarah : 286)

ِ ‫ت َأيْ ِدي الن‬


‫َّاس‬ ‫مِب‬
ْ َ‫اد يِف الَْبِّر َوالْبَ ْح ِر َا َك َسب‬
ُ ‫ظَ َهَر الْ َف َس‬
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (QS.Ar-Ruum
: 41)
i

ii

iii

iv

vi

vii

viii

ix

Anda mungkin juga menyukai