Anda di halaman 1dari 5

Pilihan Antibiotik Demam

Tifoid
dr. Amar Widhiani, Sp.A(K)
Terapi demam tifoid ditujukan kepada penderita penyakit tifoid, namun juga ditujukan kepada penderita
karier salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller
dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.

Tujuan:
1. Menjelaskan tatalaksana umum demam tifoid
2. Menjelaskan pilihan antibiotik pada demam tifoid

Tatalaksana umum

Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta
transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak
penderita demam tifoid.

Terapi antibiotik

Kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara
berkembang.1 Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan
fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin.2,3

Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk pengobatan demam tifoid pada anak
dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kloramfenikol ditemukan pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae.
Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini dalam dua wabah tifus di tahun 1948, kloramfenikol
menjadi antibiotik pertama yang diproduksi
dalam skala besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan bahwa obat ini dapat menyebabkan anemia
aplastik yang serius dan berpotensi fatal, sehingga pemakaian obat ini menurun drastis. Karena alasan
itulah, dengan pengecualian untuk daerah di mana biaya dan ketersediaan membuatnya tetap menjadi terapi
utama untuk demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan obat pilihan untuk infeksi tertentu di
beberapa negara maju.4

Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia
aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia
dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila
diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.5
Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia masih sangat endemis, dan
kebanyakan kasusnya masih berada di daerah pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang
masih sangat rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang benar-benar
optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi
pilihan utama, khususnya pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.

Penambahan asam klavulanat pada amoksisilin dianggap tidak membawa keuntungan yang
signifikan bila dibandingkan dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan
Amoksisilin- Asam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian amoksisilin oral
selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid yang
resisten terhadap kloramfenikol.7

Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan kloramfenikol dalam


mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus
demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol.

Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa
komplikasi.8 Obat ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan
typhi yang menghuni sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-1.9

Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari terbukti efektif
mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam
yang hampir mirip dengan bila digunakan kloramfenikol.10

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim diindikasikan pada
kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya.
Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan
relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan.11

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon, termasuk siprofloksasin, ofloksasin,


levofloksasin dan gatifloksasin merupakan obat pilihan yang optimal untuk pengobatan demam tifoid.2

Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg
BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau
trimetropim- sulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80%. Kloramfenikol
tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid.
Kepustakaan
1.Sá nchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gó mez-Duarte OG. Salmonella infections: an update on
epidemiology, management, and prevention. Travel Med Infect Dis 2011;9:263-77.Background
document : the diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. [homepage on the Internet].
Switzerland : Communical disease surveillance and response Vaccines and Biologicals; 2003. Diunduh
pada tanggal 30 Mei 2006 dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/ WHO_V&B_03.07.pdf
2.Bhuta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. Br Med J 2006;333:78–
82.
3.Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Wamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. Med J
Armed Forces India 2003; 59:130-5.
4.Chloramphenicol. Wikipedia- The free encyclopedia. [updated 2012 June 4] Diunduh dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Chloramphenicolpada tanggal 30 Mei 2012.
5.Hadinegoro SR. Strategi pengobatan demam tifoid pada anak. Dalam: Akib AAP, Tumbelaka AR,
Matondang CS, penyunting. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Bagian Ilmu
Kesehatan Anak XLIV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001:105-16.
6.Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Demam tifoid. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2002:338-346
7.Medina Santillá n R, Reyes García G, Herrera Benavente I, Mateos García
E. Efficacy of cefixime in the therapy of typhoid fever. Proc West Pharmacol 2000;43:65-6.
8.Matsumoto Y, Ikemoto A, Wakai Y, Ikeda F, Tawara S, Matsumoto K. Mechanism of Therapeutic
Effectiveness of Cefixime against Typhoid Fever. Antimicrob Agents Chemother 2001; 45: 2450–
2454.
9.Frenck RW Jr, Mansour A, Nakhla I, Sultan Y, Putnam S, Wierzba T, Morsy M, Knirsch C. Short-course
azithromycin for the treatment of uncomplicated typhoid fever in children and adolescents. Clin
Infect Dis 2004;38:951-7.
10. Bhutta ZA, Khan IA, Shadmani M. Failure of short-course ceftriaxone chemotherapy for
multidrug-resistant typhoid fever in children: a randomized controlled trial in Pakistan. Antimicrob
Agents Chemother 2000;44:450-2.

Anda mungkin juga menyukai