Anda di halaman 1dari 13

STUDI LITERATUR DEMAM THYPOID

Penyusun :

Group 3 kelompok 19 blok CRP

1. Meli Tri Suciwulandari (12310289)


2. Merisa Putri Utami (12310291)
3. Meuthia Faradina (12310292)
4. Mia Audina (12310292)
5. M. Wahyu Rowi (12310298)
6. Muhamad Robert Erixson (12310303)

Penanggung Jawab :

Dr. Deviani Utami, M.kes

UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2014-2015


BAB I PENDAHULUAN

RUMUSAN MASALAH

1. JURNAL 1
Dari kasus demam tifoid di RSUD dr.H. Soemarno Sosroatmodjo
Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur, terbanyak umur >14
tahun. Hal ini juga terlihat dari kondisi lingkungan sebagian besar wilayah
Kabupaten Bulungan masih kurang memadai, yang bisa dilihat dari
cakupan sarana kesehatan lingkungan, seperti air bersih yang memenuhi
syarat 62,25% lebih rendah dari target 76%, cakupan pemilikan jamban
49,72% lebih rendah dari target 73%, cakupan rumah sehat 61,23% lebih
rendah dari target 75% dan cakupan pengawasan tempat-tempat
pengelolaan makanan (TPM) sehat 43,12 % lebih rendah dari target 70%
Dinas Kesehatan Kabupaten Bulungan.

2. JURNAL 2
Diagnosis penyakit demam thypoid masih menjadi tantangan para klinisi
karena gambaran klinis yang tidak khas sehingga pengenalan gejala dan
tanda klinik menjadi sangat penting untuk membantu diagnosis. Hasil
penelitian lain menyatakan bahwa demam, dan gangguan pencernaan
seperti diare dan konstipasi merupakan keluhan utama dan terbanyak
dialami pasien demam tifoid. Sedangkan pemeriksaan hematologi tidak di
temukan tanda-tanda khas.

3. JURNAL 3
Demam thypoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik
di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya
dengan kualitas yang mendalam dari higiene pribadi dan sanitasi
lingkungan seperti higiene perorangan dan higiene penjamah makanan
yang renda, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum
(rumah makan, restoran) yag kurang serta perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi
yang berkepanjangan akan menimbulkan peningkatan kasus-kasus
penyakit menular, termasuk thypoid.

4. JURNAL 4
Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan terapi pilihan untuk
demam tifoid karena efektivitasnya terhadap Salmonella thypi disamping
harga obat tersebut relatif murah. Namun dengan banyaknya informasi
mengenai timbulnya strain Salmonella thypi yang resisten terhadap
kloramfenikol membuat para ahli mencari obat lain yang terbaik untuk
demam tifoid.

5. JURNAL 5
Demam tifoid merupakan suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh
bakteri salmonella thypi. Bakteri ini dapat menghasilkan endotoksin yang
mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologis dan merangsang demam
pada penderita demam tifoid.

TUJUAN

1. JURNAL 1
Untuk mengidentifikasi faktor resiko yang berkaitan dengan kejadian
demam tifoid pada orang dewasa di Kabupaten Bulungan, Kalimantan
Timur.
2. JURNAL 2
Untuk menjelaskan karakteristik tersangka demam tifoid pasien rawat inap
di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode Tahun 2010.
3. JURNAL 3
Untuk mengetahui hubungan kebiasaan makan dengan kejadian demam
thypoid pada anak.

4. JURNAL 4
Untuk mengetahui pola pemberian antibiotika pengobatan demam tipoid
anak di rumah sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002.
5. JURNAL 5
Untuk mengethaui hubungan tingkat demam dengan hasil pemeriksaan
hematologi pada penderita demam tifoid.
BAB II METODE PENELITIAN

Jurnal 1 Penelitian ini merupakan penelitian observasional


yang menggunakan rancangan kasus kontrol
(case control study), yang bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh
terhadap kejadian demam tifoid pada orang
dewasa usia 16 tahun yang dirawat inap di
RSUD dr H Soemarno Sosroatmodjo Kabupaten
Bulungan Provinsi Kalimantan Timur. Sampel
berjumlah 130 orang kasus dan 130 kontrol,
diperoleh dengan menggunakan rumusbesar
sampel oleh Lemeshow. Kriteria kasus baru
demam tifoid ditetapkan berdasarkan diagnosis
dokter yang merawat.
Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi:
kebiasaan cuci tangan pakai sabun, kebiasaan
makan/jajan di luar rumah, riwayat tifoid anggota
keluarga, penggunaan sarana air bersih dan
kepemilikan jamban keluarga. Variabel terikat
adalah kejadian demam tifoid pada orang
dewasa.Analisis data dilakukan dengan analisis
bivariat dengan menghitung nilai odds ratio (OR)
Mantel Haenszel dan nilai probabilitas (p) serta
analisis multivariat dengan menggunakan multiple
logistic regression
Jurnal 2 Deskriptif dengan retrospective study
Jurnal 3 Survey analitic dengan pendekatan cas
control
Jurnal 4 Deskriptif dengan studi retrospektif
Jurnal 5 Deskriptif analitik dengan pendekatan
retrospektif
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Junal 1 Hasil multivariat analisis menunjukkan tidak


mencuci tangan menggunakan sabun sebelum
makan berhubungan dengan insidensi demam
tifoid pada dewasa (p=0.002; OR= 1.625
95%Cl=1.497-4.602). Sedangkan makan d
luar, riwayat thypoid di keluarga, tersediany
air bersih dan kepemilikan toilet tidak
berkaitan dengan insiden demam thypoid.
Jurnal 2 - Kejadian demam tifoid lebih banyak pad
permpuan daripada laki-laki
- Demam tifoid terbanyak adalah usia 12-30
tahun(50,67%)
- Tanda klinis yang paling banyak ditemu
pada demam tifoid: demam, mual, muntah
nyeri perut, anoreksia, diare, konstipasi serta
lidah kotor.
- Disamping hal di atas, karakteristik ditinjau
berdasarkan pemeriksaan hematologi, te
widal lama rawat inap dan penggunaan
antibiotik.
Jurnal 3 Hasil penelitian menunjukan bahwa persentas
kejadian demam tifoid pada anak yaitu 63,3%
Didapatkan probabilitas (p) untuk digunakan
dengan kejadian demam tifoid yaitu 0,023%
kebersihan peralatan makan yang digunakan
dengan kejadian demam thypoud yaitu 0,023.
Jurnal 4 -Kloramfenikol (53,55%) masih merupakan
antibiotika pilihan utama yang diberikan untuk
demam tifoid anak
-Golongan sefalosporin generasi ketiga yang
digunakan untuk pengobatan demam tifoid
anak yakni seftriakson (26,92%) dan sefiksim
(2,19%)
-Obat antibiotika lain seperti kotrimoksazo
(4,39%), ampisilin (2,19%), amoksisilin
(1,65%) dan tiamfenikol (1,65%) jarang
diberikan pada pasien demam tifoid anak
walaupun ke empat obat tersebut efekti
digunakan untuk pengobatan demam tifoid.
-pemakaian kombinasu antibiotika sepert
kloramfenikol-ampisilin (4,94%), kotrimazol
ampisilin (1,10%), dan kloramfenikol
kotrimoksazol (1,10%) hanya diberikan pad
pasien yang secara klinis tidak jelas menderita
tifoid dan panas selama 7 hari atau lebih.
Jurnal 5 Hasil analisa tingkat demam dengan kada
hemoglobin p = 1000, tingkat demam dengan
kadar leukosit p = 1.000 dengan kada
trombosit p=0,677.

PEMBAHASAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi usus hakus yang disebabkan


kuman Salmonella typhi. Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang
dapat menyerang banyak orang dan masih merupakan masalah kesehatan di
daerah tropis terutama di negara-negara sedang berkembang.

Demam tifoid merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia


dengan angka kematian sebesar 12,6 juta kasus dan diperkirakan terjadi 600.000
kematian tiap tahunnya. Hampir 80% dari kasus tersebut terjadi di Asia (Abro,
dkk., 2009). Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000
penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1-10,4% (Nasrudin, dkk.,2007).
Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai
penyebab kematian pada kelompok umur 5-14 tahun di daerah perkotaan.
Prevalensi penyakit ini di Kalimantan Selatan masih cukup tinggi yaitu sebesar
1,95% (Balitbangkes.2008).
Beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid
antara lain :

1. Kebiasaan cuci tangan sebelum makan


2. Kebiasaan jajan
3. Sumber air bersih
4. Riwayat tifoid dalam keluarga
5. Kepemilikan jamban yang memenuhi syarat

Setelah melakukan penelitian, kebiasaan jajan, sumber air bersih,


riwayat tifoid dalam keluarga dan kemepeilikan jamban yang memenuhi
syarat tidak ada kaitannya dengan kejadian demam tifoid. Kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan merupakan faktor resiko yang sangat
berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid. Banyak sekali hal yang
dapat menyebabkan suatu makanan menjadi tidak aman, Salah satu
diantaranya dikarenakan terkontaminasi. Kontaminasi yang terjadi pada
makanan dan minuman dapat menyebabkan makanan tersebut dapat
menjadi media bagi suatu bibit penyakit. Penyakit yang ditimbulkan oleh
makanan yang terkontaminasi disebut penyakit bawaan makanan (food-
borned diseases), salah satu di antaranya demam tifoid. Kebiasaan jajan
atau makan di luar penyediaan rumah berarti mengkonsumsi makanan atau
minuman yang bukan buatan sendiri. Dengan kata lain, perilaku penjamah
makanan ikut berperan dalam menentukan suatu makanan sehat atau tidak.
Perilaku penjamah makanan juga dapat menimbulkan risiko kesehatan,
dalam arti perilaku penjamah makanan yang tidak sehat akan berdampak
pada higienitas makanan yang disajikan. Sebaliknya, perilaku penjamah
makanan yang sehat dapat menghindarkan makanan dari kontaminasi atau
pencemaran dan keracunan.
Disamping itu, Menurut Dillin & Griffith (1999) Setiap peralatan
memasak atau makan yang telah selesai dipakai harus dicuci menggunakan cairan
pencuci piring atau sabun dan dibilas dengan air mengalir. Tujuan pencucian
adalah untuk menghilangkan koontaminasi mikroba, sisa sisa produksi, kotoran
dan lemak yang tertinggal pada peralatan yang digunakan. Proses pencucian dan
pembilasan pun harus ditempatkan pada tempat yang berbeda. Menurut Gaman
(1994) apabila pencucian dilakukan menggunakan bak-bak pencucian maka
dibutuhkan sekurang-kurangnya dua bak celup. Bak pencelupan pertama berisi air
dengan sabun dan bak kedia berisi air pembilasan. Teori menurut WHO (1996),
Air yang digunakan untuk mencuci peralatan, makanan, dan tangan juga harus air
yang mengalir, bersih dan tidak boleh digunakan kembali. Jika tidak mungkin,
dapat digunakan ember tetapi harus diganti atau dibersihkan setelah pencucian.

Karakteristik sosiodemografi demam tifoid


1. Jenis Kelamin
menunjukkan bahwa angka kejadian demam tifoid lebih banyak terjadi
pada perempuan daripada laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukanmoleh Su, Chen, dan Chang (2004). Pada penelitian
tersebut, kasus demam tifoid lebih banyak terjadi pada perempuan
daripada laki-laki.

2. Usia
Tabel 1. Distribusi Suspek Demam Tifoid Berdasarkan Usia (N=65)

Usia (Tahun) N %
< 12 28 43,08
12-30 33 50,76
>30 4 6,16
Jumlah 65 100

Distribusi suspek (pasien tersangka) demam tifoid terbanyak


berdasarkan usia adalah usia 12-30 (50,76%). Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Siska (2010). Penelitian tersebut menyatakan
dari 231 penderita demam tifoid 47,2 % adalah pada kelompok umur
12-30 tahun.

3. Tempat Tinggal

Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian demam tifoid terbesar


secara merata di kota Palembang. Menurut peneliti, pasien demam
tifoid pada Kecamatan Plaju dan Seberang Ulu 1 cenderung lebih
tinggi kemungkinan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: akses
transportasi menuju Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang
lebih dekat dibanding Rumah Sakit lainnya, dan tingginya tingkat
kesadaran masyarakat di Kecamatan tersebut untuk berobat ke Rumah
Sakit. Penyebaran tempat tinggal pasien demam tifoid Rumah Sakit
Muhammadiyah belum bisa menggambarkan penyebaran demam tifoid
di kota Palembang secara keseluruhan.

4. Gejala Subjektif

Manifestasi klinis demam tifoid bersifat tidak khas. Hasil


penelitian memperoleh gejala dan tanda klinis yang paling banyak
ditemui. Tanda klinis yaitu demam (100%), dan gangguan sistem
pencernaan seperti: mual (58,46%), muntah (50,31%), nyeri perut
(35,38%), anoreksia (32,31%), diare (18,46%), konstipasi (12,31%),
serta lidah kotor (27,69%).

5. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi menunjukan dari 65 pasien, terdapat
anemia 61,54% dengan anemia, leukopeni 52,31%, leukositosis
10,77%, trobositopeni 46,16%, aneosinofilia 47,69%, limfositofeni
1,54%, dan leukositosis 44,62%.

6. Tes Widal
Hasil tes widal pasien tersangka demam tifoid yang dirawat inap
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode 01 Januari-31
Desember 2010 yang paling banyak adalah Typhi O 1/320 (67,70%),
dan Typhi H 1/320 (61,53%)

7. Lama Rawat Inap


Bahwa sebagian besar pasien tersangka demam tifoid (86,15%)
memilki waktu rawat inap kurang dari seminggu. Hal ini tidak berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Lili Musnelina dkk (2004)),
dibagian kesehatan anak Rumah Sakit Fatmawati Jakarta mengenai
pola pemberian antibiotika pengobatan demam tifoid anak. Pada
penelitian tersebut, didapatkan lama rawat inap penderita demam tifoid
terbanyak adalah kurang dari satu minggu.

8. Pemberian antibiotika
Berdasarkan jenis antibiotika yang digunakan dalam pengobatan
tersangka demam tifoid terlihat bahwa seftriakson (30,77%)
merupakan antibiotika pilihan terbanyak yang diberikan untuk
tersangkademam tifoid yang dirawat inap di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Kloramfenikol merupakan antibiotika
yang kedua sebanyak 27,69%, Hal ini tidak jauh dengan penelitian
yang dilakukan oleh Widiastuti tahun 2011 mengenai Pola Penggunaan
Antibiotik Untuk Demam tifoid. Hasil penelitian menunjukan bahwa
Seftriakson merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan
(31,76%) dan Siprofloksasin (21,06%).13 Hasil ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan Chowta M.N.,Chowta N.K. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa Ciprofloksasin merupakan antibiotika
yang paling banyak digunakan (52,3 % ).
KESIMPULAN

Jurnal 1 Terdapat hubungan faktor risiko yang


berpengaruh antara kebiasaan cuci tangan tidak
pakai sabun sebelum makan (p = 0,002
dengan kejadian demam tifoid pada orang
dewasa usia 16 tahun yang di rawat inap d
RSUD dr H Soemarmo Sosroatmodjo
Kabupaten Bulungan.
Jurnal 2 1. Tersangka demam tifoid lebih banyak
ditemukan pada rentang usia 12-30
tahun (50,76%), terbanyak perempuan
(60%), dan tersebar merata di kota
Palembang.
2. Gambaran klinik yang paling banyak
ditemui adalah demam (100%), mual
(58,46%), muntah (50,31%), anoreksi
(32,31%), nyeri perut (35,38%), batuk
(32,31%), nyeri kepala (29,23%), lidah
kotor (27,69%), diare (18,46%) dan
konstipasi (12,31%). Rata-rata lama
demam adalah 12,28 hari , waktu ratarata
muncul onset gajala demam
sampai pasien masuk Rumah Sakit
adalah 7 hari. Rata-rata demam turun
pada hari ke 5,50 setelah pasien
masuk Rumah Sakit. Rata-rata lama
rawat inap adalah 7,91 hari.
3. Gambaran hasil pemeriksaan
hematologi. Anemia 61,54%,
leukopeni 52,31%, leukositosis
10,77%, Trombositopeni 46,16,
Aneosinofilia 47,69%, Limfositopeni
1,54% dan limfositosis 44,62%. Hasil
tes widal paling banyak Typhi O
1/320 (67,70%), dan Typhi H 1/320
(61,53%).
4. Obat-obat antibiotika yang paling
banyak digunakan adalah seftriakson
(30,77), selain itu kloramfenikol
merupakan antibiotika kedua yang
(27,69%). Obat antibiotika paling
singkat lama rawat inap adalah
Sefotaksim dan siprofloksasin rata-rata
lama rawat inap 5 hari.
Jurnal 3 Ada hubungan kebiasaan makan dan peralatan
makan dengan kejadian demam tifoid pad
anak usia 5-12tahun.
Jurnal 4 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dapa
ditarik kesimpulan bahwa antibiotik
kloramfenikol merupakan pilihan utama yang
digunakan untuk pengobatan demam tifoid
Selain itu seftriakson merupakan antibiotik
kedua yang menjadi pilihan dalam alternati
pengobatan demam tifoid anak di Rumah Saki
Fatmawati.
Jurnal 5 Berdasarkan hasil penelitian, maka dapa
ditarik simpulan bahwa:
1. Tidak terdapat hubungan tingkat demam
dengan kadar hemoglobin pada penderita
demam tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan
anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
2. Tidak terdapat hubungan tingkat demam
dengan kadar leukosit pada penderita demam
tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak
RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.
3. Tidak terdapat hubungan tingkat demam
dengan kadar trombosit pada penderita demam
tifoid di SMF/Bagian ilmu kesehatan anak
RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai