PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi bakteri yang banyak terjadi pada
anak di berbagai belahan dunia seperti, Benua India, Asia Tenggara, Asia Timur,
Afrika, Amerika Tengah serta Amerika Selatan.1-3Penyakit ini juga, merupakan salah
satu penyakit sistemik akut yang masih menjadi endemik di beberapa Negara
tidak adekuat terhadap kebersihan diri dan lingkungan di Negara tersebut, seperti air
dan makanan yang pada dasarnya menjadi sarana transmisi agen penyebab demam
tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahunnya.
Insidensi demam tifoid di Asia Tenggara pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000
penduduk per tahun. Angka insidensi demam tifoid di Indonesia sendiri masih tinggi
yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan
per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 - 1.500.000 penderita. Insidensi
demam tifoid di daerah Jawa Barat, terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk.7 Usia
terbanyak pada kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun dengan prevalensi
1
2
menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit
di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, setelah diare.10
Hasil data yang diperoleh untuk kasus demam tifoid di rumah sakit besar di
dengan rata-rata 500 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk angka mortalitasnya
didapatkan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari ketidaktepatan dan keterlambatan terapi
Pengobatan yang tidak diberikan secara tepat dan cepat, akan mengakibatkan
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus dapat terjadi setelah 1 minggu dari
munculnya gejala, tifoid ensefalopati, meningitis hingga syok septik yang dapat berujung
pada kematian.8,12 Sasaran terapi demam tifoid adalah membasmi bakteri penyebab
infeksi yaitu Salmonella thypi, dengan cara menggunakan antibiotik sebagai kunci utama
first line therapy untuk menangani demam tifoid yang dapat menurunkan angka
mortalitas kurang dari 1% dan angka kesakitan akibat demam dari 14 – 28 hari
menjadi 3 – 5 hari. Namun pada akhir tahun 1980, dilaporkan terdapat 3 antibiotik
merupakan first line therapy yang direkomendasikan untuk menangani demam tifoid
mengakibatkan, para ahli untuk mencari alternatif obat lain yang yang lebih efektif
Ceftriaxone.5,6,13-17
ke tiga yang direkomendasikan sebagai first line therapy untuk demam tifoid, terutama
pada anak karena minimnya efek samping yang dapat ditimbulkan dibandingkan
pula beberapa studi yang menyatakan bahwa Chloramphenicol tetap menjadi first line
therapy sedangkan Ceftriaxone merupakan second line therapy untuk demam tifoid.13
Hingga saat ini, Chloramphenicol masih banyak digunakan dalam pengobatan demam
Efektivitas antibiotik yang tinggi pada suatu penyakit dapat dilihat dari
cepatnya gejala menghilang, efek samping yang ringan, dan cepatnya waktu
perawatan, begitupun sebaliknya.3,20 Gejala yang tak kunjung hilang diikuti dengan
munculnya efek samping obat, akan membuat waktu yang diperlukan untuk
perawatan semakin lama. Oleh sebab itu, salah satu tolak ukur utama untuk penilaian
efektivitas suatu antibiotik terhadap suatu penyakit dapat dinilai berdasarkan LOS
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas peneliti merasa tertarik untuk meneliti
Kabupaten Bandung 2012 sampai 2013, dikarenakan angka kejadian demam tifoid
tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD Al-Ihsan
Ceftriaxone pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau
2013.
demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD
demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD
1) Memberikan informasi kepada para dokter tentang antibiotik mana yang lebih