Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi bakteri yang banyak terjadi pada

anak di berbagai belahan dunia seperti, Benua India, Asia Tenggara, Asia Timur,

Afrika, Amerika Tengah serta Amerika Selatan.1-3Penyakit ini juga, merupakan salah

satu penyakit sistemik akut yang masih menjadi endemik di beberapa Negara

berkembang lainnya termasuk Indonesia.3 Dihubungkan dengan status sanitasi yang

tidak adekuat terhadap kebersihan diri dan lingkungan di Negara tersebut, seperti air

dan makanan yang pada dasarnya menjadi sarana transmisi agen penyebab demam

tifoid, yaitu Salmonella enteric serovar typhi (Salmonella typhi) 4-6

Tahun 2009, WHO memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam

tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahunnya.

Insidensi demam tifoid di Asia Tenggara pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000

penduduk per tahun. Angka insidensi demam tifoid di Indonesia sendiri masih tinggi

yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan

per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 - 1.500.000 penderita. Insidensi

demam tifoid di daerah Jawa Barat, terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk.7 Usia

terbanyak pada kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun dengan prevalensi

91%, dan kejadiannya meningkat pada usia setelah 5 tahun.8,9

1
2

Berdasarkan laporan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, demam tifoid

menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit

di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, setelah diare.10

Hasil data yang diperoleh untuk kasus demam tifoid di rumah sakit besar di

Indonesia, menunjukkan angka morbiditas cenderung meningkat setiap tahunnya

dengan rata-rata 500 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk angka mortalitasnya

didapatkan sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari ketidaktepatan dan keterlambatan terapi

yang diberikan, disamping tingginya biaya pengobatan.11

Pengobatan yang tidak diberikan secara tepat dan cepat, akan mengakibatkan

perdarahan saluran cerna atau perforasi usus dapat terjadi setelah 1 minggu dari

munculnya gejala, tifoid ensefalopati, meningitis hingga syok septik yang dapat berujung

pada kematian.8,12 Sasaran terapi demam tifoid adalah membasmi bakteri penyebab

infeksi yaitu Salmonella thypi, dengan cara menggunakan antibiotik sebagai kunci utama

pengobatan.12 Sejak tahun 1948, antibiotik Chloramphenicol mulai digunakan sebagai

first line therapy untuk menangani demam tifoid yang dapat menurunkan angka

mortalitas kurang dari 1% dan angka kesakitan akibat demam dari 14 – 28 hari

menjadi 3 – 5 hari. Namun pada akhir tahun 1980, dilaporkan terdapat 3 antibiotik

yang mengakibatkan multidrug resistant, yaitu Chloramphenicol, Ampicillin, dan

Cotrimoxazole yang disebut dengan Multidrug Resistant Salmonella typhi (MDRST)

atau Multidrug Resistant typhoid fever (MDRTF). Ketiga antibiotik tersebut

merupakan first line therapy yang direkomendasikan untuk menangani demam tifoid

pada saat itu. Penggunaan Chloramphenicol mengakibatkan resistensi obat kepada

penggunanya, akibat adanya plasmid yang memproduksi enzim Chloramphenicol


3

Acetyltransferase (CAT) yang mengaktivasi Chloramphenicol. Hal inilah yang

mengakibatkan, para ahli untuk mencari alternatif obat lain yang yang lebih efektif

dalam mengobati demam tifoid khususnya pada MDRST, antara lain

Ceftriaxone.5,6,13-17

Ceftriaxone dan Cefotaxime menjadi antibiotik golongan Cephalosporin generasi

ke tiga yang direkomendasikan sebagai first line therapy untuk demam tifoid, terutama

pada anak karena minimnya efek samping yang dapat ditimbulkan dibandingkan

Chloramphenicol yang dapat menimbulkan depresi sumsum tulang belakang pada

anak, seperti anemia aplastik, granulositopenia, trombositopenia.18,19 Namun ada

pula beberapa studi yang menyatakan bahwa Chloramphenicol tetap menjadi first line

therapy sedangkan Ceftriaxone merupakan second line therapy untuk demam tifoid.13

Hingga saat ini, Chloramphenicol masih banyak digunakan dalam pengobatan demam

tifoid di berbagai sarana kesehatan di Indonesia, karena efektivitasnya pada Salmonella

thypi masih tinggi disamping harga obat yang relatif murah.14,18

Efektivitas antibiotik yang tinggi pada suatu penyakit dapat dilihat dari

cepatnya gejala menghilang, efek samping yang ringan, dan cepatnya waktu

perawatan, begitupun sebaliknya.3,20 Gejala yang tak kunjung hilang diikuti dengan

munculnya efek samping obat, akan membuat waktu yang diperlukan untuk

perawatan semakin lama. Oleh sebab itu, salah satu tolak ukur utama untuk penilaian

efektivitas suatu antibiotik terhadap suatu penyakit dapat dinilai berdasarkan LOS

(Length Of Stay) atau lamanya pasien dirawat.3

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas peneliti merasa tertarik untuk meneliti

tentang Perbandingan Efektifitas Penggunaan Ceftriaxone Dengan Cefotaxime Pada


4

Pasien Demam Tifoid Anak Berdasarkan Length Of Stay Di RSUD Al-Islam

Kabupaten Bandung 2012 sampai 2013, dikarenakan angka kejadian demam tifoid

pada anak di RS Al-Islam cukup tinggi dibandingkan rumah sakit lain.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana efektivitas penggunaan dari Chloramphenicol pada pasien demam

tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD Al-Ihsan

Kabupaten Bandung tahun 2012-2013?

2) Bagaimana efektivitas penggunaan dari Ceftriaxone pada pasien demam tifoid

anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD Al-Ihsan

Kabupaten Bandung tahun 2012-2013?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1) Untuk membandingkan efektivitas antara penggunaan Chloramphenicol dan

Ceftriaxone pada pasien demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau

lama dirawat di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung tahun 2012 sampai

2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui efektivitas penggunaan dari Chloramphenicol pada pasien

demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD

Al-Ihsan Kabupaten Bandung tahun 2012 sampai 2013.


5

2) Untuk mengetahui efektivitas penggunaan dari Ceftriaxone pada pasien

demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat di RSUD

Al-Ihsan Kabupaten Bandung periode 2012 sampai 2013.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aspek Teoritis

1) Sebagai referensi ilmiah di bidang farmakologi anak.

2) Sebagai dasar penelitian lanjutan.

1.4.2 Aspek Praktis

1) Memberikan informasi kepada para dokter tentang antibiotik mana yang lebih

efektif penggunaannya antara Chloramphenicol atau Ceftriaxone untuk pasien

demam tifoid anak berdasarkan Length Of Stay atau lama dirawat.

Anda mungkin juga menyukai