Anda di halaman 1dari 7

BAB IV

PEMBAHASAN

Low back pain merupakan suatu keadaan gangguan muskuloskeletal yang paling

sering ditemukan dan memengaruhi kualitas hidup seseorang. Keadaan ini berupa

nyeri yang dirasakan di punggung bagian bawah, bukan merupakan penyakit ataupun

diagnosis untuk suatu penyakit namun merupakan istilah untuk nyeri yang dirasakan

di area anatomi yang terkena dengan berbagai variasi lama terjadinya nyeri yang

dapat menyebabkan disabilitas dan absen pada pekerjaan (Zaina F, dkk., 2020). Nyeri

ini dapat berupa nyeri lokal, nyeri radikuler, ataupun campuran dari keduanya (WHO,

2013). Masalah kesehatan yang ditemukan pada kasus ini yaitu, seorang laki-laki

berusia 42 tahun yang mengalami low back pain. Pasien mengeluhkan adanya nyeri

pada punggung bagian bawah sejak 6 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 bulan

terakhir. Keluhan pertama kali dirasakan pada punggung kiri menjalar sampai ke

ujung kaki kiri. Jenis nyeri yang dirasakan pasien berupa nyeri radikuler. Keluhan

diperberat saat pasien berdiri lama, bangun dari posisi jongkok atau mengangkat

barang dan muncul ketika pasien selesai dari bekerja. Keluhan pasien berkurang saat

pasien istirahat, berbaring dan meminum obat antinyeri. Keluhan nyeri tidak disertai

rasa baal atau kesemutan, riwayat trauma disangkal.

Menurut penelitian beberapa faktor risiko dapat menyebabkan LBP umumnya faktor-

faktor penyebab LBP dibagi menjadi tiga faktor, yaitu faktor pekerjaan, faktor

individu, dan faktor lingkungan. Faktor individu berkaitan dengan masa kerja, usia,
lama kerja, jenis kelamin, posisi kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga,

obesitas, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk

faktor lingkungan seperti getaran yang terpapar terhadap tubuh seseorang secara terus

menerus atau temperatur yang ekstrem. Faktor pekerjaan yang dapat menyebabkan

LBP contohnya adalah melakukan pekerjaan yang sifatnya repitisi, pekerjaan yang

memaksakan tenaga, dan pekerjaan yang bersifat statis (Gaya LL, 2015). Faktor

risiko yang terdapat pada pasien adalah usia, posisi kerja, kebiasaan merokok,

kebiasaan jarang berolahraga serta tidak pernah melakukan pemanasan sebelum

bekerja, dan melakukan pekerjaan yang bersifat repetitif.

Pasien bekerja sebagai penyadap karet di PTPN VII Unit Kedaton. Proses pekerjaan

petani karet ada beberapa tahapan, pada tahap perawatan petani membersihkan

rumput liar disekitar pohon karet, penyemprotan obat dan pemberian pupuk, serta

mencegah hama perusak pohon karet seperti babi hutan. Tahap pemanenan proses

pertama yaitu penyadapan, pemberian cairan pembeku, mengumpulkan getah karet

yang sudah membeku dari setiap pohon, pengangkatan getah karet dari kebun ke

tempat penyimpanan getah. Tahap terakhir yaitu tahap penjualan, petani mengakat

getah karet ke tempat pengepul yang sebelumnya getah ditimbang terlebih dahulu

(Wibawa MG dan Ardi SZ, 2019). Setiap proses pekerjaan yang dilakukan oleh

petani karet terdapat beberapa posisi kerja seperti membungkuk, jongkok, memutar,

dan menjangkau bagian tinggi sehingga jika terjadi berulang-ulang akan

menimbulkan gangguang muskuloskeletal maupun gangguan saraf yang


menyebabkan nyeri pada bagian punggung bagian bawah tepatnya pada area L4-L5

(Ulfah D, dkk., 2015).

Pasien berkerja terus menerus dengan durasi total kurang lebih 8 jam perhari dan

istirahat selama 2 jam sejak 10 tahun yang lalu. Durasi didefinisikan sebagai durasi

singkat jika < 1 jam per hari, durasi sedang yaitu 1-2 jam per hari dan durasi lama

yaitu > 2 jam per hari. Ketika pasien bekerja, pasien akan melakukan gerakan yang

berulang-ulang dengan durasi waktu yang lama, sehingga risiko fisiologis utama yang

dikaitkan dengan gerakan yang sering dan berulang-ulang adalah kelelahan otot.

Selama berkontraksi otot memerlukan oksigen, jika gerakan berulang-ulang dari otot

menjadi terlalu cepat sehingga oksigen belum mencapai jaringan maka akan terjadi

kelelahan otot (Straker LM, 2000). Masa kerja juga dapat memengaruhi terjadinya

LBP akibat peningkatan masa kerja akan melakukan gerakan yang sama dan

berulang. Sehingga dapat memicu terjadinya kelelahan jaringan, dalam hal ini

jaringan otot yang dapat menyebabkan overuse, sehingga bisa menimbulkan spasme

otot. Munculnya kondisi ini sebagai efek fisiologis dari otot untuk mempertahankan

atau mencegah kerusakan yang lebih lanjut dari suatu jaringan, spasme otot ini adalah

respon dari tubuh untuk memberikan informasi ke diri kita untuk menyudahi aktifitas

yang dilakukan dan segera beristirahat agar tubuh dapat tetap terjaga dengan baik.

Selain itu masa kerja yang lama akan mengakibatkan rongga diskus menyempit

secara permanen dan akan mengakibatkan degenerasi tulang belakang yang akan

menyebabkan LBP (Nurrahman MR, 2016).


Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah

120/80 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit; frekuensi napas 20 x/menit; suhu 36,5ºC,

berat badan 50 kg; tinggi badan 160 cm; IMT 22 kg/m2 status gizi normal. Status

neurologis dalam batas normal (refleks fisiologis normal, refleks patologis negatif).

Status lokalis didapatkan nyeri tekan dan teraba spasme otot pada regio punggung

setinggi L4-L5, ROM terbatas akibat nyeri pada pergerakan ke arah depan, dan

Laseque test (-). Hasil pemeriksaan fisik neurologis tidak didapatkan adanya

kelemahan motorik. Pemeriksaan khusus yang dapat membangkitkan nyeri

menunjukkan hasil positif. ROM terbatas karena nyeri dapat diakibatkan terjadinya

spasme otot. Pemeriksaan penunjang pada pasien ini belum diperlukan. Pemeriksaan

penunjang dilakukan apabila diperlukan melihat vertebra dan level neurologis yang

belum jelas, kecurigaan kelainan patologis pada medula spinalis atau jaringan lunak,

menentukan kemungkinan herniasi diskus pada kasus post operasi, kecurigaan karena

infeksi atau neoplasma (Panduwinata W, 2014).

Tatalaksana Low Back Pain menurut perhimpunan dokter spesialis saraf indonesia,

dibagi menjadi non farmakologis dan farmakologis. Pada tatalaksana non

farmakologis dengan menjalani terapi rehabilitatif, Cognitive Behavioral Therapy

(CBT), pola hidup sehat dan olahraga yang cukup. Pasien pada kasus ini belum

mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit low back pain sehingga perlu

dilakukannya edukasi pola hidup sehat (PERDOSSI, 2016). Poin edukasi yang

disampaikan kepada pasien meliputi mengedukasi pasien untuk mengetahui bahaya

penyakit akibat kerja, mengedukasi posisi ergonomi yang benar pada pekerja dengan
posisi statis, mengedukasi untuk melakukan kegiatan berolahraga untuk meregangkan

otot dan kontrol kembali ke puskesmas apabila keluhan dirasakan tidak membaik.

Sedangkan secara umum, terapi farmakologi pada low back pain dibagi atas 3 kriteria

yaitu nyeri inflamasi, nyeri neuropatik, dan nyeri campuran. Pada pasien ini tidak

ditemukan adanya tanda-tanda inflamasi sehingga pasien tergolong jenis nyeri

neuropatik. Tatalaksana nyeri neuropatik yaitu dengan pemberian muscle relaxant

dan analgetik. Pada pasien diberikan Esperison HCl dua kali sehari diminum setelah

makan sebagai muscle relaxant untuk meregangkan otot-otot pasien akibat bekerja

dalam keadaan statis dan dalam durasi yang lama, serta diberikan Meloxicam 7,5 mg

dua kali sehari diminum setelah makan sebagai analgetik untuk meredakan nyeri.

Selain itu pasien juga diberikan obat yang bertujuan untuk mencegah efek samping

berupa mual akibat pemberian obat muscle relaxant dan analgetik yaitu Omeprazole

dua kali sehari sebelum makan, dan juga pasien diberikan vitamin berupa Vitamin B

Complex sebanyak satu kali sehari (PERDOSSI , 2016).


BAB V
KESIMPULAN

1. Didapatkan faktor risiko low back pain Tn. S usia 42 tahun yaitu usia, posisi

kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan jarang berolahraga serta tidak pernah

melakukan pemanasan sebelum bekerja, dan melakukan pekerjaan yang

bersifat repetitif.

2. Telah dilakukan pemeriksaan secara holistik dan telah dilakukan

penatalaksanaan pada pasien secara holistik dan komprehensif dengan

pengobatan low back pain menggunakan literatur berdasarkan EBM.

3. Dalam melakukan intervensi terhadap pasien tidak hanya memandang dalam

hal klinis tetapi juga memandang aspek okupasi dengan menerapkan diagnosis

okupasi

4. Pada pasien telah dilakukan edukasi mengenai LBP dimulai dari edukasi

untuk mengetahui bahaya penyakit akibat kerja, posisi ergonomi yang benar

pada pekerja dengan posisi statis, melakukan kegiatan olahraga atau

peregangan untuk meregangkan otot dan kontrol kembali ke puskesmas

apabila keluhan dirasakan tidak membaik.


DAFTAR PUSTAKA

Zaina F, Balagué F, Battié M, Karppinen J, Negrini S. 2020. Low back pain


rehabilitation in 2020: new frontiers and old limits of our understanding. European
Journal of Physical and Rehabilitation Medicine 56(2):212 – 19

WHO. Low back pain: Priority medicines for Europe and the world 2013 update 2013

Gaya LL. 2015. Pengaruh aktivitas olahraga, kebiasaan merokok, dan frekuensi
duduk statis dengan kejadian low back pain. J Agromed Unila 2015; 2(2):186-189

Wibawa MG, Ardi SZ. 2019. Analisis risiko ergonomi pada petani karet di desa
beringin jaya way tuba kabupaten way kanan lampung. Universitas Ahmad Dalan

Ulfah D, Thamrin AR, Natanael TW. 2015. Pengaruh waktu penyadapan dan umur
tanaman karet terhadap produksi getah (lateks). Jurnal Hutan Tropis Volume 3 No. 3
247 – 52

Straker LM. An overview of manual handling injury statistic in Western Australia.


Perth: International Ergonomic Association Curtin University Technology; 2000.

Nurrahman MR. 2016. Hubungan masa kerja dan sikap kerja terhadap kejadian low
back pain pada penenun di kampoeng bni kab.wajo. Makassar : Program Studi
Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Panduwinata W. Peranan Magnetic Resonance Imaging dalam Diagnosis Nyeri


Punggung Bawah Kronik. CDK41(4):260 – 263.

PERDOSSI. 2016. Panduan Penatalaksanaan Klinis Spesialis Syaraf. Jakarta:


Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai