Anda di halaman 1dari 38

PRAKTIKUM METODE PEMISAHAN BAHAN ALAM

RANCANGAN METODE PEMISAHAN METABOLIT SEKUNDER DARI TANAMAN


KINA (Cinchona succirubra Pav. Ex Klotzsch)

KELOMPOK PRAKTIKUM:
KELOMPOK 1 GOLONGAN A

DISUSUN OLEH:

NI LUH KOMANG WAHYUNI 2008551004


I KADEK ADI PUTRA SUANDANA 2008551005
KADEK FEBRIYANTI 2008551006

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara harfiah tumbuhan mempunyai kemampuan untuk mensintesis senyawa organik
melalui proses fotosintesis. Adanya kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis dan
menghasilkan produk metabolit sekunder merupakan kemampuan yang berbeda dari
organisme lainnya. Pada tanaman, senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi,
diantaranya sebagai atraktan (menarik organisme lain), pertahanan terhadap patogen,
perlindungan, dan adaptasi terhadap stress lingkungan, pelindung terhadap sinar ultraviolet,
sebagai zat pengatur tumbuh untuk bersaing (alelopati). (Dalimunthe & Rachmawan, 2017).
Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang terbentuk dalam tanaman. Senyawa-
senyawa yang tergolong ke dalam kelompok metabolit sekunder ini antara lain: alkaloid,
flavonoid, steroid, terpenoid, saponin dan lain-lain. Senyawa metabolit sekunder merupakan
senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai
pelindung tumbuhan. (Aksara dkk., 2013). Metabolit sekunder ini dapat dihasilkan atau
dikeluarkan sebagai adaptasi biokimia yang dilakukan oleh golongan tumbuhan umumnya
termasuk tanaman kina.
Tanaman Kina (Cinchona Scirubbra) merupakan salah satu tanaman obat yang
memiliki banyak khasiat dan mengandung senyawa kinin sebagai metabolit sekundernya
terdapat juga senyawa lain yang terkandung dalam kina meliputi kinidin, sinkonidin, dan
sinonim. (Zakiyah dkk., 2015). Kandungan kimia kina berupa alkaloid dengan kadar tidak
kurang dari 7% yang dihitung sebagai kinin. Bagian tanaman yang banyak digunakan adalah
kulit batang hal ini karena kulit batang kina mengandung alkaloid kinin yang paling besar
dibandingkan alkaloid lainnya. Adanya kandungan senyawa lain dapat mengurangi efek
farmakologi yang dihasilkan oleh kinin bahkan dapat saling meniadakan satu sama lain.
Alkaloid merupakan salah satu metabolisme sekunder yang terdapat pada tumbuhan,
yang bisa dijumpai pada bagian daun, ranting, biji, dan kulit batang. Alkaloid mempunyai
efek dalam bidang kesehatan berupa pemicu sistem saraf, menaikkan tekanan darah,
mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat penyakit jantung dan lain -lain lain.
(Aksara dkk., 2013). Cara agar mendapatkan senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid
pada suatu tanaman harus dilakukannya metode pemisahan yang tepat.

1
Pemilihan metode pemisahan dan isolasi yang tepat merupakan faktor penting yang
akan mempengaruhi kemurnian senyawa tunggal yang diperoleh. Dimana pada hal ini
ekstraksi terhadap tanaman kina dapat dilakukan dengan metode maserasi serta identifikasi
golongan dengan menggunakan metode skrining fitokimia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara membuat simplisia dari kulit batang kina (Cinchona succirubra)?
2. Bagaimana cara penetapan karakteristik simplisia kulit batang kina (Cinchona
succirubra)?
3. Bagaimana pemisahan senyawa alkaloid serbuk kulit batang kina (Cinchona succirubra)
dengan metode sokletasi?
4. Bagaimana cara melakukan penetapan karakteristik ekstrak kulit batang kina (Cinchona
succirubra)?
5. Bagaimana cara mengidentifikasi senyawa alkaloid dalam ekstrak kulit batang kina
dengan skrining fitokimia?
6. Bagaimana cara mengisolasi alkaloid kuinin dengan metode ekstraksi cair-cair?
7. Bagaimana cara mengidentifikasi senyawa alkaloid kuinin dengan menggunakan
pereaksi kimia H2SO4 10%?
8. Bagaimana cara mengidentifikasi alkaloid kuinin dari ekstrak kulit batang kina
(Cinchona succirubra) dengan menggunakan metode Kromatografi Vakum Cair?
9. Bagaimana cara melakukan fraksinasi alkaloid kuinin dari ekstrak kulit batang kina
(Cinchona succirubra)?
10. Bagaimana cara memahami analisis spektrum isolat senyawa kuinin dengna metode
spektrofotometri UV-Vis?
11. Bagaimana cara melakukan identifikasi alkaloid kuinin dari ekstrak kulit batan g kina
(Cinchona succirubra) dari hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan menggunakan
metode Kromatografi Lapis Tipis Densitometri (KLT-Densitometri)?

2
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan dapat tercapai pada rancangan metode pemisahan
bahan alam ini adalah
1. Mampu memahami dan membuat simplisia dari kulit batang kina (Cinchona succirubra)
2. Mampu melakukan penetapan karakteristik simplisia kulit batang kina (Cinchona
succirubra)
3. Mampu melakukan pemisahan senyawa alkaloid serbuk kulit batang kina (Cinchona
succirubra) dengan metode sokletasi
4. Mampu melakukan penetapan karakteristik ekstrak kulit batang kina (Cinchona
succirubra)
5. Mampu mengidentifikasi senyawa alkaloid dalam ekstrak kulit batang kina dengan
skrining fitokimia.
6. Mampu mengisolasi alkaloid kuinin dengan metode ekstraksi cair-cair.
7. Mampu mengidentifikasi senyawa alkaloid kuinin dengan menggunakan pereaksi kimia
H2SO4 10%.
8. Mampu mengidentifikasi alkaloid kuinin dari ekstrak kulit batang kina (Cinchona
succirubra) dengan menggunakan metode Kromatografi Vakum Cair.
9. Mampu melakukan fraksinasi alkaloid kuinin dari ekstrak kulit batang kina (Cinchona
succirubra).
10. Mampu memahami analisis spektrum isolat senyawa kuinin dengna metode
spektrofotometri UV-Vis .
11. Mampu melakukan identifikasi alkaloid kuinin dari ekstrak kulit batang kina (Cinchona
succirubra) dari hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan menggunakan metode
Kromatografi Lapis Tipis Densitometri (KLT-Densitometri).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit Batang Kina (Cinchona succirubra Pav. Ex Klotzsch)


2.1.1 Klasifikasi
Tanaman Kina (Cinchona succirubra Pav. Ex Klotzsch) memiliki aktivitas sebagai anti
malaria, antipiretik serta stomakik (obat sakit perut). Bagian tanaman yang banyak digunakan
adalah kulit batangnya. Berikut merupakan taksonomi tanaman kina.
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Gentiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Cinchona
Species : Cinchona succirubra Pav. Ex Klotzsch
(Ernawati dkk., 2018)
2.1.2 Deskripsi
Kina adalah tanaman asli Amerika Selatan. Kulit batang kina adalah salah satu bagian
tanaman yang menghasilkan metabolit sekunder yaitu alkaloid berupa kinin dan memiliki
aktivitas farmakologi. Kina telah dikenal di Eropa sejak tahun 1640 -an dan telah digunakan
dalam pengobatan malaria sejak tahun 1820-an. Ekstraksi, isolasi, dan pemurnian kina (QN)
dan cinchonine (CN) pertama kali dilakukan pada tahun 1820 oleh Joseph Pelletier dan Pierre
Caventou. Pada tahun 1860, industri farmasi Jerman mulai meneliti dan mengisolasi
kandungan bioaktif kina, uji klinis pertama untuk pengobatan malaria dilakukan pada tahun
1866 dan 1868. Kina tiba di Indonesia pada tahun 1855 dan pertama kali tumbuh pada tahun
1865 di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Alkaloid kina memiliki banyak manfaat. Oleh
karena itu, budidaya tanaman meningkatkan produksi di waktu yang relatif singkat
(Hariyanti et al., 2023)
2.1.3 Kandungan Kimia
Tanaman Kina (Cinchona succirubra Pav. Ex Klotzsch) memiliki aktivitas sebagai anti
malaria, anti piretik serta stomakik (obat sakit perut). Kandungan kimia yang terkandung
pada kina berupa alkaloid dengan kadar tidak kurang dari 7% yang dihitung se bagai kuinin.
Alkaloid yang terdapat pada tanaman kina, salah satunya adalah alkaloid kuinin yang menjadi
bahan baku untuk pembuatan obat pil kina yang berkhasiat dalam pengobatan penyakit
malaria baik malaria tropikana maupun penyakit malaria kuartana. Selain kandungan kuinin,
4
dalam kulit batang kina juga terdapat berbagai senyawa kimia lainnya, yakni kinidin,
sinkonin, dan sinkonidin. Dari hasil penelitian terdapat bahwa kandungan kuinin dalam kulit
batang kina liar adalah 7% sedangkan untuk tanaman kina yang dibudidayakan dapat
mengandung kadar alkaloid kuinin sampai 15% (Giri, 2020).
2.1.4 Aktivitas Farmakologi
Aktivitas farmakologis dari tanaman kina antara lain sebagai antimalaria, antikanker,
antioksidan, antidiabetes, antimikroba, antifungi, kram otot, anti obesitas, antiplatelet,
antivirus dan dapat menstimulasi pertumbuhan rambut. Aktivitas alkaloid kina s ebagai
antimalaria dipengaruhi oleh kelompok methylene alcohol. Golongan metilen alkohol dapat
menurunkan aktivitas antimalaria dan meningkatkan toksisitasnya. Aktivitas antimalaria juga
dipengaruhi oleh cincin quinoline. Alkaloid quinoline adalah bahan aktif dengan sifat
antikanker: termasuk leukemia (K562/ADM), kanker mulut (KB dan Hep -2), kanker
payudara (MCF-7), kanker hati (HepG2), kanker paru-paru, kanker usus besar, dan
neuroblastoma (SH -SY5Y). Aktivitas farmakologis ekstrak kina dalam merangsang
pertumbuhan rambut dengan merangsang folikel rambut dan papila dermal sehingga
memasuki fase anagen lebih cepat dengan mengaktifkan jalur Wnt/b-catenin, meningkatkan
produksi VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), yang penting dalam pertumbuhan
dan regenerasi rambut.
(Hariyanti et al., 2023)
2.1.5 Penggunaan secara Tradisional
Secara tradisional kinin digunakan sebagai obat antimalaria, Kinin dapat digunakan
sebagai obat malaria dikarenakan memiliki efektivitas yang baik terhadap semua jenis
plasmodium dan juga efektif sebagai sizontosida dan gametosida. Selain itu kina digunakan
sebagai sebagai obat untuk menenangkan denyut jantung yang tidak teratur. Daun kina
digunakan secara empiris oleh masyarakat sebagai obat kudis dan kurap. (Zustika S, 2013).
2.1.6 Alkaloid
Alkaloid adalah salah satu senyawa kimia alami yang mengandung atom n itrogen
dasar. Nama ini berasal dari kata alkaline dan digunakan untuk menggambarkan setiap basa
yang mengandung nitrogen. Alkaloid dihasilkan oleh berbagai macam organisme, termasuk
bakteri, jamur, tumbuhan, dan hewan serta merupakan bagian dari kelompok hasil alam
(merupakan metabolit sekunder). Klasifikasi dari alkaloid sangatlah kompleks dan dapat
dipandu oleh seperangkat aturan yang memperhitungkan struktur dan fitur kimia lain dari
molekul alkaloid, asal biologisnya, serta asal biogenetik yang diketah ui. Menurut Shah
(2010), klasifikasi alkaloid dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama. Dilihat dari sudut
struktural, alkaloid dibagi menurut bentuk dan asal. Ada tiga jenis utama alkaloid: (1 ) true
5
alkaloid, (2) protoalkaloid, dan (3) pseudoalkaloid. Alkaloid dan protoalkaloid sejati berasal
dari amino asam, sedangkan pseudoalkaloid tidak dari asam amino.
1. True Alkaloids
Alkaloid sejati berasal dari asam amino dan mereka berbagi cincin heterosiklik
dengan nitrogen. Alkaloid ini sangat zat reaktif dengan aktivitas biologis bahkan dalam
dosis rendah. Semua alkaloid sejati memiliki rasa pahit dan tampak seperti padatan putih,
kecuali nikotin yang berupa cairan berwarna coklat. Alkaloid sejati membentuk garam
yang larut dalam air. Kebanyakan dari mereka adalah zat kristal yang terdefinisi dengan
baik yang bergabung dengan asam membentuk garam. Alkaloid sejati dapat terbentuk di
tumbuhan (1) dalam keadaan bebas, (2) sebagai garam dan (3) sebagai N-oksida. Alkaloid
ini terdapat dalam jumlah spesies yang terbatas dan keluarga, dan merupakan senyawa di
mana dekarboksilasi asam amino berkondensasi dengan bagian struktur nonnitrogen.
Prekursor utama alkaloid sejati adalah seperti: asam amino sebagai L-ornithine, L-lisin,
L-fenilalanin/L tirosin, L- triptofan dan L-histidin. Contoh yang benar Alkaloid termasuk
alkaloid yang aktif secara biologis seperti kokain, kina, dopamin, dan morfin (Shah,
2010).
2. Protoalkaloids
Protoalkaloid adalah senyawa yang atom N-nya diturunkan dari asam amino bukan
heterosiklik. Seperti Jenis alkaloid termasuk senyawa yang berasal dari L-tirosin dan L-
tryptophan. Protoalkaloid adalah mereka yang memiliki cincin tertutup, menjadi alkaloid
sempurna tetapi secara struktural sederhana. Mereka membentuk minoritas dari semua
alkaloid. Hordenine, mescaline dan yohimbine adalah contoh dari jenis alkaloid ini. Chini
dkk. telah menemukan alkaloid baru, stachydrine dan 4-hydroxy stachydrine, berasal dari
Boscia angustifolia, tanaman milik keluarga Capparidacea. Alkaloid ini memiliki inti
pirolin dan merupakan alkaloid dasar dalam genus Boscia. Spesies dari genus ini telah
digunakan dalam pengobatan tradisional di Afrika Timur dan Selatan. Boscia angustifolia
digunakan untuk pengobatan penyakit mental, dan kadang-kadang untuk memerangi rasa
sakit dan neuralgia (Shah, 2010).
3. Pseudoalkaloids
Pseudoalkaloid adalah senyawa, dengan kerangka karbon dasar yang tidak berasal
dari asam amino. Pada kenyataannya, pseudoalkaloid terhubung dengan jalur asam
amino. Mereka berasal dari prekursor atau pasca-kursor (turunan proses degradasi) asam
amino. Mereka juga dapat dihasilkan dari reaksi aminasi dan trans-aminasi dari berbagai
jalur yang terhubung dengan prekursor atau pasca kursor asam amino. Alkaloid ini juga
dapat diturunkan dari non amino acid prekursor. Atom N dimasukkan ke dalam molekul
6
pada tahap yang relatif terlambat, misalnya, dalam kerangka steroid atau terpenoid. Atom
N juga dapat disumbangkan oleh sumber asam amino di reaksi transaminasi, jika ada
aldehida yang sesuai atau keton. Pseudoalkaloid dapat berupa turunan asetat dan
fenilalanin atau terpenoid, serta alkaloid steroid. Contoh pseudoalkaloid termasuk
senyawa tersebut seperti coniine, capsaicin, efedrin, solanidine, kafein dan teobromin.
2.1.7 Kuinin
Pemanfaatan tanaman sebagai bahan baku obat mulai sering digunakan terkait dengan
berbagai macam metabolit sekunder yang dapat dihasilkan oleh tanaman. Metabolit sekunder
berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup tanaman terhadap kondisi lingkungan
dan juga merupakan zat bioaktif yang berkaitan dengan kandungan kimia dalam tumbuhan.
Setiap tumbuhan memiliki metabolit sekunder yang bervariasi dan dalam jumlah yang
berbeda antar tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam tanaman antara
lain: alkaloid, steroid, terpenoid, dan flavonoid. Alkaloid yang terdapat pada tanaman kina,
salah satunya adalah alkaloid kuinin yang menjadi bahan baku untuk pembuatan obat pil kina
yang berkhasiat dalam pengobatan penyakit malaria baik malaria tropikana maupun penyakit
malaria kuartana (Jhon, 2012). Kuinin dapat digunakan sebagai obat malaria dikarenakan
memiliki efektivitas yang baik terhadap semua jenis plasmodium dan efektif sebagai
skizontosida maupun gametosida (Harijanto, 2006).
Kuinin merupakan senyawa aktif yang memiliki rumus molekul C20H24N2O2. Kuinin
memiliki bentuk kristal halus, putih, tidak berbau, dan memiliki rasa yang pahit (Ernawati
dkk., 2018). Berikut struktur molekul kuinin yang ditampilkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur Kuinin


Salah satu cara untuk mendapatkan unit kuinolin dari alkaloid kina adalah pemutusan
ikatan karbon-karbon pada C8– C9 melalui pemutusan oksidatif. Beberapa metode untuk
pemutusan ikatan karbon-karbon terhadap alkaloid kina telah dilaporkan, seperti pemutusan
C8–C9 kinin melalui oksidasi menjadi kininon dengan oksidasi Swern menggunakan oksalil
klorida (COCl)2 yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan anion enolat oleh basa
kuat kalium tersier-butoksida (t-BuOK), kemudian oksidasi ikatan rangkap pada enolat oleh
7
O2 untuk memutus C8–C9. Kemudian metode pemutusan kinidin dengan reaksi oksidasi
menggunakan KMnO4 pada suasana asam memberikan produk oksidasi berupa senyawa
diol, campuran epimer aldehid, dan produk fragmentasi C8 –C9 kuinolin katboksilat.
(Rosalina dkk., 2015).
2.2 Karakteristik Simplisia
2.2.1 Penetapan Kadar Air Simplisia
Penetapan kadar air simplisia ditujukan untuk memberikan batasan maksimal atau
rentang besarnya kandungan air dalam suatu simplisia. Suatu ekstrak dikategorikan ekstrak
cair apabila kadar air 30%, ekstrak kental dengan kadar air 5-30% dan ekstrak kering dengan
kadar air kurang dari 5%. (Supriningrum, dkk., 2018).
2.2.2 Susut Pengeringan Simplisia
Susut pengeringan adalah persentase senyawa yang menghilang selama proses
pemanasan (tidak hanya menggambarkan air yang hilang, tetapi juga senyawa menguap lain
yang hilang). Berikut merupakan rumus dari susut pengeringan :

keterangan :
a = Cawan Porselin
b = Berat Sampel
c = Berat Cawan + Sampel
(Supriningrum dkk., 2018).
2.2.3 Kadar Abu Total Simplisia
Penetapan kadar abu adalah cara untuk mengetahui sisa yang tidak menguap dari suatu
simplisia pada pembakaran. Tujuan dilakukannya pengujian kadar abu adalah untuk
memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses
pengolahan simplisia hingga terbentuknya ekstrak (Depkes, 2000). Semakin tinggi kadar abu
semakin tinggi mineral yang dikandung dalam bahan tersebut. Nilai kadar abu total menurut
Suryaningrum, dkk. (2019) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

2.3 Defatting dan Ekstraksi dengan Metode Maserasi


Defatting yaitu suatu proses yang bertujuan untuk menghilangkan lemak, klorofil dan
lipid yang terkandung dalam matriks tumbuhan (Depkes RI, 1986). Pelarut yang cukup sering
digunakan pada proses defatting adalah n-heksana. Maserasi merupakan metode sederhana
8
yang paling banyak digunakan. Maserasi merupakan salah satu metoda ekstraksi yang
dilakukan dengan cara merendam simplisia nabati menggunakan pelarut tertentu selama
waktu tertentu dengan sesekali dilakukan pengadukan atau penggojokan (Marjoni, 2016).
Prinsip kerja dari maserasi adalah proses melarutnya zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya
dalam suatu pelarut (like dissolved like). Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala
industri (Agoes, 2007). Dalam maserasi, bubuk kasar sampel tumbuhan disimpan dan
dibiarkan mengalami kontak dengan pelarut dalam wadah tertutup untuk jangka waktu
tertentu yang disertai dengan pengadukan hingga komponen sampel tumbuhan ada yang
larut. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa
dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Metode ini paling cocok untuk
digunakan dalam kasus senyawa kimia tumbuhan yang tidak tahan panas (termolabil)
(Julianto, 2019).
2.4 Penguapan Pelarut
Penguapan pelarut dilakukan setelah proses ekstraksi berlangsung dengan tujuan untuk
menghilangkan pelarut yang kadarnya masih tinggi sehingga diperoleh ekstrak kental yang
pekat. Proses penguapan ekstrak dapat dilakukan dengan menggunak an serangkaian alat
evaporator dengan prinsip evaporasi. Melalui penggunaan alat tersebut terjadi proses
evaporasi, yakni penguapan bagian dari pelarut sehingga didapatkan larutan pekat yang
konsentrasinya lebih tinggi dan lebih awet. Penguapan pelarut ini juga bertujuan untuk
menurunkan aktivitas air pada ekstrak karena konsistensi larutan menjadi semi solid
(Ramadani, 2018).
2.5 Uji Organoleptis ekstrak
Uji Organoleptis ekstrak dilakukan dengan mengamati secara sederhana dan subyektif
menggunakan pancaindera meliputi bentuk, warna, dan bau. (Rohmani & Kuncoro, 2019).
2.6 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Penetapan kadar sari larut etanol bertujuan untuk mengetahui kadar senyawa yang
dapat terlarut di dalam etanol. Metode kuantitatif untuk jumlah kandu ngan senyawa dalam
simplisia yang mampu tertarik oleh pelarut. Adapun pelarut yang digunakan adalah etanol.
Uji kadar larut etanol dilakukan untuk menguji ekstrak yang larut dalam etanol, dimana
mengacu pada jumlah senyawa yang dapat diserap menggunakan pe larut etanol yang
menandakan bahwa senyawa aktif bersifat semi polar hingga non polar (Solihah dkk., 2018).
2.7 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air
Kadar sari larut air adalah sari simplisia yang tersisa setelah proses penguapan dalam
oven. Kadar sari larut air menunjukan adanya senyawa yang bersifat polar, karena selama
proses maserasi, air yang bersifat polar dapat menarik senyawa polar dalam simplisia.
9
Penetapan kadar sari larut air bertujuan untuk mengetahui kadar senyawa yang dapat terlarut
di dalam air. Besar kecilnya hasil penetapan kadar sari dipengaruhi oleh faktor biologi
diantaranya adalah lokasi tumbuhan, periode pemanenan dan umur tumbuhan . Penyimpanan
dan pemanenan yang tidak pada waktunya juga dapat mempengaruhi kandungan senyawa
kimia.

2.8 Skrining Fitokimia


Setelah didapatkan ekstrak kental, dilakukan skrining fitokimia sebagai langkah awal
untuk menentukan keberadaan golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam
sampel ekstrak. Skrining fitokimia yang umumnya dilakukan adalah pengujian golongan
senyawa flavonoid, saponin, steroid dan triterpenoid, alkaloid, serta golongan senyawa
lainnya. Pengujian flavonoid dalam praktikum ini menggunakan metode Taubeck dengan
hasil positif ditunjukkan dengan larutan uji berfluoresensi kuning intensif di bawah sinar UV
366 nm. Pada pengujian saponin dilakukan dengan metode uji busa, kemudian untuk
pengujian steroid dan triterpenoid dilakukan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard
dengan interpretasi hasil terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan
menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin biru kehijauan
menunjukkan adanya steroid. Selain itu, dilakukan pengujian alkaloid menggunakan pereaksi
mayer (terbentuk endapan kuning) dan pereaksi dragendorff (terbentuk endapan jingga)
(Nurjannah dkk., 2022).
2.9 Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi cair-cair merupakan metode pemisahan yang dapat memisahkan alkaloid dari
senyawa lain dan pengotor dengan menggunakan dua jenis pelarut yang tidak saling
bercampur, dimana senyawa dalam ekstrak akan terpisah dengan prinsip like -dissolve like
(Giri, 2020). Prinsip dari ekstraksi cair-cair ini yaitu dengan melibatkan pengontakan suatu
larutan dengan pelarut atau solvent lain yang tidak saling melarut dengan pelarut asal yang
mempunyai densitas yang berbeda, sehingga akan terbentuk dua fase beberapa saat setelah
penambahan solvent. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan massa dari pelarut asal ke
pelarut pengekstrak (Mirwan, 2013). ECC ditentukan oleh distribusi nerst yang menyatakan
bahwa pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi
yang selalu sama di antara dua pelarut yang saling tidak bercampur. Perbandingan
konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua fase disebut dengan koefisien distribusi
atau koefisien partisi (Kp).

10
[S]Org dan [S]aq masing-masing merupakan konsentrasi analit dalam fase organik dan dalam
fase air (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.10 Kromatografi Lapis Tipis dengan Pereaksi Kimia
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu metode dalam pemisahan komponen kimia
berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi yang ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase
gerak (eluen) (Alen dkk., 2017). Prinsip kerja KLT yaitu adsorpsi, desorpsi, dan elusi.
Adsorpsi terjadi ketika larutan sampel ditotolkan ke fase diam (plat KLT) menggunakan pipa
kapiler, komponen– komponen dalam sampel akan terabsorbsi di dalam fase diam. Desorbsi
adalah peristiwa ketika komponen yang teradsorpsi di fase diam didesak o leh fase gerak
(eluen), terjadi persaingan antara eluen dan komponen untuk berikatan dengan fase diam.
Elusi adalah peristiwa ketika komponen ikut terbawa oleh eluen (Husna dan Mita, 2020).
Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan pada perbandingan nilai Rf
dibandingkan Rf standar. Nilai Rf dihitung dengan menggunakan rumus:

Salah satu cara mendeteksi senyawa adalah dengan menggunakan metode kromatografi
lapis tipis (KLT). Proses KLT diawali dengan filtrat pekat ditotolkan pada plat KLT lalu
dielusi dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Setelah melalui proses KLT, plat yang
dielusi tersebut akan dideteksi di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Namun, dalam proses
pendeteksian ini terkadang ditemukan kesulitan untuk melakukan identifikasi senyawa yang
mungkin dapat disebabkan karena konsentrasi yang terlalu kecil sehingga seolah -olah sampel
tidak mengandung senyawa yang dituju. Oleh karena itu, penggunaan reagen penampak
bercak yang disemprotkan pada plat KLT yang sudah dielusi (Saidi dkk., 2018).
Terdapat beberapa jenis reagen penampak bercak seperti reagen Mayer, reagan
Dragendorff, reagen Wagner atau menggunakan reagen universal seperti H2SO4. Dalam
praktikum ini, digunakan pereaksi semprot H 2SO4 10%. Penggunaan reagen ini akan
memberikan hasil berupa bercak hitam secara visual yang akan teramati setelah dilakukan
pemanasan pada plat. H2SO4 memiliki sifat sebagai reduktor yang dapat memutuskan ikatan
rangkap sehingga panjang gelombang dapat bertambah. Reagen ini juga mampu
menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik sehingga noda plat dapat teramati (Roni
dkk., 2019)
2.11 Kromatografi Cair Vakum
Kromatografi Vakum Cair adalah kromatografi dengan prinsipnya yaitu absorpsi dan
partisi yang dipercepat dengan bantuan pompa vakum. Tujuan Kromatografi Cair Vakum
(KCV) adalah untuk fraksinasi awal dari suatu ekstrak non polar/semi polar. Pada metode
11
ini, fase gerak sangat menentukan hasil pemisahan yang diperoleh. Kelebihan Kromatografi
Cair Vakum (KCV) daripada kromatografi kolom biasa terletak pada kecepatan proses karena
proses mengelusi dipercepat dengan memvakum kolom. Selain itu, KCV juga dapat
memisahkan sampel dalam jumlah banyak. Pada KCV fraksi-fraksi yang ditampung
umumnya bervolume jauh lebih besar dibandingkan kromatografi kolom. Kerugian KCV
adalah pemisahannya dapat berjalan tidak sempurna, karena senyawa yang ditampung
bercampur dalam penampungan, tidak seperti pada kolom konvensional yang dipisahkan
warna, sehingga pemisahannya lebih maksimal (Heftmann, 1983).
2.12 Kromatografi Lapis Tipis -Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP) adalah salah satu metode yang memerlukan
pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling dasar. Walaupun KLT-P dapat
memisahkan bahan dalam jumlah gram, sebagian besar pemakainya hanya dalam jumlah
miligram. KLTP bersama-sama dengan kromatografi kolom terbuka masih dijumpai dalam
sebagian besar publikasi mengenai isolasi bahan alam (Putri, 2017). Prinsip pemisahan
dalam KLT preparatif didasarkan atas perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan
dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen atau fase
gerak oleh karena daya serap adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka
komponen kimia akan bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang
menyebabkan terjadinya pemisahan. Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam KLT
preparatif yaitu pelarutan hasil pita yang dikerok harus segera dilakukan karena semakin
lama analit terikat pada fase diam atau adsorben, maka semakin besar kemungkinan dari
analit akan terurai (Giri, 2020).
2.13 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar
ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya
tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke
tingkat energi yang lebih tinggi. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400
nm, sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400 -800 nm (Suarsa, 2015).
Prinsip kerja spektrofotometri UV-Vis berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik
dengan atom, ion, atau molekul. Serapan atom menyebabkan peralihan atau transisi
elektronik, yaitu peningkatan energi elektron dari keadaan dasar (ground state) ke satu atau
lebih tingkat energi yang lebih tinggi atau tereksitasi (excited state). Transisi terjadi jika
energi yang dihasilkan oleh radiasi sama dengan energi yang diperlukan untuk melakukan
transisi (Watson, 2012). Hal tersebut terjadi karena adanya gugus kromofor pada suatu
senyawa. Selain itu, adanya gugus auksokrom yang terikat pada kromofor mengintensifkan
12
absorbsi sinar UV-Vis pada kromofor tersebut, baik panjang gelombang maupun
intensitasnya, misalnya gugus hidroksi, amina, halida, alkoksi (Suhartati, 2017).
2.14 Kromatografi Lapis Tipis Densitometri
KLT Densitometri memiliki prinsip kerja yakni berdasarkan interaksi antara radiasi
elektromagnetik dan sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi
elektromagnetik yang diabsorbsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa
fluoresensi dan fosforesensi (Sherma dan Fried, 1996). KLT Densitometri juga merup akan
metode gabungan antara KLT dengan densitometri, dimana metode ini adalah metode
analisis instrumental yang didasarkan pada interaksi elektromagnetik dengan analit yang
merupakan bercak pada kromatografi lapis tipis. Densitometri dapat digunakan untuk analisis
kualitatif dalam perihal deteksi senyawa baku terhadap sampel dan pada analisis kuantitatif
dapat digunakan untuk perhitungan kadar sampel (Arlen, 2022).

13
BAB III
SKEMA RANCANGAN PEMISAHAN METABOLIT SEKUNDER

3.1 Alat

1. Bejana Maserasi 13. Cutter 26. Batang pengaduk


2. Kolom 14. Oven 27. botol semprot
3. Chamber KLT 15. Blander 28. Botol vial
4. Cawan porselen 16. Penangas air 29. Botol coklat
5. Neraca analitik 17. Krus silika 30. Kertas saring
6. Botol vial 18. Pipet tetes 31. Kertas perkamen
7. Erlenmeyer 19. Pipet ukur 32. Kertas label
8. Spektrofotometer Uv-Vis 20. Pipet mikro 33. Pinset
245nm dan 366 nm 21. Bulbfiller 34. Pensil
9. Plat KLT silica gel GF254 22. Tabung reaksi 35. Penggaris
10. Alat Densitometer 23. Corong kaca 36. Corong pisah
11. Rotary Evaporator 24. Sendok tanduk 37. Kuvet
12. Ayakan 60 mesh 25. Alat gelas 38. Kolom

3.2 Bahan

1. Kulit batang kina 14. HCl 2 N


2. Simplisia kulit batang kina 15. Pereaksi Mayer
3. Ekstrak kulit batang kina 16. Pereaksi Wagner
4. Fraksi hasil KCV 17. Reagen Dragendrof
5. Metanol 18. Aseton
6. Kloroform 19. Asam oksalat
7. Etil Asetat 20. Eter
8. Aquadest 21. Etil asetat
9. Pereaksi Liebermann-Burchard 22. Kloroform
10. Asam Asetat Anhidrat 23. Serbuk silika
11. Asam sulfat pekat 24. Fraksi etil asetat
12. Etanol 25. Fraksi metanol
13. N-heksan 26. Asam sulfat 10 %
27. Standar kinin

14
3.3 Pembuatan Simplisia

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Di iris kulit batang kina dengan ketebalan yang tidak terlalu tebal

Dicuci Kulit batang simplisia kina yang sudah diiris hingga bersih lalu di angin -anginkan

Dilakukan pengeringan kulit batang kina dengan oven pada suhu 50 ᐤC dan 70ᐤC selama
8 dan 10 jam

Simplisia yang sudah jadi kemudian dihaluskan dengan blender

Diayak serbuk kina dengan ayakan mesh 60

(Supiningrum dkk., 2018)


3.4 Karakteristik Simplisia (Penetapan Kadar Air/ Susut Pengeringan dan Kadar Abu
Simplisia)
a. Penetapan Kadar Air

Disiapkan alat dan bahan

Ditimbang sebanyak 2 gram serbuk simplisia kina

Dimasukan serbuk yang telah di timbang ke dalam cawan porselen

Dimasukan cawan porselen yang berisi serbuk kina ke dalam oven

15
Dipanaskan dalam Oven pada suhu 105ᐤC selama 30 menit dan dikeringkan hingga
bobot tetap

b. Susut Pengeringan

Disiapkan alat dan bahan

Ditimbang simplisia sebanyak 1 gr dan dimasukkan ke dalam kurs porselin tertutup


yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ᐤC selama 30 menit dan telah
ditera.

Kemudian simplisia diratakan ke dalam kurs porselin, dengan menggoyangkan kurs


hingga membentuk lapisan setebal 5-10 mm

Dimasukan simplisia ke dalam ke dalam oven, kemudian didinginkan dengan


menggunakan desikator

Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali kemudian hitung persentasenya

(Indriyanti dkk., 2019)


c. Kadar Abu Total

Disiapkan alat dan bahan

Ditimbang kurang lebih 2-3 gram simplisia kulit batang kina yang telah di haluskan

Dimasukkan bahan uji yang telah ditimbang ke dalam krus silikat yang telah

16
dipijarkan dan ditara

Kemudian dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, lalu didinginkan dan


ditimbang

Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan air panas,
diaduk, dan saring melalui kertas saring bebas abu

Dimasukkan filtrat kedalam krus, diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap pada
suhu 800 ± 25°C

Kadar abu total simplisia kulit batang kina dihitung terhadap berat bahan uji, dan
dinyatakan dalam %b/b

3.5 Defatting dan Ekstraksi dengan Metode Maserasi

Dimasukkan serbuk kulit batang kina sebanyak 100 gram ke dalam bejana maserasi

Ditambahkan 400 mL n-heksan, lalu diaduk dan dibiarkan semalaman, sambil diaduk
sesekali

Disaring, lalu filtrat disimpan dan ampas dimaserasi kembali dengan 300 mL metanol
kemudian diaduk dan dibiarkan selama 1 hari sambil diaduk sesekali

Disaring, lalu filtrat dikumpulkan dan ampas dimaserasi kembali dengan 300 mL
metanol

17
Diaduk dan dibiarkan selama 1 hari sambil diaduk beberapa waktu

Disaring, lalu filtrat dikumpulkan dan pelarut diuapkan dengan vacum rotary evaporator.

3.6 Penguapan Pelarut

Dibersihkan dan disiapkan alat rotary evaporator

Dimasukkan ekstrak kulit batang kina hasil ekstraksi ke dalam labu sampel

Dipasang labu sampel pada alat rotary evaporator, kemudian diuapkan pelarut.

3.7 Organoleptis Ekstrak

Disiapkan alat dan bahan

Diamati warna, bentuk, bau, rasa, dari ekstrak kina

di catat hasil yang di dapat

3.8 Penentuan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Disiapkan alat dan bahan

Ditimbang sebanyak 5 gram serbuk kina yang telah di keringkan di udara,dan


dimasukan ke dalam labu tersumbat

18
Ditambahkan 100 ml air etanol P, kocok berkali – kali selama 6 jam pertama, dibiarkan
selama 18 jam

Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol dan diuapkan 20,0 ml
filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas yang telah dipanaskan pada suhu
105 oC dan telah ditara

Dipanaskan sisa filtrat pada suhu 105 oC hingga bobot tetap

Dihitung kadar dalam % sari larut etanol

3.9 Penentuan Kadar Sari Larut dalam Air

Disiapkan alat dan bahan

Ditimbang sebanyak 5 gram serbuk kina yang telah di keringkan di udara,dan


dimasukan ke dalam labu tersumbat

Ditambahkan 100 ml air etanol P, kocok berkali – kali selama 6 jam pertama, dibiarkan
selama 18 jam

Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol dan diuapkan 20,0 ml
filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas yang telah dipanaskan pada suhu
105ᐤC dan telah ditara

Dipanaskan sisa filtrat pada suhu 105ᐤC hingga bobot tetap

19
Dihitung kadar dalam % sari larut air

3.10 Skrining Fitokimia

Uji alkaloid yaitu ekstrak kulit batang kina diuapkan sebanyak 2 mL, kemudian dilarutkan
ke dalam 5 mL HCl 2N.

Pengujian adanya senyawa alkaloid dilakukan dengan pereaksi Wagner, Mayer dan
Dragendorff, adanya senyawa alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan coklat
pada penambahan pereaksi Wagner, warna kuning pada penambahan pereaksi Mayer dan
warna jingga pada penambahan pereaksi Dragendorf.

(Leliqia dkk., 2019)


3.11 Pemisahan I : Fraksinasi (Ekstraksi Cair-Cair)

Disiapkan alat dan bahan yang digunakan, kemudian ekstrak kental yang sudah ditimbang
sebelum nya dibagi 2 : 1 bagian

Ditimbang 20 mg untuk KLT (10 mg untuk analisis dengan KLT dan 10 mg untuk
penetapan kadar), sisanya dipisahkan dengan ekstraksi cair-cair

Kemudian ditambahkan 10 mL larutan asam sulfat 10% pada ekstrak yang telah diuapkan
atau dipekatkan

Larutan ekstrak dalam asam sulfat 10% dipartisi dalam corong pisah menggunakan 20 mL
etil asetat sebanyak 3 kali

Ditampung fase air dan fase etil asetat I yang diperoleh

20
Fase air yang diperoleh ditambahkan beberapa tetes amonia cair

Dipartisi kembali dengan 20 mL etil asetat sebanyak 3 kali

Ditampung fase air dan fase etil asetat II yang diperoleh

Ketiga fraksi hasil partisi (fase air, fase etil asetat I, dan fase etil asetat II) diambil
masing-masing sebanyak 5 mL lalu diuapkan pelarutnya

Ditambahkan 2 mL metanol untuk identifikasi KLT dan sisanya digunakan untuk


penguapan lebih lanjut.

(Leliqia dkk., 2019)


3.12 KLT dan Identifikasi dengan Pereaksi Kimia
a. Perhitungan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan adalah kloroform : metanol (9:1) v/v dibuat sebanyak 10
mL.

Kloroform 9
= × 10 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10

Metanol 1
= × 10 𝑚𝐿 = 1 𝑚𝐿
10
b. Pembuatan Fase Gerak

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Dipipet Kloroform sebanyak 9 mL dan metanol 1 mL

21
Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL lalu digojog

Diberi label

c. Pembuatan Pereaksi Kimia H 2SO4 10%

Dimasukkan sedikit aquades ke dalam labu ukur 10 mL

Dipipet 1 mL larutan stok H2SO4 98%b/b, lalu dimasukkan perlahan ke dalam


labu ukur 10 mL yang sudah berisi aquades melalui dinding labu

Ditambahkan aquades hingga tanda batas dan digojog hingga homogen

Setelah homogen, larutan pereaksi semprot dimasukkan ke dalam botol spray


dan diberi label

d. Elusi

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Masing – masing fraksi air, etil asetat I, etil asetat II, standar kinin sulfat, dan
ekstrak metanol ditotolkan sebanyak 6 µL pada plat KLT Silika Gel GF 254

Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak
kloroform : metanol (9:1) v/v

Plat dielusi hingga batas jarak pengembangan, lalu di angin-anginkan. Kemudian

22
dideteksi di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

Plat disemprot dengan pereaksi semprot H 2SO4 10% dan diamati kembali plat di
bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

Ditandai spot yang diduga kinin dan dihitung Rf masing-masing spot

(Leliqia dkk., 2019)


3.13 Pemisahan II : Subfraksinasi (Kromatografi Vakum Cair)
a. Pembuatan Campuran Kloroform : Metanol 9:1 v/v 30mL

Kloroform 9
= × 30 𝑚𝐿 = 27 𝑚𝐿
10

Metanol 1
= × 30 𝑚𝐿 = 3 𝑚𝐿
10
b. Pembuatan Fase Gerak Gradien
- Etil asetat : Metanol 7:3 v/v 30 mL

Etil asetat 7
= × 30 𝑚𝐿 = 21 𝑚𝐿
10

Metanol 3
= × 30 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10
- Etil asetat : Metanol 5:5 v/v 30 mL

Etil asetat 5
= × 30 𝑚𝐿 = 15 𝑚𝐿
10

Metanol 5
= × 30 𝑚𝐿 = 15 𝑚𝐿
10

- Etil asetat : Metanol 3:7 v/v 30 mL

Etil asetat 3
= × 30 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10

Metanol 7
= × 30 𝑚𝐿 = 21 𝑚𝐿
10

23
c. Penyiapan Fraksi

Ditimbang fraksi etil asetat kental dengan menggunakan cawan porselen dan
neraca analitik

Ditambahkan beberapa tetes methanol

Ditambahkan silika sama banyak dengan jumlah fraksi

d. Penyiapan Kolom

Ditimbang sejumlah tertentu silika

Dimasukkan ke dalam kolom sambil digetar-getarkan

Diletakkan kertas saring pada bagian atas kolom

Diekuilibrasi kolom dengan 30 mL campuran kloroform : metanol 9;1 v/v

e. Elusi

Ditaburkan fraksi pada bagian atas kolom yang sudah dikemas

Di elusi secara gradien masing-masing dengan 30 mL campuran eluen etil asetat :


metanol (7:3)v/v, etil asetat : metanol (5:5) v/v, etil asetat : metanol (3:7)v/v

Ditampung tiap fraksi dalam botol vial atau erlenmeyer, sehingga diperoleh 6 fraksi

24
Tiap fraksi diuapkan pelarutnya

Ditimbang bobot fraksi setelah diuapkan

(Leliqia dkk., 2019)


3.14 KLT Hasil Subfraksinasi Vakum Cair
a. Perhitungan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan adalah kloroform : metanol (9:1) v/v dibuat sebanyak 10
mL.

Kloroform 9
= × 10 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10

Metanol 1
= × 10 𝑚𝐿 = 1 𝑚𝐿
10
b. Pembuatan Fase Gerak

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Dipipet Kloroform sebanyak 9 mL dan metanol 1 mL

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL lalu digojog

Diberi label

c. Pembuatan Pereaksi Kimia H 2SO4 10%

Dimasukkan sedikit aquades ke dalam labu ukur 10 mL

Di pipet 1 mL larutan stok H 2SO4 98%b/b, lalu dimasukkan perlahan ke dalam


labu ukur 10 mL yang sudah berisi aquades melalui dinding labu

25
Ditambahkan aquades hingga tanda batas dan digojog hingga homogen

Setelah homogen, larutan pereaksi semprot dimasukkan ke dalam botol spray


dan diberi label

d. Elusi

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Ditotolkan fraksi etil asetat : metanol (7:3)v/v, fraksi etil asetat : metanol (5:5) v/v,
fraksi etil asetat : metanol (3:7)v/v, dan standar kinin pada plat KLT Silika Gel GF
254 yang sudah diaktivasi

Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak
kloroform : metanol (9:1) v/v

Plat dielusi hingga batas jarak pengembangan lalu diangin-anginkan. Kemudian


dideteksi di bawah sinar UV 254nm dan 366nm

Plat disemprot dengan pereaksi semprot H 2SO4 10% dan diamati kembali plat di
bawah sinar UV 254 nm dan 366n m

Ditandai spot yang diduga kinin dan dihitung Rf masing-masing spot

(Leliqia dkk., 2019)


3.15 Pemisahan ke-III: KLT- Preparatif
a. Perhitungan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan adalah kloroform : metanol (9:1) v/v dibuat sebanyak 10
mL.

26
Kloroform 9
= × 10 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10

Metanol 1
= × 10 𝑚𝐿 = 1 𝑚𝐿
10
b. Pembuatan Fase Gerak
Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Dipipet Kloroform sebanyak 9 mL dan metanol 1 mL

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL lalu digojog

Diberi label

c. Penyiapan Fase Diam

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Fase diam yang digunakan merupakan lempeng A1 Silika Gel GF254

Diberi tanda batas bawah pada fase diam kira-kira 1 cm dari ujung lempeng

Dicuci dan diaktivasi plat yang digunakan

d. Penyiapan Larutan Uji

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Diambil sejumlah tertentu fraksi dan dilarutkan dalam sedikit campuran


kloroform-metanol (9:1 v/v)

27

Dibuat hingga agak pekat

e. Pembuatan Pereaksi Kimia H 2 SO4 10%

Dimasukkan sedikit aquades ke dalam labu ukur 10 mL

Di pipet 1 mL larutan stok H 2 SO4 98%b/b, lalu dimasukkan perlahan ke dalam


labu ukur 10 mL yang sudah berisi aquades melalui dinding labu

Ditambahkan aquades hingga tanda batas dan digojog hingga homogen

Setelah homogen, larutan pereaksi semprot dimasukkan ke dalam botol spray


dan diberi label

f. Penotolan dan Elusi Preparatif

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Ditotolkan larutan uji dan standar kinin pada lempeng dengan bantuan pipet dalam
bentuk pita pada plat KLT Silika Gel GF 254 yang sudah diaktivasi. Lalu Diangin -
anginkan plat untuk menguapkan pelarut

Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak
kloroform : metanol (9:1) v/v

Plat dielusi hingga batas jarak pengembangan lalu diangin-anginkan. Kemudian


dideteksi di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

28
Plat disemprot dengan pereaksi semprot H 2 SO4 10% dan diamati kembali plat di
bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

Ditandai spot yang diduga kinin dan dihitung Rf masing-masing spot

Pita yang positif kinin ditandai dengan warna biru intensif

Seluruh pita yang positif kinin ditekuk dengan spatula dan dikumpulkan
dalam vial yang berbeda

Hasil kerukan diekstraksi dengan pelarut campuran CHCl3 : MeOH (9:1 v/v) dan
didiamkan selama semalam

Disaring larutan tersebut kemudian digunakan untuk memisahkan silika yang


ikut terambil

Hasil saringan ditampung pada botol vial

(Leliqia dkk., 2019)

3.16 KLT Hasil Pemisahan ke-III (KLT-Preparatif)


a. Perhitungan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan adalah kloroform : metanol (9:1) v/v dibuat sebanyak 10
mL.

Kloroform 9
= × 10 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10

Metanol 1
= × 10 𝑚𝐿 = 1 𝑚𝐿
10
b. Pembuatan Fase Gerak

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

29
Dipipet Kloroform sebanyak 9 mL dan metanol 1 mL

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL lalu digojog

Diberi label

3.17 Pembuatan Pereaksi Kimia H 2SO4 10%

Dimasukkan sedikit aquades ke dalam labu ukur 10 mL

Dipipet 1 mL larutan stok H 2SO4 98%b/b, lalu dimasukkan perlahan ke dalam


labu ukur 10 mL yang sudah berisi aquades melalui dinding labu

Ditambahkan aquades hingga tanda batas dan digojog hingga homogen

Setelah homogen, larutan pereaksi semprot dimasukkan ke dalam botol spray


dan diberi label

3.18 Penyiapan Larutan Uji

Disiapkan subfraksi hasil ekstraksi kerokan plat yang telah diperoleh ada praktikum
sebelumnya. Jika sampel masih berupa larutan dapat dipekatkan dengan pemanasan
dan apabila sampel telah menjadi ekstrak kental dapat ditambahkan metanol atau
eluen untuk melarutkan

3.19 Penotolan dan Elusi

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

30
Ditotolkan larutan uji dan standar kinin pada lempeng dengan bantuan pipet kapiler
pada plat KLT Silika Gel GF254 yang sudah diaktivasi. Lalu Diangin-anginkan plat
untuk menguapkan pelarut

Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak
kloroform : metanol (9:1) v/v

Plat dielusi hingga batas jarak pengembangan lalu diangin-anginkan. Kemudian


dideteksi di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

Plat disemprot dengan pereaksi semprot H 2SO4 10% dan diamati kembali plat di
bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

Ditandai spot yang diduga kinin dan dihitung Rf masing-masing spot

(Leliqia dkk., 2019)


3.20 Analisis Spektrum Isolat
a. Pembuatan Blanko

Blangko yang digunakan adalah 10 mL methanol

Diambil 10 mL metanol dengan menggunakan pipet ukur

Dimasukkan 10 mL metanol ke dalam labu ukur

b. Analisis Sampel dengan Spektrofotometri

Disiapkan alat spektrofotometer Uv-Vis dan pastikan telah terhubung dengan


sumber cahaya

31
Dihidupkan alat dengan menekan tombol power

Disiapkan larutan sampel yang sudah jernih dan dimasukkan larutan sampel ke
dalam kuvet (sel sampel) dan kuvet lain berisi pelarut metanol tanpa isolat kinin
(sel blanko)

Dinolkan spektrofotometri UV-Vis dengan menggunakan sel blangko

Diukur absorbansi sel sampai relatif terhadap sel blangko menggunakan


spektrofotometer di daerah radiasi ultraviolet. Rentang pembacaan spektrum
dimulai dari 200 nm sampai 400 nm

Ditentukan panjang gelombang maksimum, dicatat dan dibandingkan dengan


spektrum yang berasal dari pustaka

3.21 KLT Densitometri


a. Perhitungan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan adalah kloroform : metanol (9:1) v/v dibuat sebanyak 10
mL.

Kloroform 9
= × 10 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10

Metanol 1
= × 10 𝑚𝐿 = 1 𝑚𝐿
10
b. Pembuatan Fase Gerak

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Dipipet kloroform sebanyak 9 mL dan metanol 1 mL

32
Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL lalu digojog

Diberi label

c. Penyiapan Larutan Uji Standar Kina

Ditimbang 24 mg serbuk standar kinin, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker

Dilarutkan dengan metanol, diaduk hingga larut

Dimasukkan larutan dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan metanol hingga tanda
batas 5 mL

Dipindahkan dalam botol vial dan diberi label

d. Identifikasi dengan KLT Densitometri

Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Dijenuhkan chamber dengan fase gerak yang telah dibuat

Ditotolkan larutan standar kinin sebanyak 2, 4, 6, 8 dan 10 μL, serta ditotolkan


ekstrak metanol dan larutan hasil subfraksinasi sebanyak 6 μL pada plat dengan 3 kali
pengulangan

Plat dielusi hingga tanda batas dan dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan dengan

33
cara diangin-anginkan.

Plat dimasukkan ke alat TLC Scanner, lalu diamati dengan densitometer

Dibuat kurva kalibrasi dan persamaan regresi liniernya, kemudian dilakukan penetapan
kadar kinin dalam sampel

(Leliqia dkk., 2019)

34
DAFTAR PUSTAKA

Agoes. G. 2007. Teknologi Bahan Alam. ITB Press Bandung.


Aksara, R., Weny, J. a., Musa, dan Alio, L. 2013. Identifikasi Senyawa Alkaloid Dari Ekstrak
Metanol Kulit Batang Mangga (Mangifera indica L). Jurnal Entropi. Vol. 3 (1).
Alen, Y., Agresa, F. L., dan Yuliandra, Y. 2017. Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan
Aktivitas Antihiperurisemia Ekstrak Rebung Schizostachyum brachycladum Kurz (Kurz)
pada Mencit Putih Jantan. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 3(2) : 146-152
Dalimunte, I, C. 2017. PROSPEK PEMANFAATAN METABOLIT SEKUNDER TUMBUHAN
SEBAGAI PESTISIDA NABATI UNTUK PENGENDALIAN PATOGEN PADA
TANAMAN KARET. Jurnal Warta Perkaretan. Vol. 36 (1): 15-28.
Depkes RI, 1986. Sediaan Galenik. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Ernawati, T., Puspa, D.N.L., Megawati., Galuh, W., Andini, S., Minarti., Akhmad, D., Arthur, L.,
dan M. Hanafi. 2018. Bioaktivitas Senyawa Turunan Alkaloid Kinkona. Jurnal Agrosains
dan Teknologi. 3(2): 87-96.
Gandjar, I.G. dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 113.
Giri, G.S. 2020. Identifikasi dan Penetapan Kadar Senyawa Kuinin Fraksi Etil Asetat Kulit Batang
Kina (Cinchona succirubra Pav. Ex Klotzsch) Secara Klt-Densitometri. BIMFI. 7(2), 1-12.
Harijanto, P. N. 2006. Perubahan Radikal dalam Pengobatan Malaria di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran. PT Kalbe Farma. Jakarta.
Hariyanti, H., Mauludin, R., Sumirtapura, Y. C., and Kurniati, N. F. 2023. A Review:
Pharmacological Activities of Quinoline Alkaloid of Cinchona sp.. Biointerface Research
in Applied Chemistry. 13(4) : 1-13.
Heftmann, E. 1983. Steroids in Chromatograph. Fundamentals and Aplication, Amsterdam.
Husna, F., dan Mita, S. R. 2020. Identifikasi Bahan Kimia Obat Dalam Obat Tradisional Stamina
Pria Dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Farmaka. 18(2),16-25.
Indriyanti, E., Purwaningsih, Y., dan Wigasti, D. 2019. SKRINING FITOKIMIA DAN
STANDARISASI EKSTRAK KULIT BUAH LABU KUNING (CUCURBITA
MOSCHATA). Jurnal Ilmiah Cendekia Eksakta.
Jhon, N. 2012. Analisis dan Karakterisasi Senyawa Alkaloid dari Tanaman Kina (Chinchona
ledgeriana). Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 14:2 (2012.): 59-64.
Julianto, T.S, 2019. Buku Ajar Fitokimia: Tinjauan Metabolit Sekunder dan Skrining Fitokimia.
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

35
Leliqia, N.P.E., Ariantari, N.P., Warditiani, N.K., Paramita, N.L.P.V., Samirana, P.O., Putra.,
A.A.R.Y. 2019. Petunjuk Praktikum Fitokimia. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas
Udayana.
Marjoni, R. 2016. Dasar-dasar fitokimia untuk diploma III farmasi. Jakarta: Trans info media.
Najib, A., Malik, Ahmad, r. A., dan Handayani, V. 2019. STANDARISASI EKSTRAK AIR
DAUN JATI BELANDA DAN TEH HIJAU. Jurnal Fitofarmaka Indonesia. Vol. 4(2).
Nurjannah, I., Mustariani, B.A.A., dan Suryani, N. 2022. Skrining Fitokimia dan Uji Antibakteri
Ekstrak Kombinasi Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) dan Kelor (Moringa oleifera L.)
Sebagai Zat Aktif Pada Sabun Antibakteri. Jurnal Kimia & Pendidikan Kimia. 4(1):23-36.
Ramadani, N., 2018. Pengaruh Suhu dan Waktu Evaporasi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum
frutescens L.) Menggunakan Evaporator Vakum dalam Optimasi Kadar Vitamin C dengan
menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Skripsi. Departemen Teknologi
Industri. Universitas Diponegoro.
Roni, A., Fitriani, L., dan Marliani, L., 2019. Penetapan Kadar Total Flavonoid, Fenolat, dan
Karotenoid, serta Uji Aktivitas Antioksidan dari Daun dan Kulit Batang Tanaman Kenitu
(Chrysophyllum cainito L.). Jurnal Sains dan Kesehatan, 2(2), 83-88.
Rosalina, R., Alni, A., Mujahidin, D., dan Santoso, J. 2015. Reaksi oksidasi dengan kalium
permanganat (KMnO4 ) pada senyawa kinin. Jurnal Penelitian Teh dan Kina. vol. 18 (2):
151-15
Saidi, N., Ginting, B., dan Mustanir. 2018. Analisis Metabolit Sekunder. Syiah Kuala University
Press. Banda Aceh. 17-19.
Shah, B., dan Seth, A.K. 2010. Textbook of Pharmacognosy and Phytochemistry. Elsevier. New
Delhi. 185-231.
Sherma, S., dan Fried, B. 1996. Handbook of Thin Layer Chromatography. 3 rd Edition. Marcel
Dekber Inc, New York.
Solihah, I., Mardiyanto, S. Fertilita, Herlina, and O. Charmila. 2018. Standardization of Ethanolic
Extract of Tahongai Leaves (Kleinhovia hospita L.). Science & technology Indonesia.
3(1): 14-18.
Suarsa, I. W. 2015. Spektroskopi. Universitas Udayana. Denpasar. 10.
Suhartati, T., 2017. Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrometri Massa Untuk
Penentuan Struktur Senyawa Organik. AURA (Anugrah Utama Raharja). Bandar
Lampung. 4.
Supriningrum, R., N. Fatimah., dan Y. E. Purwanti. 2019. Karakterisasi Spesifik dan Non
Spesifik Ekstrak Etanol Daun Putat (Planchonia valida). Al Ulum Sains dan Teknologi.
5(1): 6-12.
36
Supriningrum, R., Sundu, R., dan Setyawati,D. 2018. PENETAPAN KADAR FLAVONOID
EKSTRAK DAUN SINGKIL (Premna corymbosa) BERDASARKAN VARIASI SUHU.
Jurnal Farmasi Lampung. Vol. 7(1).
Watson, D. G. 2012. Pharmaceutical Analysis: A Textbook for Pharmacy Students and
Pharmaceutical Chemists. Edisi Ke-3. Churchill Livingstone, USA, 91.
Zakiyah, A., Radistuti, N., dan Sumarlin, O. L. 2015. Identifikasi Senyawa Alkaloid Dari Ekstrak
Metanol Kulit Batang Mangga (Mangifera indica L). Jurnal Biologi. Vol. 8 (2).
Zustika, S., D. 2013. TELAAH KANDUNGAN KIMIA EKSTRAK N-HEKSANA DAUN KINA
(Cinchona ledgeriana L). Jurnal Kesehatan Bakti tunas Husada. Vol. 9 (1).

37

Anda mungkin juga menyukai