Dosen Pengasuh :
Disusun oleh :
Nim : 210301500061
Kelas : Pjkr G
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat atas Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas final untuk mata kuliah Filsafat Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan
judul “PELANGGARAN ATURAN HUKUM DALAM OLAHRAGA SEPAK BOLA”
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.
Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Dan saya berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan ……………………………………………………………….............................
Saran ………………………………………………………................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Untuk bisa bermainan sepak bola dengan baik dan benar para pemain
menguasai teknik dasar sepak bola. Untuk bermain bola dengan baik pemain
dibekali dengan teknik dasar yang baik, pemain yang memiliki teknik dasar yang
baik pemain tersebut cenderung dapat bermain sepakbola dengan baik pula.
Teknik dasar dalam permainan sepakbola ada beberapa macam, seperti stop
ball (menghentikan bola), shooting (menendang bola ke gawang), passing
(mengumpan), heading (menyundul bola), dan dribbling (menggiring bola).
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud Hukum dalam filsafat ilmu ?
2. Apa yang dimaksud Hukum dalam olahraga sepak bola dalam bahasa filsafat
olahraga?
3. Apa kaitan hukum olahraga sepak bola dengan filsafat olahraga?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sepak bola dalam ilmu filsafat olahraga
Meskipun pro dan kontra ilmu keolahragaan sebagai suatu ilmu mandiri
sudah surut, namun tantangan yang muncul kemudian sebagai kompensasi
eksistensi ilmu keolahragaan melalui tantangan itu adalah ekstensifikasi dan
intensifikasi ilmu keolahragaan yang mensyaratkan filsafat sebagai eksplorer
pokoknya.
Di luar negeri, perhatian kalangan hukum terhadap dunia olah raga terbilang
tinggi. Sampai-sampai ada perkumpulan para advokat bernama Sports Lawyers
Association (SLA). Sesuai yang tercatat di situsnya, Asosiasi nirlaba ini
beranggotakan lebih dari seribu orang hukum, mulai dari praktisi hukum, akademisi,
mahasiswa hukum, dan profesional lain yang perhatian terhadap olah raga.
Dari sisi akademik, perhatian terhadap hukum olah raga pun terbilang
lumayan. Program hukum olahraga itu sudah dilembagakan di institusi pendidikan
seperti National Sports Law Institute yang didirikan sejak 1989 di Marquette
University Law di Amerika Serikat. Di dalam negeri, Hinca IP Panjaitan sudah
memulai membentuk Indonesian Sports Law Institute.
D. Hukum olahraga
Hukum olahraga harus Jadi Lex Specialis karena olahraga memiliki law of the
game masing-masing, yang tidak akan bisa diintervensi oleh hukum nasional,
bahkan hukum internasional. Olahraga adalah hak asasi setiap orang. Jika negara
sudah ikut campur terlalu jauh, maka itu berarti negara sudah melanggar hak asasi
rakyatnya. Indonesia sudah cukup jauh melakukan intervensi ke dunia olah raga.
Pasal 88
a) Penyelesaian sengketa keolahragaan diupayakan melalui musyawarah
dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga.
b) Dalam hal musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan
yang sesuai dengan yurisdiksinya.
Pada satu sisi, pemberlakuan hukum pidana terhadap bidang ini dianggap
sebagai sebuah bentuk intervensi yang dilakukan negara terhadap penyelenggaraan
kompetisi sepak bola dan justru akan membahayakan olahraga tersebut karena
berisiko dituntut secara pidana terhadap tindakan kekerasan yang mungkin
dilakukan saat berpartisipasi dalam suatu kegiatan olahraga.
Pada sisi lain, pemidanaan terhadap olahragawan yang melakukan
kekerasan dinilai sebagai hal yang harus dilakukan demi menjaga kepentingan
hukum olahragawan lainnya untuk tidak disakiti secara melawan hukum.
Hal ini sesuai dengan asas teritorialitas yang terkandung dalam Pasal 2
KUHP yang menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah
Indonesia”. Selain itu, olahragawan tidak termasuk pula ke dalam kelompok yang
dikecualikan terhadap berlakunya KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
KUHP sehingga hukum pidana dapat diberlakukan terhadap kasus tersebut. Pada
sisi lain, UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional memberikan
peluang kepada pengadilan nasional untuk menyelesaikan sengketa keolahragaan
berdasarkan Pasal 88 ayat (3) dengan syarat harus mengutamakan penyelesaian
sengketa melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi
cabang olahraga, sehingga pemberlakuan hukum pidana ke dalam bidang olahraga
menjadi suatu hal yang mungkin dilakukan.
Data ini menunjukkan bahwa ilmu sosiologi pun ternyata dapat melihat
adanya unsur kriminalitas dalam tindakan kekerasan yang terjadi di lapangan.
Beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa atlet pria pada olahraga yang
membutuhkan kontak fisik secara rutin menolak quasi-criminal violence dan criminal
violence, tetapi mereka menerima brutal body contact danborderline violence selama
sesuai dengan peraturan permainan. Artinya insan olahraga pun ternyata menolak
dilakukannya tindakan kekerasan yang memiliki unsur kriminal dalam sebuah
pertandingan olahraga. Terlebih lagi terhadap tindakan kekerasan yang
dikategorikan sebagai criminal violence, para pemain sudah berada pada suatu titik
dimana mereka mengutuk tindakan tersebut tanpa mempersoalkan apa pun dan
harus dituntut berdasarkan hukum sebagai suatu tindak pidana.
c) Ketiga, dari sudut pandang hukum pidana. Hak profesi olahragawan yang
diakui oleh hukum pidana sebagai dasar penghapus pidana di luar KUHP
bukanlah tanpa batas. Keberadaannya bergantung pada persetujuan yang
diberikan oleh korban, dalam hal ini olahragawan lain, untuk menerima
tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan terhadapnya pada sebuah
pertandingan olahraga. Konsep persetujuan olahragawan untuk menerima
cedera dalam sebuah pertandingan olahraga terus berkembang dari kasus
Bradshaw hingga terakhir pada kasus R v. Barnes (2004). Pada kasus
Barnes inilah, majelis hakim memunculkan suatu standar yang dapat
dijadikan sebagai panduan untuk menentukan ada atau tidaknya
persetujuan korban untuk menerima cedera pada saat dilakukan tindakan
kekerasan terhadapnya pada sebuah pertandingan olahraga. Standar
yang kemudian disebut sebagai parameter legitimate sport ini nantinya
dapat digunakan untuk memisahkan tindakan mana yang masih dianggap
bagian dari permainan dan tindakan mana yang sudah memasuki ranah
hukum pidana. Dengan menggunakan parameter inilah, hukum pidana
dapat diberlakukan dengan lebih jelas terhadap kasus-kasus kekerasan
yang terjadi di lapangan olahraga, khususnya bagi cabang olahraga sepak
bola. Penerapan parameter legitimate sport ini dapat digunakan pada dua
level:
i. Pada tahap penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Sebelum
menentukan apakah suatu tindakan kekerasan dalam cabang olahraga
sepak bola akan diproses dengan menggunakan hukum pidana, akan
lebih baik jika kepolisian menganalisis kejadian tersebut dengan
menggunakan parameter legitimate sport tersebut.
ii. Pada tahap pemeriksaan di pengadilan oleh majelis hakim. Jika suatu
peristiwa kekerasan pada sebuah pertandingan sepak bola telah
masuk ke pengadilan, majelis hakim dapat menggunakan parameter
legitimate sport ini untuk menentukan ada/tidaknya persetujuan
olahragawan yang menjadi korban dilakukannya kekerasan untuk
menerima cedera pada saat dilakukan tindakan kekerasan
terhadapnya pada sebuah pertandingan sepak bola sebelum akhirnya
memutuskan apakah tindakan kekerasan tersebut merupakan tindak
pidana penganiayaan atau sebatas pelanggaran disiplin.
Selain ketiga poin di atas, penting untuk dipahami bahwa hukum pidana harus
selalu dijadikan sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul termasuk untuk kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada sebuah
pertandingan sepak bola. Pada dasarnya harus diutamakan penyelesaian pada
organisasi olahraga sepak bola seperti pemberian hukuman oleh wasit dan/atau
badan peradilan PSSI. Namun, jika tindakan kekerasan tersebut dilakukan berulang-
ulang dan tidak ada penjeratan yang ditunjukkan oleh pemain setelah mendapatkan
sanksi disiplin tersebut, maka hukum pidana dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Dengan mengingat sifat ultimum remedium yang dimilikinya,
hukum pidana tidak dapat diterapkan dengan sewenang-wenang.
Dan Amiek Soemarmi , menegaskan kembali perlunya aturan main yang jelas
yang dipahami dengan baik sehingga dapat mengatasi konflik, aturan tersebut akan
menjadi equality control dalam dunia olahraga Indonesia. Perlu ada kesepakatan
untuk penggunaan hukum pasti untuk menyelesaikan perselisihan dalam olahraga
dan hukum yang disepakati bersama dalam pelaksanaan pertandingan olahraga.
Menurut Aristoteles dalam buku yang di susun oleh Otje Salman (2012 : 5)
menyatakan bahwa hukum merupakan etika, dimana etika itu sendiri adalah tingkah
laku manusia yang baik ataupun buruk. Lalu menurut Hart di dalam buku Dworkin
(2013 : 6) mengemukakan bahwa hukum membedakan antara aturan utama yang
digunakan untuk menuntun hubungan antar manusia sebagai individu dari pribadi
dari aturan yang bersifat sekunder bagaimana aturan utama diciptakan atau diakui.
Kemudian menurut Dominukus Rato (2010 : 19) menyatakan bahwa hukum adalah
ketaatan terhadap aturan yang mampu menciptakan ketenteraman, kedamaian, dan
keadilan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah aturan
tentang tingkah laku manusia baik maupun buruk untuk menuntun hubungan antar
individu dan pribadi sehingga mampu menciptakan ketenteraman, kedamaian,
ketertiban, dan keadilan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari ketiga pendapat ke tiga ahli di atas maka dapat di simpulkan bahwa
sepak bola adalah permainan bola besar yang digemari oleh semua orang di jagad
raya ini di mainkan secara berkelompok terdiri dari dua regu di mana masing-masing
regu terdiri atas 11 pemain dengan posisi dan fungsi yang berbeda serta bertujuan
untuk memasukkan bola ke gawang lawan agar mencetak skor dan menghasilkan
kemenangan. Dari kedua pokok pembahasan di atas maka dapat diambil hubungan
atau keterkaitan hukum dan olahraga sepak bola dimana hukum membahas tentang
aturan-aturan di mana setiap olahraga memiliki aturan tersendiri lebih khususnya
olahraga sepak bola. Dimana aturan yang di tetapkan di dalam olahraga sepak bola
telah di sepakati oleh seluruh negara di bawah naungan FIFA sebai induk dari
semua asosiasi sepak bola yang ada di dunia. Ketika seorang atli, club, ataupun
negara menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh FIFA maka FIFA akan
menjatuhkan sanksi terhadap atlit, club, ataupun negara yang melakukan
pelanggaran. Contohnya saja seperti yang terjadi di negara kita di mana PSSI di
bekukan oleh MENPORA yang berdampak pada penjatuhan sanksi terhadap sepak
bola Indonesia dimana tidak boleh menyelenggarakan pertandingan nasional
maupun internasional di bawah naungan FIFA sebelum maslah tersebut di
selesaikan.
Saran
Maksum, Ali. 2009a. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suriasumantri, Jujun s. 1984. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan. Van Peursen, C.
A. 1985. Su0
Bucher, CA. 1960. Foundation of Physical Education. ST. Louis: The CV. Mosby
Company.