Anda di halaman 1dari 18

TUGAS INDIVIDU MAKALAH FINAL

PELANGGARAN ATURAN HUKUM DALAM OLAHRAGA SEPAK BOLA

Dosen Pengasuh :

Dr. Muhammad Rachmat Kasmad, M.Pd.

Disusun oleh :

Nama : Abdul Asis Syam

Nim : 210301500061

Kelas : Pjkr G

PENDIDIKAN JASMANI, KESEHATAN DAN REKREASI

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat atas Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas final untuk mata kuliah Filsafat Pendidikan Jasmani dan Olahraga dengan
judul “PELANGGARAN ATURAN HUKUM DALAM OLAHRAGA SEPAK BOLA”

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan

Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.
Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Dan saya berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Takalar, 8 Desember 2022

Abdul Asis Syam


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

Kata Pengantar ……………………………………………………………..........................

Daftar Isi …………………………………………………………….....................................

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang ……………………………………………………………...........................

Rumusan Masalah ………………………………………………………............................

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian sepak bola daIam ilmu olahraga filsafat.................................................


2. Perkembangan hukum terhadap keolahragaan di Indonesia ……...........................
3. Studi hukum keolahragaan.......................................................................................
4. Hukum olahraga.......................................................................................................
5. Penggunaan Hukum yang Positif Dalam Pengembangan Keolahragaan................
6. Pelanggaran aturan dalam sepak bola menurut filsafat olahraga…........................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ……………………………………………………………….............................

Saran ………………………………………………………................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sepak bola adalah suatu permainan beregu yang dimainkan masing-masing


regunya terdiri dari sebelas orang pemain termasuk seorang penjaga gawang.
Sepak bola adalah permainan yang sangat populer, karena permainan sepak bola
sering dilakukan oleh anak-anak, orang dewasa maupun orang tua. Saat ini
perkembangan permainan sepakbola sangat pesat, hal ini ditandai dengan
banyaknya sekolah sepak bola (SSB) yang didirikan. Tujuan dari permainan sepak
bola adalah masing-masing regu berusaha menguasai bola, memasukkan bola ke
dalam gawang lawan sebanyak mungkin, dan berusaha mematahkan serangan
lawan untuk melindungi atau menjaga gawangnya agar tidak kemasukan bola.
Permainan sepak bola merupakan permainan beregu yang memerlukan dasar kerja
sama antar sesama anggota regu, sebagai salah satu ciri khas dari permainan
sepakbola.

Untuk bisa bermainan sepak bola dengan baik dan benar para pemain
menguasai teknik dasar sepak bola. Untuk bermain bola dengan baik pemain
dibekali dengan teknik dasar yang baik, pemain yang memiliki teknik dasar yang
baik pemain tersebut cenderung dapat bermain sepakbola dengan baik pula.

Teknik dasar dalam permainan sepakbola ada beberapa macam, seperti stop
ball (menghentikan bola), shooting (menendang bola ke gawang), passing
(mengumpan), heading (menyundul bola), dan dribbling (menggiring bola).

Di samping itu, kecepatan dalam dribbling (menggiring bola) sangat


dibutuhkan untuk menunjang penguasaan teknik tersebut. Kecepatan adalah
kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan yang sejenis secara berurut-turut
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya atau kemampuan untuk menempuh suatu
jarak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud Hukum dalam filsafat ilmu ?
2. Apa yang dimaksud Hukum dalam olahraga sepak bola dalam bahasa filsafat
olahraga?
3. Apa kaitan hukum olahraga sepak bola dengan filsafat olahraga?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sepak bola dalam ilmu filsafat olahraga

Olahraga merupakan pengetahuan yang sistematis dan terorganisir tentang


fenomena keolahragaan yang memiliki obyek, metode, sistematika ilmiah dan sifat
universal yang dibangun melalui sebuah sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari
macam-macam penyelidikan, yang produk nyatanya tampak dalam batang tubuh.

Pengetahuan ilmu olahraga dengan pendekatan pengembangan keilmuan


yang multidisipliner sehingga secara aksiologis pemaknaan domain perilaku gerak –
olahraga – membuka spektrum nilai yang normatif-teoretis (etika, estetika,
kesehatan beserta pengembangannya) dan nilai-nilai yang praktis profesional
(pengajaran dan pelatihan, manajemen, rehabilitasi ataupun rekreasi olahraga
beserta pengembangannya). Pembahasan yang mencoba mengintegrasikan disiplin
ilmu untuk memaknai dasar-dasar teoretis ilmu keolahragaan sebagai ilmu baru
memang sudah ada dan dalam penelitian ini digunakan sebagai referensi, namun
relevansifilsafati-ilmiahnya masih sangat minim.

Meskipun pro dan kontra ilmu keolahragaan sebagai suatu ilmu mandiri
sudah surut, namun tantangan yang muncul kemudian sebagai kompensasi
eksistensi ilmu keolahragaan melalui tantangan itu adalah ekstensifikasi dan
intensifikasi ilmu keolahragaan yang mensyaratkan filsafat sebagai eksplorer
pokoknya.

B. Perkembangan hukum terhadap keolahragaan Indonesia

Di luar negeri, perhatian kalangan hukum terhadap dunia olah raga terbilang
tinggi. Sampai-sampai ada perkumpulan para advokat bernama Sports Lawyers
Association (SLA). Sesuai yang tercatat di situsnya, Asosiasi nirlaba ini
beranggotakan lebih dari seribu orang hukum, mulai dari praktisi hukum, akademisi,
mahasiswa hukum, dan profesional lain yang perhatian terhadap olah raga.

Dari sisi akademik, perhatian terhadap hukum olah raga pun terbilang
lumayan. Program hukum olahraga itu sudah dilembagakan di institusi pendidikan
seperti National Sports Law Institute yang didirikan sejak 1989 di Marquette
University Law di Amerika Serikat. Di dalam negeri, Hinca IP Panjaitan sudah
memulai membentuk Indonesian Sports Law Institute.

Peluang untuk lebih memperhatikan hukum olah raga sebenarnya terbuka


lebar ketika Pemerintah dan DPR sedang menyusun RUU Keolahragaan. Apalagi,
patut dicatat, Menteri Negara yang membidangi olahraga berlatar belakang advokat.
Ini adalah peluang besar bagi kalangan hukum untuk berkiprah lebih jauh. Sayang,
hingga RUU Keolahragaan disahkan menjadi UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional, tidak banyak terdengar gaung pembahasannya di kalangan
hukum.

Bukan berarti perhatian kalangan hukum terhadap olahraga di Indonesia nol


sama sekali. Selalu ada yang berusaha mencoba memberikan pemahaman awal
kepada kita. Selain Hinca, nama lain yang patut dicatat adalah advokat senior Otto
Cornelis Kaligis dan rekan-rekannya di O.C.Kaligis & Associates. Belum lama ini,
mereka menerbitkan buku berjudul Hukum & Sepak Bola.

C. Studi hukum keolahragaan

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, mengatakan


bahwa dalam segala hal pasti ada aspek hukumnya begitu pun dalam olahraga.
Sebagai contoh, masalah kesejahteraan atlet sepakbola, yang hanya dibayar oleh
klub ketika masa liga atau pertandingan. Padahal liga hanya berlangsung selama
tujuh sampai delapan bulan setahun. Selebihnya, penghasilan atlet menurun drastis.
kesejahteraan dan masa depan atlet harus diperhatikan. Karenanya, pendidikan
menjadi hal yang penting untuk bagi setiap atlet. “Jangan sampai berprestasi, bubar,
pensiun, tidak mempunya modal untuk melanjutkan hidup”.

Fredi Haris, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI)


memandang perlunya hukum keolahragaan menjadi satu studi yang dipelajari
secara dalam. Menurutnya, diperlukan orang-orang yang memahami secara khusus
olahraga dari aspek hukum. Studi khusus itu bisa dilakukan dalam bentuk sekolah
lanjutan, atau program Magister Hukum Keolahragaan, maupun program lisensi
untuk mendapatkan sertifikat keahlian dalam bidang hukum keolahragaan. Misalnya,
manajer persatuan sepak bola harus mengerti tentang hukum keolahragaan. Supaya
mengerti, mengerti haknya si atlet, mengerti haknya pelatih, dan hak dia (manajer)
sendiri.
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Undip, Sukinta dalam Diskusi
Publik Pembangunan Olahraga dalam Kerangka Akademik, mengatakan akan
mendorong pengembangan dan penerapan hukum olahraga pada kerangka
akademik dengan sasaran dapat segera diterapkan sebagai mata kuliah di fakultas
hukum maupun program studi pada fakultas Ilmu Keolahragaan.

Menurut Topo Santoso, penerapan hukum olahraga di berbagai negara sudah


lama diterapkan. "Misalnya di Belanda, dikenal istilah lex sportiva (hukum olahraga),
hukum olahraga Eropa, Pusat Kajian Hukum Olahraga/ Asser Institute, International
journal on sport law, Asosiasi Hukum Olahraga, Asosiasi Pengacara Olahraga,
Internasional Seminar on Sport Law, dan RUU Holiganisme di Belanda. Sudah
saatnya di Indonesia segera dilakukan penerapan hukum olahraga, mengingat
Indonesia sudah punya payung hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Sedangkan Amiek Soemarmi menekankan bahwa penguatan dan


optimalisasi penerapan hukum olahraga pada setiap aktivitas keolahragaan adalah
penting. Penerapan hukum olahraga pada praktiknya sudah kita terapkan sejak
lahirnya Undang-Undang Keolahragaan, namun yang paling penting saat ini adalah
penguatan dan optimalisasi penerapan hukum olahraga pada setiap aktivitas
keolahragaan.

Selain terhadap pihak yang berkepentingan, tentunya hukum keolahragaan


juga menjadi penting bagi aparat penegak hukum. Setidaknya aparat penegak
hukum bisa memiliki perspektif yang baru selain norma hukum yang diatur dalam
KUHP.

D. Hukum olahraga

Hukum olahraga, atau sebutannya Lex Sportiva, merupakan sistem hukum


khusus yang menarik. Menurut Hinca Panjaitan, lex sportiva punya sistem, tatacara,
dan komunitas sendiri meskipun bukan identitas negara. Sebagai contoh sepakbola
yang memiliki otoritas tertinggi yaitu FIFA dan ternyata merupakan badan hukum
swasta nasional yang berdasarkan hukum Swiss. Namun, aktifitasnya internasional,
melampaui semua negara.

1. Batasan hukum Negara dalam olahraga


Hukum memiliki kaitan yang erat dengan olahraga tapi tidak serta merta
Negara Indonesia yang merupakan Negara hukum melibatkan diri terhadap semua
kegiatan yang berhubungan dengan keolahragaan. Ada batasan yang perlu
diperhatikan, mengetahui otoritas masing-masing dan juga saling mengetahui
tempat masing-masing.

2. Intervensi hukum Negara terhadap hukum olahraga

Hukum olahraga harus Jadi Lex Specialis karena olahraga memiliki law of the
game masing-masing, yang tidak akan bisa diintervensi oleh hukum nasional,
bahkan hukum internasional. Olahraga adalah hak asasi setiap orang. Jika negara
sudah ikut campur terlalu jauh, maka itu berarti negara sudah melanggar hak asasi
rakyatnya. Indonesia sudah cukup jauh melakukan intervensi ke dunia olah raga.

Penyusunan UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional


(SKN) misalnya. UU itu memberikan kewenangan yang sangat besar bagi negara
untuk ikut campur dalam urusan olahraga. Sebagai contoh, UU SKN mengatur
mengenai standardisasi nasional keolahragaan, akreditasi, dan sertifikasi yang
menjadi domain menteri dan atau lembaga mandiri yang berwenang untuk itu.
Bahkan, pengawasan dan pengendalian olahraga profesional dilakukan oleh
lembaga mandiri yang dibentuk pemerintah.

Intervensi dilakukan terhadap penyelesaian sengketa di bidang keolahragaan.


Pasal 1,2 dan 3 Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan, mengatur secara tegas tentang sengketa dalam induk organisasi
seperti sepakbola. Hal ini menunjukkan pemerintah secara tegas dan sadar
melakukan intervensi atas penyelenggaraan kompetisi sepakbola profesional.
Intervensi penyelesaian sengketa dalam cabang sepak bola, bertentangan dengan
hukum global yang mengatur olah raga. Statuta FIFA, dan berbagai federasi
olahraga internasional lainnya menetapkan aturan tidak boleh membawa
penyelesaian sengketa sepakbola ke badan peradilan negara dan tidak boleh
diintervensi oleh pihak mana pun.

Walaupun Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU


Olahraga) menyuratkan bahwa penyelesaian melalui badan peradilan dimungkinkan.

Pasal 88
a) Penyelesaian sengketa keolahragaan diupayakan melalui musyawarah
dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga.
b) Dalam hal musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak tercapai, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan
yang sesuai dengan yurisdiksinya.

Terkait Pasal 88 Undang-undang, menurut Hinca kata-kata pengadilan yang


sesuai dengan yurisdiksinya berarti sistem peradilan lembaga itu sendiri. Maksudnya
negara tidak campur tangan, jadi induk-induk olahraga menciptakan peradilan
sendiri-sendiri.

Negara sendiri hanya bertugas menjamin pemenuhan kebutuhan fasilitas dan


infrastruktur olahraga bagi warga negaranya seta memastikan lapangan yang cukup,
dananya cukup, infrastrukturnya cukup. Negara hanya sebatas pemantauan seperti
itu dan tidak lebih. Untuk aspek hukum, negara hanya bisa mengatur aspek-aspek
yang berkenaan dengan olah raga. Misalnya, pengaturan untuk klub olahraga yang
berbentuk perseroan terbatas. Maka klub itu harus tunduk terhadap pada UU
Perseroan terbatas, maupun ketentuan lain yang terkait misalnya ketentuan
perpajakan.

3. Penggunaan kekerasan dalam olahraga ditinjau dari hukum olahraga dan


hukum pidana

Isu pemberlakuan hukum pidana terhadap kasus-kasus kekerasan yang


dilakukan olahragawan pada bidang olahraga, khususnya untuk cabang olahraga
sepak bola, memiliki dua titik pandang yang berbeda.

Pada satu sisi, pemberlakuan hukum pidana terhadap bidang ini dianggap
sebagai sebuah bentuk intervensi yang dilakukan negara terhadap penyelenggaraan
kompetisi sepak bola dan justru akan membahayakan olahraga tersebut karena
berisiko dituntut secara pidana terhadap tindakan kekerasan yang mungkin
dilakukan saat berpartisipasi dalam suatu kegiatan olahraga.
Pada sisi lain, pemidanaan terhadap olahragawan yang melakukan
kekerasan dinilai sebagai hal yang harus dilakukan demi menjaga kepentingan
hukum olahragawan lainnya untuk tidak disakiti secara melawan hukum.

Kedua pandangan ini memiliki pijakan pembenar atas dalil-dalil yang


dibangunnya pada teori-teori yang berkembang dalam hukum olahraga. Kelompok
pertama cenderung berpihak pada mazhab domestic sports law dan global sports
law atau yang biasa disebut dengan lex sportiva sedangkan kelompok kedua
cenderung berpihak pada mazhab National Sports Law dan International Sports
Law. Satu perbedaan besar antara kedua mazhab olahraga tersebut adalah akses
pengadilan nasional terhadap penyelesaian sengketa olahraga. Kelompok penganut
paham lex sportiva mengatakan bahwa segala bentuk penyelesaian sengketa
olahraga harus diselesaikan menurut peraturan internal organisasi olahraga yang
bersangkutan. Mereka melarang setiap pihak yang berada di bawah lingkup
organisasi olahraga seperti klub, asosiasi, ofisial, pemain, agen, dan sebagainya
untuk membawa sengketa keolahragaan pada pengadilan nasional dan yang
terpenting, mereka memiliki imunitas dari sistem hukum nasional serta memberikan
kewenangan penuh kepada badan peradilan yang dibentuk organisasi olahraga
untuk menyelesaikan sengketa keolahragaan tersebut. Sebaliknya, kelompok kedua
memberikan akses kepada pengadilan untuk menyelesaikan sengketa olahraga.
Mereka mencoba mengaplikasikan norma-norma, peraturan, dan prinsip-prinsip
hukum ke dalam bidang olahraga dan bahkan putusan-putusan pengadilan nasional
menjadi sumber penting dalam mazhab national sports law dan international sports
law tersebut. Lantas, mungkinkan suatu tindakan kekerasan dalam bidang olahraga
dipidana atas dasar melakukan tindak pidana penganiayaan, ada tiga hal yang bisa
dijadikan dasar pemberlakuan hukum pidana terhadap kasus-kasus tersebut:

a) Pertama, dari sudut pandang mekanisme penyelesaian sengketa


keolahragaan. Meskipun di antara kedua kelompok di atas memiliki
perbedaan pandangan akan pemberlakuan hukum pidana ke dalam dunia
olahraga, ternyata banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh
olahragawan pada sebuah pertandingan olahraga yang secara konsisten
diproses oleh pengadilan. Di Indonesia pun juga dilakukan penuntutan
terhadap kasus-kasus kekerasan tersebut yang dibuktikan dengan
dijatuhkannya putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor
319/Pid.B/2009/PN.Ska dengan terdakwa Nova Zaenal Mutaqin yang
dilanjutkan ke tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Semarang dengan
Nomor 173/Pid/2010/PT.Smg dan putusan Pengadilan Negeri Surakarta
Nomor 381/Pid.B/2009/PT.Ska yang juga dilanjutkan ke tingkat banding
pada Pengadilan Tinggi Semarang dengan Nomor 190/Pid/2010/PT.Smg
dengan terdakwa Bernard Momadao.

Hal ini sesuai dengan asas teritorialitas yang terkandung dalam Pasal 2
KUHP yang menyatakan bahwa “ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah
Indonesia”. Selain itu, olahragawan tidak termasuk pula ke dalam kelompok yang
dikecualikan terhadap berlakunya KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
KUHP sehingga hukum pidana dapat diberlakukan terhadap kasus tersebut. Pada
sisi lain, UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional memberikan
peluang kepada pengadilan nasional untuk menyelesaikan sengketa keolahragaan
berdasarkan Pasal 88 ayat (3) dengan syarat harus mengutamakan penyelesaian
sengketa melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh induk organisasi
cabang olahraga, sehingga pemberlakuan hukum pidana ke dalam bidang olahraga
menjadi suatu hal yang mungkin dilakukan.

b) Kedua, dari sudut pandang karakteristik olahraga. Cabang olahraga sepak


bola merupakan cabang olahraga yang tidak mengharuskan adanya
kekerasan untuk memenangkan suatu pertandingan, namun berpotensi
dilakukannya kontak fisik. Karenanya penggunaan kekerasan (yang
mengandung unsur kriminalitas) tidak diperkenankan pula dilakukan oleh
cabang olahraga sepak bola. Melalui studi yang dilakukan Mike Smith,
sosiolog berkebangsaan Kanada, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di
lapangan berhasil dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yakni brutal
body contact, borderline violence, quasi-criminal violence, dan criminal
violence

Data ini menunjukkan bahwa ilmu sosiologi pun ternyata dapat melihat
adanya unsur kriminalitas dalam tindakan kekerasan yang terjadi di lapangan.
Beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa atlet pria pada olahraga yang
membutuhkan kontak fisik secara rutin menolak quasi-criminal violence dan criminal
violence, tetapi mereka menerima brutal body contact danborderline violence selama
sesuai dengan peraturan permainan. Artinya insan olahraga pun ternyata menolak
dilakukannya tindakan kekerasan yang memiliki unsur kriminal dalam sebuah
pertandingan olahraga. Terlebih lagi terhadap tindakan kekerasan yang
dikategorikan sebagai criminal violence, para pemain sudah berada pada suatu titik
dimana mereka mengutuk tindakan tersebut tanpa mempersoalkan apa pun dan
harus dituntut berdasarkan hukum sebagai suatu tindak pidana.

c) Ketiga, dari sudut pandang hukum pidana. Hak profesi olahragawan yang
diakui oleh hukum pidana sebagai dasar penghapus pidana di luar KUHP
bukanlah tanpa batas. Keberadaannya bergantung pada persetujuan yang
diberikan oleh korban, dalam hal ini olahragawan lain, untuk menerima
tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan terhadapnya pada sebuah
pertandingan olahraga. Konsep persetujuan olahragawan untuk menerima
cedera dalam sebuah pertandingan olahraga terus berkembang dari kasus
Bradshaw hingga terakhir pada kasus R v. Barnes (2004). Pada kasus
Barnes inilah, majelis hakim memunculkan suatu standar yang dapat
dijadikan sebagai panduan untuk menentukan ada atau tidaknya
persetujuan korban untuk menerima cedera pada saat dilakukan tindakan
kekerasan terhadapnya pada sebuah pertandingan olahraga. Standar
yang kemudian disebut sebagai parameter legitimate sport ini nantinya
dapat digunakan untuk memisahkan tindakan mana yang masih dianggap
bagian dari permainan dan tindakan mana yang sudah memasuki ranah
hukum pidana. Dengan menggunakan parameter inilah, hukum pidana
dapat diberlakukan dengan lebih jelas terhadap kasus-kasus kekerasan
yang terjadi di lapangan olahraga, khususnya bagi cabang olahraga sepak
bola. Penerapan parameter legitimate sport ini dapat digunakan pada dua
level:
i. Pada tahap penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Sebelum
menentukan apakah suatu tindakan kekerasan dalam cabang olahraga
sepak bola akan diproses dengan menggunakan hukum pidana, akan
lebih baik jika kepolisian menganalisis kejadian tersebut dengan
menggunakan parameter legitimate sport tersebut.
ii. Pada tahap pemeriksaan di pengadilan oleh majelis hakim. Jika suatu
peristiwa kekerasan pada sebuah pertandingan sepak bola telah
masuk ke pengadilan, majelis hakim dapat menggunakan parameter
legitimate sport ini untuk menentukan ada/tidaknya persetujuan
olahragawan yang menjadi korban dilakukannya kekerasan untuk
menerima cedera pada saat dilakukan tindakan kekerasan
terhadapnya pada sebuah pertandingan sepak bola sebelum akhirnya
memutuskan apakah tindakan kekerasan tersebut merupakan tindak
pidana penganiayaan atau sebatas pelanggaran disiplin.

Selain ketiga poin di atas, penting untuk dipahami bahwa hukum pidana harus
selalu dijadikan sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul termasuk untuk kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada sebuah
pertandingan sepak bola. Pada dasarnya harus diutamakan penyelesaian pada
organisasi olahraga sepak bola seperti pemberian hukuman oleh wasit dan/atau
badan peradilan PSSI. Namun, jika tindakan kekerasan tersebut dilakukan berulang-
ulang dan tidak ada penjeratan yang ditunjukkan oleh pemain setelah mendapatkan
sanksi disiplin tersebut, maka hukum pidana dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Dengan mengingat sifat ultimum remedium yang dimilikinya,
hukum pidana tidak dapat diterapkan dengan sewenang-wenang.

Oleh karena itu, kebutuhan akan suatu penjelasan/standar mengenai batasan


tersebut menjadi suatu hal yang penting sebelum aparat penegak hukum
memutuskan untuk memberlakukan hukum pidana ke dalam kasus-kasus kekerasan
yang terjadi di lapangan sepak bola dan parameter legitimate sport dapat dijadikan
salah satu solusi untuk memudahkan tugas aparat penegak hukum dalam menjawab
berbagai permasalahan yang ada tentang kekerasan.

E. Penggunaan Hukum yang Positif Dalam Pengembangan Keolahragaan

Menurut Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Sukinta SH,.M.Hum


dalam acara Diskusi Publik Kerjasama Undip dengan Kementerian Pemuda dan
Olahraga, banyak kasus olahraga yang perlu diselesaikan dengan menggunakan
pendekatan hukum, sehingga hal tersebut akan meningkatkan mutu dunia olahraga
Indonesia. Ada juga menurut Sutopo Santosa, Ph.D, dosen fakultas hukum UI yang
menggagas tentang temuan-temuan hukum di bidang olahraga dan perkembangan
negara lain. “Perkembangan di luar negeri diantara-Nya adalah meningkatnya pusat
kajian hukum olahraga, meningkatnya internasional journal dan sport law, asosiasi
hukum internasional dan asosiasi sport lawyer”. Hukum olahraga membahas tentang
aspek-aspek hukum di bidang olahraga, salah satunya adalah potensi munculnya
keributan di bidang olahraga. Seperti Kasus Zidane menanduk Materzzi di
pertandingan sepakbola perlu dipertanyakan apakah terdapat hukum yang mengatur
hal tersebut dengan hukum yang pasti. Penyelesaian masalah yang terjadi di
olahraga kerap kali menganut hukum organisasi asosiasi olahraga baik secara
nasional dan internasional. Ada banyak hal yang menarik berkaitan dengan aspek
hukum olahraga seperti aspek kontrak antara atlet dengan klub yang menyangkut
hukum perdata. Hukum olahraga juga menyentuh aspek pidana seperti perkelahian,
hukum kompetisi yang menyangkut perkelahian, perselisihan, pertandingan yang
dihentikan sebelum waktunya.

Mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian intensif dengan


melibatkan perguruan tinggi untuk mengkaji dan menemukan berbagai fakta yang
menyangkut realitas dan persoalan hukum di Indonesia. Kajian hukum Olahraga
menjadi sebuah kajian yang sangat menarik untuk dibahas hal tersebut tercermin
dari banyak munculnya pusat kajian olahraga, jurnal internasional olahraga. Perlu
diupayakan secara terus menerus untuk mengembangkan hukum yang bisa berlaku
secara regional dengan memperhatikan keberagaman multikultur dan nilai-nilai yang
berbeda di masing-masing negara. Persoalan yang serius dan perlu disentuh
dengan hukum adalah pengelolaan suporter, perlunya untuk memikirkan
menggunakan hukum anti Holiganisme yang mengatur sangsi hukum bagi perusuh
dan pencipta anarkisme dalam dunia olahraga. Penggunaan hukum olahraga untuk
mengatasi masalah olahraga sangat memungkinkan sekali untuk diterapkan di
Indonesia.

Sementara menurut Amiek Soemarmi SH.M.Hum.DFM, pakar Hukum


Olahraga Fakultas Hukum Undip dan juga pengurus KONI Jateng, menyampaikan
bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki sistem hukum olahraga, banyak kasus
yang bisa diselesaikan dengan sistem hukum olahraga tersebut, di dalam undang-
undang tersebut juga mengatur batasan hukum berupa perjanjian dalam olahraga
profesional sehingga akan memberikan pemahaman dan kepastian hukum serta
aturan main yang jelas antara atlet dengan asosiasi olahraga atau klubnya. Amiek,
menyampaikan bahwa hukum olahraga mengenai hukum administrasi yang
menyangkut kelengkapan administrasi atlet akan bertanding sehingga tidak akan
memunculkan banyak atlet siluman dari daerah tertentu hanya karena iming-iming
bonus atas raihan prestasi. Data administrasi perlu ditegaskan lebih pasti, selain itu
juga perlunya dikembangkan etika organisasi

Untuk mendapatkan kepastian hukum pengelolaan olahraga perlu ada perda


yang mengatur tentang kegiatan olahraga di tingkat daerah, yang dikoordinasikan
oleh Dinas Pemuda dan Olahraga, bahwa sistem hukum olahraga harus diatur dan
dikoordinasikan oleh Menpora dan kemudian di distribusikan ke level dispora, rekam
jejak dari asosiasi organisasi olahraga dan klub akan menjadi data yang penting
untuk mengembangkan dunia olahraga. Selain itu perlu dimulai untuk melakukan
sertifikasi atlet untuk menguji kompetensi profesional atlet dan rekam prestasi
terutama bagi atlet yang berkeinginan untuk menjadi pelatih. Upaya untuk
mewujudkan hal tersebut perlunya keolahragaan diatur dengan menggunakan
hukum positif yaitu hukum yang berlaku sekarang, yang akan menjadi landasan
yang kuat pembinaan dan pengembangan dunia olahraga Indonesia.

Sutopo dalam sesi diskusi menegaskan kembali bahwa Undang-undang


sistem keolahragaan perlu diapresiasi dengan baik, kasus penyelesaian hukum di
olahraga bisa dilakukan melalui peradilan atau secara arbitrase (di luar pengadilan)
dengan membuat suatu peradilan yang khusus. Masalah yang sering kali muncul
berkaitan dengan janji pemerintah pada atlet yang berprestasi menjadi tantangan
tersendiri, perlu pengelolaan kehidupan atlet secara profesional, komparatif
pengelolaan olahraga dengan negara asing menjadi sangat perlu seperti belajar dari
Italia yang mengembangkan lex sportiva dengan menggandeng perusahaan seperti
acer untuk pengembangan olahraga. Perlunya induk organisasi mempunyai struktur
hukum yang mapan, perangkat pengawas yang menjatuhkan sangsi hukum bagi
pelanggarnya. Hukum olahraga sangat berkembang dan di dukung dengan altitud,
pemahaman atlet serta official tentang aspek hukum dalam dunia olahraga itu
sendiri.

Dan Amiek Soemarmi , menegaskan kembali perlunya aturan main yang jelas
yang dipahami dengan baik sehingga dapat mengatasi konflik, aturan tersebut akan
menjadi equality control dalam dunia olahraga Indonesia. Perlu ada kesepakatan
untuk penggunaan hukum pasti untuk menyelesaikan perselisihan dalam olahraga
dan hukum yang disepakati bersama dalam pelaksanaan pertandingan olahraga.

F. Pelanggaran Aturan dalam sepak bola menurut filsafat olahraga

Menurut Aristoteles dalam buku yang di susun oleh Otje Salman (2012 : 5)
menyatakan bahwa hukum merupakan etika, dimana etika itu sendiri adalah tingkah
laku manusia yang baik ataupun buruk. Lalu menurut Hart di dalam buku Dworkin
(2013 : 6) mengemukakan bahwa hukum membedakan antara aturan utama yang
digunakan untuk menuntun hubungan antar manusia sebagai individu dari pribadi
dari aturan yang bersifat sekunder bagaimana aturan utama diciptakan atau diakui.
Kemudian menurut Dominukus Rato (2010 : 19) menyatakan bahwa hukum adalah
ketaatan terhadap aturan yang mampu menciptakan ketenteraman, kedamaian, dan
keadilan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah aturan
tentang tingkah laku manusia baik maupun buruk untuk menuntun hubungan antar
individu dan pribadi sehingga mampu menciptakan ketenteraman, kedamaian,
ketertiban, dan keadilan.

Kemudian masuk kepada pokok pembahasan yang kedua mengenai olahraga


sepak bola. Menurut Aan sunjata wisahati dan Teguh Sentosa (2010 : 3)
menyatakan bahwa sepak bola merupakan permainan bola besar yang digemari
semua lapisan masyarakat di seluruh pelosok. Kemudian menurut Sujarwadi dan
Dwi Sarjianto (2010 : 2) mengemukakan bahwa sepak bola adalah olahraga
terpopuler di dunia ini. Hampir semua orang bisa memainkan olahraga yang
mengandalkan kaki ini. Lalu Mohamad ali mashar dan Dwinarhayu (2010 : 3)
berpendapat bahwa sepak bola adalah olahraga yang dimainkan secara beregu atau
berkelompok dimana setiap kelompok terdiri atas 11 pemain dan bertujuan untuk
memasukkan bola ke gawang lawan untuk mencetak skor.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari ketiga pendapat ke tiga ahli di atas maka dapat di simpulkan bahwa
sepak bola adalah permainan bola besar yang digemari oleh semua orang di jagad
raya ini di mainkan secara berkelompok terdiri dari dua regu di mana masing-masing
regu terdiri atas 11 pemain dengan posisi dan fungsi yang berbeda serta bertujuan
untuk memasukkan bola ke gawang lawan agar mencetak skor dan menghasilkan
kemenangan. Dari kedua pokok pembahasan di atas maka dapat diambil hubungan
atau keterkaitan hukum dan olahraga sepak bola dimana hukum membahas tentang
aturan-aturan di mana setiap olahraga memiliki aturan tersendiri lebih khususnya
olahraga sepak bola. Dimana aturan yang di tetapkan di dalam olahraga sepak bola
telah di sepakati oleh seluruh negara di bawah naungan FIFA sebai induk dari
semua asosiasi sepak bola yang ada di dunia. Ketika seorang atli, club, ataupun
negara menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh FIFA maka FIFA akan
menjatuhkan sanksi terhadap atlit, club, ataupun negara yang melakukan
pelanggaran. Contohnya saja seperti yang terjadi di negara kita di mana PSSI di
bekukan oleh MENPORA yang berdampak pada penjatuhan sanksi terhadap sepak
bola Indonesia dimana tidak boleh menyelenggarakan pertandingan nasional
maupun internasional di bawah naungan FIFA sebelum maslah tersebut di
selesaikan.

Saran

Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat berupa pengetahuan


dan dapat dijadikan pembelajaran, mudah dipahami dan dimengerti oleh setiap
pembacanya dan semoga makalah ini tidak ada revisi lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Maksum, Ali. 2009a. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Maksum, Ali. 2009b. Konstruksi Nilai Melalui Pendidikan Olahraga. Cakrawala


Pendidikan, Th. XXVIII, Nomor 1.

Mashuri, Hendra. 2015. Pengaruh Latihan Permainan Catur terhadap Prestasi


Akademik Siswa SD Se-Kabupaten Trenggalek. Jurnal SPORTIF Volume 1,
Nomor 1.

Mashuri, Hendra. 2017. Persepsi Siswa terhadap Pembelajaran Guru Pendidikan


Jasmani di SMA Muhammadiyah Kediri. Jurnal SPORTIF Volume 3, Nomor 1.

Mashuri, Hendra dan Pratama, Budiman A. 2019. Peran Permainan Tradisional


dalam Pendidikan Jasmani untuk Penguatan Karakter Peserta Didik.
Proceeding of the National on Women’s Gait in Sports Towards a Healthy
Lifestyle. Universitas Tunas Pembangunan Surakarta.

Sumaryanto. 2012. Perspektif Filsafat Olahraga dalam Mewujudkan Masyarakat


Sehat. Medikora, Volume IX, Nomor 2.

Suriasumantri, Jujun s. 1984. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan. Van Peursen, C.
A. 1985. Su0

Bucher, CA. 1960. Foundation of Physical Education. ST. Louis: The CV. Mosby
Company.

Harsuki. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai