Anda di halaman 1dari 55

TUGAS PAPER

APD (ALAT PELINDUNG DIRI)

Oleh:

NAMA : FALDY DERMAWAN HASIBUAN

NIM : 5203230012

MATA KULIAH : MANAJEMEN PROYEK DAN


KESELAMATAN KERJA

DOSEN PENGAMPU : 1. Eka Dodi Suryanto, S.Pd., M.T.

2. Muhammad Dani Solihin S.Pd., M.T.

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjat kan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatnya,
penulis dapat menyelesaikan tugas yang diberikan yaitu tugas paper ini yang berjudul “ APD
(Alat Pelindung Diri) ” adapun Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen Proyek dan Keselamatan Kerja

Penulis menyadari dalam pembuatan paper ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan yang
Maha Esa dan tidak lepas bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini
penulis menghanturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan paper ini.

Penulis menyadari bahwa proses penulisan paper ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisnya. Namun demikian, penulis telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan bai
k dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati menerima masukan, saran dan usul guna pe
nyempurnaan paper ini. Akhirnya penulis berharap semoga paper ini dapat bermanfaat bagi s
eluruh pembaca.

Medan, 23 Januari 2023

Faldy D Hasibuan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam kegiatan sehari-hari dalam melakukan aktivitas, kita sering tidak
menduga akan mendapatkan resiko kecelakaan pada diri kita sendiri. Banyak
sekali masyarakat yang belum menyadari akan hal ini, termasuk di Indonesia.
Baik di lingkungan kerja (perusahaan, pabrik, atau kantor), di jalan raya, tempat
umum maupun di lingkungan rumah.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang
memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup dan masyarakat sekitar dari
bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang
wajib dipenuhi oleh perusahaan juga instansi pemerintahan. Sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan menciptakan sistem
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur
manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam
rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (Azmi, 2008).
Penerapan K3 adalah untuk mengurangi atau mencegah kecelakaan yang
mengakibatkan cidera atau kerugian materi. Karena itu, para ahli K3
berupaya mempelajari fenomena kecelakaan, faktor penyebab, serta cara
efektif untuk mencegahnya. Upaya pencegahan kecelakaan kerja di Indonesia
masih menghadapi berbagai kendala, salah satu diantaranya adalah pola pikir
yang masih tradisional yang menganggap kecelakaan adalah sebagai musibah,
sehingga masyarakat bersifat pasrah terhadap kecelakaan kerja yang menimpa
mereka (Ramli, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud LK3?
2. Apa saja peraturan perundangan LK3?
3. Apa saja penyebab kecelelakaan kerja?
4. Apa saja sumber-sumber bahaya di tempat kerja?
5. Apa yang dimaksud APD seta macam-macamnya?
6. Apa yang dimaksud dengan kimia api dan dinamika api?

1
7. Bagaimana kebakaran dapat terjadi serta penanggulangannya? Apa saja
peralatan pemadam kebakaran?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui perundangan-undangan LK3
2. Dapat mengetahui sebab-sebab kecelakaan kerja
3. Dapat mengetahui sumber-sumber bahaya di tempat kerja
4. Dapat mengetahui APD serta macam-macamnya
5. Dapat mengetahui makna kimia api dan dinamika api
6. Dapat mencegah dan menanggulangi kebakaran serta mengetahui arti dari
kebakaran
7. Dapat mengetahui macam-macam alat pemadam kebakaran

2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 LK3
2.1.1 Pengertian LK3
1. Menurut Mangkunegara (2002, p.163) Keselamatan dan kesehatan
kerjaadalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya,
dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat
adil dan makmur.
2. Menurut Suma’mur (2001, p.104), keselamatan kerja
merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan
tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
3. Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah kondisi
keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita
bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin, peralatan
keselamatan, dan kondisi pekerja .
4. Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa Keselamatan
adalahmerujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang
terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada
kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum.
5. Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000,
p.6), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi
dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan
maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
6. Jackson (1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan
Kerja menunjukkan kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis
tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh
perusahaan.
2.1.2 Tujuan K3
o Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan
orang lain di tempat kerja.
o Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman
dan efisien.

3
o Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas Nasional.
Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja
2.1.3 Sasaran K3
o Menjamin keselamatan pekerja o Menjamin
keamanan alat yang digunakan o Menjamin
proses produksi yang aman dan lancar

2.1.4 Norma-Norma yang Harus Dipahami dalam K3


o Aturan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja o
Diterapkan untuk melindungi tenaga kerja o Resiko kecelakaan dan
penyakit kerja
Tujuan norma-norma : agar terjadi keseimbangan dari pihak
perusahaan dapat menjamin keselamatan pekerja.
2.1.5 Hambatan dari Penerapan K3
a) Hambatan dari sisi pekerja/ masyarakat :
- Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar
- Banyak pekerja tidak menuntut jaminan k3 karena SDM
yang masih rendah.
b) Hambatan dari sisi perusahaan:
Perusahaan yang biasanya lebih menekankan biaya produksi atau
operasional dan meningkatkan efisiensi pekerja untuk menghasilkan keuntungan
yang sebesar-besarnya

2.2 Peraturan Perundang-Undangan LK3


2.2.1 Undang-Undang
a) Undang-Undang Uap tahun 1930 (Stoom Ordonnantie)
1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha.
2. Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana.
3. Adanya bahaya kerja di tempat itu.
b) Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

4
c) Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
2.2.2 Peraturan Pemerintah
a) Peraturan Uap Tahun 1930 (Stoom Verordening).
1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha.
2. Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana.
3. Adanya bahaya kerja di tempat itu.
b) Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Peredaran Pestisida.
c) Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan
Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan.
d) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 1979 tentang keselamatan
Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.
2.2.3 Peraturan Menteri
a) Permenakertranskop RI No 1 Tahun 1976 tentang Kewajiban
Latihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan.
b) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu.
c) Permenakertrans RI No 3 Tahun 1978 tentang Penunjukan dan
Wewenang Serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan
Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja.
d) Permenakertrans RI No 1 Tahun 19879 tentang Kewajiban Latihan
Hygienen Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi
Tenaga Paramedis Perusahaan.
e) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1980 tentang Keselamatan Kerja
pada Konstruksi Bangunan.
f) Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan
Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan
Kerja.
g) Permenakertrans RI No 4 Tahun 1980 tentang Syarat-syarat
Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.

5
h) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor
Penyakit Akibat Kerja.
i) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1982 tentang Bejana Tekan.
j) Permenakertrans RI No 2 Tahun 1982 tentang Kualifikasi Juru
Las.
k) Permenakertrans RI No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan
Kesehatan Tenaga Kerja.
l) Permenaker RI No 2 Tahun 1983 tentang Instalasi Alarm
Kebakaran Otomatis.
m) Permenaker RI No 3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes.
n) Permenaker RI No 4 Tahun 1985 tentang Pesawat Tenaga dan
Produksi.
o) Permenaker RI No 5 Tahun 1985 tentang Pesawat Angkat dan
Angkut.
p) Permenaker RI No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan
Ahli Keselamatan Kerja.
1. Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus
memperkerjakan 100 orang atau lebih.
2. Tempat kerja dimana pengusaha memperkerjakan
kurang dari 100 orang
tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang memiliki
resiko besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan
pencemaran radio aktif .
q) Permenaker RI No 1 Tahun 1988 tentang Kualifikasi dan
Syaratsyarat Operator Pesawat Uap.
r) Permenaker RI No 1 Tahun 1989 tentang Kualifikasi dan
Syaratsyarat Operator Keran Angkat.
s) Permenaker RI No 2 Tahun 1989 tentang Pengawasan
Instalasiinstalasi Penyalur Petir.

6
t) Permenaker RI No 2 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan,
Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan
Kerja.
u) Permenaker RI No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
v) Permenaker RI No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Setiap perusahaan yang memperkerjakan 100 tenaga kerja atau
lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya yang
ditimbulkan oleh
karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran,
pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja (PAK).
w) Permenaker RI No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan
Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat
Lebih Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
x) Permenaker RI No 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan
Pemeriksaan Kecelakaan.
y) Permenaker RI No 4 Tahun 1998 tentang Pengangkatan,
Pemberhentian dan tata Kerja Dokter Penasehat.
z) Permenaker RI No 3 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lift untuk Pengangkutan Orang
dan Barang.
2.3 Faktor Penyebab Kecelakaan
Faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja ada beberapa pendapat.
Faktor yang merupakan penyebab terjadinya kecelakaan pada umumnya dapat
diakibatkan oleh 4 faktor penyebab utama (Husni:2003) yaitu :
a. Faktor manusia yang dipengaruhi oleh pengetahuan, ketrampilan,
dan sikap.
b. Faktor material yang memiliki sifat dapat memunculkan kesehatan

7
atau keselamatan pekerja.
c. Faktor sumber bahaya yaitu:
Perbuatan berbahaya, hal ini terjadi misalnya karena metode
kerja yang salah, keletihan/kecapekan, sikap kerja yang tidak sesuai
dan sebagainya;
Kondisi/keadaan bahaya, yaitu keadaan yang tidak aman dari keberadaan
mesin atau peralatan, lingkungan, proses, sifat pekerjaan
d. Faktor yang dihadapi, misalnya kurangnya pemeliharaan/perawatan
mesin/peralatan sehingga tidak bisa bekerja dengan sempurna
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja menurut
Bennet dan Rumondang (1985) pada umumnya selalu diartikan sebagai “
kejadian yang tidak dapat diduga“. Sebenarnya , setiap kecelakaan kerja itu dapat
diramalkan atau diduga dari semula jika perbuatan dan kondisi tidak
memenuhi persyaratan. Oleh karena itu kewajiban berbuat secara selamat
dan mengatur peralatan serta perlengkapan produksi sesuai dengan standar yang
diwajibkan.
Kecelakaan kerja yang disebabkan oleh perbuatan yang tidak selamat
memiliki porsi 80 % dan kondisi yang tidak selamat sebayak 20%. Perbuatan
berbahaya biasanya disebabkan oleh:
a. Sikap dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap
b. Keletihan
c. Gangguan psikologis
2.4 Teori Penyebab Kecelakaan
2.4.1 Teori Domino
Teori ini diperkenalkan oleh H.W. Heinrich pada tahun 1931. Menurut
Heinrich, 88% kecelakaan disebabkan oleh perbuatan/tindakan tidak aman
dari manusia (unsafe act), sedangkan sisanya disebabkan oleh hal -hal yang tidak
berkaitan dengan kesalahan manusia, yaitu 10 % disebabkan kondisi yang
tidak aman (unsafe condition) dan 2% disebabkan takdir Tuhan.
Heinrich menekankan bahwa kecelakaan lebih banyak disebabkan
oleh kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Menurutnya,

8
tindakan dan kondisi yang tidak aman akan terjadi bila manusia berbuat
suatu kekeliruan. Hal ini lebih jauh disebabkan karena faktor karakteristik
manusia itu sendiri yang dipengaruhi oleh keturunan (ancestry) dan
lingkungannya (environment).

Gambar 2.1 Teori Domino


Apabila terdapat suatu kesalahan manusia, maka akan tercipta tindakan
dan kondisi tidak aman serta kecelakaan serta kerugian akan timbul.
Heinrich menyatakan bahwa rantai batu tersebut diputus pada batu ketiga
sehingga kecelakaan dapat dihindari. Konsep dasar pada model ini adalah:
Kecelakaan adalah sebagai suatu hasil dari serangkaian kejadian yang
berurutan. Kecelakaan tidak terjadi dengan sendirinya.
Penyebabnya adalah faktor manusia dan faktor fisik.
Kecelakaan tergantung kepada lingkungan fisik dan sosial kerja.
Kecelakaan terjadi karena kesalahan manusia.
2.4.2Teori Bird & Loftus
Kunci kejadian masih tetap sama seperti yang dikatakan oleh Heinrich,
yaitu adanya tindakan dan kondisi tidak aman. Bird dan Loftus tidak lagi
melihat kesalahan terjadi pada manusia/pekerja semata, melainkan lebih
menyoroti pada bagaimana manajemen lebih mengambil peran dalam

9
melakukan pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan.
Gambar 2.2 Teori Bird & Loftus
2.4.3 Teori Swiss Cheese
Kecelakaan terjadi ketika terjadi kegagalan interaksi pada setiap
komponen yang terlibat dalam suatu sistem produksi. Kegagalan
suatu proses dapat dilukiskan sebagai “lubang” dalam setiap lapisan
sistem yang berbeda. Dengan demikian menjelaskan apa dari tahapan
suatu proses produksi tersebut yang gagal.
Sebab-sebab suatu kecelakan dapat dibagi menjadi Direct Cause dan
Latent Cause. Direct Cause sangat dekat hubungannya dengan kejadian
kecelakaan yang menimbulkan kerugian atau cidera pada saat kecelakaan
tersebut terjadi. Kebanyakan proses investigasi lebih konsentrasi kepada
penyebab langsung terjadinya suatu kecelakaan dan bagaimana mencegah
penyebab langsung tersebut. Tetapi ada hal lain yang lebih penting
yang perlu di identifikasi yakni “Latent Cause”. Latent cause adalah suatu
kondisi yang sudah terlihat jelas sebelumnya dimana suatu kondisi
menunggu terjadinya suatu kecelakaan.

10
Gambar 2.3 Teori Swiss Cheese
2.4.4 Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja (Three Main Factor Theory)
Teori Tiga Faktor Utama (Three Main Factor Theory) Dari beberapa teori
tentang faktor penyebab kecelakaan yang ada, salah satunya yang sering
digunakan adalah teori tiga faktor utama (Three Main Factor Theory). Menurut
teori ini disebutkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan kerja. Ketiga faktor tersebut dapat diuraikan menjadi :
a. Faktor Manusia
1. Umur
Umur harus mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi fisik,
mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Umur pekerja juga
diatur oleh Undang-Undang Perburuhan yaitu Undang-Undang tanggal 6 Januari
1951 No.1 Pasal 1 (Malayu S. P. Hasibuan, 2003:48). Karyawan muda umumnya
mempunyai fisik yang lebih kuat, dinamis, dan kreatif, tetapi cepat bosan, kurang
bertanggung jawab, cenderung absensi, dan turnover-nya rendah (Malayu S. P.
Hasibuan, 2003:54). Umum mengetahui bahwa beberapa kapasitas fisik, seperti
penglihatan, pendengaran dan kecepatan reaksi, menurun sesudah usia 30 tahun
atau lebih.
2. Jenis Kelamin
Jenis pekerjaan antara pria dan wanita sangatlah berbeda. Pembagian kerja

11
secara sosial antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan terjadinya paparan
yang diterima orang, sehingga penyakit yang dialami berbeda pula. Kasus wanita
lebih banyak daripada pria (Juli Soemirat, 2000:57).
3. Masa kerja
Masa kerja adalah sesuatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja
disuatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun
negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja bila dengan semakin lamanya
masa kerja personal semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya.
Sebaliknya, akan memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya
masa kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja.
4. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan
bentukbentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup, proses
sosial yakni orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh
atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimal (Achmad Munib, dkk., 2004:33).
5. Perilaku
Variabel perilaku adalah salah satu di antara faktor individual yang
mempengaruhi tingkat kecelakaan. Sikap terhadap kondisi kerja, kecelakaan dan
praktik kerja yang aman bisa menjadi hal yang penting karena ternyata lebih
banyak persoalan yang disebabkan oleh pekerja yang ceroboh dibandingkan
dengan mesinmesin atau karena ketidakpedulian karyawan. Pada satu waktu,
pekerja yang tidak puas dengan pekerjaannya dianggap memiliki tingkat
kecelakaan kerja yang lebih tinggi.
6. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk
memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang
berlaku dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan metode yang lebih
mengutamakan praktek daripada teori, dalam hal ini yang dimaksud adalah
pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. Timbulnya kecelakaan bekerja

12
biasanya sebagai akibat atas kelalaian tenaga kerja atau perusahaan.
7. Peraturan K3
Peraturan perundangan adalah ketentuan-ketentuan yang mewajibkan
mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan dan
pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan industri, tugas-
tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis, P3K dan perawatan medis.
Ada tidaknya peraturan K3 sangat berpengaruh dengan kejadian kecelakaan kerja.
Untuk itu, sebaiknya peraturan dibuat dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan
b. Faktor Lingkungan
1. Kebisingan
Bising adalah suara/bunyi yang tidak diinginkan . Kebisingan pada tenaga
kerja dapat mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu
komunikasi/percakapan antar pekerja, mengurangi konsentrasi, menurunkan daya
dengar dan tuli akibat kebisingan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor: KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat
Kerja, Intensitas kebisingan yang dianjurkan adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja
2. Suhu Udara
Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja manusia akan
mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24°C- 27°C. Suhu
dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku dan kurangnya koordinasi otot.
3. Penerangan
Faktor penerangan yang berperan pada kecelakaan antara lain kilauan
cahaya langsung pantulan benda mengkilap dan bayang-bayang gelap (ILO,
1989:101). Selain itu pencahayaan yang kurang memadai atau menyilaukan akan
melelahkan mata. Kelelahan mata akan menimbulkan rasa kantuk dan hal ini
berbahaya bila karyawan mengoperasikan mesin-mesin berbahaya sehingga dapat
menyebabkan kecelakaan (Depnaker RI, 1996:45).
4. Lantai licin
Lantai dalam tempat kerja harus terbuat dari bahan yang keras, tahan air dan
bahan kimia yang merusak (Bennet NB. Silalahi, 1995:228). Karena lantai licin

13
akibat tumpahan air, tahan minyak atau oli berpotensi besar terhadap terjadinya
kecelakaan, seperti terpeleset.
c. Faktor Peralatan
1. Kondisi mesin
Dengan mesin dan alat mekanik, produksi dan produktivitas dapat
ditingkatkan. Selain itu, beban kerja faktor manusia dikurangi dan pekerjaan dapat
lebih berarti. Apabila keadaan mesin rusak, dan tidak segera diantisipasi dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.
2. Letak mesin
Terdapat hubungan yang timbal balik antara manusia dan mesin. Fungsi manusia
dalam hubungan manusia mesin dalam rangkaian produksi adalah sebagai
pengendali jalannya mesin tersebut. Mesin dan alat diatur sehingga cukup aman
dan efisien untuk melakukan pekerjaan dan mudah (AM. Sugeng Budiono,
2003:65).
2.5 Sumber-Sumber Bahaya Kesehatan Tenaga Kerja
Pemahaman atas segala bentuk sumber bahaya yang timbul dari pekerjaan yang
dilakukan, terasa masih cukup awam sebagian besar pekerja di Indonesia.
Padahal, pemahaman terdapat potensi bahaya, akan membantu mencegah
terjadinya kecelakaan kerja maupun penyakibat kerja. Dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja dalam pasal 9 penjelasan
mengenai kondisi dan bahaya yang dapat di timbul ditempat kera menjadi
kewajiban dari pengurus atau pemimpin dari tempat kerja yang bersangkutan.
Sedangkan dalam pasal 12 tenaga kerja memiliki hak untuk menyatakan keberatan
atas suatu pekerjaan bila mana syarat-syarat keselamata dan kesehatan kerja.
Ketidak pahaman tenaga kerja akan potensi bahaya yang mereka hadapi dalam
bekerja dapat mempertinggi peluang terjadi kecelakaan kerja dan penyakibat
kerja. Hal ini terjadi, sebagai akibat dari ketidak pedulian pimpinan perusahaan
maupun tenaga kerja terhadap potensi bahaya yang akan terjadi dan peraturan
perundangan yang harus mereka pahami. Meskpun orientasi dalam bekerja
seharusnya mengacu pada slogan Safety First, dalam praktek sebagian besar dunia
usaha atau industri masih berfokus pada Production First.

14
Jika diperhatikan dari berbagai standar mengenai sistem manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja, mengenai sumber bahaya ditempat kerja menjadi langkah
awal didalam pengembangan sistem keselamatan. Dari segala potensi sumber
bahaya inilah dapat dilakukan penilaian resiko dan penentuan terhadap bentuk
pengendalian yang tepat.
Berikut Sumber-Sumber Bahaya menurut Husni
1. Faktor fisik, yang dapat berupa; suara yang terlalu bising, suhu
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, penerangan yang kurang memadai, radiasi,
getaran mekanis, tekanan udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, bau-bauan
di tempat kerja, kelembaban udara
2. Faktor kimia, yang dapat berupa; gas/uap, cairan, debu-debuan,
butiran kristal dan mentuk-bentuk lain, bahan-bahan kimia yang mempunyai sifat
racun
3. Faktor biologis, yang dapat berupa; bakteri virus, jamur, cacing
dan serangga, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain yang hidup/ timbul dalam
lingkungan kerja
4. Faktor faal, yang dapat berupa; sikap badan yang tidak baik pada
waktu kerja, peralatan yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan tenaga kerja,
gerak yang senantiasa berdiri atau duduk, proses, sikap dan cara kerja yang
monoton, beban kerja yang melampaui batas kemampuan
5. Faktor psikologis, yang dapat berupa; kerja yang terpaksa/
dipaksakan yang tidak sesuai dengan kemampuan, suasana kerja yang idak
menyenangkan, pikiran yang senantiasa tertekan terutama karena sikap atasan
atau teman kerja yang tidak sesuai, pekerjaan yang cenderung lebih mudah
menimbulkan kecelakaan (Husni, 2003).
2.6 Alat Pelindung Diri (APD)
2.6.1 Definisi Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri ( APD ) adalah seperangkat alat yang digunakan oleh
tenaga kerja untuk melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan
adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja. APD dipakai sebagai upaya terakhir
dalam usaha melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan

15
administratif tidak dapat dilakukan dengan baik. APD juga merupakan
kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai kebutuhan untuk menjaga
keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya.
Perlengkapan pelindung diri termasuk semua pakaian dan aksesories
pekerjaan lain yang dirancang untuk menciptakan sebuah penghalang terhadap
bahaya tempat kerja. Penggunaan APD harus tetap di kontrol oleh pihak yang
bersangkutan, khususnya di sebuah tempat kerja.
Menurut Suma’mur (1992), alat pelindung diri adalah suatu alat yang
dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan
kecelakaan kerja. Alat pelindung diri merupakan salah satu cara untuk mencegah
kecelakaan dan secara teknis APD tidaklah sempurna untuk mencegah kecelakaan
yang terjadi.
2.6.2 Tujuan dan Manfaat Alat Pelindung Diri (APD)
Adapun tujuan dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), antara lain:
1. Melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan
administrative tidak dapat dilakukan dengan baik.
2. Meningkatkan efektifitas dan produktivitas kerja.
3. Menciptakan lingkungan kerja yang aman.

Sedangkan manfaat dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), antara lain :
1. Untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan
adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja.
2. Mengurangi resiko penyakit akibat kecelakaan.

2.6.3 Persyaratan APD


Menurut Suma’ur (1992) persyaratan yang harus dipenuhi alat pelindung diri :
a. Nyaman dipakai
b. Tidak mengganggu kerja
c. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya

16
2.6.4 Jenis dan Fungsi Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat
bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu
sendiri dan orang di sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh
pemerintah melalui Departement Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia. Hal ini tertulis di Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Per.08/Men/VII/2010 tentang pelindung diri. Adapun bentuk dari alat tersebut
adalah :
· Safety Helmet
Safety helmet berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang bisa
mengenai kepala secara langsung.

Gambar 2.4 Safety Helmet


· Sabuk Keselamatan (safety belt)
Sabuk Keselamatan (safety belt) berfungsi sebagai alat pengaman ketika
menggunakan alat transportasi ataupun peralatan lain yang serupa
(mobil, pesawat, alat berat, dan lain-lain).
· Sepatu Pelindung (safety shoes)
Sepatu karet (sepatu boot) berfungsi sebagai alat pengaman saat bekerja di
tempat yang becek ataupun berlumpur. Kebanyakan di lapisi dengan metal untuk
melindungi kaki dari benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia, dan
sebagainya.

17
Gambar 2.5 Safety Shoes
· Sarung Tangan
Sarung tangan berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di
tempat atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Bahan dan bentuk
sarung tangan di sesuaikan dengan fungsi masing-masing pekerjaan.

Gambar 2.6 Sarung Tangan


· Tali Pengaman (Safety Harness)
Tali pengaman (safety harness) berfungsi sebagai pengaman saat bekerja
di ketinggian. Diwajibkan menggunakan alat ini di ketinggian lebih dari 1,8 meter.

Gambar 2.7 Safety Harness


· Penutup Telinga (Ear Plug / Ear Muff)
Penutup telinga (ear plug/ear muff) berfungsi sebagai pelindung telinga

18
pada saat bekerja di tempat yang bising.

Gambar 2.8 Penutup Telinga


· Kaca Mata Pengaman (Safety Glasses)
Kaca mata pengaman (safety glasses) berfungsi sebagai pelindung mata
ketika bekerja (misalnya mengelas).

Gambar 2.9 Alat Pelindung Mata


· Masker (Respirator)
Masker (respirator) berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat
bekerja di tempat dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, beracun, dsb).

Gambar 2.10 Alat Pelindung Pernafasan


· Pelindung wajah (Face Shield)
Pelindung wajah (face shield) berfungsi sebagai pelindung wajah dari
percikan benda asing saat bekerja (misal pekerjaan menggerinda)

19
Gambar 2.11 Face Shield
· Jas Hujan (Rain Coat)
Jas hujan (rain coat) berfungsi melindungi dari percikan air saat bekerja
(misal bekerja pada waktu hujan atau sedang mencuci alat).

Gambar 2.12 Rain Coat


Semua jenis APD harus digunakan sebagaimana mestinya, gunakan
pedoman yang benar-benar sesuai dengan standar keselamatan kerja (K3L :
Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan). APD harus digunakan sesuai
dengan jenis pekerjaan dan dalam jumlah yang memadai, memastikan APD yang
dugunakan aman untuk keselamatan pekerja, selain itu APD juga harus sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan

2.6.5 Cara merawat APD

• Helm Safety/ Helm Kerja (Hard hat)


1. Helm kerja dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang

20
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh
manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat helm kerja yang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak
dibenarkan untuk dipergunakan (retak-retak, bolong atau tanpa system
suspensinya).
3. Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yang
memiliki helm kerja dan telah mengikuti training.

• Kacamata Safety (Safety Glasses)


1. Kacamata safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh
manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan kacamata safety yang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak
dibenarkan untuk dipergunakan.
3. Penyimpanan masker harus terjamin sehingga terhindar dari debu,
kondisi yang ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin), kelembaban atau
kemungkinan tercemar bahan-bahan kimia berbahaya.
4. Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yang
memiliki kacamata safety dan telah mengikuti training.  Sepatu Safety
(Safety Shoes)
1. Sepatu safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh
manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sepatu safety yang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak
dibenarkan untuk dipergunakan.
3. Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yang
memiliki sepatu safety dan telah mengikuti training.
• Masker/ Perlindungan Pernafasan (Mask/ Respiratory Protection)

21
1. Pelindung pernafasan dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat pelindung pernafasan
yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta
tidak dibenarkan untuk dipergunakan.
3. Kondisi dan kebersihan alat pelindung pernafasan menjadi tanggung
jawab karyawan yang bersangkutan,
4. Kontrol terhadap kebersihan alat tersebut akan selalu dilakukan oleh
managemen lini.  Sarung tangan
1. Sarung tangan dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh
manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sarung tangan yang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak
dibenarkan untuk dipergunakan.
Penyimpanan sarung tangan harus terjamin sehingga terhindar dari debu,
kondisi yang ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin), kelembaban atau
kemungkinan tercemar bahan-bahan kimia berbahaya
2.7 Kimia Api
Api terjadi karena adanya reaksi kimia yang cepat antara bahan bakar dengan
oksigen. Apabila reaksi tersebut terkendali, tidak merugikan maka sering
dikatakan sebagai api yang bermanfaat untuk suatu kehidupan. Tetapi sebaliknya
apabila tidak terkendali dan merugikan (sifatnya merusak, maka dikatakan sebagai
kebakaran. Reaksi pembakaran yang sederhana dapat ditulis :
CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O
CH4 + O2 CO + H2O + H2
2.8 Dinamika Api
2.8.1 Teori Segitiga Api (Fire Triangle)
Secara sederhana susunan kimiawi dalam proses kebakaran dapat digambarkan
dengan istilah “Segitiga Api”. Teori segitiga api ini menjelaskan bahwa untuk
dapat berlangsungnya proses nyala api diperlukan adanya 3 unsur pokok, yaitu:

22
bahan yang dapat terbakar (fuel), oksigen (O2) yang cukup dari udara atau
daribahan oksidator, dan panas yang cukup (materi pengawasan K3
penanggulangan
Kebakaran Depnakertrans, 2008).

Gambar 2.13 Segitiga Api (Fire Triangle)


Berdasarkan teori segitiga api tersebut, maka apabila ketiga unsur di atas bertemu
akan terjadi api. Namun, apabila salah satu unsur tersebuttidak ada atau tidak
berada pada keseimbangan yang cukup, maka api tidak akan terjadi. Prinsip
segitiga api ini dipakai sebagai dasar untuk mencegah kebakaran (mencegah agar
api tidak terjadi) dan penanggulangan api yakni memadamkan api yang tak dapat
dicegah (Karla, 2007; Suma’mur, 1989).
2.8.2 Teori Bidang Empat Api (Tetrahedron of Fire)
Teori segitiga api mengalami perkembangan yaitu dengan ditemukannya unsur
keempat untuk terjadinya api yaitu rantai reaksi kimia. Konsep ini dikenal dengan
teori tetrahedron of fire. Teori ini ditemukan berdasarkan penelitian dan
pengembangan bahan pemadam tepung kimia (dry chemical) dan halon
(halogenated hydrocarbon). Ternyata jenis bahan pemadam ini mempunyai
kemampuan memutus rantai reaksi kontinuitas proses api

23
Gambar 2.14 Bidang Empat Api (Tetrahedron of Fire)
Teori tethtrahedron of fireini didasarkan bahwa dalam panas pembakaran yang
normal akan timbul nyala, reaksi kimia yang terjadi menghasilkan beberapa zat
hasil pembakaran seperti CO, CO2, SO2, asap dan gas. Hasil lain dari reaksi ini
adalah adanya radikal bebas dari atom oksigen dan hidrogen dalam bentuk
hidroksil (OH). Bila 2 (dua) gugus OH pecah menjadi H2O dan radikal bebas O.
O radikal ini selanjutnya akan berfungsi lagi sebagai umpan pada proses
pembakaran sehingga disebut reaksi pembakaran berantai. (Karla, 2007; Goetsch,
2005)
2.9 Kebakaran
2.9.1Pengertian Tentang Kebakaran
Kebakaran adalah suatu peristiwa dimana suatu material terbakar oleh api
ataureaksi pembakaran yang tidak terkendali dan menimbulkan kerugian
materi atau nyawa manusia atau kebakaran juga dapat diartikan api yang
tidak terkendali atautidak dikehendaki serta merugikan. Jadi dapat disimpulkan
juga bahwa suat u reaksi berantai yang menghasilkan energi panas yang cukup
untuk disebarkan kepada bahan bakar lainnya yang menjadi ikut terbakar.
Disini api tidak dilihat dari besar atau kecilnya api tersebut, jika memang
apiitu kecil akan tetapi tidak terkendali serta merugikan maka itu juga dapat
digolongkan kebakaran. Dan semantara itu jika api tersebut besar namun itu
dikehendaki dan dapat dikendalikan maka ini tidak dapat digolongkan dalam
kebakaran (Farha, 2010). Pada proses penyalaan, api mengalami empat

24
tahapan, mulai dari tahap permulaan hingga menjadi besar, berikut
penjelasannya:
1. Incipien Stage (Tahap Permulaan)
Pada tahap ini tidak terlihat adanya asap, lidah api, atau panas, tetapi terbentuk
partikel pembakaran dalam jumlah yang signifikan selama periode tertentu.
2. Smoldering Stage (Tahap Membara)
Partikel pembakaran telah bertambah, membentuk apa yang kita lihat
sebagai “asap”. Masih belum ada nyala api atau panas yang signifikan.
3. Flame Stage
Tercapai titik nyala, dan mulai terbentuk lidah api. Jumlah asap mulai
berkurang, sedangkan panas meningkat.
4. Heat Stage
Pada tahap ini terbentuk panas, lidah api, asap, dan gas beracun dalam jumlah
besar. Transisi dari flame stage ke heat stage biasanya sangat cepat, seolah-olah
menjadi satu dalam fase sendiri.
2.9.2 Proses Penjalaran Api
Kebakaran biasanya dimulai dari api yang kecil, kemudian membesar dan
menjalar ke daerah sekitarnya. Penjalaran api menurut Soehatman Ramli,
dapat melalui beberapa cara yaitu:
1 Konveksi
Yaitu penjalaran api melalui benda padat, misalnya merambat melalui besi,
beton, kayu, atau dinding. Jika terjadi kebakaran di suatu ruangan, maka panas
dapat merambat melalui dinding sehingga ruangan di sebelah akan mengalami
pemanasan yang menyebabkan api dapat merambat dengan mudah.
2 Konduksi
Api juga dapat menjalar melalui fluida, misalnya air, udara, atau bahan cair
lainnya. Suatu ruangan yang terbakar dapat menyebarkan panas melalui
hembusan angin yang terbawa udara panas ke daerah sekitarnya.
3 Radiasi
Penjalaran panas lainnya melalui proses radiasi yaitu pancaran cahaya atau
gelombang elektro-magnetik yang dikeluarkan oleh nyala api. Dalam proses

25
radiasi ini, terjadi proses perpindahan panas (heat transfer) dari sumber panas
ke objek penerimanya. Faktor inilah yang sering menjadi penyebab penjalaran
api dari suatu bangunan ke bangunan lain di sebelahnya.
2.9.3 Bahaya Kebakaran
Kebakaran mengandung berbagai potensi bahaya baik bagi manusia, harta
benda maupun lingkungan. Berikut ini dijelaskan bahaya utama suatu
kebakaranmenurut Soehatman Ramli.
1 Terbakar api secara langsung
Karena terjebak dalam api yang sedang berkobar. Panas yang tinggi akan
mengakibatkan luka bakar. Luka bakar merupakan jenis luka, kerusakan jaringan,
atau kehilangan jaringan yang diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin
yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, dan radiasi. Berikut
dijelaskan klasifikasi luka bakar menurut Wikipedia.
Tabel 2.1
Klasifikasi Luka Bakar

Klasifikasi Kedalaman Luka Bakar Bentuk Klinis

Superfical thickness Lapisan Epidermis Erythema (kemerahan)


(Derajat 1) rasa sakit seperti
tersengat, blister
(gelembung cairan)

Partical thickness – Lapisan superficial Blister (gelembung


superficial (Derajat 2) (Lapisan papillary), cairan), ketika gelembung
kedalaman > 0,1 pecah rasa nyeri
mm

Full thickness (Derajat Dermis dan struktur Adanya eschar (kulit


3) tubuh dibawah melepuh), cairan
dermis, tulang, atau berwarna, tidak berasa
otot, kedalaman lebih sakit
dari 2

26
mm

Soehatman Ramli juga menjelaskan, kerusakan pada kulit dipengaruhi oleh


temperatur api yang dimulai dan suhu 45°C sampai yang terparah diatas
72°C
Berikut tabel yang menjelaskan tentang efek terbakar pada manusia ditentukan
oleh derajat panas yang diterima.
Tabel 2.2
Efek Kebakaran

Tingkat Panas (fluk) (kW/m2) Efek Kebakaran

37,5 100 % kematian dalam waktu 1 menit.

25 1 % kematian dalam waktu 10 detik.

15,8 100 % kematian dalam 1 menit, cedera


parah dalam 10 detik.

12,5 1 % kematian dalam 1 menit, luka


bakar derajat dalam 10 detik.

6,3 Tindakan darurat dapat


dilakukan oleh personal dengan
pakaian pelindung yang sesuai.

4,7 Tindakan dapat dilakukan


beberapa menit dengan pakaian
pelindung memadai.
(Sumber API RP521)
Manusia mempunyai toleransi terbatas terhadap panas yang menerpa
tubuhnya. Tingkat pengkondisian panas yang dapat ditolerir oleh
manusia hanya mencapai temperatur lebih dari 65°C. Respon tubuh manusia
terhadap panas dapat ditunjukkan pada grafik di bawah ini.

27
Respon Manusia Terhadap Panas
Keterangan:
Suhu 10-35°C : Kondisi nyaman termal
Suhu 65°C : Suhu dapat ditolerir (tergantung aktivitas)
Suhu 95°C : Panas tidak dapat ditolerir dalam waktu 25 menit
Suhu 120°C : Panas tidak dapat ditolerir dalam waktu 15 menit
Suhu 150°C : Panas tidak dapat ditolerir dalam waktu 5 menit
Suhu 180°C : Kerusakan fatal dan kekeringan dalam waktu 30 detik
2 Terjebak asap yang ditimbulkan
Sekitar 50-80% kematian pada saat kebakaran dikarenakan menghirup asap
dari pada luka bakar. Menurut NFPA 92A Tahun 1996, asap adalah gas-gas serta
partikel padat dan cair yang beterbangan akibat dari proses pembakaran
bersama dengan udara yang tercampur di dalamnya.
Produksi asap bergantung pada dua hal yaitu ukuran api dan tinggi plafon
ruangan. Semakin kecil ketinggian ruang di atas api menyebabkan
tumpukan lapisan asap yang semakin cepat menebal, semakin terbuka ruang di
atas api, asap akan semakin berkurang.
Jenis asap yang dihasilkan berbeda pada setiap kebakaran, begitu pula dengan
gas-gas beracun yang dihasilkan akibat kebakaran, tergantung dari
bahan atau material yang terbakar.
Tabel 2.3
Gas Racun Hasil Pembakaran

Bahan Gas Racun

Bahan mengandung karbon CO dan CO2

Celluloid, polyurethane NO (Nitrogen Oksida)

Wool, sutra, kulit, plastik mengandung Hydrogen cyanide

28
nitrogen

Karet, Thiokol SO2 (Sulfur dioksida)

Polysterene C6H6 (Benzena)

Kayu, kertas Acrolein (C3H4O)

Busa polyurethane Isocyanat

Gas racun yang berbahaya dan paling sering dihasilkan akibat kebakaran
adalah gas Karbon Monoksida (CO). Efek dari menghirup gas karbon
monoksida dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 2.4
Efek gas CO

Konsentrasi CO (ppm) Efek

1500 Sakit kepala dalam 15 menit,


pingsan dalam 30 menit, meninggal
dalam 1 jam

2000 Sakit kepala dalam 10 menit,


pingsan dalam 20 menit, meninggal
dalam 45 menit

3000 Waktu aman maksimal 5 menit,


berbahaya dan pingsan dalam waktu 5
menit

6000 Sakit kepala, tidak sadar dalam 1-2


menit dan kematian dalam waktu 10-15
menit

12000 Efek langsung, pingsan dalam 2-3


kali hirupan nafas, kematian dalam 1-
3 menit

29
3 Bahaya lain akibat kebakaran
Misalnya kejatuhan benda akibat runtuhnya konstruksi. Bahaya ini banyak
sekali terjadi dan mengancam keselamatan penghuni, bahkan juga petugas
pemadam kebakaran yang memasuki bangunan yang sedang terbakar.
Bahaya lainnya dapat bersumber dari ledakan bahan atau material yang
terdapat dalam ruangan yang terbakar. Salah satu bahaya lain yang sering
terjadi adalah ledakan gas yang terkena paparan panas.
4 Trauma akibat kebakaran.
Bahaya ini juga banyak mengancam korban kebakaran yang terperangkap,
panik, kehilangan orientasi dan akhirnya dapat berakibat fatal. Hal ini
banyak terjadi dalam kebakaran gedung bertingkat, dimana penghuninya
kesulitan untuk mencari jalan keluar yang sudah dipenuhi asap.
2.9.4 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran
Berdasarkan pengamatan, pengalaman, penyelidikan dan analisa dari
setiapperistiwa kebakaran dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor
penyebabterjadinya kebakaran dan peledakan bersumber pada 3 (tiga) faktor
(Farha. 2010)
2.9.4.1 Faktor manusia
Faktor manusia disebabkan kurangnya pengertian terhadap
penanggulagan
bahaya kebakaran. Dalam hal ini, orang yang bersangkutan sama sekali
belum mengerti atau hanya sedikit mengetahui tentang cara-cara
penanggulangan bahaya kebakaran, misalnya :
a. Mendekat-dekatkan benda-benda yang mudah terbakar ke sumber
api/panas, seperti : meletakkan kompor yang sedang menyala di dekat
dinding yang mudah terbakar.
b. Memadamkan api (kebakaran) yang sedang terjadi dengan
menggunakan peralatan pemadaman/media pemadaman yang bukan pada
tempatnya/fungsinya, seperti memadamkan api yang berasal dari kebakaran
benda cair (bensin, solar, minyak tanah, dll) dengan menggunakan air.

30
c. Kelalaian, dalam hal ini yang bersangkutan termasuk kepada
orang-orang yang sudah memahami/mengerti tentang cara-cara
penanggulangan kebakaran. Hanya saja ia malas/lalai untuk menjalaninya,
misalnya tidak pernah mau memperhatikan atau mengadakan
pengontrolan/pemeriksaan secara rutin terhadap alat-alat yang akan dan
sedang dipakai (kompor, generator, instalasi listrik, alat-alat listrik, dll).
Tidak pernah mengadakan pengamatan terhadap lingkungan situasi setempat
sewaktu akanmeninggalkan ruang kerja dan tempat tinggal. Membiarkan
anakanak bermain api. Tidak pernah mengadakan pengontrolan terhadap
perlengkapan alat pemadam kebakaran dan tidak mematuhi larangan-larangan
di suatu tempat.
d. Disengaja, yakni suatu kebakaran yang benar-benar sengaja
dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk maksud-maksud tertentu,
misalnya saja mencari keuntungan pribadi dan untuk balas dendam.
2.9.4.2 Faktor teknis
Faktor teknis terbagi menjadi tiga yaitu melalui proses mekanis,
kimia danmelalui tenaga listrik antara lain sebagai berikut :
a. Melalui proses mekanis, dimana 2 (dua) faktor penting yang menjadi
peranan dalam proses ini ialah timbulnya panas akibat kenaikan suhu atau
timbulnya bunga api akibat dari pengetesan benda-benda maupun adanya api
terbuka.
b. Melalui proses kimia, yaitu terjadi sewaktu pengangkutan bahan-bahan
kimia berbahaya, penyimpanan dan penanganan (handling) tanpa
memperhatikan petunjuk-petunjuk yang ada.
c. Melalui tenaga listrik, pada umumnya terjadi karena hubungan
pendek sehingga menimbulkan panas atau bunga api dan dapat menyalakan
atau membakar komponen yang lain.
2.9.4.3 Faktor alam
Berdasarkan faktor alam terbagi menjadi dua yaitu petir dan gunung
meletus:
a. Petir adalah salah satu penyebab adanya kebakaran dan peledakan

31
akibat
dari faktor alam.
b. Gunung meletus, bisa menyebabkan kebakaran hutan yang luas,
juga perumahan-perumahan yang dilalui oleh lahar panas.

2.9.5 Klasifikasi Kebakaran


Klasifikasi kebakaran adalah pengelompokan jenis-jenis kebakaran
berdasarkan jenis-jenis bahan yang terbakar. Tujuannya adalah untuk
menentukan cara dan media yang tepat dalam memadamkan kebakaran tersebut.
Kebakaran dibagi menjadi beberapa jenis atau kelas berdasarkan dari jenis
bahan bakarnya yang terbakar yaitu (Farha, 2010).
1 Kebakaran kelas A
Kebakaran kelas Aadalah kebakaran bahan biasa atau padat kecuali logam
yang mudah terbakar seperti kertas, kayu, pakaian, karet, plastik dan
lainlain. Jika terjadi kebakaran kelas A maka dapat digunakan metode
pemadaman dengan cara pendinginan dengan air. Pemadaman dengan air atau
busa kelas A.
2 Kebakaran kelas B
Kebakaran kelas B adalah kebakaran bahan cairan dan gas yang mudah
terbakar seperti minyak, bensin, solar, gas LPG, LNG dan lain-lain. Jika terjadi
kebakaran kelas B maka metode pemadaman yang dapat digunakan adalah:
a. Penutupan atau pelapisan atau penyelimutan
b. Pemindahan bahan bakar
c. Penurunan temperature.
3 Kebakaran kelas C
Kebakaran kelas C adalah kebakaran yang diakibatakan dari
kebocoran listrik, konsleting termasuk peralatan bertenaga listrik. Jika terjadi
kebakaran kelas C metode pemadaman yang dapat digunakan adalah:
a. Pemadaman menggunakan bahan yang non konduksi listrik
b. Putuskan arus listrik dan padamkan seperti pemadaman kebakaran
kelas A atau kelas B.

32
4 Kebakaran kelas D
Kebakaran kelas D merupakan kebakaran yang sangat jarang terjadi dan
biasanya terjadi pada logam seperti seng, magnesium, serbuk alumunium dan
lainlain.Jika terjadi maka metode pemadamannya adalah pelapisan atau
penyelimutan dengan bahan pemadam khusus terutama bubuk kering tertentu.
2.10 Konsep Pemadaman
Sasaran utama dari upaya pencegahan kebakaran adalah untuk dapat
mematikan dan memadamkan kebakaran jika terjadi. Memadamkan
kebakaran bagi setengah orang mungkin dianggap sulit dan menakutkan,
terutama jika api telah berkobar hebat dan menjulang ke angkasa, dengan
asap serta nyala yang hebat. Namun bagi professional pemadam kebakaran,
yang telah memahami teori dan konsep api, maka upaya tersebut dapat
dilakukan dengan mudah dan cepat. Prinsip dari pemadaman kebakaran adalah
memutus mata rantai segi tiga api, misalnya dengan menghilangkan bahan
bakar, membuang panas atau oksigen. Memadamkan kebakaran atau
mematikan api dapat dilakukan dengan beberapa teknik atau pendekatan
(Ramli, 2010).
2.10.1 Pemadaman dengan Pendingin
Teknik pendinginan (cooling) adalah teknik memadamkan kebakaran
dengan cara mendinginkan atau menurunkan temperatur uap atau gas yang
terbakar sampai kebawah temperature nyalanya. Cara ini banyak dilakukan
oleh petugas pemadam kebakaran dengan menggunakan semprotan air ke
lokasi atau titik kebakaran sehingga api secara perlahan dapat berkurang dan
mati. Semprotan air yang disiramkan ke tengah api akan mengakibatkan
udara sekitar api mendingin. Sebagian panas akan diserap oleh air yang kemudian
berubah bentuk menjadi uap air yang akan mendinginkan api (Ramli, 2010).
2.10.2 Pembatasan Oksigen
Untuk proses pembakaran, suatu bahan bakar membutuhkan oksigen
yang cukup misalnya kayu akan mulai menyala pada permukaan bila kadar
oksigen ,acetylene memerlukan oksigen dibawah 5%, sedangkan gas dan uap
hidrokarbon biasanya tidak akan terbakar bila kadar oksigen di bawah 15%.

33
Sesuai dengan teori segitiga api, kebakaran dapat dihentikan dengan
menghilangkan atau mengurangi suplai oksigen, dengan membatasi atau
mengurangi oksigen dalam proses pembakaran api dapat padam, teknik ini
dikenal dengan smothering.
2.10.3 Penghilang Bahan Bakar
Api secara alamiah akan mati dengan sendirinya jika bahan yang
dapat terbakar sudah habis. Atas dasar ini, api dapat dikurangi dengan
menghilangkan jumlah bahan yang terbakar. Teknik ini disebut starvation, teknik
starvation juga dapat dilakukan misalnya dengan menyemprotkan bahan yang
terbakar dengan busa sehingga suplai bahan bakar untuk kelangsungan
pembakaran terhenti atau berkurang sehingga api akan mati. Api juga dapat
dipadamkan dengan menjauhkan bahan yang terbakar ke tempat yang aman
(Ramli, 2010).
2.10.4 Memutus Reaksi Berantai
Cara yang terakhir untuk memadamkan api adalah dengan mencegah
terjadinya reaksi rantai di dalam proses pembakaran. Para ahli menemukan
bahwa reaksi rantai bisa menhasilkan nyala api. Pada beberapa zat kimia
mempunyai sifat memecah sehingga terjadi reaksi rantai oleh atom-atom yang
dibutuhkan oleh nyala untuk tetap terbakar (Ramli, 2010).
CH4 + 2O2 → CO2 + 2H2O + E
Dengan tidak terjadinya reaksi atom ini, maka nyala api akan padam.
2.11 Media Pemadam Kebakaran
Ketepatan memilih media pemadaman merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan keberhasilan dalam melakukan pemadaman
kebakaran. Dengan ketepatan pemilihan media pemadam yang sesuai
terhadap kelas kebakaran tertentu, maka akan dapat dicapai pemadaman
kebakaran yang efektif dan efisien. Berikut penjelasan dari Modul
Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran, DikNas, 2003.
2.11.1 Media Pemadam Jenis Padat
1. Pasir dan tanah
Fungsi utamanya adalah membatasi kebakaran, namun untuk kebakaran kecil

34
dapat dipergunakan untuk menutupi permukaan bahan bakar yang terbakar
sehingga memisahkan udara dari proses nyala yang terjadi, dengan demikian
nyalanya akan padam.
2. Tepung Kimia
Cara kerja secara fisik yaitu dengan mengadakan pemisahan atau
penyelimutan bahan bakar. Sehingga tidak terjadi pencampuran oksigen
dengan uap bahan bakar. Cara kerja secara kimiawi yaitu dengan
memutus rantai reaksi pembakaran dimana partikel-partikel tepung kimia
tersebut akan menyerap radikal hidroksil dari api. Menurut kelas kebakaran,
tepung kimia dibagi sebagai berikut:
Tepung kimia biasa (regular)
Kebakaran yang dipadamkan adalah kebakaran cairan, gas, dan listrik
Tepung kimia serbaguna (multipurpose)
Tepung ini sangat efektif untuk memadamkan kebakaran kelas A, B, C.
bahan baku tepung kimia multipurpose adalah tepung Amonium Phoshatedan
kalium sulfat.
Tepung kimia kering (khusus)
Tepung kimia kering atau dry powder untuk memadamkan kebakaran logam.
2.11.2 Media Pemadam Jenis Cair
1. Air
Dalam pemadaman kebakaran, air adalah media pemadam yang paling banyak
dipergunakan, hal ini dikarenakan air mempunyai beberapa keuntungan
antara lain mudah didapat dalam jumlah banyak, mudah disimpan, dialirkan,
dan mempunyai daya mengembang yang besar dan daya untuk penguapan yang
tinggi.Air mempunyai daya penyerap panas yang cukup tinggi, dalam hal ini
berfungsi sebagai pendingin. Panas yang dapat diserap air dari 15oC sampai
menjadi uap 100°C adalah 622 kcal/kg. Air yang terkena panas berubah
menjadi uap dan uap tersebutlah yang menyelimuti bahan bakar yang
terbakar. Dalam penyelimutan ini cukup efektif, karena dari 1 liter air akan
berubah menjadi uap sebanyak 1670 liter uap air.
2. Busa

35
a. Berdasarkan kelas kebakaran, maka busa dibagi menjadi beberapa bagian,
antara lain:
Busa regular, yaitu busa yang hanya mampu memadamkan bahanbahan
yang berasal dari Hydrocarbon atau bahan-bahan cair bukan pelarut (solvent).
Busa serbaguna (all purpose foam), busa ini dapat memadamkan kebakaran
yang berasal dari cairan pelarut seperti alkohol, eter, dll.
b. Berdasarkan cara terjadinya, maka busa dibagi menjadi:
Busa kimia, busa ini terjadi karena adanya proses kimia, yaitu
pencampuran bahan-bahan kimia.
Busa mekanik, busa ini terjadi karena proses mekanis yaitu berupa
campuran dari bahan pembuat busa dengan air sehingga membentuk larutan
busa.
2.11.3 Media Pemadam Jenis Gas
Media pemadam jenis gas akan memadamkan api dengan cara pendinginan
(cooling) dan penyelimutan (dilusi). Berbagai gas dapat dipergunakan untuk
pemadam api, namun gas CO2 dan N2 yang paling banyak dipergunakan. Gas
N2lebih banyak dipergunakan sebagai tenaga dorong kimia pada alat pemadam
api ringan (APAR) ataupun dilarutkan (sebagai pendorong) dalam halon. Gas
CO2 sangat efektif sebagai bahan pemadam api karena dapat memisahkan kadar
oksigen di udara. Keunggulan gas CO2 adalah bersih, murah, mudah didapat,
tidak beracun. Sedangkan kerugiannya adalah wadahnya yang berat, tidak
efektif untuk area terbuka, kurang cocok untuk kebakaran kelas A, dan pada
konsentrasi tinggi berbahaya bagi pernapasan.
2.11.4 Media Pemadam Jenis Cairan Mudah Terbakar
Media pemadam ini bekerja dengan cara memutuskan rantai reaksi
pembakaran dan mendesak udara atau memisahkan zat asam. Nama
umum media ini adalah Halon atau Halogenated Hyrocarbon, yaitu suatu
ikatan methan dan halogen (iodium, flour, chlor, brom).
Keunggulan pemadaman dengan halon adalah bersih dan daya
pemadamannya sangat tinggi dibandingkan dengan media pemadam lain.
Halon juga memiliki kelemahan yaitu tidak efektif untuk kebakaran di area

36
terbuka dan beracun.
2.12 Usaha-Usaha Penanggulangan Umum Bahaya Kebakaran
2.12.1 Tindakan Preventif
Usaha pencegahan yang dilakukan sebelum terjadinya kebakaran
dengan maksud menekan atau mengurangi faktor-faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya kebakaran antara lain:
1. Mengadakan penyuluhan-penyuluhan
2. Pengawasan terhadap bahan-bahan bangunan
3. Pengawasan terhadap penyimpanan dan penggunaan barang-barang
4. Pengawasan terhadap peralatan yang dapat menimbulkan api
5. Pengadaan sarana pemadaman kebakaran dan sarana penyelamat jiwa
6. Pengadaan sarana pengindera kebakaran
7. Penegakan peraturan dan ketentuan
8. Mengadakan latihan secara berkala
2.12.2 Tindakan Represif
Usaha-usaha yang dilakukan pada saat terjadi kebakaran dengan
maksud untuk memperkecil kerugian yang timbul sebagai akibat kebakaran.
2.12.2.1 Usaha Pemadaman
a. Penggunaan peralatan pemadam kebakaran
b. Mencegah meluasnya kebakaran
c. Penggunaan alat-alat penunjang
2.12.2.2 Pertolongan atau penyelamatan jiwa manusia dan harta benda
a. Pengamanan daerah kebakaran dan bahaya kebakaran
b. Pelaksanaan evakuasi
c. Mempersiapkan tempat berkumpul dan daerah aman
d. Usaha-usaha pencarian
a. Mencari sumber api untuk dipadamkan
b. Mencari orang-orang untuk diselamatkan bila dalam keadaan terjebak
c. Mencari harta benda atau dokumen penting untuk diamankan
2.12.3 Tindakan Rehabilitatif
Upaya-upaya yang dilakukan setelah terjadi kebakaran dengan

37
maksud evaluasi dan menganalisa peristiwa kebakaran untuk mengambil
langkah-langkah selanjutnya, antara lain :
1. Menganalisa tindakan-tindakan yang telah dilakukan
2. Membuat pendataan menyelidiki faktor-faktor penyebab kebakaran
2.13 Sarana Proteksi Kebakaran Aktif
Sistem proteksi kebakaran aktif, merupakan sistem perlindungan terhadap
kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat
bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas
pemadam kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman kebakaran. Yang
termasuk dalam sistem proteksi kebakaran aktif yaitu alarm (audibledan visible),
deteksi/detektor (panas, asap, nyala), alat pemadam api ringan (APAR),
hydrantdan sprinkler.
2.13.1 Alarm Kebakaran
a. Alarm kebakaran adalah suatu komponen dari sistem yang
memberikan isyarat atau tanda adanya suatu kebakaran (Permenaker No.
Per02/Men/1983)
b. Alarm kebakaranyang memberikan tanda/isyarat yang tertangkap
oleh pandangan mata secara jelas (visible alarm) yakni lampu indikator.
Sistem alarm kebakaran (fire alarm system) pada suatu tempat atau
bangunan digunakan untuk pemberitaan kepada pekerja/ penghuni dimana suatu
bahaya bermula. Sistem alarmini dilengkapi dengan tanda atau alarm yang bisa
dilihat atau didengar. Penempatan alarm kebakaran ini biasanya pada
koridor/gang-gang dan jalan dalam bangunan atau suatu instalasi. Sistem alarm
kebakaran dapat dihubungkan secara manual ataupun otomatis pada alat-alat
seperti sprinkler system, detektor panas, detektor asap, dan lain-lain (Soehatman
Ramli, 2005).
Sistem alarm kebakaran otomatis dirancang untuk memberikan peringatan
kepada penghuni akan adanya bahaya kebakaran sehingga dapat melakukan
tindakan proteksidan penyelamatan dalam kondisi darurat (Kepmen PU No.
10/KPTS/2000). Komponen alarm kebakaran terdiri dari master control fire
alarm, alarm bell, manual station(titik panggil manual) yang dilengkapi dengan

38
break glass, detektor panas, detektor asap, detektor nyala, sistem sprinkler.
Menurut Perda DKI No. 3 Tahun 1992, instalasi alarm kebakaran harus
selalu dalam kondisibaik dan siap pakai. Sistem alarm kebakaran harus dipasang
pada semua bangunan kecuali bangunan kelas 1a, yaitu bangunan hunian tunggal.
Sistem alarm otomatis harus dilengkapi dengan sistem peringatan keadaan darurat
dan sistem komunikasi internal (Kepmen PU No. 10/KPTS/2000)
2.13.2 Detektor Kebakaran
Detektor adalah alat untuk mendeteksi kebakaran secara otomatik, yang
dapat dipilih tipe yang sesuai dengan karakteristik ruangan, diharapkan dapat
mendeteksi secara cepat akurat dan tidak memberikan informasi palsu
(Depnakertrans, 2008). Detektor kebakaran ini dipasang di tempat yang tepat
sehingga memiliki jarak jangkauan penginderaan yang efektif sesuai
spesifikasinya.
2.13.2.1 Detektor Panas
Detektor panas adalah peralatan dari detektor kebakaran yang dilengkapi
dengan suatu rangkaian listrik atau pneumatik yang secara otomatis akan
mendeteksi kebakaran melalui panas yang diterimanya. Detektor panas terdiri dari
beberapa jenis, seperti :
1. Detektor bertemperatur tetap (fixed temperature detector) Detektor
ini berisikan sebuah elemen yang dapat meleleh dengan segera pada temperatur
yang telah ditentukan dan akan menyebabkan terjadinya kontak listrik sehingga
mengaktifkan alarmkebakaran.
2. Detektor berdasarkan naiknya temperatur (rate of rise heat
detector) Detektor ini bekerja berdasarkan kecepatan tertentu naiknya temperatur
sehingga mengaktifkan alarm kebakaran.
3. Detektor tipe kombinasi yaitu detektor yang bekerja apabila
temperatur di suatu ruang naik (rate of rise heat detector) dan pada temperatur
yang telah ditentukan (fixed temperature detector).
2.13.2.2 Detektor Asap
Detektor asap adalah peralatan suatu alarm kebakaran yang dilengkapi
dengan suatu rangkaian dan secara otomatis mendeteksi kebakaran apabila

39
menerima partikelpartikel asap (Soehatman Ramli, 2005). Jenis detektor asap
antara lain:
1. Detektor ionisasi (ionization smoke detector), mengandung
sejumlah kecil bahan radio aktif yang akan mengionisasi udara
di ruang pengindra (Sensing Chamber). Apabila partikel asap
memasuki Chamber maka akan menyebabkan penurunan daya
hantar listrik. Jika penurunan daya hantartersebut jauh dibawah
tingkat yang ditentukan detektor, maka alarm akan berbunyi.
2. Detektor foto listrik (photo electric), bekerja dengan
berdasarkan sifat infra merah yang ditempatkan dalam suatu
unit kecil. Jika asap masuk ke dalam alat ini maka akan
mengacaukan jalannya infra merah dan dimanfaatkan untuk
pendeteksian.
2.13.2.3 Detektor Nyala
Batasan nyala akan memberikan tanggapan terhadap energi radiasi di dalam atau
di luar batas penghitungan manusia. Detektor ini peka terhadap nyala bara api,
arang atau nyala api kebakaran. Penggunaan detektor nyala adalah pada daerah
yang sangat mudah meledak atau terbakar (Soehatman Ramli, 2005). Detektor
nyala ini terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
1. Detektor sinar ultra ungu (ultraviolet detector),yaitu detektor nyala api
yangdisiapkan untuk melindungi benda-benda yang bila terbakar banyak
memancarkan cahaya putih kebiruan.
2. Detektor infra merah (infrared detector), yaitu detektor nyala api yang
disiapkan untuk melindungi bendabenda terbakar yang memancarkan cahaya
kemerahmerahan.
3. Flame flicker detector.
4. Photo electric flame detector.
2.13.3 Alat Pemadam Api Ringan (APAR)
APAR ialah alat yang ringan serta mudah digunakan oleh satu orang
untuk memadamkan api pada awal terjadinya kebakaran. Berikut ini beberapa
media yangpemadam api yang umum dipakai sebagai APAR :

40
a. Tepung kimia kering
APAR dengan serbuk kimia terdiri dari 2 jenis, yaitu:
a. Tabung berisi serbuk kimia dan sebuah tabung kecil (cartridge) yang berisi
gas bertekanan CO2 atau N2 sebagai pendorong serbuk kimia.
b. Tabung berisi serbuk kimia yang gas bertekanan langsung dimasukkan ke
dalam tabung bersama serbuk kimia (tanpa cartridge). Pada bagian luar tabung
terdapat indikator tekanan gas (pressure gauge) untuk mengetahui apakan kondisi
tekanan di dalam tabung masih memenuhi syarat atau tidak.
b. Air
APAR jenis ini membutuhkan gas CO2 atau N2 yang bertekanan yang berfungsi
untuk menekan air keluar.
c. Busa (foam)
APAR jenis ini juga membutuhkan gas CO2 atau N2 yang bertekanan untuk
menekan busa keluar.
d. Halon (cairan mudah menguap)
e. CO2
Tabung gas biasanya dilengkapi dengan indikator tekanan pada bagian luarnya.
Khususuntuk tabung yang berisi gas CO2, corong semprotnya berbentuk melebar,
berfungsi untuk merubah CO2 yang keluar menjadi bentuk kabut bila
disemprotkan.
f. Alat pemadam api beroda
Alat pemadam api ini sama dengan APAR, hanya ukurannya lebih besar
dengan berat antara 25 kg sampai dengan 150 kg dengan menggunakan serbuk
kimia atau gas. Untuk memudahkan bergerak, alat ini dilengkapi dengan roda
dan digunakan untuk memadamkan api yang lebih besar.
Indikator keberhasilan APAR dalam memadamkan api sangat tergantung
dari 4 faktor, yaitu:
a. Pemilihan jenis APAR yang tepat sesuai dengan klasifikasi kebakaran
b. Pengetahuan yang benar mengenai teknik penggunaan APAR
c. Kecukupan jumlah isi bahan pemadam yang ada dalam APAR
d. Berfungsinya APAR dengan baik

41
APAR merupakan pertahanan pertama terhadap kebakaran, dan sangat
efektif bila digunakan saat kebakaran masih berada pada tahap awal.Oleh karena
itu APAR harus disediakan di semua tempat yang mudah dijangkau.
Penggunaan APAR yang memenuhi syarat Permennaker No. Per.
04/Men/1980,sebagai berikut :
a. Setiap jarak 15 meter
b. Di tempat yang mudah dilihat atau dijangkau
c. Pada jalur keluar arah refleks pelarian
d. Memperhatikan suhu sekitarnya
e. Tidak terkunci
f. Memperhatikan jenis dan sifat bahan yang dapat terbakar
g. Intensitas kebakaran yang mungkin terjadi seperti jumlah bahan
bakar, ukurannya, dan kecepatan menjalarnya.
h. Orang yang akan menggunakannya
i. Kemungkinan terjadinya reaksi kimia
j. Efek terhadap keselamatan dan kesehatan orang yang menggunakan
APAR
2.13.4 Hidran
Hidran adalah rangkaian yang digunakan untuk pemadaman
kebakaran dengan bahan utama air.Ada hydrant yang dipasang di luar ataupun di
dalam gedung.Hydrant biasanya dilengkapi dengan selang (fire house) yang
disambung dengan kepala selang (nozzle) yang tersimpan rapi di dalam suatu
kotak hidran baja dengan warna cat merah mencolok (Ramli, 2010).
Pemasangan hidran kebakaran dalam mengamankan bangunan gedung
akan menjadi suatu keharusan. Pengujian dan pengawasan instalasi hidran
kebakaran untuk menjamin terpeliharanya instalasi tersebut agar dapat tetap
berfungsi dengan baik harus mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Menurut NFPA 14, instalasi hidran kebakaran adalah suatu sistem pemadam
kebakaran yang mengunakan media pemadam air bertekanan yang dialirkan
melalui pipa-pipa dan selang kebakaran. Sistem ini terdiri dari sistem persediaan
air, pompa perpipaan, kopling outlet dan inlet, selang, dan nozzle. Ada

42
beberapa klasifikasi hidran yaitu:
a. Berdasarkan jenis dan penempatan hidran
1. Hidran gedung, adalah hidran yang terletak di dalam bangunan atau
gedung dan instalasi serta peralatannya disediakan serta dipasang, dalam
bangunan gedung tersebut.
2. Hidran halaman, adalah hidran yang terletak di luar bangunan atau
gedung dan instalasi serta peralatannya disediakan serta dipasang di
lingkungan gedung tersebut.
b. Berdasarkan besar ukuran pipa hidran yang dipakai 1.
Hidran kelas I : menggunakan ukuran selang 2,5”
2. Hidran kelas II : menggunakan ukuran selang 1,5”
3. Hidran kelas III : ukuran sistem gabungan kelas I dan II
2.13.5 Sistem Sprinkler
Menurut Kepmen PU No. 10/KPTS/2000, sprinkler adalah alat pemancar air
untuk pemadaman kebakaran yang mempunyai tudung berbentuk deflektor pada
ujung mulut pancarnya, sehingga air dapat memancar ke semua arah secara merat.
Sprinkler atau sistem pemancar air otomatis bertujuan untuk mencegah meluasnya
peristiwa kebakaran. Sistem sprinklerharus dirancang untuk memadamkan
kebakaran atau sekurang-kurangnya mampu mempertahankan kebakaran untuk
tetap, tidak berkembang, untuk sekurang-kurangnya 30 menit sejak kepala
sprinkler pecah.
Menurut NFPA 13 ada beberapa jenis sistem sprinkler, diantaranya:
1. Sistem basah (wet pipe system)
Sistem sprinkler basah bekerja secara otomatis terhubung dengan sistem pipa yang
berisiair. Peralatan yang digunakan pada sistem sprinkler jenis terdiri dari
sumber air, bak penampungan, kepala sprinkler, tangki tekanan dan pipa air
dimana dalam keadaan keadaan normal, seluruh jalur pipa penuh dengan air.
Sistem ini paling terkenal dan paling sedikit menimbulkan masalah.
2. Sistem kering (dry pipe system)
Sistem sprinklerkering merupakan suatu instalasi sistem sprinkler otomatis yang
disambungkan dengan sistem perpipaannya yang mengandung udara atau nitrogen

43
bertekanan. Pelepasan udara tersebut akibatadanya panas mengakibatkan api
bertekanan membuka dry pipe valve
3. Sistem curah (deluge system)
Sistem curah biasanya untuk proteksi kebakaran pada trafo-trafo pembangkit
tenaga listrik atau gudang-gudang bahan kimia tertentu. Sistem ini menyediakan
air secara cepat untuk
seluruh area dengan memakai kepala sprinkler terbuka yang dihubungkan ke
supplai air melalui suatu valve. Valve ini dibuka dengan cara mengoperasikan
sistemdeteksi yang dipasang di area yang sama dengan sprinkler.Ketika valve
dibuka, air akan mengalir ke dalam sistem perpipaan dan dikeluarkan dari seluruh
sprinkleryang ada.
4. Sistem pra aksi (preaction system)
Komponen sistem pra aksi memiliki alat deteksi dan kutub kendali tertutup,
instalasi perpipaan kosong berisi udara biasa (tidak bertekanan) dan seluruh
kepala sprinkler tertutup. Valve untuk persediaan air dibuka oleh suatu sistem
operasi detektor otomatis yang dengan segera mengalirkan air dalam pipa.
Penggerak sistem deteksi membuka katup yang membuat air dapat mengalir ke
sistem pipa sprinkler dan air akan dikeluarkan melalui beberapa sprinkler yang
terbuka. Kepekaan alat deteksi pada sistem pra aksi ini diaturberbeda dan akan
lebih peka, maka dari itu disebut sistem pra aksi karena ada aksi pendahuluan
sebelum kepala sprinkler pecah.
5. Sistem kombinasi (combined system)
Sistem sprinklerkombinasi bekerja secara otomatis dan terhubung dengan sistem
yang mengandung air di bawah tekanan yang dilengkapi dengan sistem deteksi
yang terhubung pada satu area dengan sprinkler. Sistem operasi deteksi
menemukan sesuatu yang janggal yang dapat membuka pipa kering secara
simultan dan tanpa adanya kekurangan tekanan air
di dalam sistem tersebut. Menurut SNI 03-3989-2000, dikenal dua macam system
sprinkler yaitu sprinkler berdasarkan arah pancaran dan berdasarkan kepekaan
terhadap suhu. Berikut klasifikasi kepala sprinkler:
1. Berdasarkan arah pancaran:

44
a. pancaran ke atas,
b. pancaran ke bawah, dan
c. pancaran arah dinding.
2. Berdasarkan kepekaan terhadap suhu:
a. Warna segel
• Warna putih pada temperatur 93 °C
• Warna biru pada temperatur 141 °C
• Warna kuning pada temperatur 182 °C
• Warna merah pada temperatur 227 °C
• Tidak berwarna pada temperatur 68 °C/74 °C
b. Warna cairan dalam tabung gelas
• Warna jingga pada temperatur 53 °C
• Warna merah pada temperatur 68 °C
• Warna kuning pada temperatur 79 °C
• Warna hijau pada temperatur 93 °C
• Warna biru pada temperatur 141 °C
• Warna ungu pada temperatur 182 °C
• Warna hitam pada temperatur 201 °C/260 °C.
2.13.6 Program Pemeriksaan dan Pemeliharaan Sarana Proteksi Kebakaran
Penyediaan peralatan kebakaran seperti: APAR, instalasi alarm kebakaran
otomatik, sistem sprinkler, dan lain-lainnya di dalam suatu perusahaan adalah
agar kebakaran di tempat kerja tersebut dapat dihindari atau setidak-tidaknya
dikurangi/diperkecil. Agar maksud tersebut dapat tercapai maka peralatan
kebakaran yang telah disediakan harus selalu dalam keadaan siap untuk
digunakan atau siap bekerja setiap saat (Bahan Training Keselamatan Kerja dan
Penanggulangan Kebakaran, 1987). Pemerikasaan dan pemeliharaan dilakukan
untuk menjaga suatu peralatan tetap dalam kondisi siap untuk operasi.
Pemeriksaan dapat berupa inspeksi visual ataupun teknis. Inspeksi visual
dilakukan untuk melihat kondisi fisik dan kelengkapannya dan dilaksanakan
secara berkala sesuai kebutuhan. Sedangkan inspeksi teknis dilakukan untuk
mengetahui kualitas dan kehandalan serta dilaksanakan minimum satu kali

45
setahun atau sesuai peraturan yang berlaku.
Ketentuan Inspeksi dan Pemeliharaan Peralatan Pemadam Kebakaran

No Elemen Inspeksi dan Pemeliharaan

1 Detektor dan alarm Pemeriksaan awal disaat detektor


kebakaran. dan
Komponen : alarm diserahterimakan dan setiap
1 tahun sekali (meliputi uji fungsi
secara keseluruhan).
• Saklar, lampu, power • Mingguan
supply
• Control Unit Trouble • Mingguan dan setiap 6 bulan
Signals
• Emergency • Setiap 6 bulan
voice/alarm communication
equipment • Remote • Setiap 6 bulan
announciator

2 Alat Pemadam Api Setiap 6 bulan sekali meliputi uji


Ringan (APAR) fungsi/tes APAR.
Komponen :
• Fisik : tabung, segel, • 1 bulan sekali
selang, tekanan
• Label APAR (pada • 1 bulan sekali
tempatnya

3 Sprinkler
• Pressure gauge (wet • 1 bulan sekali • 1 tahun
pipe system) sekali
• Pipa dan sambungan • 1 tahun sekali
pipa • 4 bulan sekali & tes alarm
• Valve kontrol setiap 6 bulan sekali
• Alarm sprinkler • Test setiap 1 tahun sekali

46
• Aliran utama (main
drain
Sumber : Siswoyo, 2007; NFPA 72: National Fire Alarm Code, NFPA 10:
Standard for Portable Fire Extinguishers, dan NFPA 13Installation of
Sprinkler Systemsedisi 2002.
2.14 Standar Sarana Penyelamatan
2.14.1 Rute Penyelamatan Diri
Merupakan sarana penyelamatan dari daerah kebakaran ke tempat
aman atau daerah yang aman, baik secara vertikal maupun horizontal, yang dapat
berupa pintu, tangga, koridor jalan keluar atau kombinasi dari komonenkomponen
itu. Ada 3 tipe rute penyelamatan diri yang dapat digunakan :
a. Langsung menuju ke tempat terbuka
b. Melalui koridor atau gang
c. Melalui terowongan atau tangga kedap asap atau api
Rute penyelamatan diri harus memenuhi syarat sehingga memungkinkan
seluruh penghuni dapat menyelamatkan diri dengan cepat dan
aman.Persoalannya adalah bagaimana agar seluruh penghuni dapat
berevakuasi secara serentak, dalam waktu yang singkat dan aman.
2.14.2 Pintu Keluar (exits)
Dari hasil percobaan dalam keadaan normal jumlah rata-rata orang keluar dengan
satu baris tunggal tiap menit sebanyak 60 orang.Dalam perencanaan
diperhitungkan 40 orang/menit.Lebar unit exit yang diperlukan untuk dapat
dilalui tiap satu baris tunggal ditetapkan minimal 21 inchi.
2.14.3 Penempatan Pintu Keluar
Penempatan pintu keluar darurat harus diatur sedemikian rupa sehingga
dimana saja penghuni dapat menjangkau pintu keluar tidak melebihi jarak
yang telah ditetapkan.
2.14.4 Koridor dan Jalan Keluar
Koridor dan jalan keluar sangat perlu untuk memperlancar jalannya
para penghuni keluar meninggalkan daerah kebakaran/berbahaya menuju
tempat aman, apabila terjadi kebakaran.Koridor dan jalan keluar harus tidak licin,

47
bebas hambatan dan mempunyai lebar. Untuk koridor minimum 1,2 meter
dan untuk jalan keluar minimum 2 meter.
2.14.5 Pengamanan Rute Penyelamatan Evakuasi
a. Rute penyelamatan harus bebas dari barang-barang yang dapat
mengganggu kelancaran evakuasi dan mudah dicapai.
b. Koridor, terowongan, tangga darurat harus merupakan daerah aman
sementara dari bahaya api, asap, dan gas.
c. Rute penyelamatan harus diberi penerangan yang cukup dan tidak
tergantung dari sumber utama
d. Arah menuju exit harus dipasang petunjuk yang jelas
e. Pintu keluar darurat (emergency exit) harus diberi tanda tulisan
2.15 Manajemen Penanggulangan Keadaan Darurat Kebakaran
Tanggap darurat adalah suatu sikap untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, yang akan menimbulkan kerugian baik
fisik-material maupun mental spiritual (R.M.S. Jusuf, 2003).
Ditinjau dari sudut pandang ilmu manajemen, tanggap darurat (emergency
response) dalam setiap organisasi, khususnya di perusahaan/ industri (termasuk
rumah sakit), merupakan bagian dari salah satu fungsi manajemen yaitu perencaan
(planning) atau rancangan. Oleh karena itu, setiap organisasi –
perusahaan/industri harus mempersiapkan rencana/ rancangan untuk menghadapi
keadaan daruratberikut prosedur-prosedurnya, dan semua ini harus disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi secara menyeluruh (R.M.S. Jusuf, 2003).
Manajemen penanggulangan kebakaran bangunan gedung merupakan
bagian dari “Manajemen Bangunan” untuk mengupayakan kesiapan pengelola,
penghuni dan regu pemadam kebakaran terhadap kegiatan pemadaman yang
terjadi pada suatu bangunan gedung. Besar kecilnya organisasi manajemen
penanggulangan kebakaran ditentukan oleh risiko bangunan terhadap bahaya
kebakaran (Raden Hanyokro Kusumo Pragola Pati, 2008; Kepmen PU No.
11/KPTS/2000).
2.15.1 Organisasi Tanggap Darurat
Menurut Kepmen No. KEP.186/MEN/1999, organisasi tanggap darurat

48
kebakaran adalah satuan tugas yang mempunyai tugas khusus fungsional di
bidang kebakaran. Petugas peran penanggulangan kebakaran adalahpetugas yang
ditunjuk dan diserahi tugas tambahan untuk mengidentifikasi sumber bahaya dan
melaksanakan upaya penanggulangan kebakaran unit kerjanya.
Bentuk struktur organisasi tim penanggulangan kebakaran tergantung pada
klasifikasi risiko terhadap bahaya kebakarannya. Jumlah minimal anggota tim
penanggulangan kebakaran didasarkan atas jumlah penghuni/penyewa dan jenis
bahan berbahaya atau mudah terbakar/meledak yang disimpan dalam gedung
tersebut.
Struktur organisasi tim penanggulangan kebakaran terdiri dari penanggung
jawab tim penanggulangan kebakaran, kepala bagian teknik pemeliharaan, dan
kepala bagian keamanan (Raden Hanyokro Kusumo Pragola Pati, 2008; Kepmen
PU No. 11/KPTS/2000).
2.15.2 Prosedur Tanggap Darurat
Prosedur tanggap darurat merupakan tata cara dalam mengantisipasi
keadaan darurat yang meliputi rencana/rancangan dalam menghadapi keadaan
darurat, pendidikan dan latihan, penanggulangan keadaan darurat, pemindahan
dan penutupan. Prosedur operasional standar (POS) adalah tata laksana minimal
yang harus diikuti dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Dengan mengikuti ketentuan tersebut diharapkan tidak terjadi kebakaran atau
kebakaran dapat diminimalkan. Setiap bangunan gedung harus memiliki
kelengkapan POS, antara lain mengenai: pemberitahuan awal, pemadam
kebakaran manual, pelaksanaan evakuasi, pemeriksaan dan pemeliharaan
peralatan proteksi kebakaran, dan sebagainya (Raden Hanyokro Kusumo Pragola
Pati, 2008; Kepmen PU No. 11/KPTS/2000).
Dalam buku Bahan Training Keselamatan Kerja Penanggulangan
Kebakaran, dijelaskan bila terjadi kebakaran langkah-langkah yang harus diambil
bila terjadi kebakaran adalah sebagai berikut:
1. Membunyikan alarm.
2. Memanggil regu pemadam.
3. Pengungsian (meninggalkan tempat kerja).

49
4. Memadamkan api.
2.15.3 Pendidikan dan Latihan Tanggap Darurat Kebakaran
Latihan kebakaran merupakan suatu hal yang sangat penting, untuk itu setiap
anggota unit regu penanggulangan kebakaran dalam suatu tim tanggap darurat
harus melaksanakan atau mengikuti latihan secara kontinyu dan efektif, baik
latihan yang bersifat teori maupun yang bersifat praktik. Tujuan dari latihan
kebakaran adalah menciptakan kesiapsiagaan anggota tim di dalam menghadapi
kebakaran agar mampu bekerja untuk menanggulangi kebakaran secara efektif
dan efisien. Latihan yang bersifat praktik harus diberikan dengan tujuan untuk
mengetahui kemampuan atau kecakapan anggota dalam melaksanakan tugas yang
diharapkan (Raden Hanyokro Kusumo Pragola Pati, 2008; Kepmen PU
No.11/KPTS/2000).

50
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Keselamatan Kerja merupakan aspek paling penting pada pekerjaan.
2. Penggunaan alat pelindung diri dapat melindungi seluruh atau sebagian
tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja,
dan mengurangi resiko penyakit akibat kecelakaan.
3. Pemadaman kebakaran dilakukan sesuai dengan jenis kebakaran yang
terjadi
4. Alat pemadam harus selalu diperiksa secara berkala
3.2 Saran
1. Program K3 harus lebih ditingkatkan lagi supaya para pekerja lebih
merasa aman dan nyaman.
2. Perusahaan dan pemerintah harus lebih lagi mensosialisasi- kan
program K3 untuk meningkatkan dukungan pekerja terhadap
program K3 yang nantinya juga meningkatkan komitmen pekerja
terhadap perusahaan.

51
Daftar Pustaka
Anwar Prabu Mangkunegara, (2002), Manajemen Sumber Daya Manusia, PT.
Azmi, R. 2008. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Oleh P2K3 Untuk Meminimalkan Kecelakan Kerja Di PT Wijaya Karya Beton Tahun 2008.
Skripsi FKM USU. Medan.
Centre Tahun 2011 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Per.08/Men/VII/2010 tentang pelindung diri.
Depnaker – UNDP –ILO INS/84/012. Bahan Training Keselamatan Kerja
Penanggulangan Kebakaran. Jakarta, 1987.
Fatmawati, R. 2009. Audit Keselamatan Kebakaran di Gedung PT. X Jakarta Tahun
2009. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Hasibuan,Malayu S.P, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Bumi
Aksksara, Jakarta
Heinrich, H.W. 1931. Industrial Accident Prevention. Mc Graw Hill Book company:
New York.
Husni Lalu. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi.Jakarta:
Rajawali Pers.
Iswara, Ifan. Analisis Risiko Kebakaran di Rumah Sakit Metropolitan Medical.
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 10/KPTS/2000, Ketentuan Teknis
Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran Pada Gedung dan Lingkungan, Jakarta.
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT Pustaka Binaman
Manusia Menghadapi Abad ke-21. Jakarta: Erlangga.
Mathis, dan Jackson, 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi pertama,
Cetakan Pertama, Yogyakarta : Salemba Empat Pressindo
National Fire Protection Association (NFPA) 10, Standard for Portable Fire
Extinguishers. USA, 1998.
National Fire Protection Association (NFPA) 13, Installation of Sprinkler Systems.
USA, 1999.
National Fire Protection Association (NFPA) 72, National Fire Alarm Code. USA,
2002.
49

Ramli, Soehatman, “Petunjuk Praktis Manajemen Kebakaran (Fire Manajement)”,


Dian Rakyat, Jakarta, 2010
Ramli, Soehatman. Sistem Proteksi Kebakaran. FKM UI: Departemen K3,2005.
Randall S Schuler dan Susan E Jackson. (1999). Manajemen Sumber Daya
Remaja Rosda Karya, Bandung
Sari, Karla Juwita. Evaluasi sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran
pada Gedung Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia Kampus Depok Tahun 2007.
Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan K3. Depok. 2007.
Silalahi, Bennet & Silalahi, Rumondang. (1985). Seri Manajemen No. 112 :
Siswoyo. Evaluasi Sistem Proteksi Kebakaran Aktif dan Sarana Penyelamatan Jiwa
Di Gedung Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2007,[Skripsi]. Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, 2007.
SNI 03-3989-2000, Tata Cara Perencanaan dan Pemasangan Sistem Sprinkler
Otomatik Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Gedung.Jakarta.
Soemirat, Juli. 2000. Kesehatan Lingkungan. Bandung: Gadjah Mada University
Press.
Suma’mur, 1992. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: PT. Toko
Gunung Agung
Suma’mur. 1989. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT. Toko Gunung
Agung. Jakarta
Suma’mur. 2001. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, Jakarta : CV Haji
Masagung.
http://www.safetyshoe.com/tag/faktor-penyebab-kecelakaan-kerja-
k3/ http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/alat -pelindung-diri/
http://www.depnakertrans.go.id/news.html,707,naker
http://lindariski.blogspot.com/2010/04/makalah -apd.html
http://m.gajimu.com/main/pekerjaan-yanglayak/pekerjaan-yanglayak/jaminan-sosial
http://id.shvoong.com/exact-sciences/physics/2110400-pengertian-filter/
http://wishnuap.blogspot.com/2011/07/intisari-permenaker-no08-thn-2010-ttg.html
http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/alat -pelindung-diri/

50

Anda mungkin juga menyukai