Anda di halaman 1dari 2

DISTRAKSI MEDIA SOSIAL DAN ALIENASI MANUSIA

Oleh: Sindu Pranata, S.H, Alumni Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Masa kini adalah era dimana eksistensi “media sosial” menjadi otoritas tertinggi dalam
mendefenisikan manusia. Kita berlomba mendapatkan pengakuan di media sosial. Kita
selalu disibukkan dengan penilaian dalam riuh publik virtual. Hingga lupa mengenal diri
dalam sunyi.

Media sosial mendistraksi kehidupan manusia. Kita pun dengan mudah menilai kualitas
seseorang hanya dengaan banyaknya followers dan likes. Tak terelakkan, kehidupan
dunia maya menjadi gaduh, dibandingkan kehidupan itu sendiri. Lambat laun, sadar
maupun tak sadar, manusia kekinian semakin teralienasi dari dirinya sendiri.

Alienasi berasal dari kata kerja “alienere”, yaitu untuk menjadikan sesuatu milik orang
lain, membawa pergi, atau melepaskan. Dalam konteks ini, alienere bermakna
mengalihkan kepemilikan sesuatu kepada orang lain.

Keterasingan manusia filosofis

Dalam filsafat, diskursus mengenai “keterasingan manusia” atau “alienasi” menjadi


perbincangan hangat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Martin Heidegger, Friedrich
Hegel, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Samuel Beckett, Erich Fromm, dan para filsuf lainnya.
Hegel, misalnya, berpandangan bahwasanya pembahasan mengenai alienasi sangat
esensial karena terkait erat dengan munculnya kesadaran atau perasaan terhadap
“keliyanan”. Sementara itu, Marx membincang alienasi ketika dikaitkan dengan nasib
buruh yang dieksploitasi kaum borjuis.

Sedangkan, Fromm selangkah lebih maju dengan menawarkan solusi bahwa kesadaran
harus dimulai dari diri sendiri terhadap segala aspek kehidupan, dalam sektor ekonomi,
politik, spiritual, aktivitas kebudayaan, bahkan pemikiran filosofis. Dalam defenisinya,
alienasi adalah suatu cara pengalaman hidup ketika seseoraang mengalami dirinya
sebagai sosok yang terasing. Dengan kata lain, manusia merasa asing terhadap dirinya
sendiri, bahkan beranggapan bahwa dirinya tidak menjadi pusat dunianya dan pencipta
aktivitasnya sendiri.

Apabila kita menerjemahkan kegelisahan para filsuf, maka fenomena alienasi manusia
di era “hegemoni media sosial” sangat menggurita di era kontemporer ini. Media sosial
mendistraksi manusia dari kehidupannya, bahkan dari dirinya sendiri. Manusia lambat
laun gagap mendefenisikan diri karena telah didefenisikan oleh media sosial. Manusia
pun tak punya otentisitas dalam menentukan hidupnya sendiri karena menjadi
pengekor trend yang sedang digandrungi atau trending di media sosial. Bisa jadi
manusia tak sekedar “teralienasi”, melainkan menjadi “alien”.

Tak Terjebak dalam Keterasingan

Dalam fase perjalanan hidup ini, manusia dihadapkan pada pilihan. Manusia dapat
memilih untuk meninggikan derajatnya atau justru tersungkur dalam jurang kehinaan.
Manusia pun dapat mengenal jati dirinya atau justru terasing dengan dirinya sendiri.
Sejak mengenal dunia, seorang anak manusia mengawali kehidupannya dengan
berbagai pertanyaan. Ia menghadapi kenyataan bahwa realitas alam lahir ternyata
berbeda dengan tempatnya berpijak, seorang bayi pun merasa asing terhadap kondisi
sekitarnya. Namun, apakah seorang bayi teralienasi?

Meski pun seorang anak bayi merasa asing, tetapi ia memandang dirinya dengan sudut
pandang orang pertama (aku). Sayangnya, mayoritas manusia dewasa merasa asing
terhadap dirinya atau teralienasi dari dirinya sendiri karena memandang dunia dari
kaca mata orang lain. Jadi, satu-satunya jalan agar tak terjebak lagi dalam keterasingan
adalah mengenal diri sendiri secara otentik, menjawab pertanyaan “who am i?”.

Anda mungkin juga menyukai