Anda di halaman 1dari 33

SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1

DENGAN IKTERUS OBSTRUKTIF

DISUSUN OLEH :

YOGA PRATAMA ARSAN (211014401009)

WIZA ZAHARA JEFNITA (211014401021)

WIETRTIES SABABALAT (211014401010)

FALAH SHIFA (211014401013)

DEVI SAMIARTI (211014401022)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SUMATERA BARAT
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya kepada kita semua, sehingga berkat karunianya kami dapat menyelesaikan makalah
seminar kasus “Asuhan Keperawatan pada Ikterus Obstruktif”.
Dalam penyusunan tugas ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing kami Bu Ns. Renty Ahmalia, M.kep dan juga preceptor klinik kak Ns. Nella
Yufadhina, S.kep yang telah membimbing kami dan juga kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan tugas asuhan keperawatan ini. Dalam penyusunan asuhan
keperawatan ini, kami berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan
yang lebih luas kepada pembacanya.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan asuhan keperawatan ini terdapat kelebihan dan
kekurangannya sehingga kami mengharap kritik dan saran yang dapat memperbaiki penulisan
tugas selanjutnya.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3
A. Defenisi Ikterus Obstruktif...................................................................................................3
B. Etiologi.................................................................................................................................3
C. Patofisiologi..........................................................................................................................4
D. Manifestasi Klinis.................................................................................................................5
E. Pemeriksaan Penunjang........................................................................................................5
F. Penatalaksanaan....................................................................................................................9
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.........................................................................................11
BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................27
A. Kesimpulan.........................................................................................................................27
B. Saran...................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................28

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning. Ikterus adalah
gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan mukosa yang menjadi kuning karena
adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl.
Terdapat 3 jenis ikterus berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu ikterus prahepatik
(hemolitik), ikterus intrahepatik (parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif). Pada
ikterus obstruktif, kemampuan produksi bilirubin adalah normal, namun bilirubin yang
dibentuk tidak dapat dialirkan ke dalam usus melalui sirkulasi darah oleh karena adanya
suatu sumbatan (obstruksi).
Pada ikterus obstruktif, kemampuan produksi bilirubin adalah normal, namun bilirubin
yang dibentuk tidak dapat dialirkan ke dalam usus melalui sirkulasi darah oleh karena adanya
suatu sumbatan (obstruksi). Ikterus obstruksi dapat ditemukan pada semua kelompok umur,
tetapi bayi baru lahir dan anak-anak lebih rentan mengalami ikterus obstruksi karena struktur
hepar yang masih immatur. Bayi-bayi yang lahir prematur, BBLR, dan riwayat sepsis,serta
riwayat mendapat nutrisi parenteral dalam waktu lama meningkatkan risiko terjadinya ikterus
obstruksi (Hisham et al., 2007).
Kasus ikterus obstruksi post-hepatik terbanyak mengenai usia 50 – 59 tahun 29,3%.
Kasus ikterus obstruksi post-hepatik dapat mengenai jenis kelamin laki-laki dan perempuan
dimana jenis kelamin laki-laki sebanyak 65,9%. Hatfield et al, melaporkan bahwa kasus
ikterus obstruktif terbanyak adalah 70% karena karsinoma kaput pankreas, 8% pada batu
common bile duct, dan 2% adalah karsinoma kandung empedu. Adapun angka kejadian
ikterus obstruksi kausa Atresia Bilier (AB) di USA sekitar 1:15.000 kelahiran, danidominasi
oleh pasien berjenis kelamin wanita (Ringoringo, 1990). Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa 20% kasus batu empedu terdapat pada Common Bile Duct (CBD) atau
duktus koledokus, dan disebut juga dengan Choledocholithiasis yang biasanya berkembang
tanpa tanda dan gejala yang signifikan (Costi dkk, 2014).

1
Diprediksi di Indonesia prevalensi Choledocholithiasis tidak berbeda jauh dengan negara
lain di Asia Tenggara. Data di Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tahun
2022 tercatat sebanyak 45 kasus ikterus obstruktif di ruang bedah.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep penyakit dan asuhan keperawatan pada pasien dengan ikterus obstruktif?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep penyakit ikterus obstruktif
2. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan ikterus obstruktif?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Ikterus Obstruktif


Ikterus obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh obstruksi bilier (obstruksi
empedu), yaitu tersumbatnya saluran empedu yang membawa cairan empedu dari hati dan
kandung empedu menuju usus halus, berbagai penyebab seperti koledocholithiasis, striktur
saluran empedu, kolangiokarsinoma, karsinoma pankreas, pankreatitis, parasit dan kolangitis
sklerosis primer (Fekaj et al., 2017).
Menurut Sulaimat (2007), ikterus obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh
adanya obstruksi pada sekresi bilirubin pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal
seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal.
Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana kondisi ini
akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri (Sherly, 2008).
Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice /kekuningan yang disebabkan oleh
obstruksi yang menghalangi bilirubinmengalir ke jejunum.

B. Etiologi
Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian, yaitu ikterus
obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif ekstrahepatik. Ikterus obstruktif intrahepatik
pada umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran kanalikuli bilier sedangkan
ikterus obstruktif ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh karena adanya sumbatan
pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang menyebabkan terjadinya ikterus
obstruktif adalah sebagai berikut:
1. Ikterus obstruktif intrahepatik :
Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah hepatitis, penyakit hati
karena alkohol, serta sirosis hepatis (Aditya & Suryadarma, 2012). Peradangan
intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan ikterus.
2. Ikterus obstruktif ekstrahepatik :
a. Kolelitiasis dan koledokolitiasis

3
Batu saluran empedu mengakibatkan retensi pengaliran bilirubin terkonjugasi ke
dalam saluran pencernaan sehingga mengakibatkan aliran balik bilirubin ke dalam
plasma menyebabkan tingginya kadar bilirubin direk dalam plasma (Sjamsuhidajat,
2010).
b. Tumor ganas saluran empedu
Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita dengan kolelitiasis
dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Umur
kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis
tumor kebanyakan adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus.
c. Atresia bilier
Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran
empedu, sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin direk. Atresia bilier merupakan
penyebab kolestatis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak. Terdapat dua jenis atresia
biliaris, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk intrahepatik lebih jarang
dibandingkan dengan ekstrahepatik.
d. Tumor kaput pankreas
Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus dan sel asiner.
Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma duktus pankreas, dan
sebagian besar kasus (70%) lokasi kanker adalah pada kaput pankreas. Pada stadium
lanjut, kanker kaput pankreas sering bermetastasis ke duodenum, lambung,
peritoneum, hati, dan kandung empedu.

C. Patofisiologi
Ikterus secara umum terbagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik, ikterus hepatik, dan
ikterus posthepatik atau yang disebut ikterus obstruktif. Ikterus obstruktif disebut juga ikterus
posthepatik karena penyebab terjadinya ikterus ini adalah pada daerah posthepatik, yaitu
setelah bilirubin dialirkan keluar dari hepar.
Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase bilirubin direk sehingga bilirubin
tidak dapat diekskresikan ke dalam usus halus dan akibatnya terjadi aliran balik ke dalam
pembuluh darah. Akibatnya kadar bilirubin direk meningkat dalam aliran darah dan penderita
menjadi ikterik. Ikterik paling pertama terlihat adalah pada jaringan ikat longgar seperti

4
sublingual dan sklera. Karena kadar bilirubin direk dalam darah meningkat, maka sekresi
bilirubin dari ginjal akan meningkat sehingga urine akan menjadi gelap dengan bilirubin urin
positif. Sedangkan karena bilirubin yang diekskresikan ke feses berkurang, maka pewarnaan
feses menjadi berkurang dan feses akan menjadi berwarna pucat seperti dempul (acholis)
(Sjamsuhidajat, 2010).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dikeluhkan oleh pasien dengan ikterus obstruktif, bergantung
pada jenis penyakit yang menyebabkan obstruksi sehingga menyebabkan terjadinya ikterus.
Berikut ini merupakan manifestasi klinis yang secara umum dikeluhkan oleh pasien yang
mengalami ikerus, yaitu berupa:
1. Warna kuning pada sklera mata, sublingual, dan jaringan lainnya
Hal ini diakibatkan karena adanya peningkatan kadar bilirubin dalam plasma yang
terdeposit pada jaringan ikat longgar, salah satu diantaranya adalah sklera dan sublingual.
2. Warna urin gelap seperti teh
Adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang larut dalam air, menyebabkan tingginya
kadar bilirubin dalam plasma, sehingga kadar bilirubin yang berlebih dalam plasma
tersebut akan diekskresikan melalui urin dan menyebabkan warna urin menjadi lebih
gelap seperti teh.
3. Warna feses seperti dempul
Perubahan warna feses menjadi dempul disebabkan karena berkurangnya ekskresi
bilirubin ke dalam saluran pencernaan.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Rutin
1) Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya meningkat, maka
berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah terdapat peningkatan prothrombin
time (PT) atau tidak, karena apabila prothrombin time meningkat, maka perlu
dicurigai adanya penyakit hepar, atau obstruksi bilier

5
2) Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah kecoklatan seperti teh
secara makroskopis, serta terdapat kandungan bilirubin dalam urin atau tidak.
Apabila urin berwarna gelap kecoklatan, perlu dicurigai adanya peningkatan
kadar bilirubin direk yang diekskresikan melalui urin yang mengarah pada ikterus
obstruktif
3) Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau tidak. Feses yang
berwarna dempul, menandakan bahwa terdapatnya gangguan aliran bilirubin direk
ke dalam saluran intestinal akibat adanya suatu sumbatan pada aliran empedu.
b. Tes Faal Hati
Merupakan tes untuk mengetahui gambaran kemampuan hati untuk mensintesa
protein (albumin, globulin, faktor koagulasi), dan memetabolisme zat yang terdapat
dalam darah, meliputi:
1) Albumin
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air
dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport beberapa
komponen darah, seperti ion, bilirubin, hormone, enzim, dan obat. Apabila nilai
albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya gangguan fungsi hepar, infeksi
kronis, edema, ascites, sirosis, serta perdarahan.
2) Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT)
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat pada
jantung, otot, dan ginjal, namun ALT lebih banyak terdapat di dalam hati, dan
lebih spesifik menunjukan fungsi hati daripada AST. Apabila terjadi peningkatan
kadar ALT, maka perlu dicurigai adanya penyakit hepatoseluler, sirosis aktif,
obstruksi bilier, dan hepatitis. Nilai peningkatan yang signifikan adalah adalah
dua kali lipat dari nilai normal.
3) Aspartase Aminotransferase (AST/SGPT)
AST merupakan enzim yang memiliki aktivitas metabolism yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfe, pankreas dan paru-
paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan, atau kematian sel pada
jaringan tersebut akan mengakibatkan enzim ini terlepas ke dalam sirkulasi.

6
Apabila terjadi peningkatan, dapat dicurigai adanya penyakit hati, pancreatitis
akut, juga penyakit jantung seperti MI.
4) Gamma Glutamil Transferase (Gamma GT)
GGT terutama terdapat pada hati dan ginjal. GGT merupakan enzim marker
spesifik untuk fungsi hati dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT
adalah enzim yang diproduksi di saluran empedu sehingga meningkat nilainya
pada gangguan empedu, seperti kolesistitis, koletiasis, sirosis, atresia bilier,
obstruksi bilier. GGT sangat sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi peningkatan
hanya kadar GGT (bukan AST, ALT) bukan menjadi indikasi kerusakan hati.
5) Alkali fosfatase
Enzim ini merupakan enzim yang berasal dari tulang, hati, dan plasenta.
Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli bilier, ginjal, dan usus halus.
Pada penyakit hati, kadar alkali fosfatase akan meningkat karena ekskresinya
terganggu akibat obstruksi saluran bilier.
6) Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi akibat adanya penyakit
hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi peningkatan bilirubin direk biasanya
terjadi karena adanya obstruksi pada aliran ekskresi empedu.
2. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan ikertus obstruktif, dan merupakan langkah awal sebelum melangkah ke
pemeriksaan yang lebih lanjut apabila diperlukan. Yang perlu diperhatikan adalah:
a. Besar, bentuk, dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung empedu
yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2-3 x 6 cm, dengan ketebalan sekitar 3
mm.
b. Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. bila saluran empedu lebih
dari 5 mm berarti terdapat dilatasi. Apabila terjadi sumbatan pada daerah duktus
biliaris, yang paling sering terjadi adalah pada bagian distal, maka akan terlihat
duktus biliaris komunis melebar dengan cepat kemudian diikuti pelebaran bagian
proksimal. Perbedaan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dapat dibedakan. Pada
obstruksi letak tinggi atau intrahepatal, tidak tampak pelebaran duktus biliaris

7
komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal, maka ini
disebut dengan obstruksi letak rendah (distal).
c. Ada atau tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas tinggi
disertai bayangan akustik (acoustic shadow), dan ikut bergerak pada perubahan
posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor, akan terlihat masa padat
pada ujung saluran empedu dengan densitas rendah dan heterogen.
d. Apabila terdapat kecurigaan penyebab ikterus obstruktif adalah karena karsinoma
pankreas, dapat terlihat adanya pembesaran pankreas lokal maupun menyeluruh,
perubahan kontur pankreas, penurunan ekhogenitas, serta dapat ditemukan adanya
pelebaran duktus pankreatikus.
3. PTC (Percutaneus Transhepatic Cholaniography)
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat duktus biliaris serta untuk menentukan
letak penyebab sumbatan. Dengan pemeriksaan ini dapat diperoleh gambaran saluran
empedu di proksimal sumbatan. Bila kolestasis karena batu, akan memperlihatkan
pelebaran pada duktus koledokus dengan didalamnya tampak batu radiolusen. Bila
kolestasis karena tumor, akan tampak pelebaran saluran empedu utama (common bile
duct) dan saluran intrahepatik dan dibagian distal duktus koledokus terlihat ireguler oleh
tumor.
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)
Pemeriksaan ERCP merupakan tindakan langsung dan invasif untuk mempelajari
traktus biliaris dan system duktus pankreatikus. Indikasi pemeriksaan ERCP, yaitu:
a. Penderita ikterus yang tidak atau belum dapat ditentukan penyebabnya apakah
sumbatan pada duktus biliaris intra atau ekstra hepatic, seperti:
 Kelainan di kandung empedu
 Batu saluran empedu
 Striktur saluran empedu
 Kista duktus koledokus
b. Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kealainan pancreas serta untuk
menentukan kelainan, baik jinak ataupun ganas, seperti:
 Keganasan pada sistem hepatobilier
 Pankreatitis kronis

8
 Tumor panreas
 Metastase tumor ke sistem biliaris atau pancreas

F. Penatalaksanaan
Tatalaksana ikterus sangat tergantung pada penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hepatoseluler, biasa ikterus akan menghilang sejalan dengan
perbaikan penyakitnya. Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya
membutuhkan tindakan pembedahan.
1. Tatalaksana kolelitiasis
Pada pasien dengan kolelitiasis dapat dilakukan tindakan operatif kolesistektomi,
yaitu dengan mengangkat batu dan kandung empedu. Kolesistektomi dapat berupa
kolesistektomi elektif konvensional (laparatomi) atau dengan menggunakan laparaskopi.
Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun laparaskopik adalah
adalah kolelitiasis asimptomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan
kolesistitis akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi lain adalah kandung
empedu yang tidak terlihat pada kolesistografi oral, yang menandakan stadium lanjut,
atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm karena batu yang
besar lebih sering menyebabkan kolesistitis akut dibandingkan dengan batu yang lebih
kecil. Indikasi lain adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan
kejadian karsinoma.
2. Tatalaksana tumor ganas saluran empedu
Tatalaksana terbaik adalah dengan pembedahan. Adenokarsinoma saluran empedu
yang baik untuk direseksi adalah yang terdapat pada duktus koledokus bagian distal atau
papilla Vater. Pembedahan dilakukan dengan cara Whipple, yaitu pankreatiko-
duodenektomi.
3. Tatalaksana atresia bilier
Tatalaksana atresia bilier ekstrahepatik adalah dengan pembedahan. Atresia bilier
intrahepatik pada umumnya tidak memerlukan pembedahan karena obstruksinya relatif
bersifat ringan. Jenis pembedahan atresia bilier ekstrahepatik adalah portoenterostomi
teknik Kasai dan bedah transplantasi hepar.
Bedah dekompresi portoenterostomi

9
Langkah pertama bedah portoenterostomi adalah membuka igamentum hepatoduodenale
untuk mencari sisa saluran empedu ekstrahepatik yang berupa jaringan fibrotik. Jaringan
fibrotik ini diikuti terus kearah hilus hati untuk menemukan ujung saluran empedu yang
terbuka di permukaan hati. Rekonstruksi hubungan saluran empedu di dalam hati dengan
saluran cerna dilakukan dengan menjahitkan yeyunum ke permukaan hilus hati. Apabila
atresia hanya terbatas pada duktus hepatikus komunis, sedangkan kandung empedu dan
duktus sitikus serta duktus koledokus paten, maka cukup kandung empedu saja yang
disambung dengan permukaan hati di daerah hilus. Pada bayi dengan atresia saluran
empedu yang dapat dikoreksi langsung, harus dilakukan anastomosis mukosa dengan
mukosa antara sisa saluran empedu dan duodenum atau yeyunum.
Komplikasi pascabedah adalah kolangitis berulang yang timbul pada 30-60%
penderita yang dapat hidup lama. Kolangitis umumnya mulai timbul 6-9 bulan setelah
dibuat anastomosis. Pengobatan kolangitis adalah dengan pemberian antibiotik selama
dua minggu.
Jika dilakukan transplantasi hati, keberhasilan transplantasi hati setelah satu tahun
berkisar antara 65-80%. Indikasi transplantasi hati adalah atresia bilier intrahepatik yang
disertai gagal hati.
4. Tatalaksana tumor kaput pankreas
Sebelum terapi bedah dilakukan, keadaan umum pasien harus diperbaiki dengan
memperbaiki nutrisi, anemia, dan dehidrasi. Pada ikterus ibstruksi total, dilakukan
penyaliran empedu transhepatik sekitar 1 minggu prabedah. Tindakan ini bermanfaat
untuk memperbaiki fungsi hati.
Bedah kuratif yang mungkin berhasil adalah pankreatiko-dudenektomi (operasi
Whipple). Operasi Whipple ini dilakukan untuk tumor yang masih terlokalisasi, yaitu
pada karsinoma sekitar ampula Vateri, duodenum, dan duktus koledokus distal. Tumor
dikeluarkan secara radikal en bloc, yaitu terdiri dari kaput pankreas, korpus pancreas,
duodenum, pylorus, bagian distal lambung, bagian distal duktus koledokus yang
merupakan tempat asal tumor, dan kelenjar limf regional.

10
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. BIODATA
1. Identitas pasien
Initial : Ny. D
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : IRT
Tanggal masuk : 7 Januari 2023
Alamat : Jl. Bahder Johan Kel. Puhun Tembok Puhun Tembok Kec.
Mandiangin K. Selayan, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat
Diagnose medis : Post LECBD ec. Ikterus Obstruktif

2. Penanggung jawab
Nama : Tn. A
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh harian lepas
Hubungan dengan pasien : Suami

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan utama :
Nyeri ulu hati sejak 12 hari yang lalu, nyeri meningkat sejak 1 hari SMRS
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan nyeri di epigastrium sejak 12 hari yang lalu, nyeri dirasakan hilang
timbul, nyeri terasa seperti sensasi terbakar. Pasien mengeluh terasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, terasa kembung, mual (+), distensi abdomen (+). Pasien
mengatakan adanya penurunan nafsu makan sejak 12 hari yang lalu. Pasien mengeluh
letih, lesu, pusing (-), demam (-), sesak nafas (-). BAK normal, tidak berdarah, urin

11
berwarna teh BAB Normal, ada riwayat penyakit hiperkolosterolmia. Pada saat
pengkajian, pasien post op hari 1, keaadaan umum lemah, pasien mengeluh nyeri pada
bekas operasi, nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk, skala nyeri 3 dan nyeri hilang timbul,
pasien mengeluh lemas dan semua aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
3. Riwayat perawatan dan Kesehatan dahulu :
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit kronis seperti hipertensi, DM,
jantung, dan lainnya. Pasien mengatakan memiliki riwayat nyeri pada abdomen sejak 1 th
yang lalu dan biasanya pasien minum obat. Pasien mengonsumsi obat penghilang nyeri
paracetamol sejak 13 hari yang lalu.
4. Riwayat Kesehatan keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama atau penyakit kronis lainnya.

C. POLA KESEHATAN FUNGSIONAL


1. Pola persepsi dan pemeliharaan Kesehatan
Pasein mengatakan biasanya minum obat jika terkena penyakit yang ringan, dan pergi ke
pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit jika penyakit pasien sudah
mengganggu aktivitas sehari-hari
2. Pola Nutrisi dan Metabolik
Nafsu makan pasien menurun. Pasien makan 3 kali sehari dan porsi makan tidak habis.
Mulut pasien bersih.
3. Pola eliminasi
BAK 6-7x/hari. Bau khas. Jumlah urin : 800cc/hari. Urin pasien seperti teh
BAB 1x/hari, konsistensi lunak
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pasien sehari-hari tidak bekerja dan hanya di rumah saja, tidak ada masalah dengan
aktivitas pasien sebelum sakit. Saat sakit pasien sulit beraktivitas karena merasa nyeri,
pasien sering merasa lelah.
5. Pola Istirahat dan Tidur
Pasien tidur di malam hari selama 6-8 jam. Tidak ada masalah dengan pola tidur pasien.
6. Pola persepsi sensori dan kognitif

12
Pasien dapat berkomunikasi dengan baik, pandangan pasien baik dan jelas, pasien dapat
menjawab pertanyaan perawat, pasien masih belum mengerti tentang penyakit yang
dideritanya.
7. Pola hubungan dengan orang lain
Keluarga pasien mengatakan pasien mampu berinteraksi dan mengenal lingkungan
dengan baik, pasien ramah dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya
8. Pola Reproduksi dan Seksual
Pasien sudah menikah dan memiliki 3 orang anak. Tidak ada masalah dengan organ
reproduksi pasien.
9. Persepsi diri dan konsep diri
Pasien menyadari perannya sebagai istri dan ibu dari 3 anak. Pasien menyadari dirinya
sakit dan mengganggu aktivitas sehari-hari sehingga memerlukan pertolongan. Pasien
mengatakan dirinya ingin segera sembuh dan dapat beraktivitas seperti biasa.
10. Pola mekanisme koping
Keluarga pasien mengatakan bila ada masalah, pasien selalu membicarakan dengan istri
dan anak-anaknya. Pasien tampak cemas karena penyakit yang dideritanya.
11. Pola Nilai Keyakinan
Pasien beragama islam dan mengatakan selalu sholat 5 waktu dan berdoa atas
kesembuhan penyakitnya.

D. PENGKAJIAN FISIK
1. Keadaan umum: Sedang
2. Tingkat kesadaran : Composmentis
3. Tanda tanda vital:
a. Suhu tubuh: 38,1 C
b. Tekanan darah : 119/63 mmHg
c. Respirasi : 20x/menit
d. Nadi : 110x/menit
4. Pengukuran antropometri:
TB : 150 cm BB : 71 kg IMT : 31,5 (Obesitas)
5. Kepala :

13
a. Ukuran : Normocepal
b. Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut
c. Wajah : Simetris
d. Deformitas : Tidak ada
e. Oedem : Tidak ada
6. Mata :
a. Nyeri : Tidak ada
b. Diplopopia : Tidak ada
c. Penglihatan : Normal
d. Udem palpebra : Tidak ada
e. Konjungtiva : Tidak Anemis
f. Sklera : Ikterik
g. Pupil : Isokor, diameter 2mm/2mm
h. Reflek cahaya : +/+
7. Hidung :
a. Deformitas : Tidak ada
b. Penyumbatan : Tidak ada
c. Epistaksis : Tidak ada
d. Sekret : Tidak ada
e. Penciuman : Normal, tidak ada gangguan
f. Nyeri : Tidak ada
8. Telinga :
a. Nyeri tekan : tidak ada
b. Cairan : Tidak ada
c. Bunyi mendenging : Tidak ada
d. Pendengaran : Normal , tidak ada gangguan
9. Mulut :
a. Bibir : Tidak sianosis
b. Gigi : Lengkap
c. Palatum : Tidak hiperemis
d. Lidah kotor : tidak

14
e. Tonsil : Tidak ada pembesaran
f. Gangguan mengecap : Tidak ada
g. Lidah : Tidak ada deviasi
h. Atrofi papil lidah : Tidak ada
i. Gusi : Tidak berdarah
10. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran tiroid, JVP 5-
2cm, kaku kuduk tidak ada, tumor tidak ada, trakea berada di tengah
11. Dada dan torak
a. Paru-paru
I : Simetris, kedalaman nafas normal, keceepatan pernafasan normal, jenis pernafasan
thorako abdominal, tanda-tanda distres pernafasan (-), tidak ada lesi, tidak ada edema,
pembengkakan (-)
P : Fremitus sama kanan kiri
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Wheezing (-)
b. Jantung
I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis teraba 1 jari medial midclavikularis sinistra (RIC V)
P : Batas jantung kiri 1 jari medial dilinea midclavikularis sinistra, batas jantung
kanan linea parastenaris dextra, atas RIC 2
A : Irama jantung reguler, Gallop tidak ada, Murmur tidak ada, M1 > M2, A2 > P2
c. Abdomen
I : Simeteris, siktarik tidak ada, pelebaran vena tidak ada, pembesaran tidak ada
P : Ada nyeri tekan di regio hipokondestum kanan dan epigastrium, nyeri lepas tidak
ada, hepatomegali tidak ada, splenomegali tidak ada, ballotement negatif.
P : Timpani
A : Bising usus normal, 24x/menit
12. Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan
13. Pembuluh darah
a. Temporalis : teraba kuat angkat kanan & kiri
b. Carotis : teraba kuat angkat kanan & kiri

15
c. Brachialis : teraba kuat angkat kanan & kiri
d. Radialis : teraba kuat angkat kanan & kiri
14. Kulit : sawo matang, efloresensi (-), pigmentasi (-), sikatrik (-), CRT <2dtk, striat alba
ada di abdomen
15. Ekstermitas
a. Esktermitas superior : Akral hangat, pitting edema tidak ada, kekuatas otot 555/555,
reflek fisiologis (+), patologis (-), sensibilitas halus (+), tidak ada deformitas, tidak
ada edema, hiperpigmentasi (-), ulkus (-), clubbing finger (-)
b. Ekstermitas Inferior : Akral hangat, pitting edema tidak ada, kekuatas otot 555/555,
reflek fisiologis (+), patologis (-), sensibilitas halus (+), tidak ada deformitas, tidak
ada edema, hiperpigmentasi (-), ulkus (-), clubbing finger (-)

E. PENGKAJIAN KEAMANAN
1. Skor pengkajian resiko jatuh (Morse Fall Risk Instrument) : 10 (Resiko rendah)

F. DATA PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan 7 Januari 2023

Pemeriksaan Hasil Satuan


Kreatinin 0.60 Mg/dl
Urea 11.1 Mg/dl
RGS 4.85 106/uL
HCT 43.5 %
MCV 89.7 fL
MCH 29.3 Pg
WBC 10.190 uL
PLT 236.000 uL

16
Hasil Pemeriksaan 21 Januari 2023

Pemeriksaan Hasil Satuan


Hb 11.6 g/dl
Eritrosit 3.97 106/uL
Hematokrit 35.4 %
MCV 89.2 fL
MCH 29.2 Pg
MCHC 32.8 Mg/dl
RDW - SD 45.9 fL
RDW - CV 13.9 %
Leukosit 14.66 103/uL
Trombosit 343 103/uL

Hasil Pemeriksaan 24 Janurai 2023

Pemeriksaan Hasil Satuan


SGPT 45 U/L
SGOT 25 U/L
Albumin 3.1 g/dl
Bilirubin Direct 1.14 Mg/dl
Bilirubin indirect 0.05 Mg/dl
Bilirubin total 1.19 Mg/dl
Globulin 3.1 g/dl
Total Protein 71. g/dl
Creatinin 0.62 Mg/dl
Urea 19.8 Mg/dl
Kalium 3.20 mEq/l
Natrium 139.5 mEq/l
Klorida 103.9 mEq/l

17
2. Diit yang diperoleh
Diit MC 6x50 cc
3. Terapi
a. IUVD RL 500ml/8jam
b. Ceftriaxone 2x1gr
c. Omeprazole 2x4 g
d. Ketorolac 3x3 mg
e. UDCA 3x1

G. ANALISA DATA

Data Masalah Etiologi


DS : Nyeri Akut Obstruksi dalam lumen
Pasien mengatakan nyeri pada saluran
bekas op
P : Prosedur incasif Adanya gangguan aliran
Q : Terasa seperti tertusuk-tusuk empedu
R : Abdomen
S:3 Penimbunan pigmen empedu

T : Hilang timbul
Penumpukan bilirubin

DO :
Ikterus
 Pasien tampak meringis
 Pasien tampak lemah
Post Op
 TD : 119/63 mmHg
 S : 38.1 C
Luka post operasi
RR : 20x/menit
N : 110x/menit Nyeri akut
DS : Intoleransi aktivitas Ikterus
Pasien mengeluh lemah dan tidak
dapat melakukan aktivitas Konsentrasi asam empedu

18
DO : intraluminal turun
 Aktivitas dibantu keluarga dan
perawat Penurunan kalsium

 Pasien tampak lemah


Defisiensi vitamin larut
 Pasien tirah baring
lemak
 TD : 119/63 mmHg
S : 38.1 C
Malnutrisi
RR : 20x/menit
N : 110x/menit
Resiko Defisit Nutrisi
DS : Resiko Infeksi Post Op
Pasien mengeluh nyeri bekas op
Luka post operasi
DO :
 Terdapat luka bekas operasi Adanya post dentre
pada abdomen
 Pasien tampak lemah Peningkatan resiko infeksi
oleh kuman
 Pasien tampak menghindari
luka
Resiko Infeksi
 Panjang luka 10cm
 Terdapat kemerahan pada
daerah luka
 Leukosit : 14.66
 TD : 119/63 mmHg
S : 38.1 C
RR : 20x/menit
N : 110x/menit

19
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut b.d agen pencidera fisik d.d kondisi pembedahan
2. Intoleransi Aktivitas b.d tirah baring
3. Resiko Infeksi b.d efek prosedur invasif
I. PERENCANAAN

No Diagnosa Luaran Intervensi


1 Nyeri akut b.d agen Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
pencidera fisiologis Setelah dilakukan tindakan a. Observasi
keperawatan diharapkan  Identifikasi lokasi,
nyeri berkurang dengan karakteristik, durasi,
kriteria hasil: frekuensi, kualitas,
 Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri
 Meringis, sikap protektif  Identifikasi skala nyeri
dan gelisah menurun  Identifikasi respon nyeri
 Diaforesis menurun nonverbal
 Frekuensi nadi, pola  faktor yang memperberat
nafas dan tekanan darah dan memperingan nyeri
membaik  Monitor efek samping
penggunaan analgetik
b. Terapeutik
 Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan
tidur
 Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi

20
meredakan nyeri
c. Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik

3 Intoleransi Aktivitas Toleransi Aktivitas Manajemen Energi


b.d tirah baring Setelah dilakukan asuhan a. Observasi
keperawatan diharapkan  Identifikasi gangguan
toleransi aktivitas fungsi yang
meningkat dengan kriteria mengakibatkan
hasil : kelelahan
 Frekuensi nadi  Monitor kelelahan fisik
meningkat dan emosional
 Kemudahan melakukan  Monitor pola tidur
aktivitas sehari-hari  Monitor lokasi dan
meningkat ketidaknyamanan
melakukan aktivitas

21
b. Terapeutik
 Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus
 Lakukan latihan rentang
gerak pasif/ aktif
 Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi
tempat
c. Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
d. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

3 Resiko Infeksi b.d Tingkat Infeksi Pencegahan Infeksi


efek prosedur invasif Setelah diakukan tindakan a. Observasi
keperawatan diharapkan  Monitor gejala infeksi
Tingkat infeksi menurun. lokal dan sistemik
Kriteria Hasil : b. Terapeutik
 Kebersihan tangan  Batasi jumlah
meningkat pengunjung
 Kebersihan badan  Berikan perawatan kulit
meningkat pada daerah edema

22
 Nyeri menurun  Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien
 Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
beresiko tinggi
c. Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara memeriksa
luka
 Anjurkan meningkatkan
asupan cairan

23
J. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Hari/tgl Diagnosa Implementasi Evaluasi


24/1/2023 Nyeri Akut  Monitor TTV S:
 Monitor keadaan umum pasien  Pasien mengatakan nyeri bekas operasi
 Mengkaji keluhan pasien  Pasien mengatakan masih lemah
 Memberikan terapi obat  P : Bekas operasi
 Mengajarkan teknik nafas dalam untuk  Q : Nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk
mengurangi nyeri  R : Perut
 S:3
Intoleransi  T : Hilang timbul
Aktivitas  Memonitor keadaan umum pasien
 Menyediakan lingkungan yang nyaman O:
dan rendah stimulus  Keadaam umum sedang
 Membantu aktivitas sehari-hari pasien  Pasien tampak lemah
 Pasien tampak meringis
 TD : 110/70 mmHg
Resiko Infeksi
N : 108x.menit
 Mempertahankan teknik aseptik
S : 37.5 C
 Membatasi pengunjung
RR :17x/menit
Mencuci tangan sebelum dan setelah
 Aktivitas masih dibantu perawat dan
kontak dengan pasien
keluarga

24
A : Masalah belum teratasi

P : Intervensi dilanjutkan
25/1/2023 Nyeri Akut  Memonitor TTV S:
 Monitor keadaan umum pasien  Pasien mengatakan masih nyeri pada
 Mengkaji keluhan pasien bekas operasi

 Mengkaji keluhan nyeri pasien  Pasien mengatakan masih leamas

 Mengajarkan teknik nafas dalam untuk  P : Bekas operasi


mengurangi nyeri  Q : Nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk

Intoleransi  R : Perut

Aktivitas  Memonitor keadaan umum pasien  S:3


 Memberikan terapi sesuai order dokter  T : Hilang timbul
 Menyediakan lingkungan yang nyaman
dan rendah stimulus O:
 Membantu aktivitas sehari-hari pasien  Keadaam umum sedang
 Memberikan aktivitas distraksi yang  Pasien masih lemah
menyenangkan  Pasien tampak meringis sesekali
 TD : 115/70 mmHg
Resiko Infeksi
 Mempertahankan teknik aseptik N : 111x.menit
 Membatasi pengunjung S : 37.1 C
 Mencuci tangan sebelum dan setelah RR : 18x/menit

25
kontak dengan pasien  Aktivitas masih dibantu perawat dan
 Mengajarkan pasien dan keluarga cara keluarga
memeriksa luka  Pasien mengeerti dengan teknik nafas
dalam yang diajarkan
 Keluarga mengerti dengan penjelasan
cara memeriksa luka

A : Masalah belum teratasi

P : Intervensi dilanjutkan
26/1/2023 Nyeri Akut  Memonitor TTV S:
 Monitor keadaan umum pasien  Pasien mengatakan masih nyeri pada
 Mengkaji keluhan pasien bekas operasi

 Mengidentifikasi nyeri pasien  Pasien mengatakan mulai membaik

 Menganjurkan teknik nafas dalam saat  P : Bekas operasi


nyeri timbul  Q : Nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk
 Memberikan terapi sesuai order dokter  R : Perut
 S:2
Intoleransi  T : Hilang timbul
Aktivitas  Memonitor keadaan umum pasien
 Menyediakan lingkungan yang nyaman O:
dan rendah stimulus  Keadaam umum membaik

26
 Memfasilitasi duduk di sisi tempat  TD : 110/70 mmHg
tidur N : 99x.menit
 Membantu aktivitas sehari-hari pasien S : 36,8 C
Resiko Infeksi
RR : 18x/menit
 Memonitor tanda dan gejala infeksi  Aktivitas masih dibantu perawat dan
 Mempertahankan teknik aseptik keluarga
 Membatasi pengunjung  Keluarga mengerti dengan penjelasan
 Mencuci tangan sebelum dan setelah tanda dan gejala infeksi
kontak dengan pasien
 Menjelaskan tanda dan gejala infeksi A : Masalah teratasi sebagian

P : Intervensi dilanjutkan

27
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus biliaris (yang sering terjadi bila
sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus) atau kerusakan sel hati (yang
terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan bilirubin adalah normal, tapi bilirubin yang
dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus. Dengan demikian, ikterus obstruktif
merupakan jaundice atau kekuningan yang disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi
bilirubin mengalir ke jejunum. Ikterus obstruktif atau bisa juga disebut kolestasis dibagi
menjadi 2 yaitu kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Diagnosa keperawatan yang sering
muncul pada pasien dengan ikterus obstruktif diantaranya nyeri akut, intoleransi aktivitas,
resiko defisit nutrisi, gangguan itergritas kulit, resiko infeksi, ansietas.

B. Saran
Pemahaman terhadap keadaan fisiologi, disertai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang yang tepat diharapkan dapat menegakkan diagnosis yang tepat
sehingga dapat ditentukan tatalaksana apa yang terbaik untuk pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

Fadhilah, L. N. (2020). Leukosit dan Kadar Bilirubin Total pada Ikterus Obstruktif yang
Disebabkan oleh Tumor Pankreas. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 183–189.
Ringoringo, P. dr. (1990). Atresia Bilier dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 86, 1993.
Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku ajar ilmu bedah (3rd ed.). EGC.
Sulaiman, A. (2007). Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
(5th ed.). Penerbitan FKUI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik Edisi 1. Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan Edisi 1. Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Defenisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1. Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Yuliana Sherly M, Haris Widita, IG Ardita, S. S. (2006). PERAN BIOPSI HEPAR DALAM
MENEGAKKAN DIAGNOSIS IKTERUS OBSTRUKTIF EKSTRA HEPATIK. Jurnal
Penyakit Dalam, 7(3).
Yusmaidi, Y., Rafie, R., & Permatasari, A. (2020). Karakteristik Pasien Ikterus Obstruktif Et
Causa Batu Saluran Empedu. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 328–333.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.277

29

Anda mungkin juga menyukai