Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SISTEM PENGATURAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN


Disusun guna memenuhi tugas terstruktur pada
Mata Kuliah Pendanaan dan Mata Manajemen Pendanaan dan Pembiayaan Bank Syariah

DOSEN PENGAMPU:
Riska Wijayanti, S.H.,M.H

DISUSUN OLEH:
Charir Da Taftia Chamuda (2105036154)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO


SEMARANG
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PERBANKAN SYARIAH
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................i
1. Latar Belakang Masalah.......................................................................................................1
2. Rumusan Masalah.................................................................................................................4
3. Tujuan Makalah....................................................................................................................4
4. Penelitian Terdahulu.............................................................................................................4
5. Tinjauan Pustaka...................................................................................................................7
5.1 Otoritas Pengawasan Bank dan Dasar Hukum..............................................................7
5.2 Aspek Hukum Pengawasan oleh DPS dan OJK............................................................8
5.3 Konsep Pengawasan Perbankan di Indonesia...............................................................9
5.4 Sistem dan Kegiatan Usaha Bank Syariah..................................................................10
5.5 Sistem dan Strategi Pengawasan Bank........................................................................14
5.6 Siklus Pengawasan Bank dan Sistem Penilaian Kesehatan Bank...............................14
6. Pembahasan........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21

i
1. Latar Belakang Masalah
Struktur lembaga keuangan yang sehat dan modern tidak terlepas dari perkembangan
ekonomi suatu negara yang fluktuatif. Sistem Lembaga Keuangan Non-Bank dan Sistem
Lembaga Keuangan Bank merupakan bagian dari sistem keuangan Indonesia secara
keseluruhan. Keberadaan lembaga perbankan memberikan dampak yang signifikan terhadap
perekonomian Indonesia. sebuah negara. “Perbankan nasional berfungsi sebagai sarana
pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha
kecil, menengah, dan koperasi” (Imaniyati, 2010).
“The banking sector holds a pivotal part in the evolution of an economy; it is a central
driver of economic growth of the country and has a dynamic character to play in converting
the idle resources for their optimum utilization to achieve maximum productivity” (Bahago,
Jelilov, & Celik, 2019). Sistem lembaga keuangan bank lebih banyak digunakan dan dikenal
dari dua sistem lembaga keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang fungsi utamanya
menghimpun dan mendistribusikan kembali dana masyarakat, bank harus membangun sistem
perbankan yang sehat. sistem perbankan memiliki:mampu mengayomi kepentingan
masyarakat.Hal ini penting karena sistem perbankan telah menghimpun dana masyarakat
yang cukup besar, dan kegagalan sistem perbankan akan mempengaruhi kepentingan
masyarakat secara keseluruhan.Kedua, perbankan, yaitu mampu mengendalikan uang dan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Bank dituntut untuk dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat karena berfungsi sebagai perantara.
Untuk menggerakkan perekonomian masyarakat, bank berperan penting dalam
mengalihkan dana masyarakat dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang
membutuhkan. Baik laju inflasi maupun daya beli masyarakat perlu dikendalikan agar tidak
membebani masyarakat. masyarakat. Ketiga, bank dapat mengembangkan usahanya secara
efektif dan adil. Persaingan yang ketat dapat mengakibatkan inovasi dan praktik perbankan
yang tidak sehat yang menimbulkan risiko bagi masyarakat. “Risk-based supervision
concepts are embedded in the Basel core principle for effective banking supervision and are
part of the International Monetary Fund and World Bank’s Financial Sector Assessment
Program of countries” (Helsinki, 2014).
Karena dipandang perlu untuk mendukung peredaran uang di Indonesia, maka sistem
lembaga keuangan bank harus memiliki kredibilitas yang dapat dipercaya oleh masyarakat
dan harus melaksanakan kinerja yang memenuhi akuntabilitas publik yang transparan.
sebagai perantara keuangan, memobilisasi dana publik dan mengarahkan mereka ke arah
investasi atau penggunaan efektif lainnya. “The foundation of any healthy economy depends on
how healthy the banking sector is” (Kishor, 2014).
Lembaga keuangan perbankan sangat penting bagi perekonomian karena merupakan
kegiatan bisnis yang paling penting. “Yang mana fungsinya sebagai pengumpul dan
menyalurkan dana, yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan ekonomi suatu
bangsa” (Dewi, 2005). Bahkan di era globalisasi saat ini, bank juga telah menjadi bagian dari
sistem keuangan dan pembayaran dunia. Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem
pembayaran suatu negara. Karena itu, bank menjadi milik publik setelah menerima izin
berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter negara tersebut. Sehingga, “eksistensinya bukan
saja harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga oleh masyarakat nasional dan
global” (Sutedi, 2007).

1
Industri perbankan di Indonesia terutama berfokus pada penghimpunan dana dari
masyarakat untuk digunakan dalam penyaluran kredit kepada nasabah, mendukung sistem
pembayaran masyarakat, menawarkan jasa yang berkaitan dengan perdagangan internasional,
jasa penitipan surat berharga, jasa kartu kredit, dan jasa lainnya. Selain itu, kinerja bank
harus dipertahankan karena industri perbankan mengandalkan kepercayaan masyarakat
dalam menjalankan bisnisnya.
Dalam kemacetan jam sibuk keuangan yang sangat unik, manajemen utama
diharapkan untuk mencegah kondisi yang mempengaruhi kesehatan moneter negara.
Tanggung jawab bank sentral termasuk memantau aktivitas perbankan. Hal itu seperti yang
diamanatkan dalam “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
23 D yang menyebutkan bahwa Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-
undang”.
Dasar pendirian bank sentral yang lainnya yaitu disebut sebagai Bank Indonesia
diperkuat dengan “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesi”a. Untuk kesekian kalinya terjadi amandemen terhadap Undang-Undang Bank
Indonesia tidak lain adalah untuk meningkatkan kesempurnaan sistem regulasi perbankan.
Sebagai alat atau sarana untuk mencapai sistem perbankan yang sehat, kewenangan
Bank Sentral untuk mengatur dan mengawasi bank menjamin dan memastikan pelaksanaan
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. bank menyimpang dari tanggung jawab
pengawasan dan pengaturannya. “So, central bank focuses on price stability, monetary sector
stability, real sector stability, and external sector stability though the adjustment of money
demand and supply” (Acharya, 2020).
Untuk mencegah terulangnya krisis keuangan yang menghentikan operasional
perbankan akibat banyaknya bank yang dilikuidasi dan maraknya praktik penarikan dana
nasabah dari bank masing-masing, atau terburu-buru, pengawasan dan pembinaan di bidang
perbankan dan perkreditan sangat diperlukan. “Demikian pula berbagai goncangan dan krisis
perbankan yang melanda sebagian besar negara berkembang maupun negara maju telah
berdampak luas, tidak hanya terhadap sistem perbankan dan perekonomian nasional yang
bersangkutan, namun juga berdampak pada regional maupun internasional” (Gandapradja,
2004). “Poorly functioning banking systems impede economic progress, exacerbate poverty,
and destabilize economies” (Barth, Caprio, & Levine, 2004).
Karena tidak dapat dipisahkan, fungsi dan tanggung jawab pengelolaan dan
pengawasan bank terkait erat, seperti dua sisi mata uang yang sama. Meskipun peran dan
fungsinya berbeda, industri yang menjadi fokusnya adalah sama yaitu industri perbankan,
yang menghadapi berbagai risiko. Tujuannya sama: untuk menjalankan bank yang sehat
secara finansial dan, dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, untuk meminimalkan
berbagai risiko dari operasi bank untuk melindungi kepentingan deposan dan kreditur,
membangun hubungan positif reputasi sebagai lembaga yang dapat dipercaya, dan menjamin
stabilitas sistem perbankan. “Disitulah letak peran pentingnya, karena sistem perbankan
memiliki fungsi dan peran yang penting dan strategis dalam menggerak-tumbuhkan
perekonomian” (Gandapradja, 2004).

2
Landasan, prinsip, dan mekanisme pengawasan bank telah mengalami berbagai
proses evolusi. Keberadaan sistem pengawasan perbankan dalam “Undang-Undang
Perbankan” mulai terkikis eksistensinya, hal ini dikarenakan dengan diloloskannya
“Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan” menjadi undang-undang yakni
“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
yang disahkan pada Tanggal 27 Oktober 2011”. Mengingat pada “Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang pada Pasal 34 Ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa
tugas Bank Indonesia untuk mengawasi bank bersifat sementara”. Karena lembaga pengawas
sektor jasa keuangan yang legal dan independen akan bertugas mengawasi bank. “Di dalam
pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, sudah jelas bahwa dalam konteks pengendalian moneter memang ada di Bank
Indonesia tetapi bukan di sektor pengawasan”.
Bagaimanapun, industri perbankan adalah layanan dan sebagian besar masih perlu
dilakukan oleh orang-orang yang cerdas dan bermoral. “Meskipun beberapa bank telah
menggunakan teknologi yang semakin canggih (software dan hardware) sehingga semakin
memberikan kemudahan bagi para nasabah akan tetapi penggunaan tehnologi, analisa data
dan kendali tetap ada ditangan manusia baik secara individuil maupun dalam organisasi”
(Suhardi, 2004).
Saat ini, dua lembaga berbeda mengawasi transaksi keuangan di Indonesia. Industri
perbankan diatur oleh Bank Indonesia, sedangkan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) bertanggung jawab atas pasar modal dan lembaga
keuangan non-bank. “Bank Indonesia selaku Bank Sentral mempunyai tugas melakukan
pengaturan dan pengawasan bank yang bertujuan untuk menciptakan sistem perbankan yang
sehat, yang memenuhi aspek perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik dan berkembang secara wajar, dalam arti di satu pihak memerhatikan faktor
risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia”
(Hermanysah, 2007).
Pelaksanaan fungsi pengawasan bank dilaksanakan oleh bank sentral adalah Bank
Indonesia yang di atur pada “Pasal 8 UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dimana dalam pasal tersebut memuat
ketentuan bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia
mempunyai tugas sebagai berikut”:
a. “menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter”
b. “mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran”
c. “mengatur dan mengawasi bank”
Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin lembaga atau
kegiatan usaha tertentu dari bank, melakukan pengawasan terhadap bank, dan mengenakan
sanksi kepada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam rangka tugas
pengaturan dan pengawasan perbankan. Bank Indonesia berwenang melaksanakan ketentuan
perbankan dalam kapasitas tersebut dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian.

3
2. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka rumusan masalah pada
makalah ini yaitu : “Bagaimana system pengaturan dan pengawasan dalam Lembaga
Perbankan?”.

3. Tujuan Makalah
Berdasar pada rumusan masalah yang penulis sampaikan di atas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini yaitu “Untuk mengetahui system pengaturan dan pengawasan dalam Lembaga
Perbankan”.

4. Penelitian Terdahulu
No. Judul Penulis Identitas Penelitian
1. TANGGUNG 1. Ni Made Skripsi Hukum
Tujuan penulisan
JAWAB Nita Bisnis, Fakultas
adalah untuk
OTORITAS JASA Widhiadny Hukum, Universitas
mengetahui
KEUANGAN ani Udayana tahun 2017
kedudukan dari
SEBAGAI 2. I Gede Otoritas Jasa
PENGGANTI Yusa Keuangan dan Bank
BANK INDONESIA Indonesia sebagai
DALAM lembaga
PENGAWASAN pengawasan
LEMBAGA perbankan dan
PERBANKAN tanggung jawab
Otoritas Jasa
Keuangan sebagai
pengganti Bank
Indonesia dalam
pengawasan
lembaga perbankan.
2. Implementasi Fungsi Rustam Magun JURNAL Rumusan Masalah:
Pengaturan serta Pikahulan PENEGAKAN 1. Bagaimana
Pengawasan pada HUKUM DAN pelaksanaan
Bank Indonesia dan KEADILAN Vol. 1 fungsi pengaturan
Otoritas Jasa No.1, Maret 2021, dan pengawasan
Keuangan (OJK) hal. 41-51. oleh Bank
terhadap Perbankan. Indonesia
terhadap
perbankan setelah
dibentuk OJK?
2. Bagaimana
pelaksanaan
fungsi pengaturan

4
dan pengawasan
oleh Otoritas Jasa
Kewenangan
(OJK) terhadap
perbankan?
3. Peran Pengawasan Fadhil Irfan Skripsi Fakultas Penelitian ini
Otoritas Jasa Muhammad Ekonomi dan Bisnis bertujuan sebagai
Keuangan dalam Universitas berikut:
rangka Brawijaya Malang 1. Untuk
Pengembangan Bank tahun 2018 mengetahui
Perkreditan Rakyat tujuan dan fungsi
dari Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Untuk
mengetahui
proses
pengawasan yang
dilakukan oleh
Otoritas Jasa
Keuangan pada
Bank Perkreditan
Rakyat.
3. Untuk
mengetahui
proses
manajemen
strategis dari
pengawasan yang
dilakukan
Otoritas Jasa
Keuangan pada
Bank Perkredita
Rakyat
4. PEMBENTUKAN 1. I G A A Skripsi Hukum Penelitian ini
LEMBAGA Karyani Perdata Fakultas bertujuan untuk
OTORITAS JASA Wardana Hukum Universitas mengetahui
KEUANGAN 2. I Ketut Udayana tahun 2017 kewenangan Otoritas
TERHADAP Westra Jasa Keuangan
KEDUDUKAN 3. Ni Putu dalam melakukan
SISTEM Purwanti pengawasan
PENGAWASAN terhadap perbankan
PERBANKAN DI dan untuk
INDONESIA mengetahui bentuk
tanggung jawab
Otoritas Jasa
Keuangan terhadap

5
pengawasan
perbankan di
Indonesia
5. KEWENANGAN Surti Yustianti Jurnal Hukum Permasalahan yang
PENGATURAN Kenotariatan dan ke- dibahas pada
DAN PPAT-an, Volume 1, penelitian ini adalah
PENGAWASAN Nomor 1, Desember konsep hukum
PERBANKAN 2017 kewenangan
OLEH BANK pengaturan dan
INDONESIA DAN pengawasan
OTORITAS JASA lembaga keuangan
KEUANGAN (OJK) dalam kegiatan jasa
keuangan di sektor
perbankan oleh
Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan
Bank Indonesia.

6
5. Tinjauan Pustaka
6. Otoritas Pengawasan Bank dan Dasar Hukum
Baik BI dan OJK pasti akan terpengaruh oleh pembentukan lembaga pengawasan
baru; kedua lembaga tersebut diperkirakan akan menghadapi berbagai tantangan yang
dapat menghambat efektivitasnya. “BI memiliki kemampuan untuk merumuskan dan
melaksanakan kebijakan guna mengurangi resiko yang dapat menimbulkan
ketidakstabilan pasar keuangan dan sumber daya yang efektif untuk mengelola krisis
yang mungkin timbul” (Dewantara, 2011).
BI dalam menjalankan tugas dalam rangka mengatur serta mengawasi bank,
sesuai pada ketentuan “Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 berwenang
untuk menetapkan peraturan, memberikan, dan mencabut izin atas kelembagaan dan
kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan
sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Berdasarkan
ketentuan tersebut, sangat jelas bahwa BI memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan
kewajiban penuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perbankan baik
melalui upaya preventif maupun represif. Dalam hal pengawasan serta pengaturan bank,
BI selain mengacu pada “Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana
yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, juga mengacu pada Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan undangundang perubahannya, yaitu
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998”.
Pengawasan langsung, yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan tindakan
korektif, dan pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan awal melalui penelitian
analitis dan evaluasi laporan bank, merupakan kedua jenis pengawasan yang dilakukan
BI terhadap bank. BI dapat melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap setiap bank
di minimal setahun sekali sebagai bagian dari pengawasannya. Selain itu, “pemeriksaan
dapat dilakukan secara insidentil setiap waktu apabila diperlukan untuk meyakinkan hasil
pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan”
(Sulistyandari, 2012).
BI kemudian akan diserahkan kepada lembaga pengawas sektor jasa keuangan
(OJK) independen untuk tugas pengawasan bank ini seiring perkembangannya, tetapi BI
sebagai bank sentral akan tetap dilibatkan. “Lembaga (supervisory board) ini dalam
menjalankan tugas dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban
menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa, Keuangan dan Dewan Perwakilan
Rakyat” (Dewantara, 2011). “Lembaga pengawasan jasa keuangan (supervisory board)
atau OJK yang akan dibentuk tersebut kewenangannya tidak terbatas mengawasi bidang,
perbankan saja, tetapi juga mengawasi perusahaanperusahaan sektor jasa keuangan
lainnya yang meliputi asuransi, dana pension, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan
pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana
masyarakat” (Sulistyandari, 2012). Sedangkan menurut RUU OJK, OJK yaitu “lembaga
pemerintah yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, untuk
melakukan pengaturan dan pengawasan pengelolaan kegiatan bidang jasa keuangan”.

7
7. Aspek Hukum Pengawasan oleh DPS dan OJK
Bank Indonesia pada awalnya bertanggung jawab atas pengaturan dan
pengawasan perbankan, termasuk perbankan syariah dan unit usaha syariah. Regulasi ini
melekat dalam Bank Indonesia seperti yang terdapat pada “UndangUndang Nomor 23
Tahun 1999 sebagai mana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang”.
Seperti halnya perbankan konvensional, Bank Indonesia juga melakukan
pengawasan terhadap Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Seperti halnya perbankan
konvensional, Bank Indonesia bertindak untuk kepentingan tersebut. Untuk menjalankan
kepentingan itu, Bank Indonesia sudah membentuk perbankan syariah. “Depertement ini
terdiri dari 4 devisi yaitu Divisi Penelitian Pengembangan dan Pengaturan Perbankan
Syariah, Divisi Pengawasan Bank Syariah, Divisi Informasi Perbankan Syariah dan
Divisi Perijinan, Administrasi dan Dokumentasi Perbankan Syariah” (Bank Indonesia,
2014).
Menurut “Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank
Indonesia mengatur bahwa fungsi pengawasan tidak lagi berada di bawah otoritas Bank
Indonesia tetapi akan diserahkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen dan dibentuk dengan undang-undang”. Ditetapkan “Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan” yang memperkuat kedudukan OJK
sebagai lembaga keuangan dengan fungsi, tanggung jawab, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang
dimaksud. Lembaga keuangan ini bersifat independen dan bebas dari campur tangan
pihak luar. Pasar modal, asuransi, dana pensiun, pembiayaan, dan lembaga keuangan
lainnya dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut.
OJK tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas pengawasan dan pengaturan. OJK,
di sisi lain, terus bekerja dengan BI dan memiliki wewenang atas fungsi pengaturan dan
pengawasan masing-masing. Wewenang OJK meluas ke bidang mikroprudensial
pengaturan dan pengawasan lembaga , kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksa
bank. BI memiliki tanggung jawab dan wewenang untuk mengatur dan mengawasi
kegiatan makroprudensial. “Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudentia,
OJK berkordinasi dengan BI untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada
perbankan”.
Industri jasa keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, sedang mengalami
pertumbuhan yang signifikan saat ini. Legalisasi perbankan syariah juga berkontribusi
pada peningkatan legitimasi perbankan syariah. “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah yang mengokohkan kedudukan perbankan syariah sebagai
salah satu lembaga jasa keuangan di Indonesia”.
Pemerintah dan DPR kemudian mengeluarkan peraturan sebagai tanggapan atas
ekspansi signifikan perbankan syariah di Indonesia yaitu “Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah”. Merujuk pada ketentuan “Pasal 1 ayat (1)
UndangUndang Perbankan Syariah, dinyatakan bahwa perbankan syariah adalah segala

8
sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup
kelembagaanm kegiatan usaham serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya”. “Melalui undang-undang ini diatur lebih terperinci mengenai bank syariah
beserta hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan perbankan syariah” (Antonio, 2007).

8. Konsep Pengawasan Perbankan di Indonesia


“Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam bentuk macroprudential
tentu akan berdampak pada tupoksi kerja yang dilakukan oleh OJK juga, sehingga
diharapkan akan lahir sebuah koordinasi yang baik antara kedua lembaga ini untuk dapat
memaksimalkan perannya secara penuh dan tidak tumpang tindih terhadap pengawasan
yang akan dilakukan pada sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya baik bank
syariah, maupun bank konvensional, sehingga akan terciptanya suasana kinerja yang
kondusif dan tepat pada sasaran” (Fajri, 2014). “Pengawasan bertujuan untuk menilai
kondisi keuangan organisasi perbankan dan kepatuhannya terhadap peraturan perundang-
undangan” (Federal Reserve Bank of San Fransisco, 2021).
Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan
non-bank juga menjadi tanggung jawab dan wewenang OJK. “OJK berkewajiban
melakukan perlindungan konsumen dan masyarakat melalui pemberian informasi dan
edukasi kepada masyarakat serta pelayanan pengaduan konsumen dan melakukan
pembelaan hukum” (Fajri, 2014).
Pengawasan terhadap kecukupan bank dan komponen prinsip kehati-hatian
meliputi, likuiditas, produktivitas, kelarutan, kualitas sumber daya, proporsi kecukupan
modal terkecil, batas pinjaman terbesar, proporsi simpanan, dan simpanan bank, laporan
bank terkait dengan kesejahteraan dan pelaksanaan bank, data pemegang rekening
kerangka kerja, pengujian kredit (pengujian kredit); dan pedoman untuk akuntansi bank.
“Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi manajemen
risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang dan
pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan” (Fajri, 2014).
Sedangkan ruang lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang
menjadi tanggung jawab dan wewenang OJK meliputi pemeriksaan bank, pengaturan dan
pengawasan lembaga, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pengawasan mikroprudensial.
ruang lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial, yang meliputi pengaturan
dan pengawasan di luar yang diatur dalam pasal ini. “Dalam rangka pengaturan dan
pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan
himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan” (Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa
Keuangan, 2014). Dalam “Pasal 6 huruf a, terlihat jelas bahwa OJK mempunyai
wewenang dalam pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang
meliputi, (1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi
dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank dan (2) kegiatan usaha bank, antara
lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa”.
“Konsep pengawasan terhadap praktek keuangan yang dilakukan pada lembaga
keuangan syariah memiliki sejumlah landasan, yaitu landasan syariahdan landasan
9
hukum positif yang berlaku di Indonesia” (Minarni, 2013). Landasan syariah yang biasa
diacu misalnya yaitu pemahaman kepada QS. Al-Ashr [103] ayat 1-3 yang artinya yaitu
"Demi masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. Ayat-ayat dalam tafsir
dan makna yang luas dari surah ini menunjukkan bahwa manusia pada umumnya akan
menderita kerugian kecuali mereka mampu menasehati atau mengendalikan satu sama
lain.
Peraturan perundang-undangan yang menetapkan BI sebagai otoritas pengawas
bank adalah salah satu contoh dasar hukum positifnya. Bank Indonesia adalah lembaga
pemerintah di Indonesia yang membawahi perbankan (termasuk perbankan syariah). Hal
ini dijelaskan dalam “Pasal 29 (1) (UU.No.7/1992 sebagaimana diubah dengan) UU
No.10 Th.1998 tentang Perbankan yang berbunyi Pembinaan dan pengawasan bank
dilakukan oleh Bank Indonesia.3 Adapun dalam Pasal 8 UU No.3/2004 tentang
Perubahan atas UUNo.23 Th.1999 tentang Bank Indonesia dinyatakan bahwa Bank
Indonesia mempunyai tiga tugas, yaitu a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter; b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c) mengatur dan
mengawasi bank”.
Aspek produk dan transaksi tercakup dalam pengaturan dan pengawasan BI
terhadap bank syariah. Hal tersebut terinci dalam “PBI No. 7/35/PBI/2005 perubahan atas
No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah”. Berdasarkan “Peraturan Bank Indonesia No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah Bab V Kegiatan Usaha Pasal 36 etiap bank syariah pada dasarnya wajib
menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan
usahanya yang meliputi”:
a. “melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
investasi, antara lain: (1) giro berdasarkan prinsip wadi’ah; (2) tabungan berdasarkan
prinsip wadi’ah dan atau mudharabah; atau (3) deposito berjangka berdasarkan
prinsip mudharabah”.
b. “melakukan penyaluran dana melalui : (1) prinsip jual beli berdasarkan akad antara
lain: murabahah, istishna, salam. (2) prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:
mudharabah dan musyarakah. (3). prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara
lain: ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik. (4) prinsip pinjam meminjam berdasarkan
akad qardh”.
c. “melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain: (1)
wakalah (2) hawalah (3) kafalah (4) rahn”.
d. “membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga
yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan
prinsip syariah”.
e. “membeli surat berharga berdasarkan prinsip Syariahyang diterbitkan oleh
Pemerintah dan/atau Bank Indonesia, dll”.

10
9. Sistem dan Kegiatan Usaha Bank Syariah
Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah (syariah) disebut bank
syariah. Sebaliknya, syariah adalah peraturan atau hukum yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa bank beroperasi sesuai dengan
Syariah Islam atau hukum Islam. “Fungsi bank syariah sama saja dengan bank
konvensional, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, hanya saja dari segi
prinsip, keduanya berbeda” (Luthfia, 2022). Bank syariah tidak menawarkan banyak
layanan yang sama seperti bank konvensional. Ambil contoh, kurangnya bunga. Ini
karena meminjamkan atau mengambil pinjaman dan membebankan bunga pada mereka
bertentangan dengan ajaran Islam (riba).
Ciri mendasar dari bank syariah adalah bahwa semua operasinya berpedoman
pada hukum syariah. Menurut “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk
menetapkan fatwa. di bidang syariah.Pengumpulan dana melalui Giro, Tabungan,
Deposito, atau bentuk lainnya, penyaluran pembiayaan, dan jasa lainnya berdasarkan
akad syariah merupakan salah satu kegiatan usaha Bank Syariah”.
“Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2008, kegiatan usaha bank
umum syariah dan unit usaha syariah sebagai berikut”:
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a. “menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
b. “menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
c. “menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad
musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
d. “menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad
istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
e. “menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
f. “menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah”.
g. “melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
h. “melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah”.
i. “membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga
yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara
lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau
hawalah”.

11
j. “membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia”.
k. “menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip
Syariah”.
l. “melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang
berdasarkan Prinsip Syariah”.
m. “menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah”.
n. “memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah”.
o. “melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah”.
p. “memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah”.
q. “melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
a. “menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
b. “menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
c. “menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad
musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
d. “menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad
istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
e. “menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
f. “menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah”.
g. “melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.
h. “melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah’.
i. “membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar
transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah”.
j. “membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. menerima pembayaran dari tagihan atas
surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak
ketiga berdasarkan Prinsip Syariah”.

12
k. “menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah”.
l. “memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah”.
m. “memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah”.
n. “melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam perbankan Islam, hubungan antara bank dan nasabah bukanlah hubungan
pinjam meminjam uang; melainkan merupakan salah satu penyediaan dana (pembiayaan)
untuk transaksi aktual seperti jual beli (Murabahah, Istisna, Salam), investasi
(Musyarakah/Mudharabah/MMq), sewa (Ijarah/IMBT), dan memberikan layanan lain
seperti perwakilan (Wakalah bil Ujrah), jaminan (Kafalah bil).
Terkait dengan sistem perbankan syariah, berikut terdapat tiga hal umum yang terkait
yaitu:
1) Akad
Telah ditetapkan bahwa sistem bank menggunakan prinsip akad. Selain menjadi
anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga merupakan anggota syariat Islam yang
didasarkan pada Al-Qur'an dan hadits.
2) Sistem imbalan
Syariah adalah suatu pengaturan dalam Islam yang harus dipatuhi. Sistem bagi hasil,
di mana dana bank digunakan untuk pembiayaan dan keuntungan dari pembiayaan
dibagi antara nasabah dan bank sesuai dengan kesepakatan, adalah salah satu aturan
yang harus diterapkan.
3) Sasaran kredit
Bank syariah menawarkan pembiayaan yang terbatas, berbeda dengan bank
konvensional. Intinya hanya nasabah syariah yang diterima. Sementara itu, bisnis
yang menghasilkan produk yang melanggar syariah Islam, seperti perjudian dan
bisnis asusila, secara kategoris ditolak.

10. Sistem dan Strategi Pengawasan Bank


“Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Bank Pengaturan dan pengawasan bank oleh
OJK meliputi wewenang sebagai berikut” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017): 
 “Kewenangan untuk  menetapkan tata cara perizinan (right to license) dan pendirian
suatu bank, meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas
kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan
kegiatan-kegiatan usaha tertentu” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).

13
 “Kewenangan untuk menetapkan ketentuan (right to regulate) yang menyangkut
aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat
guna memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat” (OJK (Otoritas Jasa
Keuangan), 2017).
 Kewenangan untuk mengawasi meliputi:
a) “pengawasan bank secara langsung (on-site supervision) terdiri dari pemeriksaan
umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran
keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap
peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik
tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank” (OJK (Otoritas Jasa
Keuangan), 2017).
b) “pengawasan tidak langsung (off-site supervision) yaitu pengawasan melalui alat
pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil
pemeriksaan, dan informasi lainnya” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).
 “Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan.
Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas
perbankan yang sehat” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).
 “Kewenangan untuk melakukan penyidikan (right to investigate), yaitu kewenangan
untuk melakukan penyidikan di Sektor Jasa Keuangan (SJK), termasuk perbankan.
Penyidikan dilakukan oleh penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (RI) dan
pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan OJK. Hasil penyidikan disampaikan
kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).
 “Kewenangan untuk melakukan perlindungan konsumen (right to protect), yaitu
kewenangan untuk melakukan perlindungan konsumen dalam bentuk pencegahan
kerugian Konsumen dan masyarakat, pelayanan pengaduan konsumen, dan
pembelaan hukum” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).

11. Siklus Pengawasan Bank dan Sistem Penilaian Kesehatan Bank


Saat ini BI menerapkan sistem pengawasan dengan dua pendekatan pengawasan
bank: pengawasan berbasis kepatuhan dan pengawasan berbasis risiko (RBS).
Pendekatan RBS merupakan upaya penyempurnaan sistem pengawasan dalam rangka
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan perbankan. Namun, ini tidak berarti
bahwa pendekatan berbasis kepatuhan tidak mungkin dilakukan. Pendekatan pengawasan
BI secara bertahap akan beralih ke pengawasan berbasis risiko sepenuhnya.
1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan
pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait
dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini mengacu pada kondisi bank di
masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola
secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)

14
Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko merupakan pendekatan pengawasan yang
berorientasi ke depan (forward looking). Dengan menggunakan pendekatan tersebut
pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat
(inherent risk)pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk
control system). Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas
pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap
permasalahan yang potensial timbul di bank.
Penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah dilakukan
dengan memperhitungkan faktor CAMELS melalui pendekatan kuantitatif dan atau
kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja bank
dengan melakukan penilaian terhadap faktor finansial dan faktor manajemen. Penilaian
faktor manajemen dipisahkan dengan penilaian faktor finansial, guna memberikan
gambaran yang lebih utuh atas kondisi keuangan dan manajemen bank. Faktor
manajemen dianggap sebagai leading indicator dalam penilaian sehingga tidak dapat
dijadikan sebagai bagian dari penilaian faktor keuangan. Penilaian faktor finansial
dilakukan secara kuantitatif dengan melakukan pembobotan terhadap peringkat faktor,
untuk saat ini dilakukan pembobotan untuk faktor permodalan (25%), kualitas aset
(50%), rentabilitas (10%), likuiditas (10%) dan sensitivitas atas risiko pasar (5%).
Penilaian terhadap faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas
atas risiko pasar dilakukan dengan menggunakan penilaian kuantitatif melalui rasio-rasio
keuangan dan kualitatif dengan mempertimbangkan unsur judgement.
Rasio-rasio keuangan yang digunakan untuk menghitung peringkat faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas atas risiko pasar
dibedakan menjadi rasio utama, rasio penunjang dan rasio pengamatan (observed).
- rasio utama merupakan rasio yang memiliki pengaruh kuat (high impact) terhadap
Tingkat Kesehatan Bank
- rasio penunjang adalah rasio yang berpengaruh secara langsung terhadap rasio utama
- rasio pengamatan (observed) adalah rasio tambahan yang digunakan dalam analisa
dan pertimbangan (judgement).
Penilaian terhadap faktor manajemen dilakukan dengan menggunakan penilaian
kualitatif untuk setiap aspek dari manajemen umum, manajemen risiko dan manajemen
kepatuhan. Penilaian Peringkat Komposit dilakukan dengan agregasi atas Peringkat
Faktor Finansial dan peringkat faktor manajemen dengan mempergunakan tabel konversi
dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan unsur judgement dengan
memperhatikan aspek materialitas dan signifikansi dari masing-masing faktor penilaian.
“Imbierowicz analyses the relationship between liquidity and CR, and their impact on the
soundness of 4300 US commercial banks over the period 1998-2010, including 254
failure banks during the crisis” (Imbierowicz, 2014).

15
12. Pembahasan
Berlakunya “Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(OJK)”, membawa implikasi hukum baru yakni: Pertama, terjadinya pengalihan fungsi,
tugas, dan wewenang dalam pengaturan dan pengawasan perbankan yang semula berada
pada Bank Indonesia kepada OJK: Kedua, adanya kelembagaan baru yang merupakan
lembaga negara yakni OJK sebagai penampung dan penerus sebagian dari fungsi, tugas, dan
wewenang Bank Indonesia. “Pada pasal 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK
menentukan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Selanjutnya
pada “Pada pasal 55 ayat (2), Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, menentukan
bahwa “Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari Bank Indonesia ke

16
OJK”. “The role of supervisory authorities undertaking potential supervision is to promote
the maintenance of efficient, fair, secure and stable insurance market for the interest and
protection of policymakers” (Kim, 2017).
Beralihnya fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan dari Bank Indonesia ke OJK pada dasarnya hanyalah beberapa aspek saja, oleh
karena secara keseluruhan fungsi, tugas, dan wewenang OJK tidak hanya mengatur dan
mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, tetapi juga memiliki fungsi, tugas
dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasal Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Menurut “Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, ketentuan Pasal 18
UndangUndang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, menjadi fungsi, tugas dan wewenang OJK untuk memberikan
perizinannya. Hal tersebut, karena ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
termasuk salah satu ketentuan Pasal yang beralih menjadi fungsi, tugas dan wewenang OJK”.
Kedudukan “Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, adalah sederajat
dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang, karena sama-sama berbentuk Undang-Undang”. Namun dibahas
secara konstitusional berdasarkan “Pasal 36 D, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, kedudukan Bank Indonesia adalah konstitusional sesuai ketentuan
bahwa “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Undang-Undang
yang dimaksudkan tersebut ialah “Undang-Undang No. 6 Tahun 2009, sedangkan OJK tidak
diatur dalam ketentuan konstitusional menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
Sehubungan dengan kedudukan Bank Indonesia, status hukumnya juga adalah
lembaga negara, sebagaimana diatur dengan “Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun
2009 bahwa “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur
tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam Undang-Undang”. OJK sendiri tidak disebutkan sebagai suatu lembaga negara,
sebagaimana rumusannya dalam “Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2011
bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam
UndangUndang ini”.
Diantara banyak tugas yang dilaksanakan oleh BankIndonesia, salah satunya adalah
melakukan tugas pengawasan dan pengaturan perbankan. Tugas pengaturan dan pengawasan
perbankan tidak hanya membantu kelancaran sistem pembayaran, tetapi juga meningkatkan
efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
karena bank berfungsi sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam hal peredaran uang
perekonomian dan penyaluran kredit bank.Pada dasarnya tujuan pengaturan dan pengawasan
bank adalah untuk meningkatkan kepercayaan setiap orang yang berkepentingan dengan
bank dengan memastikan bahwa bank aman secara finansial, dikelola secara profesional, dan
bebas dari ancaman.kebutuhan individu yang melakukan simpanan bank.Dengan kata lain,
tujuan keseluruhan pengaturan dan pengawasan bank adalah untuk menciptakan sistem

17
perbankan yang sehat yang memenuhi tiga kriteria: harus mampu menjaga kepentingan
masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dan memperhatikan faktor risiko seperti
kemampuan, baik dari sisi batang dan sumber daya manusia. Sebagai Bank Sentral, Bank
Indonesia berwenang mengatur dan mengawasi bank sebagai alat atau sarana untuk
mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Hal ini menjamin dan memastikan bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan usaha bank dipatuhi oleh bank yang
bersangkutan.
Menurut ketentuan “Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, bahwa dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank
Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan
kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi
terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, Bank Indonesia
selaku otoritas pengawasan bank memiliki empat kewenangan yang meliputi”:
1) Kewenangan memberikan izin (power to license)
Melalui kewenangan ini memungkinkan ditetapkannya ketentuan dan persyaratan
pendirian sebuah bank oleh otoritas pengawas. Kewenangan pemberian izin ini
merupakan seleksi paling awal terhadap kehadiran sebuah bank dengan menetapkan tata
cara perizinan dan pendirian suatu bank. Kewenangan dalam pemberian izin tersebut
juga memungkinkan otoritas pengawas bank mencegah terjadinya pendirian bank yang
tidak didukung dengan modal yang cukup, yang kurang dipersiapkan dengan baik atau
yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik atau pengurus tanpa
memperhatikan kepentingan rakyat.
2) Kewenangan untuk mengatur (power to regulate)
Kewenangan untuk mengatur ini memungkinkan otoritas pengawas bank untuk
menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek kegiatan usaha perbankan dalam rangka
menciptakan adanya perbankan yang sehat dan mampu memenuhi jasa perbankan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
3) Kewenangan untuk mengendalikan/mengawasi (power to control)
Pengawasan bank dilaksanakan melalui pengawasan langsung dan pengawasan tidak
langsung. Pengawasan langsung bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
ketaatan terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat
praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank.
Sedangkan pengawasan tidak langsung merupakan pengawasan yang menggunakan alat
pantau. Dengan data yang diperoleh melalui alat pantau tersebut, otoritas pengawas
melakukan penilaian terhadap keadaan usaha dan kesehatan bank.
4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction)
Kewenangan ini merupakan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apabila sebuah
bank kurang atau tidak memenuhi hal-hal yang diatur atau dipersyaratkan dalam
kewenangan-kewenangan tersebut di atas. Pengenaan sanksi ini dimaksudkan agar bank
melakukan perbaikan atas kelemahan dan penyimpangan yang dilakukannya.
Sehubungan dengan “Pasal 34 UU BI bahwa tugas mengawasi bank oleh BI akan
dilakukan oleh LPJK”, maka pemerintah (Bapepam-LK) mengajukan RUU Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dimana RUU tersebut dimaksudkan sebagai RUU LPJK, dan RUU tersebut
telah disahkan pada tanggal 22 November sebagai “UU Nomor 21 tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,

18
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253)”. Pertanyaan yang muncul
mengapa namanya berbeda, selain itu jika dilihat dari UU tersebut tugas OJK yang berkaitan
dengan bidang perbankan meliputi pengaturan bank, pemberian dan/atau pencabutan izin
bank, pengawasan bank, dan pemberian sanksi. Dengan demikian UU OJK yang telah
disahkan tersebut tidak sesuai dengan yang diperintahkan oleh Pasal 34 UU BI.
Mengenai pengaturan dan pengawasan bank juga diatur dalam Bab V tentang
Pembinaan dan Pengawasan, yaitu Pasal 29-37B UU Perbankan, dimana Pasal 37B
merupakan dasar hukum eksistensi UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (selanjutnya disebut UU LPS). Menurut UU LPS, Fungsi LPS adalah: a. menjamin
simpanan nasabah penyimpan; dan b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem
perbankan sesuai dengan kewenangannya. Penjelasan fungsi LPS huruf b mengatakan bahwa
LPS berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama dengan
Menteri Keuangan, BI dan LPP, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Berkaitan
dengan fungsi LPS huruf b, LPS mempunyai tugas sebagai berikut:
(a) merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas
sistem perbankan
(b) merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank
resolution) yang tidak berdampak sistemik
(c) melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.
Dalam penjelasan umum UU LPS dikatakan dengan pengaturan mengenai LPS diharapkan
kepercayaan masyarakat akan diperoleh, ada kepastian hukum dalam pengaturan dan
pengawasan bank serta penjaminan simpanan nasabah untuk meningkatkan kelangsungan
usaha bank secara sehat.
Berdasarkan pemaparan di atas, berikut merupakan “Kewenangan Pengaturan dan
Pengawasan Bank Pengaturan dan pengawasan bank oleh OJK meliputi wewenang sebagai
berikut” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017): 
 “Kewenangan untuk  menetapkan tata cara perizinan (right to license) dan pendirian
suatu bank, meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas
kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan
kegiatan-kegiatan usaha tertentu” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).
 “Kewenangan untuk menetapkan ketentuan (right to regulate) yang menyangkut
aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat
guna memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat” (OJK (Otoritas Jasa
Keuangan), 2017).
 Kewenangan untuk mengawasi meliputi:
c) “pengawasan bank secara langsung (on-site supervision) terdiri dari pemeriksaan
umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran
keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap
peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik
tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank” (OJK (Otoritas Jasa
Keuangan), 2017).

19
d) “pengawasan tidak langsung (off-site supervision) yaitu pengawasan melalui alat
pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil
pemeriksaan, dan informasi lainnya” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).
 “Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan.
Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas
perbankan yang sehat” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).
 “Kewenangan untuk melakukan penyidikan (right to investigate), yaitu kewenangan
untuk melakukan penyidikan di Sektor Jasa Keuangan (SJK), termasuk perbankan.
Penyidikan dilakukan oleh penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (RI) dan
pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan OJK. Hasil penyidikan disampaikan
kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan” (OJK (Otoritas Jasa Keuangan), 2017).
“Kewenangan untuk melakukan perlindungan konsumen (right to protect), yaitu kewenangan
untuk melakukan perlindungan konsumen dalam bentuk pencegahan kerugian Konsumen dan
masyarakat, pelayanan pengaduan konsumen, dan pembelaan hukum” (OJK (Otoritas Jasa
Keuangan), 2017).

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, S. (2020). Regulation and Supervision of banks and financial institutions. Regulation
and Supervision of Banks and Financial Institutions.
Antonio, M. S. (2007). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Bahago, K., Jelilov, G., & Celik, B. (2019). Impact of Banking Supervision on Liquidity Risk
and Credit Risk: Evidence from Nigeria. International Journal of Economics and
Financial Issues, 200-204.
Bank Indonesia. (2014). PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DAN DEWAN
PENGAWAS SYARIAH (DPS) DALAM PENGAWASAN AKAD PEMBIAYAAN
20
PADA PERBANKAN SYARIAH YANG MENGANDUNG KLAUSULA
EKSONERASI. Thesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Retrieved from
bi.go.id: http://www.bi.go.id/web/id/TentangBI/Organisasi/perbankan.htm
Barth, J. R., Caprio, G., & Levine, R. (2004). Bank Regulation and Supervision: What Works
Best? Journal of Financial Intermediation.
Dewantara, R. (2011). Tinjauan Yuridis Pengalihan Pengawasan Perbankan dari Bank Sentral
Kepada Otoritas Jasa Keuangan. Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul Vol. 7, No. 2,
54-63.
Dewi, G. (2005). Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Asuransi di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Fajri, I. (2014). SISTEM PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP
PEMBIAYAAN BANK SYARIAH DALAM PENERAPAN PRINSIP PRUDENTIAL
STANDARD. Fakultas Syariah dan Dakwah Universitas Serambi Mekkah.
Federal Reserve Bank of San Fransisco. (2021). What is the Fed: Supervision and Regulation.
Federal Reserve Bank of San Fransisco.
Gandapradja, P. (2004). Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Helsinki, F. (2014). Risk-based supervision-concepts, assessment processes and early
intervention. Journal of Finance.
Hermanysah. (2007). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.
Imaniyati, N. S. (2010). Pengantar Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
Imbierowicz, C. (2014). The relationship between liquidity risk and credit risk in banks. Journal
of Banking and Finance, 197-206.
Kim, D. S. (2017). The effect of bank capital on lending: Does liquidity matter. Journal of
Banking and Finance.
Kishor, D. (2014). Risk and risk management in the indian banking. GALAXY International
Interdisciplinary Research Journa.
Luthfia. (2022, Februari 07). Mengenal Sistem Perbankan Syariah. Retrieved from
oyindonesia.com: https://www.oyindonesia.com/blog/mengenal-sistem-bank-syariah-
indonesia
Minarni. (2013). KONSEP PENGAWASAN, KERANGKA AUDIT SYARIAH, NGKA AUDIT
SYARIAH, DAN TATA KELOLA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN TATA
KELOLA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH . Thesis Magister Studi Islam, Program
Pascasarjana, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.
OJK (Otoritas Jasa Keuangan). (2017). OJK Otoritas Jasa Keuangan. Retrieved from
ojk.go.id/id: https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/ikhtisar-perbankan/Pages/
Peraturan-dan-Pengawasan-Perbankan.aspx

21
Suhardi, G. (2004). Usaha Meningkatkan Kinerja & Kepatuhan Perbankan di Indonesia. Skripsi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 5.
Sulistyandari. (2012). Lembaga dan Fungsi Pengawasan Perbankan di Indonesia. , Jurnal
Mimbar Hukum, Univ. Jendral Soedirman, Vol. 24, Nomor 2.
Sutedi, A. (2007). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang Merger, Likuidasi, dan
Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.
Sutedi, A. (2014). Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: RAS.

22

Anda mungkin juga menyukai