1.
Saraf terbagi menjadi 2,
SSP (otak, saraf spinal)
Saraf tepi/PNS
2.
• Kecepatan hantaran saraf dapat melambat secara mencolok akibat penurunan suhu,
kompresi dan kondisi yang lain.
• Kecepatannya mungkin berkurang 2 m/d setiap penurunan suhu 1 derajat celcius.
• Kecepatan hantaran paling cepat terjadi pada serabut bermielin (sampai 50 kali lebih cepat
daripada serabut yang tidak bermielin) (Groot,1997).
Susunan saraf tepi motoric
• Susunan saraf tepi motorik dimulai dari motor neuron di kornu anterior medula spinalis. Neuron-
neuron yang menyalurkan impuls motorik dari medula spinalis ke sel otot skeletal dinamakan
Lower Motor Neuron.
• LMN dibedakan menjadi alfa motorneuron (berukuran besar dan menjulurkan aksonnya yang
tebal ke serabut otot ekstrafusal) dan gamma motorneuron (berukuran kecil, aksonnya halus
dan mensarafi otot intrafusal).
• Tiap motorneuron menjulurkan hanya satu akson yang ujungnya bercabang-cabang sehingga
setiap akson dapat berhubungan dengan sejumlah serabut otot.
• Penghambatan gerakan dilakukan oleh interneuron (sel Renshaw).
• Akson menghubungi sel serabut otot melalui sinaps. Bagian otot yang bersinap itu dikenal
sebagai motor end plate, yang merupakan penghubung antar neuron dan otot.
• Setiap serabut otot memiliki satu motor end plate.
• Ujung-ujung terminal dari akson mengandung mitokondria dan gelembung-gelembung sinaptik
yang mengandung asetilkolin.
• Pelepasan asetilkolin melalui membran presinaptik terjadi saat potensial aksi tiba di membran
tersebut. Terlepasnya asetilkolin mengakibatkan depolarisasi pada membran postsinaptik.
• Interaksi antara asetilkolin dengan reseptor nya menghasilkan perubahan pada konduktans
dimembran postsinaptik, yang mempermudah permeabilitas bagi ion natrium dan kalium.
• Ion-ion mengalir melalui kanal yang dibuka oleh interaksi reseptor asetilkolin mengakibatkan
depolarisasi setempat pada motor end plate, sehingga melepaskan potensial aksi yang membuat
serabut otot berkontraksi. Aksi asetilkolin pada membran postsinaptik berlangsung sangat cepat.
• Penghentian aksi dilakukan oleh enzim asetilkolinesterase yang membelah molekul menjadi 2
bagian kolin dan asetat (Mardjono,2006).
• Otot-otot individual dipersarafi oleh beberapa serat-serat radiks spinalis ventral (persarafan
plurisegmental).
• Akibatnya, jika satu radiks dipotong, tidak ada kehilangan fungsi yang nyata.
• Paralisis pola radikular hanya tampak bila beberapa radiks yang berdekatan rusak.
• Setiap radiks motorik mempunyai otot indikatornya sendiri, sehingga memungkinkan untuk
mendiagnosis kerusakan radiks dengan elektromiogram, terutama jika daerah servikal atau
lumbal terlibat (Duus,1996).
• Radiks ventralis dan dorsalis bergabung di foramen intervertebrale sehingga menjadi satu
berkas saraf spinal dan dinamakan sesuai foramen intervertebrale yang dilewati
◦ Sebuah potensial aksi dimulai oleh sebuah stimulus yang adekuat pada permukaan neuron
pada segmen inisial akson yang merupakan bagian akson yang paling peka.
◦ Stimulus mengubah permeabilitas membran terhadap ion Na sehingga ion Na masuk ke
akson dengan cepat.
◦ Ion-ion positif diluar aksolema berkurang dengan cepat hingga mencapai nol disebut dengan
depolarisasi.
◦ Potensial istirahat -80 mV dengan bagian luar membran lebih positif daripada bagian dalam,
potensial aksi sekitar +40 mV dengan bagian luar membran lebih negatif daripada bagian
dalam.
◦ Potensial aksi saat ini bergerak sepanjang serabut saraf, ion Na yang masuk kedalam akson
berkurang dan permeabilitas aksolema terhadap ion K meningkat. Sekarang ion K berdifusi
keluar akson dengan cepat sehingga potensial membran istirahat kembali seperti semula ion
Na keluar akson dan ion K kedalam akson.
◦ Permukaan luar aksolema kembali lebih positif daripada permuka an dalamnya
(Hackett ,1992).
◦ Selain neurotransmiter utama, dari membran prasinaps ke celah sinaps juga dikeluarkan zat-
zat yang mampu memodulasi dan memodifikasi aktivitas neuron postsinaps dan disebut
neuromodulator, seperti: asetilkolin (muskarinik), serotonin, histamin, neuropeptida, dan
adenosin.
◦ Fungsi neuromodulator ini menguatkan, memperpanjang, menghambat atau membatasi
efek neurotransmiter utama di membran postsinaps (Ngoerah,1991; Ganong,2003).
◦ Inhibisi presinaptik dan postsinaptik biasanya disebabkan oleh adanya perangsangan pada
sistem tertentu yang bersinap konvergen pada suatu neuron post sinaptik (inhibisi aferen).
Neuron-neuron juga dapat menghambat dirinya sendiri dalam bentuk umpan balik negatif
(inhibisi umpan balik negatif).
◦ Setiap neuron motorik spinal biasanya memberikan satu cabang kolateral yang bersinap
dengan interneuron inhibisi yang bersinap di badan sel neuron spinal itu dan neuron motorik
spinal lain. Neuron inhibisi itu dinamakan sel Renshaw, sesuai nama penemunya.
◦ Neurotransmiter yang digunakan dalam sinaps sel Renshaw dengan sel motoneuron adalah
Gamma Amino Butiric Acid (GABA).
◦ GABA ini dibentuk di dalam mitokondria dari sel Renshaw dan disimpan dalam vesikel
sinaptik pada ujung-ujung akson sel itu.
◦ Bila ada impuls yang sampai pada ujung akson, maka GABA dilepas dicelah sinap dan
menyebrang ke membran postsinap. GABA menambah permeabilitas dari membran
postsinaptik, tapi hanya bagi ion kalium dan tidak bagi ion natrium.
◦ Kadar kalium dalam sel otot akan menurun sehingga potensial membran dari otot itu akan
meningkat (hiperpolarisasi). Impuls yang berasal dari neuron motorik menggiatkan
interneuron inhibisi untuk melepaskan mediator inhibisi, yang memperlambat atau
menghentikan pelepasan impuls dari neuron motorik. (Ganong,2003).
◦ Setiap serabut saraf bermielin alfa besar yang masuk ke otot rangka bercabang-cabang dan
selanjutnya berakhir pada sambungan neuromuskular atau motor end plate
◦ Jika saraf tepi campuran terganggu, hanya otot yang dipersarafi oleh saraf ini yang mengalami
paralisis
◦ Paralisis akan berhubungan dengan gangguan sensorik yang disebabkan oleh interupsi serat
aferen. Paralisisnya bersifat flaksid. Otot tidak hanya paralisis, tapi juga hipotonik dan arefleks,
karena interupsi dari refleks regangan monosinaptik.
◦ Atrofi dari otot yang paralisis dimulai setelah beberapa minggu, menggambarkan bahwa sel
kornu anterior mempunyai pengaruh pada serat otot, yang merupakan dasar dalam
mempertahankan fungsi otot normal.
◦ Electromyography (EMG) untuk menilai kerusakan, memungkinkan untuk menentukan
apakah kornu anterior, radiks anterior, pleksus atau saraf tepi yang terlibat (Snell, 2006).
Reaksi neuron terhadap cedera saraf tepi
◦ Degenerasi akson merupakan perubahan yang terjadi pada sebuah sel saraf jika aksonnya
terpotong atau mengalami cedera.
◦ Perubahan mulai timbul dalam 24-48 jam setelah cedera, besarnya perubahan tergantung
pada beratnya cedera terhadap akson dan akan lebih besar jika cedera terjadi di dekat badan
sel.
◦ Sel saraf membengkak dan menjadi bulat, nukleus membengkak dan terletak eksentrik serta
granula Nissl tersebar ke arah pinggir sitoplasma. Ketahanan sitoplasma suatu neuron terhadap
cedera bergantung pada adanya hubungan dengan nukleus meski secara tidak langsung.
◦ Nukleus berperan penting pada sintesis protein yang akan dibawa ke dalam proses sel dan
menggantikan protein yang telah dimetabolisme oleh aktivitas sel.
◦ Akibatnya sitoplasma akson dan dendrit akan ssegera megalami degenerasi jika prosesus ini
terpisah dari badan sel saraf.
◦ Neuron yang hancur dikeluarkan oleh aktivitas fagosit yaitu oleh sistem retikuloendotelial pada
susunan saraf tepi. Pada susunan saraf tepi, terpotongnya sebuah akson diikuti oleh usaha untuk
regenerasi dan perubahan reparatif badan sel.
◦ Jika akson sel saraf terputus, akan terjadi perubahan degeneratif pada segmen distal dari
tempat cedera, termasuk ujung-ujungnya yang disebut Degenerasi Wallerian.
◦ Pada susunan saraf tepi, akson membengkak dan berbentuk ireguler pada hari pertama, dan
akson terpecah menjadi fragmen-fragmen pada hari ketiga atau keempat serta debris
dicerna oleh sel Schwann dan makrofag jaringan yang ada di sekitarnya.
◦ Seluruh akson akan hancur dalam waktu seminggu. Sementara itu selubung mielin akan
terurai menjadi butir-butir lemak yang akan difagosit oleh makrofag jaringan (Snell,2006).
◦ Pertumbuhan kembali akson (motorik, sensorik dan otonom) mungkin terjadi pada susunan
saraf tepi, bergantung pada adanya tabung endoneurial serta kemampuan khusus yang
dimiliki oleh sel Schwann.
◦ Sel Schwann yang telah mengalami mitosis akan mengisi ruang di dalam membrana basalis
tabung endoneurial potongan proksimal sampai ke nodus Ranvier berikutnya, potongan
distal, hingga mencapai ujung akhir organ. Bila terdapat celah kecil antara potongan
proksimal dan distal, sel Schwann yang telah memperbanyak diri membentuk sejumlah pita
untuk menjembatani celah tersebut.
◦ Dibutuhkan beberapa bulan agar akson mencapai organ akhir yang sesuai, tergantung pada
tempat cedera.
◦ Kecepatan pertumbuhan diperkirakan sekitar 2-4 mm per hari. Filamen akson yang
membesar dalam tabung endoneurial hanya mencapai sekitar 80% dari diameter awalnya.
Akibatnya kecepatan konduksi saraf tidak sebesar kecepatan konduksi semula
(Sukardi,1985).
Patofisiologi
◦ Respon saraf terhadap cedera tidak hanya pada tempat cedera, namun juga meliputi tubuh sel
yang terdapat pada medula spinalis dan ganglion. Di mana yang paling berperan adalah sel
Schwann, makrofag dan sel-sel inflamasi (Burnett dan Zager, 2004).
Dasar tipe cedera
◦ Cedera yang berhubungan dengan peregangan merupakan tipe cedera yang umum terjadi.
Saraf tepi secara herediter elastis karena endoneurium kolagennya, namun saat tarikan
memaksa secara berlebihan kapasitas saraf untuk meregang, maka akan terjadi cedera.
◦ Laserasi seperti yang disebabkan oleh goresan pisau merupakan tipe cedera saraf tepi yang
sering lainnya, meliputi 30% cedera serius. Di mana cedera ini dapat dilakukan transeksi
komplet, sehingga lebih sering beberapa elemen saraf masih ada yang mamiliki kontinuitas.
◦ Kompresi merupakan tipe tersering ketiga dari cedera saraf tepi
Kehilangan total fungsi motorik dan sensorik dapat terjadi, namun patofisiologi terjadinya hal ini
masih belum jelas karena kontinuitas saraf masih terjaga. Dua mekanisme patologi dipercaya
berperan pada cedera ini: kompresi mekanik dan iskemia. Serabut-serabut besar bermyelin terlihat
lebih rentan terhadap efek iskemik daripada serabut- serabut kecil tak bermyelin. Efeknya reversibel
kecuali jika iskemia menetap selama lebih dari kira-kira 8 jam (Burnett dan Zager, 2004).
Deformasi mekanik merupakan mekanisme primer pada kasus-kasus yang lebih berat pada cedera
kompresi seperti Saturday Night palsy yang mana fungsinya dapat hilang selama beberapa minggu
dan penyembuhan secara penuh tidak selalu terjadi.
Klasifikasi cedera saraf
Klasifikasi Seddon membagi cedera saraf berdasar tingkat keparahan nya menjadi tiga kategori:
◦ Neurapraksia,
◦ Aksonotmesis, dan
◦ Neurotmesis.
Neuropraksia
◦ Neurapraksia, yaitu tipe cedera paling ringan. Dimana terjadi sedikit atau tidak terjadi cedera
struktural karena tidak adanya kehilangan kontinuitas saraf, sehingga tidak terjadi
kehilangan kemampuan fungsional.
◦ Gejala-gejalanya bersifat sementara dan sebagian besar di sebabkan oleh blokade konduksi
lokal yang diinduksi oleh ion pada tempat cedera, meskipun terjadi sedikit perubahan dari
struktur myelin, sebagai akibat dari kombinasi kompresi mekanik dan iskemia
Aksonotmesis
◦ Terjadi intrupsi komplet dari saraf akson dan lapisan myelinnya, namun struktur-struktur
mesenkimal seperti perineurium dan epineurium seluruhnya atau sebagian utuh.
◦ Prognosis dari aksonotmesis tergantung dari luasnya cedera. Degenerasi akson dan myelin
terjadi di bagian distal dari cedera, menyebabkan tidak terjadinya inervasi secara komplet.
Penyembuhan un tuk kedepannya sangatlah bagus pada cedera tersebut karena sisa
mesenkimal yang tidak mengalami cedera menyediakan bagian untuk tunas akson
selanjutnya untuk menginervasi kembali organ targetnya (Robinson, 2005; Osbourne, 2007;
Burnett dan Zager, 2004).
◦ Seperti pada cedera Pleksus Brakhialis dihubungkan dengan kelahiran, atau dalam hubungan
nya dengan fraktur seperti cedera saraf radial sekunderi terhadap fraktur humerus. Laserasi
seperti yang disebabkan oleh pecahan kaca
Neurotmesis
◦ Terjadi saat saraf, bersama dengan stroma yang mengelilinginya terputus. Kehilangan fungsi
terjadi secara komplet. Pada tipe ini tidak terjadi kesembuhan spontan dan bahkan setelah
operasi prognosisnya buruk karena pembentukan jaringan parut dan hilangnya mesenkimal
dan penyembuhan tanpa operasi biasanya tidak terjadi.
◦ Tipe cedera ini hanya terlihat pada trauma mayor.
◦ Sistem klasifikasi Sunderland menyesuaikan tiga tipe cedera oleh Seddon dengan lima
kategori berdasarkan tingkat keparahannya.
◦ Cedera tingkat pertama sama dengan neurapraksia
◦ Cedera tingkat kedua sama dengan aksonotmesis.
◦ Cedera saraf tingkat ketiga tejadi saat terjadi disrupsi akson (aksonotmesis) dan juga cedera
parsial pada endoneurium. Kategori ini menempati tingkat ketiga antara aksonotmesis dan
neurotmesis Seddon. Tergantung dari luasnya cedera endoneurial, penyembuhan fungsi
kemungkinan terjadi.
◦ Sunderland membagi neurotmesis Seddon menjadi cedera tingkat keempat dan kelima.
◦ Pada cedera tingkat keempat, seluruh bagian dari saraf mengalami disrupsi kecuali
epineurium. Penyembuhannya tidak mungkin tanpa operasi.
◦ Cedera tingkat kelima meliputi semua bagian saraf secara lengkap (Robinson, 2005;
Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
Segmen distal
◦ Pada cedera tingkat kedua dimana cedera intrafascikular mengganggu regenerasiaksonal
Kolum- kolum sel Schwann yang dikenal dengan band of Bungner dan menjadi pedoman
penting untuk tunas akson selama inervasi kembali, yaitu yang berperan neurosuportif untuk
pertumbuhan kembali akson (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
◦ Pada cedera tingkat keempat dan kelima, ujung-ujung saraf menjadi masa yang
membengkak dari sel-sel Schwann, kapiler-kapiler, fibroblas, makrofag, dan serabut kolagen
yang tidak terorganisir. Regenerasi akson mencapai ujung proksimal yang membengkak dan
membuat barier yang hebat untuk pertumbuhan selanjutnya. Beberapa akson membentuk
lingkaran dalan jaringan parut atau membelok ke belakang sepanjang segmen proksimal
atau keluar menuju jaringan sekitar. Beberapa akson yang mengalami regenerasi dapat
mencapai ujung distal, hasilnya tergantung dari banyak faktor, meliputi beratnya cedera asli,
perluasan pembentukan jaringan parut, dan perlambatan sebelum akson mencapai tempat
cedera.
Segmen proksimal dari tubuh
◦ Perubahan tubuh sel neuronal dan dalam serabut-serabut saraf proksimal terhadap tempat
cedera tergantung pada beratnya cedera dan dekatnya segmen cedera dengan tubuh sel
◦ Sel-sel Schwann mengalami degradasi sepanjang segmen proksimal dekat area cedera, dan
akson- akson serta myelin diameternya mengecil. Kemampuan konduksi saraf akan
mengalami penurunan.
◦ Jika tubuh sel secara aktual mengalami degenerasi, dimana dapat terjadi pada trauma yang
berat, segmen proksimal akan mengalami degenerasi Wallerian dan akan difagosit
◦ Saling ketergantungan terjadi antara tubuh sel dan akson pada istilah penyembuhan: tubuh
sel tidak akan sembuh secara penuh tanpa terjadi koneksi fungsi tepi. Diameter akhir akson
tergantung pada luasnya penyembuhan tubuh sel (Burnett dan Zager, 2004).
◦ Tubuh sel saraf sendiri bereaksi terhadap cedera aksonal. 6 jam setelah cedera,
◦ Kemampun hidup sel tidak dapat dipastikan setelah cedera saraf.
◦ Insiden apoptosis yang berhubungan dengan kematian sel pada radiks dorsalis saraf ganglion
pada aksonotmesis sebesar 20-50%.
◦ Kematian terjadi lebih sering jika aksonotmesis terjadi secara prksimal dan pada cedera yang
meliputi saraf cranial dan sensori.
Regenerasi saraf
◦ Pada kasus yang berat regenerasi saraf dimulai hanya setelah degenerasi Wallerian
◦ Cedera ringan proses regenerasi dan perbaikan dimulai secara dini (tingkat 1 & 2)
◦ Pada kasus cedera yang lebih berat, dimana tubulus endoneurial disrupsi, regenerasi akson
tidak dalam waktu lama terjadi, dapat membelok menuju jaringan sekitar atau menuju
tubulus endoneurial yang kurang tepat, jadi gagal untuk menginervasi kembali organ
akhirnya yang sesuai (Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
◦ Rangkaian regenerasi dapat dibagi menjadi zona-zona anatomik:
1. Tubuh sel saraf
2. Segmen antara tubuh sel dan tempat cedera
3. Tempat cedera sendiri
4. Segmen distal antara tempat cedera dan organ akhir
5. Akhir organ sendiri.
◦ Regenerasi yang terlambat atau regenerasi yang tidak berhasil kemungkinan sebagai akibat
perubahan patologikal yang mengganggu proses perbaikan pada satu atau lebih zona ini
(Osbourne, 2007; Burnett dan Zager, 2004).
◦ Fase regenerasi dan perbaikan setelah cedera saraf dapat berakhir sampai beberapa bulan.
◦ Tingkat pertumbuhan kembali aksonal ditentukan oleh perubahan dalam tubuh sel, aktivitas
dari pertumbuhan kerucut khusus pada ujung tiap tunas akson, dan resistensi dari jaringan
yang cedera antara tubuh sel dan organ akhir
◦ Setelah cedera berat dan perbaikan saraf, penyembuhan sensori tidak terjadi secara
komplet. Hal ini dihubungkan dengan kombinasi faktor, meliputi kegagalan akson sensori
untuk mencapai kulit, penyilangan inervasi kembali (akson biasanya dari satu tipe reseptor
membuat hubungan dengan tipe reseptor lain), dan kemungkinan degenerasi reseptor
sensori. Terjadi kematian reseptor-reseptor sensori berkapsul yang tidak mendapatkan
inervasi
Daerah sempit ini diisi oleh pembuluh darah, saraf dan otot. TOS dapat terjadi salah satunya
akibat dari suatu kelemahan otot bahu untuk menyokong clavicula pada tempatnya,
sehingga akan menyebabkan suatu suatu pergerakan ke bawah dan ke depan yang akan
menempatkan dan menyebabkan tekanan terhadap saraf dan pembuluh darah yang terletak
diatasnya.
Sindrom klinis yang tampak dari TOS adalah akibat dari gangguan kompresi yang dapat
terjadi di tiga daerah anatomis segitiga skaleneus, segitiga kostoklavikular / ruang
kostoklavikular ruang subkorakoid.
Pada saat istirahat daerah ini secara anatomis sudah sempit, dengan adanya suatu manuver
provokatif, akan berakibat bertambah sempitnya daerah ini.
Adanya anomali lain pada tulang servikal, otot daerah setempat, serta pita-pita fibrous akan
lebih lanjut berperan mempersempit daerah tersebut.
Pleksus Brakhialis dan arteri subklavia melewati kosta pertama dan otot skaleneus
sedangkan vena subklavia juga melewati kosta pertama hanya saja terletak di bagian luar
dari segitiga skaleneus.
Lokasi tersering terjadinya kompresi adalah daerah segitiga skaleneus dan segitiga/ruang
subkorakoid, namun secara klinis akan sulit sekali menentukan lokasi kompresi secara tepat
karena kebanyakan gejala berasal dari tekanan kumulatif yang secara dinamis terjadi
berbagai tempat di daerah tersebut.
Bagian tersering adalah Pleksus Brakhialis (95%), selanjutnya vena subklavia (4%) dan
terakhir adalah arteri subklavia (1%).
PATOFISIOLOGI
Suatu TOS terjadi akibat pleksus Brakhialis, arteri dan vena subklavia merupakan subjek yang
rentan terkena kompresi, karena melalui daerah berupa celah sempit dari basis leher
menuju aksila dan lengan bagian atas/proksimal.
TOS ini selain merupakan akibat kompresi, juga merupakan akibat injuri, atau iritasi struktur
neurovascular pada the root of the neck or upper thoracic region, yang dikelilingi oleh the
anterior and middle skaleneus; antara klavikula dan kosta pertama (kemungkinan
akibat enlargement/hypertrophy of the subclavius muscle); atau diatas the pectoralis minor
muscle.
Beberapa penulis mendefinisikan thoracic outletsebagai daerah pembuka yang dibatasi oleh
kosta pertama secara lateral, the vertebral column medially, and the claviculomanubrial
complex anteriorly.
Sindrom akibat penekanan pada daerah ini akan bisa mengakibatkan primarily neurologic
deficit, menyangkut pleksus brakhialis, dan paling sering lower trunk or medial cord; juga
bisa menyangkut kompresi dari arteri dan vena subklavia atau keduanya.
Terjadinya suatu thrombosis, embolus, or aneurysm pembuluh darah adalah salah satu
kemungkinan yang dapat terjadi.
ETIOLOGI
TOS memiliki berbagai macam penyebab dan penyebab utama berupa sebab mekanik atau
postural.
Adanya stress, depresif, overuse semuanya akan menyebabkan posisi kepala kearah depan
yang diikuti dengan droopy shoulder dan kolapsnya postur dada sehingga
menyebabkan thoracic outlet menjadi sempit dan menekan struktur neurovascular di
dalamnya.
Adanya accesorius ribs atau fibrous band akan meningkatkan predisposisi dan penyempitan
daerah ini sehingga kemungkinan kompresi akan terjadi.
Payudara yang besar juga merupakan penyebab dan kontributor terdorongnya dinding dada
kearah depan (anterior dan inferior).
Teori ini didukung karena menyebabkan peningkatan tekanan diatas otot dada dan
mengiritasi jaringan neurovascular sekitarnya.
Trauma bisa menyebabkan terjadinya dekompensasi atau bergesernya struktur di daerah
bahu dan dinding dada, sehingga menyebabkan onset gejala.
Sebagai tambahan adanya trauma dengan fraktur klavikula akan berakibat seccara langsung
pada kompresi pleksus oleh frakmen tulang, exuberant callus, hematom, atau
pseudoaneurisma.
Akibat adanya media sternotomi akan mengakibatkan suatu displacement of ribs, yang
biasanya berkaitan dengan fiber C8 dan perlu dibedakan dengan tipe yang secara primer
mengenai T1.
Adanya cedera primer seperti thrombus or aneurysm akan tampak seperti problem
tambahan seperti emboli.
Tumor seperti pada daerah lobus atas paru-paru (Pancoast Tumor) adalah penyebab lain
yang mungkin
GEJALA KLINIS
Gejala yang muncul dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu gejala neurologi dan gejala
vaskular.
Gejala neurologi lebih sering muncul, seperti nyeri pada lengan atas dan lengan bawah,
kesemutan, hilangnya rasa raba, dan kelemahan motorik.
Selain itu dapat juga muncul gejala sistem saraf otonom seperti gangguan termoregulasi,
misalnya pada cuaca dingin, pasien akan mengalami pucat pada ujung-ujung jari, kesemutan,
dan sianosis.
Gejala vaskular yang muncul akibat dari penekanan arteri meliputi klaudikasio ekstremitas
atas selama aktifitas, pucat, dingin, kelainan suplai darah perifer, mikroemboli, dan
perubahan warna kulit.
Gejala vaskular yang muncul akibat pe-nekanan vena meliputi bengkak, perasaan terasa
berat, dan perubahan warna kulit.
QUICK TEST
Adson test : berdiri rotasi & ekstensi kepala, abduksi lengan 30 ̊ maksimal, ekstensi
shoulder, inspirasi dalam ditahan. (+) jika nyeri sepanjang lengan & tangan, nadi melemah.
Eden test : rotasi side flexi neck & trunk, extensi shoulder elbow. (+) jika nadi melemah.
Ross Test : berdiri, abduksi lengan 90 ̊, flexi elbow 90 ̊, retraksi shoulder, tangan
dibuka&ditutup 15x. (+) jika ada kram, rasa kaku, tidak mampu mengulang gerakan 15x
Wright manuever test : berdiri, abd lengan 90 ̊, ditahan beberapa detik. (+) jika terjadi nyeri
sepanjang lengan & nadi melemah.
KOMPLIKASI
Salah satu komplikasi yang sering terjadi berkaitan dengan TOS adalah komplikasi yang
berhubungan yang berhubungan dengan suatu tindakan pascaoperasi dekompresif dari
thoracic outlet.
Komplikasi tersebut berupa suatu injuri dari struktur neurovascular berupa suatu keluhan
salah satunya berupa sindrom horner, nyeri neuropatik post operatif, paresthesia dan suatu
hipersensitifitas, hematoma disekitar pleksus brakhialis, pleuritic chest pain.
ETIOLOGI
Herediter, trauma langsung, gerakan yg repetitive, infeksi (tenosynovitis, TBC), Metabolik (gout,
hipotiroid), Endokrin (akromegali, tx estrogen), Neoplasma (kista ganglion, lipoma, myeloma.
PATOFISIOLOGIS
Penebalan flexor retinaculum penekanan pd nervus medianus naiknya tekanan intrafasikuler
aliran vena intrafasikuler melambat gangguan nutrisi intrafasikuler anoxia endotel rusak,
terjadi kebocoran protein edema epidural serabut syaraf rusak/atropi gangguan nerv
medianus
TEST
Phallen test, tinnel sign, wrist ext.
DIAGNOSIS BANDING
Cervical radiculopathy, Pronator teres synd, De quervain sy
ISCHIALGIA
Ischialgia atau Sciatica secara umum diartikan sebagai nyeri menjalar
(hyperesthesia-paraesthesia) kebawah sepanjang perjalanan
akar saraf ischiadikus (Cailliet, 1981)
Ischialgia menyerang nervus Ischiadicus yang berasal dari radiks
posterior L4-S3.
ETIOLOGI
Neuritis Ischiadicus Primer, Entrapment Radiculitis dan Radikulopaty, Entrapment Neuritis
PATOFISIOLOGI
Nervus ischiadicus adalah berkas saraf yang meninggalkan pleksus lumbosakralis dan
menuju foramen infrapiriformis dan keluar pada permukaan tungkai di pertengahan
lipatan pantat. Pada apeks spasium poplitea nervus ischiadicus bercabang menjadi
dua yaitu nervus perineus komunis dan nervus tibialis.
Ischialgia timbul akibat perangsangan serabut-serabut sensorik yang berasal dari
radiks posterior lumbal 4 sampai sakral 3, dan ini dapat terjadi pada setiap bagian
nervus ischiadicus sebelum sampai pada permukaan belakang tungkai.
TANDA dan GEJALA
Nyeri yang menjalar dari tulang belakang bawah (pinggang) ke pantat dan bagian belakang tungkai
Keluhan mati rasa
Kesemutan
Spasme otot
PEMERIKSAAN TEST
Laseque, Patrick, Kontra Patrick
ETIOLOGI
Radikulopati : GBS, Herpes Zoster
Hernia nucleus pulposus (HNP)
Spondylosis cervicalis
Kesalahan postural
Masalah lain yang mungkin berperan : disfungsi endokrin, infeksi kronis, kekurangan gizi, postur
tubuh yang buruk, tekanan psikologis
PATOFISIOLOGI
Iritasi serabut saraf nyeri radikuler menjalar ke daearah dermatome nyeri meningkat pada
gerakan tertentu keetrbatasan gerak