Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ADVOKAT DALAM ISLAM, PERAKTEK ADVOKAT DALAM SEJARAH


PERADABAN ISLAM DAN DASAR-DASAR ADVOKAT DALAM ISLAM
Dosen Pengampu: Faqihudin, S.HI., M.H.

Disusun oleh:
1. Amrina Munjiyah 2002026019
2. Afitania Sinta Raflis 2002026024
3. Novsa Ferarri 2002026101

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meskipun secara kelembagaan advokat belum dikenal di kalangan orang-orang Arab
pra Islam, tetapi ada praktek yang berlaku saat itu ketika terjadi sengketa antara mereka yaitu
mewakilkan atau menguasakan seorang pembicara atau juru debat yang disebut hajîj atau hijâj
untuk membela kepentingan yang memberikan kuasa atau perwakilan (al-muwakkil). Hal
tersebut berlanjut sampai datangnya Islam.

Dalam perkembangan Islam, bantuan hukum atau advokat sudah ada sejak masa Nabi
Muhammad SAW, masa Khulafaurrasyidin, Masa Dinasti Umayyah, masa Dinasti
‘Abbâsiyyah, hingga masa Dinasti Utsmâniyyah. Dimana alam tradisi Islam, penyeleseian dan
persengketaan dengan mediasi dikenal sebagai tahkim, dengan hakam sebagai juru damai atau
mediator, pranata tahkim itu memiliki landasan yang sangat kuat di dalam al-Qur’an surat
Annisa ayat 35, yang artinya: “dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan argumentasi pada latar belakang sebelumnya, penyusun merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana advokat dalam Islam?


2. Bagaimana praktiknya dalam sejarah peradaban Islam?
3. Apa dasar-dasar advokat dalam Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana advokat dalam Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana praktiknya dalam sejarah peradaban Islam.
3. Untuk mengetahui apa dasar-dasar advokat dalam Islam.
PEMBAHASAN

A. Advokat Dalam Islam


Dalam Islam sesungguhnya kata advokat dikenal sebagai lembaga pemberi bantuan
hukum. Jika dilihat dari pengertian dan fungsi advokat sebagai pemberi bantuan hukum,
maka dalam islam juga mengenal lembaga yang secara praktiknya juga sama yang
dilakukan oleh para advokat.

Dalam Islam mengenal seorang hakam yang fungsinya adalah memberi bantuan hukum
bisa berupa putusan, juru islah atau juga sebagai pemberi advokasi kepada masyarakat.
Selain itu dalam Islam juga dikenal mufti yang secara fungsinya yaitu memberi nasehat
hukum atau konsultasi hukum kepada orang yang mencari keadilan. Yang ketiga adalah
lembaga mashalih ‘alaih yaitu sebagai lembaga yang membantu membuat perjanjian atau
kontrak perjanjian antara pihak yang bersengketa. Karena kesamaan lemaga-lembaga
pemberi bantuan hukum itulah sering dijadikan alasan para sarjana hukum untuk
mempersamakan profesi advokat dengan lembaga penegak hukum dalam Islam.

Ada tiga kategori profesi yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai pemberi jasa
hukum dalam Islam, yaitu hakam, mufti, dan mushalaih-alaih. Seperti yang telah di
jelaskan sebelumnya tentang pemberi bantuan hukum dalam Islam bahwa ketiga lembaga
pemberi bantuan hukum ini fungsinya sama dengan advokat. Jasa hukum yang diberikan
berupa konsultasi,menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan
tindakan hukum lainya kepada klien untuk menyelesaikan perselisihan, mendamaikan
sengketa atau memberikan nasehat kepada pihak yang bersengketa agar saling memenuhi
hak dan kewajibanya masing-masing dan menyelesaikan sengketa secara damai.

Berdasarkan kesamaan fungsi tersebut maka Rahmad Rosyadi dan Siti Hartati
meqiyaskan atau mempersamakan istilahistilah tersebut secara etimologis.1 Namun
demikian tidak semuanya tepat di mata para ahli hukum dan bahkan menimbulkan
perdebatan diantaranya, namun demikian jika kita lihat dan kita fahami bersama bahwa
semangat dalam Islam untuk memberikan bantuan hukum baik di dalam maupun di luar
peradilan oleh lembaga pemberi bantuan hukum dalam upaya untuk menegakkan keadilan
yang sebenar-benarnya. Jadi advokat itu boleh keberadaanya dalam upaya untuk

1
Rahmad Rosyadi dan Siti Hartati, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), 38
mewujudkan sistem peradilan yang seadil-adilnya dalam masyarakat. Advoakat dalam
pengertian penesehat hukum yang diaplikasikan berupa bantuan hukum, dalam peradilan
Islam mengandung beberapa pengertian diantaranya wakalah, mufti, muhakam, dan
muhamah.

Profesi advokat juga dikenal dalam Alquran, yaitu dalam Q.s. al-Qashash [28]: 33-34

ِّ ُ‫َاف أ َ ْن يَ ْقتُل‬
﴾٣٣ ﴿ ‫ون‬ ً ‫ب إِّنِّي قَت َْلتُ ِّم ْن ُه ْم نَ ْف‬
ُ ‫سا فَأَخ‬ ِّ ‫قَا َل َر‬

ِّ ‫َاف أ َ ْن يُ َك ِّذب‬
﴾٣٣ ﴿ ‫ُون‬ ُ ‫ص ِّدقُنِّي ۖ إِّنِّي أَخ‬ َ ‫سانًا فَأ َ ْر ِّس ْلهُ َم ِّع‬
َ ُ‫ي ِّر ْد ًءا ي‬ َ ‫ون ُه َو أ َ ْف‬
َ ‫ص ُح ِّمنِّي ِّل‬ ُ ‫َوأ َ ِّخي ه‬
ُ ‫َار‬
“Dia (Musa) berkata: “Ya Tuhanku, sungguh aku telah membunuh seseorang dari
golongan mereka sehingga aku takut mereka akan membunuhku. Dan saudaraku, Harun,
dia lebih fasih lidahnya daripada aku maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku
untuk membenarkan (perkataan)ku, sungguh aku takut mereka akan mendustakanku”.
Dalam ayat di atas dapat dipahami bahwa Nabi Musa telah meminta bantuan kepada
Nabi Harun untuk mendampingi, membela dan melindungi beliau dari kejahatan
pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Musa mengganggap Harun lebih pandai
berbicara sehingga dianggap mampu mengemukakan argumentasi secara sistematis dan
logis. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam telah mengenal konsep pembelaan atau
kuasa hukum untuk mengungkap fakta di depan pengadilan.2

Islam mengajarkan manusia untuk saling menolong sebagi bentuk ibadah horizontal
kepada sesama manusia (habl min al-nâs). Dalam hubungan horizontalnya, manusia tidak
pernah luput dari pelbagai kesalahan, kealpaan dan kekhilafan yang seringkali menuai
kesalahpahaman antara masing-masing individu yang kemudian berimbas pada
pertengkaran dan perpecahan. Hal ini terjadi dan muncul karena dalam penyatuan pendapat
antara masing-masing individu biasanya bersifat subyektif dan cenderung menguntungkan
kepentingan masing-masing sehingga sulit mengambil keputusan yang dapat diterima oleh
semua pihak. Hal ini berbeda ketika ada orang ketiga yang tidak punya kepentingan di luar
individu para pihak yang sedang menghadapi masalah tersebut dimana dia akan berusaha
mengambil keputusan secara obyektif berdasarkan prinsip keadilan dan keseimbangan hak
bagi kedua pihak yang bermasalah.3

Advokat bertugas tidak hanya menyelesaikan sengketa litigasi tetapi juga non litigasi.
Bagi perkara litigasi, seorang advokat harus mendampingi tersangka yang melakukan

2
Arifin Rada, ‘Esensi Keberadaan Advokat Menurut Hukum Islam’, Jurnal Ilmu Syariah, 14.1
(2014),117.
3
Rada,117 .
tindak pidana pada semua tahapan proses peradilan. Adapun dalam hal keperdataan maka
seorang advokat menerima kuasa dari seseorang yang sedang bersengketa. Oleh karena itu,
tujuan yang dikehendaki advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan
penyelesaian dengan jalan damai. Disamping itu, penegakan hukum yang obyektif
memerlukan sikap integritas, etika, moral dan kejujuran penegak hukum, dimana tanpa
sikap ini yang terjadi adalah suatu retrogresi hukum sehingga tidak pernah akan
menghasilkan sesuatu yang diharapkan.4

Esensi keberadaan seorang advokat adalah orang yang dipercaya masyarakat karena
profesi mulianya sebagai penegak hukum yang penuh amanah dalam mendampingi klien.
Seorang advokat dalam menangani suatu perkara tidak boleh membeda-bedakan klien yang
datang mengadu kepadanya dan ia berkewajiban mendampinginya dalam semua tahapan
proses peradilan tanpa mengabaikan atau mengecewakan klien. Selain itu, nilai-nilai kode
etik advokat ditinjau dari hukum Islam sejalan dengan sistem etika Islam. Prinsip-prinsip
etika dalam Islam memberikan pandangan bahwa antara etika dan hukum merupakan satu
kesatuan bangunan yang tidak dapat dipisahkan. Etika hukum Islam dibangun di atas empat
nilai dasar yaitu tauhid, keadilan, kehendak bebas dan pertanggungjawaban.5

B. Peraktik Advokat Dalam Sejarah Peradaban Islam


Dalam sistem peradilan Islam, peran profesi advokat atau pemberi bantuan hukum
secara formal, belum begitu jelas sosoknya. Tetapi prinsip-prinsip bantuan hukum secara
substansial dan konvensional sudah dikenal sejak zaman Nabi dan masa-masa sesudahnya
sebagai bagian dari penegakan hukum dan keadilan. Untuk melacaknya, maka dalam bab
ini akan diuraikan tentang pratek pemberian bantuan hukum pada masa Nabi saw, dan masa
Khulafaurrasyidin yang merupakan masa-masa penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam.

1. Praktik Bantuan Hukum (Advokat) pada masa Nabi Muhammad SAW


Pada zaman Nabi SAW proses peradilan dan pemberian bantuan hukum
berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu
permasalahan hukum, baik yang berkaitan dengan kaifiyyah ibadah maupun muamalah
sehari-hari, makai a dapat bersegera datang kepada Nabi untuk berkonsultasi meminta

4
Fitrah Humairah, Vivin Kadriani Matondang, and Fauziah Lubis, ‘Advokat Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Hukum Positif’, As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga, 5.2 (2023)
<https://doi.org/10.47467/as.v5i2.2684>.
5
Rada.
fatwa atau meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat
tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadla) yang dilakukan oleh Nabi
lebih bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya jawab, dibandingkan dengan proses
sebuah “pengadilan” dalam Bahasa yang sering dipahami di masa sekarang. Hadits-hadits
Nabi saw yang sampai pada kita sekarang ini juga banyak yang bentukkan adalah konsultasi
hukum.6
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, tetapi tidak
mengabaikan prinsip-prinsip pembuktian dalam rangka mewujudkan keadilan. Rasulullah
menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim
kebenaran, maka keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keputusan
(qadli) mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak secara seimbang. Dalam konteks
ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi
yang dilaporkan. Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses
mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melaikan dijalankan secara
langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti Nabi memutuskan
persengketaan Ka’ab Ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi
memutuskan agar Ka’ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya.
Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka’ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut
dengan mengatakan “qum fa iqdlihi” (lekaslah berdiri wahai Ka’ab dan tunaikanlah).
Proses penyelesaian perkara sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi SAW
tersebut memberikan pelajaran yang sangat penting, yaitu harus dilaksanakan secara cepat
dan dengan proses yang sederhana. Prinsip ini juga dianut oleh peradilan modern yang
terkenal dengan asas “peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Asas ini juga harus
menjiwai kinerja seorang advikat pemberi bantuan hukum, harus berusaha mendamaikan
dan menyederhanakan masalah diantara pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam hal seseorang yang mempunyai masalah hukum maka ia akan datang
menemui Nabi dan kemudian meminta pendapat hukum (legal opinion) atau putusan
hukum. Kedudukan Nabi SAW adalah sebagai konsultan hukum dan sekaligus sebagai
sumber hukum yang mengikat, tidak hanya berlaku pada kasus ketika itu, tetapi berlaku
umum.7

6
Nur Khoirin, Kkeadvokatan Dan Lembaga Bantuan Hukum, Semarang: Cv.Rafi Sarana Perkasa,
2015, 148.
7
Nur Khoirin, 2015, 149-152.
Dalam hal ini cikal bakal advokat dalam Islam bisa ditelusuri melalui praktek al-
wakâlah yang sudah berkembang seiring dengan datangnya Islam. Nabi Saw pernah
mewakilkan kepada sahabat untuk menyerahkan seekor unta yang menjadi kewajiban
beliau kepada seseorang dimana orang tersebut datang menemui beliau memperkarakan
untanya. Nabi Saw. memerintahkan para sahabat mencarikan unta yang seusia dengan unta
yang dituntut orang tersebut untuk diberikan kepadanya. Namun para sahabat tidak
mendapatkannya kecuali unta yang lebih tua. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan
menyerahkan unta yang lebih tua tersebut kepadanya dan orang itu berkata: “Engkau telah
menunaikan kewajibanmu kepadaku maka Allah Swt. akan menunaikan pula kewajiban
untukmu”.
2. Praktik Bantuan Hukum (Advokat) pada masa Khulafaurrasyidin
Hukum Islam pada masa Khulafaur Rasyidin ini berlangsung sesudah periode Nabi
Muhammad SAW., masa Khulafaur Rasyidin (632- 662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi
Muhammad SAW. yaitu berhenti wahyu turun. Wahyu diturunkan oleh Allah SWT. kepada
Nabi Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik
wahyu yang turun di Makkah maupun di Madinah. Demikian juga hadits dan/atau Sunnah
berakhir pula dengan meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, kedudukan
Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi dan Rasul Allah tidak dapat digantikan oleh manusia
lainnya termasuk sahabatnya. Namun tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam
sekaligus sebagai kepada negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti Nabi
Muhammad SAW. sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala negara disebut
khalifah. Pejabat khalifah yang disebut Khulafaur Rasyidin ini silih berganti selama empat
periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin
Abi Thalib.
Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad SAW. hanya meliputi semenanjung
Arabia, tetapi periode Khulafaur Rasyidin meliputi wilayah Arab dan non-Arab, sehingga
masalah yang muncul semakin kompleks. Sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam
Al-Qur'an dan Al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Khulafaur Rasyidin
menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Untuk
menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu, para sahabat terlebih dahulu merujuk
kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Namun, bila sahabat tidak menemukan ketetapan hukum
dari dua sumber hukum dimaksud maka di situlah para sahabat menggunakan akal pikiran
(ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran Islam. Berbagai keputusan hukum di masa Khulafaur
Rasyidin antara lain:
a. Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah pertama sesudah meninggalnya Nabi
Muhammad SAW. dalam pelaksanaan kekhalifahan dimaksud, ia memerangi orang
yang menolak membayar zakat. Umar bin Khattab menegurnya dengan berkata:
“Saya pernah disuruh Rasulullah memerangi orang sampai mereka mengucapkan
la ilaaha illallah, kalau mereka udah mengucapkannya, Allah menjaga harta dan
darahnya, kecuali dengan “hak” nya. Semua urusan di tangan Tuhan”. Abu Bakar
menjawab, “Sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan shalat
dengan zakat, sebab zakat termasuk “hak” nya atas hartanya”.
b. Ketika Ali r.a. kedatangan dua orang suam istri bersengketa
Ketika ada dua orang suami istri terjadi percekcokan datang kepada Sayyidina
Ali r.a. yang diikuti oleh keluarganya, kemudian Ali berkata kepada mereka;
“Buatlah hakim dan masing-masing keluargamu, kemudian Ali berkata kepada
kedua wakil tersebut, bagaimana pendapat kalian tentang suami istri yg
bersengketa? Kalau kalian memandang baiknya itu dirujuk, maka rujuklah, dan
apabila baiknya berpisah, maka pisahlah.

Pada era Khulafâ’ al-Râsyidûn inilah, praktek al-wakâlah semakin berkembang. Di


masa ini advokat mulai mengambil bentuknya. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam
disebutkan bahwa ‘Alî ibn Abû Thâlib pernah meminta ‘Uqayl mewakilinya sebagai
pengacara dalam suatu perkara. Begitu pula yang dilakukan Abû Bakr, ‘Umar ibn al-
Khaththâb dan Utsmân ibn ‘Affân. Hal ini menunjukkan bahwa perwakilan melalui seorang
advokat dalam masalah-masalah yang disengketakan sudah diakui dan dipraktekkan di
zaman Khulafâ’ al-Râsyidûn.8
3. Praktik Bantuan Hukum (Advokat) pada masa Dinasti Umayyah, masa Dinasti
‘Abbâsiyyah, Dinasti Utsmâniyyah

Profesi advokat mulai benar-benar melembaga pada masa Dinasti Umayyah. Hal ini
terlihat pada praktek beracara di hadapan pengadilan wilâyah al-mazhâlim saat itu yang
selalu melibatkan atau menghadirkan para pembela dan pengacara (alhumah dan al-a’wan).
Kehadiran para pengacara ini diharapkan dapat meredam kekerasan dan keangkuhan hati

8
Rada, 119.
para pejabat pemerintah yang diajukan ke persidangan atas pelangggaran yang dibuatnya
terhadap anggota masyarakat.

Di masa Dinasti ‘Abbâsiyyah, seiring dengan pesatnya perkembangan fikih dan kajian
hukum Islam yang ditandai dengan munculnya mazhab-mazhab hukum Islam, konsep
perwakilan (al-wakâlah) khususnya dalam perkara sengketa perselisihan antar anggota
masyarakat (khushûmah) baik perdata maupun pidana mulai disempurnakan dan
dibakukan. Ulama-ulama masa ini sepakat menetapkan kebolehan menunjuk seorang
pengacara dalam perkara-perkara yang dipersengketakan, baik oleh penggugat (al-
mudda’î) terlebih lagi oleh pihak tergugat (mudda’â ‘alayh). Di masa ini, lembaga tahkîm
(badan arbitrase) mendapat legalisasi dari pemerintahan ‘Abbâsiyyah disamping lembaga-
lembaga peradilan yang ada. Orang-orang yang berperkara dibenarkan menyerahkan
perkaranya kepada seorang hakam yang mereka setujui atas dasar kerelaan kedua belah
pihak yang berperkara.

Lembaga advokat memasuki babak baru pada era akhir pemerintahan Dinasti
Utsmâniyyah. Pada tahun 1846 M, untuk pertama kalinya didirikan sebuah universitas di
Astanah yang membawahi sebuah akademi hukum yang nantinya melahirkan advokat.
Akademi ini bernama Maktab al-Huqûq al-Shanî. Pemerintah Utsmâniyyah mensyaratkan
bahwa seorang advokat adalah yang dinyatakan lulus dan menyandang ijazah dari akademi
tersebut, disamping harus menguasai bahasa resmi Daulah Utsmâniyyah yang sedikit
berbeda dengan bahasa Turki. Pada tahun 1845 M penguasa Mesir menetapkan keputusan
resmi yang mengatur tentang keberadaan seorang advokat di hadapan pengadilan
bahwasanya pihak penggugat maupun tergugat tidak boleh diwakili oleh seorang pengacara
kecuali keduanya atau salah satu dari keduanya tidak dapat hadir di persidangan karena
alasan yang dapat diterima(syar’î). Pada tahun 1861 penguasa Mesir mengadakan
kesepakatan dengan para konsulat negara asing untuk membentuk lembaga peradilan yang
memperkarakan orang-orang asing yang menetap di Mesir saat itu. Lembaga ini dinamai
Majlis Qawmiyyun Mishr. Di lembaga peradilan inilah peran advokat semakin jelas dengan
dikeluarkannya aturan bahwa pihak tergugat dapat mengajukan wakilnya untuk beracara di
hadapan pengadilan.9

9
https://www.referensimakalah.com/2012/09/advokat-dalam-sejarah-islam.html, diakses 17 Mei 2023.
C. Dasar-Dasar Advokat Dalam Islam
Ada beberapa dalil yang menjelaskan tentang konsep advokat dalam Alquran dan
Sunah, yaitu:

pertama, Q.s. al-Nisâ’ [4]: 58:

َّ ‫اس أ َ ْن تَحْ ُك ُموا ِّب ْال َع ْد ِّل ِّإ َّن‬


‫َّللاَ ِّن ِّع َّما‬ ِّ ‫َّللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَا‬
ِّ َّ‫ت ِّإلَ ٰى أ َ ْه ِّل َها َو ِّإذَا َح َك ْمت ُ ْم َبيْنَ الن‬ َّ ‫ِّإ َّن‬
﴾٨٥ ﴿ ‫يرا‬ ً ‫ص‬ ِّ َ‫س ِّميعًا ب‬َ َ‫َّللاَ َكان‬َّ ‫ظ ُك ْم ِّب ِّه ۗ ِّإ َّن‬ُ ‫يَ ِّع‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya dan menetapkan hukum di antara manusia supaya (menetapkannya)
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ayat di atas secara tekstual menjelaskan bahwa setiap orang diperintahkan oleh
Allah Swt. untuk selalu berlaku adil dalam menetapkan segala sesuatu dan menyampaikan
amanat kepada yang berhak. Hal ini sesuai dengan konsep dasar advokat yaitu
menyampaikan amanat para klien kepada hakim dengan seadil-adilnya

Kedua, Q.s. al-Hujurât [49]: 9

‫علَى ْاْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِّلُوا الَّتِّي ت َ ْْ ِّغي‬ َ ‫َت ِّإحْ دَا ُه َما‬ ْ ‫ص ِّل ُحوا َب ْينَ ُه َما ۖ فَإ ِّ ْن َبغ‬ْ َ ‫َان ِّمنَ ْال ُمؤْ ِّمنِّينَ ا ْقتَتَلُوا فَأ‬ِّ ‫طائِّفَت‬ َ ‫َو ِّإ ْن‬
ِّ ‫َّللاَ ي ُِّحبُّ ْال ُم ْقس‬
َ‫ِّطين‬ ُ ‫ص ِّل ُحوا بَ ْينَ ُه َما بِّ ْالعَ ْد ِّل َوأ َ ْق ِّس‬
َّ ‫طوا ۖ إِّ َّن‬ ْ َ ‫ت فَأ‬ َّ ‫َحت َّ ٰى ت َ ِّفي َء إِّلَ ٰى أ َ ْم ِّر‬
ْ ‫َّللاِّ فَإ ِّ ْن فَا َء‬
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya. Tetapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain maka hendaklah yang melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau
dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Dalam ayat di atas, Allah Swt. menguatkan anjurannya kepada umat Islam untuk
senantiasa berbuat adil dengan firman-Nya “Sesungguhnya Allah mencintai orangorang
yang berlaku adil”. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kata damai (al-ishlâh) lebih dekat
artinya pada keadilan. Perdamaian merupakan jalan pertama dalam persidangan tetapi
perdamaian ini tidak bisa langsung disampaikan oleh pihak yang berkaitan tanpa adanya
advokat atau pengacara yang lebih menguasai sistem kehakiman Indonesia yang
berdasarkan asas keadilan.

Ketiga, Q.s. Yûsuf [12]: 26-28:


َ َ‫صهُ قُدَّ ِّم ْن قُُْ ٍل ف‬
ْ َ‫صدَق‬
َ‫ت َو ُه َو ِّمن‬ ُ ‫ش ِّهدَ شَا ِّهدٌ ِّم ْن أ َ ْه ِّل َها إِّ ْن َكانَ قَ ِّمي‬
َ ‫ع ْن نَ ْفسِّي َو‬ َ ‫ِّي َر َاودَتْنِّي‬ َ ‫قَا َل ه‬
‫صهُ قُدَّ ِّم ْن‬َ ‫) فَلَ َّما َرأَى قَ ِّمي‬٦٢( َ‫صا ِّدقِّين‬ َّ ‫ت َو ُه َو ِّمنَ ال‬ ْ ‫صهُ قُدَّ ِّم ْن دُب ٍُر فَ َكذَ َب‬ ُ ‫) َوإِّ ْن َكانَ قَ ِّمي‬٦٢( َ‫ْال َكا ِّذ ِّبين‬
)٦٥( ‫ع ِّظي ٌم‬ َ ‫دُب ٍُر قَا َل ِّإنَّهُ ِّم ْن َك ْي ِّد ُك َّن إِّ َّن َك ْيدَ ُك َّن‬
“Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”. Seorang
saksi dari keluarga perempuan itu memberikan kesaksiannya: “Jika bajunya robek di
depan maka perempuan itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika
bajunya robek di belakang maka perempuan itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-
orang yang benar”. Maka ketika suami perempuan itu melihat baju Yusuf robek di
belakang dia berkata: “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu.
Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar”.”
Ayat di atas menjelaskan tentang barang bukti yang dipakai dalam persidangan,
yaitu pakaian yang robek. Barang-barang bukti seperti itu tidak akan dengan mudah
diketahui oleh para pihak yang bersengketa. Untuk itu maka kehadiran advokat/pengacara
sangat penting untuk mencari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan barang bukti
sebagai bukti yang memperkuat kebenaran yang diinginkan oleh hakim.

Dari beberapa dalil di atas terkandung makna bahwa sebagai sesama manusia
dituntut untuk memberikan pertolongan kepada sesama manusia meskipun dia bersalah
atau dianggap bersalah. Akan tetapi bukan kesalahannya yang dibela melainkan lebih
menekankan pada pengawasan dan keberlakuan hukum sebagaimana mestinya sehingga
seseorang tidak mendapat hukuman yang lebih berat dari kesalahan dia lakukan.10

10
Rada,120-121.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi di bab sebelumnya, kami dapat memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Ada tiga kategori profesi yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai pemberi jasa
hukum dalam Islam, yaitu hakam, mufti, dan mushalaih-alaih. Seperti yang telah di
jelaskan sebelumnya tentang pemberi bantuan hukum dalam Islam bahwa ketiga
lembaga pemberi bantuan hukum ini fungsinya sama dengan advokat. Jasa hukum yang
diberikan berupa konsultasi, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela
dan melakukan tindakan hukum lainya kepada klien untuk menyelesaikan perselisihan,
mendamaikan sengketa atau memberikan nasehat kepada pihak yang bersengketa agar
saling memenuhi hak dan kewajibanya masing-masing dan menyelesaikan sengketa
secara damai.
2. Praktik Bantuan Hukum (Advokat) pada masa Nabi Muhammad SAW
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan dan pemberian bantuan hukum berlangsung
dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan hukum,
baik yang berkaitan dengan kaifiyyah ibadah maupun muamalah sehari-hari, makai a
dapat bersegera datang kepada Nabi untuk berkonsultasi meminta fatwa atau meminta
putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula.
Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadla) yang dilakukan oleh Nabi lebih
bersifat sebagai “fatwa” dengan model tanya jawab, dibandingkan dengan proses
sebuah “pengadilan” dalam Bahasa yang sering dipahami di masa sekarang. Hadits-
hadits Nabi saw yang sampai pada kita sekarang ini juga banyak yang bentukkan adalah
konsultasi hukum.
3. Praktik Bantuan Hukum (Advokat) pada masa Khulafaurrasyidin
Pada era Khulafâ’ al-Râsyidûn inilah, praktek al-wakâlah semakin berkembang. Di
masa ini advokat mulai mengambil bentuknya. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam
disebutkan bahwa ‘Alî ibn Abû Thâlib pernah meminta ‘Uqayl mewakilinya sebagai
pengacara dalam suatu perkara. Begitu pula yang dilakukan Abû Bakr, ‘Umar ibn al-
Khaththâb dan Utsmân ibn ‘Affân. Hal ini menunjukkan bahwa perwakilan melalui
seorang advokat dalam masalah-masalah yang disengketakan sudah diakui dan
dipraktekkan di zaman Khulafâ’ al-Râsyidûn.
4. Praktik Bantuan Hukum (Advokat) pada masa Dinasti Umayyah, masa Dinasti
‘Abbâsiyyah, Dinasti Utsmâniyyah
Profesi advokat mulai benar-benar melembaga pada masa Dinasti Umayyah. Hal ini
terlihat pada praktek beracara di hadapan pengadilan wilâyah al-mazhâlim saat itu
yang selalu melibatkan atau menghadirkan para pembela dan pengacara (alhumah dan
al-a’wan). Kehadiran para pengacara ini diharapkan dapat meredam kekerasan dan
keangkuhan hati para pejabat pemerintah yang diajukan ke persidangan atas
pelangggaran yang dibuatnya terhadap anggota masyarakat.
5. Ada beberapa dalil yang menjelaskan tentang konsep advokat dalam Alquran dan
Sunah, yaitu: Pertama, Q.s. al-Nisâ’ [4]: 58. Kedua, Q.s. al-Hujurât [49]: 9. Ketiga, Q.s.
Yûsuf [12]: 26-28. Dari beberapa dalil di atas terkandung makna bahwa sebagai sesama
manusia dituntut untuk memberikan pertolongan kepada sesama manusia meskipun dia
bersalah atau dianggap bersalah. Akan tetapi bukan kesalahannya yang dibela
melainkan lebih menekankan pada pengawasan dan keberlakuan hukum sebagaimana
mestinya sehingga seseorang tidak mendapat hukuman yang lebih berat dari kesalahan
dia lakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Humairah, Fitrah, Vivin Kadriani Matondang, and Fauziah Lubis, ‘Advokat Dalam Perspektif
Hukum Islam Dan Hukum Positif’, As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga,
5.2 (2023) <https://doi.org/10.47467/as.v5i2.2684>

Rada, Arifin, ‘Esensi Keberadaan Advokat Menurut Hukum Islam’, Jurnal Ilmu Syariah, 14.1
(2014)

Rosyadi, Rahmad dan Siti Hartati, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002)

Khoirin, Nur, Kkeadvokatan Dan Lembaga Bantuan Hukum, Semarang: Cv.Rafi


Sarana Perkasa, 2015.
https://www.referensimakalah.com/2012/09/advokat-dalam-sejarah-islam.html, diakses 17
Mei 2023.

Anda mungkin juga menyukai