Anda di halaman 1dari 4

Ujian Akhir Semester

al-Quran Hadits II

Nama : Fatwa Azmi Syahriza


NIM : 19110195
Kls/Smt : PAI B – V

Moderat vs Fanatisme Buta


Ketika Tuhan menciptakan manusia dengan ‘mantra’ Kun Fayakunnya, manusia telah
didaulat menjadi khalifah yang bertugas dengan khilafahnya di muka bumi ini. Manusia telah
dihukumkan Tuhan untuk mengemban beban yang makhluk lain mengundurkan diri untuk
menunaikannya. Dengan alasan diciptakan Tuhan menjadi makhluk yang paling sempurna,
manusia dianggap lebih mulia dibanding makhluk lainnya. Bahkan, seperti yang terdapat
dalam kisah di zaman Nabi Sulaiman AS tatkala meminta rakyatnya memindahkan
singgasana Ratu Bilqis, seorang manusia sepuh berhasil mengalahkan jin dan mengukuhkan
kehebatannya dibanding jin tersebut.
Sudah semestinya dalam diri khalifah terdapat berbagai elemen akhlakul karimah yang
lebih. Jika ditanyakan tentangnya, tentunya sifat-sifat seperti Moderat, Jujur, dan Taqwa akan
menjadi jawaban yang tepat.
    Berbagai kisah tentang para pemimpin moderat sudah bertebaran dan menjadi kisah
yang klasik di dengar. Kembali ke zaman Nabi Sulaiman AS dimana terdapat kisah
perselisihan antara dua orang ibu yang mengakui satu bayi sebagai anaknya. Mereka saling
berdebat hingga muncullah kemoderatan Nabi Sulaiman AS sampai singkat waktu beliau
dapat menentukan sang ibu yang sebenarnya.
Moderat tak hanya semata-mata sama berbagi rata, karena pada hakikatnya moderat
lebih jauh diartikan sebagai menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Kata ‘sesuai’
menjadi kunci utama dalam pengertian tersebut. Menyesuaikan penempatan sesuatu.
Dalam berbagai garis waktu perjalanan hidup, akan ada yang namanya Utara dan
Selatan yang senantiasa tak bisa disatukan. Mulai dari perbedaan yang bersifat umum seperti
pandangan politik hingga lingkup terkecil berupa diaduknya bubur atau dibiarkan sesuai
dengan penyajiannya.
Bukan hanya itu, dalam dunia pendidikan pun yang namanya perbedaan marak adanya.
Seperti contoh adanya Bashrah dan Kuffah menjadi ujian bagi para peserta didik yang
menggeluti ilmu agama khususnya dalam bidang Nahwu.
Berlembar-lembar halaman dalam Syarh Alfiyah Ibn Aqil seringkali membahas
perbedaan yang ada di antara mereka. Perdebatan antara Fiil Madhi dan Mashdar menjadi
salah satu contoh yang hingga kini masih dibahas di berbagai kajian. Tak hanya perbedaan
dari 2 arah, terkadang ada pendapat as-Shanhaji dan al-Farra’ serta imam nahwu lainnya yang
menambah warna dalam disiplin ilmu pan nahwu.
    Diteliti berabad-abad lamanya dengan ribuan ulama ahli hanya menghasilkan
jawaban berupa semua pendapat dan dalil yang diungkapkan beliau-beliau itu tepat serta
masuk akal semua. Illat mereka sangat kuat bahkan hingga seorang santri harus berulang kali
melepas kopiah dan mengipas-ngipasi kepalanya sebagai bukti kebingungan mereka dalam
mendalaminya itu.
Namun, perbedaan dalam ilmu nahwu seperti itu bersifat hasanah. Mana ada santri
yang fanatik terhadap Bashrah kemudian mencaci maki santri Kuffah dengan radikal. Mereka
berbeda namun mereka berbuat moderat. Itu kuncinya.
    Kembali ke dunia pendidikan dimana menjadi asal mula dari perbedaan pandangan
terhadap sesuatu. Semakin zaman berkembang, berbagai teori-teori juga semakin melebarkan
sayapnya. Hal itu akan sangat dirasakan terutama ketika duduk di bangku perkuliahan.
Menjadi mahasiswa baru bak menjadi daging panggang di kandang singa atau seperti
sepotong ikan goreng yang diperebutkan kucing-kucing kampung. Tak peduli bahwa ia
sedang bersaing dengan istri atau bahkan anaknya sendiri yang penting ia berhasil
mendapatkan mangsanya tersebut. Daging panggang dan ikan goreng itu mengalami ‘shock’
sehingga tak bisa bergerak kemana-mana. Yang terlihat hanya pemandangan bahwa
keduanya sedang diperebutkan oleh berbagai macam dan jenis singa serta kucing yang
berbeda. Adanya ‘shock’ itu seakan-akan menjadi bom waktu bagi mahasiswa untuk memilih
dengan tepat kepada siapa ia harus menyerahkan diri. Memilah, memilih, dan menyerahkan.
          Dengan waktu yang cukup singkat, seorang mahasiswa dituntut untuk
menyerahkan diri dengan cepat. Kemana jalan langkahnya? Kemana lantang suaranya?
Kemana arah pandangannya? Untuk kubu Merah? Kuning? Atau Hijau?
  Seorang mahasiswa baru dengan semangat baru berkata, “Aku masuk kubu Merah. Di
sana aku bisa menjadi orang yang sukses.”
Mahasiswa baru idealis berkata, “Aku masuk kubu Kuning saja, mereka satu
pemikiran denganku.”
Berbeda lagi dengan mahasiswa baru santuyis, “Aku masuk kubu Hijau deh, sepertinya
mereka lebih jelas dan tidak macam-macam.”
Ketiganya bersuara lantang membanggakan suaranya masing-masing. Bagiku tak
apalah. Toh mereka tak saling merendahkan dan saling bersaing dengan sehat. Berbeda
pandangan bagiku jika ada mahasiswa baru yang tak bisa aku kategorikan berjenis apa yang
tiba-tiba saja bersuara lantang tanpa pengalaman apa-apa kemudian mengatakan bahwa
kubunya adalah kubu yang terbaik dan menafikan kubu lainnya.
Bagiku, ranah seperti itu sudah melampui batas. Kamu belum memiliki pengalaman
apa-apa, hidupmu pun masih seumur jagung. Jangan hanya karena satu pandanganmu yang
sama membuatmu fanatisme buta. Masih adanya ribuan pandanganmu di luar sana yang
berpotensi beradu dengan pemikiranmu.
Aku tahu, semua tak sama dan tak bisa disamakan. Tapi setidaknya berbuatlah moderat
atas dirimu sendiri. Tempatkan dan sesuaikan dirimu. Menyeburkan dirimu yang masih benih
ke dalam tanah hanya karena tanahnya empuk akan membahayakanmu. Apa kamu sudah
pastikan bahwa tanah itu bebas dari cacing-cacing radikalis yang siap menggerogoti
perkembanganmu?
Masyarakat Indonesia memang sudah terjebak dalam mudahnya akses informasi. Kasus
Audrey dan Ratna Sarumpaet tentang perundungan pada awalnya sangatlah manis untuk
dibahas. Orang-orang langsung menyatakan simpatinya karena merasa pandangannya
terhadap kasus itu sudah sejalan. Namun akhirnya, orang-orang yang terjebak itu malu
sendiri.
Ada lagi kasus yang berbeda. Entah karena pandangan mereka atau hanya karena ikut-
ikutan, masyarakat yang terjebak itu mengampanyekan isu #EdyOut dengan tujuan memecat
Edy Rahmayadi dari kursi PSSI. Berbagai pandangan mereka beberkan dari mulai korupsi
massal, dualism jabatan, dan sebagainya. Namun ternyata, lagi-lagi isu itu mentah. Edy pun
mengundurkan diri dan ternyata semua opininya terlempar bahkan faktanya kini orang-orang
merindukan kepemimpinannya.
Kasus terbaru yang hadir ialah tentang isu Pertentangan KPAI, Pelemahan KPK, hingga
pemindahan Ibu Kota. Bagaimana tanggapannya? Patut kita tunggu bola panasnya yang
masih menggelinding.
Hanya karena satu pandangan yang dianggap sejalan tidak semestinya membuat
seseorang fanatisme buta. Aku katakan masih ada ribuan pandangan yang mesti diperhatikan
lebih lanjut. Hanya karena seorang teman mengajak unjuk rasa, dengan mudahnya langkah
kaki menyetujuinya.
Hanya karena presiden melakukan satu kesalahan, mulut langsung mengeluarkan
cacian dan makian. Menurutku, bukan itu cara dan jawabannya.
Lalu bagaimana? Menjadi Apatis?
800 lebih kata-kata dalam tulisanku ini tidak serta merta menghukumiku bahwa aku
menyetujui posisi apatis. Apatis menunjukkan ketidakberdayaan seseorang dalam
berpandangan hingga akhirnya ia acuh tak acuh terhadap pandangannya.
Untuk menyikapi hal ini, aku lebih asik menggunakan diksi Moderat yang
berkesinambungan dengan jabatan utama Insan di dunia ini sebagai seorang khalifah.
Moderat terhadap diri sendiri dengan tidak gegabah menyetujui berbagai doktrin yang
disuntikkan terus menerus dalam menjalani hidup ini. Moderat terhadap orang lain dengan
tetap menghormati pandangannya terhadap sesuatu. Memperselisihkan pandangan di muka
umum tanpa adanya tujuan yang jelas adalah hal bodoh. Para akademisi tentu sudah mengerti
tentang hal ini.
Insan Moderatun berbeda dengan apatis. Di saat apatis acuh tak acuh terhadap keadaan,
Insanun Moderatun akan berkerja mencari kebaikan di antara keduanya serta menimbang
dengan baik apa yang harus dilakukannya. Meski tak sepenuhnya pandangan itu moderat, tapi
setidaknya terdapat usaha untuk memperoleh kemoderatan tersebut.
        Berbagai pandangan tentang sesuatu akan terus berkembang seiring liberalnya
pemikiran yang ada. Liberal pemikiran untuk diri sendiri tak bisa disalahkan dengan syarat
bertanggung jawab, berdalil kuat, dan tidak membebaskannya di muka umum. Pandangan diri
sendiri merupakan pandangan terbaik yang kita miliki, tetapi mungkin saja bukan terbaik
untuk khalayak umum.
Pada akhirnya, memang tidak ada khalifah yang sempurna. Insan hanyalah hewan yang
berakal. Insan adalah makhluk yang Dhaif. Insan adalah tempatnya salah dan lupa. Yang
membedakan insan dengan hewan hanyalah akal yang merupakan alat untuk bisa menata
khilafah dengan benar di bumi-Nya. Selamat bekerja, Khalifah!

Anda mungkin juga menyukai