Anda di halaman 1dari 70

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Akuntansi Keperilakuan

Menurut Ashton (1982), Bamber (2001), dan Caplan (1989), awal mula

penelitian akuntansi keperilakuan dapat ditelusuri mulai tahun 1950-an. Penelitian

empiris dan eksperimen mulai muncul pada tahun 1960-an, dua monograph pada

penganggaran dan sistem pengendalian manajemen yang dua-duanya ditulis oleh non

- akuntan (Argyris : 1953). Kemudian muncul beberapa penelitian yang memberikan

kontribusi pada pengembangan akuntansi keperilakuan yang cenderung melakukan

eksplorasi pada karakteristik dan menyajikan suatu usaha untuk mendefinisikan

bidang-bidang akuntansi, selain itu juga menunjukkan relevansi isu-isu perilaku pada

teori dan praktek akuntansi dan mengembangkan model yang konseptual, misalnya

yang dilakukan oleh Stedry (1960), Benston (1963); dan Churchill dan Cooper (1965)

dalam bidang akuntansi manajemen yang memfokuskan pada pengaruh fungsi

akuntansi pada perilaku. Kemudian pada tahun 1970-an, dilanjutkan oleh Mock

(1978); Barefield (1972); Magel dan Dickhaut (1978); Benbasat dan Dexter yang

tetap fokus pada bidang akuntansi manajemen namun isinya bergeser dari pengaruh

fungsi akuntansi keproses informasi oleh pengambil keputusan (Khomsiyah, 2001).

Beberapa penulis, misalnya : Birnberg dan Shields (1989), Bamber (2001),

mengklasifikasikan penelitian akuntansi keperilakuan dalam bidang-bidang akuntansi

sebagai berikut:

10
11

1. Auditing

Berdasarkan review atas artikel Behavioral Accounting Research

(BAR), tahun 1990-1991, Bambers menyatakan bahwa artikel tersebut

menunjukkan adanya penekanan kuat pada judgment dan pengambalian

keputusan auditor, dengan pengembangan orientasi kognitif. Menurut Solomon

dan Shields (1995) beberapa peneletian yang berkaitan dengan judgment dan

pengambilan keputusan dalam auditing dapat dibagi dalam beberapa topik yaitu :

a.Policy Capturing Studies

Dengan menggunakan model Lens Brunswik sebagai kerangka empiris

menguji konsesus dan Cue Usage model ini dirancang untuk menyajikan

satu hubungan hasil keputusan dengan informasi. Model Lens ini

dikembangkan oleh Lens Brunswik dengan mengadopsi dari literatur

psikologi.

b.Probabilistic Judgment Studies

Penelitian dibidang ini berakar dari teori keputusan keperilakuan, yang

secara umum difokuskan pada penilaian probabilitas subjektif, kombinasi

probabilitas dan perilaku pilihan yang berisiko. Studi ini menekankan pada

pengujian terhadap perbedaan antara :

1) Judgment auditor dan prediksi berdasarkan model statistik.

2) Judgment yang diperoleh auditor yang menggunakan

metode elicitasi (Solomon dan Shields, 1993)


12

c. Heuristic and Biases Studies

Tversky dan Kahneman (1972) mengembangkan pendekatan heuristics dan

biases dalam penelitian auditing. Beberapa peneltian menguji apakah

heuristics representativeness dan heuristics anchoring dan adjustment

menjelaskan judgment auditor.

2. Keuangan

Menurut Bambers (2001) akuntansi keperilakuan yang diterapkan

dalam bidang keuangan hanya sedikit namun dengan berkembangnya pasar

modal, dan keterbatasan manusia dalam menggunakan rasionya, yang menuntut

orang untuk menggunakan aspek psikologinya dalam pengambilan keputusan,

menyebabkan berkembangnya akuntansi keperilakuan.

Alasan lainnya adalah peran dari informasi akuntansi keuangan sebagai

input langsung dalam pengambilan keputusan kredit bank, negosiasi kontrak

tenaga kerja, prediksi laba, dan rekomendasi pembelian ataupun penjualan saham

memperjelas kaitan antara variabel keperilakuan dengan pengetahuan dalam

konteks pengambilan keputusan.

3. Kepemimpinan

Faktor-faktor lingkungan dan teknologi mempunyai dampak yang

sangat kuat terhadap perilaku organisasi dan perilaku individu dalam organisasi

(Bambers, 2001). Berkaitan dengan penelitian akuntansi keperilakuan dibidang


13

pengendalian manajerial, Bimberg dan Shields (1989) mengklasifikasikan topik-

topik penelitian dalam beberapa bagian antara lain :

a) Partisipasi dalam proses anggaran

Banyak penelitian yang dilakukan yang berkaitan dengan partisipasi

anggaran diantaranya oleh Brownell dan Dunk (1991) meneliti tentang

partisipasi dengan efektivitas organisasi.

b) Gaya kepemimpinan

Menurut Bimberg dan Shields (1989) beberapa penelitian yang berkaitan

dengan gaya kepemimpinan dilakukan oleh Decoster dan Fertakis (1968),

Hopwood (1972). Menurut DeCoster dan Fertakis (1968) gaya

kepemimpinan dibagi dalam dua dimensi yaitu struktur inisiatif dan

kansiderasi. Struktur inisiatif menunjukkan perilaku kepemimpinan yang

dihubungkan dengan kinerja pekerjaan, dan oleh karena itu disebut

terstruktur. Dimensi konsiderasi menunjukkan perilaku kepemimpinan yang

mengindikasikan adanya hubungan bersahabat, saling percaya dan

memperhatikan serta memiliki hubungan yang baik antara pemimpin dan

grupnya.

2.2 Gaya Kepemimpinan

Variabel kepemimpinan yang paling banyak diteliti oleh para pakar adalah

gaya kepemimpinan. Variabel ini sangat penting karena gaya kepemimpinan

mencerminkan apa yang dilakukan oleh pemimpin dalam mempengaruhi pengikut

untuk merealisasikan visinya. Menurut Wirawan (2003), gaya kepemimpinan


14

merupakan observasi dari luar interaksi pemimpin dan pengikut. Pengertian gaya

kepemimpinan mempunyai konotasi yang sama dengan gaya kepemimpinan yang

dikemukakan oleh Boles dan Davenport (1983). Gaya kepemimpinan mempunyai

pengaruh ketika dipergunakan oleh pemimpin dalam kepemimpinannya, yaitu proses

interaksi dengan para pengikut. Interaksi ini akan mempengaruhi pola perilaku yang

disebut gaya kepengikutan .

Mengenai gaya kepemimpinan Luthan (2002) menyatakan sebagi berikut :

…“ The Word ‘Style’ is roughtly equivalent to the way the leaders


influences followers. The accompanying, international application example indicates
that this style may be influenced by culture”.

Dengan kata lain gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin mempengaruhi

para pengikutnya dan gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh budaya. Wirawan

mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai “pola perilaku pemimpin dalam

mempengaruhi para pengikutnya”.)

Pola perilaku dalam pengertian yang dinamis, adalah gaya kepemimpinan

seorang pemimpin yang dapat berubah tergantung pengikut dan situasinya. Dengan

kata lain, seorang pemimpin dapat mempergunakan sejumlah pola perilaku yang

berbeda dalam mempengaruhi para pengikutnya.

Mengenai cara mengukur gaya kepemimpinan, seorang pemimpin dalam

penelitian dapat menggunakan cara sebagi berikut : (a) mengukur persepsi para

pengikutnya mengenai gaya kepemimpinan yang digunakan oleh pemimpinnya ketika

memimpin mereka, (b) mengukur persepsi pemimpin mengenai gaya kepemimpinan

yang dipergunakannya ketika memimpin para pengikutnya, dan (c) peneliti


15

melakukan observasi langsung terhadap pola perilaku pemimpin melaksanakan

kepemimpinannya.

2.2.1 Pendekatan Teori Kepemimpinan

Penelitian dalam teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai

pendekatan kesifatan (Trait Theories), pendekatan perilaku (Behavioral

Theories), dan pendekatan situasional (Robbins, 2001).

2.2.1.1. Pendekatan Sifat (Trait Theoris)

Pendekatan kesifatan yang menekankan pada watak/sifat

kepemimpinan. Pendekatan ini mengemukakan bahwa ada karakteristik tertentu

seperti fisik, sosialisasi dan intelegensi (kecerdasan) yang esensial bagi

pemimpin yang efektif, yang merupakan kualitas bawaan seseorang, karena

tidak semua orang memiliki kualitas seperti ini, maka hanya mereka yang

memilikinyalah yang dapat dipandang sebagai pemimpin potensial. Pendekatan

ini menyimpulkan bahwa apabila kita dapat menemukan cara

mengindentifikasikan dan mengukur kualitas kepemimpinan yang dimiliki

orang-orang sejak lahir, maka kita akan dapat menyaring pemimpin dari yang

bukan pemimpin. Pelatihan kepemimpinan hanya akan bermanfaat bagi mereka

yang memang telah memiliki sifat-sifat kepemimpinan (Hersey dan Blanchard,

1993).

Setelah diadakan penelitian lebih lanjut, banyak peneliti yang

meragukan keberhasilan pendekatan sifat diatas. Antara lain seperti yang

dikemukakan oleh Eugene E. Jennings dalam (Murdianingrum, 2000) yang

menyatakan: selama lima puluh tahun studi telah gagal menghasilkan satu sifat
16

kepribadian atau seperangkat kualitas yang dapat digunakan untuk

membedakan antara pemimpin dengan yang bukan pemimpin. Studi empiris

mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan proses dinamis, yang

berbeda dari satu situasi ke situasi yang lain, dengan pergantian pemimpin,

pengikut dan situasi ke situasi. Literature dewasa ini tampaknya mendukung

pendekatan perilaku ataupun pendekatan situasional dalam mempelajari

kepemimpinan.

2.2.1.2. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku dikemukakan, karena pendekatan perilaku dalam

kenyataannya tidak dapat menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan

efektif. Oleh sebab itu pendekatan perilaku tidak lagi mencoba untuk mencari

jawaban sifat-sifat pemimpin, tetapi mencoba untuk menentukan apa yang

dilakukan oleh para pemimpin efektif. Bagaimana mereka berkomunikasi dan

memotivasi bawahan mereka, bagaimana mereka menjalankan tugas dan

sebagainya. Tidak seperti pendekatan kesifatan, bagaimanapun juga perilaku

dapat dipelajari atau dikembangkan, sehingga individu dapat dilatih dengan

perilaku kepemimpinan yang tepat agar mampu memimpin lebih efektif.

Pendekatan perilaku memusatkan perhatiannya pada dua aspek

perilaku kepemimpinan yaitu fungsi kepemimpinan dan gaya kepemimpinan :

Aspek pertama menekankan pada fungsi-fungsi yang dilakukan

pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan dengan efektif

seseorang melaksanakan dua fungsi utama yaitu :


17

1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas (task related), atau pemecahan

masalah yang menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi atau

pendapat.

2. Fungsi pemeliharaan kelompok atau sosial, mencakup segala sesuatu yang

dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, persetujuan dengan

kelompok lain, pencegahan perbedaan pendapat dan sebagainya.

Aspek kedua pendekatan perilaku kepemimpinan memusatkan pada

gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Para peneliti telah

mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yang utama, yakni gaya dengan

orientasi tugas dan gaya dengan orientasi karyawan.

Manajer yang berorientasi tugas mengarahkan dan mengawasi

bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas dilaksanakan sesuai

dengan yang diinginkannya. Manajer dengan gaya kepemimpinan ini lebih

memperhatikan pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan

pertumbuhan karyawan.

Manajer yang berorientasi karyawan (employee oriented) mencoba

untuk lebih memotivasi bawahan dibanding mengawasi mereka. Mereka

mendorong para anggota kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan

memberikan kesempatan bawahan untuk berpartisipasi dalam pembuatan

keputusan, menciptakan suasana persahabatan serta hubungan saling

mempercayai dan menghormati dengan para anggota kelompok.


18

2.2.1.2.2. Studi Michigan (University of Michigan Studies)

Penelitian kepemimpinan ini dilakukan oleh lembaga sosial pada

University of Michigan, yang dilaksanakan oleh Rensis Likert (1961) dan para

pembantunya. Mereka melakukan studi penelitian dalam beberapa pekerjaan

yang berbeda untuk melihat apakah prinsip atau konsep kepemimpinan yang

valid dapat ditemukan.

Pada dasarnya mereka menemukan bahwa para penyedia yang

mempraktekkan pengawasan/pengendalian umum dan orientasi pada karyawan

mempunyai semangat kerja yang besar daripada penyedia yang mempraktekkan

pengawasan, pengendalian yang tertutup dan berorientasi pada tugas/pekerjaan.

Likert dengan menggunakan dua orientasi tugas, menyusun suatu model empat

tingkatan efektivitas manajemen.

Sistem 1, Manajer tetap menentukan perintah tetapi memberi

kebebasan untuk memberikan komentar terhadap perintah tersebut. Bawahan

juga diberi berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas mereka dalam batas

dan prosedur yang telah ditetapkan.

Sistem 2, Manajer manetapkan tujuan dan memberikan perintah

setelah hal-hal itu di diskusikan terlebih dahulu dengan bawahan. Bawahan

dapat membuat keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas.

Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi daripada ancaman hukuman.

Sistem 3, adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang

cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan ditetapkan dan

keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila manajer secara formal yang
19

membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan

pendapat daripada anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, manajer

tidak hanya mempergunakan penghargaan, ekonomis tetapi juga mencoba

memberikan kepada bawahan perasaan dibutuhkan dan penting.

Dalam kenyataannya pemimpin yang lebih berorientasi pada kerja dengan

melalui karyawan dalam beberapa hal akan memberikan hasil yang lebih

efektif. Ini tidak berarti pemimpin tersebut mengabaikan kebutuhan produksi

atau tugas dalam departemennya.

2.2.1.2.3. Studi Universitas Ohio (Ohio States Studies)

Seperti penelitian sebelumnya di University of Michigan, para

peneliti Ohio State University mengidentifikasikan dua kelompok perilaku yang

mempengaruhi efektivitas kepemimpinan yaitu, struktur inisiatif dan

pertimbangan/konsiderasi. Faktor pertimbangan menggambarkan hubungan

yang hangat antara seorang atasan dan bawahan, adanya saling percaya,

kekeluargaan dan penghargaan terhadap gagasan bawahan.

Struktur inisiatif menjelaskan bahwa seorang pemimpin itu

mengatur dan menentukan pola organisasi, saluran komunikasi, struktur peran

dalam pencapaian tujuan organisasi dan cara pelaksanaannya.

Untuk mengumpulkan data para pemimpin, staf Universitas Ohio

menyusun kuisioner uraian perilaku pemimpin (Leader Behavior Description

Quistioner disingkat LBDQ) dan kuisioner pendapat pemimpin (Leader

Opinion Questioner disingkat LOQ).


20

LBDQ adalah sebuah instrumen yang dirancang untuk

menggambarkan bagaimana cara pemimpin melaksanakan aktivitas mereka.

LBDQ berisi lima belas hal yang berkenaan dengan orientasi konsiderasi dan

orientasi initial struktur. Para responden menentukan frekuensi perilaku yang

diperlihatkan pemimpin dalam masing-masing orientasi dengan memberi tanda

pada salah satu dari lima uraian (sering, kadang-kadang, jarang, tidak pernah)

dalam kaitannya dengan masing-masing butir pertanyaan. Dengan demikian

orientasi konsiderasi dan struktur inisiatif adalah dimensi perilaku yang diamati

oleh orang lain. LBDQ diisi oleh bawahan pemimpin, atasan atau sejawat

mereka.

LOQ adalah instrumen yang dirancang untuk mengumpulkan data

tentang persepsi pemimpin atas gaya kepemimpinan mereka sendiri, dan LOQ

ini dinilai atau diisi oleh pemimpin itu sendiri.

Dalam mempelajari perilaku pemimpin ini mereka menemukan

bahwa struktur inisiatif dan konsiderasi merupakan dimensi yang terpisah dan

berbeda. Skor yang tinggi pada salah satu dimensi tidak harus berarti skor yang

rendah pada dimensi lain.

Perilaku pemimpin dapat dilukiskan sebagai gabungan kedua

dimensi tersebut, dengan cara menggambarkan perilaku mereka pada dua poros

yang terpisah dan tidak pada satu kontinum saja. Selanjutnya dibentuk empat

kuadran dari dua dimensi gaya kepemimpinan, seperti yang ditunjukkan dalam

gambar berikut ini:


21

Struktur Inisiatif
Tinggi Rendah
Rendah Struktur tinggi Struktur Rendah
Perhatian rendah Perhatian rendah
Pertimbangan (I) (II)
Struktur tinggi Struktur rendah
Tinggi Perhatian tinggi Perhatian tinggi
(III) (IV)

Gambar 2.1. Empat Kuadran Gaya Kepemimpinan

Sumber:Brounell,P.(1983)Leadership Stile,Budgettary Participation and Managerial


Behaviour,Accounting Organization and society PP.307-321.Commission on Auditors Responsibilities
(CAR), conclutions and Recomendations (New York:AICPA,1978)

Mereka menemukan bahwa tingkat perputaran karyawan adalah

paling rendah dan keputusan karyawan tertinggi dibawah pemimpin yang

tingkat pertimbangan tinggi. Sebaliknya, pemimpin yang tingkat

pertimbangannya rendah dan struktur inisiatif tinggi menimbulkan banyak

keluhan dan tingkat perputaran karyawan yang tinggi.

Para peneliti juga menemukan bahwa penilaian bawahan terhadap

efektivitas pemimpin tidak tergantung pada gaya tertentu dari pemimpin tetap

pada situasi dimana gaya tersebut digunakan.

Bukti empiris tentang gaya kepemimpinan konsiderasi yang tinggi

akan menimbulkan behavior disfunctional oleh auditor (CAR Report1978;

Kelley1988; Raghunathan1991) Pratt dan Jiambalvo (1982) menginvestigasi

penentuan gaya kepemimpinan konsiderasi dan struktur inisiatif, mereka

menggunakan path-goal theory dalam menguji hubungan antara perilaku

manajer partner dengan kepuasan kerja dan motivasi bawahan. Hasilnya

terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara perilaku konsiderasi dan


22

kompleksitas tugas gaya kepemimpinan konsiderasi lebih memuaskan bawahan

dalam kompleksitas tugas yang rendah sedangkan interaksi antara perilaku

struktur inisiatif dengan kompleksitas tugas tidak signifikan karena perilaku

struktur inisiatif dapat digunakan dalam kompleksitas tugas yang tinggi.

Outley dan Pierce (1995) serta Murdianingrum (2000) menguji

gaya kepemimpinan KAP dengan perilaku disfungsional sedangkan Safriliana

(2001) menguji gaya kepemimpinan dengan perilaku penurunan kualitas audit.

Gaya kepemimpinan yang digunakan adalah struktur inisiatif dan

konsiderasi.Mereka membedakan gaya kepemimpinan tersebut tinggi dan

rendah. Hasil penelitian Outley dan Pierce (1995) menunjukkan bahwa gaya

kepemimpinan struktur inisiatif cenderung mengurangi perilaku

disfungsional.Sedangkan hasil penelitian Murdianingrum (2000) menunjukan

bahwa gaya kepemimpinan konsiderasi cenderung mengurangi perilaku

disfungsional. Demikian juga hasil penelitian Safriliana (2001) bahwa gaya

kepemimpinan struktur inisiatif lebih berpegaruh dalam mengurangi perilaku

penurunan kualitas audit dibanding dengan gaya kepemimpinan konsiderasi.

2.2.1.3. Pendekatan Situasional (Contingency Theories)

Pendekatan sifat dan pendekatan perilaku ternyata sangat terbatas.

Kedua pendekatan tersebut belum dapat diramalkan/ menjelaskan gaya

kepemimpinan yang dapat berhasil baik dan selalu tepat bagi setiap manajer

dibawah semua kondisi.


23

Pendekatan situasional menggambarkan bahwa gaya yang digunakan

tergantung pada faktor seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variabel

lingkungan lainnya. Teori situasional yang terkenal adalah :

2.2.1.3.1.Rangkaian Kesatuan Kepemimpinan Tannenbaum dan Schmid.

Tannenbaum dan Schmid (1958) adalah diantara para teoritis yang

menguraikan berbagai faktor yang mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan

oleh manajer. Mereka mengemukakan bahwa manajer harus

mempertimbangkan tiga kumpulan “Kekuatan” sebelum melakukan pemilihan

gaya kepemimpinan yaitu:

1. Kekuatan dalam diri manajer, yang mencakup : (1) sistem nilai, (2)

kepercayaan terhadap bawahan, (3) kecenderungan kepemimpinannya

sendiri dan (4) perasaan aman dan tidak aman.

2. Kekuatan dalam diri para bawahan, meliputi: (1) kebutuhan meraka akan

kebebasan, (2) kebutuhan mereka akan peningkatan tanggung jawab, (3)

apakah mereka tertarik dan mempunyai keahlian untuk penanganan

masalah, dan (4) harapan mereka mengenai keterlibatan dalam pembuatan

keputusan.

3. Kekuatan dalam situasi, mencakup : (1) tipe organisasi, (2) efektivitas

kelompok, (3) desakan waktu, dan (4) sifat masalah itu sendiri.

Konsep Tannebaum dan Schmid (1958) ini disajikan sebagai satu

rangkaian kesatuan kepemimpinan (leadership continum). Pendekatan yang

paling efektif sebagai manajer, menurut mereka adalah sedapat mungkin


24

fleksibel, maupun, memilih perilaku kepemimpinan yang dibutuhkan dalam

waktu dan tempat tertentu.

2.2.1.3.2. Model Kontingensi Fiedler

Orang yang pertama sekali mengajukan model kontingensi adalah

Fred Fiedler. Model kontingensi Fiedler mengemukakan bahwa kinerja

kelompok yang efektif tergantung pada kesesuaian antara gaya memimpin yang

berinteraksi dengan bawahan dan tingkat situasi yang dapat dikontrol dan

dipengaruhi pemimpin.

Fiedler (1967) percaya bahwa faktor kunci keberhasilan dalam

kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan yang mendasar dari masing-masing

individu. Untuk mengetahui gaya dasar tersebut ia membuat kuesioner perihal

temuan sekerja yang paling sedikit disukai (Least Preferred co Worker atau

LPC Questioner) yang berisi enam belas pertanyaan yang bertentangan mulai

dari menyenangkan – tidak menyenangkan, efisien – tidak efisien, bersahabat –

tidak bersahabat dan sebagainya, dan memberi nilai antara 1 hingga 8.

Dari hasil penelitiannya dia menentukan tiga faktor kunci yang

dapat menentukan efektivitas kepemimpinan yaitu:

a. Hubungan antara pemimpin – anggota yakni derajat keyakinan,

kepercayaan dan respek yang dimiliki bawahan terhadap pimpinan mereka.

b. Struktur Tugas yakni sejauh mana prosedur penyusunan tugas apakah

terstruktur dengan baik atau tidak.

c. Kekuasaan jabatan menunjukkan sejauh mana wewenang formal yang

dimiliki oleh seseorang pimpinan.


25

Untuk situasi, Fiedler merumuskan dua karakteristik situasi yaitu :

a. Derajat situasi dimana pemimpin menguasai, mengendalikan dan

mempengaruhi.

b. Derajat situasi yang menghadapkan manajer dengan ketidakpastian.

Situasi dimulai dalam istilah situasi yang menguntungkan atau tidak

menguntungkan. Situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan

apabila dikombinasikan dengan gaya kepemimpinan berorientasi akan efektif.

Bila situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya moderat,

tipe pemimpin hubungan manusiawi atau toleran dan lunak (“linent”) akan

sangat efektif.

Dari model ini dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pemimpin

yang paling efektif, mereka perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya

terhadap situasi.

Bila pemimpin mempunyai keterbatasan dalam kemampuan mereka

untuk mengubah kepribadian dasar dan gaya kepemimpinannya, situasi harus

dirubah, atau pemimpin harus dipilih yang gaya kepemimpinannya cocok

dengan situasi yang ada. Tetapi seharusnya pemimpin dapat mengubah gaya

kepemimpinan mereka untuk memenuhi persyaratan/ kebutuhan situasi tertentu

dan seharusnya mereka dapat belajar untuk menjadi pemimpin yang efektif.
26

2.2.1.3.3. Teori Situasional Hersey dan Blanchard

Teori ini memfokuskan pada para pengikut mereka menyatakan

bahwa keberhasilan kepemimpinan dicapai melalui pemilihan gaya

kepemimpinan yang benar dan juga tergantung pada kedewasaan pengikutnya.

Kedewasaan didefinisikan sebagai kemampuan dan kesediaan orang

untuk mengambil tanggung jawab dalam mengarahkan perilaku diri mereka

sendiri (Hersey & Blanchard 1993)

Kedewasaan (maturity) memiliki dua komponen yakni :

a. Kedewasaan jabatan, yang menekankan pada pengetahuan kemampuan dan

pengalaman untuk melaksanakan tugasnya tanpa pengarahan dari orang

lain.

b. Kedewasaan psikologis, berkaitan dengan kesediaan atau motivasi untuk

melakukan sesuatu dengan sendirinya, tanpa dorongan orang lain.

Dimensi kepemimpinan yang digunakan adalah tugas dan hubungan

masing-masing diukur dengan tinggi atau rendah, yang kemudian

mengkombinasikannya dalam empat gaya kepemimpinan : telling, selling,

participating, dan delegating. Keempat gaya kepemimpinan tersebut akan

diterapkan sesuai dengan tingkat kematangan para pengikut/bawahan.

2.2.1.3.4. Path Goal Theory

Teori ini berusaha menerangkan pengaruh perilaku pimpinan

terhadap motivasi. Kepuasan dan prestasi bawahan. Perilaku pemimpin menurut

teori ini seharusnya motivasi dalam arti (House & Mitcheel 1974):
27

a. Membuat kepuasan terhadap kebutuhan bawahan yang dapat membuat

pekerjaan efektif.

b. Memberikan bimbingan petunjuk, dukungan dan rewards yang diperlukan

demi efektivitas kinerja.

Teori Path – Goal ini mengidentifikasikan ada empat perilaku

pemimpin yaitu (House & Mitcheel 1974) :

a. Directive Leader

Adalah pemimpin yang menunjukkan kepada bawahan apa yang mereka

inginkan, menetapkan jadwal pekerjaan, dan memberi petunjuk bagaimana

cara menyelesaikan tugas-tugas.

b. Supportive Leader

Adalah pemimpin yang bersahabat dan menunjukkan perhatian terhadap

kebutuhan bawahan.

c. Participative Leader

Adalah pemimpin yang selalu berkonsultasi dengan bawahan sebelum

membuat keputusan.

d. Achievement – Oriented Leader

Adalah pemimpin yang selalu menyusun tujuan yang menantang dan

mengharapkan bawahan untuk mengerjakannya dengan kinerja yang paling

tinggi.

Teori ini juga beranggapan setiap pemimpin dapat memberikan

gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.


28

2.2.1.3.5. Leader Participation Model

Vroom dan Yetton ( Murdianingrum 2007) mengembangkan model

partisipasi pemimpin yang berkaitan dengan perilaku pemimpin dan

partisipasinya untuk membuat keputusan.

Mereka menekankan dua kriteria keefektifan keputusan yaitu :

kualitas dan penerimaan kualitas keputusan mengacu pada aspek obyektif diluar

dampak langsung dari motivasi. Penerimaan keputusan adalah tingkat

komitmen bawahan terhadap keputusan.

Dalam konteks audit, kepemimpinan dilaksanakan pada banyak

tingkatan yang berlainan, yang mencerminkan hirarki struktur kantor akuntan.

Manajemen senior terdiri dari mitra yang memberikan seluruh arahan dan

kepemimpinan yang menjaga hubungan kerja yang erat antara auditor dan

Manajemen yang lebih rendah. .

Disamping manajer memberikan panduan dan kepemimpinan,

dalam keseluruhan untuk kelompok pada staff auditor, maintening manajer juga

menjaga hubungan kerja yang dekat dengan senior auditor, yang mengawasi

kerja dilapangan dan memberikan kepemimpinan terhadap tim audit. Manajer

audit sebagai anggota manajemen tengah berada dalam posisi yang dipengaruhi

oleh gaya kepemimpinan manajemen puncak dan mempengaruhi bawahan

melalui gaya kepemimpinannya sendiri.

Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan,setiap pemimpin

memiliki gaya yang berbeda.Gaya kepemimpinan akan merefleksikan suatu tipe

kepribadian atau personality (Robbins,2001).Demikian juga dengan Fleishman


29

dan Peters (1962) menyatakan gaya kepemimpinan adalah pola prilaku

konsisten yang diterapkan pemimpin dengan melalui orang lain,yaitu pola

prilaku yang ditunjukan pemimpin pada saat mempengaruhi orang lain,seperti

yang dipersepsikan orang lain.

Penelitian tentang gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi

prilaku bawahan telah banyak dilakukan diantaranya Stogdill (1974), Borrow

(1977) dalam Safriliana (2001) menemukan bahwa perilaku pempinan

mempengaruhi kepuasan bawahan dan motivasi kinerjanya Shea (1999)

melakukan penelitian tentang gaya kepemimpinan karismatik, struktur dan

konsiderat yang berpengaruh pada perbaikan kinerja dalam tugas manufaktur

dalam penelitian tersebut kepemimpinan karismatik dibandingkan dengan gaya

kepemimpinan terstruktur atau konsiderat hasil penelitiannya adalah gaya

kepemimpinan yang lebih disukai bawahan adalah karismatik dan berpengaruh

secara signifikan terhadap peningkatan kinerja pandangan lainnya dimensi

pertimbangan (consideration) secara konsisten dipandang memiliki efek yang

menguntungkan terhadap tingkat kepuasan bawahan,kesimpulan lainnya

menyatakan bahwa dimensi ini kurang konsisten,dan menunjukkan bahwa

pengaruh gaya kepemimpinan sangat tergantung pada variabel situasional

(Yulk1989 Apostolou et al,1993).


30

2.3 Kultur Organisasi

2.3.1. Pengertian Kultur Organisasi

Secara umum, individu dilatar belakangi oleh kultur yang

mempengaruhi perilaku mereka. Kultur menuntut individu untuk berperilaku

dan memberi petunjuk pada mereka apa saja yang harus diikuti dan dipelajari.

Kondisi tersebut juga berlaku dalam suatu organisasi. Bagaimana karyawan

berperilaku dan apa yang seharusnya mereka lakukan banyak dipengaruhi

oleh kultur yang dianut oleh organisasi tersebut, atau diistilahkan sebagai

kultur organisasi. Rollinson (2002 : 567) mengutip definisi mengenai kultur

organisasi yang dikemukakan oleh Schein(2004) yaitu :

A patern of basic assumption-invented, discovered, or eloped by a


given groups as it learns to cope with its problems of external adaption and
internal integration-that has worked well enough to be considered valuable
and, therfore, to be tought to new members as the correct way to perceive,
think, and feel in relation to those probl Sedangkan menurut Cherrington
(1999 :489) bahwa kultur organisasi adalah :
Culture refers to set of key values, beliefs, and understanding that
are shared by members of an organizational values and communicates to new
members the corrects ways to think and act the ways thing ought to be done.
Cultures enchances the stability of the organization activities and events. The
focus of cultures to provide members with a sense of identify and to generate
within them a commitment to beliefs and values of organization.

Kreitner dan Kinicki (2000) dalam Suandi mengatakan bahwa :

“kultur organisasi adalah suatu wujud anggapan yang dimiliki,


diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok
tersebut rasakan, pikirkan, dan berekasi terhadap lingkungannya yang
beraneka ragam”.

Dari definisi di atas menggambarkan bahwa kultur organsiasi

sesungguhnya tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan oleh individu

yang bekerja dalam suatu organisasi, dan diterima sebagai nilai yang harus
31

dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai tersebut

digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama mereka berada dalam

lingkungan organisasi tersebut, dan dianggap sebagai ciri khas yang

membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya.

Berdasarkan pernyataan diatas mengenai kultur organisasi di atas,

dapat disimpulkan bahwa kultur organisasi dapat dijadikan sebagai pondasi

bagi organisasi agar dapat terus berdiri dan bertahan. Sebagaimana layaknya

sebuah bangunan, maka pondasi yang kuat dan sesuai dengan lingkungan

tempatnya berdiri, akan dapat bertahan dalam waktu yang lama. Demikian

pula dengan organisasi, dengan nilai budaya yang kuat dan diterima

lingkungannya, maka organisasi tersebut memiliki kesempatan lebih besar

untuk dapat terus berdiri dan berproduksi.

2.3.2. Karakteristik Kultur Organisasi

Kultur organisasi merujuk kepada suatu system pengertian yang dipegang

oleh anggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi i

lainnya. System pengertian dalam pengamatan yang lebih seksama merupakan

serangkaian karakter penting yang menjadi suatu organisasi. Penelitian Robbins

dalam Halida dan Dewi (2001 : 279) terdapat tujuh karakter utama, yang kesemuanya

menjadi elemen penting suatu kultur organisasi.

2.3.2.1. Karakteristik Kultur Organisasi Menurut Robbins

a. Inovasi dan pengambilan keputusan : tingkat daya pendorong karyawan untuk

bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.


32

b. Perhatian terhadap detail : tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu

memperlihatkan ketepatan, analisis dan perhatian terhadap detail.

c. Orientasi terhadap hasil : tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih

memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses

yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.

d. Orientasi terhadap individu : tingkat keputusan manajemen dalam

mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam

organisasi.

e. Orientasi terhadap tim : tingkat aktivitas pekerjaan yang dianut dalam tim, bukan

perseorangan.

f. Agresivitas : tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan

bersaing dan tidak bersikap santai.

g. Stabilitas : tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam mempertahankan status

quo berbanding pertumbuhan.

Selanjutnya Robbins (2001 : 208) menjelaskan bahwa masing-masing

karakteristik kini berada dalam suatu kesatuan, dari tingkat yang rendah menuju

tingkat yang lebih tinggi. Menilai suatu organisasi dengan menggunakan tujuh

karakter ini akan menghasilkan gambaran mengenai kultur organisasi dalam

organisasi. Gambaran tersebut kemudian menjadi dasar untuk perasaan saling

memahami yang dimiliki anggota organisasi mengenai organisasi mereka, bagaimana

segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian bersama tersebut, dan cara-cara

anggota organisasi seharusnya bersikap.


33

2.3.2.2. Karakteristik Kultur Organisasi Menurut Luthan

Luthan (220 : 563) mengemukakan karakteristik kultur organisasi menjadi

enam elemen, sebagai berikut :

a. Observed behavioral regularities


b. Norms
c. Dominant values
d. Philosophy
e. Rules
f. Organizational climate

Keenam karakter tersebut diartikan sebagai berikut :

a. Peraturan perilaku yang harus dipatuhi. Anggota organisasi saling berinteraksi

dengan menggunakan tatacara, istilah dan bahasa yang sama yang mencerminkan

sikap yang baik dan saling menghormati.

b. Norma. Suatu standar mengenai perilaku yang ditampilkan termasuk pedoman

tentang apa saja yang harus dilakukan, yaitu tidak berlebih tetapi juga tidak

kurang.

c. Nilai dominan. Adanya nilai-nilai terpenting dalam organisasi yang diharapkan

dianut oleh para anggotanya. Contohnya adalah mutu produk yang tinggi, tingkat

absensi yang rendah, atau tingkat efesiensi yang tinggi.

d. Filosofi. Terdapat kebijakan atau peraturan yang mengarahkan organisasi tentang

bagaimana memperlakukan karyawan dan/atau pelanggan.

e. Aturan. Terdapat pedoman yang harus ditaati jika bergabung dengan organisasi.

Anggota baru harus mempelajarinya untuk dapat diterima di dalam organisasi

tersebut.
34

f. Iklim organisasi. Perasaan mengenai secara keseluruhan yang dicerminkan oleh

tata letak fisik, cara para anggota berinteraksi dan cara mereka berhubungan

dengan pelanggan atau lingkungan diluar organisasi.

Enam karakteristik yang dikemukakan Luthans tersebut merupakan yang

utama dari kultur organisasi dalam organisasi secara umum yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan lainnya. Artinya, unsur-unsur tersebut mencermikan budaya

yang berlaku dalam jenis organisasi pada pelayanan jasa atau organisasi yang

menghasilkan produk barang.

2.3.2.3 Karakteristik Menurut Turner

Uraian lebih rinci dikemukakan oleh Turner (1997 : 241) sebagai berikut :

a. Kultur dibentuk oleh individu.

Kultur organisasi berasal dari para anggota yang potensial, mereka menggunakan

budaya untuk memperkuat gagasan, perasaan dan informasi yang sejalan dengan

menghasilkan keunggulan.

b. Kultur dapat menghasilkan keuntungan.

Kultur mewujudkan keinginan dan aspirasi dari para anggota organisasi,

sehingga kultur dapat menciptakan dan merupakan sumber motivasi yang kuat.

Setiap anggota organisasi dapat berusaha untuk menciptakan lingkungan yang

sesuai dengan perasaan dan gagasan mereka. Mereka dapat membantu

membentuk norma dan standar yang digunakan untuk menilai mereka,

menyiapkan kategori untuk mencocokkan gagasan mereka, dan menciptakan

peran mereka yang harus mereka isi. Dampak positif dari kultur, adalah dapat
35

menjadikan lingkungan untuk memunculkan potensi dari para anggota

organisasi.

c. Kultur adalah suatu penguatan.

Kultur membuktikan bahwa tidak ada suatu kelompok, perusahaan atau negara

yang dapat mengawali kegiatannya tanpa memiliki apa-apa. Para anggotanya

harus dibekali dengan kepecayaan dan tuntutan. Keberhasilan para anggota

organisasi dapat timbul karena mereka mengalami saat awal organisasi mulai

terbentuk dan bagaimana mereka menciptakan dan mengembangkan norma, nilai

atau prosedur. Kultur organisasi akan kuat jika para anggotanya membutuhkan

keamanan dan kepastian.

d. Penguatan kultur cenderung untuk diperbanyak.

Tuntutan yang menciptakan suatu budaya dalam organisasi biasanya muncul

sebelum budaya tersebut menghasilkan kesejahteraan atau nilai bagi para

anggotanya. Keselarasan dan kecocokan dalam suatu kepercayaan akan

memudahkan untuk mewujudkan kepercayaan tersebut menjadi kenyataan.

Kultur organisasi dalam organisasi dapat membawa dampak positif, seperti

mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik; atau dampak negatif, seperti rasa

iri dikalangan karyawan terhadap karyawan perusahaan lain yang memiliki

budaya berbeda.

e. Kultur dapat diterima dan memiliki sudut pandang

yang logis.

Walaupun individu tidak menganut nilai atau dasar pemikiran dari suatu budaya,

ia akan mencontohkan anggota organisasi lain yang sesungguhnya berjalan


36

dalam alur kultur organisasinya. Untuk dapat menghargai kultur organisasi,

seseorang harus memahami bahwa segala perilakunya didasari oleh apa yang

menjadi kepercayaannya. Anggapan bahwa kultur merupakan yang tidak logis

biasanya muncul karena individu salah menggunakan dasar pemikiran mereka

sendiri.

f. Kultur organisasi membekali para anggotanya dengan kontinuitas dan identitas.

Jika para anggota menganut, memperkokoh dan memperbanyak nilai yang sama,

organisasi tersebut akan menghadapi setiap perubahan lingkungan dan dapat

tetap pada identitasnya, serta terjamin kelanjutan usahanya. Budaya kerja dapat

dijadikan pegangan bila terjadi goncangan di lingkungan mereka.

g. Kultur menyeimbangkan nilai yang saling

berlawanan.

Kultur organisasi merupakan suatu kekuatan yang menyeimbangkan antara

kekacauan dan ketenangan, atau kesinambungan dan perubahan. Dalam suatu

organisasi tidak mungkin hanya terdapat suatu kondisi yang sama secara terus-

menerus, karena di dalamnya terdapat pemimpin dan pengikut, atau yang

berkuasa dan dikuasai, yang secara logis akan menerima dan menanggapi

lingkungannya dengan cara yang berbeda.

h. Kultur organisasi adalah suatu system cybernetics.

Kultur organisasi dikatakan sybernetics karena mengarahkan, berusaha dan

mempersiapkan sendiri usaha untuk menghilangkan hambatan dan gangguan.

Dalam suatu sybernetic, kultur organisasi mengolah umpan balik (feedback)


37

mengenai perubahan lingkungan, dan membuat penyesuaian yang dianggap

paling cocok.

i. Kultur adalah suatu pola.

Suatu kultur organisasi bukanlah hanya benda atau obyek, tetapi merupakan pola

yang muncul bersama dengan bertambahnya waktu, dan berkembangnya

organisasi. Sebagai contoh dapat diumpamakan tentang hubungan antara

customer dengan karyawan dalam suatu perusahaan jasa, akan mencerminkan

pola hubungan antara penyelia dengan pimpinannya.

j. Kultur organisasi adalah komunikasi.

Sangat penting untuk dipahami bahwa kebayakan kultur organisasi menyediakan

komunikasi, yaitu pembagian pengalaman dan penyebaran informasi. Kultur

organisasi dalam organisasi dapat membuat para anggota saling erat mendukung.

k. Kultur organisasi bersifat sinergis.

Aspek dari suatu budaya kerja adalah sinergi diantara nilai yang tercakup di

dalamnya. Artinya, nilai yang berbeda-beda dapat bergabung dan menghasilkan

sesuatu yang lebih baik. Secara kongkrit dapat digambarkan suatu perusahaan

memiliki kreativitas yang tinggi dalam menciptakan produknya, bukan ditujukan

oleh promosi yang gencar, tetapi lebih dihargai jika produk tersebut merupakan

gagasan yang orisinil bukan tiruan.

l. Kultur dapat dipelajari dan organisasi harus mempelajarinya.

Dewasa ini perkembangan lingkungan usaha, ilmu pengetahuan, teknologi dan

penerapan promosi semakin pesat, sehingga setiap organisasi dituntut untuk


38

memiliki anggota yang secara bersama mampu belajar mengenai perubahan

tersebut, dan menyesuaikan dengan kemampuan sumber daya internalnya, serta

kemudian mengantarnya pada konsumennya agar mereka puas. Hal ini akan

dapat dicapai oleh kultur yang secara berkesinambungan dipelajari dari beberapa

sumber.

2.3.1.4.Karakteristik Kultur Organisasi Horizon & Stokes

Selanjutnya dengan berpodaman pada teori yang dikemukakan oleh Horison

dan Stokes (1997) kultur organisasi dibagi menjadi empat dimensi yang merupakan

orientasi kultur yang dipersepsikan oleh para anggotanya, yaitu :

a. Orientasi pada Kekuasaan

Yaitu jika para anggota organisasi ditumbuhkan motivasinya oleh imbalan dan

hukuman, dan oleh keinginan untuk bekerja dengan pimpinan yang kuat.

b. Orientasi pada Peran

Yaitu yang berkaitan dengan nilai-nilai yang mengutamakan pada perintah,

ketergantungan, rasional dan kosisten. System dalam organisasi tersebut bisa

bersifat birokratis.

c. Orientasi pada Prestasi

Yaitu jika menekankan pada motivasi yang tinggi dari para anggota organisasi

untuk menghilangkan ketidak-efisienan dari struktur, system dan perencanaan

dalam kultur ini tujuan utama organisasi adalah menarik dan memancing tenaga

para anggota untuk mengejar tujuan bersama organisasi.

d. Orientasi pada Dukungan


39

Yaitu iklim dalam organisasi yang didasarkan pada saling percaya di antara para

anggota sebagai individu dengan organisasi itu sendiri. Dalam kondisi ini

pegawai yakin bahwa mereka dinilai sebagai manusia, bukan hanya sebagai

mesin semata

2.3.1.5.Karakteristik Kultur Organisasi Menurut Cunha & Cooper

Sedangkan Cunha dan Cooper (2002 : 21) membedakan kultur organisasi

sebagai paradigma baru juga menjadi empat dimensi yang merupakan orientasi kultur

yang dipersepsikan oleh para anggotanya, yaitu :

1. Orientasi pada integrasi dalam organisasi, yaitu lebih memfokuskan pada

komunikasi internal dan kerjasama antar individu pegawai dengan unit kerjanya.

2. Orientasi pada kinerja, jika menekankan pada motivasi yang tinggi dari para

anggota organisasi untuk menghilangkan ketidakefisienan struktur, system dan

perencanaan dalam kultur ini tujuan utama organisasi adalah memancing dan

menarik para anggotanya untuk mengejar tujuan bersama.

3. Orientasi pada pegawai, difokuskan pada pengembangan para pegawai dan rasa

memiliki mereka sebagai suatu tim kerja yang solid dalam organisasi.

4. Orientasi pada pasar, yaitu komitmen perusahaan untuk selalu responsive pada

peluang pasar dan intelegensi pesaing.

Cunha dan Cooper (2002 : 22) juga menyatakan :

“organizational culture impact on financial performance, personal retention


rates, and even on the success or failure of mergers and acquisitions” .

bahwa keberhasilan suatu perusahaan sangat ditentukan oleh

keberhasilannya dalam menciptakan kultur organisasi yang khas sebagai bagian dari
40

rencana strategik mereka, karena kultur organisasi yang baik akan berdampak pada

kinerja keuangan, tingkat loyalitas pegawai, dan keberhasilan dalam bekerjsama

sebagai sebuah tim. Kultur organisasi yang efektif tersebut mencakup upah dan

imbalan yang baik, komunikasi terbuka, penekanan pada kualitas, keterlibatan

pegawai dalam pembuatan keputusan, pembagian laba bagi pegawai, keadilan atau

kesamaan status bagi pegawai, keamanan kerja, pelatihan dan pengembangan

pegawai, kebebasan berpendapat, penekanan pada inovasi, hubungan industrial yang

baik, dan struktur administrasi yang sederhana.

Kultur adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap situasi dalam sebuah

organisasi. Indriantoro (2000), menyatakan bahwa penelitian mengenai kultur

organisasional merupakan topik yang penting, karena kultur organisasional

merupakan salah satu jenis aktiva tidak berwujud milik perusahaan yang dapat

meningkatkan kinerja organisasional. Pernyataan ini didukung oleh Lusch dan

Harvey (1995), bahwa peningkatan kinerja organisasional dapat dipengaruhi oleh

aktiva tidak berwujud antara lain kultur organisasional, hubungan dengan pelanggan

dan citra perusahaan.

Attwood (1990) mendefinisikan kultur organisasi sebagai satu system

pertukaran nilai dan keyakinan yang diterapkan dalam berinteraksi antar individu,

struktur dan system untuk menghasilkan norma yang dianut perusahaan. Hofstede

(1994) menyatakan bahwa kultur merupakan keseluruhan pola pemikiran perasaan

dan tindakan dari satu kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial

yang lain. Sedangkan Hood & Koberg (1991) mendefinisikan kultur sebagai

seperangkat nilai, norma, persepsi dan pola perilaku yang diciptakan atau
41

dikembangkan dalam sebuah perusahaan untuk mengatasi masalah baik masalah

mengenai adaptasi secara ekstenal maupun masalah integrasi secara internal.

Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa kultur sebuah organisasi

merupakan ikatan yang dapat menghubungkan antar individu dalam berbagai arah

dan tujuan yang dapat mempengaruhi semua aktivitas dalam organisasi yang pada

akhirnya akan mempengaruhi kinerja organisasi. Kultur organisasi memiliki pengaruh

yang kuat dalam satu organisasi melalui penanaman nilai-nilai pengharapan dan

perilaku, yang kemudian mempengaruhi individu, kelompok dan proses organisasi

(Gibson, 2000).

Penelitian Kotter dan Hesket (1992) terhadap berbagai jenis industri di

perusahaan. Amerika, menemukan bahwa kultur organisasi mempunyai dampak

signifikan terhadap ekonomi perusahaan dalam jangka panjang. Demikian juga

dengan penelitian O’Reilly (1989) menunjukkan bahwa kultur perusahaan

mempunyai pengaruh terhadap efektifitas perusahaan, terutama pada perusahaan yang

mempunyai kultur yang sesuai dengan strategi dan dapat meningkatkan komitmen

karyawan terhadap perusahaan.

Wallach (1993) membagi kultur organisasi ke dalam tiga dimensi yaitu :

Birokratis, Inovatif dan kultur Suportif. Kultur birokratis menurunkan wewenang dan

tanggung jawab berdasarkan level hirarki secara berjenjang. Kekuasaan tertinggi

terletak pada manajemen puncak, juga terdapat garis batas yang jelas antara tanggung

jawab dan wewenang. Setiap pekerjaan yang dilakukan selalu teratur dan sistematis,

berlandaskan kekuasaan dan pengawasan. Organisasi yang memiliki kultur ini sangat
42

berorientasi pada kekuasaan, bersikap waspada, mapan, teratur, terstruktur, teregulasi,

prosedural dan berjenjang.

Kultur inovatif, cenderung menciptakan suasana kerja yang dinamis dan

menggairahkan. Attwood (1990) menggambarkan ciri-ciri kultur inovatif kedalam

lima hal :

1. Manajemen maupun karyawan mengetahui apa yang dimaksud dengan inovasi

dan bagaimana langkah untuk menerapkannya.

2. Karyawan yang lebih senior bisa memahami dan menerima arti penting setiap

perubahan yang terjadi.

3. Merangsang manajemen dan karyawan untuk berpikir inovatif

4. Memahami dengan benar kebutuhan orang lain disekitarnya

5. Menghargai potensi karyawan

Kultur suportif, terdiri atas orang-orang yang saling terbuka, diliputi rasa

kekeluargaan satu sama lain, bersahabat, saling percaya, peduli terhadap yang lain

dan adil. Kultur suportif merupakan lingkungan yang penuh kekeluargaan dan

berpartisipasi didalamnya (Wallach, 1983).

Umumnya kultur organisasi dibawakan dan diciptakan oleh pendiri

organisasi atau lapisan pimpinan paling atas (top management). Kultur juga dapat

berasal dari berbagai level hirarki organisasi, dari perorangan maupun kelompok.

Kottler dan Heskett (1992) menyatakan bahwa budaya organisasi bersumber dari

beberapa orang, lebih sering hanya dari satu orang pendiri perusahaan, orang tersebut

akan mengembangkan strategi satu lingkungan bisnis yang dikelolanya, yang pada

akhirnya akan menjadi kultur di perusahaan.


43

Higginson dan Waxler (1993) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dan

kultur organisasi merupakan refleksi personalitas CEOnya. Demikian juga dengan

Pearce dan Robinson (1998) menyatakan bahwa pemimpin menanamkan komitmen

untuk melakukan perubahan tiga aktivitas yang saling terkait yaitu klarifikasi maksud

strategi, membangun organisasi dan membentuk kultur perusahaan.

Pendapat tersebut didukung oleh Senge (1990) bahwa pemimpin merupakan

desainer dari organisasi dengan ikut dalam mendesain berbagai tujuan, visi dan nilai

inti dalam organisasi. Nilai organisasi (kultur organisasi) yang dibentuk oleh

pemimpin akan mempengaruhi seluruh aspek dalam organisasi. Pendapat lainnya

yang mengatakan adanyan hubungan antara kepemimpinan dan kultur organisasi

adalah Dessler (2000) menyatakan bahwa kultur organisasi merupakan salah satu

variable penting bagi seorang pemimpin, karena kultur organisasi mencerminkan

nilai-nilai yang diakui dan menjadi pedoman bagi perilaku anggota organisasi.

Kepemimpinan yang efektif akan terlihat pada kemampuan pemimpin untuk

mempengaruhi anggotanya. Faktor esensial dari kepemimpinan adalah kemampuan

untuk mempengaruhi, sehingga dengan kemampuan seorang pemimpin untuk

menjadi salah satu faktor pembentuk kultur organisasi, tentunya akan mempermudah

untuk mempengaruhi anggota organisasi dalam mencapai tujuan organisasi.

Carlson dan Perrewe (1995) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

perilaku pemimpin memberikan kontribusi yang cukup besar pada terbentuknya

kultur organisasi. Astuti (1995) yang meneliti tentang analisis kepemimpinan dalam

pembentukan budaya perusahaan , hasilnya menemukan bahwa ada hubungan yang

positif antara gaya kepemimpinan dengan budaya perusahaan yang kompetitif yang
44

akan terbentuk, dan tingkat partisipasi akan memberikan sumbangan positif yang

cukup besar dalam pembentukan budaya perusahaan. Demikian juga Praningrum

(1997) meneliti gaya kepemimpinan dan budaya organisasi pada industri kecil,

menemukan bahwa gaya kepemimpinan mempengaruhi budaya organisasi.

Kultur merupakan proses pertukaran pemahaman antar staf dalam suatu

organisasi sehingga mereka dapat bekerja sama (Rachma, 2000). Gaya kepemimpinan

dan kultur organisasi merupakan dua faktor yang memiliki pengaruh kuat dalam

menentukan keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan. Brown dan

Starkey (1994) mengemukakan bahwa kultur organisasi merupakan instrumen

penting dalam memberikan kerangka acuan tentang bagaimana komunikasi dan

informasi dikelola oleh manajemen. Begitu juga dengan Harvey dan Brown (1996)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dan kultur organisasi menentukan arah

seluruh organisasi dan mempengaruhi komunikasi, pengambilan keputusan dan pola

kepemimpian dari seluruh sistem.

Rachma (2000) meneliti pengaruh kultur terhadap komunikasi penyampaian

informasi dalam tim audit. Hasil penelitiannya menemukan bahwa adanya pengaruh

signifikan kultur KAP terhadap proses komunikasi dalam tim audit. Diantara ketiga

kategori kultur yang ada (birokratis, suportif dan inovatif) maka kultur birokrats dan

suprotif yang paling berpengaruh terhadap variabel komunikasi, khususnya boundary

spanning dan kepuasan atas pengawasan.

2.4. Komunikasi

2.4.1. Pengertian Komunikasi


45

Manajemen sering mempunyai masalah tidak efektifnya komunikasi. Padahal

komunikasi yang efektif adalah penting bagi para manajer, paling tidak untuk dua

alasan. Pertama, komunikasi adalah proses melalui mana fungsi-fungsi manajemen

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dapat dicapai. Kedua,

komunikasi adalah kegiatan untuk mana para manajer mencurahkan sebagian besar

proporsi waktu mereka.

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari seseorang

kepada orang lain. Menurut Well dan Prensky (1996), komunikasi merupakan

penyampaian pesan dari sumber melalui media kepada penerima. Pengertian

komunikasi dalam satu kelompok, menurut Cevich dan Matteson (1987) dalam

Rachman (1987) adalah pengiriman informasi oleh salah seorang anggota kelompok

kepada anggota yang lain dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Dari kedua

definisi diatas dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan informasi yang dapat

berupa pesan atau simbol tertentu yang dilakukan dua orang atau lebih.

Proses komunikasi memungkinkan manajer untuk melaksanakan tugas

mereka. Informasi harus di komunikasikan kepada para manajer agar mereka

mempunyai dasar perencanaan, rencana harus di komunikasikan kepada pihak lain

agar di laksanakan. Pengorganisasian memerlukan komunikasi dengan bawahan

tentang penugasan jabatan mereka. Pengarahan mengharuskan manajer untuk

berkomunikasi dengan bawahannya agar tujuan kelompok dapat dicapai.

Efektivitas kelompok secara sederhana adalah jumlah kontribusi seluruh

anggota kelompok Gibson (2000). Fungsi suatu kelompok akan menjadi lebih efektif

dengan adanya komunikasi dan berdasarkan survey, komunikasi merupakan aktivitas


46

paling banyak di lakukan (Luthans dan Larsen, 1986 dalam Rachman, 2000). Unsur-

unsur dasar komunikasi menurut Gibson, et.al (1997) adalah komunikator – persepsi/

interpretasi berita dengan sandi (encoding) – pesan – saluran – menterjemahkan arti

sandi – penerima – umpun balik – noise.

Komunikasi dikatakan efektif apabila sipenerima pesan dapat

menterjemahkan pesan sesuai dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan, sedangkan

komunikasi dikatakan efisien apabila menggunakan waktu dan sumber-sumber daya

yang minimal (Coffey, et.al, 1994:196). Efektivitas komunikasi dipenaruhi oleh

beberapa factor khusus, Raymond V. Lesikar menguraikan 4 (empat) factor yang

mempengaruhi efektivitas komunikasi organisasi, yaitu saluran komunikasi formal,

struktur organisasi, spesialisasi jabatan, pemilikan informasi (Keith Davis, 1997 :

336-337).

Saluran komunikasi formal mempengaruhi efektivitas komunikasi dalam dua

cara. Pertama, liputan saluran formal semakin melebar sesuai perkembangan dan

pertumbuhan organisasi. Sebagai contoh komunikasi efektif biasanya semakin sulit

dicapai dalam organisasi yang besar dengan cabang-cabang yang menyebar. Kedua,

saluran komunikasi formal dapat menghambat aliran informasi antar tingkat

organsiasi. Sebagai contoh, karyawan lini perakitan akan mengkomunikasikan

masalah-masalah pada penyelia (mandor) mereka dan bukan pada manajer pabrik.

Keterbatasan ini mempunyai kebaikan seperti menghindari manajer dari kebanjiran

informasi, tetapi juga mempunyai kelemahan seperti menghindarkan manajer dari

informasi yang seharusnya mereka peroleh.


47

Struktur wewenang organisasi mempunyai pengaruh yang sama terhadap

efektivitas organisasi. Perbedaan kekuasaan dan kedudukan (status) dalam organisasi

akan menentukan pihak yang berkomunikasi dengan seseorang serta isi dan ketepatan

komunikasi.

Spesialisasi jabatan biasanya akan mempermudah komunikasi dalam

kelompok berbeda. Para anggota suatu kelompok kerja yang sama akan cenderung

berkomunikasi dengan istilah, tujuan, tugas, waktu dan gaya yang sama. Komunikasi

antara kelompok-kelompok yang sangat berbeda akan cenderung dihambat.

Pemilihan informasi berarti bahwa individu maupun informasi khusus dan

pengetahuan tentang pekerjaan perusahaan, seperti manajer produk akan mempunyai

pengamatan yang lebih tajam dalam perumusan strategi pemasaran, kepala

departemen mungkin mempunyai cara tetentu yang efektif untuk menangani konflik

diantara para bawahannya. Individu yang memiliki informasi khusus ini dapat

berfungsi lebih efektif daripada yang lainnya, dan banyak diantara mereka yang tidak

bersedia membagikan informasi tersebut kepada yang lain.

2.4.2. Saluran Komunikasi

Saluran komunikasi formal ditentukan oleh struktur organisasi atau ditunjuk

oleh berbagai sarana formal lainnya. Dasar komunikasi adalah vertikal, lateral dan

diagonal Handoko (1998)

Komunikasi vertikal terdiri atas komunikasi keatas dan kebawah sesuai ranti

perintas. Komunikasi kebawah dimulai dari manajemen puncak kemudian mengalir

kebawah melalui tingkatan manajemen sampai kekaryawan lini dan personalia paling

bawah. Maksud utama komunikasi kebawah adalah untuk memberi pengarahan,


48

informasi, instruksi, nasehat/saran dan penilaian kepada bawahan serta memberikan

informasi kepada para anggota organisasi tentang tujuan dan kebijaksanaan

organisasi.

Berita kebawah dapat berbentuk tulisan maupun lisan, dan biasanya

disampaikan melalui memo, laporan atau dokumen lainnya. Fungsi utama komunikasi

keatas adalah untuk mensuplai informasi kepada tingkatan manajemen atas tentang

apa yang terjadi pada tingkat kebawah. Tipe komunikasi ini mencakup laporan

periodik, penjelasan, gagasan dan permintaan untuk diberikan keputusan. Hal ini

dapat dipandang sebagai data atau informasi umpan balik bagi manajemen atas.

2.4.3.Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi antar pribadi (interpersonal atau face to face communication)

terjadi apabila proses komunikasi mengalir dari seseorang kepada seseorang lainnya

dalam pertemuan tatap muka atau kelompok. Komunikasi antar pribadi memiliki

peran penting dalam komunikasi manajerial, karena setiap hari lebih dari tiga per

empat komunikasi seorang manajer dilakukan melalui interaksi secara tatap muka

(Gibson,et.al, 2000 :416). Milles dan Steinberg berpendapat (Morsedan Phelps 1980)

bahwa komunikasi antar pribadi terjadi apabila ada pertukaran diantara para

pelakunya dalam suatu pertemuan, terutama dipengaruhi oleh faktor psikologi dan

sosiologi atau budaya. Pendapat Porter dan Karlene yang dikutip oleh Rue dan Byar

(1980) menyatakan bahwa komunikasi antar pribadi adalah suatu proses interaktif

antara seorang individu sebagai pengirim pesan dengan seorang individu lain sebagai

penerima pesan yang dilakukan secara verbal dan non-verbal serta menggunakan

simbol dari orang yang memiliki perbedaan phisik dan budaya. Komunikasi Verbal
49

adalah berbagai informasi melalui kata-kata tertulis maupun lisan sedangkan

Komunikasi Non-Verbal adalah berbagi informasi tanpa menggunakan kata-kata

(Certo, 1997 :336).

Komunikasi yang efektif antar individu sangat menentukan terhadap

tercapainya tujuan organisasi. Kegagalan Komunikasi Antar Pribadi dapat disebabkan

oleh adanya perbedaan interpretasi terhadap arti kata-kata (semantic), perbedaan

dalam persepsi, kebiasaan buruk dalam mendengarkan, umpan balik yang tidak tepat

dan perbedaan dalam menginterpretasikan komunikasi non-verbal. Komunikasi Antar

Pribadi terjadi antara orang-orang yang sudah saling mengenal selama beberapa

waktu, orang-orang tersebut memandang satu sama lain sebagai individu yang unik di

mana perilakunya dipengaruhi oleh situasi sosial tertentu.

Kreitner dan Kinicki (2001) berpendapat bahwa kualitas dari Komunikasi

Antar Pribadi dalam sebuah organisasi adalah sangat penting. Orang dengan

kemampuan berkomunikasi yang baik dapat membantu kelompok membuat

keputusan yang lebih tepat dan lebih sering mendapatkan promosi dari pada individu

dengan kemampuan berkomunikasi yang tidak berkembang. Kompetensi komunikasi

merupakan tolok ukur dasar dari kemampuan seseorang untuk secara efektif

menggunakan perilaku komunikasi dalam suatu konteks tertentu. Kompetensi

komunikasi ditentukan oleh tiga komponen, yaitu : kemampuan dan ciri

berkomunikasi, faktor situsional dan individu yang terlibat dalam interaksi.

Kemampuan dan ciri-ciri berkomunikasi menurut Kreitner dan Kinicki(2001)

terdiri dari :
50

a. Pemahaman lintas budaya (cross-cultural awareness) yaitu :

pengatahuan/pemahaman tentang budaya dari pihak lain dengan siapa kita

berkomunikasi.

b. Assertiveness yaitu : ekspresif dan percaya diri, namun tidak mencari

keuntungan dari pihak lain.

c. Agressiveness yaitu : ekspresif dan percaya diri, namun mencari keuntungan

secara tidak wajar dari pihak lain.

d. Defensiveness/non assertiveness yaitu : sikap pemalu atau takut-takut dan

tidak percaya diri.

e. Active Listening yaitu : kemampuan mendengarkan dengan baik dan akurat

apa yang dibicarakan oleh pihak lain.

Faktor Situasional antara lain :

f. Filosopi organisasi

g. Kebijakan dan prosedur organisasi

h. Iklim/suasana keorganisasian

i. Lokasi geografis dari organisasi

Individu yang terlibat dalam interaksi antara lain :

j. Teman

k. Seseorang yang tidak kita percaya

l. Atasan

m. Bawahan

Kompetensi berkomunikasi seorang manajer dapat ditingkatkan dengan

berusaha lebih assertive, mengurangi komunikasi agresive maupun defensive/non


51

assertive, yang dapat dicapai dengan menggunakan perilaku verbal dan non- verbal

yang tepat. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan kata –

kata/bahasa tertulis maupun lisan sedangkan komunikasi non-verbal terjadi bila

pertukaran pesan dilakukan di luar komunikasi verbal, misalnya gerakan tubuh,

gerakan kepala, sentuhan, ekspresi wajah, tatapan mata.

Borchers (1992 ) mengemukakan empat fungsi dari komunikasi antar pribadi,

yaitu :

a. Untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan orang lain, sehingga interaksi

dapat dilakukan lebih efektif.

b. Untuk membangun konteks saling pengertian. Sebuah kata mempunyai arti

tertentu, tergantung bagaimana cara menyampaikannya dan dalam konteks apa.

Komunikasi antar pribadi membantu membina saling pengertian yang lebih baik.

c. Untuk menentapkan identitas, yaitu menentukan bagaimana identitas orang lain

sehingga dapat ditetapkan cara melakukan interaksi dengan orang tersebut.

d. Untuk memahami kebutuhan antar pribadi yaitu kebutuhan pengakuan sebagai

bagian, kebutuhan pengawasan dan kebutuhan kasih sayang.

Permasalahan yang timbul dalam melakukan Komunikasi Antar Pribadi dapat

disebabkan antara lain karena adanya perbedaan gaya Interpersonal, karena latar

belakang pengalaman, kepribadian, dan sikap. Gaya Interpersonal adalah bagaimana

cara seseorang/individu melakukan hubungan komunikasi dengan orang lain

(Greenberg, & Baron, 2000 ) Luft dan Ingram (Robbin,1996) : mengkategorikan

gaya komunikasi yang menunjukkan seberapa besar pola informasi tersebut diketahui

oleh orang lain (penerima pesan), yang digambarkan dalam The Johari Window atau
52

“ Jendela Johari “ (Johari merupakan singkatan dari Joseph dan Harry). Model ini

mengelompokkan kecenderungan seorang individu dalam melakukan Komunikasi

Antar Pribadi yang dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu pengungkapan diri (self

disclosure atau exporsure) dan umpan balik (feedback) dari orang lain. Self-

disclosure diartikan seberapa besar seorang individu secara terbuka dan terus terang

mengemukakan perasaan, pengalaman dan informasi kepada orang lain ketika

berkomunikasi, sedangkan feedback diartikan sebagai besarnya umpan balik yang

diberikan orang lain terhadap self-disclosure tersebut. Gibson, et.al (1997 )

menjelaskan tentang empat areal dalam Johari Window, yaitu :

a. Areal terbuka, dimana informasi diperlihatkan dan diketahui oleh kedua belah

pihak (diri sendiri dan orang lain). Di areal ini Komunikasi Antar Pribadi sangat

kondusif dan efektif. Semakin lebar areal ini maka semakin efektif Komunikasi

Antar Pribadi.

b. Areal buta, dimana informasi yang relevan tentang diri sendiri diketahui oleh

orang lain, tetapi diri sendiri tidak mengetahuinya, yang disebabkan karena tidak

seorangpun yang pernah memberitahukan kepada diri sendiri, atau diri sendiri

secara defensif memblokade informasi tersebut. Di areal ini komunikasi antar

pribadi berlangsung tidak efektif.

c. Areal terselubung, dimana informasi diketahui oleh diri sendiri, tetapi tidak

diketahui oleh orang lain. Hal-hal atau perasaan-perasaan yang diketahui diri

sendiri tidak disampaikan kepada orang lain karena khawatir orang lain kurang

menghargai atau menggunakan informasi itu untuk melawan diri sendiri.

Akibatnya Komunikasi Antar Pribadi juga tidak efektif.


53

d. Areal tidak dikenal. Pada areal ini segala informasi, perasaan dan pengalaman

tidak diketahui atau tidak disadari oleh diri sendiri maupun oleh orang lain, dengan

akibat Komunikasi Antar Pribadi berjalan tidak sebagaimana mestinya.

2.4.4. Komunikasi Dalam Tim Audit

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan atau informasi dari seseorang

kepada orang lain. Menurut Well dan Prensky (1996), komunikasi merupakan

penyampaian pesan dari sumber melalui media kepada penerima. Pengertian

komunikasi dalam satu kelompok, menurut Ivancevich dan Matteson (1987) dalam

Rachma (2000) adalah pengiriman informasi oleh salah seorang anggota kelompok

kepada anggota yang lain dengan menggunakan simbol tertentu. Dari kedua definisi

diatas dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan informasi yang dapat berupa

pesan atau simbol tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Efektivitas kelompok secara sederhana adalah jumlah kontribusi seluruh

anggota kelompok (Gibson, 2000). Fungsi suatu kelompok akan menjadi lebih efektif

dengan adanya komunikasi, dan berdasarkan survey, komunikasi merupakan aktivitas

paling banyak dilakukan (Luthans dan Larsen, 1986 dalam Rachma, 2000). Tujuan

komunikasi awalnya timbul dari seseorang yang akan mengemukakan pikiran dan

perasaannya, yakni agar terjadi perubahan sikap pada orang lain yang dilibatkannya.

Perubahan sikap ini adalah akibat dari penyampaian pikiran dan perasaan tersebut.

Menurut Rakhmat (1991), efek komunikasi secara umum terbagi atas :

1. Cognitive effect : didalamnya termasuk pengetahuan, yaitu berhubungan dengan

bagaimana mengaplikasikan sesuatu, bagaimana menganalisis, bagaimana


54

mensintesa dan bagaimana mengevaluasi sehingga terjadi perubahan pendapat,

penambahan pengetahuan dan perubahan kepercayaan.

2. Affective effect : disebut juga dengan emosional atau attitudinal atau psicological

yaitu adanya perubahan sikap.

3. Psychomotor effect : efek utama dari komunikasi adalah behavioral yaitu adanya

perubahan perilaku atau kecenderungan perilaku.

Proses komunikasi menghubungkan organisasi dengan lingkungan, informasi

mengalir dari organisasi dan ke dalam organisasi. Informasi mengintegrasikan

aktivitas di dalam organisasi, sehingga dapat dikatakan kelangsungan hidup

organisasi tergantung dari anggota kelompok dalam organisasi untuk menerima,

meneruskan dan bertindak atas informasi.

Profesi akuntan publik tidak dapat terlepas dari proses komunikasi, dia selalu

dituntut untuk melakukan komunikasi baik dengan klien maupun dengan karyawan

profesional dan klerikal dalam perusahaan. Putusnya komunikasi antar akuntan dapat

memberi pengaruh kurang baik terhadap kinerja akuntan, selain itu dapat

menimbulkan konsekuensi yang membahayakan perusahaan dan juga menghambat

kemampuan akuntan untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik (Hammer dan

Gavin, 1983 dalam Rachma, 2000). Beberapa penelitian bahkan telah menunjukkan

bahwa komunikasi mempunyai implikasi penting terhadap kepuasan kerja dan

turnover akuntan (Rhode et al., 1977; Fusaro et al., 1984; Hammer dan Gavin, 1983

dalam Rachma, 2000). Komunikasi yang terjalin diantara anggota tim audit menjadi

aktivitas yang sangat fundamental untuk mencapai hasil akhir, yaitu opini audit.

Keberhasilan kerja tim sangat dipengaruhi oleh komunikasi tim audit.


55

Rudolph dan Welker (1998) dalam penelitiannya tentang struktur organisasi

dan komunikasi dalam tim audit, serta Rachma (2000) dalam penelitiannya tentang

kultur organisasi dan penyampaian informasi dalam tim audit menggunakan empat

variabel komunikasi yaitu : kecukupan informasi, boundary spaning, kepuasan atas

pengawasan dan keakuratan informasi.

a. Kecukupan informasi, yaitu : kecukupan informasi yang diterima yang

mendukung data yang disajikan dalam laporan keuangan, baik data akuntansi dan

informasi pendukung lainnya yang digunakan sebagai dasar pengambilan

keputusan dalam pelaksanaan audit. Kecukupan informasi menyangkut

tersedianya informasi yang akurat dan tepat waktu sesuai dengan yang

dibutuhkan. Bila jumlah informasi yang diterima tim audit jauh melebihi atau

mengurangi kebutuhan, maka anggota tim akan kesulitan dalam memanfaatkan

semua informasi yang mereka terima secara efisien, akibatnya dapat mengurangi

keefektifan pengambilan keputusan dalam pelaksanaan audit.

b. Boundary Spanning, yaitu : serangkaian aktivitas para anggota kelompok yang

saling berinteraksi menyampaikan atau menerima informasi untuk tujuan

pengambilan keputusan. Aktivitas ini terjadi ketika auditor melakukan akses

dengan orang-orang diluar tim seperti pakar komputer, sistem informasi,

perpajakan, keuangan dan pakar statistik, juga dengan pihak-pihak di luar KAP

yaitu kilen, rekanan kerja klien yang bisa memberikan bukti-bukti yang berkaitan

dengan audit yang sedang dilaksanakan, serta instansi lain yang dapat

memberikan informasi yang berguna bagi kelancaran dan keberhasilan audit


56

yang dilakukan. Aktivitas yang bisa dilakukan dalam mencari informasi ini

antara lain :

1. Mewakili KAP untuk bertemu dengan pihak lain di luar KAP.

2. Mereview rencana penugasan dan hasilnya dengan klien.

3. Mereview dan mengevaluasi penugasan yang sedang dilaksanakan.

4. Bertindak sebagai penghubung dengan departemen atau area lain dalam KAP.

5. Memberikan informasi dan nasehat secara regular pada pihak lain seperti

klien, organisasi profesi.

Tujuan dari aktifitas ini adalah untuk memperoleh informasi yang berguna

bagi pengambilan keputusan dan mengurangi ketidakpastian dalam lingkungan audit

(Leifer dan Delbeq, 1978 dalam Wardhani 2000). Boundary spanning terjadi ketika

auditor memperluas batasan dari tim audit dengan tujuan untuk memperoleh

informasi yang dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas pertukaran informasi

dalam tim audit.

c. Kepuasan terhadap pengawasan, yaitu kualitas dan kuantitas informasi yang

diterima auditor dari supervisornya. Proses pengawasan dalam hal ini mencakup

pengkoordinasian anggota tim audit, seperti penyampaian instruksi penugasan,

tujuan penugasan, saran-saran dan evaluasi terhadap rencana terdahulu maupun

terhadap keputusan yang telah diambil (Hall, 1996). Koordinasi arus kerja

menyangkut seberapa baik berbagai aktivitas kerja yang saling berhubungan dapat

dikoordinasikan dan seberapa jauh seseorang mendapat informasi mengenai

kemajuan yang dicapainya berkaitan dengan tugas yang dijalankan. Kepuasan

terhadap pengawasan disini, merupakan perilaku yang mencerminkan sampai sejauh


57

mana kebutuhan auditor akan segala informasi yang berkualitas dapat dipenuhi oleh

supervisor.

d. Keakuratan informasi, hal ini merefleksikan kualitas umum dari informasi yang

saling dipertukarkan dalam tim. Dalam proses pengauditan bukti-bukti audit tidak

hanya harus mencukupi, tetapi juga kompeten. Bukti yang kompeten berarti juga

informasi yang akurat, informasi yang dapat dipercaya, sah, objektif dan relevan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kompetensi bukti yaitu:

1. Sumber bukti, yaitu menelusuri dari mana bukti itu diperoleh dan siapa yang

membuat bukti itu.

2. Relevansi bukti, yaitu sesuai dengan tujuan auditor

3. Obyektivitas bukti, yaitu apakah bukti yang digunakan sebagai dasar

pengambilan keputusan oleh pihak yang berbeda akan menghasilkan

kesimpulan yang sama atau berbeda secara material.

4. Saat atau waktu, yaitu kapan bukti tersebut digunakan

Mengacu pada uraian dan penjelasan pada point 2.1 mengenai hasil dari

beberapa penelitian yang menemukan bahwa gaya kepemimpinan

mempengaruhi perilaku auditor dalam KAP yaitu perilaku disfungsional dan

perilaku penurunan kualitas audit (CAR Report 1987; Kelly 1988; Raghunathan

1991; Outley dan Pierce 1995; Murdiningrum 2000; Safriliana 2001). Adanya

perilaku disfungsional auditor dan penurunan kualitas audit terkait dengan peran

pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya dalam upaya menciptakan

komunikasi dalam menyampaikan informasi, sebab berdasarkan estimasi yang

ada, manajer menghabiskan antara 50 sampai 90 persen waktunya untuk


58

berkomunikasi. Waktu ini digunakan untuk menyampaikan informasi kepada

atasan dan menerima informasi dari bawahan. Komunikasi kepada bawahan

biasanya berdasarkan instruksi kerja, dasar pemikiran kerja, prosedur dan

praktek organisasi, umpan balik mengenai kinerja staff dan indoktrinasi tujuan

akhir. Komunikasi kepada atasan berdasarkan informasi yang diterima dari

bawahan biasanya mengenai masalah yang dihadapi staff, kebijakan dan praktek

organisasi, informasi tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara

untuk melakukannya.

Komunikasi sangat erat hubungannya dengan perpindahan informasi dari

pengirim dan penerima. Komunikasi yang baik adalah komunikasi terbuka ynag

merupakan proses dua arah. Dalam hal ini seorang pemimpin tidak hanya

memikirkan berapa banyak yang hendak ia sampaikan kepada bawahan, tetapi juga

mempertimbangkan berapa banyak yang ingin disampaikan bawahan kepadanya.

Teori atribusi kepemimpinan menjelaskan bahwa pendekatan atribusi dimulai dengan

posisi para pemimpin sebagai pemproses informasi Gibson (2000) dengan kata lain

para pemimpin mencari informasi mengenai mengapa sesuatu terjadi dan kemudian

berusaha untuk membentuk penjelasan sebab yang menuntun perilaku

kepemimpinannya. Komunikasi menjadi alat manajemen untuk menyatukan kegiatan

organisasi yang mana sasaran perusahaan dapat dicapai (Harry, 1978 dalam Timple,

1992). Dalam satu penelitian, 74 % manajer yang dijadikan sampel dari perusahaan

Amerika, Inggris dan Jepang mengatakan bahwa hambatan utama terbesar menuju

keunggulan perusahaan adalah keruntuhan komunikasi (Blake dan Jane, 1968 dalam

Timple, 1991).
59

Dalam pelaksanaan audit supervisi selalu melakukan komunikasi dengan

bawahan mengenai instruksi tugas dan tujuan dari tugas yang diberikan kepada

bawahan, pemberian saran yang dapat membantu bawahan dalam menjalankan

tugasnya Hall(1996). Tanpa adanya komunikasi yang cukup antara supervisi dan

bawahan, maka auditor akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas dan

menangani tugas-tugas penting yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan

interpretasi terhadap informasi yang berkenaan dengan audit yang dilakukan.

Pentingnya komunikasi dalam organisasi didukung hasil penelitian Miles et

al., (1996) dalam Wardhani (2000) yang menentukan bahwa komunikasi yang efektif

dari supervisor mengenai pekerjaan akan dapat mengurangi role ambiguity dan role

conflict.

Penelitian yang dilakukan oleh Halimatusyadiah (2000) menemukan bahwa

gaya kepemimpinan kultur organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan pada

terbentuknya kualitas dan kuantitas atau kelancaran komukasi dalam tim

audit,walaupun kultur organisasi mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap

komunikasi dalam tim audit dari pada gaya kepemimpinan hasil penelitiannya juga

membuktikan bahwa pengaruh langsung gaya kepemimpinan terhadap komunikasi

dalam tim audit mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada pengaruh tidak

langsung melalui kultur organisasi.Hal ini konsisten dengan pernyataan Harvey dan

Brown (1992) bahwa gaya kepemimpinan dan kultur organisasi menentukan arah

seluruh organisasi dan mempengaruhi komunikasi pengambilan keputusan dan pola

kepemimpinan dari seluruh sistem. Hasil penelitin Rachma (2000) menemukan


60

adanya pengaruh yang signifikan Kultur KAP terhadap komunikasi dalam tim audit

khususnya boundary spanning dan kepuasan atas pengawasan.

2.5.Judgment Auditor

2.5.1.Hakekat Pengetahuan Auditing

Berkenaan dengan pengetahuan, Mautz dan Sharaf(1985) mengatakan bahwa

untuk memahami tentang realitas alam semesta (universe) telah semenjak dahulu

dijajaki oleh ahli filsafat. Mereka membangun metode dari untuk mendapatkan

pengetahuan (knowledge) berupa terminology sources of belief (sumber kepercayaan)

ways of knowing (coba mengetahui), organs of knowledge (alat-alat pengetahuan) dan

sources of assurance (sumber keyakinan).

Keberadaan metode tersebut hampir bersamaan dengan sejarah para filosof itu

sendiri dan biasanya satu metode pada saat tertentu akan mendominasi atau

bergabung dengan metode lain. Dewasa ini, metode filsafat tersebut digunakan dalam

pembelajaran sebagai latihan berfikir bijak (in logical thinking).

Mautz dan Sharaf(1985), mengulas bahwa logic sangat berpengaruh dalam

membentangkan pengertian, to inquiry atau bersama dengan landasan dan tingkat

kepercayaan, pendapat dan pengakuannya.

Kata to inquiry (menanyakan, memeriksa) cukup menarik untuk dibahas,

mengingat adanya keterkaitan dengan problema yang dihadapi auditing. Menurut

Peirces, sebagaimana dikutip oleh Mautz dan Sharaf, doubt (keraguan) dan belief
61

(kepercayaan). Doubt seseorang dalam berjuang membebaskan diri untuk dapat

percaya (belief). Sementara belief berupa ketenangan (calm) dan status, artinya tidak

mau diabaikan tetapi tidak mudah seandainya diubah ke kepercayaan (keyakinan) lain

lebih lanjut Pierce dalam teorinya mengatakan bahwa logic memberi kriteria yang

dapat menghilangkan keraguan dalam rangka mengevaluasi kepercayaan, baik yang

didapat dari berfikir rasional maupun melalui perjuangan hidup sehari-hari, logika

merupakan aspek mendasar untuk analisi klasifikasi dan hubungan antara teknik

mendapatkan bukti audit. Logika adalah penggunaan kriteria, sehingga kepercayaan

seseorang dapat disahihkan.

Menurut Arens dan Loebbecke(1997) mengerjakan suatu audit harus tersedia

informasi dalam bentuk yang dapat diperiksa dan beberapa standar atau kriteria

dengan nama auditor dapat melakukan evaluasi informasi dapat berbagai macam

bentuknya. Biasanya audit terhadap laporan keuangan kriterianya berupa prinsip

akuntansi yang diakui secara umum (generally accepted accounting principles) atau

standar akuntansi keuangan. Umumnya laporan keuangan mencakup laporan posisi

keuangan atau neraca, perhitungan laba dan rugi serta laporan arus kas, termasuk

catatan tambahan yang menyertainya.

Prinsip akutansi, menurut Car Michael (1989), mencakup semua konvensi,

aturan dan prosedur yang perlu untuk merumuskan praktek accounting yang diakui

pada saat tertentu. Dalam hal ini tidak hanya terbatas pada pernyataan atau keputusan

otentik tetapi meliputi juga penerapan teori akutansi yang secara umum diakui untuk

diberlakukan secara syah dalam praktek.


62

Kegiatan auditing biasanya bersangkutan dengan informasi akuntansi, itulah

sebabnya auditor harus memiliki keahlian tentang akuntansi. Untuk itu auditor harus

berkeahlian dalam mengakumulasikan serta menafsirkan bukti-bukti audit.

Menetapkan prosedur atau teknik audit atau memutuskan jumlah dan jenis

bukti untuk pengujian, atau melakukan evaluasi hasil audit merupakan persoalan yang

unik bagi auditor.

Secara umum menurut Dunn (1996), suatu audit merupakan alat dengan mana

seseorang ditanggung oleh orang lain berkenaan dengan mutu, kondisi atau status

tertentu yang penjaminnya telah melakukan pengujian. Kebutuhan audit timbul

karena orang pertama yang dijamin ragu mengenai kualitas, kondisi atau status

tentang sesuatu aspek, serta secara pribadi tidak dapat menghilangkan keraguan atau

ketidak pastian tersebut. Oleh karena itu auditing menurut Konrath, merupakan salah

satu bentuk atestasi. Atestasi dalam pengertian umum menyangkut komunikasi ahli

berkenaan kesimpulan pemeriksaan untuk dapat dipercayainya asersi (pernyataan)

seseorang yang diperiksa.

Atestasi informasi, menurut Panny (1997), berarti memberikan jaminan

(assurance) tentang dapat dipercayainya informasi tersebut. Dengan demikian

penugasan atestasi terjadi bila seorang praktisi berkewajiban mengkomunikasikan

secara tertulis kesimpulan dapat atau tidak dapat dipercayainya pernyataan tertulis

yang merupakan tanggung jawab pihak lain.Helyi (2000), mengatakan bahwa auditing

merupakan akumulasi dan melakukan evaluasi bukti tentang informasi yang dapat

diukur dari suatu entitas ekonomi untuk menentukan dan melaporkan tingkat
63

hubungan informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Auditing

harus dikerjakan oleh seorang independen yang berkompeten.

Dapat digambarkan defenisi auditing dalam gambar 2.2

Audito
r

Mendapatkan dan Mengevaluasi

Bukti-bukti Audit

Meyakini hubungan antara


Asersi tentang data ekonomi dengan Kriteria yang ditetapkan

Mengkomunikasikan Hasil-hasilnya

User yang
berkepentingan
Gambar 2.2 Definisi Auditing
Sumber Dan M. Guy, C, Wayne Alderman and Alan J. Winters, Auditing (Forth worth : The Dryden
Press, Hast Court, Brace College Publisher, 1996, P. 4)

Teknik Audit atau prosedur audit, menurut Mautz & Sharaf diantaranya

inspeksi (inpection), observation, pemeriksaan dan konfirmasi. Selanjutnya

metodologi auditing menurut Mautz & Sharaf, bersangkutan dengan langkah

pekerjaan audit sebagai berikut : (1) penerimaan penugasan, (2) observasi fakta

terkait dengan persoalan (3) pemecahan persoalan makro ke individual (4)


64

menentukan bukti tersedia yang mendukung persoalan individual (5) memilih tehnik

audit (6) melaksanakan perosedur untuk memperoleh bukti (7) evaluasi bukti (8)

memformulasikan pertimbangan (judgment).

2.5.2.Karakteristik Auditing

Pekerjaan auditor adalah melaksanakan auditing untuk menghasilkan opini

auditor. Dimaksud dengan audit adalah meningkatkan kredibilitas laporan keuangan

yang disajikan oleh manajemen entitas atau auditee atau auditan. Dengan demikian

terdapat perbedaan peranan manajemen dengan auditor. Manajemen sebagai auditee

atau auditan menyiapkan laporan keuangan yang akan diaudit oleh auditor. Peranan

auditor berkenaan dengan laporan keuangan terlihat digambar 2.3

Manajemen

Menyiapakan
Laporan keuangan

Laporan
keuangan Pengguna
yang telah
diaudit

Mengevaluasi
Laporan keuangan

Auditor

Gambar 2.3 Peranan Auditor

Sumber : Lary F. Konrath 1996, Auditing Concepts and Applications : a Risk Analysis Approach

(Minneapolis/St. Paul : West Publishing Company) p.5

Hasil suatu audit diharapkan akan menambah kepercayaan penggunanya

bahwa laporan keuangan secara materi tidak salah saji. Auditor itu bebas, ahli yang
65

objektif, berpengetahuan bisnis entitas serta memahami persyaratan pelaporan

keuangan. Hal ini karena auditor (independen) memeriksa atau menguji data-data

atau bukti-bukti yang mendasari, posisi keuangan, hasil operasi, dan arus kas, untuk

kemudian merumuskan atau menyatakan pendapat (opini) tentang kelayakan

penyajian laporan keuangan dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip akuntansi

yang diterima secara umum.

Pendapat auditor secara standar memberikan jaminan pantas (masuk akal)

bahwa laporan keuangan terbebas dari salah saji yang material terkecuali jika

ditegaskan lain. Akan tetapi banyak pengguna laporan keuangan beranggapan bahwa

laporan auditor merupakan sebuah surat keterangan kesehatan (a clean bill of health).

Ada juga beberapa pengguna laporan auditor yang percaya bahwa suatu audit akan

membenarkan segala keputusan kebijakan entitas berkenaan dengan pengguna

sumber-sumber (faktor produksinya, resources); atau pernyataan telah memadainya

(adequacy) struktur pengendalian intern (internal control) entitas. Sebenarnya opini

auditor terhadap laporan keuangan bukanlah suatu pendapat atau surat keterangan

berkenaan kesehatannya suatu entitas (perusahaan), maupun pernyataan-pernyataan

yang mengesahkan/membenarkan terhadap segala kebijakan manajemen.

Menurut Kell dan Zigler (1983), tujuan umum pengujian laporan keuangan

oleh auditor untuk memberikan pernyataan pendapat atau opinion tentang apakah

laporan keuangan secara keseluruhan, menyajikan secara wajar/layak atau present

fairly posisi keuangan, hasil operasi, dan perubahan-perubahan dalam posisi

keuangan sesuai dengan (in conformity with) prinsip akuntansi yang diterima secara

umum.
66

Tanggung jawab auditor dalam suatu audit laporan keuangan menyangkut

proses: (1) melakukan pemeriksaan/ pengujian (test) laporan keuangan, yang sesuai

standar dengan standar profesi, dan (2) mengkomunikasikan (meneruskan) temuan

pemeriksaan melalui penerbitan laporan auditor. Fungsi auditor dalam hal ini

meningkatkan untuk dapat dipercayai (kredibilitas) laporan keuangan, karena

terjadinya pemisahan antara kepemilikan perusahaan (pemegang stockholders, share

holders) dengan pengelola perusahaan (management), yang melahirkan adanya

perbedaan kepentingan (pertentangan kepentingan, conflict of interest) di antara

mereka yang terkait.

Manajemen memahami bahwa keberadaannya selaku pengelola entitas akan

dievaluasi oleh para pemegang saham melalui laporan keuangan yang dibuatnya.

Karena itu laporan keuangan harus dibuat dengan seindah mungkin, dalam arti

menarik hati atau supaya memuaskan pembaca bahkan kalau perlu direkayasa

(window dressing).

Pemegang saham berkepentingan untuk mengetahui bahwa laporan

keuangan menggambarkan posisi keuangan yang sebaik mungkin dan riil sebagai

hasil operasi, dan arus uang perusahaan. Sementara itu para investor berkeinginan

agar laporan keuangan memberikan informasi yang tidak menyesatkan untuk menjadi

salah satu landasan dalam membuat keputusan.

Perbedaan sikap dan perilaku terhadap laporan keuangan inilah, yang

menjadi salah satu penyebab diperlukannya peranan auditor sebagai attestor

(penyokong kebenaran) yang mampu dan berkompetensi. Sebagai eskper (ahli) dalam

prinsip akuntansi menurut Konrath, auditor mengerjakan evaluasi berkenaan dengan


67

kualitas laporan keuangan entitas, agar dapat berperan sebagai salah satu sumber

informasi terpercaya dalam rangka membantu proses pembuatan keputusan, bagi para

penggunanya atau pembaca laporan.

Profesi akuntansi (accounting profession), seperti halnya profesi lain, hanya

akan hadir (exist) karena adanya pengakuan secara luas dari publik. Pengakuan publik

terhadap suatu profesi berarti masyarakat atau publik merasakan adanya suatu

kebutuhan yang diharapkan dapat dipenuhi para professional yang terlatih sangat

baik. Dalam auditing, kebutuhan yang diharapkan adalah fungsi atestasi atau

membuktikan secara independen (bebas).

Dengan demikian laporan keuangan yang telah diaudit, baik dalam metode

pengumpulan dan evaluasi bukti, yang terbebas dari pengaruh penyusun atau pembuat

laporan keuangan yaitu manajemen, diperlukan oleh pihak ketiga.

Fungsi atestesi, yang dikerjakan auditor, memberikan aspek dipenuhinya

kebutuhan laporan keuangan yang relevan dan terpercaya. Auditor mempertahankan

status profesi, dengan berusaha untuk selalu konsisten berkenaan dengan kualitas

pekerjaannya, dan terbebas dari pengaruh menajamen entitas yang diaudit. Oleh

karena itu menurut Konrath (1996), bahwa auditor tidak menjamin (not

guaranteeing) akurasinya (accuracy, ketepatan) laporan keuangan, tetapi menyatakan

pendapat (opinion) berkenaan kelayakan atau kewajarannya (fairness) laporan

keuangan.

Hal ini perlu disadari, karena menurut Kell, sering para pengguna laporan

auditor salah mengerti, dengan menduga misalnya suatu audit dapat mendeteksi

adanya kekeliruan atau kesalahan yang tidak disengaja (errors, unintentional


68

mistakes) dan ketidak beresan (irregularities, penyimpangan disengaja dan salah saji,

yang biasanya diistilahkan dengan fraud atau penipuan).

Meskipun demikian dalam suatu audit laporan keuangan, auditor tetap

mempunyai suatu tanggung jawab untuk dapat mencari kemungkinan adanya errors

dan irregularities yang diperkirakan akan sangat berpengaruh terhadap laporan

keuangan. Akan tetapi, jika karyawan dan atau manajemen dengan sengaja

menyembunyikan informasi tersebut dan tidak terdeteksi oleh auditor, maka

pengungkapan irregularities yang material kemungkinan sekali akan menimbulkan

kesulitan, kalau tak disebut suatu tugas yang tak mungkin.

Pengguna laporan audit lainnya beranggapan, bahwa suatu laporan audit tak

akan selalu dapat mencakup informasi adanya tindakan illegal yang dilakukan

manajemen. Terlepas dari itu semua, sebenarnya auditor sangat diharapkan untuk

menjalankan tugasnya secara berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya illegal

act, termasuk adanya kontribusi yang berbau politis berupa uang sogok (bribe).

Sebenarnya menentukan sesuatu itu illegal act atau bukan berkaitan dengan profesi

hukum, dan auditor tidak diharapkan untuk juga bertindak sebagai a legal expert.

Begitu pula suatu audit tidaklah memberikan informasi tambahan, terhadap laporan

keuangan, tetapi dimaksudkan untuk dimungkinkannya para pengguna atau pembaca

dapat lebih percaya terhadap informasi yang sudah disiapkan oleh orang lain yaitu

manajemen atau auditan.

Menurut Dunn (1996), International Federation of Accountants (IFAC)

menegaskan bahwa tujuan audit laporan keuangan yang disiapkan melalui kebijakan

akuntansi, dimaksudkan agar auditor dapat memberikan pernyataan pendapatnya


69

terhadap laporan keuangan tersebut, dan dengan adanya pendapat akuntan (auditor)

diharapkan dapat membantu terbentuknya kredibilitas terhadap laporan keuangan

yang diaudit.

Para pengguna (users) hendaknya juga tidak beranggapan bahwa pendapat

auditor merupakan jaminan mengenai kemungkinan dapat hidupnya (future viability)

entitas pada masa yang akan datang. Selain itu, pendapat auditor juga tidak

merupakan pemberian informasi berkenaan efisiensi maupun efektivitasnya

manajemen dalam mengelola entitas. Para pembaca laporan auditor hendaknya

menguji sendiri laporan keuangan terkait dan laporan manajemen, jika ingin

memahami apakah perusahaan atau entitas yang dilaporkan telah dikelola secara

layak atau pantas (properly) dalam pengertian efisien dan efektif.

Dalam manajemen dikenal istilah psychological contract, menurut Robinson

(2001), yang dikutip Robbins, maksudnya adalah suatu bentuk persetujuan tak tertulis

yang menunjukkan apa yang manajemen harapkan dari pegawai dan sebaliknya juga

dari manajemen. Dengan begitu kontrak ini sepertinya meletakkan harapan-harapan

perilaku yang sesuai menurut peranannya masing-masing.

Tugas auditor baik langsung maupun tak langsung akan melibatkannya

dengan manajemen (auditan, auditee), pemegang saham (termasuk dewan komisaris),

profesi akuntan, pembaca laporan keuangan, dan publik yang semuanya akan

menjalankan peranan (role) sesuai dengan harapannya masing-masing. Hubungan

yang terjalin ini juga merupakan semacam psychological contract.

Terdapat keunikan hubungan yang tidak biasa antara auditor dengan auditan

(auditee, client). Penugasan dan pembayaran fee untuk auditor dilakukan oleh
70

auditan, sementara materi hasil kerjanya berupa laporan akuntan terutama ditujukan

bukan untuk kepentingan auditan tetapi pihak lain, khususnya di luar manajemen.

Sama halnya dengan profesi lainnya, auditor lazimnya memperoleh

informasi yang sangat luas tentang klien (auditan, auditee), yang tidak boleh

diungkapkan ke pihak lain yang bukan auditan. Kerawanan psychological contract

(ada juga yang menyebut sebagi hubungan pergadaian) dapat tertembus dengan

terjadinya pengungkapan informasi rahasia ke pihak lain. Hukum dalam

hubungannya dengan legaliability akan membebani praktisi berkenaan terjadinya

kebocoran atau kerugian yang ditumbulkan karena adanya pelanggaran hubungan

gadai. Hal ini berlaku juga bagi auditor, jika lalai melaksanakan tugas atau

kewajibannya terhadap auditan. Itulah sebabnya Dunn mengingatkan, agar auditor

dalam melaksanakan pengujian atau audit harus bekerja dengan penuh keterampilan

dan kehati-hatian (with reasonable care and skill).

Seorang akuntan (auditor) dalam proses audit memberikan opini dengan

judgment yang didasarkan pada kejadian-kejadian masa lalu,sekarang,dan yang akan

datang.Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) pada seksi 341 menyebutkan

bahwa audit judgment atas kemampuan kesatuan usaha dalam mempertahankan

kelangsungan hidupnya harus berdasarkan pada ada tidaknya kesangsian dalam diri

auditor itu sendiri terhadap kemampuan suatu kesatuan usaha dalam mempertahankan

kelangsungan hidupnya dalam periode satu tahun sejak tanggal laporan keuangan

auditan.

Seorang auditor dalam melakukan tugasnya membuat audit judgment

dipengaruhi oleh banyak faktor baik bersifat teknis ataupun non teknis aspek perilaku
71

individu,sebagai salah satu faktor yang banyak mempengaruhi pembuatan audit

judgment,sekarang ini banyak menerima perhatian dari para praktisi akuntansi

ataupun dari akademisi namun meningkatnya perhatian tersebut tidak diimbangi

dengan pertumbuhan penelitian dibidang akuntansi perilaku dimana dalam banyak

penelitian tidak menjadi fokus utama Meyer (2001).

Cara pandang auditor dalam menanggapi informasi berhubungan dengan

tanggung jawab dan resiko audit yang akan dihadapi oleh auditor sehubungan dengan

judgment yang dibuatnya.Faktor yang mempengaruhi persepsi auditor dalam

menanggapi dan mengevaluasi informasi ini antara lain terkait dengan prilaku

auditor(etika), pengetahuan, independensi, kompleksitas tugas dan tekanan ketaatan,

pengalaman serta gender.

Gender diduga menjadi salah satu faktor level individu yang turut

mempengaruhi audit judgment seiring dengan terjadinya perubahan kompleksitas

tugas dan pengaruh tingkat kepatuhan terhadap etika.Temuan riset literatur psikologis

kognitif dan pemasaran menyebutkan bahwa wanita diduga lebih efisien dan efektif

dalam memproses informasi saat adanya kompleksitas tugas dalam pengambilan

keputusan dibandingkan dengan pria Ruegger dan King (1992) menyatakan bahwa

wanita umumnya memiliki tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi dari pada

pria.Gilligan (1982) menyatakan pengaruh gender terhadap perbedaan persepsi etika

terjadi pada saat proses pengambilan keputusan.


72

Temuan DeZoort dan Lord dalam Hartanto (1999)melihat adanya pengaruh

tekanan atasan pada konsekwensi yang memerlukan biaya,seperti halnya tuntutan

hukum,hilangnya profesionalisme,dan hilangnya kepercayaan publik dan kredibilitas

sosial.Hal tersebut mengindikasikan adanya pengaruh dan tekanan atasan pada

judgment yang diambil auditor Ashton (1990),telah mencoba untuk melihat pengaruh

tekanan dari atasan pada kinerja auditor dalam hal budget waktu, akuntabilitas ,dan

justifikasi.Teori ketaatan menyatakan bahwa individu yang memiliki kekuasaan

merupakan suatu sumber yang dapat mempengaruhi prilaku orang lain dengan

perintah yang diberikannya.Hal ini disebabkan oleh keberadaan kekuasaan atau

otritas yang merupakan bentuk dari legitimate power.Paradigma ketaatan pada

kekuasaan ini dikembangkan oleh Milgran (1974),dalam teorinya dikatakan bahwa

bawahan yang yang mengalami tekanan ketaatan dari atasan akan mengalami

perubahan psikologis dari seseorang yang berprilaku autonomis menjadi prilaku

agen.Perubahan prilaku ini terjadi karena bawahan tersebut merasa menjadi agen dari

sumberkekuasaan,dan dirinya terlepas dari tanggungjawab atas apa yang

dilakukannya.

Akuntan sering berhadapan dengan keputusan yang hasilnya tidak cukup

oleh kode etik maupun oleh standar akuntansi berterima umum pertimbangan utama

dalam keputusan adalah etika,walaupun seringkali melibatkan berbagai macam

konflik kepentingan.Judgment akuntan profesional dapat dirusak oleh konflik

kepentingan.Terdapat dua konflik kepentingan, yaitu real conflict dan latent

conflict.Real conflict adalah konflik yang mempunyai pengaruh pada masalah

judgment yang ada,sedangkan latent conflict adalah konflik yang bisa mempengaruhi
73

judgment dimasa mendatang.Contoh konflik yang kedua bisa terjadi pada auditor

yang penghasilannya didominasi oleh satu klien yang besar.Meskipun saat itu kondisi

tersebut tidak menyulitkan,tetapi suatu waktu bisa terjadi diperlukan adanya

penyesuaian negatif terhadap laba klien dalam kondisi tersebut dapat menolak

penyesuaian ini dengan mengancam akan pindah keauditor lain Muawanah ( 2001)

Badan audit research ternama telah mendemonstrasikan bahwa sejumlah

faktor level individu terbukti berpengaruh terhadap keputusan seorang auditor

(Solomon dan Shields,1995).Pengujian sejumlah faktor tersebut terhadap

kompleksitas tugas juga bersifat penting karena ke cenderungan bahwa tugas

melakukan audit adalah tugas yang banyak menghadapi persoalan kompleks Bonner

(1994) mengemukakan ada tiga alasan yang cukup mendasar mengapa pengujian

terhadap kompleksitas tugas untuk sebuah situasi audit perlu dilakukan.Pertama,

kompleksitas tugas ini diduga berpengaruh signifikan terhadap kerja seorang

auditor.Kedua, sarana dan teknik pembuatan keputusan dan latihan tertentu diduga

telah dikondisikan sedemikian rupa ketika para peneliti memahami keganjilan pada

kompleksitas tugas audit.Ketiga, pemahaman terhadap kompleksitas dari sebuah

tugas dapat membantu tim manajemen audit perusahaan menemukan solusi terbaik

bagi staf audit dan tugas audit.

Hogarth (1992) mengartikan judgment sebagai proses kognitif yang

merupakan perilaku pemilihan keputusan.Judgment merupakan suatu proses yang

terus menerus dalam perolehan informasi (termasuk umpan balik dari tindakan

sebelumnya) pilihan atau bertindak atau tidak bertindak,penerimaan informasi lebih

lanjut.Proses judgment tergantung pada kedatangan informasi sebagai suatu proses


74

unfolds.Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi pilihan,tetapi juga

mempengaruhi cara pilihan tersebut dibuat.Setiap langkah,didalam proses incrimental

judgment jika informasi terus menerus datang,akan muncul pertimbangan baru dan

keputusan/pilihan baru.

Dalam melakukan tugas audit, auditor harus mengevaluasi berbagai

alternatif informasi dalam jumlah yang relatif banyak untuk memenuhi standar

pekerjaan lapangan yaitu bukti audit yang kompeten yang cukup harus diperoleh

melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan konfirmasi sebagai dasar

yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit (IAI,

2006). Lebih lanjut IAI menyatakan bahwa untuk dapat dikatakan kompeten, bukti

audit terlepas dari bentuknya harus sah dan relevan. Pertimbangan waktu dan biaya

menyebabkan auditor sulit untuk menggunakan semua informasi yang diperolehnya

sebagai dasar yang memadai untuk memberikan pendapat. Batasan waktu dan biaya

berpotensi menimbulkan masalah yang serius bagi auditor dalam penggunaan bukti,

selain itu semua bukti audit bercampur baik relevan maupun tidak relevan sehingga

auditor akan kesulitan untuk memberikan pertimbangannya.

Tidak semua informasi relevan untuk setiap keputusan yang dibuat auditor

selama audit laporan keuangan. Studi sebelumnya mengenai judgment senior auditor

menunjukkan bahwa adanya informasi tidak relevan memperlemah implikasi-

implikasi yang relevan terhadap judgment auditor. Fenomena ini selanjutnya disebut

sebagai dilution effect (Nisbet et al, 1981)

Dalam literature psikologi dan auditing menunjukkan bahwa efek dilusi

dalam auditing bisa berkurang oleh auditor yang berpengalaman karena struktur
75

pengetahuan yang baik dari auditor yang berpengalaman menyebabkan mereka

mengabaikan informasi yang tidak relevan Sandra (1991). Dengan kata lain

kompleksitas tugas yang dihadapi sebelumnya oleh seorang auditor akan menambah

pengalaman serta pengetahuannya.

Pendapat ini didukung oleh Abdolmohammadi dan Wright (1987) yang

menunjukkan bahwa auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan

yang lebih signifikan di bandingkan dengan auditor yang lebih berpengalaman.

Pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih Christ

(1993) seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang

dimiliki akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak

mempunyai pengetahuan yang cukup dalam tugasnya. Boner dan Walker (1994)

mengatakan bahwa peningkatan pengetahuan yang muncul dari pelatihan formal

sama bagusnya dengan yang didapat dari pengalaman khusus. Oleh karena itu

pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi

kinerja akuntan publik, sehingga pengalaman dimasukkan sebagai salah satu

persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik (SK Menkeu No.

43/KMK.017/1997)

Dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai seorang professional, auditor

harus menjalani pelatihan yang cukup. Pelatihan tersebut berupa kegiatan-kegiatan

seperti seminar, symposium, lokakarya, pelatihan itu sendiri dan kegiatan penunjang

keterampilan lainnya. Melalui program pelatihan para auditor juga mengalami proses

sosialisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan situasi yang akan ditemui

(Putri dan Bandi, 2002). Pengetahuan auditor yang berkenaan dengan bukti relevan
76

dan tidak relevan mungkin akan berkembang dengan adanya program pelatihan

auditor ataupun dengan bertambahnya pengalaman auditor itu sendiri. Keberadaan

informasi yang tidak relevan terhadap sasaran mengurangi kesamaan antara sasaran

dan keadaan hipotesis yang disarankan oleh informasi yang relevan.

Dengan demikian maka kompleksitas tugas yang dihadapi oleh seorang

auditor akan menambah pengalaman serta pengetahuannya. Pendapat ini didukung

oleh Abdolmuhammad dan Wright (1987) yang menunjukkan bahwa auditor yang

tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih signifikan

dibandingkan dengan auditor yang lebih berpengalaman.

Marinus, Wray (1997) menyatakan bahwa secara spesifik pengalaman dapat

diukur dengan rentang waktu yang telah digunakan terhadap suatu pekerjaan atau

tugas (job). Kolodner (1983) dalam risetnya menunjukkan bagaimana pengalaman

dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja pengambilan keputusan. Selain itu,

beberapa badan menghubungkan antara pengalaman dan profesionalitas sebagai hal

yang sangat penting didalam menjalankan profesi akuntan publik. AICPA AU section

100-110 mengkaitkan professional dan pengalaman dalam kinerja auditor :

“Theprofessional qualifications required of the independent auditor are


those of person with the education and experience to practice as such. They do not
include those of person trained for qualified to engage in another profession or
accupation”.

Menurut The Institute of Chartered Account in Australia (1997:28) :

Membership of profession means commitment to asset of value that


professional as specific “moral community”. Tobe a good accountant one not
only needs to have insight into one’s profession, but to have accepted and
internalized those values. Professional value clarification is an activity both
of individual accountans, in identifying and gaining critical insight into the
meaning and application of values, and activitiy of professional it self.
77

Selain itu untuk menjadi professional menurut The Institute of Chartered

Account in Australia (1997:30) adalah :

Extensive training must be undertaken to be able to practice in the


profession. A significant amount ofthe training consists of intellectual component.
The profession provides a value able service to the community:

Menurut Jeffrey (dalam Sularso dan Na’im, 1999:156) memperlihatkan

bahwa seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki

lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu

pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Menurut Butts (dalam Sularso

dan Na’im 1999:156), mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang

berpengalaman membuat judgment lebih baik dalam tugas professional ketimbang

akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman. Hal ini dipertegas oleh Haynes et.al

(1998) yang menemukan bahwa pengalaman audit yang dipunyai auditor ikut

berperan dalam menentukan pertimbangan yang diambil.

Dari beberapa hasil penelitian dalam bidang audit ada berbagai variasi faktor

individual yang mempengaruhi judgment dalam melaksanakan review selama proses

pelaksanaan audit (Solomon dan Shields 1995) dan pengaruh faktor individual

berubah-ubah sesuai dengan kompleksitas tugas (Tan and Kaw 1999) dan Libby

(1995).

Dari literature cognitive psychology dan literature marketing dinyatakan

bahwa gender sebagai faktor level individual dapat berpengaruh terhadap kinerja

yang memerlukan judgment dalam berbagai kompleksitas tugas. Dalam literature

tersebut Chung and Monroe (2001) menyatakan bahwa perempuan dapat lebih efisien
78

dan efektif dalam memproses informasi dalam tugas yang kompleks dibanding laki-

laki dikarenakan perempuan lebih memiliki kemampuan untuk membedakan dan

mengintegrasikan kunci keputusan. Masih dalam literature tersebut dinyatakan bukti

bahwa lak-laki relatif kurang mendalam dalam menganalisis inti dari suatu keputusan.

Namun pengaruh gender terhadap pemrosesan informasi dan judgment belum banyak

teruji dalam konteks penugasan audit atau penugasan sebagai auditor.

Dalam penugasan tersebut, variasi kompleksitas audit dapat terjadi dalam

berbagai akun, jumlah atau besarnya saldo akun. Meyers and Levy (1986)

mengembangkan sebuah theoritcal framework untuk menjelaskan pemrosesan

informasi oleh laki-laki dan perempuan. Kerangka teoritis ini kemudian digunakan

untuk beberapa kajian misalnya dalam auditing. O’Donel and Johnson (1999)

melakukan studi apakah ada perbedaan usaha pemrosesan informasi dalam suatu

perencanaan prosedur analitis pada sebuah penugasan audit dapat dikaitkan dengan

isu gender. Mereka menemukan bukti empiris bahwa ada ketidak konsistenan hasil

adanya pengaruh gender pada proses perencanaan prosedur analitis. Perempuan lebih

memberikan usaha pemrosesan lebih intens dari pada laki-laki dalam hal laporan

keuangan yang konsisten dengan informasi tentang bisnis klien. Namun ketika terjadi

perubahan fluktuasi kompleksitas tugas dalam kasus eksperimen, maka terjadi

sebaliknya dimana perempuan menjadi kurang usahanya dalam pemrosesan

informasi. Hasil ini juga tidak konsisten dengan Chung dan Monroe (2001).

Penelitian diatas dilakukan di luar negeri, dimana dalam penelitian tidak dijelaskan

bagaimana peran perempuan yang dibentuk oleh budaya atau lingkungan masyarakat

di negara yang bersangkutan.


79

Selanjutnya Bonner (1994) mengatakan bahwa inti keputusan yang

bersumber dari berbagai informasi dapat digunakan oleh auditor untuk membuat

judgment dalam suatu penugasan audit independen. Auditor dapat mengindentifikasi

salah saji dalam laporan keuangan, mempelajari dan menganalisis informasi kunci

tentang resiko yang ada (inherent risk), control risk (resiko pengendalian), hasil

prosedur analitis, pengujian pengendalian, dan hasil dari pengujian substantif. Salah

satu faktor yang mempengaruhi kompleksitas tugas eksperimental yang digunakan

dalam penelitiannya adalah jumlah atau banyaknya informasi kunci yang dapat

digunakan untuk pembuatan suatu judgment.

Anda mungkin juga menyukai