Anda di halaman 1dari 26

I

ISLĀM: KONSEP AGAMA


DAN
FONDASI ETIKA DAN MORALITAS
Konsep yang dituangkan dalam istilah dīn, yang secara umum dipahami bermakna agama,
tidaklah sama seperti konsep agama sebagaimana diinterpretasi dan dipahami sepanjang sejarah
keagamaan Barat. Ketika kita berbicara tentang Islām dan menunjuknya dalam bahasa Inggris
sebagai ‘religion’, kita memaksudkan dan memahaminya sebagai dīn, dimana seluruh konotasi dasar
yang inheren dalam istilah dīn1 dipahami sebagaimana terkumpul ke dalam satu kesatuan tunggal
makna yang koheren seperti direfleksikan dalam Qur’ān Suci dan bahasa Arab dimana dia berada.
Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang
meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun semuanya secara konseptual saling
berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan dari semuanya menampilkan dirinya sebagai
kesatuan keseluruhan yang jelas. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan
sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna relevan dan inheren yang
dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islāmi yang diterjemahkan ke dalam
realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam pengalaman manusia, penampakan
pertentangan pada makna-makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan kekaburan; melainkan
berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-dasar manusia itu sendiri, yang dengan
setia direfleksikan mereka. Dan kekuatan mereka merefleksikan sifat-dasar manusia dengan setia
merupakan demonstrasi akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas yang jelas dalam mengandung
kebenaran.
Penanda dasar istilah dīn dapat direduksi menjadi empat: (1) keberhutangan; (2) ketundukan; (3)
kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Dalam apa yang akan disampaikan
kemudian, saya akan berusaha menjelaskan secara ringkas dan menempatkan mereka dalam konteks
yang relevan, menggambarkan ke depan makna pokok koheren yang dimaksudkan, yang
menandakan kepercayaan-kuat, kepercayaan, praktek, dan pengajaran yang dilekatkan oleh muslim
secara individual dan kolektif sebagai Komunitas (Ummah), dan mewujudkan dirinya sendiri
bersama sebagai sebuah keseluruhan objektif sebagai Agama yang disebut Islām.
Kata kerja dāna yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk
pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, dimana beberapa dari mereka berlawanan.
Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, hal itu untuk mengatakan,
seorang dā’in berarti bahwa seseorang mengendalikan dirinya sendiri, dalam pengertian sukarela
dan kepatuhan, kepada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga, dalam satu sisi, kepada
kreditor, yang juga serupa ditunjuk sebagai dā’in.2 Terdapat pula kandungan dalam situasi yang
digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn. Ada
dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan: daynūnnah, dan
kesaksian: idānah, sebagaimana kasus tersebut. Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang
inheren dalam dāna hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam

1
Dalam bab ini, interpretasi saya tentang konotasi dasar inheren dalam istilah dīn berdasarkan karya klasik standar Ibn
Manzur, Lisān al-‘Arab (Beyrouth, 1968, 15v.), di sini akan disebut LA. Atas apa yang dīnyatakan dalam halaman ini dan
selanjutnya, lihat vol.3: 166, kol. 2-117, kol.2. Rumusan dan konseptualisasi makna agama (dīn), maupun penjelasan
konsep kunci dalam tatanan yang bermakna, adalah milik saya sendiri.
2
Dā’in menunjuk sebagai penghutang maupun sebagai pemberi hutang, dan penampakan makna yang berlawanan ini
hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu,
jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di bawah hlm. 57-60.
kehidupan niaga di kota kecil dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau madā’in. Sebuah
kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyān. Jadi sudah
ada di sini, dalam pelbagai penggunaan hanya dari kata kerja dāna, kita melihat hadir di depan mata
pikiran kita sebuah gambar kehidupan yang beradab; tentang kehidupan sosial akan hukum,
tatanan, keadilan, dan otoritas.3 Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim
dengan kata kerja lain maddana4 yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki
dan memanusiakan; yang darinya diturunkan istilah lain: tamadun, yang bermakna peradaban dan
perbaikan kebudayaan sosial. Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar kondisi berhutang
penanda lain yang berhubungan, seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi
diperbudak; dan dari penanda lain seperti hakim, pengatur, pemerintah diturunkan makna yang
menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan
jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang
ditentukan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial
kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus
mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang
direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah
modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan
dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini merupakan kondisi yang biasa atau terbiasa. Maka, dari
sini kita dapat lihat logika di balik turunan penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan,
karakter atau kecenderungan alamiah. Pada titik ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam
bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian sejati tentang kecenderungan alamiah
manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil.
Gagasan kerajaan, kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan
kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam
tentangnya, dan perlu ditegaskan lagi di sini, karena kita akan harus membutuhkannya lagi ketika
kita berurusan dengan aspek keagamaan dan spiritual dari pengalaman eksistensial manusia.
Saya telah begitu jauh menjelaskan secara sepintas konsep dasar dīn, mereduksi pelbagai
konotasinya kepada empat penanda dasar dan menunjukkan hubungan nyata dan konseptualnya,
dalam konteks hubungan ‘sekular’ manusia. Dalam konteks keagamaan, yakni tentang hubungan
antara manusia dan Tuhan, dan apa yang Tuhan terima dalam hubungan manusia dengan
sesamanya, penanda dasar tersebut, walaupun mempertahankan makna dasar mereka, meski
demikian mengalami sintesis dan intensifikasi mendalam sekaligus benar kepada pengalaman yang
digambarkan dan pada deskripsi Agama Islām sebagai kepercayaan-kuat, kepercayaan, praktek, dan
pengajaran objektif yang dialami dan dihidupi oleh masing-masing dan setiap anggota Komunitas
Muslim maupun oleh Komunitas sebagai keseluruhan.

3
Saya pikir sangat penting untuk melihat baik keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara konsep dīn dan
madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan terhadap yang sebelumnya dan
secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus dipertimbangkan dalam pentingnya perubahan nama kota
yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-Madīnah: Kota — atau lebih tepat, Madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi — yang
muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan historis
(hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah yang
menandai Era Baru dalam sejarah manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-Madīnah disebut dan dinamakan demikian
sebab di sanalah dīn yang benar menjadi terwujud bagi manusia. Di sana mukmin memperbudak dirinya di bawah otoritas
dan hukum Nabi Suci, dayyān-nya; di sana realisasi hutang kepada Tuhan mengambil bentuk yang jelas, dan cara dan
metode pembayarannya yang diterima mulai dibentangkan. Kota Nabi menandakan tempat dimana dīn yang benar
ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi, untuk
Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan bagi mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang jasad dan
fisik mukmin dimana jiwa rasional, dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan memberkahi dan
memberi kedamaian!, menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan lebih lanjut, lihat di
bawah, hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84.
4
LA, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1.
Bagaimana konsep sedang berhutang dapat dijelaskan dalam konteks kegamaan dan spiritual?
— seseorang mungkin menanyakan; apa sifat-dasar dari hutang itu?, dan kepada siapa hutang
dimiliki? Kita menjawab bahwa manusia berhutang kepada Tuhan, Pencipta dan Penyedianya,
karena membawanya menjadi eksistensi dan memeliharanya dalam keberadaannya. Manusia
sebelumnya bukan apa-apa dan tidak ada, dan kini dia ada.

‘Manusia Kami ciptakan dari sari tanah liat; kemudian Kami tempatkan dia sebagai sperma
yang jatuh dalam tempat istirahat, ditetapkan dengan kuat;
kemudian Kami membuat sperma itu menjadi segumpal darah yang memadat; kemudian
dari gumpalan itu Kami membuat gumpalan; kemudian Kami membuat dari gumpalan itu
tulang dan membungkus tulang itu dengan daging; kemudian Kami jadikannya makhluk
yang lain. Puji Tuhan, Pencipta yang terbaik,’5

Manusia yang merenungkan secara serius asalnya akan menyadari bahwa beberapa dekade yang
lalu dia tidak ada, dan seluruh manusia yang kini ada pun dahulu tidak ada maupun mengetahui
kemungkinan keberadaan mereka saat ini. Kebenaran yang sama berlaku pada manusia di seluruh
zaman sejak awal keberadaannya. Dengan begitu alamiah dia yang merenung sedemikian tulus
mengetahui secara intuitif bahwa rasa berhutang akan penciptaan dan keberadaannya tidak dapat
sungguh-sungguh ditujukan kepada orang tuanya, karena dia sungguh tahu bahwa orang tuanya
pun dipengaruhi proses yang sama oleh Pencipta dan Penyedia. Manusia tidak menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangannya sendiri dari kondisi segumpal darah yang menggantung
kepada yang kini dewasa dan sempurna. Dia mengetahui bahkan dalam kondisi dewasa dan
sempurna dia tidak mampu menciptakan bagi dirinya sendiri indera penglihatan atau pendengaran
atau yang lain — dan membiarkan dirinya dalam kesadaran pertumbuhan dan perkembangan dalam
kondisi embrionik yang tak berdaya, maka:

‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Ādam — dari kesiapan mereka — keturunan mereka,
dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” —
mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”6

Manusia yang dibimbing secara benar menyadari bahwa diri sejatinya, jiwanya, sudah
mengakui Tuhan sebagai Rabbnya, bahkan sebelum keberadaannya sebagai manusia, sehingga
manusia tersebut mengenali Pencipta, Pengasih, dan Pemeliharanya. Sifat-dasar hutang penciptaan
dan eksistensi begitu sangat luar biasa, sehingga saat dia diciptakan dan diberi eksistensi, manusia
sudah dalam kondisi merugi, karena dia sungguh tidak memiliki apapun pada dirinya sendiri,
dengan melihat bahwa segala tentangnya, di dalam dirinya, dan darinya adalah apa yang dimiliki
Pencipta Yang memiliki segalanya. Dan ini adalah makna dari Qur’ān Suci:

‘Sesungguhnya manusia dalam kerugian (khusr)...’7

Melihat bahwa dia tidak memiliki apapun secara absolut untuk ‘membayar’ hutangnya,
kecuali kesadarannya sendiri akan fakta bahwa dirinya adalah inti hutang tersebut, sehingga dia harus
‘membayar’ dengan dirinya, jadi dia harus ‘mengembalikan’ dirinya kepada-Nya Yang memilikinya
secara absolut. Dia adalah hutang itu sendiri yang untuk dikembalikan kepada Pemiliknya, dan
‘mengembalikan hutang’ berarti memberikan diri dalam pelayanan, atau khidmah, kepada Rabb dan

5
Al-Mu’minūn (23): 12-14.
6
Al-A’rāf (7): 172.
7
Al-‘Asri (103): 2.
Pemiliknya; untuk menghinakan diri di hadapan-Nya dan sehingga manusia yang dibimbing dengan
benar secara tulus dan sadar memperbudak dirinya demi Tuhan dengan maksud memenuhi perintah,
larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan demikian patuh terhadap hukum-Nya. Konsep
‘pengembalian’ yang disebut di atas juga merupakan bukti dalam struktur konseptual dīn, karena itu
dapat dan memang bermakna, sebagaimana akan saya elaborasikan dalam cara yang berkaitan,
sebuah ‘pengembalian kepada sifat-dasar inheren manusia’, konsep ‘sifat-dasar’ menunjuk pada
aspek spiritual dan tidak secara keseluruhan pada aspek fisik manusia. 8 Hal ini pasti juga ditunjuk
dalam kata-kata Qur’ān Suci:

‘Demi langit yang menurunkan hujan’,9

Kata yang diinterpretasikan sebagai ‘hujan’ adalah raj’, yang bermakna secara literal ‘kembali’.10
Diinterpretasikan sebagai hujan sebab Tuhan mengembalikannya secara berulang, dan menunjuk pada
pengembalian yang baik dalam pengertian, manfaat, laba, dan keuntungan. Oleh karena itu raj’, digunakan
secara sinonim dalam pengertian ini dengan rabah, bermakna keuntungan,11 yang merupakan lawan
dari khusr, kerugian, yang referensinya sudah dibuat di atas. Kini tepat untuk disebutkan di sini satu
dari makna dasar dīn yang belum dijelaskan di atas adalah hujan yang berkelanjutan, hujan yang
kembali lagi dan lagi; dan karenanya kita menerima bahwa dīn di sini, seperti sebuah hujan, yang
menyebut pada manfaat dan keuntungan (rabah). Ketika kita katakan bahwa dengan maksud
‘membayar’ hutangnya manusia harus ‘mengembalikan’ diri pada Tuhan, Pemiliknya,
‘pengembalian diri’nya adalah, layaknya kembalinya hujan, sebuah keuntungan baginya.12 Dan ini
adalah makna dari perkataan:

‘Dia yang memperbudak dirinya beruntung13 (rabiha yang kata benda dasarnya: rabah)

Ungkapan ‘memperbudak diri’ (dāna nafsahu) bermakna ‘memberikan diri’ (dalam


pelayanan), dan karenanya juga ‘mengembalikan diri’ (kepada Pemiliknya) sebagaimana dijelaskan. 14
Makna yang sama diungkapkan dalam kata-kata Nabi Suci:

“Seorang yang cerdas adalah dia yang memperbudak dirinya (dāna nafsahu) dan bekerja
untuk apa yang akan datang setelah kematian.”15

8
Konsep pengembalian juga diungkapkan dalam makna istilah ‘uwwida dalam pengertian kembali ke masa lalu, yakni,
kepada tradisi. Karenanya penanda dari dīn sebagai adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini bermakna kembali kepada
tradisi Nabi Ibrahim (semoga kedamaian kepadanya!). Dalam hubungan ini tolong lihat di atas hlm.44 dan di bawah, hlm.
51-55. Harus dilihat bahwa ‘tradisi’ di sini tidak bermakna jenis tradisi yang berasal dan berevolusi dalam sejarah dan
kebudayaan manusia dan bersumber dari kesadaran manusia. Melainkan, dari apa yang Tuhan telah wahyukan dan
perintahkan dan diajarkan Nabi dan Rasul-Nya, sehingga meskipun mereka muncul dalam periode sejarah yang berturut-
turut dan tidak berhubungan, mereka mengandung dan bertindak seakan-akan apa yang mereka kandung dan bertindak
atasnya telah berwujud dalam tradisi yang berkelanjutan.
9
Al-Thāriq (86): 11, LA, vol. 8:120, kol.2.
10
Terdapat hubungan yang dekat antara konsep yang digambarkan di sini dan aplikasi kata kerja ‘raja’a’ dalam pelbagai
bentuknya dalam Qur’ān Suci dengan referensi kepada kembalinya manusia kepada Tuhan.
11
LA, vol. 2:442, kol 2-445, kol. 1.
12
Dīn yang benar membawa kehidupan pada tubuh yang jika sebaliknya mati seperti ’hujan yang diturunkan Tuhan dari
langit, dan kehidupan yang Dia berikan besertanya kepada bumi yang mati.’ Lihat Al-Baqarah (2): 164.
13
LA, vol. 13: 167, kol. 1.
14
Secara jelas menunjuk kepada manusia yang, telah secara sadar menyadari bahwa dirinya itu di bawah hutangnya sendiri
kepada Pencipta, Pemelihara, dan Pengasihnya, memperbudak dirinya pada dirinya sendiri karenanya ‘mengembalikan’
dirinya pada Rabbnya yang benar.
15
LA, vol. 12: 169, kol. 2.
‘Apa yang akan datang setelah kematian’ merupakan sesuatu yang akan diperhitungkan
dengan baik, balasan, kembali yang baik. Pengembalian yang baik ini bagaikan kembalinya hujan
yang membawa keuntungan kepada bumi dengan membawa kehidupan padanya dan dengan
menyebabkan pertumbuhan yang baik dan menguntungkan bagi kehidupan untuk tumbuh darinya.
Dalam cara yang serupa hujan memberi kehidupan kepada bumi yang jika sebaliknya akan mati,
begitu juga dīn memberi kehidupan kepada manusia, yang tanpanya manusia akan seperti seseorang
yang, sebagaimana disebutkan, juga ‘mati’. Hal ini secara benar-benar disimbolisasikan oleh kata-
kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, dimana Dia berkata:

‘...Dalam hujan yang Tuhan turunkan dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan beserta
kepada bumi yang mati....’16

Dengan ‘mengembalikan diri’ kepada Rabb dan Pemiliknya, dengan setia dan sungguh-
sungguh mengikuti dan mematuhi perintah, larangan, peraturan, dan hukum Tuhan, manusia yang
bertindak demikian akan dibalas dan akan menerima pengembaliannya yang baik ditambah berkali
lipat, seperti dikatakan Tuhan dalam Qur’ān Suci:

‘Siapakah dia yang ingin meminjamkan (yuqridu) kepada Tuhan pinjaman yang baik (qardan
hasanan) yang akan digandakan Tuhan pada piutangnya dan bertambah berkali lipat?’17

Perhatikan di sini bahwa kata kerja yang digunakan untuk menandakan ‘pinjaman’ (yuqridu),
dari qarada, qard tidak memiliki konotasi yang sama sebagaimana yang diistilahkan sebagai ‘hutang’
(dayn), karena istilah yang kemudian hanya berlaku kepada manusia. ‘Pinjaman’ di sini bermakna
‘pengembalian yang merupakan dimiliki ‘secara asli’ oleh Dia Yang kini memintanya, dan yang
harus dikembalikan pada-Nya’. Manusia itu milik Tuhan dan eksistensinya hanya ‘dipinjamkan’
kepadanya untuk suatu waktu. Di sisi lain ungkapan ‘pinjaman yang baik’ (qardan hasanan)
sebagaimana diterapkan kepada manusia memiliki arti metaforis, yakni ‘pelayanannya kepada
Tuhan’, ‘kerja baik’nya, yang bermakna, karena hal tersebut ini dapat sungguh dikatakan miliknya,
dan karena persembahan yang dengannya dia akan dibalas dalam kelimpahan. Tuhan adalah Yang
Maha Pembalas, Hakim tertinggi: dayyān. Dia adalah Raja, mālik, Hari Pengadilan dan Pembalasan,
yawm al-dīn, juga disebut Hari Perhitungan, yawm al-hisāb.18 Fakta bahwa Tuhan ditunjuk sebagai
Raja, dan segalanya sebagai Kerajaan dimana Dia menunjukkan kekuasaan dan otoritas absolut,
malakūt, kembali menunjukkan bahwa manusia itu mamlūk-Nya, budak-Nya. Jadi dīn dalam konteks
keagamaan juga menunjuk kepada kondisi menjadi budak.19 Kita beberapa saat yang lalu menunjuk
‘pengembalian diri manusia’ bermakna ‘memberikan diri dalam pelayanan’ (khidmah) kepada Tuhan.
Kini kita katakan lagi bahwa dalam akibat apa yang sungguh-sungguh dimaksud bukan ‘pelayanan’
dalam pengertian pelayanan apapun, atau jenis yang ditawarkan kepada manusia atau institusi
manusia lain. Konsep khidmah menyiratkan bahwa seseorang yang memberikan pelayanan tersebut
‘bebas’, tidak terikat, tetapi ‘tuan bagi dirinya’ dalam hal dirinya sendiri. Namun konsep mamlūk,
mengandung fakta implisit kepemilikan seseorang yang menerima pelayanannya. Mamlūk dimiliki
mālik. Jadi kita tidak mengatakan seseorang yang melayani Tuhan adalah seorang khādim, bermakna
pelayan, tetapi dia adalah ‘ābid Tuhan dan sungguh dia adalah ‘abd Tuhan, yang juga bermakna

16
Al-Baqarah (2): 164.
17
Al-Baqarah (2): 245.
18
Dīn juga bermakna perhitungan yang benar: hisāb al-sahīh. Yakni membagi dengan perhitungan benar yang tepat kepada
suatu jumlah atau sesuatu sehingga cocok pada tempatnya yang tepat: ‘adad al-mustawā. Hal yang entah bermakna
matematis ini mengandung pengertian bahwa terdapat sistem atau hukum yang memerintah dan memelihara semuanya
dalam keseimbangan yang sempurna. Lihat LA, vol. 13: 169, kol. 1.
19
LA, vol. 13: 170, kol. 1.
pelayan atau budak, dengan istilah yang memiliki konotasi ‘dimiliki’ oleh Dia Yang dia layani. Oleh
karena itu dalam konteks keagamaan, ‘abd merupakan istilah yang tepat yang menunjuk kepada
seseorang yang, dalam kenyataan dia berhutang secara absolut pada Tuhan, menghinakan diri
dalam pelayanan kepada-Nya; dan karenanya tindakan melayani yang berkenan bagi-Nya disebut
‘ibādah dan pelayanannya adalah ‘ibādāt, yang menunjuk pada semua tindakan pelayanan yang sadar
dan sukarela hanya demi Tuhan dan yang diterima-Nya, termasuk penyembahan yang diwajibkan.
Dengan menyembah Tuhan dalam cara pelayanan tertentu manusia tersebut memenuhi tujuan
penciptaan dan eksistensinya, seperti perkataan Tuhan dalam Qur’ān Suci:

‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’budūni).20

Ketika kita katakan bahwa manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan
keberadaannya, jelas bahwa kewajiban manusia melayani Tuhan dirasakannya sebagai normal sebab
hal itu datang sebagai kehendak alamiah dalam bagian diri manusia untuk melakukannya.
Kecenderungan alamiah pada manusia untuk melayani dan menyembah Tuhan juga ditunjuk
sebagai dīn, seperti telah kita observasi dari awal dalam hubungan dengan konotasinya sebagai adat,
kebiasaan dan watak. Namun, di sini dalam konteks keagamaan hal tersebut juga memiliki penanda
khusus akan kondisi alamiah being yang disebut fitrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah.21 Fitrah adalah
pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala hal. Hal tersebut adalah cara penciptaan
oleh Tuhan, sunnat Allāh, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan
untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Hal itu merupakan hukum Tuhan.
Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena bermakna perwujudan apa yang
inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan,
karena bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang
benar. Fitrah adalah keteraturan (cosmos) sebagaimana dilawankan dengan kekacauan (chaos);
keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku
Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan
kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika
manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan
benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga
penyembahannya tersebut, tindakan kesalehannya, hidup dan matinya dihidupi hanya karena
Tuhan. Satu makna dari fitrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian ini oleh manusia. 22
Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar,
dan ketundukan ini tidak serta merta kehilangan ‘kebebasan’ baginya, karena kebebasan pada
faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk kepada
Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini.
Ketundukan, kita katakan lagi, menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela,
karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat bermakna ketundukan sejati.
Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti kepercayaan-kuat atau
kepercayaan merupakan inti semua agama, tetapi kita mempertahankan bahwa tidak semua agama
menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah ketundukan jika bermakna jenis yang sesaat atau tak
menentu, karena ketundukan sejati merupakan tindakan berkelanjutan yang dihidupi sepanjang
masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis yang hanya beroperasi di alam hati tanpa diwujudkan
secara lahiriah dalam tindakan tubuh sebagaimana perbuatan ditampilkan dalam kepatuhan kepada
hukum Tuhan. Ketundukan kepada keinginan Tuhan bermakna juga kepatuhan kepada hukum-

20
Al-Dhāriyat (51): 56.
21
LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rūm (30): 30.
22
LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1.
Nya. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Qur’ān
Suci ketika Tuhan berkata:

‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan
(aslama) wajahnya (cth. seluruh dirinya) kepada Tuhan...?’23

Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn,
tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya kepada Tuhan adalah yang
terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia
berkata dalam Qur’ān Suci:

‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak akan
pernah itu diterima darinya...”24

dan lagi:

‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’25

Menurut Qur’ān Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena
segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan, sekalipun
hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang membuat
Islām berbeda dengan agama lain adalah ketundukan menurut Islām merupakan ketundukan yang
tulus dan total kepada kehendak Tuhan, dan hal ini ditetapkan secara sukarela sebagai kepatuhan
absolut kepada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan dalam
Qur’ān Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut:

‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk di
langit dan bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-Nya,
dan kepada-Nyalah mereka semua dikembalikan.’26

Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di sinilah
keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain.27 Bentuk ini, yang merupakan cara
institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan, cara ungkapan hukum, cara sikap dan perilaku
keagamaan, etis, dan moral — cara yang dengannya ketundukan kepada Tuhan ditetapkan dalam
hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi Ibrāhīm (Abraham),
yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian atasnya!). Millah mereka
secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang betul dīn al-qayyim, sebab dari
semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung sempurna, hanīfan, menuju Agama yang
benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaan-kuat, kepercayaan, hukum, dan
praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim, meskipun Agama Islām seperti sekarang ini
mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama
lain telah mengembangkan sistem atau bentuk ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang

23
Al-Nisā’ (4): 125.
24
Āli ‘Imrān (3): 85.
25
Āli ‘Imrān (3): 19.
26
Āli ‘Imrān (3): 83.
27
Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk, karena perbedaan dalam
bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan Tindakan-Nya —
sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām sebagai tawhīd: Keesaan Tuhan.
tidak serta merta diturunkan dari millah Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama
Ahlu’l-Kitāb — Orang-Orang Berbuku (People of the Book) — yang telah mengembangkan campuran
tradisi kultural mereka sendiri dengan tradisi yang berdasarkan Wahyu. Untuk pelbagai sistem atau
bentuk ketundukan inilah yang, untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis
ketundukan yang ”terpaksa”.28
Konsep dīn dalam pengertian kepatuhan yang benar dan ketundukan sejati seperti
digambarkan dalam paparan ringkas sebelumnya diwujudkan di kehidupan nyata dalam Agama
Islām. Dalam Islāmlah dīn yang benar dan sempurna diwujudkan, karena hanya dalam Islām swa-
pengungkapan tersebut terpenuhi secara utuh. Islām menyerupai pola atau bentuk sesuai dengan
cara Tuhan memerintah Kerajaan-Nya; Islām adalah imitasi tatanan alam semesta yang diwujudkan
di sini dalam kehidupan duniawi ini sebagai sebuah tatanan sosial maupun tatanan politik. Tatanan
sosial Islām meliputi seluruh keberadaan aspek fisik, material, dan spiritual manusia dalam sebuah
cara yang, di sini dan kini, melaksanakan keadilan kepada individu maupun kepada masyarakat;
dan kepada individu sebagai makhluk fisik maupun sebagai makhluk ruhani, sehingga seorang
muslim adalah sekaligus dirinya dan Komunitasnya, dan Komunitasnya juga merupakan dia, karena
setiap anggota menghendaki, seperti dia, untuk mewujudkan tujuan yang sama dalam kehidupan
dan mencapai hasil yang sama. Tatanan sosial Islām merupakan Kerajaan Tuhan di bumi, karena di
dalam tatanan tersebut Tuhan, dan bukan manusia, adalah tetap Rabbnya, Pemilik Kedaulatan
dimana keinginan, hukum, peraturan, perintah, dan larangan-Nya memegang peranan absolut.
Manusia hanya wakil-Nya atau khalīfah, yang telah diberikan kepercayaan memerintah, amānah,
untuk mengatur sesuai kehendak Tuhan dan perkenan-Nya. Ketika kita katakan ‘aturan’, kita tidak
secara sederhana bermaksud menunjuk pada pengertian sosio-politik dari ‘mengatur’, karena yang
kita maksud juga, tentu saja jauh lebih mendasar, aturan tentang diri sendiri oleh diri sendiri, karena
amanah menunjuk juga kepada tanggung jawab dan kebebasan diri untuk bertindak adil kepada diri
sendiri. Pernyataan terakhir ini kita harus menegaskannya kembali sekarang, karena apa yang
dimaksudkan itu mengungkapkan inti prinsip etis dan moralitas Islām. Islām, kita katakan lagi,
merupakan sebuah tatanan sosial, tetapi dalam tatanan tersebut setiap individu, masing-masing
berdasarkan kapasitas dan kekuatan laten yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk memenuhi
dan menyadari tanggung jawab dan kebebasannya, menghendaki mencapai dan mewujudkan yang
ideal bagi dirinya dalam Jalan29 yang dimanifestasikan oleh Hukum30 Yang diwahyukan yang ditaati
seluruh anggota Komunitas. Maka dengan demikian, sebagaimana setiap muslim merupakan khalīfah
28
Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci:
– ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah dijelaskan di atas
bahwa dalam agama sejati seharusnya tidak ada paksaan: bukan hanya dalam pengertian bahwa, dalam tindakan
pengendalian pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam
pengertian bahkan dengan diri sendiri, seseorang harus mengendalikan dan menundukkan diri sepenuh hati dan sukarela,
dan mencintai dan menikmati ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan
pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu bentuk dari tidak-percaya
(kufr). Sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa percaya hanya pada Tuhan yang Satu sendiri adalah cukup dalam agama
sejati, dan bahwa kepercayaan seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan. Iblīs (syaitan), yang percaya pada Satu
Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai Pencipta, Pengasih, Pemelihara, rabbnya, meskipun
demikian seorang yang salah-percaya (kāfir). Meskipun Iblīs tunduk kepada Tuhan, namun dia tunduk dengan kurang ajar
dan enggan, dan kufrnya berkaitan dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan. Dia adalah contoh buruk
yang terkenal dari ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan
seorang kāfir oleh karena itu mungkin menjadi seseorang yang, meski percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk dalam
ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk pada jalannya sendiri yang keras kepala — sebuah jalan, atau cara, atau bentuk
yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan Tuhan. Ketundukan sejati adalah apa yang telah sempurna
oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena hal itu merupakan cara ketundukan seluruh Nabi dan Rasul
sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan diperintahkan Tuhan. Dengan demikian, inti agama sejati, maka,
bukan kepercayaan, melainkan, lebih mendasar, ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan
sebagai benar dan sejati.
29
Dengan ‘Jalan’ saya bermaksud apa yang menunjuk pada ihsān, atau kesempurnaan dalam kebajikan.
30
Hukum yang diwahyukan, atau sharī’ah, adalah hukum Tuhan.
Tuhan di bumi, maka setiap muslim adalah budak-Nya, ‘abd-Nya, yang menghendaki dirinya agar
menyempurnakan pelayanan dan ketaatan, ‘ibādahnya, dalam cara yang diterima Tuhan, Pemiliknya
Yang Absolut. Dan karena setiap individu dalam tatanan sosial ini mampu menjawab kepada Tuhan,
maka dalam tatanan sosial tersebut masing-masing individu secara personal mengarahkan kesetiaan
yang benar dan sejati, tā’ah, kepada Tuhan, Rabbnya yang Sejati.
Kita telah katakan bahwa konsep dīn merefleksikan gagasan sebuah kerajaan — sebuah
kosmopolis. Perdagangan dan pertukaran merupakan inti kehidupan kosmopolis, dan aktifitas
tersebut bersama pelbagai implikasinya memang inheren dalam konsep dīn sebagaimana telah
sedemikian jauh digambarkan. Maka tidak heran dalam Qur’ān Suci kehidupan dunia dilukiskan
secara terus-menerus secara sungguh-sungguh dalam metafora sebagai perusahaan dagang. Di
dalam kosmopolis atau kerajaan yang direfleksikan dalam konsep dīn, terdapat lukisan aktifitas
sibuk tentang lalu lintas perdagangan. Manusia tidak terelakkan bertaut dengan perdagangan: al-
tijārah, dengan dirinya sebagai subjek dan objek perdagangan. Dia adalah modalnya sendiri, dan
kerugian dan keuntungannya tergantung pada rasa tanggung jawab dan pertunjukan kebebasannya.
Dia membawa kepercayaan dalam membeli dan menjual, bay’ah, dan pertukaran: ishtarā, dan
dirinyalah yang dia beli atau jual atau tukar; dan tergantung kehendaknya terhadap pertunjukkan
keinginan dan kebutuhannya, perdagangannya akan untung: rabiha’l-tijārah, atau menderita rugi: mā
rabiha’l-tijārah. Dalam situasi yang muncul di hadapan kita harus lihat bahwa manusia yang begitu
terikat menyadari keseriusan berspekulasi dagang yang secara sukarela diambil. 31 Dia tidak sekedar
hewan yang makan, minum, tidur, dan bersenang-senang atas kesenangan 32 sensual — tidak ada
orang suci ataupun barbar yang demikian melewatkan dirinya dalam perwujudan tanggung
jawabnya yang besar dan kesadaran tentang kebebasannya untuk memenuhi dan menebus dirinya
sendiri dari beban eksistensi. Hal itu adalah seperti dia yang menukar dirinya dengan diri sejatinya
yang ditunjuk Tuhan ketika Dia berkata dalam Qur’ān Suci:

‘Sesungguhnya Tuhan telah membeli mukmin diri-diri mereka...’33

Konsep dīn dengan menunjuk kepada manusia Islām34 mengandaikan kemunculannya dalam
dirinya jenis manusia yang lebih tinggi yang sanggup akan cita-cita mulia menuju swa-pembuktian
— swa-pembuktian yang tidak kurang dari aktualisasi kekuatan dan kapasitas latennya untuk
menjadi manusia yang sempurna. Manusia Islām sebagai penduduk kota, sebuah kosmopolitan,
yang menghidupi kehidupan beradab sesuai dengan fondasi batasan yang jelas akan tatanan sosial
dan kode perilaku adalah dia yang patuh kepada Hukum Ilahi, dimana berusaha menuju
perwujudan keadilan sejati dan menghendaki pengetahuan yang benar merupakan kebajikan pokok.
Dorongan perilaku manusia demikian merupakan rahmat abadi, dimana pintu masuk ke dalam
kondisi damai tertinggi yang mungkin dia rasakan bahkan di sini, tetapi yang akan diberikan
padanya ketika dia masuk arus kota lain itu dan menjadi penduduk, yakni penduduk kerajaan lain
yang di dalamnya kebahagiaan pokoknya dapat memandang Wajah Agung Sang Raja.
Sementara Islām merupakan lambang tatanan kosmis ilahiyah, manusia Islām yang sadar
akan takdirnya sadar bahwa dirinya, sebagai makhluk fisik, juga lambang alam semesta, sebuah
representasi mikrokosmos, ‘ālam saghīr, dari makrokosmos, al-’ālam al-kabīr. Karenanya dalam cara
Islām itu seperti kerajaan, sebuah tatanan sosial, begitu juga manusia Islām mengetahui bahwa dia
merupakan kerajaan dalam ukuran miniatur, karena dia, sebagaimana pada manusia seluruhnya,
memanifestasikan Sifat-Sifat Pencipta, tanpa menjadi kebalikannya, karena ‘Tuhan menciptakan
manusia dalam citra-Nya sendiri’. Kini manusia adalah tubuh dan jiwa, dia adalah makhluk fisik
31
Lihat Al-Ahzāb (33): 72.
32
Lihat Al-‘Arāf (7): 179.
33
At-Tawbah (9): 111.
34
Manusia Islām, cth., Muslim.
sekaligus ruhani, dan jiwanya memerintah tubuh layaknya Tuhan memerintah Alam Semesta. Jiwa
manusia juga memiliki dua aspek yang analogis dengan sifat-dasar gandanya: yang tinggi, jiwa
rasional: al-nafs al-natīqah; yang rendah, jiwa hewani atau jasmani: al-nafs al-hayawāniyyah. Di dalam
kerangka-kerja konseptual dari konsep dīn yang diterapkan di sini sebagai persoalan subjektif,
personal, dan individual, jiwa rasional manusia merupakan raja dan harus menggunakan kekuatan
dan aturannya terhadap jiwa hewani yang merupakan bawahannya dan yang harus ditundukkan
padanya. Kekuasaan dan aturan efektif yang ditunjukkan jiwa rasional terhadap jiwa hewani, dan
penaklukan dan ketundukan total dari yang kemudian atas yang terdahulu sungguh dapat
diinterpretasikan sebagai dīn, atau sebagai islām dalam pengertian subjektif, personal, individual
dalam hubungan yang sedemikian dibangun. Dalam konteks ini jiwa hewanilah yang memperbudak
dirinya sendiri dalam ketundukan dan pelayanan sehingga ‘mengembalikan’ diri kepada kekuasaan
dan otoritas jiwa rasional. Ketika Nabi Suci berkata:

“Matilah sebelum kamu mati.”—

Hal tersebut sama saja dengan berkata: “kembalilah sebelum kamu akhirnya kembali”; dan ini
menunjuk kepada penaklukan diri sendiri oleh diri sejatinya, yakni jiwa hewani seseorang oleh jiwa
rasionalnya; dan menyentuh pengetahuan tentang diri inilah yang dimaksudkannya ketika dia
katakan:

“Dia yang mengenal dirinya mengenali Rabbnya”.

Lebih lanjut, ketika Tuhan memproklamasikan kekuasaan-Nya pada keturunan Ādam jiwa
rasional manusialah yang Dia tuju, sehingga setiap jiwa telah mendengar perkataan “Bukankah Aku
Rabbmu?” dan menjawab “Ya!” dan bersaksi pada dirinya sendiri. Jadi manusia Islām yang
dibimbing secara benar bertindak sesuai sebagai pelayan sejati Tuhan, ‘abd-Nya. Kita menunjuk di
awal pada tujuan penciptaan dan eksistensi manusia, mengatakan bahwa hal itu merupakan untuk
melayani Tuhan; dan kita katakan bahwa tindakan melayani dari bagian diri manusia adalah ‘ibādah
dan pelayanan sedemikian adalah ‘ibādāt, yang menunjuk kepada semua tindakan pelayanan yang
sadar dan sukarela hanya karena Tuhan dan yang diterima oleh-Nya, termasuk penyembahan yang
ditentukan. Pada kenyataannya, kita kini mengatakan lebih lanjut bahwa bagi manusia Islām seluruh
kehidupan etisnya adalah ‘ibādah yang berkelanjutan, karena Islām sendiri merupakan sebuah jalan
hidup yang utuh. Ketika manusia itu telah, dengan ‘ibādāt, berhasil menahan hasrat hewani dan
jasmani dan telah membuat jiwa hewaninya tunduk, lalu membuatnya dipengaruhi jiwa rasional,
manusia yang digambarkan demikian telah mencapai kebebasan sehingga dia telah memenuhi tujuan
penciptaan dan eksistensinya; dia telah mencapai kedamaian tertinggi 35 dan jiwanya ditenangkan,
diletakkan bebas seperti dikatakan, bebas dari belenggu nasib yang tak terelakkan dan perselisihan
yang mengganggu dan neraka sifat buruk manusia. Jiwa rasionalnya dalam kondisi spiritual ini
disebut dalam Qur’ān Suci sebagai jiwa yang ‘ditenangkan’ atau ‘tenang’: al-nafs al-mutma’innah. Jiwa
ini merupakan jiwa yang ‘mengembalikan’ diri secara sukarela kepada Rabbnya, dan padanyalah
Tuhan mengalamatkan perkataan-Nya:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu pada Rabbmu, — dengan ridho pada (dirimu)
dan ridho pada-Nya! Maka masuklah kamu, di antara pelayanKu! Ya, masuklah kamu ke
Taman-Ku”36

35
Ketika kita juga berkata bahwa Islām bermakna ‘damai’, kita menunjuk pada akibat dari ketundukan yang ditandai
dengan kata kerja aslama.
36
Al-Fajr (89): 27-30.
Jiwa ini merupakan jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan
pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak ada yang mengenal lebih baik tentang Rabbnya
daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang dengan pelayanan seperti itu mendapatkan
keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, sehingga ‘ibādah bermakna, pada akhirnya, pada tahap
lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah.37
Saya telah melacak dalam garis besar secara gamblang inti dasar Agama Islām dan telah
menunjukkan secara umum yang dapat, sekalipun, dielaborasikan kepada catatan logis yang merinci
sifat-dasar yang mencakup semua yang meliputi kehidupan individu maupun masyarakat. Sudah
saya katakan bahwa Islām adalah agama subjektif, personal dari individu maupun sebagai agama
objektif meliputi agama swa-sama untuk Komunitas — yang beroperasi sebagai agama yang sama
untuk individu sebagai entitas tunggal maupun masyarakat yang tersusun secara kolektif dari
entitas-entitas demikian.38 Tersirat pada penjelasan kita bahwa Islām adalah kepercayaan dan
kepercayaan-kuat (īmān) maupun ketundukan dalam pelayanan (islām); Islām adalah ketetapan hati
(qalb) dan pikiran (‘aql) yang dikonfirmasikan lidah (lisān) maupun perbuatan dan kerja (‘amal)39;
Islām adalah hubungan yang harmonis yang dibangun antara jiwa dan tubuh; Islām adalah
kepatuhan dan kesetiaan (tā’ah) kepada Tuhan juga kepada Nabi Suci; Islām adalah menerima
sepenuh hati kebenaran Kesaksian (kalimah shahādah) bahwa tiada Tuhan selain Allāh, dan bahwa
Muhammad adalah Utusan Allāh — Islām adalah kesatuan semua itu, bersama dengan apa yang
menyertai mereka, dalam kepercayaan dan praktek, dalam diri pribadi muslim maupun pada
Komunitas secara keseluruhan. Tidak bisa terdapat perpisahan, ataupun pembagian, ataupun
dikotomi antara bagian integrasi yang harmonis dari kesatuan yang sedemikian dibentuk, sehingga
dapat ada, bagi Islām, pemercaya-lemah atau pemercaya-kuat sejati (mu’min) tanpa seseorang
tersebut juga tunduk dalam pelayanan (muslim); tidak ada penerimaan hati dan pikiran yang
dikonfirmasikan dengan lidah tanpa perbuatan dan kerja; tidak ada kepatuhan dan kesetiaan sejati
kepada Tuhan tanpa kepatuhan dan kesetiaan kepada Utusan-Nya; maupun terdapat penerimaan
Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allāh tanpa juga menerima Muhammad sebagai Utusan-Nya,
yang pertama kali mewujudkan Rumusan Keesaan (kalimah al-tawhīd). Saya juga telah mengangkat
37
Kita tidak menyiratkan sekurang-kurangnya di sini bahwa ketika ’ibādah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah, yang
terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salāt) — cth. yang diwajibkan (fard), praktek yang
jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafīl) — tidak lagi wajib bagi seseorang yang memperoleh yang kemudian,
atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti dipikirkan beberapa filsuf. Ma’rifah sebagai
‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan yang benar atau suasana hati spiritual (hāl); dan yang
disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir ‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqāmāt), mendahului yang kemudian
disebut, yang menandai awal ‘kondisi’ spiritual (ahwāl). Jadi ma’rifah menandai posisi-transisi spiritual antara tempat-
perhubungan dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu merupakan pengetahuan yang datang dari Tuhan pada
hati (qalb) dan tergantung sepenuhnya kepada-Nya, tidaklah serta merta merupakan kondisi permanen kecuali secara
berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibādah. Dia yang berpandangan tajam mengetahui bahwa adalah absurd
dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan tentang Tuhan (cth. ‘ārīf) untuk mengubah ‘ibādahnya
menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘ārīf sangat sadar akan fakta bahwa keutuhan atau setidaknya sebagian berkaitan
dengan ‘ibādah merupakan alat mendekati Rabbnya.
38
Terdapat kebenaran bahwa tidak ada sesuatu seperti Islām subjektif dan objektif dalam pengertian yang terdahulu
disebutkan menyiratkan kurang nyata dan kurang benar dari yang kemudian, kepada perluasan tersebut yang terdahulu
dipandang sebagai kurang absah dan kurang otentik dari yang kemudian; atau bahwa yang kemudian itu berbeda daripada
yang terdahulu sebagai suatu realitas dan kebenaran yang independen sedangkan yang terdahulu adalah interpretasi yang
beragam dari pengalaman akan yang kemudian. Kita mempertahankan bahwa apa yang dialami oleh setiap individu
muslim secara subjektif adalah sama sebagai Islām secara objektif, dan kita menggunakan istilah ‘subjektif’ dan ‘objektif’
di sini untuk memilah daripada membuat diskriminasi yang satu dengan yang lain. Pemilahan antara dua hal tersebut
menyentuh pada tingkatan pemahaman dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara muslim yang satu dengan yang
lain. Jadi pemilahan tersebut menunjuk kepada aspek-ihsān dari pengalaman Islāmi. Kendati secara alamiah tingkatan
pemahaman yang berbeda dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara muslim yang satu dengan yang lainnya
namun semuanya adalah muslim dan hanya ada satu Islām, dan apa yang umum pada mereka semua adalah Islām yang
sama.
39
Contoh, ‘ibādah dan tindakan ‘ibādāt
sifat-dasar mendasar wahyu Qur’ān tentang perjanjian jiwa manusia dengan Tuhan dalam hal
Kemahakuasaan-Nya dan konsep dīn sebagaimana merefleksikan alam semesta, layaknya
pemerintahan Tuhan atas alam ciptaan, dan saya telah menggambarkan perbandingan antara konsep
dīn dan konsep makrokosmos dan hubungan analogisnya dengan manusia sebagai mikrokosmos
dimana jiwa rasional mengatur jiwa hewani dan tubuh seperti Tuhan mengatur Kerajaan-Nya.
Perjanjian jiwa dengan Tuhan dan sifat-dasar hubungan yang diungkapkan dari perjanjian tersebut
memang menempati posisi utama dalam konsep dīn dan merupakan basis pokok Islām, seperti akan
saya ungkapkan lebih lanjut. Perjanjian tersebut dibuat oleh seluruh jiwa keturunan Adam dan
Tuhan menunjuk kepada mereka secara kolektif juga secara individual, sehingga perjanjian itu
merupakan perjanjian yang dibuat setiap jiwa individu sekaligus oleh mereka secara kolektif untuk
mengakui Tuhan sebagai Rabb mereka. Mengakui Tuhan sebagai Rabb (rabb) bermakna mengakui
Dia sebagai Raja Yang Absolut (sin. mālik), Rabb, Pemilik (sin. sāhib), Pengatur, Pemerintah, Tuan,
Pencipta, Pengasih, Pemelihara —karena semua makna tersebut menunjuk pada konotasi inheren
dari konsep Rabb. Semua jiwa memiliki status yang sama dalam hubungan kepada Rabb mereka:
menjadi bawahan, dikuasai, dimiliki, diatur, diperintah, diperbudak, diciptakan, dikasihi, dan
dipelihara. Dan karena perjanjian itu menyentuh jiwa individu sekaligus jiwa tersebut secara
kolektif, jadi kita lihat di sini ketika jiwa tersebut dimanifestasikan di sini sebagai manusia dalam
pembentangan akan Islām jiwa yang sama disatukan dalam usaha memenuhi perjanjian secara
kolektif sebagai masyarakat dan Komunitas (ummah) maupun secara individual sedemikian rupa
sehingga Islām adalah, seperti kita telah katakan, sekaligus personal dan subjektif maupun sosial,
komunal, dan objektif;40 Islām merupakan campuran harmonis baik individu maupun masyarakat.
Hal yang menyatukan seorang muslim individual satu sama lain dan ikatan persaudaraan yang
menakjubkan dan unik yang melampaui batasan ras, bangsa, waktu, dan ruang dan bahkan lebih
kuat dari ikatan keluarga dan kekerabatan tidaklah lain perjanjian ini, karena jiwa di sini yang ada
sebagai manusia dengan perjanjian tersebut mengenali satu sama lain sebagai saudara, sebagai
keluarga jiwa-jiwa. Mereka terhubung satu sama lain di tempat nun jauh dan di sini mereka
merupakan saudara yang menyayangi satu sama lain hanya karena Tuhan. Meskipun seseorang
berada di Timur dan yang lain di Barat, namun mereka merasakan kesenangan dan kenyamanan
pada kabar angin satu sama lain, dan yang hidup di generasi selanjutnya daripada yang lain itu
diarahkan dan dihibur oleh kata-kata saudaranya. Mereka merupakan saudara yang terlibat dalam
tujuan yang sama jauh sebelum mereka muncul sebagai saudara di bumi, dan mereka adalah kawan
dan keluarga sejati sebelum mereka dilahirkan dalam kekerabatan bumi. Jadi di sini kita lihat bahwa
perjanjian yang sama merupakan inti dasar persaudaraan Islām (ukhuwwah). Perasaan sejati
persaudaraan di antara muslim inilah yang berdasarkan fondasi spiritual dimana tidak ada kekuatan
bumi yang dapat memecah berkeping-keping yang menyatukan individu kepada masyarakat dalam
Islām tanpa kemudian individu menderita kerugian individualitas dan personalitasnya, ataupun
pada masyarakat, pemerintahan dan otoritasnya.
Dalam organisasi politik dan sosial Islām — apakah itu bentuk yang satu atau yang lain —
perjanjian yang sama menjadi inti fondasi mereka. Manusia Islām tidak diikat oleh kontrak sosial,
ataupun mendukung doktrin kontrak sosial. Tentu saja, meskipun dia hidup dan bekerja di dalam
ikatan pemerintahan dan otoritas sosial dan memberikan andil pada kebaikan sosial, dan meskipun
dia berperilaku seolah-olah ada kekuatan kontrak sosial, hal itu merupakan, meskipun demikian,
sebuah kontrak individu yang merefleksikan perjanjian jiwanya yang disegel dengan Tuhan; karena
perjanjian tersebut kenyataannya dibuat bagi masing-masing dan setiap jiwa individu. Tujuan dan nilai
pokok etis dalam Islām secara mendasar adalah untuk individu; apa yang manusia Islām lakukan di
sini dia melakukan apa yang di percaya baik hanya karena Tuhan dan Utusan-Nya mengatakan
demikian dan dia percaya bahwa tindakannya akan menemukan ridho Tuhan. Baginya bukan

40
Lihat di atas, catatan 38.
kondisi ataupun masyarakat yang merupakan objek sejati dan benar akan kesetiaan dan
kepatuhannya, karena baginya tindakan tersebut bukan hak istimewa negara dan masyarakat pada
perluasan bahwa perilaku tersebut berkaitan dengan mereka sebagai hak mereka; dan jika dia dalam
sebuah negara dan masyarakat Islām lalu hidup dan menghendaki yang baik bagi negara dan
masyarakat, hal itu hanya karena masyarakat tersebut terdiri dari manusia Islām individual dan
negara yang diorganisir mereka menciptakan akhir dan tujuan Islām yang sama sebagai tujuan
mereka — jika tidak dia diwajibkan melawan negara dan mengupayakan membetulkan kesalahan
masyarakat dan mengingatkan mereka akan tujuan sejati dalam hidup mereka. Kita tahu bahwa
dalam analisis mendasar tentang pencarian manusia akan ‘kebahagiaan’ — sebagaimana mereka
katakan dalam filsafat dalam hubungan dengan etika — adalah selalu untuk diri individu. Bukanlah
‘kebahagiaan’ entitas kolektif yang begitu menjadi persoalan daripada kebahagiaan individu; dan
setiap orang pada kenyataannya tentu harus berpikir dan bertindak untuk keselamatan dirinya,
karena tidak ada orang lain yang dapat dibuat bertanggung jawab atas tindakannya karena setiap
manusia menanggung beban tanggung jawabnya sendiri. 41 ‘Kebahagiaan’, seperti yang akan saya
elaborasikan dalam bab selanjutnya, berkaitan dengan kondisi permanen di dalam jiwa rasional;
pada pengetahuan dan kepercayaan-kuat; pada perilaku yang baik dan pencapaian kondisi yang
diketahui sebagai ‘keadilan’ (‘adl).
Dalam Islām — karena baginya agama meliputi kehidupan keseluruhannya — semua
kebajikan bernilai keagamaan; kebajikan ada kaitannya dengan kebebasan jiwa rasional, dimana
kebebasan bermakna kekuatan untuk bertindak adil pada diri sendiri; dan hal ini pada gilirannya
menunjuk pada pertunjukan atas aturan, supremasi, bimbingan dan pertahanannya atas jiwa hewani
dan tubuh. Kekuatan untuk bertindak adil kepada diri sendiri menunjuk pada pengakuan konstan
dan pemenuhan perjanjian yang telah dibuat dengan Tuhan. Keadilan dalam Islām bukan konsep
yang menunjuk pada kondisi urusan yang hanya dapat beroperasi di dalam situasi hubungan-dua-
orang (two-person-relation) atau hubungan-dua-pihak (dual-party-relation), seperti: antara seseorang
dengan yang lain; atau antara masyarakat dengan negara; atau antara pengatur dengan yang diatur;
atau antara raja dengan bawahannya. Pada pertanyaan: “Dapatkah seseorang untuk tidak adil
kepada diri sendiri?” agama lain atau para filsuf tidak memberikan jawaban jelas-tegas (clear-cut)
yang konsisten. Tentu saja dalam peradaban Barat, contohnya, meskipun benar bahwa manusia yang
melakukan bunuh diri dapat dikatakan bertindak tidak adil; tetapi hal ini dipertimbangkan sejauh
hanya karena bunuh diri merugikan negara dari pelayanan warga negara yang berguna, sehingga
ketidakadilan bukanlah kepada dirinya, tetapi kepada negara dan masyarakat. Kita telah beberapa
kali menyebutkan konsep bahwa keadilan bermakna kondisi harmonis atau kondisi persoalan ketika
segala hal dalam tempatnya yang benar dan tepat — seperti alam semesta; atau sama dengan itu,
yakni kondisi seimbang, apakah itu menunjuk pada benda atau makhluk hidup. Pada manusia, kita
katakan bahwa keadilan bermakna secara dasar sebuah kondisi dan situasi ketika dia ada dalam
tempatnya yang benar dan tepat. ‘Tempat’ di sini bukan hanya menunjuk pada situasi total dalam
hubungan dengan yang lainnya, tetapi juga pada kondisinya dalam hubungan dengan diri sendiri.
Sehingga konsep keadilan dalam Islām tidak hanya menunjuk pada situasi hubungan yang harmonis
dan seimbang yang ada antara seseorang dan yang lain, atau antara masyarakat dengan negara, atau
antara pengatur dengan yang diatur, atau antara raja dengan bawahannya, tetapi jauh lebih
mendalam dan mendasar sehingga menunjuk pada cara yang mendasar terhadap hubungan yang
harmonis dan benar-seimbang antara seseorang dengan dirinya, dan dalam cara sekunder ada di
antara dia dan sesamanya dan yang lain atau, antara dia, pengatur, raja, negara dan masyarakat.
Dengan begitu terhadap pertanyaan: “Dapatkah seseorang tidak adil pada diri sendiri?” kita jawab
dalam afirmatif (baca: ya, penerj.), dan menambahkan lebih lanjut bahwa keadilan dan ketidakadilan
tentu bermula dan berakhir dengan diri sendiri. Qur’ān Suci menekankan berulang-ulang bahwa

41
Lihat Al-An’ām (6): 164.
manusia, ketika berbuat salah, ia sedang berbuat tidak adil (zālim) kepada dirinya, dan ketidakadilan
(zulm) merupakan kondisi yang dilakukan manusia kepada dirinya. 42 Untuk memahami ini kita
sekali lagi harus menunjuk kepada perjanjian dengan Tuhan dan percaya terhadap sifat-dasar ganda
manusia dalam jiwa dan tubuhnya. Manusia sejati hanya dapat diwujudkan dengan menjadi jiwa
rasional. Jika dalam keberadaannya sebagai manusia dia membiarkan jiwa hewani atau jasmani
mendapatkan yang lebih baik darinya dan akibatnya melakukan tindakan yang dilarang Tuhan dan
tidak menyenangkan-Nya, atau jika dia menolak percaya pada Tuhan secara keseluruhan, maka
dengan demikian dia menanggalkan pengakuannya sendiri akan kekuasaan Tuhan dimana dia
sebagai jiwa rasional telah berjanji dengan Tuhan. Dia telah melakukan kekerasan pada
perjanjiannya sendiri, yakni kontrak individualnya dengan Tuhan. Jadi seperti dalam kasus seorang
yang merusak kontraknya sendiri membawa bencana pada diri sendiri, dalam cara yang sama dia
yang berbuat salah atau jahat, yang tidak patuh atau menolak Tuhan, merusak perjanjian jiwanya
yang telah dibuat dengan Tuhan, dan dengan demikan tidak adil kepada jiwanya. Dia dengan
demikian juga telah ‘berdusta’ — kadhaba, ungkapan Qur’āni yang lain — terhadap dirinya sendiri
(jiwa). Sangat penting dalam sinaran penjelasan ringkas ini untuk mengerti mengapa kepercayaan
kebangkitan jasad itu mendasar dalam Islām, karena jiwa yang disusun ulang dengan jasad
terdahulunya tidak akan mampu menolak apa yang telah tubuhnya lakukan, karena mata, lidah,
tangan, dan kaki atau ototnya — organ perilaku etis dan moral — akan bersaksi terhadap tindakan
tidak adil pada dirinya sendiri.43 Meskipun dalam Islām ketidakadilan terlihat berlaku antara
manusia dengan Tuhan, dan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan dirinya,
pada kenyataannya, namun, ketidakadilan secara mendasar berlaku — bahkan dalam dua kasus
sebelumnya — hanya pada diri manusia; dalam pandangan-dunia Islāmi dan pandangan spiritual,
apakah seorang manusia tidak percaya atau tidak patuh pada Tuhan, atau apakah dia melakukan
kesalahan pada orang lain, adalah sungguh-sungguh melakukan kesalahan kepada diri sendiri.
Ketidakadilan, sebagai lawan dari keadilan, adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya;
ketidakadilan adalah salah-letak (misplace) sesuatu; ketidakadilan adalah salah-guna (misuse) atau
menyalahi; ketidakadilan adalah melebihi atau kurang dari suatu ukuran atau batas; ketidakadilan
adalah menderita kerugian; ketidakadilan adalah penyimpangan dari jalur yang benar; ketidakadilan
adalah tidak percaya pada apa yang benar, atau dusta atas apa yang benar diketahui sebagai benar.
Jadi ketika manusia bertindak tidak adil, berarti dia telah menyalahi jiwanya sendiri, karena dia telah
meletakkan jiwanya dalam tempat yang bukan miliknya; dia telah menyalahgunakannya; dia telah
membuatnya melampaui atau kurang dari sifat-dasar sejatinya; dia telah menyebabkannya
menyimpang dari apa yang benar, menanggalkan kebenaran, dan menderita kerugian. Semua yang
telah dilakukannya sedemikian — dengan satu cara dengan yang lain — menyertakan kekerasan atas
perjanjiannya dengan Tuhan. Jelas dari apa yang kita katakan tentang ketidakadilan bahwa keadilan
menyiratkan pengetahuan tentang tempat yang benar dan tepat untuk sesuatu atau makhluk; tentang
kebenaran maupun kesalahan; tentang ukuran atau batas; atau keuntungan spiritual maupun
kerugian; tentang kebenaran maupun kesalahan dan kepalsuan. Inilah mengapa pengetahuan (al’ilm:
ma’rifah : ‘ilm) menempati posisi yang sangat penting dalam Islām, di mana di Qur’ān Suci sendiri
kita temukan lebih dari delapan ratus referensi untuk pengetahuan. Dan bahkan dalam hal
pengetahuan, manusia harus adil padanya, yakni, untuk mengetahui batas kegunaannya dan tidak
42
Lihat Al-Nisā’ (4): 123; Yūnus (10): 44.
43
Secara analogis, konsep hukum habeas corpus (kau harus miliki bendanya) sebagai prosedur mendasar keadilan yang
secara jelas dipinjam dari gagasan kebangkitan dalam agama wahyu, mungkin hanya refleksi yang tidak sempurna akan
Prosedur yang mengagumkan dan tidak dapat disangkal di masa depan. Bahwa jiwa mampu menolak tindakan tidak adil
tersirat dalam Al-A’rāf (7): 172-173; dan ayat ini harus dilihat bukti yang jelas dari kapasitas (wus’) jiwa untuk
menunjukkan kekuatan (quwwah) kehendak menuju kebaikan atau kesalahan sebagai hasil pengenalan atas perolehan
(kasaba, iktasaba) kebaikan dan kejahatan. Dalam konsep Islāmi tentang keadilan dan ketidakadilan dalam garis besar di
atas, fakta bahwa saksi kepada tindakan manusia, baik atau buruk, adalah dirinya sendiri memiliki arti yang besar. Lihat
juga Al-Nūr (24): 24.
melampaui atau tidak kurang darinya; untuk mengetahui pelbagai tatanan akan prioritas dalam
relasi akan kegunaannya dengan diri sendiri; untuk mengetahui dimana berhenti dan mengetahui
apa yang dapat diraih dan apa yang tidak, apakah itu pengetahuan sejati dan apa itu pelajaran
perkiraan dan teori — secara keseluruhan, untuk meletakkan setiap data pengetahuan pada tempat
yang benar dalam relasi pada yang mengetahui sehingga apa yang diketahui menghasilkan harmoni
dalam diri seseorang yang mengetahui. Mengetahui bagaimana meletakkan suatu pengetahuan di
tempatnya, pengetahuan tersebut adalah kebijaksanaan (hikmah). Sebaliknya, pengetahuan tanpa
keteraturan dan mencarinya tanpa disiplin mengarahkan kepada kebingungan dan karenanya tidak
adil kepada diri sendiri.44
Pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan Tuhan kepada
manusia; dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri lewat penelusuran rasional berdasarkan
pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui tindakan
penyembahan dan ketaatan, yakni tindakan dalam pelayanan kepada Tuhan (‘ibādāt), yang
tergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang diciptakan
Tuhan untuk menerimanya, dimana manusia tersebut menerimanya dengan pandangan langsung
atau perasaan spiritual (dhawq) dan penyingkapan selubung pada visi spiritualnya (kashf).
Pengetahuan (ma’rifah) ini menyentuh pada diri atau jiwanya, dan pengetahuan tersebut — seperti
sudah kita sentuh pada penjelasan kita tentang hubungan analogis yang diperoleh antara
makrokosmos dan mikrokosmos — memberikan penglihatan-dalam (insight) pada pengenalan
tentang Tuhan, dan karena alasan tersebut pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan tertinggi.
Karena pengetahuan demikian secara mendasar tergantung rahmat Tuhan dan membutuhkan
perbuatan dan kerja pelayanan kepada Tuhan sebagai persyaratan kemungkinan pencapaiannya, hal
itu menyertakan bahwa untuk itu pengetahuan tentang prasyarat menjadi diperlukan, dan ini
termasuk pengetahuan Islām yang esensial (arkan al-islām dan arkan-al-īmān), makna, tujuan mereka,
pemahaman yang benar, dan implementasi dalam kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus
memiliki pengetahuan tentang prasyarat-prasyarat tersebut, harus memahami dasar esensial dari
Islām dan Keesaan Tuhan (tawhīd), dan memraktekkan pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan
kerja pelayanan kepada Tuhan sehingga setiap manusia Islām sudah siap pada tahap awal
pengetahuan pertama tersebut; dia sudah siap pada Jalan Lurus (sirāt al-mustaqīm) menuju Tuhan.
Kemajuan lanjutannya pada jalan peziarah ini tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya,
sehingga ada beberapa orang melayani Tuhan seperti mereka melihat-Nya, dan yang lain melayani-
Nya seperti Dia melihat mereka; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang
kemudian adalah apa yang membentuk kebajikan tertinggi (ihsān). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua
dicapai melalui rasio, pengalaman dan observasi; pengetahuan tersebut bersifat diskursif dan
deduktif dan menunjuk pada nilai pragmatis. Sebagai sebuah ilustrasi pemilahan antara dua jenis
pengetahuan tersebut kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah
ke lingkungannya. Pada awalnya dia mengetahui tetangga barunya hanya dengan perkenalan; dia
mungkin mengetahui tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan;
dia mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian
informasi lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran dari
orang lain yang dia ketahui dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan tempat
kerja dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang hati-hati
lebih lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan cara ini
tanpa kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun
pengetahuan tentangnya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak
44
‘Keteraturan’ dan ‘disiplin’ di sini tidak menunjuk kepada jenis tatanan dan disiplin dalam penyebaran sistematis
pengetahuan yang dibangun dalam universitas-universitas dan sekolah modern, tetapi pada pengaturan pengetahuan oleh
diri yang hendak mengetahui, dan pada pendisiplinan diri terhadap dirinya sendiri pada pengaturan tersebut (lihat di bawah
hlm. 72-74).
masalah seberapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan pada pengetahuan tentang
tetangganya yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang
dia tidak akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan, pemikirannya
tentang hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik dan rincian lain
seperti hal-hal tersebut. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan mengenali orang tersebut
secara langsung dan memperkenalkan diri kepadanya; dia sering mengunjungi, makan dan minum
dan berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun persahabatan yang terpercaya,
pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima secara spontan penyampaian secara
langsung dari temannya banyak rincian personal, pemikiran dan perasaan rahasia yang kini dalam
kilasan yang disampaikan dengan cara yang mungkin tidak akan dapat dicapai seumur hidup dari
investigasi, observasi, dan penelitian. Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan sebagai hasil dari
keintiman tidak pernah lengkap, karena kita tahu bahwa tidak masalah seberapa dekat hubungan
yang intim antara seseorang dan temannya — atau teman, atau istri dan anak, atau orang tua, atau
kekasih — akan selalu ada baginya selubung misteri yang membungkus seseorang yang ingin kita
ketahui seperti rangkaian tak terbatas dari ukiran bola gading Cina di dalam ukiran, yang hanya
dapat terbuka baginya dengan penyampaian secara langsung dari orang lain. Dan orang lain juga
akan mengetahui dengan merenungkan diri dan sifat-dasar tidak terbatas akan diri tersebut yang
selalu berkelit dari pencarian kognitifnya, sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan
kecuali hanya yang diketahuinya. Setiap orang itu seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang
tak terduga yang dibungkus kegelapan, dan kesepian yang dia ketahui itu begitu absolut sebab
bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya secara lengkap. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan
kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat
seseorang yang memberikan pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian
pengetahuan sedemikian itu menyentuh pada tingkatan yang sama dalam being, dan ini merupakan
penyebab komunikasi gagasan dan perasaan menjadi mungkin dan dapat dipahami. Ketiga,
diizinkan untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus tinggal dengan
aturan kepantasan dan kode perilaku dan sikap yang diterima oleh seseorang yang berhasrat untuk
diketahui. Keempat, pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah
periode yang dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan, kesetiaan, ketaatan pihak lain, dan kapasitas
untuk menerima — sebuah periode yang membentuk ikatan keintiman yang kokoh di antara
keduanya. Maka, dalam cara yang serupa atau bahkan lebih dari itu, hal tersebut merupakan kasus
pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan. Dalam hal kondisi pertama, Dia katakan dalam Qur’ān Suci
bahwa Dia telah menciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan dalam pengertian
yang mendalam secara mendasar bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga tujuan-Nya
menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam Tradisi Suci
(Hadīth Qudsiyy):

”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku
ciptakan makhluk sehingga Aku mungkin dikenali.”

Jadi Tuhan mewahyukan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ
komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-rūh), yang
mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya.
Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat di
dalamnya percikan asal Ilahiyah yang memungkinkannya menerima komunikasi di atas dan
memiliki pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi
kedua. Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan ketundukan
tulus kepada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut kepada hukum-Nya; dengan perwujudan yang
sadar dalam dirinya pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan penunjukkan ketaatan
dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan bagi-Nya, sampai orang tersebut memperoleh
tempat-perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya mungkin dianugerahkan atasnya
dengan pengetahuan yang diberikan sebagai sebuah pemberian rahmat baginya dimana Dia telah
menciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang diberikan. Seperti itulah kata-kata-Nya
dalam Tradisi Suci:

“Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku
mencintainya; dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia
mendengar dengan-Ku, dan penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan lidahnya,
sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan tangannya, sehingga dia mengambil dengan-Ku.”

Pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian tersebut dengan sendirinya sudah jelas.
Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian, dengan sebab sifat-dasarnya, memberi
kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh dari pengetahuan
jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada jiwa atau diri manusia dan
pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan akan prasyaratannya, yang
sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini, tidak mungkin terpisah dari
ikatan dengan etika dan moralitas Islāmi. Dengan pengetahuan dan praktek demikian yang
menyertainya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku sehari-hari dan
meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan pertama menyibak
misteri Being dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dan Rabbnya,
dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama mengetahui, dimana
pengetahuan tentang prasyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan esensial bagi pengetahuan
jenis kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa bimbingan dari yang
sebelumnya, tidaklah dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam kehidupannya, tetapi
hanya membingungkan, mengacaukan, dan menjeratnya dalam labirin pencarian tak berujung dan
tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi manusia bahkan pada pengetahuan pertama
dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada jenis yang kedua, sehingga kemungkinan
pengembaraan terus menerus didorong oleh muslihat intelektual dan swa-khayalan dalam keraguan
yang konstan dan kecurigaan itu selalu nyata. Manusia individu tidak memiliki waktu untuk
menghabiskan persinggahan sementaranya di bumi, dan seseorang yang dibimbing secara benar
mengetahui bahwa pencarian individualnya untuk pengetahuan jenis kedua harus dibatasi untuk
kebutuhan praktisnya dan disesuaikan dengan sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat
meletakkan pengetahuan dan dirinya di tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati
dan dengan demikian mempertahankan kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud
mencapai keadilan sebagai akhirnya, Islām membedakan pencarian dua jenis pengetahuan tersebut,
dimana membuat perolehan pengetahuan tentang prasyaratan yang pertama menjadi kewajiban bagi
semua muslim (fard ’ayn), dan yang lain kewajiban hanya kepada beberapa muslim (fard kifāyah), dan
kewajiban yang kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam kasus
mereka yang menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk perbaikan diri mereka
sendiri. Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua kategori itu
sendiri merupakan prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang mencarinya,
karena semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama itu baik bagi semua manusia,
sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua itu baik untuknya; karena manusia yang
mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh penting dalam menentukan
peran sekular dan posisinya sebagai warga negara, tidak serta merta menjadikannya manusia yang
baik. Dalam peradaban Barat secara umum, karena konsep keadilannya berdasarkan fondasi sekular,
menyertakan bahwa konsepsi pengetahuannya juga berdasarkan fondasi yang sama atau fondasi
saling melengkapi yang menekankan manusia sebagai entitas fisik dan makhluk hewani rasional,
yang pada perluasannya fondasi tersebut mengakui apa kita tunjuk sebagai pengetahuan jenis kedua
sebagai satu-satunya ‘pengetahuan’ absah yang mungkin. Akibatnya, tujuan mencari pengetahuan
dari tingkat dasar sampai atas, bagi peradaban Barat, adalah untuk menghasilkan pada diri pencari
pengetahuan tersebut seorang warga negara yang baik. Namun, Islām berbeda dalam hal ini bahwa
tujuan mencari pengetahuan adalah menghasilkan manusia yang baik. Kita mempertahankan bahwa
lebih mendasar menghasilkan manusia yang baik, daripada menghasilkan warga negara yang baik,
karena manusia yang baik tanpa diragukan akan menjadi warga negara yang baik, tetapi warga
negara yang baik, tidak serta merta menjadi manusia yang baik. Dalam suatu pengertian kita dapat
mengatakan bahwa Islām juga mempertahankan bahwa tujuan pencarian pengetahuan adalah
menghasilkan dalam diri pencari pengetahuan tersebut warga negara yang baik, hanya yang kami
maksud dengan ‘warga negara’ adalah Warga Negara dari Kerajaan lain, sehingga bertindak
sedemikian bahkan di sini dan kini sebagai manusia yang baik. Konsep ‘manusia yang baik’ dalam
Islām tidak hanya mengonotasikan bahwa dia harus ‘baik’ dalam pengertian sosial umum yang
dipahami, tetapi bahwa dia juga harus pertama kali baik pada dirinya sendiri, dan tidak menjadi
tidak adil pada dirinya dalam cara yang sudah kita jelaskan, 45 karena jika dia tidak adil pada dirinya
sendiri bagaimana dia dapat sungguh-sungguh adil kepada orang lain? Jadi kita lihat bahwa pada
konsep paling dasar dalam kehidupan — konsep pengetahuan — Islām bertentangan dengan
peradaban Barat, bahwa bagi Islām (a) pengetahuan termasuk kepercayaan-kuat dan kepercayaan
yang benar (īmān); dan bahwa (b) tujuan mencari pengetahuan adalah menanamkan kebaikan atau
keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri individu, dan bukan hanya pada manusia sebagai
warga negara atau sebagai bagian integral dari masyarakat: hal tersebut merupakan nilai manusia
sebagai manusia sejati, sebagai makhluk ruhani, yang ditekankan, daripada nilainya sebagai entitas
fisik yang diukur dalam pengertian kegunaan pragmatis atau utilitarian untuk negara, masyarakat,
dan dunia.
Saya telah menggambarkan apa yang menyusun inti Agama Islām, dan dalam deskripsi ini
telah dijelaskan secara ringkas tetapi mudah, singkat dan jelas, tentang konsep mendasar dīn dan
kepercayaan-kuat dan kepercayaan dalam Islām. Saya telah menyentuh pada pandangan-dunia
Islāmi dan telah menekankan yang mendasar dari konsep Qur’āni tentang perjanjian manusia
dengan Tuhan, lalu menunjukkan bagaimana perjanjian ini merupakan sifat-dasar yang esensial;
perjanjian tersebut merupakan titik awal dalam konsep Islāmi tentang agama, dan hal itu merupakan
unsur dominan di semua konsep Islām yang lain yang terikat dengannya, seperti kebebasan,
tanggung jawab, keadilan, pengetahuan, kebajikan, persaudaraan; perjanjian tersebut juga menunjuk
pada peran dan karakter individu dan masyarakat dan identitas bersama dalam kerangka-kerja
negara dan kehidupan kolektif. Saya juga telah menekankan dalam deskripsi ini peran individu dan,
jiwa, dan perjalanannya kembali kepada Tuhan. Kini perlu bagi saya untuk menggambarkan dalam
garis besar visi Islāmi tentang realitas, yang tidak lain merupakan inti metafisika Islām yang
menentukan pandangan-dunianya. Islām memfokuskan visi (shuhūd) keagamaan dan metafisis
tentang Realitas dan pandangan-dunia pada Being, dan membedakan antara Eksistensi (Wujūd) dan
eksisten (mawjūd); antara kesatuan (wahdah) dan kemajemukan (kathrah); antara abadi (baqā’) dan fana
(fanā’). Visi tentang Realitas ini berdasarkan atas pengetahuan wahyu melalui pengalaman
keagamaan, dan menembus realitas objektif, metafisis, dan ontologis maupun realitas subjektif,
intuitif, dan pengalaman psikologis dari realitas tersebut. Secara fenomenologis, Islām, dalam
konfirmasi akan visinya tentang Realitas, mengafirmasi ‘being’ daripada ‘proses-menjadi’ atau
‘datang-menjadi-being’, karena objek visi tersebut itu jelas, tegak, permanen, dan tidak berubah.

45
Konsep ‘manusia yang baik’ didefinisikan sebagai manusia dengan adab menurut definisi saya tentang adab yang dibuat
dalam karya saya The Concept of Education in Islām, Kuala Lumpur, 1980. Lihat juga Pengenalan di buku ini.
Konfirmasi dan afirmasi ini absolut karena muncul dari kepastian (yaqīn) pengetahuan wahyu; dan
karena Objeknya jelas, kokoh, permanen dan tidak berubah, maka demikian juga Islām, bersama
dengan jalan hidup dan metode praktek dan nilainya, merupakan sebuah refleksi absolut dari modus
Objek tersebut. Jadi Islām sendiri itu seperti Objek tersebut yang menyerupai sifat-dasar
ontologisnya seperti abadi dan tidak berubah — sebagai being; dan karenanya mengafirmasi dirinya
sebagai lengkap dan sempurna sebagaimana dikonfirmasi Kata-Kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, 46 dan
Islām menolak kemungkinan selalu butuh pelengkapan (completion) atau evolusi menuju
kesempurnaan; dan konsep seperti pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan ketika diterapkan
pada kehidupan sejarah dan nasib manusia memang, dalam Islām, secara mendasar pada sifat-dasar
spiritual dan sejati dari manusia. Jika tidak demikian, maka hal itu tidak dapat sungguh-sungguh
bermakna, bagi Islām, pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan sejati, karena hal itu hanya
bermakna pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan hewani pada manusia; dan hal itu tidak
akan menjadi evolusi sejati kecuali evolusi tersebut mewujudkan dalam dirinya sifat-dasar sejatinya
sebagai makhluk ruhani.
Perubahan, pengembangan, kemajuan, menurut sudut pandang Islāmi, menunjuk kembali
kepada Islām sejati yang diucapkan dan dipraktekkan Nabi Suci, anggota Rumah Sucinya dan
Sahabat-Sahabat mulia dan Pengikutnya, dan kepercayaan-kuat dan praktek muslim sejati setelah
mereka, dan juga menunjuk pada diri dan berarti kembali pada sifat-dasar asli dan agamanya
(Islām). Konsep tersebut menyentuh pada situasi yang diandaikan ketika muslim menemukan diri
mereka sendiri tersesat dan asyik dalam keabaian akan Islām, bingung, dan tidak adil kepada diri
mereka sendiri. Dalam situasi tersebut, usaha mereka sendiri untuk mengarahkan mereka kembali
pada Jalan Lurus dan Benar dan kembali pada kondisi Islām sejati — usaha tersebut, yang
menyertakan perubahan, adalah pengembangan; dan kembali seperti demikian, yang terkandung
dalam pengembangan, adalah kemajuan. Jadi, bagi Islām, proses pergerakan menuju Islām sejati oleh
muslim yang telah tersesat darinya adalah pengembangan; dan pengembangan demikian itu satu-
satunya yang dapat sungguh-sungguh diistilahkan kemajuan. Kemajuan bukan ‘proses-menjadi’
atau ‘datang-menjadi-being’, ataupun pergerakan menuju yang ‘datang-menjadi-being’ dan tidak
pernah menjadi ‘being’ karena gagasan ‘sesuatu yang dituju’, atau ‘tujuan’ yang inheren dalam
konsep ‘kemajuan’ hanya dapat mengandung makna sejati ketika menunjuk pada apa yang sudah
jelas dan berdiri secara permanen atau sudah being. Karenanya apa yang sudah jelas dan berdiri,
sudah dalam kondisi being, tidak dapat mengalami perubahan, maupun merupakan sesuatu
terpengaruh pada terpeleset terus-menerus dari pegangan pencapaian, maupun secara terus-
menerus mundur melampaui pencapaian. Istilah ‘kemajuan’ merefleksikan arah yang jelas yang
diluruskan pada tujuan akhir untuk dicapai dalam hidup; jika arah yang dicapai masih samar, masih
datang-menjadi-being, sebagaimana dikatakan, dan tujuan yang diluruskan dengannya tidak final,
maka bagaimana keterlibatan di dalamnya sungguh-sungguh bermakna kemajuan? Mereka yang
meraba dalam gelap tidak dapat ditunjuk sebagai sedang maju, dan mereka yang mengatakan orang-
orang semacam itu sedang maju telah bohong sepenuhnya terhadap makna sejati dan tujuan
kemajuan, dan mereka telah berbohong pada diri mereka sendiri!

Perumpamaannya adalah seperti seorang manusia


yang menyalakan api;
Setelah api itu menerangi sekelilingnya,
Tuhan menghilangkan cahaya mereka,
dan membiarkan mereka dalam kegelapan yang sangat.
Sehingga mereka tidak dapat melihat.
Tuli, bisu, buta,

46
Al-Mā’idah (5): 4.
Mereka tidak akan kembali (pada jalan itu)
Atau (perumpamaan yang lain)
Akan awan hujan yang lebat
Dari langit: di dalamnya merupakan wilayah
Kegelapan, guruh, dan kilat:
Mereka menekan jarinya dalam telinga mereka
Untuk menjauhkan dari petir yang mengejutkan,
Sementara itu mereka dalam teror kematian.
Tetapi Tuhan selalu meliputi
Orang-orang yang menolak Kepercayaan-kuat !
Hampir-hampir kilat itu menyambar
Penglihatan mereka; setiap kali kilat itu
(membantu) mereka, mereka berjalan di bawahnya,
Dan bila gelap menimpa mereka,
Mereka berhenti.
Dan jikalau Tuhan menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
Fakultas pendengaran dan penglihatan mereka.
Sesungguhnya Tuhan berkuasa atas segala sesuatu.47

Pandangan-dunia Islāmi jangan disalahpahami sebagai dualisme, karena meskipun ada dua
unsur yang terlibat, namun yang satu abadi dan independen sedangkan yang lain tergantung
padanya; yang satu absolut dan yang lain relatif; yang satu nyata dan yang lain perwujudan
kenyataan tersebut. Jadi hanya ada Satu Realitas dan Kebenaran, dan semua nilai Islāmi menyentuh
secara mendasar hanya kepada-Nya, sehingga bagi muslim, secara individual dan kolektif, semua
usaha menuju perubahan dan pengembangan dan kemajuan dan kesempurnaan secara tanpa
alternatif ditentukan pandangan-dunia yang memproyeksikan visi tentang Satu Realitas dan
mengonfirmasi afirmasi akan Kebenaran yang sama. Dengan cara ini dalam prakteknya muslim telah
mampu menghidupi kehidupan mereka sesuai kepercayaan itu tanpa mengalami perubahan apapun
yang diperoleh dengan mengacaukan harmoni dalam Islām dan diri mereka sendiri; tanpa mengalah
pada sentuhan waktu yang membinasakan, maupun pada tantangan dalam pergantian eksistensi
duniawi. Manusia Islām memiliki Qur’ān Suci yang tidak berubah, tidak dalam proses berubah, dan
tidak dapat diubah; Qur’ān adalah Kata-Kata Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk final dan
lengkap kepada Nabi dan Utusan Terakhir Pilihan-Nya, Nabi Muhammad. Qur’ān Suci adalah
petunjuk jelas yang dibawa bersamanya dimanapun, tidak hanya secara literal, tetapi lebih pada
lidah, pikiran, dan hatinya, sehingga menjadi inti kekuatan utama yang menggerakkan bingkai
manusianya. Saya telah katakan di awal, ketika menunjuk pada perenungan manusia akan dirinya,
bagaimana setiap manusia itu seperti pulau yang terletak dalam isolasi lautan tak terduga yang
dibungkus kegelapan, berkata bahwa kesepiannya begitu absolut sepenuhnya karena bahkan dia
tidak mengetahui dirinya sendiri secara lengkap. Saya harus menambahkan bahwa kesepian yang
penuh itu secara mendasar muncul dari ketidakmampuan untuk menjawab pertanyaan dalaman
(inner) yang tak kenal zaman dan terus-menerus kepada dirinya sendiri: “Siapa aku?” dan “Apa
tujuan pokokku?” kita katakan bahwa pengalaman kesepian yang penuh tersebut, bagaimanapun,
hanya menyerang pada hati manusia yang menolak Tuhan, atau meragukan-Nya, atau
menanggalkan perjanjian jiwanya dengan Tuhan; karena hal itu, maka, pengenalan dan afirmasi
akan perjanjian yang sama yang membangun bagi manusia identitasnya dalam tatanan being dan
Eksistensi. Manusia Islām — dia yang mengonfirmasi dan mengafirmasi perjanjian tersebut dalam
dirinya — tidak pernah kesepian karena bahkan saat merenungkan dirinya dia mengetahui secara

47
Al-Baqarah (2): 17-20.
intuitif, melalui tindakan ‘ibādah termasuk pembacaan dan refleksi dan perenungan terus-menerus
akan kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, betapa dekatnya diri dengan Tuhan, Pencipta dan
Rabbnya, yang dengan-Nya dia merenung dalam pengingatan (dhikr) dan dengan-Nya dia
melakukan pembicaraan intim (munājāt). Manusia tersebut telah mengenal dirinya pada dirinya
sendiri dan mengetahui tujuan pokoknya, dan dia aman di dalam dirinya sendiri dan bebas dari
gema mengerikan dari kesepian absolut dan cengkraman mencekam dari ketakutan yang sunyi.
Dalam afirmasi akan Being, Qur’ān Suci, sumber Islām dan proyektor pandangan-dunia Islāmi dan
visi tentang Realitas dan Kebenaran yang Satu, merupakan ungkapan finalitas dan kesempurnaan
‘being’ seperti layaknya Islām merupakan afirmasi fenomenologis akan ‘being’; dan dia yang
membawa Qur’ān Suci, pada manusia merepresentasikan finalitas dan kesempurnaan ‘being’ dalam
manusia. Nabi Suci, padanya rahmat Tuhan dan kedamaian!, adalah penutup para Nabi, 48 utusan
Tuhan yang universal dan akhir kepada manusia, 49 yang memimpin dari gelap kepada terang; 50 yang
dirinya merupakan Lampu yang menyebarkan sinar;51 dia adalah Rahmat Tuhan kepada semua
makhluk,52 dan kebaikan-Nya pada mereka yang percaya padanya dan apa yang dia bawa 53 dan
bahkan pada Orang-Orang Berbuku (ahli kitab, penerj.), 54 yang mungkin masih belum percaya
padanya. Dia adalah manusia yang diciptakan Tuhan dengan karakter agung sebagai standar
manusia;55 dia adalah manusia dan contoh sempurna par excellence.56 Dia adalah manusia yang
bahkan didoakan dan dihormati Tuhan dan malaikat sebagai yang terbaik dari manusia,57 dan semua
mukmin sejati, dalam pemenuhan Perintah Tuhan, dan berusaha meniru malaikat-Nya, melakukan
hal yang serupa, dan telah dan akan terus melakukan juga di dunia dan seterusnya sepanjang Tuhan
menghendaki; dan di Akhirat Tuhan akan bersedia memberikan Tempat yang Terpuji padanya. 58
Muhammad, Utusan Tuhan, adalah dia yang namanya ajaib akan pemenuhan (ramalan nubuwwah,
penerj.), karena hanya dia sendiri di antara seluruh manusia yang didoakan terus menerus di setiap
zaman dan generasi setelahnya tanpa akhir, sehingga tercatat dalam catatan zaman dan generasi
sebelumnya dia merupakan satu-satunya manusia yang didoakan sedemikian itu. Kita
mendoakannya dengan tulus cinta dan hormat dan terima kasih karena telah memimpin kita keluar
dari gelap menuju terang, dan dia dicintai di atas seluruh manusia termasuk diri kita sendiri. Cinta
dan hormat kita padanya adalah seperti sesuatu dimana waktu dan memori tidak akan sanggup
menghilangkan, karena dia ada dalam diri kita di setiap zaman dan generasi — tidak, dia lebih dekat
dari kita sendiri,59 dan kita berusaha menyerupai kata-kata (qawl) dan tindakan (fi’l) dan konfirmasi
diamnya (taqrīr) atas perbuatan yang diketahuinya, sehingga berhubungan dengan Qur’ān Suci dia
merupakan pembimbing yang baik dan sempurna dan contoh dalam kehidupan. Dia adalah model
sempurna bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan; dengan demikian remaja, umur-pertengahan,
dan tua renta muslim tidak mengalami krisis identitas. Karena Nabi Suci, struktur eksternal atau
pola dalam masyarakat muslim tidak terpisahkan jurang generasi sebagaimana yang lazim kita
temukan dalam masyarakat Barat.
Peradaban Barat secara terus menerus berubah dan ‘proses-menjadi’ tanpa pernah mencapai
‘being’, kecuali ‘being’nya sedang dan selalu ‘proses-menjadi’. Hal ini ada dan begitu dengan sebab

48
Al-Ahzāb (33): 40.
49
Al-Talāq (65): 11.
50
Al-Ahzāb (33): 46; Al-Talāq (65): 11.
51
Al-Anbiyā’ (21): 107
52
Sabā (34): 28.
53
Āli ‘Imrān (3): 164; Al-Nisā’ (4): 170.
54
Al-Mā’idah (5): 21.
55
Al-Qalam (68) : 4.
56
Al-Ahzāb (33): 21.
57
Al-Ahzāb (33): 56.
58
Banī Isrā’īl (17): 79.
59
Al-Ahzāb (33): 6.
fakta bahwa Barat tidak mengakui satu pun, Realitas mapan untuk memperbaiki visinya; tidak satu
pun, Kitab yang absah yang dapat dikonfirmasi dan diafirmasi dalam kehidupan; tidak seorangpun,
Bimbingan manusia dimana kata-kata, perbuatan, tindakan, dan seluruh modus kehidupannya dapat
dijadikan sebagai model untuk di teladani dalam kehidupan, tetapi masing-masing dan setiap
individu harus menemukan untuk diri (laki-laki) mereka dan dirinya (perempuan) identitas, makna
kehidupan, dan nasib masing-masing. Peradaban Barat mengafirmasi aspek kesementaraan (fanā’)
dari realitas, dan nilainya menyentuh pada realitas sekular, material, dan fisik akan eksistensi.
Dengan demikian masyarakat Barat dibagi oleh jurang pemisah antara tiga generasi: pemuda, usia-
pertengahan (middle-aged), dan yang tua. Masing-masing generasi yang terpisah bergerak di dalam
batasan usahanya sendiri dalam mencari makna bagi diri dan kehidupannya sendiri dalam pencarian
yang tak lekang zaman untuk jawaban akan pertanyaan: “Siapa aku?” dan “Apa tujuanku?”
Pemuda, yang ada pada tahap pengalaman perubahan dalam hidup, menganggap nilai yang
diturunkan orang tua mereka, yang usia-pertengahan, tidak lagi berguna ataupun relevan dengan
jalan hidup mereka. Akibatnya, mereka tidak mengambil usia-pertengahan sebagai teladan untuk
membimbing mereka dalam kehidupan, dan karenanya menuntut ‘kebebasan’ mereka untuk
memilih tujuan mereka sendiri. Usia-pertengahan, menyadari bahwa nilai mereka juga, ketika dalam
masa muda, tidak berhasil membimbing mereka dalam kehidupan, dan kini mereka mengetahui
bahwa mereka sendiri tidak mampu menyediakan bimbingan yang diperlukan anak-anak mereka,
sehingga menyerahkan ‘kebebasan’ yang dicari pemuda untuk memilih tujuannya dengan harapan
bahwa pemuda masih dapat sukses saat di pihak lain mereka (usia-pertengahan, penerj.) telah gagal.
Kini pemuda, yang menuntut ‘kebebasan’ memilih tujuan mereka, juga mengetahui bahwa mereka
membutuhkan bimbingan, yang sayangnya tidak tersedia, karena bahkan dari tengah-tengah mereka
tidak ada yang mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menjalankan peran teladan
sempurna yang contohnya dapat ditiru yang lain. Situasi membingungkan ini menciptakan pada diri
pemuda ketidakpastian dan lebih banyak keraguan tentang masa depan, dan mereka secara putus
asa berani berharap bahwa ketika mereka mencapai usia-pertengahan mereka akan mampu untuk
mencetak kembali dunia yang lebih dekat dengan hasrat hati mereka. Tetapi usia-pertengahan, yang
memainkan peranan utama dalam mencetak dan melayani negara, masyarakat, dan dunia mereka,
mengetahui dari pengalaman muda mereka bahwa nilai mereka yang terdahulu kini tidak lagi
melayani sebuah tujuan dan telah kehilangan makna dalam kehidupan; dan karena pencarian
identitas yang terdahulu telah gagal, sehingga kehidupan mereka kini tidak merefleksikan kepuasan
pemenuhan dan hampa kebahagiaan. Jadi nilai yang kini mereka hargai itu, nilai yang kini menjadi
ukuran sukses bagi mereka dalam pencarian makna kehidupan individual mereka, hanyalah sesuatu
yang memromosikan pencapaian sekular dan materialistis yang bersinggungan dengan negara dan
masyarakat; dan sehingga mereka berusaha dan dengan kejam bersaing di antara mereka untuk
memperoleh tempat yang tinggi dalam tangga sosial atau kekayaan, kekuasaan, dan kemasyhuran
dunia. Di tengah-tengah pergulatan demikian, mereka menyadari bahwa kapasitas mental dan
kecerdasan mereka mulai melemah; kekuatan fisik dan vitalitas mulai memburuk, dan kegemparan
dan penyesalan dan kesedihan mulai menguasai mereka ketika muncul dalam rangkaian pergantian
di hadapan persepsi mental mereka penglihatan akan pengunduran diri dari kehidupan publik ke
dalam kesepian masa tua. Akibatnya, mereka melihat pemuda dengan nostalgia dan meletakkan
harapan yang tinggi bahwa pemuda masih mungkin mengangkat kerinduan akan teladan dan
contoh sempurna yang ditunggu dalam kehidupan untuk ditiru semua masyarakat; dan perilaku
terhadap pemuda ini merupakan inti penyembahan masa Muda, yang menjadi corak dominan
peradaban Barat sejak masa kuno. Krisis identitas yang dialami usia-pertengahan sedikit banyaknya
sama dengan apa yang dialami pemuda, dengan pengecualian bahwa, bagi usia-pertengahan,
‘kebebasan’ memilih tujuan mereka semakin lama semakin terbatas, karena waktu dengan kejam
bergerak pada akhirnya seperti tragedi Yunani. Yang tua, dalam masyarakat seperti ini, hanya
makhluk yang dilupakan masyarakat, sebab keberadaan mereka mengingatkan pemuda dan usia-
pertengahan akan kondisi seperti apa mereka nantinya yang ingin mereka lupakan. Yang tua
mengingatkan mereka akan kehilangan dan kematian; yang tua telah kehilangan kekuatan dan
vitalitas fisik; mereka telah kehilangan keberhasilan; mereka telah kehilangan ingatan, kegunaan, dan
fungsi mereka dalam masyarakat; mereka telah kehilangan teman dan keluarga — mereka telah
kehilangan masa depan. Ketika masyarakat mendasarkan filsafat hidupnya pada fondasi sekular dan
mendukung nilai materialistis untuk dihidupi, tidak terhindarkan menyertakan bahwa makna dan
nilai dan kualitas kehidupan warga negara individual di dalamnya diinterpretasikan dan diukur
dalam posisinya sebagai warga negara; jabatan, kegunaan, pekerjaan, dan kekuatan
menghasilkannya dalam hubungan dengan negara. Ketika usia tua semua ini hilang, demikian juga
identitasnya — yang kenyatannya dicetak oleh peran sekular diperankannya — kemudian hilang.
Tiga generasi yang dalam hal ini menyusun masyarakat Barat itu selamanya bertaut dalam pencarian
identitas dan makna kehidupan; selamanya bergerak dalam lingkaran setan ketidakpencapaian;
masing-masing generasi tidak puas dengan nilainya yang swa-berkembang (self-evolved) dari
kehidupan; masing-masing generasi menemukan dirinya tidak-cocok (misfit). Dan kondisi ini, kita
memertahankan, adalah apa yang kita maksud sebagai tidak adil (zulm). Kondisi ini lebih lanjut
menjengkelkan karena ternyata dalam masyarakat Barat juga terdapat krisis identitas antar jenis
kelamin, dalam hal ini yang terkait adalah perempuan, sebagai perempuan, dalam pencarian
identitas yang terpisah bagi diri mereka sendiri.
Masyarakat Islāmi tidak dikepung kondisi seperti itu. Individu di dalam generasi yang
menyusunnya, apakah laki-laki atau perempuan, telah menemukan identitas dan menyadari tujuan
utama mereka; yang terdahulu melalui pengenalan dan konfirmasi akan perjanjian tersebut, dan
yang kemudian melalui afirmasi dan perwujudan perjanjian tersebut dengan ketundukan tulus
kepada kehendak Tuhan dan kepatuhan kepada hukum-Nya sebagaimana ditetapkan sebagai Islām.
Manusia yang telah membawa kepada kita Qur’ān Suci sebagaimana diwahyukan Tuhan kepadanya,
yang telah dengan demikian membawa kepada kita Pengetahuan akan identitas dan tujuan kita,
yang kehidupannya merupakan interpretasi Qur’ān Suci yang paling baik dan sempurna sehingga
kehidupannya menjadi pusat teladan dan jiwa pembimbing sejati bagi kita, adalah Nabi Suci,
semoga Tuhan memberkahinya dan memberinya kedamaian! Dengan pengajaran dan teladannya dia
telah menunjukkan praktek Islām dan kebajikan Islāmi yang benar dan tepat kepada kita; dia
merupakan model sempurna bagi manusia bukan hanya satu generasi, tetapi bagi semua generasi;
bukan untuk suatu waktu, tetapi untuk sepanjang waktu. Tentu saja, kita katakan bahwa konsep
‘model yang sempurna’ hanya dapat memenuhi makna sejatinya jika dia yang dengan demikian
digambarkan, seperti hanya Muhammad, mewujudkan di dalam dirinya sendiri semua nilai manusia
dan spiritual permanen yang diperlukan sebagai petunjuk bagi manusia dalam kehidupan, yang
keabsahannya sedemikian rupa sehingga melayani manusia bukan hanya untuk sejengkal kehidupan
individualnya, tetapi untuk selama manusia hidup di dunia ini. Jadi setiap generasi muslim, yang
meniru contohnya, melewati jalan hidup yang dipolakannya (Nabi Muhammad, penerj.) pada yang
berikutnya sedemikian sehingga tidak ada jurang pemisah ataupun krisis identitas yang muncul di
antara mereka, melainkan masing-masing generasi terdahulu membimbing generasi setelahnya
dengan mengonfirmasi dan mengafirmasi contohnya dalam kehidupan mereka.
Masalah identitas dan tujuan manusia itu merupakan, menurut pemikiran saya, penyebab
akar semua masalah lain yang mengepung masyarakat modern. Banyak tantangan yang telah
muncul di tengah-tengah kebingungan manusia sepanjang zaman, tetapi mungkin tidak ada yang
lebih serius dan merusak manusia daripada tantangan yang kini diajukan peradaban Barat. Saya
berusaha mempertahankan bahwa tantangan terbesar yang telah diam-diam muncul pada masa kita
adalah tantangan pengetahuan, tentu, bukan terhadap kebodohan; tetapi pengetahuan sebagaimana
dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; pengetahuan yang sifat-dasarnya
telah menjadi problematis sebab telah kehilangan tujuan utamanya berkaitan dengan pemahaman
yang tidak adil, dan dengan demikian telah membawa kekacauan dalam kehidupan manusia,
bukannya kedamaian dan keadilan; pengetahuan yang nampak sejati tetapi merupakan penghasil
kebingungan dan skeptisisme, yang telah mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ‘saintifik’
dalam metodologi; pengetahuan yang telah, pada pertama kalinya dalam sejarah, membawa
kekacauan pada Tiga Kerajaan Alam; binatang, tumbuhan, dan barang tambang. Bagi saya terlihat
penting untuk menekankan bahwa pengetahuan itu tidak netral, dan memang dapat dimasukkan
sifat-dasar dan isi yang menyamar sebagai pengetahuan. Namun pada kenyataannya, diterima
secara keseluruhan, bukanlah pengetahuan sejati, tetapi interpretasi terhadapnya melalui prisma,
sebagaimana dikatakan, pandangan-dunianya, visi intelektual dan persepsi psikologis dari
peradaban yang kini memainkan peran kunci dalam perumusan dan penyebarannya. Apa yang
dirumuskan dan disebarkan merupakan pengetahuan yang dimasukkan karakter dan personalitas
peradaban tersebut — pengetahuan yang ditampilkan dan dikandung sebagai pengetahuan dalam
samaran itu begitu rumit dileburkan bersama dengan yang sejati sehingga orang lain mengambilnya
secara tidak sadar in toto sebagai pengetahuan sejati secara per se. Apakah karakter dan personalitas,
esensi dan jiwa peradaban Barat yang telah mengubah dirinya dan dunia, yang membawa semua
penerima interpretasi pengetahuan tersebut kepada kondisi kacau yang memimpin pada tepi
bencana? Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud peradaban yang telah berevolusi dari leburan
historis kebudayaan, filsafat, nilai dan cita-cita dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka
dengan Yudaisme dan Kristianitas, dan pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh
orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan
epistemologis dan fondasi pendidikan, etika, dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian
berpolitik dan pemerintahan; dari Yudaisme dan Kristianitas unsur kepercayaan-kuat keagamaan;
dan dari orang-orang Latin, Jerman, Celtic, dan Nordik semangat independensi dan jiwa kebangsaan
dan nilai tradisional mereka, dan pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan alam dan fisik
dan teknologi dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah mendorong hingga
kekuatan puncak. Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada peradaban Barat
akan nuansa pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi pengetahuan dan jiwa
rasional dan saintifik tersebut telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan wadah
kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan melebur dengan semua unsur lain
yang membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Namun fusi dan peleburan yang
sedemikian berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai
peradaban dan kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat dipecahkan menjadi kesatuan
yang harmonis, karena hal itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan, filsafat,
dogma, doktrin dan teologi yang bertentangan dan semuanya merefleksikan visi dualistik yang
meliputi-semua (all-pervasive) realitas dan kebenaran yang terkunci dalam pertarungan yang putus
asa. Dualisme terdapat pada semua aspek kehidupan dan filsafat Barat: yang spekulatif, sosial,
politis, kebudayaan — sebagaimana hal tersebut meliputi ketidakberubahan (inexorableness) yang
sepadan pada agama Barat.
Barat merumuskan visinya tentang kebenaran dan realitas tidak di atas pengetahuan dan
kepercayaan agama wahyu, tetapi lebih pada tradisi kultural yang diperkuat dengan premis filosofis
yang ketat berdasarkan spekulasi yang menyentuh secara mendasar pada kehidupan sekular yang
memusatkan manusia sebagai entitas fisik dan hewan rasional, meletakkan perbekalan yang luar
biasa hanya terhadap kapasitas intelektual manusia untuk membuka seluruh misteri lingkungan dan
keterlibatannya dalam eksistensi, dan menyusun hasil spekulasi yang berdasarkan premis tersebut
akan nilai etis dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya sesuai
spekulasi tersebut. Tidak akan ada kepastian dalam spekulasi filosofis dalam pengertian kepastian
keagamaan berdasarkan pengetahuan wahyu yang dipahami dan dialami dalam Islām; 60 dan
karenanya pengetahuan dan nilai yang memproyeksikan pandangan-dunia tersebut dan arah
kehidupan peradaban tersebut itu di bawah penilaian ulang dan perubahan.
Jiwa penelusuran dari kebudayaan dan peradaban Barat bermula dengan disenchanment
terhadap agama sebagaimana peradaban tersebut memahaminya. Agama dalam pengertian yang
digarisbesarkan di sini tidak pernah sungguh-sungguh mengakar dalam peradaban Barat berkaitan
dengan sifat berlebihan dan cinta yang salah kepada dunia dan kehidupan sekular dan manusia dan
keasyikan dengan tujuan sekular manusia. Jiwa penelusuran tersebut secara mendasar dibangkitkan
dalam kondisi ragu dan tegangan dalaman (inner); tegangan dalaman tersebut merupakan hasil
benturan unsur-unsur yang bertentangan dan nilai yang berlawanan dalam dualisme abadi,
sementara keraguan memelihara kondisi tegangan dalaman tersebut. Kondisi tegangan dalaman ini
pada gilirannya menghasilkan hasrat yang tak terpenuhi untuk mencari dan naik pada pemenuan
dalam perjalanan abadi. Pencarian tersebut tak terpenuhi dan perjalanan menjadi abadi karena
keraguan tidak pernah selesai, sehingga apa yang dicari tidak pernah sungguh-sungguh ditemukan,
apa yang ditemukan tidak pernah sungguh-sungguh memuaskan tujuan sejatinya. Hal tersebut
seperti pejalan haus yang pada pertama kalinya secara tulus mencari air pengetahuan, tetapi yang
kemudian, mungkin menemukannya kurang menarik, mulai mengeraskan cangkirnya dengan
garam keraguan sehingga rasa hausnya menjadi tidak terpuaskan meskipun dia minum secara
berkelanjutan, dan dengan demikian meminum air tersebut tidak dapat menghilangkan hausnya, dia
telah lupa tujuan asal dan sejatinya untuk apa air itu dicari. Kebenaran mendasar dari agama
dipandang, dalam skema hal-hal, hanya sebagai teori, atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia.
Nilai absolut ditolak dan nilai relatif diafirmasi; tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak
ada yang pasti. Akibat logis perilaku tersebut terhadap pengetahuan, yang menentukan dan
ditentukan pandangan-dunianya, adalah menolak Tuhan dan Akhirat dan mengafirmasi manusia
dan dunianya. Manusia dituhankan dan Tuhan dimanusiakan, dan dunia menjadi keasyikan tunggal
bagi manusia sehingga bahkan immortalitas dirinya sendiri terdiri dari kelanjutan spesies dan
kebudayaannya di dunia ini. Apa yang disebut ‘perubahan’ dan ‘pengembangan’ dan ‘kemajuan’
dalam semua aspeknya sejauh dalam hal ini peradaban Barat merupakan hasil penelusuran yang tak
terpuaskan dan perjalanan abadi yang muncul oleh keraguan dan tegangan dalaman. Konteks pada
gagasan akan perubahan dan pengembangan dan kemajuan selalu dipahami sebagai duniawi-kini
(this-wordly), menampilkan pandangan-dunia materialistis yang secara konsisten dapat diistilahkan
sebagai jenis eksistensialisme humanistik. Jiwa kebudayaan Barat yang menggambarkan dirinya
sebagai Promethean adalah seperti Camusian Sisyphus yang secara putus asa berharap bahwa
semuanya baik. Saya katakan secara putus asa berharap bahwa semuanya baik sebab saya menduga
faktanya tidak semuanya baik, karena Saya percaya bahwa dia tidak pernah dapat sungguh-sungguh
bahagia dalam kondisi tersebut. Pengejaran pengetahuan tersebut, seperti perjuangan mendorong
Batu dari daratan ke atas Gunung dimana ketika sampai puncaknya batu tersebut ditakdirkan untuk
berguling ke bawah lagi, menjadi jenis permainan serius, yang tak pernah berhenti, seolah-olah
mengalihkan jiwa dari tragedi dan ketidakpencapaian. Maka, tak heran bahwa dalam kebudayaan
Barat tragedi dipuji sebagai nilai mulia dalam drama eksistensi manusia!
Menggantungkan hanya pada kekuatan intelek manusia untuk membimbing manusia
menjalani kehidupan; ketaatan pada keabsahan visi dualistik tentang realitas dan kebenaran;
60
Lihat di atas, hlm. 75, referensi pada yaqīn (kepastian). Qur’ān Suci menyebutkan tiga derajat atau tingkatan kepastian
pengetahuan: kepastian yang diturunkan dari penyimpulan, apakah deduktif atau induktif: ‘ilm al-yaqīn, (Al-Takāthur
(102): 5); kepastian yang diturunkan dari pandangan langsung: ‘ayn al-yaqīn (Al-Takāthur (102): 7); dan kepastian yang
diturunkan dari pengalaman langsung haqq al-yaqīn (Al-Hāqqah (69): 51). Tingkatan pengetahuan yang pasti tersebut
menyentuh pada kebenaran, apakah berwujud atau tersembunyi, empiris atau transendental; dan pengetahuan yang pasti
dari apa yang tersembunyi memiliki kekuatan yang sama akan kepastian atas apa yang terlihat. Tingkatan kepastian
tersebut juga menyentuh pada apa yang diterima organ atau kognisi spiritual, hati (al-qalb), dan menunjuk pada
pengetahuan sebagai kepercayaan dan kepercayaan-kuat (īmān). Lihat hlm. 65 di atas.
afirmasi aspek-sementara realitas dari eksistensi yang memproyeksikan sebuah pandangan-dunia
sekular; mendukung doktrin humanisme; peniruan realitas universal yang diduga keras akan drama
dan tragedi dalam kehidupan manusia dalam wilayah spiritual, atau transendental, yang membuat
drama dan tragedi sebagai unsur nyata dan dominan dalam sifat-dasar dan eksistensi manusia —
unsur-unsur tersebut keseluruhan yang diterima sebagai sebuah keseluruhan merupakan, menurut
pendapat saya, apa yang membentuk inti, jiwa, karakter, dan personalitas kebudayaan dan
peradaban Barat. Unsur-unsur inilah yang menentukan kebudayaan dan peradaban tersebut akan
cetakan konsep pengetahuan dan arah tujuannya, perumusan isi dan sistematisasi penyebarannya;
sehingga pengetahuan tersebut yang kini secara sistematis disebarkan ke seluruh dunia tidak serta
merta merupakan pengetahuan sejati, melainkan apa yang telah diilhami dengan karakter dan
personalitas kebudayaan dan peradaban Barat, dan diisi dengan jiwanya dan dicocokkan dengan
tujuannya. Maka, unsur-unsur inilah, yang harus diidentifikasi dan dipisahkan dan diisolasikan dari
tubuh pengetahuan, sehingga pengetahuan tersebut dapat dibedakan dari apa yang diilhami dengan
unsur-unsur tersebut, karena unsur-unsur tersebut dan apa yang diilhami dengannya tidak
merepresentasikan pengetahuan sedemikian, tetapi mereka hanya menentukan bentuk karakteristik
dimana pengetahuan yang dipahami, dinilai, dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan yang
diluruskan dengan pandangan-dunia peradaban Barat. Kemudian juga terlepas dari identifikasi dan
pemisahan dan isolasi unsur-unsur tersebut dari tubuh pengetahuan, yang tidak diragukan juga
mengubah bentuk konseptual dan nilai dan interpretasi beberapa isi dari pengetahuan sebagaimana
yang kini ditampilkan,61 tujuan inti dan sistem penyebaran dan diseminasinya dalam institusi
pembelajaran dan dalam wilayah pendidikan harus diubah sesuai dengannya. Hal tersebut dapat
diargumentasikan bahwa apa yang disarankan merupakan interpretasi yang lain atau interperetasi
alternatif akan pengetahuan yang diilhami dengan bentuk konseptual dan nilai yang diluruskan
dengan tujuan lain yang merefleksikan pandangan-dunia lain; dan dengan demikian, dan hal yang
sama diterima, apa yang dirumuskan dan disebarkan sebagai pengetahuan mungkin tidak serta
merta merefleksikan pengetahuan sejati. Akan tetapi hal ini, tinggal dilihat, karena pengujian
pengetahuan sejati itu dalam diri manusia sendiri, bahwa jika, melalui sebuah interpretasi alternatif
atas pengetahuan kemudian manusia mengetahui dirinya dan tujuan utamanya, 62 dan dengan
mengetahuinya dia mencapai kebahagiaan,63 maka pengetahuan itu, kendati wujudnya diilhami
dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik yang dipahami dan dinilai dan
diinterpretasikan berdasarkan tujuan yang diluruskan pada pandangan-dunia tertentu, merupakan
pengetahuan sejati; karena pengetahuan tersebut telah memenuhi tujuan manusia untuk
mengetahui.

Cara al-attas menyampaikan dikusi yang menggambarkan tentang TUHAN :


Pendekatan dengan adanya kekuatan besar yang ghaib, pendekatan rasa yang terjadi langsung
dalam diri manusia itu walaupun sebelumnya tidak ada pengetahuan tentang itu. Sepertia adanya
penyembahan matahari, melihat kekuasaan
(hal 16)
Allah memperkenalkan dirinya, dan memberikan naluri kepada manusia. Bagaikan seorang mencari
tempat dengan peta digantungkan dengan keahlian seseorang . (tapi menurit ust. susi kurang setuju)
kasus dengan nabi Ibrahim menurutnya sedang mengerasani kaumnya.

61
‘Beberapa isi pengetahuan’ menunjuk di sini menyentuh secara pokok pada sains kemanusiaan.
62
Lihat di atas, hlm. 65-74; 81-84
63
Lihat di atas, hlm. 65.

Anda mungkin juga menyukai