Anda di halaman 1dari 40

BAB IV AGAMA

“Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara berbagai bangsa terdapat suatu
kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan
peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap kuasa
ilahi yang tertinggi atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan
bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama, yang
terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan
paham-paham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Pelbagai agama yang
terdapat di seluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati
manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup
maupun upacara-upacara suci”, (lih. Nostra Aetate article 2).
4.1. Paham dan Pengertian Agama: Apa itu Agama
Secara umum agama dapat diartikan sebagai hubungan manusia dengan Sang
Penguasa Suci Tertinggi yang oleh umat beragama disebut Allah. Secara khusus, agama
adalah hubungan cinta Tuhan kepada manusia dan sebaliknya serta hubungan manusia
dengan sesama dan dirinya sendiri. Dalam hal ini Tuhan lebih dulu mencintai manusia dan
manusia yang menyadari cinta Tuhan itu menanggapinya dengan iman. Hubungan yang erat
antara cinta Tuhan dan manusia ditegaskan oleh Yesus.
Secara etimologis, kata bahasa Indonesia “Agama” berasal dari bahasa Sansekerta
a=ke sini; gam=pergi, berjalan-jalan. Terdapat beberapa arti yang diberikan kepada istilah “a-
gama”: a) peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan hukum, atau “apa saja yang
turun-temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan, agama berarti “tidak pergi” atau tetap di
tempat” atau “langgeng” dan karena itu diwariskan turun-temurun; b) perjalanan menuju
kebaikan atau jalan yang benar; c) jika a berarti tidak dan gama berarti benda, maka kata
agama berarti bukan benda, sesuatu yang abstrak atau yang abadi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan
(dewa dsb) dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan itu. Unsur yang paling fundamental menurut definisi ini ialah hubungan
kepercayaan yang dimiliki oleh manusia terhadap Tuhan atau dewa. Hubungan ini terungkap
melalui sikap teoretis (ajaran)dan sikap praktis (kebaktian dan pelaksanaan kewajiban).
Definisi ini memberi kesan bahwa hubungan kepercayaan itu bersumber pertama-tama pada
manusia. Faktor ilahi muatan agama agak direduksi kepada faktor insani.
Dari bahasa-bahasa di Barat kita menerima istilah-istilah “religi” yang dianggap
identik dengan “agama”. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut diturunkan dari bahasa
Latin “relegere” yang berarti menjalani lagi, membicarakan lagi, membaca lagi. Maksudnya,
suatu upacara dijalankan lagi atau suatu doa dibacakan lagi dengan sebaik-baiknya. Tetapi
rupanya lebih tepat bila kata “religi” diasalkan pada kata kerja bahasa Latin “religere” yang
berarti mengikat atau menambatkan nasibnya pada Kuasa Adikodrati tertentu. Itulah yang
disebut “agama” dalam arti kepercayaan. Dua pengertian etimologis tersebut menyentuh baik
aspek lahiriah (ritus) maupun batiniah (kepercayaan). Dalam perkembangan kemudian,
muncullah pelbagai usaha untuk mendefinisikan “agama”. Hampir dalam kamus atau
ensiklopedi memberikan pengertian yang dianggap paling akurat. Baiklah kita meninjau
beberapa saja.
Agama biasanya dibahasakan dengan religi, (Lt. religio – religare = memenuhi
dengan setia) artinya mengikatkan kembali (terikat) manusia kepada Yang Ilahi, dan dengan
setia memenuhi kewajibannya (korelasi). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama
adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan atau juga disebut Dewa atau nama lainnya dengan
ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Maka
secara umum dapat dikatakan demikian, agama adalah ungkapan hubungan antara manusia
dengan Yang Ilahi, yaitu kekuasaan yang kudusyang dianggap lebih tinggi daripada manusia
itu sendiri. Yang Ilahi oleh penganut agama ada yang menyebut Allah, Tuhan, Sang Yang
Ada, Sang Yang Widi, Dewa, Pangeran, dll. Dengan demikian dalam istilah agama
mengandaikan ada keterikatan dan kesetiaan atau ada korelasi antara manusia dan Yang Ilahi.
Keterikatan itu tampak dalam ritus/ritual/ibadat yang ada dalam agama itu. Di dalam
ritus/ritual itu ada doa-doa resmi dan dengan gerakan-gerakan tertentu sedemikian rupa
sehingga menunjukkan kekhasan agama itu. Setiap tindakan ritual (aksi simbolik) itu
memiliki makna dalam konteks yang lebih luas daripada agama yang bersangkutan. Melalui
tindakan ritual manusia merasakan kehadiran dan tindakan kekuasaan Yang Ilahi.
Pengalaman kehadiran Yang Ilahi itu dapat dirasakan sebagai yang menggemparkan atau
menakutkan (tremendum) dan mempesonakan (fascinosum). Dalam tindakan ritual digunakan
simbol-simbol kodrati untuk memberi fokus pada kekuasaan Yang Ilahi. Simbol kodrati
memakai benda alami, benda buatan, tindakan sehari-hari dengan cara istimewa sebagai
simbol Yang Ilahi. Dengan demikian yang kodrati/manusiawi diangkat masuk ke dalam
Yang Ilahi, yang profan dimasukkan kedalam Yang Kudus.
Dalam perspektif iman katolik, agama adalah ungkapan kasih manusia kepada Allah
yang telah mengasihi manusia melalui Yesus Kristus, Sang Juru Selamat umat manusia.
Kasih Allah menuntun manusia pada Allah. Pengertian agama menurut Gereja Katolik, C.
Groenen menulis, “agama ialah suatu sistem ciptaan manusia yang berdasarkan keyakinan,
suati visi mengenai manusia dan Allah serta hubungan timbal balik. Agama juga selalu
mencakup suatu “kode”, sejumlah aturan perilaku para penganut agama.” 1 Definisi ini
menekankan bahwa agama tidak diciptakan oleh Allah secara langsung. Agama merupakan
suatu kesatuan pandangan yang diciptakan oleh manusia dalam rangka hubungan dengan
Allah. Kesatuan pandangan itu dibangun berdasarkan keyakinan yang dengannya kehidupan
ditata dan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari dipecahkan. Dengan kata lain,
melalui agama seluruh dimensi kehidupan ditempatkan dalam rangka hubungan dengan Allah
yang transenden.
4.2. Iman dan Agama
Dalam penggunaan sehari-hari istilah “iman” disamakan dengan kepercayaan atau
keyakinan yang dihubungkan dengan keyakinan atau agama dan kepercayaan kepada Allah,
nabi, kitab dan sebagainya. Hasan Alwi dkk, masih menambahkan definisi iman sebagai
ketetapan hati; keteguhan batin atau keseimbangan batin2. Pengertian ini menunjukkan bahwa
iman dimengerti bukan sesuatu yang menyentuh aspek intelektual manusia saja tapi terutama
aspek rohaninya. Dalam arti yang lebih dalam, iman adalah penyerahan diri secara total, utuh
kepada “Yang Transenden, Yang Tak Terlampaui”. Dialah yang oleh agama-agama disebut
sebagai Theos (bahasa Yunani), Deus (Bahasa Latin) God (Bahasa Inggris), Yahwe (Bahasa
Ibrani), Allah (Bahasa Arab/Indonesia).
Penyerahan diri secara total ini merupakan jawaban manusia atas penggilan Allah
yang menyatakan diri. Jawaban itu bukan karena terpaksa melainkan secara sukarela. Iman,
lebih-lebih kalau telah berkembang menjadi pengharapan dan kasih, merupakan suatu sikap
penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. (Bdk. Dei Verbum, No. 5). Ungkapan secara
sukarela di sini menunjuk pada suatu sikap yang berasal dari hal yang tulus ikhlas, bebas
menanggapi panggilan Allah. Iman merupakan suatu sikap batin atau penyerahan diri secara
pribadi. Penegasan ini mengandung pengertian bahwa iman adalah milik perorangan. Artinya
iman bercorak personal karena ia tidak ditemukan di luar diri manusia. Oleh sebab itu iman
bukan semata-mata pengetahuan yang didapat dari teori-teori tentang Allah melainkan
tanggapan personal manusia yang menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah.
Jadi singkatnya iman merupakan jawaban atas panggilan Allah. Iman menyangkut
hubungan manusia dengan Allah. Di atas pengalaman dasar itulah dibangun iman sebagai
1
2
penyerahan diri kepada Allah. Meskipun iman bercorak personal, tetapi orang menghayati
imannya dalam hidup bersama orang lain dan dalam konteks sejarah dan tradisi tertentu. Di
sinilah agama memainkan peranannya. Akar agama adalah iman kepada Tuhan. Iman
(tanggapan atas tawaran cinta kasih Allah) merupakan anugerah ilahi, maka ia mempunyai
nilai mutlak. Hubungan antara iman dan agama dapat diibaratkan hubungan antara cinta dan
aneka ungkapannya. Artinya agama menjadi tempat untuk ungkapan iman. Hubungan pribadi
dengan yang suci diungkapkan dalam agama. Iman sebagai iman tidak dapat disaksikan
dengan indera penglihatan, karena merupakan hubungan batin antara manusia dengan Tuhan.
Yang dapat disaksikan adalah praktik beragama. Praktik agama merupakan sarana agar orang
dapat memberi kasaksian akan imannya.
Jadi jelas sekali, bahwa yang pokok dalam agama adalah sikap batin. Agama yang
bersifat lahiriah melulu, dengan sendirinya menjadi formalisme dan sering kosong tanpa isi.
Oleh karena itu yang pokok bukanlah hal-hal yang lahiriah. Namun tanpa bentuk yang nyata
komunikasi iman tidak mungkin. Biarpun sikap batin paling penting, namun tanpa
pengejawantahan yang jelas iman tidak sungguh manusiawi. Penghayatan iman memerlukan
agama. Dalam praktik tidak ada iman tanpa agama, tetapi tentu saja bentuk agama berbeda-
beda.
Perbedaan pokok berhubungan dengan sikap batin sendiri dan gambaran Allah. Kalau
ditekankan keluhuran dan kedahsyatan Allah, maka agama akan mencari bentuk-bentuk yang
khusus dan istimewa. Sebaliknya, kalau lebih diperhatikan Tuhan yang hadir dalam ciptaan-
Nya, maka segala sesuatu dengan sendirinya sudah mempunyai warna agama. Iman dan
agama kait-mengait, dan iman tidak pernah bersifat umum. Berdasarkan pemahaman ini,
maka iman dapat menjadi nilai mutlak dalam hidup seseorang, tetapi sesuatu praktik agama
tidak dapat menjadi semutlak iman. Memutlakkan praktik agama dapat menjadikan
ketidaksetiaan kepada iman. Dalam agama ada sejumlah gejala atau unsur yang pada
umumnya didapati dalam agama-agama. Misalnya: jemaat, tradisi, tempat ibadat, dan petugas
ibadat.
Secara khusus dalam pandangan kristiani iman adalah penyerahan diri secara total
(menyeluruh) kepada kehendak Allah. Iman juga bias diartikan sebagai hubungan pribadi
dengan Yesus Kristus. Sifat-sifat iman itu adalah: mengatur manusia kepada keselamatan,
iman yang hidup, iman yang dihayati dan diamalkan, iman yang berbuah banyak, segala
tindakan kita akhirnya merupakan bukti pengungkapan iman. Dalam iman, manusia
menyadari dan mengakui bahwa Allah yang tak terbatas berkenan memasuki hidup manusia
yang serba terbatas, menyapa manusia dan memanggilnya. Iman berarti jawaban atas
panggilan Allah, penyerahan pribadi kepada Allah yang menjumpai manusia secara pribadi.
Dalam iman manusia menyerahkan diri kepada Sang Pemberi hidup. Tetapi perlu disadari
bahwa manusia dari dirinya sendiri tak mungkin mengenal Allah. Umat kristiani mengenal
Allah secara pribadi sebagai Bapa, melalui Yesus. “Tidak seorangpun mengenal Bapa, selain
Anak dan orang yang kepadanya Anak berkenan menyatakan-Nya (Mat 11:27). Berkaitan
dengan ini Konsili Vatikan II menyatakan, “Supaya orang dapat beriman diperlukan rahmat
Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi dan
menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan memperyai kebenaran”
(DV 5)
Iman adalah penyerahan total kepada Allah yang menyatakan diri tidak karena
terpaksa, tetapi “dengan sukarela”. “Salah satu pokok yang amat penting dalam agama
Katolik, yang tercantum dalam Sabda Allah dan terus-menerus diwartakan oleh Bapa Gereja,
yakni manusia wajib secara suka rela menjawab Allah dengan beriman, maka dari itu tak
seorangpun boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman. Sebab pada
hakikatnya kita menyatakan iman kita dengan kehendak bebas, (Dignitatis Humanae/DH 10).
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat. Karena iman kita mengerti bahwa alam semesta ini telah
dijadikan oleh Allah (Ibr.11:1-3). Karena iman semua orang dibenarkan (Gal,2;16b; Rom,
3:28. 5:1). Karena iman kita diselamatkan (2Tim, 3 :15). Oleh iman akan Kristus, kita
memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam kebahagiaan yang ditentukan
untuk orang-orang yang dikuduskan (Kis,26:18b). Guna menjaga khazanah iman, Gereja
merumuskan pokok-pokok iman yang tertuang dalam Syahadat. Tetapi sekarang kita
memiliki iman yang sempurna, jika tidak mempunyai kasih, kita sama sekali tidak berguna
(1Kor, 13: 2b). Maka iman harus diamalkan dalam kasih. Dan hukum kasih telah diberikan
oleh Yesus sendiri (Mrk, 12: 30-31). Iman dan kasih harus diamalkan secara nyata dalam
perbuatan, karena iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong (Yak, 2:17). Beberapa
pedoman hidup Kristen selain Kitab Suci, seperti; Syahadat Para Rasul (Credo), Hukum
Kasih, Sabda Bahagia, Sepuluh Perintah Allah, Lima Perintah Gereja, dan sebagainya dapat
menjadi sarana kongrit mengamalkan iman dan kasih dalam perbuatan.
4.3. Makna Agama dalam Kehidupan
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan tentang arti agama, dan bagaimana manusia
menjadi beragama. Pada bagian ini persoalan yang mau dijawab adalah adakah makna dan
fungsi agama bagi kehidupan manusia. Jika agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian
mengapa masih saja terjadi konflik antar umat beragama.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pemaparan di atas, peran terbesar agama adalah
mengarahkan perhatian manusia kepada masalah substansial hidupnya yaitu apa arti dan
makna hidup. Manusia sebagai makhluk yang tidak pernah puas itu selalu mencari akan
makna dan arah serta tujuan hidupnya. Sampai akhirnya manusia menyadari bahwa ada kuasa
tertinggi/ilahi yang menguasai hidup dan alam semesta ini sebagai sumber dan tujuan
hidupnya. Disinilah agama memainkan perannya. Agama adalah ungkapan hubungan
manusia dengan Yang Ilahi, yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hubungannya dengan
diri sendiri, dengan sesama dan dengan dunia. Di dalam hidupnya manusia mengalami
hubungan-hubungan dasar: hubungan itu adalah hubungan dengan Yang Ilahi yang
didalamnya dikenal sebagai Pencipta atau sebagai Hakim atau sebagai Yang Maha Kuasa.
Dari pelbagai agama, manusia mengharapkan jawaban tentang teka-teki keadaan manusiawi
secara mendalam: Apakah manusia itu? Manakah makna dan tujuan hidup kita? Manakah
yang baik dan apakah dosa itu? Dari manakah asal penderitaan dan manakah tujuannya?
Manakah jalan untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati? Akhirnya, apakah misteri
terakhir dan tak terperikan itu, yang merangkum keberadaan kita, dan menjadi asal serta
tujuan kita? Agama mampu memberikan jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan
eksistensial manusia. Karena itu agama menjadi sangat dibutuhkan oleh manusia, karenanya
ia mampu memberikan jawaban sekaligus inspirasi bagi terwujudnya kehidupan yang
diinginkan manusia. Agama merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Permasalahan agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Agama telah
menjadi bagian dan seharusnya dimiliki setiap manusia.
Agama meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi
eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem
hidup manusia yang berat. Agama menjadi sebuah tatanan Tuhan yang dapat membimbing
Manusia yang berakal untuk berusaha mencari kebahagiaan hidup di dunia ini dan dunia
kehidupan selanjutnya. Agama mengajarkan para penganutnya untuk mengatur hidupnya agar
mendapatkan kebahagiaan untuk dirinya maupun masyarakan sekitarnya, selain itu sebagai
pembuka jalan kepada sang Pencipta manusia, Tuhan yang Maha Esa ketika telah mati.
Jadi jelas agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa agama
merupakan pedoman hidup bagi manusia. Itulah makna dari agama bagi kehidupan manusia.
Agama mempunyai makna dan perannya bagi kehidupan manusia. Agama ialah sistem norma
yang mengatur manusia dengan yang lainnya, sebuah sistem nilai yang memuat norma-noma
tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku.
4.4. Dialog Agama
Tema dialog agama dalam konteks Indonesia yang notabene sangat plural merupakan
suatu hal yang tak terelakkan. Akhir-akhir ini di tengah maraknya konflik antar umat
beragama dialog agama sangat relevan untuk ditawarkan sebagai salah satu solusi guna
membentuk kerukunan dan perdamaian. Pada bagian ini akan dibahas bagaimana hubungan
Gereja Katolik dengan saudara-saudari beriman dan beragama lain. Sebelumnya mari kita
lihat lebih dahulu apa arti dari istilah dialog. Dalam Dialogue and Proclamation 9/DP
(dokumen Sekretariat untuk dialog antar agama) dibedakan tiga macam arti dialog. Arti
pertama dalam tingkat manusiawi sehari-hari, sebagai komunikasi timbale balik. Tujuan
komunikasi ini dapat berupa sekedar saling tukar informasi, atau untuk meraih kesepakatan,
atau menjalin persatuan dan seterusnya. Arti kedua lebih dimaksudkan dalam kaitannya
dengan tugas evangelisasi yang harus dijalankan dalam semangat dialogal. Dialog dalam arti
ini, dipahami sebagai sikap hormat, penuh persahabatan, ramah, terbuka, suka mendengarkan
orang lain. Arti ketiga merupakan arti khusus (sekaligus yang dimaksudkan dalam
pembahasan selanjutnya).
Dialog memaksudkan hubungan antarumat beragama yang positif dan konstruktif.
Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan dengan pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat dari
agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya (dialogue
and mission DM 3), dalam ketaatan kepada kebenaan dan hormat terhadap kebebasan. Juga
termasuk didalamnya kesaksian dan pendalaman keyakinan keagamaan masing-masing. Jadi
dialog yang sebenarnya dijalankan dalam lingkup kebenaran dan kebebasan, dan tidak
membuntu pencarian terhadapnya. Sebab dialog yang sejati tidak hanya memajukan
kerjasama dan sikapp terbuka, melainkan juga memurnikan dan mendorong menggapai
kebenaran dan kehidupan, kesucian, keadilan, kasih, dan perdamaian serta aneka dimensi dari
Kerajaan Allah (bdk DP 80).
Prestasi gemilang Konsili Vatikan II ialah pembaharuan pandangan mengenai Gereja
dari “Institusi keselamatan” kepada Sakramen keselamatan”. Gereja sebagai sakramen
keselamtan memaksudkan demikian: Gereja hadir sebagai tanda sekaligus sarana yang
mewujudkan kesatuan mesra manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia
(LG1). Dalam pengertian ini keselamatan dilukiskan tidak pada institusi Gereja, melainkan
pada “kesatuan manusia dengan Allah” dan “persatuan umat manusia” yang ditampilkan oleh
umat Allah (LG 9). Pandangan di atas memberikan arus perkembangan positif dalam hidup
Gereja. Gereja melangkah lebih maju, menggalang dialog interreligius untuk bersama-sama
mewujudkan kesatuan umat manusia dengan Allah dan persatuan antarmanusia.
Konsili Vatikan II (1962 – 1965) dengan jelas menolak cara hidup menggereja yang
tertutup (eksklusif). Gereja memahami jatidirinya sebagai umat yang terbuka (inklusif).
Gereja Katolik mau terbuka terhadap saudara-saudari seiman di dalam Tuhan Yesus Kristus,
dan juga terhadap mereka yang tidak beragama Kristiani. Ajaran tradisional mengenai adanya
keselamatan di luar Gereja ditegaskan kembali dalam Lumen Gentium (konstitusi dogmatis
mengenai Gereja), yang menyatakan bahwa “Penyelenggaraan ilahi tidak menarik kembali
bantuan yang perlu untuk keselamatan dari mereka yang bukan karena kesalahannya sendiri
belum sampai mengakui Allah secara eksplisit dan berusaha menempuh jalan yang benar
dengan pertolongan rahmat ilahi” (LG 16).
Pandangan Lumen Gentium tersebut diulangi lagi oleh dekrit Ad Gentes (dekrit
tentang kegiatan misioner Gereja) dengan menyatakan bahwa rencana Allah untuk
menyelamatkan semua orang tidaklah dilaksanakan hanya secara rahasia dalam batin
manusia, tidak pula melulu usaha-usaha – termasuk usaha-usaha religius – di mana mereka
melalui bermacam-macam cara mencari Allah dengan berusaha menyentuh dan menemukan
Dia, meski memang Dia tidak jauh dari kita masing-masing. Dekrit Ad Gentes mengakui
kehadiran Rahmat Allah di antara bangsa-bangsa dan mengajak orang-orang kristiani untuk
mengenal baik-baik tradisi-tradisi religius bangsa mereka dan dengan gembira serta hormat
menemukan benih-benih Firman yang tersembunyi dalam tradisi-tradisi tersebut. (Coba Anda
baca mengenai Agama-agama Asli yang dianut oleh bangsa kita, sebelum agama-agama yang
kita kenal sekarang ini ada di negara kita, misalnya Anismisme dan Dinamisme dll).
Deklarasi Nostra Aetate/NA (pernyataan tentang hubungan Gereja dengan saudara-
saudari bukan kristiani) mengatakan bahwa Gereja tidak menolak apa saja yang benar dan
suci dalam agama-agama lain. Dengan hormat yang tulus Gereja menghargai tingkah laku
dan cara hidup, peraturan-peratuan dan ajaran-ajaran agama tersebut. Meskipun dalam
banyak hal khusus berbeda dari iman dan pengajaran Gereja, namun kerap kali memantulkan
cahaya kebenaran yang menerangi sekalian orang. Yang diharapkan oleh konsili adalah
“mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan melindungi bagi memajukan bersama-
sama keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua orang,”
(Nostra Aetate/NA 2).
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas dan lengkap mengenai sikap Gereja
Katolik terhadap saudara-saudari non kristiani, berikut ini kutipan dari Nostra Aetate/NA 2
dan 3: “Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini di antara pelbagai bangsa terdapat suatu
kesadaran tentang daya kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan
peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan terhadap Kuasa
Ilahi yang tertinggi atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan
bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama, yang
terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi (teka-
teki keadaan manusiawi yang tersembunyi) dengan paham-paham yang lebih rumit dan
bahasa yang lebih terkembangkan.
Demikianlah dalam Hinduisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkan
dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usaha-usaha filsafah yang
mendalam. Hinduisme mencari pembebasan dari kesesakan keadaan kita, entah melalui
bentuk-bentuk hidup berubah-ubah atau melalui permenungan yang mendalam, atau dengan
mengungsi kepada Allah penuh kasih dan kepercayaan. Budhisme dalam pelbagai alirannya
mengakui bahwa dunia yang serba berubah ini sama sekali tidak mencukupi, dan
mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan
memperoleh keadaan kebebasan yang sempurna, atau –entah dengan usaha sendiri entah
berkat bantuan dari atas– mencapai penerangan yang tertinggi. Demikian pula agama-
agama lain, yang terdapat di seluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi
kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta
kaidah-kaidah hidup mapun upacara-upacara suci.
Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan
suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup,
kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang
diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang
menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan
Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup “, (Yoh 14:6; dalam Dia manusia menemukan
kepenuhan hidup keagaamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan
diri-Nya.
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih,
melalui dialog, kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi
kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan
harta kekayaan orhani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka”,
(NA 2).
“Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup
berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda
kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati
kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperi dahulu Abraham –iman
Islam dengan suka rela mengacu kepadanya– telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang
mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi.
Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu
dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila
Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung
tinggi kehidupan susila dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi
sedekah dan puasa.
Memang benar, di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan
permusuhan antara umat kristiani dan kaum muslimin. Konsili suci mendorong mereka
semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling
memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi
semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan “, (NA 3).
Gereja mengakui bahwa Roh Kudus hadir dan berkarya dalam situasi konkret
penghayatan hidup religius mereka (lih. Gaudium et Spes/konstitusi pastoral mengenai
Gereja dalam terang dunia modern). Roh Kudus tidak hanya berkarya di dalam Gereja,
melainkan juga berkarya di luar Gereja. Melalui wafat dan kebangkitan Yesus, Roh yang satu
dan sama dengan Roh yang memenuhi Yesus, dianugerahkan kepada manusia. Roh itu hadir
dan berkarya dalam Gereja, tetapi karya Roh “lebih luas” daripada Gereja sebagai kenyataan
manusiawi yang terbatas. Gereja tidak mempunyai monopoli anugerah Roh kudus. Itulah
sebabnya Gereja tidak dapat, tetapi juga wajib menemukan karya Allah juga dalam
komunitas-komunitas iman dan jemaat-jemaat lain. Pengakuan Gereja bahwa ada Roh Kudus
yang berkarya bagi semua orang, merupakan dasar untuk menjalin komunikasi/dialog dengan
mereka yang beriman dan beragama nonkristiani. Pengaruh Roh Kudus tidak hanya meliputi
ungkapan-ungkapan religius, melainkan juga usaha-usaha dalam bermacam-macam bidang
kegiatan manusia menuju persaudaraan semua orang. Banyak nilai yang diwartakan Injil juga
sedang diperjuangkan oleh dunia seperti keluhuran martabat manusia, persaudaraan dan
kebebasan.
Dalam Nostra Aetate artikel 1, Konsili memberikan pertanggungan jawab historis
sekaligus teologis mengapa Gereja berdialog. Dalam alasan historis, Gereja menyimak tanda-
tanda zaman bahwa dewasa ini umat manusia semakin disatukan satu sama lain. Mengenai
alasan telogis, Gereja menegaskan tiga hal: Pertama, tugas dan tanggung jawabnya sebagai
sakramen keselamatan harus memajukan persatuan dan kasih di antara umat manusia
berdasarkan kasih Sang Pencipta. Kedua, Gereja percaya bahwa bangsa-bangsa
sesungguhnya hanya membentuk satu kimunitas karena semuanya mempunyai asal dan
tujuan yang sama, yaitu Allah. Ketiga, umat manusia sendiri telah lama menantikan jawaban-
jawaban dari agama-agama atas aneka persoalan hidup yang mendasar seperti tentang
hakekat manusia, arti dan tujuan hidup, dan seterusnya. Alasan-alasan di tas menjadi dasar
perlunya mengapa Gereja harus membangun penghayatan iman yang dialogal.
Secara lebih konkret, membangun kerukunan antarumat beriman dan beragama dapat
digambarkan dalam 4 bentuk kegiatan dialog, yaitu: Dialog kehidupan. Dialog kehidupan
antarumat beriman dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, yang saling mengenal.
Dialog ini terjadi dalam kehidupan bersama sehari-hari, di mana orang-orang beriman yang
berbeda-beda mengalami situasi yang sama, suka dan duka, kecemasan dan pengharapan
bersama. Dari situlah muncul kepedulian bersama. Orang-orang yang hidup berdampingan
sebagai suatu komunitas menghadapi kebutuhan-kebutuhan bersama, misalnya kebutuhan air
bersih, lingkungan yang sehat, pendidikan yang cukup, sembako yang mencukupi dan lain-
lain. Komunitas yang sama mempunyai kepedulian bersama berhadapan dengan situasi yang
tidak adil yang merugikan sesamanya, entah iman dan agamanya apa. Dalam kehiduapn
sehari-hari dialog dapat tumbuh dan berkembang, karena di dalam kehidupan itu muncul
kepedulian manusiawi bersama.
Dialog pengalaman religious. Melalui dialog pengalaman religius ini, umat yang beriman
dan beragama berbeda-beda berbagi pengalaman iman secara lebih mendalam (sharing).
Dengan kegiatan dialog ini umat satu sama lain dapat saling memperkaya penafsiran dan
penghayatan iman, saling mentransformasikan hidup imannya. Dialog ini perlu dilandasi
sikap jujur dan bebas untuk mengungkapkan pengalaman iman religiusnya. Apabila dialog ini
dapat berlangsung dengan baik, maka dilalog antarumat beriman dan beragama akan mampu
bersama-sama mencari dan menemukan kehendak ilahi dalam situasi hidup nyata yang
dialami dan dihadapi bersama.
Dialog teologis. Melalui dialog ini dapat dijalankan dengan macam-macam ungkapan atau
fungsi keagamaan. Bersama-sama dapat dijalankan analisis mengenai situasi dan kondisi
yang dialami bersama. Dan dapat pula diadakan kajian teologis, baik kajian secara ilmiah
maupun secara sederhana. Dalam dialog ini dapat pula dibicarakan ha-hal yang kadang-
kadang menimbulkan kecurigaan, misalnya muncul kristenisasi dan islamisasi. Perbedaan-
perbedaan teologis pun dapat dijadikan topik pembicaraan dalam dialog teologis ini. Yang
perlu diperhatikan dalam dialog ini adalah perdebatan harus dihindarkan kedua belah pihak
yang berdialog. Sebab, kalau terjadi perdebatan, maka dialog akan berubah menjadi berdebat
dan mempertahankan pendapatnya masing-masing, dan ini akan merusak dialog.
Dialog aksi. Dialog aksi ini bertujuan untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih adil,
lebih manusiawi. Melalui dialog ini banyak hal yang dapat dikerjakan secara bersama-sama,
yang dilandasi oleh keprihatian bersama. Perbuatan aksi ini merupakan cerminan atau
perwujudan iman atau kesaksian iman. Umat beriman terus-menerus memprjuangkan
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
Melalui proses dialog diharapkan terjadi pertobatan, yang mengandung kesadaran
akan dosa atau perbuatan yang telah dibuat, sekaligus mengimani belas kasih serta
pengampunan Allah. Dengan demikian menumbuhkan pengharapan baru dan menatap masa
depan yang terbuka. Dalam dialog perlu dikembangkan semangat mengampuni, berani
mengakui kesalahan dan meluruskan persepsi yang kurang tepat.
4.5 Kerukunan dan Dialog antar dan intern umat beragama
Dialog antar dan inter agama akhir-akhir ini semakin marak diselenggarakan. Hal ini
wajar mengingat banyaknya konflik yang tengah terjadi di masyarakat diduga bernuansa
keagamaan. Dalam masyarakat yang pluralistik untuk menciptakan kehidupan bersama antar
umat beragama yang rukun dan damai sangat perlu mengedepankan dialog interreligius.
Pemerintah juga sudah menyadari akan hal itu. Pemerintah menggiatkan sekaligus
memfasilitasi program kerukunan hidup antar dan inter umat beragama. Salah satu bentuk
yang diupayakan secara intensif oleh pemerintah adalah dialog antar dan inter umat
beragama. Melalui dialog antar dan inter umat beragama inilah umat beragama diajak untuk
tidak terjebak pada klaim kebenaran yang bersifat parsial tetapi juga memberikan akses
pemahaman terhadap ajaran agama selain yang dianutnya, sehingga segala bentuk
kesalahpahaman, antipati terhadap agama lain dapat diretas. Tetapi sampai saat ini
pengembangan komunikasi iman lewat dialog interreligius masih sebatas sopan santun
belaka. Dialog interreligius digalang, tetapi sering hanya untuk mencegah kerugian,
ketersinggungan satu sama lain. Gerakan ekumenis juga tidak lebih dari upaya kompromistis.
Komunikasi iman yang real dan konkret hingga melahirkan suatu bentuk penghayatan
dialogal yang membebaskan, belum sungguh-sungguh dijalin.
Gereja Katolik sangat serius dalam mewujudkan dialog iman inter dan antar umat
beragama. Penegasan Konsili Vatikan II mengenai sikap positif terhadap agama-agama lain
bersifat konkret tak hanya bersifat konseptual, melainkan diwujudkan dalam tindakan-
tindakan nyata. Untuk menjalin dialog dengan umat bukan Kristen, Tahta Suci mendirikan
Sekretariat untuk Umat bukan Kristen (SNC= Secretariat for Non Christians) pada tanggal 19
Mei 1964 oleh Paus Paulus VI. Kemudian berganti nama menjadi Sekretariat atau Dewan
Kepausan untuk Dialog Interreligius sejak 28 Juni tahun 1988 oleh Paus Yohanes Paulus II.
Dewan Kepausan untuk interreligius Dialog ini demikian penting peranannya dalam aktivitas
dialogal Gereja Katolik sehingga secara kreatif Dewan ini menyelenggarakan serial studi,
pertemuan, seminar yang mengukir kerja sama antaragama secara indah dengan terobosan-
terobosan baru.
Metodologi yang dipromosikan oleh Dewan Kepausan untuk Interreligius Dialog ini
dipondasikan pada keterlibatanGereja-Gereja lokal. Artinya, dialog bukan pertama-tama
perkara seminar atau pertemuan ilmiah, meliankan kebersamaan dalam solidaritas dan
keterlibatan yang dijalankan oleh umat dalam pengalaman hidup mereka sehari-hari.
Gagasan pokok Gereja tentang dialog dapat kita lihat dalam Ensiklik Ecclesiam Suam
(ES) (1964):Magna Charta Dialog. Disana ditemukan apa yang menjadi dasar dialog,
pertama, teladan Allah sendiri. Tindakan Allah menjadi dasar dan asal usul dialog. Wujud
rencana penyelamatan Allah lewat Putera-Nya merupakan dialog Allah kepada manusia (lih
Yoh 3:17). Penyataan diri Allah kepada manusia meminta jawaban dan keputusan manusia.
Maka tampak disini suatu proses dialog. Inisiatif pertama dialog berasal dari Allah. Gereja
sebagai penerus karya penyelamatan Sang Putera diminta meneladan tindakan Allah ini,
yakni menggalang dialog dengan dunia dan bangsa manusia. Kedua, dialog merupakan
sarana untuk melaksanakan tugas kerasulan dan seni pemberitaan rohani. Dalam hal ini
ditekankan bahwa dalam dialog harus ada kejelasan. Dialog pada dasarnya merupakan tukar
pikiran, karena itu apa yang hendak disampaikan harus jelas. Selain itu dalam dialog perlu
ada kelembutan hati dan kerendahan hati untuk saling mendengarkan. Hindari kecongkakan
hati, saling menyerang dan yang semacamnya. Terakhir dalam dialog perlu ada kepercayaan
dan kebijaksanaan. Kepercayaan menumbuhkan persahabatan yang semakin akrab.
Kebijaksanaan meneguhkan persahabatan dalam dialog.
Vatikan II secara keseluruhan mengungkapkan pembaharuan Gereja yang dialogal:
semua manusia dipanggil menjadi umat Allah yang baru, namun tidak selalu dalam cara yang
sama (Lumen Gentium), dari sebab itu Gereja membuka pintu bagi kerja sama dan dialog
dengan semua dan seluruh manusia untuk membangun dunia (Gaudium et Spes). Jadi perlu
disadari bahwa dialog tidak muncul karena oportunisme atau taktik sementara, melainkan
tumbuh atas dasar-dasar yang diperkuat oleh pengalaman dan refleksi. Artinya, dialog bukan
merupakan dan tidak dimaksudkan sebagai strategi karena jalan buntu pewartaan langsung.
Dia muncul atas dasar historis dan teologis. Dasar historis dialog interreligius ialah tumbunya
kesadaran baru bahwa pada kurun waktu dewasa ini umat manusia makin hari makin erat
dipersatukan dan hubungan antarbangsa makin ditingkatkan sebagai akibat dari kemajuan
teknologi bidang informasi. Dasar historis kedua, berkaitan dengan pengalaman hidup
konkret di tengah-tegah umat beriman lain. Karena hidup di tengah-tengah masyarakat
majemuk, tak mungkin bagi orang kristen mengambil jarak dari kesibukan sehari-hari
bersama umat lain. Dasar historis keempat adalah perkembangan kebudayaan. Kebudayaan
saat ini meminta peran yang semakin jelas dari agama-agama. Agama didesak untuk semakin
berpartisipasi dalam perubahan dan pembentukan budaya-budaya baru.
Dasar teologis dialog interreligius adalah pertama, penegasan peranan Gereja sebagai
sakramen keselamatan dalam meningkatkan kesatuan dan persatuan umat manusia harus
makin konkret. Kedua, keyakinan Gereja akanmisteri kesatuan manusia berakar pada Allah
yang sama sebagai asal usul sekaligus tujuan pengembaraan. Ketiga, pengakuan Gereja akan
peranan agama-agama yang semakin menampakkan kepentingannya dalam hidup manusia
(NA1). Dari uraian di atas nyata bahwa dialog merupakan sesuatu yang tak terelakkan oleh
Gereja. Dalam Redemptoris missio (RM) 55 dijelaskan bahwa dialog merupakan unsur
integral dalam keseluruhan tugas perutusan Gereja. Artinya dialog merupakan kesaksian
perutusan Gereja, bagian misi, pewartaan pertobatan, usaha membangun Kerajaan Allah,
tugas perutusan Gereja, dialog merupakan tanggung jawab gereja lokal dan keterlibatan
semua umat beriman. Bentuk-bentuk dialog yang dapat dilakukan adalah dialog kehidupan,
dialog karya, dialog pandangan teologis, dan dialog pengalaman keagamaan (dialog iman).
Tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam konteks Indonesia dialog interreligius ditekankan terutama soal kerukunan.
Dengan kerukunan, dimaksudkan keserasian dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, agar tercipta masyarakat beragama yang pancasilais dan masyarakat pancasila
yang beragama. Dalam situasi bangsa ini yang masih rawan dan peka berkaitan dengan
kehidupan beragama, dialog interreligius terasa menemukan kepentingannya yang mutlak
untuk terus diusahakan. Dan Gereja harus tetap menegaskan peranannya sebagai pendukung
utama gerakan-gerakan praksis dialog.
Gereja
Cara Hidup Gereja Perdana (Kis 2:41-17)
 Gereja dari kata igreja (Portugis), ecclesia (Latin), ekklesia (Yunani)
 Gereja artinya kumpulan atau pertemuan atau rapat bagi kelompok khusus.
 Ekklesia dalam bahasa Yunani dapat juga berarti memanggil.
 Maka Gereja dapat dimengerti sebagai umat yang dipanggil oleh Tuhan, dan
menanggapi panggilan itu.

A. Gereja: Umat Allah

Konsili Vatikan II menekankan bahwa Gereja bukanlah pertama-tama suatu organisasi


manusiawi melainkan perwujudan karya Allah konkret

Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan, yang sudah dimulai dengan panggilan
Abraham, berjalan terus, dan mencapai puncaknya dalam wafat dan kebangkitan Kristus serta
pengutusan Roh Kudus.

B. Gereja: Tubuh Kristus

1 Kor 12:13, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani,
baik budak, maupun orang merdeka, telah dibabtis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi
minum dari satu Roh”
Gambaran tubuh Kristus:
 kesatuan jemaat, kendati pun ada aneka karunia dan pelayanan
 kesatuan jemaat dengan Kristus, Kristuslah pemersatu jemaat. Kristus adalah ‘kepala’
Gereja

C. Gereja: Bait Roh Kudus


Bait Roh Kudus: tempat pertemuan dengan Allah, Dalam Perjanjian Baru itu adalah Kristus
(lih Yoh. 2:21; Rm 3:25).

Di dalam Gereja orang diajak mengambil bagian dalam kehidupan Allah Tritunggal sendiri.

Gereja itu Bait Allah bukan secara statis, melainkan dengan berpartisipasi dalam dinamika
kehidupan Allah sendiri.

Melalui perayaan liturgi umat beriman: “menjadi bait suci dalam Tuhan, menjadi kediaman
Allah dalam Roh, sampai mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus”
(SC 2).

D. Gereja: Misteri dan Sakramen

Kata misteri: mysterion (Yunani) sama dengan kata sacramentum (Latin).

Dalam Kitab Suci, kedua istilah itu dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang
disingkapkan kepada manusia.

Kata misteri dipakai terutama untuk menunjuk pada segi ilahi (tersembunyi) rencana dan
karya Allah
Kata sakramen lebih menunjuk pada aspek insani (tampak)
Jadi, Gereja disebut misteri, karena hidup ilahinya, yang masih tersembunyi dan hanya
dimengerti dalam iman. Gereja disebut sakramen, karena misteri Allah itu justru menjadi
tampak di dalam Gereja. Misteri dan sakramen adalah dua aspek dari satu kenyataan, yang
sekaligus ilahi dan insani, yang disebut Gereja.
Gereja adalah sakramen yang kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelematkan,
sakramen keselamatan bagi semua orang, yang menampilkan dan sekaligus yang
mewujudkan misteri cinta kasih terhadap manusia.

E. Gereja: Communio

Gereja sebagai communio (Yun. koinonia) artinya hubungan atau persekutuan (communio)
dengan Allah melalui Yesus Kristus dalam sakramen-sakremen.

Communio atau persekutuan Gereja merupakan hasil karya Roh Kudus di dalam umat
beriman.

Gereja sebagai communio:

 komunikasi di dalam Gereja Katolik antara Gereja setempat dan Gereja sedunia
 kedua, komunikasi keluar Gereja Katolik dalam hubungan dengan Gereja-gereja
kristen lain.
Gereja Katolik tidak tertutup untuk dirinya sendiri, tetapi juga mau berelasi/ berkomunikasi
dengan Gereja-gereja lain.

F. Gereja: Pesekutuan para Kudus (Communio sanctorum)

Gereja pertama-tama pesekutuan dalam iman, persekutuan dengan Yesus Kristus,


persekutuan Roh.
Komunikasi iman mengakibatkan suatu persekutuan rohani antara orang beriman sebagai
anggota satu Tubuh Kristus dan membuat mereka menjadi sehati sejiwa.

Sumber kesatuan Gereja adalah Roh Kudus, yang mempersatukan semua oleh rahmatNya.

Rumusan ‘persekutuan para kudus’ menegaskan bahwa kesatuan atau persekutuan di dalam
Gereja bukanlah yang lahiriah atau sosial saja.

Konsep ‘persekutuan para kudus’ berarti Gereja sebagai Umat Allah, Tubuh Kristus dan Bait
Roh Kudus.
TUGAS-TUGAS GEREJA

I. GEREJA YANG MENGUDUSKAN (LITURGIA)


Gereja memiliki imamat umum dan imamat jabatan dengan cara khasnya masing-masing
mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.
 Imamat Umum: melaksanakan tugas pengudusan antara lain dengan berdoa, menyambut
sakramen, memberi kesaksian hidup, melaksanakan cinta kasih secara aktif dan kreatif.
Ini dilakukan oleh semua umat.
 Imamat Jabatan: membentuk, memimpin umat, memberikan pelayanan sakramen. Ini
dilakukan oleh para Imam.
Allah adalah kudus dan senantiasa memanggil semua orang menuju kekudusan. Selain
bimbingan Allah, untuk mencapai kekudusan, semua umat perlu mengusahakannya. Ada
beberapa bentuk kegiatan untuk mewujudkan usaha tersebut, yaitu:
 Doa dan doa resmi gereja (liturgi)
 Perayaan sakramen-sakramen
 Perayaan sakramentali dan devosi

Penjelasan:
1. DOA DAN DOA RESMI GEREJA
1)      Arti Doa
Doa berarti berbicara atau berkomunikasi dengan Tuhan (curhat dengan Tuhan).
Dalam doa, kita dituntut untuk lebih mendengarkan daripada berbicara sebab
Firman Tuhan selalu menjadi pedoman yang menyelamatkan.
2)      Fungsi Doa
 Mengkomunikasikan diri kita kepada Tuhan
 Mempersatukan diri kita dengan Tuhan
 Mengungkapkan cinta, kepercayaan, harapan kita kepada Tuhan
 Menemukan makna yang baru dalam hidup, dan lain-lain
3)      Syarat dan cara berdoa yang baik
 Syarat doa yang baik
 Didoakan dengan hati
 Bertolak dari pengalaman hidup yang nyata
 Diungkapkan dengan rendah hati
 Cara-cara berdoa yang baik
 Berdoa secara batiniah (Matius 6: 5-6, Tetapi jika engkau berdoa,
masuklah ke dalam kamar, kuncilah pintu, dan berdoalah).
 Berdoa dengan cara yang sederhana dan jujur. (Matius 6: 7, Lagi pula
dalam doamu, janganlah kamu bertele-tele…)
4)     Doa Resmi Gereja
Doa resmi gereja disebut ibadat atau liturgi. Yang pokok bukan sifat resmi
melainkan kesatuan gereja dengan Kristus dalam doa, Liturgi adalah karya Kristus,
Imam Agung serta TubuhNya yaitu Gereja. Liturgi juga merupakan perayaan iman
di mana orang yang ikut dalam perayaan imam mengambil bagian dalam misteri
Kristus yang dirayakan. Doa resmi bukan sekedar mendaraskan rumus-rumus
hafalan melainkan mengarahkan hati kepada Tuhan. Yang berdoa bukan badan
melainkan hati.
Ibadat ini terdiri atas: ibadat pagi, ibadat siang, ibadat sore, ibadat malam dan ibadat
bacaan.
2. SAKRAMEN
1. Sakramen adalah lambang atau simbol
Dalam hidup sehari-hari kita menemukan banyak tanda. Bila kita hendak
mengungkapkan cinta, kita akan memberikan sekuntum mawar. Mawar
merupakan sebuah tanda untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak kelihatan
yaitu cinta. Begitupun sakramen. Sakramen merupakan tanda yang kelihatan
untuk menjelaskan sesuatu yang tidak kelihatan yaitu cinta dan karya Allah.
2. Sakramen mengungkapkan karya Tuhan yang menyelamatkan
Allah yang begitu mencintai manusia merupakan Allah yang tidak kelihatan.
Ia yang tidak kelihatan itu kemudian menampakkan diri dalam diri PuteraNya
Yesus. Yesus hadir dan menyapa kita dan kelihatan secara nyata. Melihat
Kristus berarti melihat Allah yang tidak kelihatan itu. Namun setelah
kebangkitanNya, Ia tidak kelihatan secara fisik. Yesus lalu hadir dalam
Gereja. Dengan demikian, gereja menampakkan Kristus. Sakramen-sakramen
yang kita terima adalah tangan Kristus yang menjamah, merangkul dan
menyembuhkan kita.
3. Sakramen meningkatkan dan menjamin mutu hidup kita sebagai orang Kristiani
Lewat sakramen, kualitas hidup seseorang semakin meningkat. Orang semakin dekat
dengan Tuhan. Perayaan sakramen merupakan PERTEMUAN antara Kristus dan kita.
Yang dituntut dari kita adalah sikap batin yakni kehendak baik untuk melaksanakan
apa yang Tuhan kehendaki.
4. Ketujuh Sakramen:
 Sakramen Baptis
 Sakramen Ekaristi/Komuni
 Sakramen Krisma
 Sakramen Tobat
 Sakramen Perkawinan
 Sakramen Imamat
 Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Sakramen Baptis, Ekaristi dan Krisma merupakan sakramen Inisiasi yaitu sakramen yang
harus diterima seseorang ketika masuk menjadi seorang Katolik. Sakramen Perkawinan dan
Imamat merupakan sakramen Panggilan di mana seseorang memilih pilihan hidupnya.
Sakramen Tobat dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit merupakan sakramen
Penyembuhan.
a)  Mengapa ada 7 sakramen:
 Angka 7 melambangkan kesempurnaan
 Melambangkan seluruh hidup manusia dari lahir hingga meninggal
b)  Makna dari masing-masing sakramen
a. Sakramen Baptis
Materi: Air
Forma/Ucapannya: Aku membaptis kamu, dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus
Maknanya:
 Membersihkan seseorang dari dosa asal
 Menerima seseorang sebagai anggota gereja
b. Sakramen Ekaristi/Komuni
Materi: Hosti dan Anggur lambang Tubuh dan Darah Kristus
Forma/Ucapannya:
 Terimalah dan makanlah, Inilah TubuhKu yang dikorbankan bagimu. Perbuatlah ini
sebagai kenangan akan Daku.
 Terimalah dan minumlah, Inilah DarahKu yang dikorbankan bagimu. Perbuatlah ini
sebagai kenangan akan Daku.
 Maknanya: Menyatukan diri kita dengan Kristus
c. Sakramen Krisma
 Materi: Minyak Krisma (dari minyak zaitun dicampur sejenis balsem)
 Forma/Ucapannya: “Semoga dimeterai oleh karunia Allah, Roh Kudus”.
Maknanya:
 Menandakan seseorang telah dewasa imannya
 Ia siap menjadi saksi Kristus lewat teladan hidupnya.
d. Sakramen Tobat
 Lewat perbuatan dosa, manusia memilih untuk memisahkan diri dari Allah dan hidup
menurut kehendaknya sendiri tanpa rahmat Allah.
 Akibat dosa, manusia kehilangan rahmat Allah yang pernah ia terima dalam sakramen
baptis. Ia tidak layak lagi disebut sebagai anak Allah. Selain itu, dosa ikut mengotori
kesucian Gereja Kristus. Relasi dengan sesama pun ikut rusak.
 Jika seseorang bertobat maka, ia pun berdamai kembali dengan Allah, Gereja, dan
sesama.
e. Sakramen Perkawinan
 Sakramen Perkawinan melambangkan persatuan Kristus dan gereja. Dengan
demikian, sifat perkawinan katolik adalah monogami (seorang perempuan dan
seorang laki-laki) dan tak terceraikan (tidak mengenal perceraian)
 Materi: Kitab Suci dan Cincin
f. Sakramen Tahbisan
Menjadi seorang imam merupakan panggilan khusus. Mereka dengan kemauan
pribadi memutuskan untuk hidup selibat atau tidak menikah demi kerajaan Allah.
Mereka juga menghayati 3 kaul yaitu:
 Kaul Kemurniaan: tidak menikah seumur hidup
 Kaul Ketaatan: taat terhadap Allah, taat terhadap aturan, taat terhadap pemimpin dan
taat terhadap komitmen/keputusan untuk tidak menikah.
 Kaul Kemiskinan: dengan kesadaran berkomitmen untuk hidup sederhana
g. Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Materi: Minyak Pengurapan Orang Sakit (dari minyak zaitun ditambah balsem)
Forma/Ucapannya: Peletakan tangan Romo di atas kepala orang sakit.
Maknanya:
 Menyatukan penderitaan dengan penderitaan Kristus
 Sebagai bekal rohani (viaticum)
 Menguatkan orang sakit
3.  SAKRAMENTALI
1)  Pengertian:
Tanda-tanda suci (berupa ibadat/upacara/pemberkatan) yang mirip dengan sakramen-
sakramen.
2)  Macam-macam Sakramentali:
 Pemberkatan: pemberkatan orang, benda/barang rohani, tempat, makanan.
Contoh: pemberkatan ibu hamil/anak, alat pertanian, alat transportasi, rumah, patung,
rosario
Ini merupakan pujian kepada Allah dan doa untuk memohon anugerahNya.
 Pemberkatan dalam arti tahbisan rendah: pentahbisan orang dan benda.
Contoh: pentahbisan lektor, katekis, diakon, misdinar, pemberkatan gereja/kapel, altar,
minyak suci, lonceng.
4. DEVOSI
1)      Pengertian:
Devosi berasal dari kata bahasa Latin, Devotio yang berarti penghormatan. Devosi adalah
bentuk-bentuk penghormatan/kebaktian khusus orang atau umat beriman kepada rahasia
kehidupan Yesus tertentu, misalnya hati Yesus yang Mahakudus, Sakramen Mahakudus.
Atau devosi juga bisa ditujukan kepada orang-orang kudus seperti devosi Santa Maria, devosi
kepada santo-santa pelindung.
2)      Tujuan Devosi
Devosi tidak bersifat paksaan melainkan sukarela. Devosi hendaknya bertujuan untuk
menguatkan iman kita kepada Allah dalam diri Yesus Kristus.
II. GEREJA YANG MEWARTAKAN (KERYGMA)
Ada 3 bentuk Sabda Allah dalam gereja yaitu:
1. Sabda/pewartaan para rasul sebagai daya yang membangun gereja
2. Sabda Allah dalam Kitab Suci sebagai kesaksian
3. Sabda Allah dalam pewartaan aktual gereja sepanjang zaman
Tiga bentuk sabda Allah di atas saling berhubungan satu sama lain.  Sabda Allah berawal dari
pengalaman para rasul ketika hidup bersama Yesus. Sesudah kenaikan Yesus, para rasul
mulai mewartakan kepada umat. Dari pewartaan para rasul itulah kemudian mulai ditulis.
Sabda Allah inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Gereja dalam pewartaan aktual gereja.
Tugas kita adalah mewartakan sabda Allah sebagaimana yang dilakukan para rasul dulu. Ada
dua pola pewartaan dalam mewartakan Sabda Allah yaitu:
1. Pewartaan verbal/kata-kata (kerygma)
2. Pewartaan dalam tindakan (martyria)
Penjelasan:
1. Pewartaan Verbal/kata-kata (kerygma)
Pewartaan verbal sebenarnya merupakan tanggung jawab para imam tetapi kita sebagai kaum
awam dituntut untuk turut serta dalam kegiatan pewartaan antara lain melalui:
 Kotbah atau homili: pewartaan yang berdasarkan perikope kitab suci. Kotbah
diwartakan dari mimbar. Meskipun terkesan satu arah (melulu dari yang berkotbah)
namun kotbah yang baik adalah komunikasi dua arah di mana pendengar juga
diaktifkan. Orang yang membawakan kotbah disebut pengkotbah.
 Pelajaran agama: proses pendampingan para guru agama kepada para siswa untuk
menemukan makna hidupnya dalam terang Kitab Suci.
 Katekese umat: kegiatan suatu kelompok umat di mana mereka aktif berkomunikasi
untuk menafsirkan hidup nyata dalam terang injil yang diharapkan berkelanjutan dengan
aksi nyata sehingga dapat membawa perubahan dalam masyarakat ke arah yang lebih
baik. Orang yang membawakan katekese disebut Katekis
 Pendalaman kitab suci: membaca dan merenungkan kitab suci. Bisa dilakukan dalam
keluarga, kelompok dan pada kesempatan khusus misalnya masa APP (prapaskah) atau
masa adven (sebelum Natal) dan bulan Kitab Suci (BKSN)
2.   Pewartaan dalam tindakan (Martyria)
Penjelasannya lihat tema tentang Gereja Yang Menjadi Saksi Kristus (Martyria)
Dalam mengaktualisasikan sabda Tuhan, ada dua tuntutan yang harus dipenuhi atau
diketahui oleh seorang pewarta sabda Allah yaitu:
a) Mendalami dan menghayati Sabda Tuhan
Orang tidak dapat mewartakan sabda Allah dengan baik kalau dia sendiri belum
mengenal, memahami dan melaksanakannya. Untuk itu, seorang pewarta harus
membekali diri dengan pengetahuan tentang kitab suci dengan mengikuti penataran
atau seminar.
b) Mengenal umat atau masyarakat konteksnya
Selain pengenalan tentang kitab suci, seorang pewarta juga dituntut mengenal konteks
atau masyarakat yang ada sehingga pewartaan kita sungguh menyentuh masyarakat
yang ada.
MAGISTERIUM DAN PARA PEWARTA SABDA
Magisterium gereja adalah kuasa mengajar dalam gereja. Magisterium gereja bertugas untuk
menafsir dan mengajarkan kitab suci kepada umat dan menjaga kesatuan iman dan ajaran
Kristus. Umat hanyalah menjalankan apa yang diwartakan oleh magisterium gereja. Salah
satu sifat dasar magisterium gereja adalah “TIDAK DAPAT SESAT”. Artinya ajaran mereka
senatiasa bersumber pada kuasa Roh Kudus. Magisterium gereja terdiri atas imam agung
(Paus) di Roma, kepala dewan para uskup selaku gembala umat.
III. GEREJA YANG MELAYANI (DIAKONIA)
 Gereja tidak pernah ada untuk dirinya sendiri, tetapi sebaliknya menjadi tanda dan saran bagi
dunia dan masyarakat. Gereja dipanggil untuk melayani sebagaimana Yesus sendiri datang
untuk melayani. Pada malam perjamuan terakhir, Yesus menunjukkan diriNya sebagai
seorang pelayan atau hamba dengan membasuh kaki para rasul. Sabda Yesus sendiri dalam
Markus bab 10: 45, “Anak manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk
melayani” mendapat perwujudan yang nyata. Santo Paulus melukiskan pengalaman Yesus ini
dengan mengatakan bahwa “Kristus telah mengambil rupa seorang Hamba” (Filipi, 2: 7).
Dengan demikian menjadi murid Yesus berarti harus meneladani Yesus dengan cara
MELAYANI.
Dasar Pelayanan dalam Gereja
Dasar pelayanan dalam gereja bertumpu pada semangat pelayanan Kristus sendiri.
“Barangsiapa menyatakan diri murid Kristus, ia wajib hidup sama seperti hidup
Kristus.” (I Yohanes bab 2: 6)
Ciri-Ciri Pelayanan Gereja
 Bersikap sebagai Pelayan
Dalam Markus bab 9: 35 dikatakan bahwa, “Jika seseorang ingin menjadi yang
terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari
semuanya.”
 Kesetiaan kepada Kristus sebagai Tuhan dan Guru
Gereja (kita) senantiasa menimbah kekuatan dari teladan Yesus sendiri sebagai nafas
hidup kita
 Option for the Poor.
Perhatian utama pelayanan gereja adalah orang-orang yang miskin namun tetap
memposisikan mereka sebagai subyek yang sederajat dan tetap menghormati harga
dirinya dan bukan mengobyekan mereka (memperlakukan seenaknya)
 Kerendahan Hati
Seperti Kristus, gereja pun hendaknya melihat diri sebagai hamba yang tak berguna
(Lukas 17: 10)
 Bentuk-Bentuk Pelayanan
Pelayanan gereja dapat bersifat KEDALAM dan KELUAR.
 Kedalam meliputi: pembangunan dan pengembangan jemaat atau umat itu sendiri
 Keluar meliputi: aspek-aspek kehidupan manusia baik di bidang pendidikan,
kebudayaan, kesejahteraan, politik maupun hukum
IV. GEREJA YANG MENJADI SAKSI KRISTUS (MARTYRIA)
Kata SAKSI memiliki dua arti:
 Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian
 Orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika
apabila diperlukan dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa
tersebut sungguh-sungguh terjadi.
Dari kedua arti di atas, kita dapat disimpulkan bahwa saksi selalu menunjuk pada
personal/pribadi seseorang yang mengetahui atau mengalami dan mampu memberikan
keterangan yang benar.
Dengan demikian, menjadi “Saksi Kristus” berarti:
 Menyampaikan atau menunjukkan apa yang dialami dan diketahui tentang Kristus
kepada orang lain
 Penyampaian, penghayatan atau pengalamannya itu dapat dilaksanakan melalui kata-
kata, sikap atau tindakan nyata (teladan hidup)
Menjadi saksi Kristus selalu mengandung resiko sebagaimana Sabda Yesus sendiri, “Kamu
akan dikucilkan bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu
akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah” (Yohanes 16: 2). Meskipun demikian,
banyak orang yang terinspirasi dari pengorbanan Yesus sendiri dan mengorbankan nyawanya
sebagai saksi Kristus atau Martir (martir berarti orang yang berkorban atau rela mati demi
menjadi saksi Kristus).
Martyria terbagi atas dua yaitu:
 Martyria Merah/Darah: orang yang rela menumpahkan darahnya demi memberi
kesaksian tentang imannya akan Tuhan.
Contoh: Uskup Romero yang tewas ditembak karena membela orang miskin di kota San
Salvator.Pater Maximilianus Kolbe yang rela mati dibunuh di kamp konsentrasi Nazi
Jerman demi menggantikan seorang bapak yang hendak dieksekusi. Santo Tarsisius
yang rela mati demi menyelamatkan hosti tubuh Kristus
 Martir Putih: orang yang rela berbuat apa saja termasuk menghadapi tantangan demi
memberi kesaksian tentang Tuhan. Orang seperti ini tidak perlu mati seperti martyria
merah/darah tetapi rela hidup seperti Kristus.
Contoh: Mother Teresa yang selama hidupnya melayani orang-orang miskin di Calcuta-
India Pater Damian yang selama hidupnya melayani orang-orang kusta yang dibuang di
pulai Molokai.
V. KOINONIA (PERSEKUTUAN)
Koinonia adalah bahasa Yunani, berasal dari kata “koin” yang berarti mengambil bagian.
Dalam perspektif biblis, koinonia diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (bdk. Kis.
2:41-42).  Koinonia dapat diidentikan dengan sebuah paguyuban dalam melaksanakan sabda
Tuhan. Suasana hidup dalam persekutuan tersebut ialah persekutuan hidup yang guyub dalam
arti hidup rukun dan damai. Dan suasana hidup seperti itulah yang digambarkan oleh Tuhan
Yesus dengan bersabda: “Saudara-saudaraKu ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah
dan melaksanakannya” (Luk 8:21).  Oleh karena itu dokumen Konsili Vatikan II pertama-
tama menggambarkan Gereja bukan sebagai suatu institusi duniawi melainkan sebagai suatu
persekutuan ataupun paguyuban umat beriman yang menerima dan meneruskan cahaya
Kristus yang diwujudkan dalam warna dasar perbuatan atau amal yang baik dan berguna bagi
sesama. Gereja sebagai sakramen yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan
dalam kesatuan dengan seluruh umat manusia dihantar kepada segala kebenaran,
dipersatukan dalam persekutuan serta pelayanan, dilengkapi dan dibimbing dengan aneka
karunia hierarkis dan karismatis serta disemarakkan dengan buah-buahNya. Demikianlah
seluruh Gereja tampak sebagai “Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera
dan Roh Kudus (LG art 4)”. Selanjutnya Gereja mendapat arti dalam diri umat beriman
Kristiani itu sendiri, di mana berkat sakramen Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus
terhimpun dalam persekutuan atau paguyuban menjadi satu umat Allah. Dengan cara mereka
sendiri, mereka ikut mengemban tri tugas Kristus di dunia ini sebagai imam, nabi dan rajawi
Kristus (LG art 31). Dari gambaran ini dapatlah dimengerti bahwa semua umat Kristiani
adalah umat Allah atau Gereja itu sendiri. Oleh karena itu setiap anggota dituntut untuk
berpartisipasi dalam persekutuan atau paguyuban sebagai bagian dari hidupnya sendiri.
Sebab, dengan demikian Gereja akan tetap hidup, terpikat dan berkembang dalam dunia
hingga keabadian.
Koinonia memiliki konotasi sebagai milik bersama atau bersolidaritas. Dalam terang Sabda
Tuhan syarat untuk membangun paguyuban Kristiani adalah orang-orang yang suka
mendengarkan Sabda Allah dan berusaha melaksanakannya. Pelaksanaan Sabda Allah dapat
berupa aktivitas pewartaan, liturgi, pelayanan, kesaksian dan berjuang untuk hidup dalam
semangat rukun-guyub dan aktif dalam melakukan solidaritas. Hal ini dapat digambarkan
secara gamblang dalam hidup seorang katekis atau seorang guru agama Katolik yang
bertugas untuk melaksanakan katekese atau mengajar agama di stasi atau sekolah.  Setiap hari
Minggu berpartisipasi aktif dalam perayaan Ekaristi, bersedia membantu pelayanan kepada
orang sakit dan sebagai warga setempat iapun wajib membangun hidup bersama yang rukun
dan guyub.
ANGGOTA GEREJA
1. Biarawan / Biarawati (Hidup Bakti)
Hidup bakti adalah suatu bentuk hidup yang mempersembahkan diri secara khsus
kepada Allah dengan mengucapkan kaul menurut nasihat-nasihat Injil, yaitu Kaul
Kemurnian, Kemiskinan, Ketaatan. Mereka mempersembahkan diri secara total
kepada Allah dan mencari kesempurnaan cinta kasih yang digerakkan oleh Roh
Kudus.

2. Kaum Awam
Kaum awam adalah semua orang kristen yang tidak termasuk dalam golongan
tertahbis dan biarawan biarawati, yaang adalah orang-orang yang yang dengan
pembaptisan menjadi anggota gereja dan dengan caranya sendiri mengambil bagian
dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja.
3. HIERARKI GEREJA TERDIRI DARI:
Hierarki adalah Pejabat Gereja yang mempunyai tugas memimpin dan
menggembalakan umat.
Fungsi Hierarki adalah menjalankan tugas gerejani yaitu tugas-tugas yang secara
langsung daan eksplisit menyangkut kehidupan beriman gereja, menjalankan tugas
kepemimpinan dalam komunikasi iman. HIrarki mempersatukan umat dalam iman
dengan petunjuk, nasihat dan Teladan.
 Paus. “Konsili Suci mengajarkan, bahwa atas penetapan ilahi, para uskup
menggantikan para rasul sebagai gembala Gereja” (Lumen Gentium 20). Lumen
Gentium adalah Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja.
 Uskup yaitu memimpin umat dalam kalangan pastoral keuskupan. Tugasnya
adalah tugas mengajar, tugas menguduskan, tugas menggembalakan umat.
 Imam merupakan “penolong dan organ para uskup” (Lumen Gentium 28)
Didalam Gereja Katolik ada imam diosesan (sebutan yang sering dipakai imam
praja) dan imam religius (ordo atau kongregasi).
 Diakon adalah pembantu Uskup dan Imam dalam pelayanan terhadap umat
beriman. Mereka ditahbiskan untuk mengambil bagian dalam imamat jabatan.
Karena tahbisannya ini, maka seorang diakon masuk dalam kalangan hirarki.
 Kardinal adalah merupakan gelar kehormatan. Kata “kardinal” berasal dari kata
Latin ”cardo” yang berarti “engsel”, dimana seorang Kardinal dipilih menjadi
asisten-asisten kunci dan penasehat dalam berbagai urusan gereja. Kardinal dapat
dipilih dari kalangan Imam ataupun Uskup.
Gereja adalah persekutuan yang semua anggotanya sungguh-sungguh sederajat
martabatnya, sederajat pula kegiatan umum dalam membangun Tubuh (mistik) Kristus.
GEREJA DAN DUNIA
a. Permasalahan apa yang dihadapi dunia saat ini?
1. PERANG
2. KEMISKINAN
3. KETIDAKADILAN SOSIAL
4. PERUSAKAN LINGKUNGAN
5. PENYALAHGUNAAN PERKEMBANGAN IPTEK
APA DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF IPTEK?
DAMPAK POSITIF IPTEK
 Tingkat peradaban manusia semakin maju
 Membantu manusia menyelesaikan masalah
 Membantu manusia mendekatkan diri dengan Tuhan
 Memperlancar komunikasi
 Memudahkan budaya sharing
DAMPAK NEGATIF IPTEK
 Mengakibatkan manusia menjadi egois dan sombong
 Munculnya budaya instan/jalan pintas
 Jika manusia mendewakan teknologi maka bisa menggeser peran Tuhan dalam hidup
 Mudahnya akses komunikasi dapat mengakibatkan kesalahpaham antar manusia
 Persoalan pribadi tercampur dengan masalah sosial, mengakibatkan harga diri
menjadi rendah.
B. Hubungan gereja dan dunia
Tokoh pembaharu mencetuskan konsili Vatikan II: Paus Yohanes XXIII “Membuka Jendela
Vatikan”
Dokumen hasil Konsili Vatikan II: GAUDIUM ET SPES (Kegembiraan dan harapan).
1. PANDANGAN GEREJA TENTANG DUNIA SEBELUM KONSILI VATIKAN II:
DUNIA DIPANDANG NEGATIF SEBAGAI TEMPAT BERDOSA, TIDAK
BERHARGA, BERBAHAYA, JAHAT DAN TIDAK TERMASUK LINGKUP
KESELAMATAN. (LIHAT 1 Yoh 2:15-16).
2. PANDANGAN GEREJA TENTANG DUNIA SETELAH KONSILI VATIKAN II:
a) DUNIA DILIHAT SEBAGAI SELURUH KELUARGA MANUSIA DENGAN
SEGALA YANG ADA DISEKELILINGNYA.
b) DUNIA MENJADI PENTAS BERLANGSUNGNYA SEJARAH UMAT MANUSIA
DUNIA DITANDAI OLEH USAHA-USAHA MANUSIA DENGAN SEGALA
KEKALAHAN DAN KEMENANGANNYA
c) DUNIA DIPELIHARA OLEH CINTA KASIH TUHAN
d) DUNIA YANG TELAH JATUH KE DALAM DOSA TELAH DIMERDEKAN
OLEH KRISTUS YANG TELAH DISALIBKAN DAN BANGKIT PULA UNTUK
MENGHANCURKAN KEKUASAAN SETAN AGAR DUNIA DAPAT KEMBALI
SESUAI RENCANA ALLAH DAN DAPAT MENCAPAI KESEMPURNAAN (GS
2).
B. MANUSIA
Apa yang diajarkan Gereja tentang manusia ?
1. MARTABAT MANUSIA
 MANUSIA SECITRA DENGAN ALLAH
 Manusia memiliki akal budi dam kehendak bebas dan hati nurani
 Manusia sebagai ciptaa yang paling istimewa.
2. MASYARAKAT MANUSIA
ALLAH MENGHENDAKI MANUSIA SEBAGAI SATU KELUARGA DAN
MEMPERLAKUKAN SEOANG AKAN YANG LAIN DENGAN JIWA
PERSAUDARAAN (GS 24)
3.USAHA ATAU KARYA MANUSIA
 MANUSIA DIPILIH SEBAGAI REKAN KERJA TUHAN UNTUK
MELAKSANAKAN PERKEMBANGAN DUNIA.
 USAHA DAN KARYA MANUSIA MEMPUNYAI NILAI YANG LUHUR.
 DENGAN BERKARYA MANUSIA MENYEMPURNAKAN BUMI DAN JUGA
MENYEMPURNAKAN DIRI SENDIRI.
2. Bagaimana HUBUNGAN ANTARA GEREJA DAN DUNIA?
A. GEREJA POSTKONSILIER:
 MELIHAT DIRINYA SEBAGAI SAKRAMEN KESELAMATAN BAGI DUNIA.
 GEREJA MENJADI TERANG, GARAM DAN RAGI BAGI DUNIA.
 DUNIA MENJADI TEMPAT ATAU LADANG GEREJA BERBAKTI.
 DUNIA TIDAK DIJAUHI MELAINKAN DIDATANGI UNTUK DITAWARI
KESELAMATAN.
B. DUNIA DIJADIKAN MITRA DIALOG:
GEREJA MENAWARKAN NILAI-NILAI INJILI DAN DUNIA DAPAT
MENGEMBANGAKAN KEBUDAYAANNYA, ADAT ISTIADAT, ALAM PIKIRAN,
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI, SEHINGGA GEREJA DAPAT LEBIH
EFEKTIF MENJALANKAN MISINYA DI DUNIA.
C. GEREJA TETAP MENGHORMATI OTONOMI DUNIA DENGAN SIFATNYA YANG
SEKULER,
KARENA DI DALAMNYA TERKANDUNG NILAI-NILAI YANG DAPAT
MENSEJAHTERAKAN MANUSIA DAN MEMBANGUN SENDI-SENDI KERAJAAN
ALLAH.
APA MISI DAN TUGAS GEREJA DI DUNIA?
Melanjutkan karya Yesus, mewartakan Kerajaan Allah kepada seluruh umat manusia.
APA MISI DAN TUGAS GEREJA DI DUNIA (menurut Gaudium Et Spes)?
1. DALAM KAITAN DENGAN MARTABAT MANUSIA
 Membebaskan martabat kodrat manusia dari segala perubahan paham (menekankan
dan mendewakan tubuh manusia)
 Menolak dengan tegas segala macam perbudakan dan pemerkosaan martabat dan
pribadi manusia.
 Menempatkan dan memperjuangkan martabata manusia sesuai dengan maksud
penciapta-Nya.
2. PERAN GEREJA DALAM MASYARAKAT
 Membangkitkan karya-karya yang melayani semua orang
 Mendorong semua usaha ke arah persatuan, sosialisasi dan persekutuan yang sehat di
bidang kewargaan dan ekonomi
 Karena universalitasnya, Gereja dapat menjadi pengantara yang baik antara
masyarakat dan negara-negara yang berbeda-beda budayanya dan politiknya.
3. DALAM KAITAN DENGAN USAHA DAN KARYA MANUSIA
 Gereja meyakinkan putra-putrinya dan dunia bahwa semua usaha manusia, betapapun
kecilnya bila sesuai dengan kehendak Allah mempunyai nilai yang sangat tinggi
karena merupakan sumbangan pada pelaksanaann rencana Tuhan.
 Gereja akan tetap positif dan mendorong setiap kemajuan ilmu dan teknologi di dunia
asal tidak menghalangi meliankan secara positif mengusahakan tercapainya tujuan
akhir manusia.
 Konsili vatikan II mencatat masalah-masalah yang mendesak, misalnya: martabat
pernikahan dan kehidupan keluarga, pengembangan kemajuan kebudayaan,
kehidupan sosial dan politik, perdamaian dan persatuan bangsa.
PERAN GEREJA DALAM MASALAH DUNIA
1. Gereja dan Perdamaian dunia
- menegakkan perdamaian (GS art 78)
- Damai hasil karya keadilan (Yes 32:17)
2. Gereja dan kaum miskin
Mengajak untuk memikirkan masalah sosial dan memperhatikan orang miskin (Sollicitudo
Rei Socialis)
3. Gereja dan penegakan keadilan
Adil berarti tidak berat sebelah, berpihak pada orang benar/berpegang pada kebenaran.
Bertindak Adil terhadap buruh: Rerum Novarum 1891
mengatur kembali tatanan sosial: Quadragesimo Anno
4. Gereja dan pelestarian keutuhan ciptaan
Keterlibatan dalam membangun dunia yang adil damai dan sejahtera
Dokumen: sollicitudo Rei Socialis art 34
1) menggunakan alam sewajarnya
2) memanfaatkan sumber alam dengan baik
3) mengingatkan akan pencemaran lingkungan
MASALAH BANGSA DAN SUMBANGAN GEREJA INDONESIA DALAM
PENANGANAN KRISIS MULTIDIMENSI
1. SITUASI NEGARA KITA
1) Krisis lingkungan hidup
 Eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab
 Kebakaran hutan menimbulkan dampak asap
 Penebangan hutan secara besar-besaran untuk alih fungsi lahan
 Pencemaran lingkungan oleh pabrik-pabrik
2. Krisis ekonomi
 Terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin
 Terjadi monopoli, kolusi, korupsi, nipotesme dll.
3. Krisis politik
 Lembaga-lembaga penjamin kebebasan kedaulatan rakyat tidak berjalan semestinta.
 Hukum dan lembaga hukum tidak berjalan baik.
 Kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif dan partai-partai yang ada hanya
mementingkan golongannya sendiri.
4.Krisis budaya dan pendidikan:
Dampak pendekatan pembangunan ekonomi dan politik, melupakan peran kebudayaan
berdamapk pada kemorosotan budaya dan pendidikan.
2. AKAR DARI SEMUA MASALAH
Ketidakadilan: yang kaya dan berkuasa semakin berjaya, sedangkan yang miskin semakin
terpuruk
Ketidakjujuran: melahirkan korupsi dan nipotesme. Kemuniafikan dan formalisme masih
cukup terasa.
Tidak ada kesetiakawanan: keserakahan demi kepentingan diri sendiri dan golongan semakin
tinggi.
3. PERANAN DAN SUMBANGAN GEREJA
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS KENABIHAN:
GEREJA HARUS BERJUANG DENGAN BERBAGAI CARA SUPAYA KEADILAN,
KEJUJURAN DAN KESETIAKAWANAN PERLU TERUS DITEGAKKAN.
YESUS KRISTUS SUNGGUH ALLAH DAN SUNGGUH MANUSIA
Allah menciptakan manusia sebagai citraNya
Hal tersebut menegaskan bahwa dalam diri manusia terkandung dimensi kemanusiaan dan
dimensi keallahan
Dimensi kemanusiaan tampak dalam:
- ia diciptakan, lahir dari seorang ibu
- berjenis kelamin, dapat berpikir
- memiliki perasaan (gembira, sedih, kecewa)
- dapat sakit, mengalami kematian, dsb.
Dimensi keallahan tampak seperti:
- bisa mengasihi, bisa berdoa
- bisa mengampuni, dsb
Karena dibatasi kemanusiaannya, manusia tidak dapat sepenuhnya memancarkan dan
menghadirkan Allah
Karya penyelamatan Allah menggunakan keduanya, sehingga penyelamatan Allah bisa
dirasakan manusia secara sempurna
Hal tersebut dilaksanakan Allah dengan menjelma dalam manusia Yesus.
Ciri-ciri kemanusiaan adalah
- dikandung dan dilahirkan seorang ibu
- berjenis kelamin, membutuhkan makanan
- membutuhkan pakaian, rumah kasih sayang
- memiliki panca indra, dapat berpikir,
- merasa gembira, sedig, bimbang, dapat mati
Ciri-ciri ke-Allahan adalah
- keabadian
- sifat Allah: kasih sayang, pengampunan, dsb.
Allah menjelma menjadi manusia karena Dia solider dengan kehidupan manusia
Dia ingin mengalami suka duka yang dirasakan manusia
Dia ingin bergaul dengan manusia dan mewartakan keselamatan bagi mereka
Kemanusiaan Yesus:
- lahir dari rahim Maria, bisa marah, takut
- Ia adalah warga masyarakat, bisa sedih, letih
- Ia seorang laki-laki, punya nenek moyang
Yesus adalah Allah:
- ketika lahir, bala tentara surga hadir
- melakukan mukjizat penggandaan roti
- menyembuhkan orang buta
- mengalami kebangkitan
- Ia naik ke surga
Dengan memahami tentang Yesus yang sungguh manusia dan sungguh Allah, kita dipanggil
untuk meneladani cinta-Nya
Perkawinan
“Keluarga Sebagai Panggilan”
1. Hakikat Perkawinan
Hakikat berarti kebenaran, kenyataan
Hakikat Perkawinan:
 Sakramen: ‘tanda dan sarana keselamatan’ bagi suami isteri.
 bersifat monogami, kekal dimana tidak dapat diceraikan oleh manusia
 sifat unitas/sejoli
 tanda cinta Allah dengan manusia.
2. Sifat Monogami
 Tidak terceraikan
 Monogami
3. Tujuan Perkawinan
Tujuan pokok hidup kita di dunia, dengan segala permasalahannya adalah kita berbahagia.
Maka dapat kita simpulkan bahwa tujuan pokok perkawinan – sebagai salah satu segi hidup
duniawi manusia – adalah kebahagiaan. Orang menikah untuk apa? Pada pokoknya untuk
berbahagia.
Unsur-unsur hakiki dan tujuan perkawinan
Apa saja unsur-unsur hakiki dan tujuan perkawinan? Kanon 1055§1 menyatakan perkawinan
terarah pada dua tujuan: “dari kodratnya perkawinan terarah pada kesejahteraan suami-isteri
(bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis)”.
4. Halangan-halangan perkawinan Katolik
 Halangan-halangan perkawinan Katolik adalah halhal yang membuat perkawinan
menjadi tidak sah atau menggagalkan sebuah perkawinan.
 Halangan tersebut berkaitan dengan hukum ilahi dan hukum Gereja.
 Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi,
sedangkan halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi
oleh Ordinaris Wilayah.
4.1. halangan dari hukum ilahi
Halangan dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum kodrat
yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya dalam hakikat dan
martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan
(hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang
mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam Kitab Hukum Kanonik
(KHK) adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075).
Halangan dari hukum ilahi
 Impotensi seksual yang bersifat tetap (kan. 1084)
 ikatan perkawinan sebelumnya (kan. 1085) 
 hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kan. 1091 §1)
Halangan dari hukum gerejawi.
Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja untuk
menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang
bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya sendiri
dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (kan.
114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu setiap orang
mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiwa adalah norma hukum tertinggi
(kan. 1752).
Halangan dari hukum gerejawi
Halangan yang berasal dari perkawinan itu sendiri

1. Halangan umur (kan. 1083)


2. Halangan impotensi seksual yang bersifat tetap (kan. 1084)
3. Ikatan perkawinan (kan. 1085)
Halangan berdasarkan hal agama
1. Agama yang berbeda (kan. 1086)
2. Tahbisan Suci (kan. 1087)
3. Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (kan. 1088)
Halangan yang Muncul dari Dosa Berat
1. Penculikan (kan. 1089)
2. Pembunuhan pasangan/kriminal (kan. 1090)
3. Kelayakan publik (kan. 1093)
Halangan Nikah Berdasarkan Hubungan Persaudaraan
1. Hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kan. 1091 §1) dan
garis menyamping (kan. 1091 §2)
2. Hubungan ipar/semenda (kan. 1092)
3. Halangan adopsi atau pertalian hukum (kan. 1094)
5. Spiritualitas Perkawinan
Spiritualitas
kata ini berarti kehidupan rohani yang menyanggupkan orang menghayati dan mengamalkan
imannya.
pasutri harus bersungguh-sungguh memberi kesaksian hidup, menjadi sakramen, tanda
keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam keluarga, diciptakan damai, sukacita,
pengampunan, cinta kasih, kerelaan berkurban
1. 6. Tantangan Hidup Berkeluarga Masa Kini
Relasi dan Komunikasi dalam keluarga

2. Ekonomi Rumah Tangga


3. Pembinaan iman dalam keluarga
4. Kekerasan dalam rumah tangga
5. Kesetiaan suami-isteri
Masalah khusus
 tidak punya anak;
 impotensi;
 usia suami istri beda jauh;
 domisili suami istri berjauhan;
 ikut mertua;
 kawin campur;
 kesenjangan pendidikan suami istri
Panggilan dasar keluarga katolik adalah menyambut dan mencintai kehidupan, menjadi
pendidik utama dan pertama, terlibat dalam misi pewartaan, terlibat aktif dalam hidup
bermasyarakat.
Tantangan hidup berkeluarga dan solusinya: tantangan dalam membangun keluarga pada
zaman sekarang dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal
dan eksternal.
Tantangan Internal
Yang dimaksud dengan tantangan internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi
pasutri, yakni menyangkut kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis,
emosional, spiritual, maupun moral.
Tantangan Eksternal
Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi
pihak ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:
a. Mentalitas materialistis;
b. Hedonisme
c. Pola hidup yang sangat konsumtif
 Individualisme
 Kesibukan mengejar karier
 Kesibukan antara suami-istri;
 Ketidaksetiaan
Solusi yang dapat ditawarkan
dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga dianjurkan terus-menerus
membangun sikap saling mengampuni. Usaha pemulihan hidup bersama harus terus
diperjuangkan terlebih untuk mengatasi bahaya perceraian dalam hidup perkawinan, kasus
perpisahan dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).
Solusi
Untuk membangun satu kebersamaan, perlu kejujuran dan keterbukaan, menciptakan
komunikasi, saling memercayai, semangat berkorban, kesediaan untuk mendengarkan,
pengosongan diri, kerendahan hati, kesetiaan, saling mengampuni, saling melayani, saling
meneguhkan, saling menjaga nama baik.
 Gereja Katolik meyakini hidup berkeluarga sebagai panggilan atas titah Tuhan sebagaimana
dalam Kitab Kejadian (Kej: 1: 26-29).
Kej: 1: 26-29
Tuhan menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan maksudnya, sebagai partner
terhadap sesamanya. Sebagai partner berarti laki-laki dan perempuan itu memang berbeda
secara biologis maupun psikologis, namun dengan perbedaan itu bisa saling melengkapi dan
membutuhkan satu sama lain.
Gaudium et Spes (GS 52)
Keluarga adalah tempat pembentukan manusia atau lebih tepat memanusiakan manusia.
Dalam lingkungan keluarga, semua anggota mulai kanak-kanak sampai kakek-nenek
berkembang dengan saling membantu perkembangan pribadi anggota lain dalam hubungan
erat satu sama lain (GS 52).
Keluarga & Masyarakat
Kesejahteraan keluarga dan kesejahteraan pribadi tiap-tiap orang di dalam masyarakat pada
umumnya sangat erat hubungannya. Bahkan keselamatan keluarga seringkali merupakan
keselamatan masyarakat.
Yohanes Paulus II: Familiaris Consortio, art. 16
Keluarga adalah pendidik utama. Tetapi pendidikan yang dapat dilaksanakan oleh orang tua
adalah keteladanan dan sikap termasuk cara berpikir, sopan santun, devosi, iman, dsb. Anak
akan merasakan bahwa pendidikan yang baik justru dengan mengalami bahwa bapak dan
ibunya baik, rukun, saling memperhatikan, ramah dan sopan, dsb.
Yang juga sangat penting dalam membina keluarga ialah kejujuran atau kewajaran. Ada sikap
terbuka. Open management: membuat rencana atau pembagian kerja, tata tertib keluarga dan
anggaran belanja bersama. Saling mencoba memahami watak, latar belakang, hobi,
kegemaran, ambisi dan tugas masing-masing anggota keluarga.
Keluarga katolik adalah persekutuan anggota sebagai komunitas pribadi-pribadi berdasarkan
persaudaraan dan iman. Imanlah yang menentukan warna Gereja. Maka dalam keluarga
katolik yang pertama-tama harus ada ialah iman untuk menghangatkan semangat kristiani di
dalamnya, yaitu semangat pengabdian dan saling melayani.
Peneguhan
Berbagai persoalan, terutama persoalan ekonomi rumah tangga yang berdampak pada ketidak
harmonisan keluarga: masalah ekonomi atau secara konkritnya masalah uang.
Uang
Uang merupakan sarana penting dalam kehidupan. Uang adalah alat yang digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga. Namun, uang dapat juga menjadi sarana komunikasi cinta
yang efektif antara suami dan isteri juga antara orangtua dan anak.
Keluarga Kristiani yang mandiri
 Dalam konteks membangun keluarga kristiani yang mandiri, perencanaan ekonomi
keluarga menjadi sebuah hal yang mutlak.
 diperlukan kebijaksanaan dan keberanian dalam bersikap agar keluarga mampu
mandiri secara ekonomis.

Peluang Usaha & Talenta


 peluang usaha yang dapat dilakukan.
 mencari alternatif-alternatif baru dalam berusaha mengembangkan ekonomi
keluarganya.
 Allah memberikan talenta kepada setiap orang untuk dikembangkan

Keluarga merupakan tempat:


 “sekolah” utama dalam mengembangkan kepribadian manusia.
 tempat dan ruang utama dalam membangun relasi kasih sejak dini
 menjadi tempat kebersamaan
 Tempat membangun hubungan sosial yang meluas, yang ditandai oleh sikap saling
rnenghargai, saling menghormati dan saling melengkapi dalam keadilan dan
perdamaian.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


 Keluarga dan budaya saat ini: pendidikan nilai injili.
 Keluarga dalam konteks hubungan kasih suami-isteri dan anak-anak.
 Keluarga dalam kerjasama meluas dengan lembaga agama dan pemerintahan.
 Keluarga dan pendidikan anak-anak, termasuk pendidikan seksualitas.
 Keluarga dan pendidikan serta pengembangan sosial ekonomi.
 Keluarga dan persiapan perkawinan, termasuk benih-benih panggilan khusus dalam
hidup Gereja.
 Keluarga dan karya amal kasih sosial dalam gereja dan masyarakat.
 Keluarga dan doa, termasuk keterlibatan dalam hidup menggereja.

AJARAN SOSIAL GEREJA

Ajaran Sosial Gereja pada dasarnya berbicara tentang hak dan kewajiban berbagai anggota
masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional
maupun internasional. Gereja, dalam hal ini diwakili oleh Paus, tidak hanya mengajarkan
masalah-masalah iman dan kesusilaan, tetapi juga masalah-masalah yang berkaitan dengan
kehidupan social, ekonomi dan politik.
Ajaran social gereja didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa: ”Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja
yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga. Tiada sesuatupun yang sungguh manusiawi, yang tidak bergema di hati
mereka”. (Gaudium et Spes, art.1).
Sebab, ”Dengan mengabaikan tugas kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalikan
tugas kewajibannya terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan
membahayakan keselamatan kekalnya”.( GS art. 43 ).
Ajaran-ajaran ini dirangkum dalam ajaran social Gereja. Ajaran social Gereja terumus dalam
ensiklik-ensiklik (surat edaran) para Paus. Melalui ensiklik-ensiklik yang memuat ajaran
social Gereja, Paus sebagai wakil Gereja mau mengungkapkan sikap Gereja terhadap
masalah-masalah social, ekonomi dan politik sejak munculnya masalah social pada awal abad
19.
Secara garis besar, ajaran social Gereja membahas 4 tema besar yang berpusat pada masalah
pokok tentang keadilan, yang sampai saat kini terus kita hadapi, dengan tujuan agar:
1. Kerja dihargai dan agar semua orang dapat memperoleh
nafkah yang wajar.
2. Hidup masyarakat dan negara ditata secara demokratis dan social.
3. Mengatasi kesenjangan antara hidup dalam kelimpahan dan kemiskinan yang ekstrim
( kesenjangan antara kaya – miskin ).
4. Mengakhiri penindasan dan memajukan pembebasan.

B. ENSIKLIK-ENSIKLIK AJARAN SOSIAL GEREJA


1. Ensiklik Rerum Novarum (Keadaan baru / Mengenai Masalah-masalah Baru ):
Oleh: Paus Leo XIII pada tahun 1891.
Rerum Novarum adalah dokumen gerejawi pertama yang membahas masalah secara
menyeluruh seperti upah adil dan milik pribadi. Masalah social yang paling disoroti adalah
masalah buruh. Untuk mengatasi kemiskinan kaum buruh dan guna membebaskan mereka
dari penindasan, Paus Leo XIII melalui Rerum Novarum menyerukan agar:
a. Majikan-majikan tidak boleh memperlakukan para buruh sebagai budak. Majikan
wajib membayar upah yang adil, yang menjamin hidup layak para buruh.
b. Para buruh berhak bergabung dalam perserikatan buruh, supaya dapat mengemukakan
tuntutan mereka yang wajar dengan lebih tegas, dan mendesak pelaksanaannya
bahkan dengan jalan pemogokan.
b. Pemerintah wajib melindungi para buruh dari paham liberalis dan sosialis (yang
menghapuskan hak milik perorangan).
2. Ensiklik Quadrogesimo Anno ( Pada Ulang Tahun ke-40 ):
Oleh : Paus Pius XI pada tahun 1931.
Empat puluh tahun kemudian, 1931, Paus Pius XI mengolah kembali masalah-masalah social
yang berkaitan dengan buruh. Untuk menyelesaiakn masalah buruh, perlu ada pembaharuan
masyarakat. Di dalamnya Paus Leo XI menjelaskan kembali ajaran Leo XIII. Upah yang adil:
tidak setiap kontrak kerja dengan sendirinya adil, meskipun sudah disetujui oleh
buruh.Kontrak kerja antara pemilik modal, majikan dan buruh baru dapat disebut adil apabila
ada kesepakatan mengenai upah yang adil dan kalau para buruh diberi kesempatan untuk ikut
menentukan arah kebijakan perusahaan.
Menurut ensiklik ini, upah harus mencukupi kebutuhan buruh sendiri dan
keluarganya, kebutuhan material, seperti makan dan kesehatan, maupun kebutuhan budaya
seperti pendidikan dan rekreasi.
3. Ensiklik Mater et Magistra ( Ibu dan Guru ):
Oleh: Paus Yohanes XXIII pada tahun 1961.
Ensiklik ini hendak mengarahkan pandangan pada campur tangan negara dalam hal
memperhatikan orang-orang yang berkekurangan. Paus Yohanes XXIII mau membahas
perkembangan social dan pembangunan masyarakat dalam terang iman kristiani.
Menurutnya, yang menjadi cirri khas masyarakat moderen adalah “sosialisasi”, artinya bahwa
kini banyak orang terjaring dalam hubungan social yang makin meluas serta makin rumit dan
erat, makin banyak institusi social yang mengikat dan orang berada dalam kewajiban yang
majemuk. Ikatan social yang sungguh manusiawi mesti dijiwai oleh kasih yang selalu
menghargai masing-masing pribadi. Karena itu yang menjadi asas dasar setiap tata social
yakni: manusia adalah dasar, sebab dan tujuan segala lembaga social.
4.Ensiklik Pacem in Terris ( Damai di bumi ):
Oleh: Paus Yohanes XXIII pada tahun 1963.
Ensiklik ini bertujuan untuk mendorong dikembangkannya tata susunan social
internasional yang dilandaskan pada hormat terhadap hak-hak asasi manusia. Di dalamnya
dibicarakan masalah politik, yaitu perdamaian antara bangsa-bangsa dalam kebenaran,
keadilan, kasih dan kemerdekaan. Dalam ikatan social dan politik yang semakin erat, pribadi
manusia dapat dilindungi jika orang mengakui hak-hak asasi manusia. Sebab, pengakuan
akan hak asasi manusia merupakan syarat mutlak untuk hidup bersama dalam damai, baik
dalam masyarakat dan negara maupun dalam hubungan antarnegara dan bangsa.
5. Dokumen Konsili Vatikan II
a. Deklarasi “Dignitatis Humanae” (Martabat Manusia) tahun 1965:
Dalam deklarasi ini Konsili dengan tegas dan jelas membela kebebasan beragama
bagi setiap individu.
b. Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” (Kegembiraan dan Harapan) tahun 1965:
Konstitusi Pastoral ini bermaksud untuk mendorong dikembangkannya tata susunan
kehidupan social yang adil pada segala tingkat (GS 9). Keterlibatan social merupakan
salah satu segi penghayatan iman (Gereja) dalam lingkungan hidup manusia yang
otonom ( dunia ).
Gaudium et Spes menegaskan beberapa hal berikut:
- Kegiatan manusia, baik perorangan maupun kolektif, yaitu usaha raksasa yang
dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki
kondisi hidup manusia. Usaha manusia itu sesuai dengan rencana Allah dan
kemenangan-kemenangan bangsa manusia menandakan keagungan Allah.
- Kerja manusia itu luhur, juga kerja para buruh. Dalam usaha-usaha ekonomi
kerja manusia lebih unggul dari pada factor ekonomi lainnya yang hanya
bersifat sarana. Oleh karena itu harus diusahakan kondisi kerja yang sesuai
dengan martabat manusia, upah yang memadai dan partisipasi karyawan
dalam menentukan kebijakan perusahaan dan ekonomi nasional.
- Manusia adalah makhluk social. Nilai-nilai dan kebenaran fundamental
mengenai manusia merupakan dasar untuk hidup bermasyarakat. Masyarakat
adalah pertemuan antar pribadi manusia yang mempunyai kebebasan. Asas
yang mempersatukan masyarakat adalah solidaritas. Kita hanya dapat hidup
dan berkembang dalam kebersamaan. Maka masing-masing orang
bertanggungjawab atas kepentingan bersama dan semua orang bersama-sama
bertanggungjawab atas masing-masing warga.
- Konsili menekankan kewajiban kita terhadap saudara-saudara yang
membutuhkan bantuan dan yang seharusnya ditolong. (GS 42).
c. Dekrit Apostolicam Actuositatem (Kegiatan Kerasulan) tahun 1965:
Dekrit ini menghimbau semua warga Gereja agar ikut terlibat secara aktif dalam
masalah-masalah social. (AA 7, 8, 13).
6. Ensiklik Populorum Progresio (Kemajuan Bangsa-bangsa):
Oleh: Paus Paulus VI tahun 1967.
Ensiklik ini menyoroti masalah social dunia, yakni kesenjangan antara negara dan
bagian dunia yang kaya dengan negara dan bagian dunia yang miskin. Menurut Paus Paulus
VI, pembangunan yang integral harus menunjang perkembangan setiap manusia dan seluruh
manusia. Perkembangan sejati adalah perkembangan diri, yang diusahakan dan
dipertanggungjawabkan oleh manusia sendiri. Paus menyerukan agar perkembangan ekonomi
harus memperhatikan manusia seutuhnya dengan nama baru yakni perdamaian.
7. Ensiklik Octogesima Adveniens (Menjelang delapan Puluh Tahun):
Oleh: Paus Paulus VI, tahun 1971.
Dalam raga mengenang 80 tahun diterbitkannya Ensiklik Rerum Novarum dan juga
ensiklik-ensiklik social lainnya, maka Paus Paulus VI mengeluarkan ensiklik ini. Paus
menegaskan bahwa keterlibatan social dan pengarahan masyarakat sebetulnya merupakan
tugas dan wewenang kaum awam dalam Gereja.
8. Ensiklik Evangelii Nuntiandi (Pewartaan Injil)
Oleh: Paus Paulus VI, tahun 1975
Paus secara khusus menyoroti masalah sosial serta kesejahteraan umat manusia,
khususnya yang menimpa dunia ketiga. Penduduk dunia ketiga berjuang melawan kelaparan,
penyakit menahun, buta huruf, kemiskinan, neokolonialisme ekonomi dan budaya serta
ketidakadilan hubungan internasional mencakup perdagangan. Ensiklik ini juga banyuak
berbicara masalah gejala masyarakat moderen mencakup keserakahan, sikap memburu
kenikmatan, nafsu berkuasa, diskriminasi di segala bidang.
9. Ensiklik Redemptor Hominis (Penebus Umat Manusia)
Oleh : Paus Yohanes Paulus II
Ensiklik ini berbicara tentang ancaman terhadap masyarakat zaman ini: pencemaran
lingkungan, persaingan senjata (nuklir), hilangnya penghormatan terhadap hidup, kelaparan,
pengangguran, tawanan perang, terorisme dan diskriminasi.
10. Ensiklik Laborem Exercens (Melalui Bekerja):
Oleh: Paus Yohanes Paulus II, tahun 1991.
Dalam Ensiklik ini Paus Yohanes Paulus II membicarakan kembali tema-tema yang
telah dibahas dalam Rerum Novarum. Semboyan Laborem Exercens adalah: “Kepentingan
kerja di atas kepentingan modal”. Paus mengajak agar manusia mengatasi cara berpikir
dan system ekonomi kapitalis, yang memperlawankan modal dan karya, sebab dalam bentuk
apapun modal adalah hasil kerja. Nilai kerja dikhianati, tidak hanya upah yang tidak cukup
untuk hidup, tetapi juga apabila orang yang mencari kerja tidak mendapat tempat dan
kesempatan kerja.
11. Ensiklik Centesimus Annus (Seratus Tahun):
Oleh: paus Yohanes Paulus II tahun 1991.
Ensiklik ini diterbitkan dalam rangka merayakan ulang tahun keseratus Rerum
Novarum. Melalui ensiklik ini Paus Yohanes Paulus II ingin memperbaharui kembali ajaran
social Gereja setelah runtuhnya sosialisme.
12. Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial)
Oleh: Paus Yohanes Paulus II, tahun 1987.
Lewat ensiklik ini, Paus Yohanes Paulus II mengangkat kembali tema pembangunan
dan perkembangan. Penindasan dan eksploitasi menghalangi segala perkembangan. Untuk
melawan kemiskinan dan memajukan perkembangan, dibutuhkan suatu politik keadilan yang
memihak pada orang miskin dan melawan penindasan dan struktur-struktur dosa dengan
percaya akan penebusan dan pembebasan.

Kemiskinan: situasi dimana orang tidak menguasai sarana-sarana fisik secukupnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum kehidupan yang
masih dapat dinilai manusiawi
Penyebab Kemiskinan:
Ketidakadilan struktural, yag berpengaruh pada segi kehidupan manusia: yakni ekonomi,
politik, sosial budaya dan ideologi.
Katekese sebagai salah satu upaya untuk mendorong terjadinya perubahan ke arah
masyarakat yang lebih manusiawi
 Kita sebagai murid Kristus adalah kelompok orang yang dipanggil dan diutus.
 Maka suatu proses katekese seharusnya dapat membantu orang mengalami
panggilannya sebagai murid Kristus dalam menjalankan perutusannya sehari-
hari di tengah masyarakat.
 Katekese diharapkan dapat menjadi suatu proses komunikasi iman yang
terarah pada pembaharuan hidup dan keterlibatan setiap murid Kristus dalam
pengembangan masyarakat. (Yakobus 2:14-26)
 Iman seharusnya menjadi iman yang "hidup dan terlibat".
Upaya katekese sosial sejalan dengan teladan hidup Yesus, cita-cita Gereja dan
perkembangan katekese saat ini
 Yesus peduli dengan masalah-masalah bangsaNya.
 Yesus pelindung dan pembela kemanuisiaan (Mat 25:44)
 Pentingnya membantu sesama secara bertanggungjawab. (Lukas 10: 25-37)
 Yesus juga bergaul dengan orang-orang yang dipandang rendah dan hina. Bagi Yesus
setiap manusia memiliki martabat yang luhur dan harus dihargai.
Keberpihakan Gereja pada orang miskin dan tersingkir
 Seperti Yesus yang juga memiliki perhatian pada kaum papa/miskin, demikian juga
halnya dengan Gereja dipanggil untuk peduli pada kaum miskin dan tertindas.
 Gereja dituntut mampu memupuk upaya solidaritas dengan kaum miskin dan
tersingkir, demi mengusahakan pembebasan mereka yang seutuhnya. Gereja sebagai
Umat Allah yang diharapkan ikut ambil bagian dalam keprihatinan Allah dan rencana
karya penyelamatanNya bagi seluruh umat manusia.
 Peran Gereja adalah membuat dunia ini semakin sesuai dengan kehendak Allah,
semakin adil, dan semakin ditandai oleh persaudaraan dan solidaritas
 Seperti Yesus yang mengambil rupa "hamba" dalam pelayanan-Nya di tengah umat
manusia (Flp.2:6-7) dan rela "menjadi miskin" (2Kor.8:9), demikian juga diharapkan
Gereja mampu dan berani menjadi pelayan, menjadi miskin dalam menunaikan misi
penyelamatan
 Konsili Vatikan II menegaskan: "Kegembiraan dan harapan. duka dan kecemasan.
manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula (GS. Art.1)
Ajaran sosial Gereja
 Ajaran sosial Gereja merupakan ungkapan bagi keterarahan Gereja pada dunia, sejak
disadari, bahwa iman mesti mendapat wujudnya dalam hidup manusia yang nyata dan
bahwa Gereja mesti mendapat identitasnya dalam dialog dengan dunia yang profan "
(Kieser, 1992:86).
 Melalui ajaran sosialnya, Gereja menjalankan tugas pewartaannya.
 Ajaran sosial Gereja itu mengandung unsur praktis. Tujuannya adalah menawarkan
panduan moral dan spiritual kepada orang dan kelompok orang yang sedang
menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik" (Kristiyanto, 2003:219)
Katekese sosial sebagai salah satu model dan upaya dalam menjawab tantangan bidang
katekese/ pewartaan zaman ini
 Dalam pewartaan melalui katekese sosial diharapkan dapat menjadi pewartaan yang
menggembirakan dan membebaskan, karena umat dihantar untuk merasakan
kehadiran Allah yang menyelamatkan kehidupan umat manusia.
 Tiga langkah penting yang perlu ada dalam proses katekese Ansos (Analisa sosial)
adalah:
1) Adanya kepedulian pada masalah masyarakat
2) Belajar dari Sabda Allah sebagai pengalaman umat beriman yang juga
bergulat dengan masalah imannya di tengah kehidupan masyarakat pada
zamannya
3) Memahami masalah masyarakat (masalah sosial) yang ada di zaman sekarang
ini dalam terang Sabda Tuhan.
 Analisa sosial adalah salah satu unsur dalam ilmu-ilmu sosial dimana kita hendak
meneliti situasi secara ilmiah, dengan maksud untuk memperdalam, memperluas,
serta mempertajam pengamatan atau refleksi bersama
 Tujuan cita-cita Ansos: Mempelajari struktur sosial (termasuk budaya) yang telah
mengakibatkan ketidakadilan sosial. Ansos adalah usaha nyata untuk menegakkan
keadilan. Cita-cita Ansos adalah: perubahan masyarakat kearah yang lebih
manusiawi.
Keselamatan
• Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang
pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. (Yoh.14:6)
• Extra Ecclesiam Nulla Salus
• Mengimani Yesus Kristus sebagai penyelamatan umat manusia yang diungkapkan
dengan menerima sakramen permandian, berarti kita telah diselamatkan. Kita
diselamatkan seutuhnya sebagai manusia (jiwa dan badan). Keselamatan yang telah
kita terima sekarang belum penuh, dan baru mendapat kepenuhan setelah kita bersama
dengan Bapa, dengan perantaraan Tuhan Yesus Kristus, Sang Juru Selamat
(eskatologis).
Konsep Surga dan neraka
• sudah sering kita dengar, tetapi kita tidak tahu rupa/bentuk surga atau neraka itu
seperti apa.
• Paulus mengatakan, “Bila kemah kediaman kita di bumi telah dibongkar, Allah
menyediakan bagi kita suatu tempat kediaman di surga”, (1Kor 5:1).
• Menurut Paulus bumi tidak sama dengan surga. Surga adalah tempat Allah (lih. Why
11:13; 16:11).
• Maka surga berarti kebahagiaan manusia dalam kesatuan dengan Allah. Kesatuan
manusia dengan Allah berarti manusia diselamatkan. Kita sampai kepada kesatuan
dengan Allah melalui Yesus Kristus. Karena, “Tidak ada seorangpun datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui Aku, (Yoh.14:6).
Pandangan Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II menyatakan, “Kita tidak mengetahui, kapan dunia dan umat manusia akan
mencapai kepenuhanya; tidak mengetahui pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia
seperti yang kita kenal sekarang, dan yang telah rusak akibat dosa, akan berlalu. Tetapi kita
diberi ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru dan bumi yang baru, kediaman
keadilan dan kebahagiaan, yang memenuhi, bahkan melampaui segala kerinduan akan
kedamaian, yang pernah timbul dalam hati manusia. Pada saat itu maut akan dikalahkan,
putera-puteri Allah akan dibanhkitkan dalam Kristus, dan benih yang telah ditaburkan dalam
kelemahan dan kebinasaan, akan mengenakan yang tidak dapat binasa. Cinta kasih beserta
karyanta akan lestari, dan segenap alam tercipta, yang oleh Allah telah diciptakan demi
manusia, akan dibebaskan dari perbudakan kepada kesia-siaan” (GS 39).

Anda mungkin juga menyukai