Anda di halaman 1dari 18

III

ISLĀM
DAN
FILSAFAT SAINS
Makna agama dalam Islām, seperti telah kita analisa dalam bab pertama, yang diungkapkan
dengan istilah dīn, bukan hanya konsep, tetapi merupakan sesuatu yang diterjemahkan ke dalam
realitas secara intim dan mendalam dihidupi pada pengalaman manusia. Sumber mendasar makna
yang diturunkan darinya adalah wahyu Qur’ān tentang perjanjian (al-mithāq) dimana jiwa manusia
sebelum wujud telah membuatnya dengan Tuhan. 101 Nama agama: Islām, kenyataannya adalah
definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Sudah tersirat padanya inti gagasan ketundukan,
perasaan, kepercayaan, dan tindakan; tetapi unsur mendasar tindakan manusia tunduk kepada
Tuhan adalah perasaan keberhutangannya kepada Tuhan untuk pemberian-Nya atas eksistensi, jadi
rasa keberhutangan ini — yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan Tuhan sebagai pemberi
eksistensi — adalah kondisi yang mendahului ketundukan sejati (islām).102 Tujuan pokok agama
adalah agar manusia kembali pada kondisi dimana dia sebelumnya ada, dan ini melibatkan
pencarian identitas dan tujuan transenden melalui perilaku yang benar. ‘Pengembalian’ ini ialah
segalanya tentang kehidupan, dan melibatkan pengejaran pengetahuan sejati, 103 pemahaman akan
tanda dan simbol Tuhan dalam halaman buku alam semesta dengan sinar petunjuk kata-kata-Nya
dan dinterpretasikan dalam diri yang suci dari utusan-Nya. Hal tersebut juga melibatkan
penggunaan akal sehat pada pengalaman akan realitas, dan penggunaan pertimbangan sehat untuk
penangkapan kebenaran.104
Agama (islām) dan kepercayaan (belief/īmān) tidaklah identik, tetapi keduanya saling tidak
terpisahkan dan sangat dibutuhkan. Kepercayaan dalam pengertian yang kita maksudkan adalah
memiliki kepercayaan-kuat, tidak seperti pengertian yang dipahami dalam bahasa Inggris, tetapi
dalam pengertian bahwa hal itu termasuk menjadikan benar terhadap kepercayaan (trust) dimana
Tuhan telah menceritakan rahasia-Nya pada seseorang, bukan dengan pengakuan kepercayaan
dengan lidah, tanpa persetujuan hati dan tindakan tubuh dalam kesesuaian dengannya; dan hal ini
lebih dari pengetahuan, yang mendahului kepercayaan-kuat, sehingga juga merupakan verifikasi
dengan perbuatan berdasarkan apa yang diketahui sebagai kebenaran. 105 Kepercayaan-kuat
merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran yang meniscayakan aktualisasinya dalam diri
seseorang. Pengenalan akan kebenaran dalam kasus ini hadir hanya karena jelas dalam dirinya
sebagaimana ditangkap fakultas intuitif yang kita sebut hati, yakni, dengan petunjuk (hudā) dan
bukan hanya dengan proposisi rasional dan demonstrasi logis. Kebenaran itu sekaligus objektif dan
subjektif; dan yang objektif dan subjektif, seperti agama dan kepercayaan, adalah aspek-aspek tak
terpisahkan dari satu realitas. Agama sejati bukanlah sesuatu yang dapat mati terhadap kebingungan
yang muncul dari dikotomi objektif-subjektif dari tradisi filsafat Yunani; maupun agama sejati

101
Lihat Al-A’rāf (7): 172.
102
Dengan ‘ketundukan sejati’ (islām, huruf pertama dalam huruf kecil) kita maksud ketundukan sadar dan sukarela untuk
keseluruhan kehidupan etis seseorang dengan cara yang ditampakkan dan ditunjukkan oleh Nabi dan nabi-nabi yang
dikirim sebelumnya.
103
Dengan ‘pengetahuan sejati’ kita memahaminya bermakna pengetahuan yang mengenali batas kebenaran di setiap
objeknya. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 134-135.
104
Pada makna agama atau dīn dalam Islām, lihat bab I di atas.
105
‘Kebenaran’ di sini bermakna apa yang datang dengan wahyu kepada Nabi tentang sifat-dasar dan realitas tentang
Tuhan, tentang ciptaan-Nya, tentang tujuan manusia, tentang hubungan antara manusia dan Tuhan dan tanggung jawab dan
kebebasan individu manusia.
merupakan ‘agama humanitas’ yang personal, individual, privat, dan internal yang muncul dari
proses pensekularan yang berusaha menghilangkan pelembagaan kepercayaan agama.
Agama dalam pengertian yang kita maksudkan tidaklah dilawankan dengan desakralisasi
alam jika hal itu berarti pengenyahan dari pemahaman kita akan konsepsi magis atau mistis tentang
alam; karena alam tetap dapat dipandang sebagai perwujudan bentuk yang suci tanpa mitos atau
sihir jika memahaminya sebagai perkembangan realitas ideal dalam kesadaran Ilahi yang akibatnya
menjadi termanifestasi dalam alam indera dan pengalaman inderawi. Alam dalam dirinya sendiri
bukan entitas ilahiyah, tetapi sebuah bentuk simbolis yang memanifestasikan yang Ilahi. Tentu saja,
dalam pengertian yang telah kita bawa, semua alam, dan bukan hanya pohon atau batu, menyatakan
kesucian kepada mereka yang melihat realitas di balik penampakan. Agama hanya dilawankan
dengan desakralisasi jika hal itu berarti pemusnahan semua makna spirtual dalam pemahaman kita
tentang alam, dan pembatasan cara mengetahui kita pada metode saintifik sebagaimana didukung
filsafat sekular dan sains.106
Tuhan bukan mitos, citra, simbol, yang terus berubah seiring waktu. Dia merupakan Realitas
itu sendiri. Kepercayaan memiliki isi kognitif; dan salah satu titik utama perbedaan antara agama
sejati dan filsafat sekular dan sains adalah cara dimana sumber dan metode pengetahuan dipahami.
Filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengatur hasil dari sains alam dan sosial ke
dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi tersebut pada gilirannya menentukan arah yang akan
diambil sains dalam studinya tentang alam. Interpretasi inilah tentang pernyataan dan kesimpulan
umum sains dan arah sains sejauh yang ditawarkan oleh interpretasi tersebut yang harus diletakkan
pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka tawarkan pada kita hari ini problem paling mendalam
yang telah dihadapkan pada kita secara umum dalam urusan agama dan sejarah intelektual kita.
Evaluasi kita harus termasuk pengujian kritis terhadap metode sains modern; konsep, presuposisi,
dan simbolnya; aspek empiris dan rasionalnya, dan yang menyangkut nilai dan etika; interpretasinya
tentang asal-usul; teori pengetahuannya; presuposisinya tentang eksistensi dunia eksternal, tentang
keseragaman alam, dan rasionalitas proses alamiah; teori tentang alam semesta; klasifikasi tentang
sains; batasannya dan saling-hubung satu sama lain dari sains, dan hubungan sosialnya.
Sebuah inti sari asumsi dasar mereka ialah bahwa sains itu satu-satunya pengetahuan otentik;
bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh fenomena; bahwa pengetahuan ini, termasuk pernyataan
dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas untuk zaman
tertentu dan dapat berubah pada zaman lain; bahwa pernyataan saintifik harus mengakui hanya apa
yang telah di observasi dan dibuktikan saintis; bahwa apa yang seharusnya diterima hanyalah teori
yang dapat direduksi kepada unsur inderawi, bahkan meskipun teori tersebut mungkin melibatkan
gagasan yang menyentuh wilayah yang melampaui lingkungan pengalaman empiris; bahwa
universalitas seharusnya tidak dilekatkan dengan rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang
didefinisikan dengan universalitas digambarkan sebagai realitas yang melampaui apa yang di
observasi; bahwa isi pengetahuan itu adalah kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme;
bahwa tiga aspek kognisi tersebut bersama-sama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa
pengertian merupakan suatu yang subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan
antara struktur logis pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logikalah yang
diafirmasi; bahwa teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang
struktur dan proses alam, dan bahwa pada kenyataannya merupakan sebuah teori logika; sehingga
karena logika harus ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan
struktur dan proses alam merupakan yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan merupakan
bagian dari kepercayaan (cth. kepercayaan dalam pengertian penerimaan intelektual sebagai benar
atau nyata terhadap pernyataan atau proposisi apapun) yang tergantung pada hubungan

106
Lihat lebih jauh karya saya Islām dan Secularism, (op. cit.) bab I dan II.
kepercayaan dengan fakta; bahwa fakta itu netral sejauh kebenaran dan kepalsuan yang dipedulikan
— mereka hanya ada.
Sains kontemporer telah berevolusi dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak periode
awalnya mengafirmasi kedatangan menjadi being dari hal-hal satu sama lain. Segala maujud
merupakan sebuah kemajuan, pengembangan atau evolusi dari apa yang terbentang dalam kondisi
laten dalam materi abadi. Dunia yang terlihat dari perspektif ini merupakan semesta independen
dan abadi; sebuah sistem swa-berada yang berkembang berdasarkan hukumnya sendiri. Penolakan
realitas dan eksistensi Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini. Metodenya secara utama adalah
rasionalisme filosofis, yang cenderung bergantung sendiri pada rasio tanpa bantuan persepsi atau
pengalaman inderawi; rasionalisme sekular, yang sementara menerima rasio cenderung
menyandarkan diri lebih pada pengalaman inderawi, dan menolak otoritas dan intuisi dan menolak
Wahyu dan agama sebagai sumber pengetahuan sejati; dan empirisme filosofis atau empirisme logis
yang mendasarkan semua pengetahuan pada fakta yang terobservasi, konstruksi logis, dan analisa
linguistik. Visi realitas tersebut sebagaimana terlihat menurut perspektif bentuk rasionalisme dan
empirisme itu berdasarkan atas pembatasan realitas dunia alamiah yang dianggap sebagai satu-
satunya tingkatan realitas. Pembatasan demikian akibat reduksi kekuatan operasional dan kapasitas
fakultas kognitif dan inderawi pada lingkungan realitas fisik. Dalam sistem ini pengetahuan itu
absah hanya jika menyentuh tatanan alamiah peristiwa dan hubungannya; dan tujuan penelusuran
tersebut adalah menggambarkan dan menyistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna
totalitas objek dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan dalam pengertian
datar secara naturalistik dan rasional yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, yang
mereduksi asal dan realitasnya hanya pada kekuatan alamiah.
Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak
otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan berarti mereka
menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi mereka mereduksi otoritas dan intuisi kepada rasio
dan pengalaman. Benarlah bahwa dalam contoh awal dalam kasus baik otoritas dan intuisi, selalu
terdapat seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi hal tersebut tidak serta merta bahwa
karena ini, otoritas dan intuisi harus direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui bahwa
terdapat tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan kesadaran manusia normal yang
batasannya dikenali, tidak ada alasan menduga bahwa tidak ada tingkatan pengalaman dan
kesadaran manusia yang lebih tinggi yang melampaui batas rasio dan pengalaman normal dimana
terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang batasnya
hanya diketahui Tuhan.
Pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog telah
mereduksi intuisi kepada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan
pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan bangunan
emosional yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi hal ini merupakan dugaan pada
bagian mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian tersebut datang dari
pengalaman inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka terhadap fakultas intuitif seperti hati, yang
tersirat dalam pendirian mereka dalam memandang intuisi, juga merupakan dugaan.
Karena manusialah yang merasa dan memahami dunia objek-objek dan peristiwa yang
eksternal baginya, maka studi tentang alam termasuklah diri manusia sendiri. Tetapi studi tentang
manusia, tentang pikiran, dan diri juga dibatasi dengan metode sains baru seperti psikologi, biologi,
dan antropologi, yang memandang manusia hanya sebagai pengembangan lebih lanjut spesies
hewan, dan yang tidak lain dari perluasan metodologis akan pembatasan rasio dan pengalaman
pada tingkatan realitas fisik. Lebih lanjut, untuk menguji hipotesa dan teori sains, menurut mereka,
dibutuhkan korespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan namun karena hipotesis dan teori
yang berlawanan satu sama lain itu dapat berkorespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan
karena preferensi bagi seseorang terhadap yang lain dari mereka tidak didikte kriteria apapun dari
kebenaran objektif — sebab kebenaran itu sendiri dibuat untuk menyesuaikan dengan fakta — maka
preferensi tersebut didikte hanya oleh pertimbangan subjektif dan abitrer tergantung konvensi.
Ketergantungan atas konvensi ini telah menciptakan kecenderungan untuk membuat masyarakat,
daripada manusia individu, sebagai sesuatu yang mendasar, sejati, dan otoritatif. Konvensionalisme
mereduksi semua bentuk institusional sebagai ciptaan oleh yang disebut ‘pikiran kolektif’ dari
masyarakat. Pengetahuan itu sendiri, dan bahkan bahasa manusia, tidak lain dari ungkapan dan alat
pikiran kolektif dewa yang tidak dapat berbicara ini yang disebut Masyarakat.
Akhirnya, keraguan diangkat sebagai sebuah metode epistemologis yang dengannya
rasionalis dan sekularis percaya bahwa kebenaran dapat hadir. Tetapi tidak ada bukti bahwa
keraguanlah dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang membuat seseorang tiba pada
kebenaran. kehadiran pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil petunjuk, bukan keraguan.
Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa condong pada salah satunya;
keraguan adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan tanpa hati cenderung
menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan tidak menuju yang lain
sementara masih belum menolak yang lain, hal tersebut merupakan dugaan; jika hati menolak yang
lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan hati terhadap yang lain
merupakan sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada kebenaran, tetapi
pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuannya. Hal ini merupakan petunjuk. Keraguan,
apakah itu pasti atau sementara, mengarah kepada dugaan atau pada posisi lain akan
ketidakpastian, tidak pernah pada kebenaran — “dan dugaan tidak berfaedah terhadap kebenaran”
(Qur’ān 10: 36).
Berdasarkan atas posisi yang dibangun oleh tradisi filosofis dan saintifik sebagaimana
terintegrasi ke dalam sistem metafisika yang koheren, kita memertahankan bahwa banyak kesamaan
penting yang ditemukan antara posisi kita dan filsafat modern dan sains kontemporer dalam
memandang sumber dan metode pengetahuan; kesatuan cara mengetahui yang rasional dan empiris;
kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif sebuah filsafat sains;
filsafat dan sains tentang proses. Tetapi kesamaan tersebut hanya nampak dan menyentuh aspek
ektsernal, dan tidak menegasikan perbedaan mendalam yang muncul dari pandangan-dunia dan
kepercayaan kita yang berlainan tentang sifat-dasar mendasar Realitas. Afirmasi kita terhadap
Wahyu sebagai sumber pengetahuan tentang realitas pokok dan kebenaran menyentuh baik pada
hal-hal ciptaan maupun kepada Pencipta mereka yang menyediakan kita fondasi karangka-metafisis
untuk mengelaborasi filsafat sains kita sebagai sistem integratif yang mendeskripsikan realitas dan
kebenaran dalam cara yang tidak terbuka pada metode rasionalisme filsafat sekular dan empirisme
filosofis filsafat dan sains modern.
Bertentangan dengan filsafat modern dan sains dalam memandang sumber dan metode
pengetahuan, kita memertahankan bahwa pengetahuan itu datang dari Tuhan dan diperoleh dari
saluran berita yang benar berdasarkan otoritas, rasio sehat, dan intuisi. Makna yang mendasari
ungkapan ‘rasio sehat’ (sound senses) menunjuk pada persepsi dan observasi, dan hal tersebut
tersusun dari panca indera internal dari peraba, penciuman, pengecap, penglihatan dan pendengaran
yang menampilkan fungsi persepsi akan hal-hal partikular dalam dunia eksternal. Berhubungan
dengan hal tersebut terdapat lima panca indera internal yang menerima secara internal akan citra
inderawi dan makna mereka, mengombinasi atau memisahkan mereka, memahami gagasan mereka,
menjaga pemahaman yang telah dipahami, dan menampilkan inteleksi (intellection) terhadap mereka.
Panca indera internal tersebut adalah indera umum, representasi, estimasi, retensi dan rekoleksi, dan
imajinasi. Dalam tindakan memersepsi, penerima menerima bentuk objek eksternal, cth. sebuah
representasi realitas ektsernal, dan bukan realitas itu sendiri. Apa yang diterima indera bukanlah
realitas eksternal seperti yang ada pada dirinya sendiri, tetapi yang serupa dengannya sebagaimana
direpresentasikan dalam indera. Realitas eksternal merupakan sumber dimana indera mengabstraksi
bentuknya. Sama halnya dalam hal makna dan pengertian merupakan representasi realitas yang
tercetak pada jiwa, sebab intelek sudah mengabstraksi mereka dari tambahan aksidental yang asing
pada sifat-dasar mereka, seperti kuantitas, kualitas, ruang dan posisi. Perbedaan antara bentuk dan
makna dari objek inderawi adalah bahwa bentuk merupakan apa yang diterima pertama kali oleh
indera eksternal, dan kemudian oleh indera internal; makna adalah apa yang indera internal terima
dari objek inderawi tanpa sebelumnya diterima oleh indera eksternal.
Dalam hal ‘rasio sehat’ (sound reason), kita memahami rasio tidak hanya dalam pengertian
yang dibatasi kepada unsur inderawi; pada fakultas mental yang menyistematisasi dan
menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan logis, atau yang membuat pengertian
dan mampu diatur bagi pemahaman akan data pengalaman inderawi, atau yang menampilkan
abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan mengatur mereka dalam sebuah
operasi pemberian-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam dapat terpahami. Tentu saja,
pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih lanjut bahwa hal tersebut merupakan salah
satu aspek intelek dan berfungsi dalam kesesuaian dengannya, bukan berlawanan dengannya; dan
intelek merupakan substansi spiritual yang inheren dalam organ spiritual dari kognisi yang kita
sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini dan lewat perantara intelek kita
telah menghubungkan rasio dengan intuisi.
Dengan cara yang sama bahwa kita tidak membatasi rasio kepada unsur sensasi, kita juga
tidak membatasi intuisi kepada pengertian langsung dan segera, oleh subjek yang mengetahui,
terhadap dirinya, terhadap kondisi sadarnya, terhadap orang lain seperti dirinya sendiri, terhadap
dunia eksternal, terhadap alam semesta, terhadap nilai atau kebenaran rasional. Kita memahami
intuisi juga sebuah pengertian langsung dan segera terhadap kebenaran keagamaan, terhadap
realitas dan eksistensi Tuhan, terhadap realitas eksistensi sebagaimana dilawankan dengan esensi —
tentu saja, pada tingkatan intusi yang lebih tinggi merupakan intuisi akan eksistensi itu sendiri.
Dengan referensi pada intuisi di tingkatan kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak begitu saja
datang kepada setiap orang, tetapi kepada seseorang yang telah menghidupi kehidupan dalam
pengalaman kebenaran keagamaan dengan praktek ketaatan yang tulus kepada Tuhan, yang telah
dengan pencapaian intelektual memahami sifat-dasar keesaan Tuhan dan apa yang tersirat dari
keesaan tersebut dalam sebuah sistem metafisika yang integratif, yang telah secara berkelanjutan
merenungkan sifat-dasar realitas ini, dan dia yang kemudian, melalui perenungan mendalam dan
dengan kehendak Tuhan, dibuat melewati kesadaran dirinya dan kondisi subjektifnya dan
memasuki kondisi kedirian yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Ketika dia kembali kepada
kondisi subjektif kemanusiaannya, dia kehilangan apa yang telah ditemukan, tetapi pengetahuan
tentang itu tetap bersamanya. Hal tersebut ada dalam durasi keberadaan dalam Tuhan, dimana
ketika dia memperoleh kedirian yang lebih tinggi, berlangsunglah pengertian langsung dan segera
itu. Dia telah diberikan pandangan sekilas sifat-dasar realitas dalam durasi tersebut yang bersamaan
dengan Kebenaran. Dalam kasusnya isi kognitif dari intuisinya akan eksistensi mengungkapkan
kepadanya sistem integratif realitas sebagai sebuah keseluruhan.
Dalam memandang intuisi, dan pada tingkatan normal kesadaran manusia, tingkatan yang
lebih tinggi yang dicapai orang-orang besar dari sains dan para pembelajar, pada saat penemuan
yang menentukan akan hukum dan prinsip yang mengatur dunia alam, merupakan tingkatan yang
sepadan dengan latihan, disiplin, dan pengembangan kekuatan penalaran dan kapasitas eksperensial
mereka, dan dengan problem khusus yang menghadang mereka ketika rasio dan pengalaman
mereka tidak mampu memberikan makna yang koheren. Tibanya pada makna tersebut adalah
melalui intuisi, karena intuisilah yang menyintesis apa yang masing-masing rasio dan pengalaman
lihat secara terpisah tanpa mampu mengombinasikannya ke dalam keseluruhan yang koheren.
Intuisi datang kepada seorang manusia ketika dia telah siap untuk itu; ketika rasio dan
pengalamannya dilatih dan didisiplinkan untuk menerima dan menginterpretasikannya. Tetapi
sementara tingkatan intuisi yang padanya metode empiris dan rasional mungkin hanya menunjuk
pada aspek khusus sifat-dasar realitas, dan bukan keseluruhan darinya, dimana tingkatan intuisi
pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesadaran manusia yang dicapai nabi-nabi dan orang-orang
suci memperoleh pandangan-dalam langsung ke dalam sifat-dasar realitas sebagai sebuah keseluruhan.
Nabi dan orang suci juga membutuhkan persiapan untuk menerima dan mampu
menginterpretasikannya; dan persiapan mereka tidak hanya terdiri dari latihan, disiplin, dan
pengembangan kemampuan menalar dan kapasitas pengalaman inderawi, tetapi juga latihan,
disiplin, dan pengembangan diri dalaman (inner) mereka dan fakultas-fakultas diri yang
berhubungan dengan pengertian akan kebenaran-realitas (truth-reality).
Pada berita yang benar sebagai saluran yang melaluinya pengetahuan itu diperoleh, terdapat
dua jenis: yang dalam rangkaian dan berkelanjutan dibangun oleh ucapan orang-orang yang
rasionya tidak dapat menerima bahwa mereka memiliki tujuan bersama dalam kebohongan; dan apa
yang dibawa oleh Utusan Tuhan. Otoritas yang diinvestasikan dengan kesepakatan umum dalam
jenis pertama dari berita yang benar, yang termasuk di dalamnya para sarjana, saintis, dan orang-
orang akan pengetahuan secara umum, dapat dipertanyakan dengan metode rasio dan pengalaman.
Tetapi otoritas jenis kedua akan berita yang benar, yang juga diafirmasi oleh penerimaan umum,
adalah absolut. Otoritas itu berpijak secara mendasar atas pengalaman intuitif, yang dengannya kita
memaksudkan baik dalam tatanan indera dan realitas inderawi, dan dalam tatanan realitas
transendental, seperti intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi.
Bertentangan dengan posisi sains modern dan filsafat dalam memandang sumber dan metode
pengetahuan, kita memertahankan bahwa sama halnya terdapat tingkatan akan rasio dan
pengalaman, begitu juga tingkatan otoritas dan intuisi. Terlepas dari otoritas orang-orang sains dan
pembelajar secara umum, tingkatan tertinggi otoritas dalam pandangan kita adalah Qur’ān Suci dan
Tradisi termasuk diri suci dari Nabi Suci. Mereka menampilkan otoritas tidak hanya dalam
pengertian bahwa mereka mengomunikasikan kebenaran, tetapi dalam pengertian mereka menyusun
kebenaran. Mereka menampilkan otoritas yang dibangun di atas tingkatan yang lebih tinggi dari
kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang tidak dapat secara sederhana
direduksi kepada tingkatan rasio dan pengalaman normal.
Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai oleh
istilah nātiq, yang menunjuk kepada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna
universal dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan, diskriminasi,
dan klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (nātiq) dan ‘memiliki
kekuatan merumuskan makna’ (dhū nutq) diturunkan dari akar sama yang mengandung makna
dasar ‘kemampuan berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, sehingga keduanya menandakan
kekuatan dan kapasitas tertentu yang merupakan bawaan pada manusia untuk mengartikulasikan
kata-kata atau bentuk simbolis dalam pola yang bermakna. Dari akar yang sama (nutq) juga
diturunkan nama sains diskursus yang diketahui sebagai al-mantiq (cth. logika), yang dibangun
untuk konstruksi argumentasi, rumusan tentang metode bantahan, penemuan kesalahan, teori
klasifikasi dan definisi, gagasan dasar tentang silogisme, konsepsi tentang bukti dan demonstrasi,
garis besar dari sebuah metode intelektual dalam pengejaran kebenaran. Manusia adalah,
sebagaimana disebutkan, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan yang berbicara’ (al-hayawān al-nātiq);
dan artikulasi simbol linguistik menjadi pola bermakna tidak lain dari ungkapan bagian ke-luar
(outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian ke-dalam (inward) dan tidak terlihat yang kita
sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar menandakan jenis ‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi
dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan sadar yang mengikat dan memegang objek
pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan ‘aql menunjukkan realitas yang sama yang
ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (rūh), dan ‘diri’ (nafs). Entitas atau realitas aktif dan sadar ini
memiliki banyak nama sebagaimana yang diidentifikasi oleh empat istilah di atas karena memiliki
banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan eksistensi. Maka, intelek adalah
substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali kebenaran dan membedakan kebenaran
dari kepalsuan. Intelek merupakan realitas yang mendasari definisi manusia, dan ditunjukkan oleh
setiap orang ketika dia berkata “Aku”.
Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita memaksudkan dengan
rasional sebagai kapasitas kecerdasan untuk menangkap makna universal, kekuatan ungkapan
linguistik, kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna — yang melibatkan tindakan
putusan, diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi bentuk simbol dalam pola yang
bermakna — makna akan ‘makna’ (ma’nā) adalah pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem.
Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem tersebut menjadi jelas
dan dipahami. Hubungan tersebut menggambarkan tatanan tertentu dalam pengertian prioritas dan
posterioritas maupun dalam pengertian ruang dan posisi. Makna merupakan sebuah bentuk
intelijibel (intelligible) yang padanya sebuah kata, sebuah ungkapan, atau simbol digunakan untuk
menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol tersebut menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql:
nutq) makna disebut pemahaman (mafhūm). Sebagai sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam
jawaban terhadap pertanyaan “apakah itu?” makna disebut ‘esensi’ (māhiyyah). Dipertimbangkan
sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran, atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqīqah).
Dilihat sebagai realitas khusus yang berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau
‘eksistensi individual’ (huwiyyah). Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari
makna, adalah pengenalan tempat segala hal dalam sistem, yang muncul ketika hubungan sesuatu
dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami.107
Kita katakan bahwa hubungan tersebut menggambarkan tatanan tertentu. Jika segala hal
dalam sistem apapun terdapat dalam tempat yang sama, maka tidak akan ada pengenalan, tidak
akan ada makna karena tidak ada kriteria relasional bagi putusan, diskriminasi, pembedaan, dan
kejelasan. Tentu saja, tidak akan ada sistem. Karena untuk memungkinkan pengenalan harus ada
perbedaan spesifik dalam hal-hal, harus ada hubungan esensial antar hal-hal dan, lebih lanjut, hal
tersebut harus tetap sedemikian; karena jika perbedaan dan hubungan tersebut tidak tetap tetapi dalam
kondisi perubahan terus-menerus secara spesifik dan esensial, maka pengenalan terhadap hal-hal
akan menjadi mustahil dan makna akan hilang.
Dengan demikian dalam hal ini kita lihat bahwa hubungan intrinsik antara makna dan
pengetahuan telah menjadi jelas, bahwa pengetahuan terdiri dari unit-unit makna yang secara
koheren terhubung dengan unit lain yang serupa sehingga membentuk gagasan, ide, konsep,
konsepsi, dan putusan. Pemikiran (al-fikr) adalah pergerakan jiwa menuju makna, dan hal ini
membutuhkan imajinasi (al-khayāl). Intuisi, yakni, baik dalam pengertian kebijaksanaan (al-hads), atau
dalam pengertian pengalaman iluminatif (al-wijdān), adalah tibanya jiwa pada makna, atau tibanya
makna pada jiwa, baik dengan penerimaan melalui bukti seperti dalam kasus sebelumnya, atau
datang dengan sendirinya seperti dalam kasus yang kemudian.
Definisi manusia sebagai hewan rasional merupakan sebuah definisi yang meletakkan sebuah
batas yang tepat dan singkat (hadd) yang menspesifikasi karakter yang terpilah dari apa yang
didefinisikan sebagai manusia. Jenis definisi yang sama tidak dapat diperoleh untuk pengetahuan
sebab pengetahuan secara alamiah menentang jenis pembatasan yang mendefinisikan kategori-
kategori di dalam pembagian genus dan perbedaan spesifik. Pengetahuan merupakan sesuatu yang
tak terbatas dan definisinya hanya dapat menyentuh deskripsi sifat-dasarnya (rasm). Kita sudah
mendefinisikannya sedemikian rupa sebagai terdiri dari unit-unit makna yang secara koheren
terhubung pada unit lain yang serupa yang membentuk ide, konsep, konsepsi, dan putusan. Karena
kita telah mendefinisikan makna sebagai pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem, kita kini

107
Lihat karya saya The Concept of Education in Islām, (op.cit); hlm. 15.
menambahkan bahwa dengan ‘tempat’ kita menunjuk kepada ‘tempat yang tepat’ dalam pelbagai
tingkatan eksistensi manusia. Eksistensi manusia dapat dipertimbangkan memiliki perbedaan
tingkatan yang berhubungan dengan pelbagai lingkungan operasi dari indera eksternal dan internal.
Hal tersebut merupakan eksistensi sejati (haqīqī), yang merupakan eksistensi pada tingkatan realitas
objektif seperti dunia eksternal; eksistensi inderawi (hissi), yang terkurung pada fakultas indera dan
pengalaman inderawi termasuk mimpi, visi, ilusi; eksistensi imajiner (khayāli), yang merupakan
eksistensi objek-objek eksistensi inderawi dalam imajinasi ketika mereka absen dari persepsi
manusia; eksistensi intelektual (‘aqlī), yang terdiri dari konsep abstrak dalam pikiran manusia;
eksistensi analogis (shibhī), yang disusun oleh hal-hal yang tidak ada dalam tingkatan manapun
seperti di atas, tetapi yang ada sebagai sesuatu yang lain menyerupai hal tersebut pada sisi tertentu,
atau analogis dengan mereka. Tingkatan ini dapat juga dipertimbangkan berhubungan dengan
lingkungan operasi dari fakultas diskursif dan kogitatif (fikri) dari jiwa. Pada setiap tingkatan
tersebut persepsi manusia akan objek persepsinya tidaklah sama. Dalam tambahan pada tingkatan
tersebut kita mengafirmasi eksistensi tingkatan lain daripada kebenaran rasional; sebuah tingkatan
eksistensi suprarasional atau transendental yang dialami oleh para nabi dan wali Tuhan dan orang-
orang berpandangan tajam yang secara mendalam berakar dalam pengetahuan. Level yang terakhir
ini merupakan tingkatan eksistensi suci, dimana hal-hal ditangkap sebagaimana adanya. Maka,
konsep ‘tempat yang tepat’, menyentuh pada semua tingkatan eksistensi manusia tersebut, yang
meliputi wilayah ontologis, kosmologis, dan psikologis, dan termasuk manusia sendiri dan dunia
hal-hal empiris maupun aspek keagamaan dan etis dari eksistensi manusia. Tempat yang ‘tepat’
berarti tempat ‘sejati’ dan ‘benar’ sebagaimana ditunjuk istilah haqq. Haqq menandakan baik realitas
dan kebenaran. Sebagai realitas haqq itu menunjuk sebuah kondisi ontologis; sebagai kebenaran hal
itu menunjuk pada kondisi logis; dan haqq menunjuk sebuah putusan atau hukm yang menyesuaikan
dengan realitas atau situasi sesungguhnya.
Salah satu perbedaan mendasar antara posisi kita dan filsafat dan sains modern menyangkut
pada problem perumusan filsafat sains seputar pemahaman makna realitas dan kebenaran dan
hubungannya dengan fakta. Pemahaman terhadap apa yang ditunjuk istilah tersebut memiliki
ketegasan mendalam pada pemahaman makna pengetahuan dan proses metodologis dan nilai, dan
secara mendasar pada pemahaman sifat-dasar manusia itu sendiri.
Kita menggunakan satu kata untuk memaksudkan secara umum baik realitas dan kebenaran,
dan fakta ini pada dirinya merupakan sesuatu yang penting dalam mengandung pemahaman kita
tentang makna kebenaran bukan hanya sebagai bagian dari pernyataan, kepercayaan dan putusan,
tetapi juga sebagai sebuah bagian dari sifat-dasar realitas. Kata haqq digunakan baik untuk realitas
dan kebenaran. Lawannya adalah bātil, bermakna non-realitas atau kepalsuan. Haqq bermakna
kecocokan terhadap kebutuhan akan kebijaksanaan, keadilan, kebetulan (rightness), kebenaran,
realitas, kesopanan. Haqq merupakan sebuah kondisi, kualitas atau bagian dari menjadi bijaksana,
adil, betul, benar, sejati, tepat; haqq merupakan kondisi niscaya, tidak terhindarkan, wajib, hak; haqq
merupakan kondisi eksistensi dan meliputi segala hal. Terdapat kata lain, sidq, yang bermakna
kebenaran, yang lawannya adalah kidhb yang bermakna tidak benar atau dusta, yang ditujukan
hanya tentang kebenaran yang menyentuh pernyataan atau ucapan kata-kata; sedangkan kata haqq
tidak hanya menunjuk pada pernyataan, tetapi juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan, putusan,
dan hal-hal dan peristiwa dalam eksistensi. Hal-hal dan peristiwa tersebut yang ditunjuk haqq
menyentuh tidak hanya kondisi mereka yang sekarang, tetapi juga pada masa lalu mereka maupun
kondisi masa depan. Menyentuh pada kondisi masa depan haqq bermakna verifikasi, realisasi,
aktualisasi. Tentu saja, makna haqq yang dipahami meliputi realitas dan kebenaran yang menyentuh
kondisi eksistensi adalah berkaitan dengan fakta bahwa haqq adalah salah satu dari nama-nama
Tuhan yang menggambarkan diri-Nya sebagai eksistensi absolut yang merupakan realitas eksistensi
dan bukan konsep eksistensi.
Bagi kebanyakan orang, sifat-dasar eksistensi dan hubungannya untuk memisahkan realitas
yang beragam namun serupa yang kita sebut ‘hal’ adalah eksistensi yang merupakan konsep umum,
konsep abstrak yang umum bagi semua eksistensi, yakni, bagi setiap hal dan pada apapun tanpa
kecuali. Pikiran, ketika memandang realitas eksternal yang kita sebut ‘hal’, dapat mengabstraksikan
mereka pertama kali dari eksistensi dan kemudian memberi predikat eksistensi kepada mereka. Oleh
karena itu pikiran menghubungkan pada suatu hal yang dipertimbangkan sebagai bagian dari
eksistensi. Maka eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan, aksidental, dan berada
dalam hal-hal. Dalam proses mental ini, konsep yang tunggal, umum, abstrak menjadi majemuk dan
secara rasional dibagi menjadi bagian-bagian yang berhubungan dengan hal-hal. Eksistensi hal-hal
merupakan bagian-bagian tersebut, dan bagian-bagian tersebut, bersama dengan konsep eksistensi
yang umum dan abstrak, merupakan sesuatu yang eksternal bagi ‘esensi’ hal-hal dan hanya secara
mental ditambahkan kepada mereka. Menurut perspektif ini, eksistensi merupakan sesuatu yang
murni konseptual, sedangkan esensi merupakan sesuatu yang nyata; esensi-esensi merupakan
realitas yang diaktualisasikan secara ekstramental. Tetapi kita katakan lebih lanjut dalam tambahan
pada konsep eksistensi tersebut bahwa terdapat entitas lain yang merupakan realitas akan eksistensi,
yang dengannya eksistensi sebagai konsep murni menjadi bagian alamiah dalam pikiran sebagai
salah satu akibatnya. Eksistensi sebagai realitas, tidak seperti bagian konseptualnya, bukanlah
sesuatu yang statis; eksistensi secara terus menerus melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan
swa-pengungkapan ontologis yang dinamis, yang mengartikulasikan kemungkinan dalamannya
(inner) yang tidak terbatas dalam gradasi dari kurang menentukan hingga semakin menentukan
sampai eksistensi muncul pada tingkatan bentuk konkret, seperti eksistensi partikular yang kita
pandang sebagai ‘hal-hal’ yang banyak dan beranekaragam yang memiliki ‘esensi’ individual
terpisah yang tidak lain merupakan modus dan aspek dari realitas eksistensi. Dari perspektif ini,
esensi hal-hal tidak lain dari sebuah entitas yang hanya dalam konsep, sedangkan eksistensi hal-hal
merupakan sesuatu yang nyata. Tentu saja, esensi sejati dan benar dari hal-hal adalah eksistensi
sebagaimana diindividuasikan ke dalam modus partikular. Realitas eksistensi inilah yang telah kita
identifikasi di atas sebagai meliputi-semua Realitas atau Kebenaran (al-haqq), dengan mana Tuhan
sebagai yang absolut disebut dalam semua bentuk manifestasi tersebut.
Karena filsafat modern dan sains telah kemudian menyadari sifat-dasar mendasar fenomena
adalah proses, nama-nama deskriptif yang telah digunakan para filsuf dan saintis untuk
menghubungkan dengan proses harus juga merefleksikan dinamisme yang terlibat dalam inti
gagasan proses. Mereka telah menggunakan nama seperti ‘kehidupan’ atau ‘impuls vital’, atau
‘energi’, menyiratkan pergerakan, perubahan, proses-menjadi (becoming) yang merupakan hasil dari
peristiwa dalam ruang-waktu. Pemilihan nama-nama tersebut sebagai deskripsi manifestasi realitas
sebagai proses oleh mereka merupakan sebuah tanda bahwa mereka mempertimbangkan eksistensi,
tidak seperti kehidupan, impuls vital, atau energi, yang hanya sebagai sebuah konsep; dan hanya
sebagai konsep eksistensi tentu sesuatu yang statis, yang secara jelas mendiskualifikasinya sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan proses. Dalam pengertian ini, rumusan mereka terhadap filsafat
sains, dalam kontradiksi dengan posisi mereka bahwa realitas yang mendasari fenomena adalah
proses, tetap berputar di dalam lingkungan sebuah pandangan-dunia esensialistik, sebuah
pandangan-dunia yang asyik dengan ‘hal’ sebagai ‘esensi’ independen dan berada, dan terhadap
peristiwa, hubungan, dan konsep yang menyentuh pada hal-hal tersebut, yang membuat hal-hal
tersebut menunjuk pada diri mereka sebagai realitas tunggal, dan bukan pada Realitas lain yang di
luar mereka baik memasukkan maupun mengecualikan mereka. Posisi kita adalah bahwa apa yang
sungguh-sungguh sebagai deskripsi sifat-dasar mendasar fenomena sebagai proses adalah
‘eksistensi’ sebab hanya eksistensi, baik dipahami sebagai konsep maupun realitas, adalah entitas
paling dasar dan universal yang kita ketahui. Benarlah bahwa eksistensi yang dipahami sebagai
konsep merupakan sessuatu yang statis dan tidak berhubungan dengan proses. Tetapi kita
memertahankan bahwa eksistensi bukanlah hanya sebuah konsep tetapi juga sebuah realitas:
eksistensi bukan hanya postulat dalam pikiran, tetapi juga entitas nyata dan aktual yang independen
dari pikiran. Eksistensi merupakan sesuatu yang bersifat dinamis, aktif, kreatif, dan mengandung
banyak kemungkinan swa-pengungkapan ontologis yang tak terbatas; eksistensi merupakan sebuah
aspek dari Tuhan yang muncul dari sifat-dasar intrinsik dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan
oleh karena itu merupakan sebuah entitas ‘sadar’ yang bertindak berdasarkan cara Tuhan biasa
bertindak (sunnat Allāh). “Hukum alam” yang biasa disebut pada kenyataannya merupakan
kebiasaan Tuhan dalam bertindak, dan dipahami seperti demikian, “hukum” tersebut tidak lagi
terlihat secara ketat karena kini terbuka pada kemungkinan yang tak terbatas. Maka eksistensi
merupakan bahan pokok dan mendasar dari realitas, sedangkan kehidupan, impuls vital, atau energi
dan istilah lain yang serupa yang digunakan oleh para filsuf dan saintis untuk menggambarkan
entitas mendasar tersebut, yang merupakan realitas yang mendasari sifat-dasar hal-hal, semuanya itu
sekunder terhadap eksistensi karena mereka semua itu seperti bagian-bagian atau sifat-sifat dari
eksistensi.
Ketika kita katakan bahwa haqq menunjuk baik apa yang nyata dan yang benar, kita
mengatakan bahwa haqq memiliki sebuah aspek menyentuh pada yang nyata dan aspek yang
menyentuh pada yang benar dalam pengertian bahwa yang nyata menunjuk pada yang ontologis
dan yang benar pada tatanan logis dari eksistensi. Haqq yang bermakna ‘nyata’ ditujukan pada
realitas eksistensi maupun sebagai modus-modus dan aspek-aspeknya yang kita pahami sebagai
‘peristiwa’ dan ‘proses’; yang bermakna ‘benar’, haqq menunjuk pada putusan menyesuaikan dengan
realitas eksternal yang muncul sebagai ‘hal-hal’ dari peristiwa atau proses. Penyesuaian ini
melibatkan korespondensi dan koherensi tertentu antara tindakan intelektual akan putusan dan
realitas eksternal yang sedang diterima. Seperti kita katakan sebelumnya dalam hubungan dengan
persepsi, realitas yang menyusun dunia eksternal tidak secara langsung atau segera diberikan dalam
pengalaman, tetapi merupakan abstraksi terhadap mereka dalam pelbagai derajat yang ditampilkan
indera eksternal dan internal, dan diubah menjadi pengetahuan tentang dunia eksternal dengan
konstruksi intelektual. Maka pengetahuan konseptual kita berhubungan dengan informasi yang
dikandung kesadaran atau jiwa kita oleh indera-indera; dan konsepsi kita tentang realitas eksternal
ada dalam hubungan koherensi dalam sebuah sistem hubungan konseptual yang sudah dicetak pada
jiwa yang membawa pada kita visi akan sifat-dasar Realitas. Posisi kita adalah bahwa korespondensi
dan koherensi akan sifat-dasar kebenaran harus memenuhi kondisi bersamaan dengan keperluan
akan kebijaksanaan dan keadilan. Kebijaksanaan adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan yang
membuat penerimanya mengetahui tempat yang tepat, atau membuat putusan yang tepat terhadap
tempat yang tepat tentang hal atau objek pengetahuan. Keadilan adalah kondisi ketika hal atau objek
pengetahuan ada di tempat mereka yang tepat. Dengan demikian untuk hal tersebut menjadi benar,
korespondensi dan koherensi harus bersamaan dengan tempat yang tepat. Gagasan tempat yang
benar atau tepat melibatkan keniscayaan bagi setiap hal dalam tatanan ciptaan untuk ada dalam
kondisi tersebut — yakni, disebarkan dalam tatanan tertentu dalam pengertian prioritas dan
posterioritas maupun dalam pengertian ruang dan posisi dan diatur berdasarkan pelbagai tingkatan
dan derajat. Secara ontologis, hal-hal ciptaan sudah diatur, tetapi manusia, karena kebodohan
terhadap tatanan yang adil meliputi semua ciptaan, membuat perubahan dan kebingungan akan
tempat hal-hal sehingga muncul ketidakadilan. Ketidakadilan adalah meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya yang tepat; ketidakadilan merupakan kondisi tidak mencukupi atau melampaui batas
tempat yang tepat sehingga tatanan umum hal-hal menjadi tidak harmonis. Tentu saja, inti makna
‘tepat’ juga termasuk dalam haqq, karena juga menunjuk pada yang dimiliki seseorang; haqq
merupakan bagian yang tepat atau spesifik yang sesuai dengan sifat-dasar atau susunan esensial
seseorang, bagi diri sendiri; haqq merupakan sesuatu yang inheren, sebuah bagian, dan sifat esensial.
Maka tempat dari seorang, hal, dan objek pengetahuan tidak hanya menunjuk pada lokasi atau
ruang spesifik yang ditempati oleh orang, hal, objek pengetahuan; haqq juga merupakan posisi
alamiah, posisi yang sesuai pada alam, baik dalam dunia eksternal maupun dalam imajinasi dan
pikiran, tentang orang tersebut, hal, objek pengetahuan. Oleh karena itu kita tidak setuju, bahwa
pengetahuan hanya menyentuh fenomena; bahwa kebenaran hanya sifat dari pernyataan atau
kalimat deklaratif, atau kepercayaan dan putusan darimana pernyataan tersebut diturunkan dan
yang tergantung dengan hubungan kepercayaan atau putusan tersebut dengan beberapa fakta;
bahwa fakta itu netral dalam hubungan dengan kebenaran dan kepalsuan. Kita memertahankan
bahwa kebenaran juga merupakan bagian dari sifat-dasar hal-hal sejauh mereka sesuai dengan
kecocokan pada keperluan akan kebijaksanaan dan keadilan, yakni, pada keperluan kondisi dalam
tempat mereka yang benar dan tepat. Dan ini tidak bermakna bahwa kebenaran itu hanya sebuah
hubungan pernyataan atau putusan kepada fakta, yang akan membuat fakta menjadi sepadan
dengan kebenaran. Meskipun sebuah kalimat dapat benar jika ditujukan kepada fakta, keberadaan
fakta itu sendiri tidak serta merta membuat fakta menjadi sebuah kebenaran. Kebenaran tidak
sekedar kesesuaian dengan fakta sebab fakta dapat diciptakan manusia dan dengan demikian tidak
berada di tempatnya yang tepat, yang bermakna bahwa fakta dapat salah. Kenyataan bahwa fakta
dapat diciptakan manusia mengonfirmasikan kebenaran penolakan kita akan kenetralan fakta dalam
hubungan dengan kebenaran dan kepalsuan, karena inti eksistensi fakta itu sendiri tergantung pada
nilai yang berada pada pandangan-dunia partikular dari pencipta mereka. Maka kebenaran yang
melibatkan sebuah hubungan dan koherensi tertentu tidak kita maksudkan sekedar sebuah
hubungan pemikiran, gagasan, atau kepercayaan dengan fakta, kecuali fakta tersebut dalam
tempatnya yang tepat, yakni, kecuali fakta itu sesuai di dalam sistem integratif akan kebenaran yang
saling-berhubungan sebagaimana dimengerti jiwa. Tempat yang tepat dari manusia, contohnya,
adalah bahwa dia harus dipertimbangkan baik sebagai entitas spiritual dan fisik; bahwa dia
merupakan makhluk hidup yang memiliki fakultas dalaman pengetahuan yang menangkap makna
dari universal; yang memiliki kekuatan dan kapasitas mengartikulasikan kata-kata atau bentuk
simbol dalam pola yang bermakna; dia merupakan ruh, jiwa, hati dan intelek yang termanifestasi
dalam bentuk jasmani, dan ruh, jiwa, hati dan inteleknya menunjuk pada realitas yang satu dan sama
yang dinamakan dengan banyak nama karena modusnya yang banyak dalam hubungan dengan
pelbagai tingkatan eksistensi yang meliputi wilayah spiritual dan fisik. Realitas dan kebenarannya
(haqq) berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Tetapi jika kita telah tersekularisasi sepenuhnya, jika
kita mempertimbangkan hanya sebagai sesuatu yang fisik, seekor hewan yang berbeda dari hewan
yang lain hanya dalam derajat dan bukan dalam jenis, maka dia tidak akan pada kenyataannya
dipertimbangkan pada tempatnya yang tepat. Dan proposisi saintifik tertentu yang menyentuh
padanya yang dengan demikian dipertimbangkan, seperti yang muncul dari pernyataan dan
kesimpulan umum dari rekayasa genetik, contohnya, meskipun didukung dengan bukti empiris,
namun adalah salah sebab mereka melayani premis-premis yang berdasarkan interpretasi yang salah
terhadap sifat-dasar manusia, yang pada gilirannya tergantung pada sistem salah yang diakui untuk
mendukung menggambarkan tatanan yang benar dari realitas.
Untuk makna haqq sebagai realitas, istilah tepat yang digunakan untuk menunjuk realitas
adalah haqīqah, yang diturunkan dari haqq. Pemilahan antara haqq dan haqīqah adalah bahwa yang
terdahulu menunjuk kepada kondisi, tatanan, atau sistem ontologis sebagaimana diketahui dengan
jalan intuisi; sedangkan yang kemudian menunjuk pada struktur ontologis, pada inti sifat-dasarnya,
makhluk atau diri suatu hal. Haqīqah atau realitas adalah yang dengannya suatu hal adalah hal
tersebut apa adanya (by which a thing is what it is). Kini bahwa yang dengannya suatu hal adalah hal
tersebut apa adanya memiliki aspek ganda; di satu pihak karena segala sesuatu merupakan bagian
dari realitas, maka realitas merupakan sesuatu yang umum pada segala sesuatu. Sesuatu yang
umum pada segala sesuatu ini adalah eksistensi. Dengan demikian salah satu dari aspek ganda dari
yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya adalah ‘menjadi maujud’ dari hal tersebut.
Aspek lain yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya adalah ‘menjadi-terpilah’nya
dari yang lain. ‘Menjadi-maujud’ adalah umum bagi semua maujud dalam pelbagai tingkatan
eksistensi, dan meskipun eksistensi merupakan bahan dari realitas, bukanlah, berbicara secara ketat,
keumuman yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut apa adanya; melainkan adalah ‘menjadi-
terpilah’ dari yang lain yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut apa adanya, karena hanya
dengan sebab keterpilahan realitas-realitas tersebut telah datang ke dalam eksistensi. Oleh karena itu
sifat-dasar mendasar dari realitas adalah perbedaan.
Eksistensi (wujūd, dari wujida bentuk pasif dari wajada) menunjuk sesuatu yang ditemukan,
disibak, diterima, diketahui, diinderai — dengan indera eksternal dan internal atau intelek, atau hati.
Karena eksistensi sebagai realitas merupakan bahan penciptaan yang darinya hal-hal menjadi ada,
bentuk lain dari kata tersebut (ījād) menunjuk sesuatu yang dieksistensiasikan, diciptakan, diasalkan.
Karena kenyataan bahwa eksistensilah yang meliputi segala sesuatu, eksistensi tersebut swa-
mencukupi dalam keabadian yang melimpah ruah, dan ini berarti tidak sedang dalam keinginan,
atau kebutuhan, yang ditunjuk namun dengan bentuk lain (wājid). Ketika dengan intuisi yang lebih
tinggi seseorang kemudian menemukan realitas yang ada, ‘penemuan’ eksistensi ini disebut wijdān,
yang kita katakan sebelumnya menunjuk pada intuisi akan eksistensi. Jadi ketika kita menunjuk
sebagaimana di atas pada aspek dari yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya
sebagai ‘menjadi-maujud’nya, ‘menjadi-maujud’ dari suatu hal tidak seharusnya diinterpretasikan
sebagai menunjuk sesuatu yang hanya ada secara aktual atau mutakhir dalam dunia eksternal; tetapi
juga menunjuk kategori eksistensi tersebut dalam kondisi interior realitas eksistensi yang secara
berkelanjutan membentangkan dirinya sendiri dalam gradasi menjadi hal-hal yang kita lihat dan
pegang. Eksistensi bermakna memiliki tempat dalam tatanan realitas. Karena eksistensi yang
dipartikularisasi sebagai ‘menjadi maujud’ dari suatu hal merupakan salah satu dari aspek ganda
realitas, penunjukkan akan ‘tempat’, ketika kita katakan bahwa eksistensi itu berarti memiliki tempat
dalam tatanan realitas, maka merupakan ‘menjadi maujud’ dari suatu hal. Tatanan realitas, menurut
kita dan dalam pengertian yang sudah disebutkan, tidak dapat dibatasi pada dunia fenomena, atau
dunia hal-hal empiris dalam alam indera dan pengalaman inderawi.
Ketika kita mendefinisikan pengetahuan sebagai mengandung unit-unit makna yang secara
koheren terhubung pada unit lain yang serupa dengan demikian membentuk ide, konsepsi, dan
putusan; dan kita mendefinisikan makna sebagai pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem
yang muncul ketika hubungan suatu hal dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami,
kita mengerti bahwa hubungan atau jaringan hubungan seperti itulah yang menentukan pengenalan
kita akan tempat suatu hal yang tepat dalam sistem. Dengan ‘sistem’ kita menunjuk pada jalur yang
tidak hanya pada sistem awal dan parsial di dalam sebuah jaringan sistem yang saling-berhubungan,
tetapi akhirnya juga pada sistem pokok dan ontologis skala-besar sebagai suatu keseluruhan. Kita
dalam persetujuan bersama bahwa semua pengetahuan itu datang dari Tuhan, dan cara
kedatangannya dan indera-indera dan fakultas-fakultas yang menerima dan menafsirkannya secara
terpilah tidaklah sama. Karena semua pengetahuan dari Tuhan, dan diinterpretasikan oleh jiwa
melalui fakultas fisik dan spiritual atau kecerdasan, maka definisi epistemologisnya akan menjadi
bahwa pengetahuan, dengan referensi pada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah tibanya makna
pada jiwa; dan dengan referensi jiwa sebagai penerima aktif dan penafsirnya, pengetahuan adalah
tibanya jiwa pada makna. Dunia alam seperti digambarkan Qur’ān Suci tersusun dari bentuk
simbolik (āyāt), seperti kata-kata dalam sebuah buku. Tentu saja, dunia alam adalah bentuk Wahyu
Ilahiyah yang lain yang analogis dengan Qur’ān Suci itu sendiri, hanya saja buku yang besar dan
terbuka dari alam merupakan sesuatu yang diciptakan; alam menampilkan dirinya dalam
kemajemukan dan bentuk beragam yang mengambil eksistensi simbolik dengan sebab secara
berkelanjutan diartikulasikan oleh kata penciptaan dari Tuhan. Kini sebuah kata sebagaimana kata
tersebut sungguh-sungguh ada merupakan sebuah simbol, dan untuk mengetahuinya sebagaimana
kata tersebut sungguh-sungguh ada adalah mengetahui untuk apa ia berada, apa yang
disimbolisasikan, apa maknanya. Jika kita memandang sebuah kata seperti seolah-olah ia memiliki
realitas independen dari dirinya sendiri, maka kata tidak lagi menjadi sebuah tanda atau simbol
selama dibuat menunjuk dirinya sendiri, yang bukan merupakan apa yang sungguh-sungguh ada.
Jadi, secara serupa dalam cara mempelajari alam, akan segala hal, objek pengetahuan apapun di
dunia hal-hal yang diciptakan, jika ungkapan ‘sebagaimana ia sungguh-sungguh ada’ diterima
bermakna diduga keras sebagai realitas independen, secara esensial dan eksistensial, seolah-olah hal
tersebut merupakan sesuatu yang pokok dan swa-berada, maka studi semacam itu menghilangkan
tujuan sejati dan pengejaran pengetahuan menjadi penyimpangan dari kebenaran, yang secara
niscaya memertanyakan keabsahan pengetahuan demikian. Karena sebagaimana sesuatu sungguh-
sungguh ada adalah sesuatu yang lain dari apa hal tersebut adanya, dan yang ‘lain’ itu adalah apa
maknanya. Dengan demikian dengan cara yang sama mempelajari kata-kata sebagai kata-kata akan
mengarah kepada penyimpangan dari kebenaran yang mendasari mereka, keasyikan dalam filsafat
dan fisika dengan hal-hal sebagai hal-hal mengarah pada kesalahan, akan rasio sehat yang percaya
pada eksistensi mereka di luar pikiran sebagai kumpulan partikel secara terus menerus melewati
periode tertentu dan bergerak dalam ruang, seolah-olah partikel tersebut merupakan materi pokok
dari dunia. Sedangkan pada kenyataannya bahan dari ‘materi’ terdiri dari rangkaian peristiwa (a’rād,
tunggal. ‘arad), dan fenomena fisik merupakan proses yang setiap rinciannya tidak sinambung
(diskontinyu). Maka suatu hal seperti kata pada kenyataannya secara pokok merupakan sebuah
tanda atau simbol, dan tanda atau simbol merupakan sesuatu yang nampak dan tidak terpisahkan
dari suatu hal lain yang tidak sama-sama muncul, dengan sedemikian rupa ketika yang terdahulu
diterima, yang lain, yang tidak dapat diterima dan yang merupakan salah satu kesulitan sebagai
yang terdahulu, menjadi diketahui. Itulah mengapa kita mendefinisikan pengetahuan secara
epistemologis sebagai tibanya dalam jiwa akan makna dari suatu hal, atau tibanya jiwa pada makna
dari suatu hal. ‘Makna akan sesuatu’ berarti makna yang benar darinya, dan apa yang kita
pertimbangkan sebagai makna yang ‘benar’ yang ada dalam pandangan kita ditentukan sistem
konseptual Qur’āni. Dengan demikian frase-frase yang kita gunakan sebelumnya, seperti ‘tatanan
yang benar dari realitas’, ‘tatanan yang adil meliputi semua ciptaan’, ‘tingkatan dan derajat’, dan
‘tatanan umum dari hal-hal yang diciptakan’ dalam referensi kita pada ‘sistem’ hubungan
konseptual dimana ‘tempat yang tepat’ akan hal-hal menjadi dikenali, tidak lain menunjuk kepada
sistem konseptual Qur’āni. Korespondesi dan koherensi sebagaimana kita pahami dalam hubungan
dengan realitas dan kebenaran menunjuk pada tempat yang tepat dalam kasus terdahulu dan pada
sistem Qur’ān dalam kasus yang kemudian.
Pengetahuan tidak terbatas sebab objek pengetahuan itu tanpa batas. Tetapi ada sebuah batas
kebenaran dalam setiap objek pengetahuan, sehingga pengejaran pengetahuan sejati bukanlah
sebuah pencarian tanpa akhir. Jika penelusurannya menjadi tanpa akhir, maka akan menjadi
mustahil mencapai pengetahuan dalam sejengkal waktu yang memiliki awal dan akhir, dan akan
membuat pengetahuan itu sendiri menjadi tidak bermakna. Pengetahuan akan kebenaran tentang
dunia hal-hal empiris dapat sungguh dicapai dan ditingkatkan melalui penelusuran yang dibuat oleh
generasi manusia. Tetapi pengetahuan sejati memiliki ketegasan langsung pada manusia individu
karena menyentuh identitas dan takdirnya, dan dia tidak dapat menunda putusan terhadap
kebenaran pengetahuan tersebut tidak seperti sesuatu yang akhirnya dapat ditemukan oleh generasi
di masa depan. Itulah mengapa krisis kebenaran muncul dalam setiap generasi menyentuh pada
pengetahuan sejati, dan krisis kebenaran ini sebelumnya mungkin tidak begitu akut sebagaimana
dalam masa kita. Filsafat modern dan sains tidak mampu memberikan jawaban meyakinkan pada
pertanyaan permanen tentang kebenaran. Perwakilan mereka mencoba menjelaskan hanya
‘perspektif kebenaran’ dari zaman ketika krisis kebenaran itu muncul, dan dengan demikian
melepaskan kebenaran dari objektifitasnya. Seseorang tidak dapat mengubah, menambahkan,
maupun menghiasi kebenaran sehingga dapat menjadi lebih benar, maupun seseorang dapat
mengurangi darinya; dalam kasus yang lain kebenaran tidak akan menjadi kebenaran, tetapi adalah
kesalahan. Kebenaran secara tepat adalah dirinya sendiri, tidak lebih atau kurang. Karena pada
setiap kebenaran terdapat sebuah batas yang benar terhadap kebenaran tersebut; pengetahuan akan
batas itu adalah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan setiap kebenaran ditugaskan pada maknanya
yang tepat yang tidak kurang maupun melampauinya. Terdapat batas akan kebenaran dalam setiap
objek pengetahuan, dan setiap objek pengetahuan memiliki batas kebenaran yang berbeda, beberapa
lebih sukar dikenali dan sulit untuk ditemukan dari yang lain, sehingga dalam usaha kita yang terus
menerus untuk menemukan mereka tidak ada pertanyaan akan pembatasan penelusuran, yang
tujuannya, dibimbing oleh kebijaksanaan, adalah untuk mengetahui batas tersebut. Oleh karena itu
pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap objeknya.
Qur’ān Suci sendiri berbicara tentang tanda-tanda dan simbol-simbolnya sebagai terdiri dari
sebagian yang jelas dan mapan (al-muhkamāt), dan sebagian darinya ada yang tidak jelas dan ambigu
(al-mutashābihāt). Dalam hubungan dengan tanda-tanda dan simbol-simbol dari Qur’ān Suci, dunia
fenomena juga terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang kita sebut ‘hal-hal’ yang jelas dan
mapan dalam makna mereka, dan yang tidak jelas dan ambigu. Deteksi, penemuan, dan
pengungkapan makna yang tersembunyi dari tanda-tanda dan simbol-simbol ambigu dalam Qur’ān
Suci disebut interpretasi alegoris (ta’wīl), dan hal ini berdasarkan interpretasi dari sesuatu yang jelas
(tafsīr). Dengan demikian, dalam cara yang sama bahwa interpretasi terhadap teks yang tidak jelas
dan ambigu harus berdasarkan sesuatu yang jelas dan mapan, demikian juga interpretasi atau studi
dan penjelasan terhadap ketidakjelasan dan aspek yang ambigu dari hal-hal di dunia empiris harus
berpijak pada apa yang sudah diketahui dan mapan. Meskipun kita katakan bahwa beberapa dari
hal-hal yang menyusun dunia empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi, adalah simbol-
simbol yang maknanya jelas dan mapan, kejelasan dan kemapanan mereka dipahami dengan sebab
being mereka dipertimbangkan dalam makna mereka yang nampak sebagaimana tiba dengan jalan
rasio sehat. Tetapi karena mereka juga bersifat fisik dalam alam, mereka semua secara umum ambigu
sebab mereka muncul pada kesadaran kita dengan menunjuk diri mereka sendiri, seolah-olah
masing-masing memiliki realitas independen, individual, dan swa-berada. Sebagai simbol-simbol
mereka itu, pastinya, bukan sesuatu yang tidak nyata, bukan hanya penampakan karakter ilusi;
tetapi mereka hanya disediakan untuk dimengerti sebagai sesuatu dalam hubungan mendalam dan
tergantung dengan apa yang mereka simbolisasi. Sebaliknya, dipertimbangkan sebagai hal-hal pada
diri mereka sendiri, mereka tidaklah nyata, dalam pengertian mereka ada seperti itu hanya dalam
pikiran, tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal. Apa yang merupakan maujud
dalam dunia eksternal dan independen dari pikiran merupakan realitas-realitas dalam proses
aktualisasi ke dalam bentuk-bentuk partikular dan individual, yang merupakan modus-modus dan
aspek-aspeknya dari Realitas tunggal dan dinamis yang meliputi segalanya.
Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju tempat
yang telah kita dengar tetapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di persimpangan utama
dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan terdapat penunjuk arah
dengan banyak lengan dalam pelbagai ukuran yang menunjuk kepada pelbagai arah yang menandai
jalan menuju tempat yang berbeda. Penunjuk arah dan lengannya dibuat secara sederhana dan di cat
putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang berfungsi sebagai lengan digoreskan huruf tebal dan
hitam tentang nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati
dan lampunya menyinari penunjuk arah dan lengannya yang banyak, kita segera sadar terhadap
salah satu lengan yang menegaskan nama tempat tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika
kita hendak mengejar tujuan kita, tentunya kita akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan
mengikuti jalan menuju apa yang tanda tersebut tuju. Kita akan melakukan ini karena tandanya itu
jelas. Tetapi kini andaikan penunjuk arahnya dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan
lengan penunjuk dipahat menjadi bentuk yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif
mereka dari titik tersebut dipahat menjadi huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang
jarang ditemui — akankah kita kemudian mampu untuk mengikuti, tanpa banyak ragu dan
berlambat-lambat, lengan penunjuk yang akan menunjukkan kita jalan menuju tujuan kita; dan
akankah kita kemudian mudah berpaling dari penunjuk arah untuk mengikuti jalan yang diarahkan?
Tentu saja, apa yang paling mungkin terjadi dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil
dan bahkan keluar dalam hujan dengan senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di
hadapan kita. Dan kita mungkin akan menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk
penglihatan yang lebih memuaskan. Tanda tersebut dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan
menunjuk dirinya sendiri daripada menunjuk kepada objek yang inti eksistensinya bergantung
padanya.
Apa yang telah kita katakan di atas seharusnya membuat jelas kepada kita bahwa sains
menurut Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wīl atau interpretasi alegoris terhadap hal-
hal empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap
pada tafsīr atau interpretasi tentang penampakan atau makna yang jelas dari hal-hal dalam alam.
Makna mereka yang nampak dan jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam sistem hubungan;
dan tempat mereka menjadi nampak kepada pemahaman kita ketika batas kebenaran dari arti
mereka dikenali. Ta’wīl secara dasar bermakna mendapatkan makna mendasar dan primordial dari
sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi bahkan dalam kasus ini, terdapat hal-hal yang makna
pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan mereka yang secara mendalam berakar dalam
pengetahuan yang menerima hal tersebut sebagaimana adanya melalui kepercayaan-kuat yang benar
yang kita sebut īmān. Hal ini merupakan posisi kebenaran: bahwa terdapat batas makna dari hal-hal,
dan tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti mereka.
Pembatasan bukanlah sebuah kekurangan. Indera internal dan eksternal kita dan fakultas
imajinasi dan kognisi semuanya memiliki kekuatan dan potensi terbatas, dengan masing-masing
diciptakan untuk mengandung dan memelihara informasi yang diperhatikannya dimana untuknya
itu telah ditetapkan. Terdapat tujuan pragmatis dalam pembatasan, karena dengannya kita mampu
menerima dan memahami objek pengetahuan dan gagasan tentang mereka dan hubungan mereka
sehingga kita dapat meletakkan pengetahuan tentang hal-hal untuk kegunaan yang bermanfaat. Jika
kita memiliki indera yang kekuatannya tidak terbatas, seperti indera yang dimiliki binatang tertentu,
persepsi kita tentang hal-hal dalam kehidupan sehari-hari akan berbeda; karena bukan hanya
bentuk, tekstur, warna dan karakteristik lain tentang hal-hal akan berbeda dengan apa yang secara
normal kita terima, tetapi juga bahwa beberapa dari mereka tidak akan ada sama sekali bagi kita, ,
dan dengan demikian mempengaruhi inti eksistensi kebudayaan dan peradaban manusia. Kemudian
lagi, jika kita memiliki mata yang kekuatannya semakin kurang dibatasi daripada binatang-binatang
tertentu; mata yang dapat menembus tabir fenomena seperti yang mereka yang dapat melihat
peristiwa dan proses yang mendasari dunia fenomena, maka bentuk hal-hal akan hilang dari
pandangan kita dan kita tidak mampu menurunkan dari mereka pengetahuan partikular yang
membimbing pada universal/semesta dan inti makna hal-hal akan hilang. Oleh karena itu
pengaturan batas pada saluran dan sumber dengan mana kita memperoleh pengetahuan merupakan
sebuah rahmat dan kasih sayang Tuhan dengan maksud agar kita mampu mengerti makna objek-
objek pengetahuan maupun untuk memahami Pencipta mereka.
Karena peran sains adalah sebagai deskripsi dari fakta, dan fakta yang mengalami perubahan
berkelanjutan dengan sebab realitas yang mendasari mereka merupakan proses, kemudian aspek
sekular dan filsafat modern dan sains akhirnya mempertimbangkan perubahan sebagai sifat-dasar
pokok realitas. Itulah mengapa sekularisasi sebagai program filosofis, dalam usahanya untuk
menghubungkan dengan realitas yang dipertimbangkan sebagai perubahan absolut, mendukung
perubahan dalam semua aspek kehidupan, lalu menolak kemapanan dalam pandangan-dunia dan
menyebarkan kepercayaan akan sebuah masa depan yang terbuka. Dengan ‘perubahan’, yang
merupakan pergerakan melibatkan ruang dan waktu mengandaikan keanekaragaman, para filsuf
dan saintis biasanya memaksudkan perubahan akan tempat atau posisi, atau perubahan kualitatif
dan kuantitatif yang melibatkan perubahan abadi atau proses-menjadi. Beberapa memertahankan
bahwa semua gerak itu relatif dan tidak ada gerak yang absolut; dan beberapa percaya bahwa
perubahan hanya berkaitan dengan persepsi psikologis. Kepercayaan bahwa pengetahuan
menyentuh hanya pada fenomena menyertakan kepercayaan bahwa realitas merupakan perubahan.
Kita tidak sepakat bahwa perubahan hanya bersifat psikologis atau ‘subjektif’ karena kita mengakui
bahwa pergerakan itu nyata. Posisi kita bahwa perubahan itu sebuah realitas harus dipahami tanpa
menyiratkan bahwa perubahan itu absolut; karena kita memertahankan bahwa realitas itu sekaligus
permanensi dan perubahan, bukan dalam pengertian bahwa perubahan itu permanen, tetapi dalam
pengertian bahwa terdapat sesuatu yang permanen dengan mana perubahan itu muncul. Implikasi
yang mendasari konsep perubahan adalah keanekaragaman hal-hal yang menyusun dunia fenomena
yang entah bagaimana terus-menerus ada dalam eksistensi dan mengalami pergerakan atau
perubahan. Kita memertahankan bahwa hal-hal fenomenal tidak tetap dalam eksistensi, tetapi binasa
ketika menjadi eksistensi, dimana secara berkelanjutan digantikan dengan yang baru dan serupa
dalam proses terus menerus. Pembinasaan akan hal-hal disebut, menurut ungkapan Qur’ān, hālik
atau fanā’; dan proses pembaharuan terus menerus, kembali menurut ungkapan Qur’ān, disebut khalq
jadīd — sebuah penciptaan yang baru. Maka dunia merupakan sesuatu yang selalu baru (muhdats),
dan hal itu sesuatu yang baru. Perubahan, kita katakan, muncul bukan pada tingkatan hal-hal
fenomenal, karena mereka selalu-binasa, tetapi pada tingkatan realitas mereka yang terkandung
dalam diri mereka semua kondisi masa depan mereka. Dalam pengertian ini perubahan merupakan
aktualisasi potensialitas yang inheren dalam realitas hal-hal yang, sebagaimana mereka bentangkan
isi mereka, memelihara identitas utuh mereka sepanjang waktu. Dunia fenomena, kita katakan
sebelumnya, merupakan proses yang setiap rinciannya tidak sinambung. Ketidaksinambungan
eksistensi dalam setiap rinciannya itu berkaitan dengan sifat-dasar fenomena yang selalu-binasa
yang digantikan dengan yang baru dan serupa. Ketidaksinambungan dalam eksistensi juga
melibatkan realitas yang mendasari semua fenomena; tetapi sedangkan dunia fenomena itu selalu-
baru, realitas-realitas tersebut berubah namun tetap sama. Perubahan mereka merupakan
pembentangan kondisi potensial mereka yang melibatkan ketidaksinambungan eksistensial pada
setiap kondisi aktualisasi; keadaan mereka yang tetap sama merupakan perolehan kembali identitas
mereka. Dengan demikian realitas merupakan selalu-memperoleh kesinambungan dalam eksistensi,
sementara modus fenomena dan aspek mereka binasa saat aktualisasi. Kesinambungan selalu-
memperoleh ini dalam eksistensi disebut, menggunakan ungkapan Qur’ān yang lain, baqā’. Aspek
ganda realitas — permanensi dan perubahan — mengandaikan kategori metafisis ketiga antara
eksistensi dan non-eksistensi, dan kategori metafisis ketiga ini adalah alam entitas permanen (al-a’yān
al-thābiţhah) yang merupakan aspek nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Pada Realitas Tertinggi yakni
Tuhan, bahkan meskipun Dia menggambarkan diri-Nya dalam pengertian eksplisit tentang
dinamisme absolut, Dia terlalu agung untuk diterima sebagai terbenam dalam proses deskriptif dari
proses-menjadi atau perubahan.
Dalam bab ini kita telah mengandung pernyataan ringkas yang menggariskan posisi kita
tentang makna agama dan kepercayaan; tentang sifat-dasar Tuhan; tentang sekularisasi dan sifat-
dasar sains dan filsafat modern dan kontemporer, dan menampilkan sebuah inti sari asumsi dasar
dan presuposisi mereka. Kita mengangkat bahwa terdapat kesamaan antara posisi kita dan filsafat
dan sains modern dalam memandang sifat-dasar fenomena dan realitas empiris maupun sumber dan
metode pengetahuan, sementara secara bersamaan kita memertahankan bahwa terdapat perbedaan
mendalam dalam pemahaman kita yang tepat akan mereka terkait secara pokok pada afirmasi kita
akan Wahyu — dan Tradisi yang menurunkannya — sebagai sumber pengetahuan sejati akan
realitas pokok. Kita telah secara singkat menguraikan pertentangan antara posisi kita dan filsafat dan
sains modern dalam memandang persepsi, rasio, intuisi, dan otoritas sebagai sumber dan metode
pengetahuan. Dalam hubungan ini kita memertahankan pernyataan pada fakultas psikologi sebab
hal itu diluruskan dengan afirmasi eksistensi jiwa, atau ruh kecerdasan, sebagai realitas pokok dari
manusia dan sebagai sumber asal bahasa manusia. Kita menekankan konsep kita tentang tempat
dimulai dengan definisi kita tentang makna sebagai pengenalan tempat di dalam sebuah sistem,
menunjukkan juga hubungan konseptual antara makna dan pengetahuan dengan mendefinisikan
yang kemudian sebagai unit-unit koheren dari yang terdahulu; kita mendefinisikan kebijaksanaan
sebagai pengetahuan akan tempat yang benar; keadilan sebagai kondisi dari dalam kondisi yang
benar; kebenaran sebagai kesesuaian dengan tempat yang benar; realitas sebagai entitas yang
ditempatkan secara permanen dan terpisah; dan eksistensi sebagai tempat dalam tatanan realitas.
Kita menjelaskan makna realitas dan kebenaran, menunjukkan hubungan korespondensi dan
koherensi dengan fakta. Kita membedakan realitas eksistensi dari konsep eksistensi, dan menjaga
bahwa yang terdahulu merupakan kebenaran yang mendasari sifat-dasar proses. Kita
mendefinisikan pengetahuan yang sejati sebagai pengenalan akan batas kebenaran dalam setiap
objeknya. Kita menunjuk kepada sistem Qur’ān akan kesaling-hubungan konseptual dan metode
interpretasinya, mengatakan bahwa sains Islāmi harus menginterpretasikan fakta eksistensi dalam
hubungan dengan sistem tersebut, dan tidak menginterpretasikan sistem tersebut dalam
hubungannya dengan fakta. Kita menyentuh problem perubahan atau pergerakan, dan mengafirmasi
perubahan dan permanensi secara bersamaan; dan kita memertahankan perubahan dan permanensi
hanya pada realitas-realitas hal-hal, dan bukan suatu hal pada dirinya sendiri sebagaimana mereka
selalu-binasa dalam sifat-dasar mereka. Kita juga mengafirmasi permanensi juga pada Tuhan, bukan
menyiratkan dengan ‘permanensi’ sebagai statisitas, maupun pergerakan maupun dinamisitas yang
melibatkan perubahan atau proses-menjadi; sedangkan dalam realitas-realitas perubahan menunjuk
pada aktualisasi potensi mereka, sementara entitas-entitas nyata yang membangun identitas mereka
tetaplah sama. Apa yang telah kita nyatakan di atas dalam ringkasan uraian sudah tersirat, di antara
hal-hal yang lain, keunggulan realitas eksistensi; sifat-dasar dinamis realitasnya yang secara
berkelanjutan membentangkan dirinya dalam gradasi sistematis dari derajat keabsolutan kepada
manifestasi, determinasi, dan individuasi; proses abadi penciptaan yang baru; absensi hubungan
yang niscaya antara sebab dan akibat, dan penjelasannya dalam kausalitas Ilahiyah; kategori
metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi, yang merupakan alam entitas permanen; dan
metafisika perubahan dan permanensi yang menyentuh pada realitas. Hal-hal tersebut menyusun
basis dasar dari metafisika Islāmi, dan hal tersebut ada di dalam kerangka-kerja dari metafisika inilah
filsafat sains kita harus dirumuskan.

Hasil diskusi :

Islamisasi sains inti muaranya adalah mengislamisasikan pandangan hidupnya (worldview).


Illuminate awalnya adalah kumpulan orang2 pintar. Namun kebebasan mereka di kekang oleh
gereja. Akhirnya mereka traumatic dengan agama sehingga mensekulerkan sains.

Dikarenakan kehilangan dorongan spiritualisme akibat traumatic terhadap gereja/ Kristen akibat
doktrin2 mereka yang mengekang kebebasan mereka di karenakan kegiatan mereka menganggu
kewenangan gereja. Akibatnya

Intuiti maksudnya disini adalah Tibanya makna pada jiwa(ilham), dan tibanya jiwa pada
makna(berilmu)…  gerak jiwa kita.

Anda mungkin juga menyukai