Anda di halaman 1dari 5

FILSAFAT ISLAM ; DIALEKTIKA KENABIAN SAW

(Bebarapa pendekatan)

Untuk memahami filsafat Islam lebih jauh dapat dilakukan beberapa pendekatan sebagai
berikut :
1. Pendekatan Historik

Secara historik, Islam lahir oleh risalah kenabuian Muhammad SAW, di Makkah, pada
tahun 571 M. dan merupakan produk dari dialektika sejarah kemanusiaan yang berada
dalam krisis, untuk memberikan jalan kepada manusia merancang hari kehidupannya
yang lebih manusiawi. Dialektika antara pribadi (keakuan, diri atau nafs) Muhammad
SAW. Yang cerdas dan kritis, yang prihatin melihat realitas kehidupan masyarakat
sekitarnya yang mengalami krisis, dan proses dialketika itu kemudian Allah menurunkan
wahyu sebagai bimbingan dalam proses penyelematan manusia dari suatu krisis, untuk
menuju darul Islam, rumah keselamatan dan kedamaian.

Dialektika kenabian Muhammad SAW hadir bahkan ketika Nabi belum menerima
nubuat. Realitas yang didepan matanya merupakan faktor eksternal yang dalam batas-
batas tertentu di internalisasi dalam diri Nabi dan melahirkan sikap-sikap berbeda dengan
kebanyakan individu bahkan bertentangan dengan sistem sosial yang ada. Dialektika
kenabian Muhammad merupakan dialektika yang tidak semata-mata menawarkan
perbedaan atau penentangan atas kenyataan yang ada, melainkan sekaligus memberikan
alternatif jawaban bagi kehidupan yang lebih baik. Dialektika kenabian muncul sebagai
tanggapan atas krisis yang terjadi, namun pada saat yang sama krisis itu juga
dimunculkan kembali pemaknaan yang lain. Sebagaimana sejarah mencatat, praktek
kenabian Muhammad SAW telah membuat sebuah perubahan total dan radikal
menyangkut esensi keberagamaan masyarakat saat itu. Dalam hal ini suatu benturan
pemikiran tidak dapat dihindarkan, dan Nabi tetap melakukannya dengan cara yang bijak
dan cerdas.

2. Pendekatan Doktrinal

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa Nabi Muhammad dibekali dengan kitab dan hikmah
62 ; 2 secara lengkap menjelaskan sebagai berikut ;

‫هوالذي بعث في األميين رسوال منهم يتلو عليهم آيته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضالل‬
‫مبين‬

Artinya : Dia (Allah) yang mengutus diantara mereka orang-orang ummi, seorang Rasul
dari kalngan mereka, yang menjelaskan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan
mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka
sesungguhnya ada dalam kesesatan yang nyata.

Dari ayat tersebut, menggambarkan sosok Nabi SAW disamping beliau sebagai seorang
Rasul, yang dipilih menerima wahyu, juga untuk menjelaskan hikmah7 sebagai seorang
filosof. Yang dapat menjelaskan secara akurat dan menyeluruh tentang wahyu yang
diterimanya, dengan pemahaman yang mendalam yang dimilikinya.

Al-Qur’an merupakan kumpulan sabda Tuhan, sebagai perwujudan dari ayat-ayat yang
diwahyukan, sedangkan hikmah (filsafat) adalah uraian pencerahan atas nilai-nilai yang
terkandung dalam ayat-ayat Allah, untuk dapat menyikapi realitas perubahan masyarakat
yang kompleks, yang tidak bisa dimengerti dan dipecahkan hanya semata-mata
mengandalkan pada rasionalitas. Oleh karena itu diperlukan munculnya wawasan tajam
dari qalb yang bercahaya, untuk memahami hakikat kebenaran., dengan pendekatan
rasional transendental. Hikmah bermuara pada kerja rasio yang bebas dan mendalam,
sedangkan kitab yang merupakan kumpulan ayat-ayat Allah yang menjadi basis proses
transendensi rasio. Dengan demikian maka filsafat Islam mempunyai titik tolak yang
jelas, yaitu berpikir rasional transendental dan berbasis pada wahyu dan hikmah

3. Pendekatan Metodik

Seorang filosof selalu menawarkan suatu metode berpikir, yang sudah dijalaninya sendiri
bertahun-tahun dan telah teruji dalam proses perjalanan hidupnya, sehingga dalam kajian
filsafat banyak ditemukan berbagai metode8. Seperti metode kritis dipakai oleh Socrates,
metode intuitif diperkenalkan oleh Bergson, metode dialektis dipakai oleh Hegeldan juga
Mark, metode fenomenologis, dipakai oleh Husserl metode analisis bahasa dipakai oleh
Wiuttgenstein dan masih banyak lagi.

Metode dalam filsafat sangat penting, karena melalui metode itu, pemikiran filsafat
dijalankan dan dikembangkan, untuk menemukan hakekat kebenaran yang dicarinya.
Kegiatan filsafat tidak akan pernah berjalan, tanpa menempuh suatu metodeyang
dipakainya untuk menemukan hakekat sesuatu yang menjadi obyek perannya.

Adapun dalam metode filafat Islam, dikenal dengan metode ”Rasional Transendental”
yaitu menganalisis fakta-fakta empirik dan mengangkatnya pada kesadaran spiritual,
kemudian membangun visi transenden dalam memecahkan suatu persolan. Sunnah
berpikir itu dibakukan dalam kitab (al-Qur’an) dan hikmah (filsafat.)

Secara operasional, metode raional transendental yang berbasis pada kitab dan hikmah ini
dapat dijalankan dan dipraktekkan dengan cara menempatkan al-Qur’an dan aqal
(kesatuan pikiran dan qalb) berada dalam dialektika, untuk memahami realitas. Jadi
realitas tidak hanya dipahami dari dimensi fisiknya saja yang ditangkap oleh rasio, tetapi
juga dimensi metafisiknya yang ditangkap melalui proses transendensi. Kedalaman rasio
(perenungan atau hikmah) memperoleh pencerahan melalui visi spiritualitas (al-Qur’an
atau iman).

Dalam parkteknya, metode filsafat Islam yang rasionl transendental itu, berusaha
meletakkan al-Qur’an dan aqal berada dalam hubungan dialogis yang fungsional, tidak
struktural yang subordinatif sesungguhnya fungsi al-Qur’an sebagai pedoman hidup
manusia, baik dalam berpikir, berperilaku maupun bertindak, hanya dimungkinkan jika
al-Qur’an dan aqal berada dalam hubungan dialogis fungsional.
Sesungguhnya aqal tidak berada diatas wahyu, dan demikian juga sebaliknya. Hubungan
struktural yang subordinatif, mengandaikan supremasi salah satu diantara keduanya.
Pandangan yang mengatakan bahwa aqal harus dikontrol wahyu, berlawanan dengan
kenyatan bahwa dalam aktualisasinya wahyu tidak bisa berdiri sendiri, sebagai pedoman
bagi manusia, ia sepenuhnya justeru bergantung pada kapasitas aqal dalam
memahaminya, tanpa aqal wahyu justeru kehilangan makna bagi kehidupan manusia.

Pada sisi lain bukan berarti ketergantungan fungsi wahyu kepada awal, bukan berarti
lantas aqal bisa melakukan kontrol dan koreksi atas wahyu, karena keberadaan wahyu
sebagai firman Allah sepenuhnya tergantung pada Allah dan manusia tidak memiliki
otoritas sedikitpun untuk mengubah apalagi menghapusnya atau membatalkannya.
Ketergantungan wahyu kepada aqal hanya dalam kaitannya dengan fungsi wahyu sebagai
pedoman hidup manusia, dimana aktualisasinya sepenuhnya tergantung kepada aqal
untuk memahaminya.

4. Pendekatan Organik

Metode rasional transendental itu secara organik digerakkan oleh pikiran yang bekerja
diotak, yang berada dikepala dan qalb yang bekerja di hati yang halus, yang ada di
rongga dada. Rasio atau pikiran bekerja melalui analisis terhadap fakta-fakta, sedangkan
qalb bekerja melalui penyatuan dengan realitas spiritual, untuk membawa rasio dapat
mentransendir realitas, oleh karena itu filsafat bertumpuh kepada mekanisme aqal sebagai
kesatuan organik pikiran dan qalb9 yaitu dalam kesatuan pikir (rasional) dan zikir (qalb-
tran-sendensi).

Pikiran (rasio) dan qalb merupakan kesatun organik aqal, yang berfungsi sebagai alat
untuk memahami kebenaran. Karena pada hakekatnya kebenaran itu berjenjang dan
bertingkat serta kebenaran berada dalam jenjang empirik faktual dapat ditangkap oleh
pikiran atau rasio, sementara kebenaran dalam jenjang meta empirik dan meta-fisik10
hanya dapat dipahami oleh qalb. Keduanya tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi
satu sama lain, karena merupakan kesatuan organik, yang menjadi pusat bekerjanya
pendekatan yang rasional transendental.

5. Pendekatan Teleologik

Secara teleologik, filsafat Islam mempunyai tujuan dan karenanya tidaklah netral, ia
menyatakan keberpihakannya pada keselamatan dan kedamaian hidup manusia. Filsafat
bukan sekadar hasrat intelektual, untuk mencari dan memahami hakikat kebenran semata-
mata, tetapi lebih jauh lagi, untuk mengubah dan bergerak (transformasi) kearah
transendensi, menyatu dan memasuki pengalaman kehadiran Allah. Pada dataran inilah,
filsafat Islam memberikan makna pada keselamatan dan kedamaian, yaitu pada
penyatuan dan penyerahan total kepada kehadiran Allah.

6. Kesimpulan
Melalui berbagai pendekatan diatas, maka terlihat jelas bahwa keberadaan filsafat Islam
adalah suatu hal yang niscaya dan tidak mengada-ada. Filsafat Islam bukanlah filsafat
yang dibangun dari tradisi filsafat Yunani yang bercorak rasionalistik, tetapi dibangun
dari tradisi Dialektika Sejarah ke-Nabi-an Muhammad SAW. Rujukan filsafat Islam
bukan dibangun dari tradisi intelektual Yunani, tetapi rujukan filsafat Islam dibangun dari
tradisi sunnah Nabi berpikir rasional transendental.

Filsafat Islam mempunyai metode yang jelas, yaitu rasional transendental, dan berbasis
pada kitab dan hikmah. Pada dialektika fungsional al-Qur’an dan aqal untuk memahami
realitas. Secara organik melalui kesatuan organik pikir dan qalb, yang menjadi bagian
utuh kesatuan diri atau nafs. Filsafat Islam tidak netral, tetapi bertujuan melibatkan diri
dalam proses transformasi pembebasan dan peneguhan kemanusiaan untuk mencapai
keselamatan dan kedamaian, baik dalam kehidupan didunia maupun diakhirat.

Filsafat Islam pada hakikatnya adalah filsafat kenabian Muhammad. Filsafat Kenabian11
ini lahir dalam periode filsafat Islam, dan karenanya, tidak ditemukan dalam tradisi filafat
Yunani. Konsep filafat kenabin secara teoritis, dibangun pertama kali oleh Al-Farabi,
dimana Nabi mempunyai kekuatanj imajinatif yang memungkinkan berhubungan dengan
aqal fa’al untuk mencapai kebenaran tertinggi. Al-Farabi dikenal sebagai guru kedua,
setelah Aritoteles sebagai guru pertama, kemudian dikembangkan oleh Ibnu Sina dengan
teorinya aqal suci yang dimiliki Nabi, yang memungkinkan Nabi menembus dimensi
kegaiban dan menyatu didalamnya.

7 Menurut Ar-Razi, hikmah merupakan keutamaan ilmu dan amal, disebut hikmah karena
ia terbentuk dari hukum-hukum dan perumusan dari berbagai permasalahan,
memperkuatnya, dan menjauhkannya dari berbagai sebab kelemahan. Keyakinan-
keyakinan yang tepat dan valid pasti tidak menerima revisi dan kontradiksi serta
kekuarangan. Muhammad Ar-Razi Fachruddin, dalam tafsir Ar-Razi ; Beirut, Dar al-
Fikry, 1985 Juz 26, hal. 187, disamakan istilah hikmah dan filsafat, secara umum
membahas Allah, alam dan manusia. Menurut al-Jurazani, hikmah adalah ilmu yang
membahas sesuatu yang apa adnya dalam wujud sesuai dengan kemampuan manusia.

8 Sebagai contoh, bagi Descartes, metode merupakan jalan yang harus diikuti dan
ujungnya harus ditemukan suatu kepastian, karena dengan kepastian kita dapat melihat
kepastian. Rene Descartes, dalam Risalah Tentang Metode. Terj. Ida Sundari Husen dan
Rahayu S. Hidayat. Jakarta, Gramedia, 198, hal. 80. Beberapa contoh metode ; metode
akslomatis dengan pendekatan deduksi, metode artistik yang merefleksikan kenyataan
keraguan dan analisis terhadap makna kebenaran, metode Newton menggunakan prinsip
kausalitas, metode deduktif, metode ilmiah, metode induktif Jhon S. Mill.

9 Melalui proses kesatuan organik, dicapai gerak epitemologi secara keseluruhan


alamiah. Bersama dan korporeal. Masing-masing fakukltas epistemologi menyusun
bagian menurut potensi masing-masing (aql fikr, zikr qalb, dll) tetapi pada saat yang
sama bergantung pada keseluruhan dan demi kebaikan kesuluruhan. Sesuai dengan
perbedaan peran fakultas-fakultas itu, dicapai struktur lengkap organisasi pengetahuan,
menurut cara kajiannya bagian-bagian peran itu dilakukan secara fungsional.
10 Kebenaran metaempiris dan metafisis mengasumsikan model kebenaran yang
melebihi taraf “biasa kemanusiaan, melampaui katagori positivistik dan empiris – logis.
Dalam tradisi sufi fenomena makna seperti ini mengarah pada kasyful mahjub yang
merupakan gabungan dari gerak rasio dan “kehadiran” dimensi ilahiyah dalam diri
manusia. Peran ini berada dalam fakultas qalb. Ia menjadi medium antara yang fisikal
dan spiritual.

11 Filsafat Kenabian (Prophetic Philosophy) merupakan bentuk orisinil dari tradisi


filsafat Islam. Yang dimaksud dengan filsafat kenabian adalah realitas pengetahuan dan
nubuat kenabian sebagai landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis bagi konstruksi
pemikiran Islam. Realitas pengetahuan yang didasarkan atas filsafat kenabian ini
bersumber dari dialektika rasio dan wahyu, bukan semata- mata penalaran diskursif
sebagaimana yang terjadi dalam alam pikiran Yunani. Perbedaan antara filsafat Islam dan
Filsafat Yunani terutama dalam soal ini.

Anda mungkin juga menyukai