Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN GROUP PROJECT KULTUR JARINGAN

Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA terhadap Induksi Kalus Daun
Sirih Hijau (Piper Betle L.) Pada Media MS

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 10 BIOLOGI B 2021

Desarfi Nur Annafi (21308141005)


Raihana Insani Salsabila (21308141006)
Alleluya Agnidita (21308141008)
Winda Apriliyanti (21308141031)
Hasna Syauqina (21308144027)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


DEPARTEMEN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
A. PENDAHULUAN
1. Tujuan
Mengetahui hasil pengaruh pemberian BAP dan NAA dengan konsentrasi
tertentu terhadap induksi kalus daun sirih hijau.
2. Latar Belakang
Tanaman sirih hijau (Piper betle L.) merupakan salah satu jenis tanaman obat
yang kaya akan manfaat. Manfaat yang dimiliki sirih hijau sebagai tanaman
obat yaitu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit di masyarakat
seperti sariawan, luka, gatal, mata gatal dan merah, mimisan atau keluarnya
darah dari hidung, serta menghilangkan bau badan, bau mulut, jerawat, dan
menguatkan gigi agar tidak mudah tanggal. Tanaman sirih hijau khususnya
pada bagian daun mengandung senyawa metabolit sekunder berupa saponin,
flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri triterpenoid, minyak atsiri (yang terdiri
atas khavikol, chavibetol, karvakrol, eugenol, monoterpena, estragol),
seskuiterpen, dan gula (Hutapea, J. et al., 2000). Kandungan senyawa
metabolit sekunder itulah yang memiliki keefektifan untuk dapat
menyembuhkan berbagai penyakit (Purnama, N., 2017).
Banyaknya manfaat dari daun sirih hijau karena kandungan metabolit
sekunder/bioaktif di dalamnya perlu dioptimalkan dengan dilakukan kultur
jaringan. Kultur jaringan ini merupakan salah satu metode yang efektif dan
efisien untuk penyediaan bahan bahan aktif bermanfaat dari sirih hijau dalam
jumlah lebih banyak dengan waktu yang lebih singkat dan dengan kualitas
unggul. Berdasarkan tujuan tersebut, maka praktikan hendak melakukan kultur
jaringan daun sirih hijau dengan diberikan ZPT BAP dan NAA pada media
MS. Kultur yang dilakukan adalah kultur kalus karena sering digunakan untuk
memperoleh tanaman bebas virus, embriogenesis somatik, regenerasi varian
genetika, dan menghasilkan senyawa metabolit sekunder (Junairiah, et al.,
2019).
3. Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Kultur Jaringan Tumbuhan
Kultur jaringan didefinisikan sebagai teknik perbanyakan sel,
jaringan atau organ tumbuhan dengan pada medium buatan (in vitro)
secara aseptik. Kultur jaringan ini adalah teknologi yang dapat
dilakukan untuk memperoleh tumbuhan baru bersifat unggul dalam
jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat (Silalahi, M., 2015).
Awal dari kultur jaringan ini dilakukan untuk membuktikan teori
totipotensi sel yaitu kemampuan satu sel untuk memperbanyak diri
dan menghasilkan semua kemungkinan perkembangan yang
ditumbuhkan pada lingkungan yang aseptik (Amaliah, S., 2019).
Kultur in vitro yang biasa dilakukan yaitu kultur organ yang
diinisiasi dari bagian-bagian tumbuhan seperti ujung akar, pucuk
aksilar, daun, bunga, buah muda, dan sebagainya. Pada kultur jaringan,
persentase keberhasilannya akan besar bila menggunakan jaringan
meristem, karena jaringan meristem merupakan jaringan muda yang
selalu aktif membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan
dari zat peptin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil.
Keberhasilan pembentukan kalus dalam in vitro atau perbanyakan in
vitro dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain respon tanaman,
jenis media tumbuh yang digunakan, vitamin, ketersediaan zat
pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kombinasi zat pengatur
tumbuh yang tepat serta kondisi lingkungan kultur.
b. Teknik dan Tahapan Kultur Jaringan Tumbuhan
Persyaratan penting dalam teknik kultur jaringan tumbuhan
yaitu kondisi yang steril baik pada ruang, peralatan, bahan maupun
seluruh rangkaian kerjanya. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan
eksplan di dalam kultur harus selalu dalam kondisi aseptik. Pekerjaan
dalam kultur jaringan terdiri dari :
1) Isolasi bahan tanaman
Tanaman induk yang diambil harus memiliki kualitas yang
bagus agar eksplan yang dihasilkan tidak menjadi sumber
kontaminan. Kemudian dilakukan pemotongan tunas apikal
untuk merangsang tumbuhnya tunas lateral. Tunas lateral ini
yang nantinya digunakan sebagai bahan eksplan dengan sel sel
yang aktif membelah dan memiliki daya regenerasi yang tinggi.
2) Sterilisasi eksplan
Yang perlu diperhatikan dalam sterilisasi permukaan bahan
eksplan yaitu konsentrasi dalam sterilisasi dan lamanya
perendaman. Angka yang tepat biasanya diperoleh melalui
penelitian awal karena sangat spesifik untuk masing-masing
spesies tanaman serta jenis dan umur bahan eksplan.
3) Penanaman eksplan pada media steril yang sesuai (culture
establishment).
Eksplan yang sudah steril dipotong menjadi bagian yang lebih
kecil kemudian ditanam pada media yang lebih steril. Media
tanaman yang ditanami tanaman mengandung ZPT tertentu
sesuai dengan tujuan kultur.
Setelah eksplan ditanam ada empat fase lagi yang diperlukan
sampai tanaman siap ditanam dilapangan yaitu :
a) Perbanyakan propagul
Pertanyaan propagul dilakukan dengan melakukan
subkultur ke medium baru, dapat berupa medium
induksi kalus untuk perbanyakan kalus dan medium
induksi tunas untuk perbanyakan tunas.
b) Pengakaran
Tahap pengakaran adalah tahap dimana tunas-tunas
yang sudah tumbuh dipindahkan ke media induksi akar
agar terbentuk plantlet. Pengakaran dapat dilakukan
secara in-vitro (di laboratorium) atau eks vitro (di luar
laboratorium).
c) Aklimatisasi dan pemindahan tanaman ke lapangan
Aklimatisasi dalam kultur in-vitro adalah suatu proses
adaptasi dari tanaman hasil kultur in-vitro (plantlet)
terhadap cekaman lingkungan baru sebelum ditanam di
lapang. Kondisi lingkungan baru tersebut meliputi suhu,
cahaya dan kelembaban.
(Rahayu,D. et al., 2020).
c. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu komponen media kultur
jaringan. Zat pengatur tumbuh ini berfungsi untuk merangsang
pembelahan sel dan mengatur pertumbuhan dan diferensiasi akar dan
taruk (shoot) pada eksplan. ZPT yang banyak digunakan dalam kultur
jaringan yaitu auxins, cytokinin, gibberellins dan abscissic acid
(Silalahi, M., 2015).
Auksin berfungsi menginduksi pembelahan sel, pemanjangan sel,
apikal dominansi, pembentukan akar adventif, dan embriogenesis
somatis. Pada saat konsentrasi auksin rendah maka auksin akan
menginduksi inisiasi akar dan pada konsentrasi tinggi akan
merangsang pembentukan kalus. Auksin sintetis ini banyak digunakan
seperti pada 1-naphthaleneacetic acid (NAA). 2,4
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), indole-3 acetic acid (IAA), dan
indolebutyric acid (Silalahi, M., 2015).
Sitokinin berfungsi merangsang pembelahan sel dan merangsang
inisiasi dan pertumbuhan shoot secara in vitro. Sitokinin sintetik yang
banyak digunakan dalam kultur jaringan antara lain: Zeatin, 6-
benzylaminopurine (BAP), dan kinetin, 2-iP (Silalahi, M., 2015).

d. Tumbuhan Sirih Hijau (Piper Betle L.)


Tanaman sirih atau Piper betle L ini berasal dari ordo Piperales, famili
Piperaceae, dan genus Piper. Tanaman ini merupakan tanaman yang
banyak tersebar didaerah tropis dan subtropis di berbagai belahan
dunia, (Chakraborty, 2011), seperti Sri Lanka, India, Indonesia,
Malaysia, Kepulauan Filipina dan Afrika Timur. Menurut Guha
(2006), meskipun diduga berasal dari Malaysia, tanaman ini paling
banyak ditemukan di India. Di India, kecuali di daerah bagian barat
laut yang kering, dapat ditemukan 40 dari 100 varietas sirih yang ada
di dunia. Tanaman sirih memiliki daun yang berwarna hijau dan
berbentuk seperti hati dengan akar yang merambat. Sirih bisa tumbuh
subur di daerah tropis dengan ketinggian 300 -1.000 m diatas
permukaan laut (dpl) dan tumbuh subur pada tanah yang kaya akan zat
organik dan cukup air. Kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan seperti suhu udara, kelembaban, komposisi
mineral dan kandungan air pada tempat tumbuh (Koensoemardiyah,
2010). Tumbuhan sirih (Piper betle L.) memerlukan iklim sejuk dan
kelembaban tinggi untuk kehidupannya, apabila tanaman sirih
dipaparkan pada panas yang ekstrem, daunnya akan berubah menjadi
hijau tua dan renyah.
B. METODE
1. Alat dan Bahan
Alat :
- Gelas Ukur
- Timbangan Analitik
- Botol Jar
- Erlenmeyer
- Cawan Petri
- Pinset
- Scalpel
- Bunsen
- LAF
Bahan :
- Daun sirih hijau muda
- Bayclean
- Deterjen
- Cuka
- Alkohol
- Aquades
- Kertas saring
- MS
- NAA
- BAP

2. Langkah Kerja
Mencuci dengan detergen

Membuat larutan klorox 20% 100 ml

Membuat larutan Alkohol 70% 100 ml

Membuat Larutan Cuka 5% 100 ml

Penanaman Daun Sirih


C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil

Media MS

Percobaan 1
Rabu, 15 Maret
2023

Media MS + 1 NAA + 1 BAP

Percobaan 2
Rabu, 5 April 2023
2. Pembahasan
Dalam Praktikum Group Project yang berjudul “Pengaruh Pemberian
Zat Pengatur Tumbuh BAP dan NAA terhadap Induksi Kalus Daun Sirih
Hijau (Piper Betle L.) Pada Media MS” ini dilakukan pengkulturan terhadap
kalus daun sirih hijau yang dilakukan secara in vitro. Dimana praktikum ini
dilaksanakan sebanyak dua kali percobaan, pada percobaan pertama
dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2023 dan pada percobaan kedua
dilaksanakan pada tanggal 5 April 2023. Alat yang digunakan dalam
praktikum ini antara lain gelas ukur, timbangan analitik, botol jar, erlenmeyer,
cawan petri, pinset, scalpel, bunsen, LAF (Laminar Air Flow). Sedangkan
bahan yang digunakan daun sirih hijau muda, Bayclin, deterjen, cuka, alkohol,
aquades, kertas saring, MS, NAA, dan BAP. Tujuan dari dilaksanakannya
praktikum ini adalah untuk mengetahui hasil pengaruh pemberian BAP dan
NAA dengan konsentrasi tertentu terhadap induksi kalus daun sirih hijau.
Kultur in vitro merupakan salah satu alternatif untuk memperbanyak
tanaman dengan cara menginduksi kalus. Kalus adalah poliferasi masa
jaringan yang belum terdiferensiasi. Kalus terbentuk di seluruh permukaan
irisan eksplan, sehingga makin luas permukaan irisan eksplan, maka eksplan
semakin cepat dan banyak kalus yang terbentuk (Khaniyah dkk, 2012).
Pembentukan kalus dalam kultur in vitro dapat berhasil dengan baik apabila
syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi yaitu tersedianya zat pengatur tubuh
endogen dan eksogen. Kombinasi ZPT yang ditambahkan ke dalam media
merupakan salah satu faktor keberhasilan kultur in vitro (Indah &
Ermavitalini, 2013). Dalam melakukan kultur jaringan tumbuhan, tahap
terpenting yang harus dilakukan adalah sterilisasi eksplan. Eksplan yang
digunakan harus bebas dari kontaminan, seperti fungi dan bakteri. Selama
proses sterilisasi, eksplan harus tetap hidup dan hanya kontaminan yang
dieliminasi (Oyebanji et al. 2009). Oleh karena itu, sterilisasi permukaan
dilakukan dengan merendam eksplan dalam larutan desinfektan dengan
konsentrasi tertentu selama periode tertentu. Pada penanaman biji dan buah
sterilisasi menggunakan detergen, klorox, alkohol, aquades, dan cuka. Tingkat
keberhasilan dalam pelaksanaan.
Larutan yang digunakan pada sterilisasi eksplan yaitu :
1. Aquades digunakan untuk membersihkan eksplan dari bakteri atau
jamur yang menempel pada eksplan.
2. Bayclin digunakan untuk mendenaturasikan sel bakteri yang ada pada
eksplan
3. Detergen digunakan untuk menghilangkan lapisan lilin yang melekat di
permukaan eksplan dan mengurangi sebagian mikroba yang mungkin
masih menempel pada bagian eksplan
4. Asam asetat (cuka) adalah desinfektan miko bakterisidal yang efektif
yang juga harus aktif melawan sebagian besar bakteri lain.
Menurut Devy dan Sastra (2006), penggunaan bahan sterilan fungisida
(Benlate) dan bakterisida (Agrept), masing-masing berkonsentrasi 2 g/l selama
24 jam, Clorox 10% selama 15 menit dan selanjutnya eksplan direndam
kembali dalam larutan Clorox 5% selama 20 dapat menekan tingkat
kontaminasi pada kultur in vitro. Fungsi clorox adalah sebagai desinfektan
yang kemudian dibilas menggunakan aquades steril yang bertujuan untuk
membersihkan atau membilas larutan lain agar tidak mengganggu
pertumbuhan kultur (Gunawan, 1988). Clorox atau Natrium hipoklorit banyak
digunakan karena sangat efektif membunuh bakteri dengan cara merusak
membran sel bakteri. Senyawa hipoklorit mampu membersihkan
mikroorganisme yang ikut dalam bahan tanaman, menghilangkan partikel-
partikel tanah, debu dan lain-lain.
Cara menanam eksplan daun sirih hijau (Piper Betle L.) yaitu tahap
pertama yang dilakukan adalah sterilisasi. Eksplan yang digunakan harus
bebas dari kontaminan, seperti fungi dan bakteri. Selama proses sterilisasi,
eksplan harus tetap hidup dan hanya kontaminan yang dieliminasi. Pada
penanaman daun sirih hijau (Piper Betle L.), sterilisasi permukaan dilakukan
dengan merendam eksplan dalam larutan deterjen selama 15 menit kemudian
dibilas dengan aquadest. Pada penanaman daun, setelah direndam deterjen dan
dibilas dengan aquades daun dicuci dengan larutan clorox (bayclin) 10%
dengan durasi 10 menit dan dibilas dengan aquades lalu dicuci dengan larutan
alkohol 70% dengan durasi 7 menit lalu dibilas dengan aquadest steril kembali
lalu daun dicuci dengan larutan cuka 2% dengan durasi 7 menit dan dibilas
lagi dengan aquadest steril. Kemudian daun dipotong di cawan petri dengan
ukuran 1 cm dan daun ditanam.
Keberhasilan dalam menggunakan metode kultur jaringan sangat
bergantung pada komposisi media yang digunakan. Di mana media tumbuh ini
terdiri dari unsur makro, mikro, dan karbohidrat yang pada umumnya berupa
sukrosa atau gula. Hasil kultur jaringan akan lebih baik apabila ke dalam
media tersebut ditambahkan vitamin asam amino dan ZPT (Gamborg et al.
1968). Menurut Westcott et al. (1977) cara perbanyakan kultur jaringan yang
demikian dapat meningkatkan produksi benih baik kualitas maupun
kuantitasnya. Ada 2 golongan ZPT penting, yaitu sitokinin dan auksin. Zat
pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam
kultur sel, jaringan, dan atau kultur organ. Perimbangan konsentrasi dan
interaksi antara ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel
secara endogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur.
Hormon NAA adalah senyawa kimia yang termasuk dalam golongan
auksin sedangkan BAP termasuk dalam golongan sitokinin yang berperan
dalam pertumbuhan tunas. Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin tidak
bekerja sendiri-sendiri, tetapi kedua ZPT tersebut bekerja secara berinteraksi
dalam mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Wareing dan
Phillips (1970), mengemukakan bahwa sitokinin merangsang pembelahan sel
tanaman dan berinteraksi dengan auksin dalam menentukan arah diferensiasi
sel. Apabila perbandingan konsentrasi sitokinin lebih besar dari auksin, maka
pertumbuhan tunas dan daun akan terstimulasi. Sebaliknya apabila sitokinin
lebih rendah dari auksin, maka mengakibatkan menstimulasi pada
pertumbuhan akar. Apabila perbandingan sitokinin dan auksin berimbang,
maka pertumbuhan tunas, daun, dan akar akan berimbang pula.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, pada percobaan
pertama dan kedua, eksplan yang telah dikultur didapati kontaminasi. Faktor
penyebab Kontaminasi dapat berasal dari eksplan (baik internal maupun
eksternal), organisme kecil yang masuk kedalam media, botol kultur atau alat-
alat yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kurang steril
(spora di udara).Kontaminasi pada kultur jaringan lebih didominasi dari jenis
jamur dibandingkan mikroba lain (Wati et al 2020). Kontaminasi merupakan
faktor pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan yang dapat berasal dari (1)
bahan tanaman baik eksternal maupun internal, (2) organisme kecil yang
masuk ke dalam media, (3) botol kultur dan peralatan yang kurang steril, (4)
lingkungan kerja dan ruang kultur, dan (5) kecerobohan dalam pelaksanaan.
Kontaminasi pada media dan eksplan terjadi karena adanya jamur ataupun
bakteri yang tidak mati pada saat sterilisasi media maupun yang masuk dalam
media pada saat proses penanaman, atau saat pemeliharaan. Pada media atau
eksplan yang terkontaminasi oleh jamur maka akan terdapat jamur yang
berwarna putih yang akan terus tumbuh menutupi cawan petri. Ketika jamur
tumbuh pada media atau eksplan maka embrio pertumbuhannya akan
terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian pada embrio.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
hasil dari pemberian BAP dan NAA dengan konsentrasi tertentu terhadap induksi
kalus daun sirih hijau pada dasarnya memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
eksplan tanaman sirih hijau, namun dalam praktikum yang telah dilakukan hasil dari
pemberian BAP dan NAA dengan konsentrasi tertentu terhadap induksi kalus daun
sirih hijau tidak menghasilkan hasil seperti yang diharapkan sebab dalam praktikum
dengan percobaan pertama dan kedua ini media eksplan tanaman sirih hijau yang
telah dikultur mengalami kontaminasi. Kontaminasi ini diduga dapat berasal dari
eksplan (baik internal maupun eksternal), organisme kecil yang masuk kedalam
media, botol kultur atau alat-alat yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur
yang kurang steril (spora di udara).
DAFTAR PUSTAKA
Sultan Syarif Kasim.
Amaliah, S. (2019). OPTIMASI KONSENTRASI 2,4-D DAN BAP TERHADAP
INDUKSI KALUS TANAMAN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz and
Pav.) MELALUI KULTUR IN VITRO. Skripsi. Fakultas Pertanian dan
Peternakan Sultan Syarif Kasim.
Chakraborty D., Shah B. 2011. Antimicrobial, Antioxidative and Antihemolyctic
Activity of Piper betel Leaf Extract, Int. J. Pharm, Pharm. Sci. 3(3), pp. 192-199).
Gamborg, O.L., Miller R.A., and Ojima K. (1968). Nutrient Requirement of
Suspension Cultures of Soybean Root Cell. Exp. Cell. Res. 50 :
Guha P. 2006. Betel Leaf: The Neglected Green Gold of Indua. J. Hum, Ecol., 19(2):
87-93.
Hutapea, J. & Ria. (2000). Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Indah, P.N. dan D. Ermavitalini. (2013). Induksi Kalus Daun Nyamplung
(Calophyllum inophyllum Linn.) pada Beberapa Kombinasi Konsentrasi 6-
Benzylaminopurine (BAP) dan 2,4 -Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D). Jurnal
Sains dan Seni Pomits, 2(1): 2337-3520.
Junairiah, et al. (2019). Pengaruh Variasi Zat Pengatur Tumbuh IAA,BAP, Kinetin
terhadap Metabolit Sekunder Kalus Sirih Hitam (Piper betle L. Var Nigra).
Jurnal Kimia Riset, 4(2) : 121-132.
Khaliyah, S., N.A., Habibah dan Sumadi. 2012. Pertumbuhan Daun Mahkota Dewa
(Gynura procumbens Lour Merr) Dengan Kombinasi 2,4-D dan Kinetin Secara In
Vitro. Biosanintifika, 4 (2).
Koensoemardiyah. 2010. A to Z Minyak Atsiri - untuk Industri Makanan, Kosmetik,
dan Aromaterapi. (R. Fiva, Penyunt.) Yogyakarta, DIY, Indonesia: Penerbit ANDI.
Munawaroh, E dan Yusammi. (2017). Keanekaragaman Piper (Piperaceae) Dan
Konservasinya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Provinsi Lampung.
Media Konservasi. 22 (2),118-128.
UTPD Agribisnis. (2020). Penanganan Kontaminasi Pada Kultur Jaringan. Diakses
pada 9 Mei 2023 dari https://dppp.pontianak.go.id/artikel/60/-penanganan-
kontaminasi-pada-kultur-jaringan.html.
Purnama, N. (2017). Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada Tumbuhan Daun Sirih
(Piper batle L.). Prosiding Seminar Nasional MIPA III, Langsa-Aceh, 30
Oktober 2017 (pp. 437-441). Banda Aceh : Universitas Syiah Kuala.
Rahayu, D. et al. (2020). Makalah Kultur Jaringan. Surabaya : Universitas Sebelas
Maret.
Silalahi, M. (2015). Bahan Ajar Kultur Jaringan. Jakarta : Universitas Kristen
Indonesia.
Wareing , P.F. and I.D.J. Phillips. 1970. The Control of Growth and Differentiations
in
Plants. Pergamon. Press. Oxford
Wati.T.,Astarini.I.A.Pharmawati. M. and Hendriyani.E. (2020). Propagation Of
Begonia Bimaensis Undaharta & Ardaja Using Tidsue Culture Technique.
Journal of Biological Sciences 7 (1): 112-122.
Westcott, R.J; G.G. Henshew and W.N. Roca . (1977). Tissue Culture Storage at
Potato Germplasm Culture Initiation and Plant Regeneration. Plant Sci. letters.
9:309- 315.

Anda mungkin juga menyukai