Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

FRUNKEL HIDUNG

Disusun oleh :

Ucitha Septyadina

406221047

Pembimbing :

dr. Jodi Setiawan, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG

PERIODE 05 Desember 2022 – 07 Januari 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TARUMANAGARA

JAKARTA

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

Frunkel Hidung

Disusun oleh :

Ucitha Septyadina

406221047

Pembimbing :

dr. Jodi Setiawan, Sp. THT-KL

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

Kepaniteraan Ilmu THT RSUD Cibinong

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Cibinong, 31 Desember 2022

dr. Jodi Setiawan, Sp. THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Frunkel Hidung” dengan baik dan tepat
waktu. Referat ini disusun sebagai salah satu rangkaian tugas dan pembelajaran selama
kepaniteraan klinik ilmu THT (Telinga Hidung Tenggorok) Fakultas Universitas
Tarumanagara periode 05 Desember 2022 hingga 07 Januari 2023 di RSUD Cibinong.
Penulis mendapat banyak sekali pembelajaran dan pengetahuan selama menyusun referat
ini. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
mendukung dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih disampaikan oleh
penulis kepada:

1. dr. Jodi Setiawan, Sp. THT-KL selaku Dokter Pembimbing, yang


telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing
penulis.

2. Kepada yang saya hormati, para dokter serta staf Departemen Ilmu
Kesehatan THT atas bimbingan yang diberikan kepada penulis.

3. Kepada orangtua, teman-teman serta rekan-rekan atas dukungan dan


doa.

Dalam penulisan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas segala
kekurangan serta penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk kesempurnaan penulisan referat berikutnya.

Cibinong, 31 Desember 2022


Penulis,

Ucitha Septyadina
BAB I
PENDAHULUAN

Furunkel pada hidung dapat disebabkan karena adanya infeksi akut pada folikel rambut oleh
bakteri Staphylococcus aureus. Faktor predisposisi terjadinya furunkel berupa sering
mengorek hidung dan mencabut rambut hidung.1
Furunkulosis sangat jarang terjadi pada anak kecil tetapi lebih sering terjadi
setelah pubertas. Insidensi dan Prevalensi furunkulosis vestibular hidung masih belum
jelas. Furunkulosis hidung merupakan infeksi lokal dan sederhana tetapi jika tidak diobati
dapat menyebabkan keadaan serius yaitu terjadinya trombosis vena oftalmik dan
trombosis sinus kavernosus.2
Berdasarkan paparan di atas penting untuk dapat mengetahui diagnosis furunkel
hidung sehingga dapat dilakukan tatalaksana untuk mencegah terjadinya morbiditas atau
komplikasi. Oleh sebab itu referat ini bertujuan untuk membahas melena mulai dari penyebab
hingga tatalaksana dan komplikasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Embriologi
Mulai dari usia janin minggu ke 5 hingga 7, nasal pit semakin dalam dan membentuk nasal
sac, yang merupakan prekursor nasal cavity. Di bagian posterior nasal sac, sebuah lapisan
epitel yang disebut membran oronasal membatasi rongga orofaringeal. Pada hari ke 42
hingga 44, membran ini pecah, sehingga menhubungkan antara nasal cavity dan oral cavity.
Nasal capsule, yang merupakan kartilago membungkus nasal cavity, membentuk batas untuk
perkembangan nasal dan paranasal sinus. Struktur mesodermal ini mulai terbentuk pada bulan
ketiga janin, dan pengkondisian dan osifikasi nasal capsule dimulai segera sesudahnya.
sebelum pembentukan tulang, nasal cavity yang belum sempurna dapat dilihat.3,4

Nasal Septum
Rongga hidung pisahkan oleh dinding perpisahan yaitu nasal septum. Nasal septum berasal
dari tulang dan kartilago. Bagian anterior septum nasi terdiri dari kartilago quadrilateral dan
premaxilla; posterior terdiri dari lempeng tegak lurus tulang ethmoid dan lambang
sphenoidal; dan inferior terdiri dari puncak tulang vomer, maxillary, dan palatine.3

Gambar 1. Anatomi nasal.5


Nasal Mucous Membrane
Lapisan epitel nasal cavity berubah dari anterior ke posterior. Kulit dalam vestibulum nasi
adalah epitel sel skuamosa keratin, yang mengandung vibrissae dan kelenjar sebaceous. Pada
ujung depan dari konka inferior, epitel bertransisi menjadi tipe sel berbentuk kuboid dan
kemudian menjadi epitel respirator kolumnar bersilia pseudostratif. Pada aspek yang paling
posterior dari nasofaring, mukosa kembali ke epitel sel skuamosa non-keratin.3

Persarafan
Sensasi pada hidung disuplai terutama oleh ophthalmic dan maxillary dari saraf cranial V.
ophthalmic memunculkan saraf nasociliary, yang terbagi menjadi etmoid anterior dan
posterior serta cabang infratrochlear. Saraf ethmoid anterior melewati cribriform plate dan
masuk dengan arteri ethmoid anterior melalui foramen ethmoid anterior, kemudian membelah
menjadi cabang medial dan lateral. Cabang medial melewati ke septum nasi dan cabang
lateral di atas dinding hidung lateral. Cabang eksternal keluar di ujung tulang hidung untuk
mepersarafi permukaan luar hidung. Saraf ethmoid posterior melintasi cribriform plate untuk
memasuki hidung melalui arteri ethmoid posterior kemudian menuju foramen ethmoid
posterior mempersarafi septum nasi serta daerah olfactory. Maxillary nervus cranial V
mempersarafi nasal superior posterior yang memasuki hidung melalui foramen
sphenopalatine dan melewati permukaan anterior tulang sphenoid untuk mencapai septum
hidung sebagai saraf nasopalatine dan kemudian melalui insisive kanal. Cabang lateral, saraf
hidung posterior inferior, mengarah ke bawah dan ke depan untuk mempersarafi turbinat
media dan inferior. 3,6,7

Vaskularisasi
Vaskularisasi nasal cavity berasal dari arteri ethmoid anterior dan posterior, (cabang-cabang
dari arteri oftalmik) dan arteri sphenopalatine (cabang terminal dari arteri maksila internal).
Arteri ethmoid anterior melintasi rektus medialis dan menembus lamina papyracea. Arteri
kemudian menyusuri atap sinus ethmoid dalam lapisan tipis tulang, kemudian memperarahi
cribriform plate dan bagian anterior septum. Arteri ethmoid posterior memperdarahi bagian
posterio, termasuk olfactory cleft.
Arteri maksila internal memasuki fossa pterigomaksila dan muncul ke nasal cavity
melalui foramen sphenopalatine sebagai arteri sphenopalatine. Foramen sphenopalatine
terletak tepat lateral ke ujung posterior turbinate media. Saat memasuki hidung, arteri
sphenopalatine bercabang lateral nasal posterior dan posterior septum.
Drainase vena mengikuti jalur sejajar dengan arteri sphenopalatine dan cabang-
cabangnya, mengalir ke pleksus oftalmikus dan sebagian ke sinus kavernosa. Sistem vena
valeless ini merupakan predisposisi penyebaran infeksi dari hidung ke atas ke sinus
kavernosa. Ada 2 area anastomosis arteri yang sering berimplikasi pada epistaksis:
Kiesselbach plexus, yang menimbulkan perdarahan anterior, dan Woodruff plexus, yang
menimbulkan perdarahan posterior. Pleksus Kiesselbach terletak di atas septum nasal anterior
dan dibentuk oleh anastamosis antara sphenopalatine, palatine yang lebih besar, labial
superior, dan arteri ethmoid anterior. Pleksus Woodruff terletak di atas.3,6,7

Gambar 2. Anatomi nasal.5

2.2 Fisiologi
Air flow
Nasal airway berfungsi untuk proses filtrasi, pelembaban, dan penciuman; fungsi-fungsi ini
bergantung pada aliran udara yang melalui nasal cavity. Udara yang melewati nasal ke paru-
paru memiliki resistensi yang besar pada bagian internal nasal valve. Dibatasi pada bagian
medial oleh bagian anterosuperior septum hidung dan lateral oleh kartilago lateral atas,
Triangular internal nasal valve memiliki luas penampang 20 hingga 40 mm2 di setiap sisi,
dimana merupakan bagian tersempit dari saluran pernapasan bagian atas, dan memberikan
sekitar 50% dari total airway resistance. 3,8

Warming and Humidification


Saat udara melewati hidung, udara menjadi hangat dan lembab. Peningkatan suhu pada nasal
airway bersifat logaritmik ketika melewati dari bagian anterior ke posterior. Udara dengan
cepat dipanaskan di segmen anterior hidung dan lebih lambat dipanaskan di posterior.
Peningkatan total suhu udara, ketika udara melewati nasofaring sekitar 8 ° C. Udara yang
terinspirasi dilembabkan oleh hidung, dengan peningkatan kelembaban sekitar dari 40
menjadi 98% antara vestibulum nasi dan glotis.3,8

Gambar 3. Fisiologi nasal.9

Olfaction
Penciuman adalah fungsi fisiologis penting lainnya dari rongga hidung. Bulbus olfactorius
mengirimkan serat melalui cribriform plate ke dari olfactory neuroepithelium. olfactory
neuroepithelium didistribusikan pada 3 area utama: septum superior; aspek superior dari
turbinate superior; dan pada tingkat yang sedikit lebih rendah aspek superior dari turbinate
media.3,8
Gambar 4. Fisiologi nasal.9

2.3 Definisi
Furunkel hidung hadir dengan nodul inflamasi yang terletak dalam dengan pustula sentral.
Furunkel dapat merupakan bentuk spesifik dari vestibulitis yang terjadi pada folikel rambut di
vestibulum. Furunkulosis merupakan infeksi pada vestibular hidung sehingga menyebabkan
bengkak dan eritema pada nasal tip.10,11

Gambar 5. Furunkel Hidung12

2.4 Epidemiologi
Infeksi kulit dan jaringan lunak Staphylococcus aureus sangat sering terjadi di masyarakat,
dan sebagian besar merespons dengan cepat terhadap pengobatan lokal yang sederhana.
Beberapa menjadi luas atau kronis. Telah ditunjukkan bahwa S. aureus nasal carriage lebih
sering terjadi pada infeksi stafilokokus kronis. Dekontaminasi hidung dengan mupirocin
dapat mencegah kekambuhan furunculosis kronis.13

2.5 Etiopatofisiologi
Furunkel pada hidung dapat disebabkan karena adanya infeksi akut pada folikel rambut oleh
bakteri Staphylococcus aureus. Faktor predisposisi terjadinya furunkel berupa sering
mengorek hidung dan mencabut rambut hidung. Ini adalah jenis abses kulit yang berbeda
yang muncul hanya pada kulit yang mengandung rambut dan tidak terkait dengan penyebab
sekunder dari abses seperti trauma, pembedahan atau adanya benda asing.1,14
Staphylococcus aureus sering menjadi penyebab infeksi kulit dan jaringan lunak. Ini
menghasilkan banyak faktor virulensi, termasuk adhesin dan toksin. Beberapa toksin
cenderung terkait dengan jenis infeksi kulit tertentu. Gen Panton–Valentine leukocidin (PVL)
cenderung diekspresikan oleh isolat S. aureus dari furunkel dan abses kulit. Isolat hidung
dapat berperan dalam patofisiologi infeksi kulit. Isolat hidung dan kulit memiliki strain
genetik yang sama. Tingkat pengangkutan hidung secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan furunkulosis kronis (88%) dibandingkan pada pasien dengan furunkel sederhana,
yang tingkat pengangkutan hidungnya (29%) serupa dengan populasi umum. Hal ini semakin
mendukung penggunaan dekontaminasi hidung pada pasien dengan furunkulosis kronis.13

Gambar 6. Penyebaran dan mekanisme transmisi S.aureus dan dampak nasal carriage
Gambar 7. Mekanisme kolonisasi S.aureus pada hidung

Vestibulum nasi dilapisi oleh kulit. Lapisan paling atas dari epidermis adalah stratum
korneum atau lapisan kornifikasi. Lapisan ini mengandung keratinosit yang mengekspresikan
protein, seperti loricrin, cytokeratin 10 (K10), involucrin, filaggrin, dan protein lainnya.
Faktor penggumpalan B (ClfB) dan determinan permukaan yang diatur besi A (IsdA) adalah
protein permukaan stafilokokus yang dapat menempel pada protein selubung kornifikasi dan
mendukung kolonisasi hidung seperti yang akan dikembangkan pada bagian ini. loricrin,
protein yang paling melimpah dalam selubung kornifikasi, adalah ligan target utama untuk
ClfB selama kolonisasi hidung S. aureus. Kolonisasi hidung oleh strain ClfBC S. aureus
berkurang 80% pada tikus yang kekurangan loricrin dibandingkan dengan tikus tipe liar. ClfB
juga telah terbukti berinteraksi dengan sitokeratin 10, sitokeratin 8. IsdA juga berperan dalam
perlekatan S. aureus ke sel hidung seperti yang ditunjukkan secara in vitro dan in vivo.
Mutasi pada gen IsdA mengurangi kemampuan bakteri untuk mengikat sel hidung manusia
secara in vitro dan menjajah nares anterior pada tikus kapas.
Kolonisasi hidung tergantung pada faktor inang, seperti kondisi atau penyakit yang
mendasarinya. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa nasal carriage lebih sering
terjadi pada pasien yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau obesitas,
dibandingkan dengan orang sehat. Prevalensi yang lebih tinggi ini juga ditemukan di antara
pasien diabetes. Penyakit lain seperti granulomatosis dengan poliangiitis (sebelumnya dikenal
sebagai granulomatosis Wegener), artritis reumatoid, infeksi kulit dan jaringan lunak,
dermatitis atopik, dan furunkulosis berulang telah dikaitkan dengan peningkatan angka
carriage.
Staphylococcus aureus pada kolonisasi hidung dapat menjadi faktor risiko utama
untuk terjadinya infeksi staphylococcal paten, baik S.aureus yang terkait komunitas, atau
nosokomial dapat meningkatkan risiko sebesar 2 sampai 10 kali. Risiko infeksi pada karier
hidung telah dipelajari terutama pada pasien bedah (umum, ortopedi, jantung, dan bedah
saraf), pasien yang menjalani hemodialisis, pasien yang menjalani dialisis peritoneal rawat
jalan kronis (CAPD), pasien yang terinfeksi HIV, dan pasien unit perawatan intensif.15

2.6 Diagnosis
Diagnosis furunkel pada hidung dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik hidung. Pemeriksaan penunjang umumnya jarang dilakukan.
Anamnesis
Furunkel digambarkan sebagai nyeri, kemerahan yang menyebar pada dorsum dan puncak
hidung (nasal tip) dan dapat mudah ruptur pada furunkel yang terjadi pada vestibulum. Gejala
pertama penyakit ini adalah nyeri fokal pada jaringan vestibulum nasal di atasnya. Ketika
area ini dipalpasi, teraba lembut. Setelah itu area tersebut menjadi memerah. Segera
setelahnya pustula di daerah vestibular hidung dapat diamati. Gejala kemudian meningkat
dan menyebabkan kesulitan yang signifikan yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari
pasien.2,16

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik hidung meliputi pemeriksaan hidung luar dan dalam. Pemeriksaan hidung
luar berupa inspeksi dan palpasi. Inspeksi hidung luar dilakukan untuk melihat bentuk,
ukuran, warna dan lokasi dari lesi. Palpasi hidung luar dilakukan untuk membedakan tulang,
kartilago, dan jaringan lunak, mendiagnosis kelainan.
Pada pemeriksaan inspeksi hidung dilakukang pemeriksaan pada bagian vestibulum.
Vestibulum merupakan bagian dari cavum nasal yang terdiri dari kulit dan vibrissae/ rambut
pada vestibulum. Pemeriksaan pada vestibulum dapat dengan mudah dilakukan dengan
mengangkat bagian nasal tip. Furunkel yang terdapat pada vestibulum dapat menyebabkan
nyeri pada vestibulum. Pemeriksaan rhinoskopi anterior dapat dilakukan untuk mengeksklusi
kelainan lain pada hidung.
Gambar 8. Furunkel hidung. Bengkak, eritem difus pada nasal tip (batas tidak jelas)

Gambar 9. Furunkel hidung pada vestibulum kanan1

Gambar 10. Gambar A. Eritema dan edema pada nasal tip (Rudolph sign); B.
Drainase bedah pada furunkulosis vestibular nasal; C. Gambaran hidung setelah 7
hari perawatan2

2.7 Diagnosis Banding


Bengkak benjolan pada hidung luar dapat terjadi akibat beberapa hal seperti,
 Furunkel, terlihat sebagai bengkak dan kemerahan pada sekitar nasal tip.
 Dermoid, sering terdapat di atas tulang hidung dan columella
 Kista dermoid, terlihat sebagai discharging sinus pada sambungan osteokartilago pada
nasal bridge.
 Kista/abses dental, terlihat sebagai bengkak pada daerah sekitar nasa alae.
 Rhinophyma, terlihat sebagai pembesaran pada bagian bawah hidung.1
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana meliputi kompres air hangat, pemberian analgesik, antibiotik topikal dan
sistemik. Mupirocin adalah pilihan paling efektif untuk pengobatan topikal. Aplikasi
intranasal topikal lain dari salep antibiotik topikal over-the-counter yang mengandung
neomycin, polymyxin dan bacitracin. Pilihan obat oral yaitu, dicloxacillin, sefalosporin
generasi pertama, atau rifampisin. Nyeri dan eritema mulai membaik dalam 12 jam setelah
terapi topikal. Ketika gejala tampak resisten terhadap terapi topikal, dan jika terdapat
fluktuasi maka dapat dilakukan insisi dan drainase pus drainase bedah. Setelah drainase,
gejalanya membaik dengan cepat. Pada furunkel sebaiknya tidak dilakukan pemencetan atau
insisi awal karena risiko yang mungkin terjadi seperti penyebaran infeksi ke sinus cavernosus
melalui venous trombophlebitis.

Gambar 11. Furunkel nasal vestibulum. Kemerahan, nyeri, bengkak pada dorsum dan nasal
tip

Gambar 12, Furunkel pada vestibulum kanan. Tampak pus pada vestibulum.1,17,18

2.9 Prognosis
Dewasa muda yang sehat dengan furunkel biasanya sembuh tanpa gejala sisa. Namun,
beberapa pasien mengalami kekambuhan selama beberapa bulan, dan dalam beberapa kasus
bertahun-tahun, pada pasien yang sama. Furunkulosis yang berulang dalam epidemi di
seluruh dunia terkait methicillinresistant S. aureus (CA-MRSA), infeksi bermanifestasi
terutama pada kulit dan jaringan lunak dan paling sering sebagai furunkel.
Furunkulosis berulang dapat menjadi manifestasi dari disfungsi kekebalan yang didapat.
Ini termasuk diabetes mellitus, infeksi virus human immunodeficiency, alkoholisme dan
kekurangan gizi. Terdapat bukti bahwa produksi toksin PVL dan pengangkutan S. aureus
menjadi faktor risiko terpisah untuk furunkulosis berulang. Panton–Valentine leucocidin
(PVL) adalah virulensi utama faktor CA-MRSA dan berhubungan dengan kulit abses serta
necrotizing pneumonia.14

2.10 Komplikasi
Zona segitiga bahaya pada wajah memiliki sistem vena yaitu saling berhubungan dan tanpa
katup, yang menghasilkan komunikasi terbuka antara orbit, rongga hidung, sinus, kulit
hidung, dan kavernosa sinus. Ini berarti pada pasien dengan infeksi pada vestibular daerah
hidung, komunikasi ini dapat menyebabkan infeksi menyebar melalui saluran vena melalui
vena wajah ke vena ophthalmic inferior atau superior dan sinus kavernosus. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi cavernosus sinus trombosis. Komplikasi lain pada
furunkel dapat menyebabkan terjadinya unilateral obstruksi pada hidung, selulitis pada
bagian bibir atas, abses septal.1,2
BAB 3
KESIMPULAN

Furunkel merupakan nodul inflamasi yang terletak dalam dengan pustula sentral. Furunkel
pada hidung dapat disebabkan karena adanya infeksi akut pada folikel rambut oleh bakteri
Staphylococcus aureus Gejala pertama penyakit ini adalah nyeri fokal pada jaringan
vestibulum nasal di atasnya. Setelah itu area tersebut menjadi memerah. Segera setelahnya
pustula di daerah vestibular hidung dapat diamati. Gejala kemudian meningkat dan memiliki
dapat memiliki gambaran rudolph sign. Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik terkait. Pemilihan terapi pada fuurunkel nasi penting untuk diketahui bagi
tenaga kesehatan terutama dalam penatalaksanaan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mohan, B. Disease of ear, nose & throat. New delhi: Jaypee brothers medical
publisher; 2013.
2. Sakat MS, Kilic K, Ucuncu H. Nasal vestibular furunculosis presenting as the
rudolph sign. The journal of craniofacial surgery. 2015;26:e545-6.
3. Wackym, P. Ashley; Snow, Jr., James B. Ballenger's Otorhinolaryngology: Head and
Neck Surgery. 17th ed. Shelton: People's Medical Publishing House; 2009.
4. Sadler. T.W. Langman’s Medical Embryology. 13 th ed. Philadelphia : Wolters Kluwer;
2015.
5. Friedrich Paulsen Jens Waschke. Sobotta Atlas of Human Anatomy. 15th ed. London:
Urban & Fischer; 2013.
6. Goldenberg, David, Bradley J. Goldstein. Handbook of otolaryngology. 2nd ed. New
York: Thieme; 2017.
7. Moore Keith L, Dalley Arthur F, Agur Anne M. Clinically Oriented Anatomy. 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business; 2014.
8. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to System. 9th ed. Belmont, CA: Cengage
Learning; 2016.
9. Barrett, Kim E, and William F. Ganong. Ganong's Review of Medical Physiology. New
York: McGraw-Hill Medical; 2012.
10. Gleeson, Michael. Scott-Brown's otolaryngology, head and neck surgery.7th ed.
London : Hodder Arnold; 2008.
11. Stewart MG, Selesnick SH. Differential diagnosis in otolaryngology. New York:
Thieme; 2011.
12. Baykal C, Yazganoglu. Dermatological disease of the nose and ears. New York:
Springer; 2010.
13. Durupt F, et al. Prevalence of Staphylococcus aureus toxins and nasal carriage in
furuncles and impetigo. British Journal of Dermatology. 2007; 157: 1161-7.
14. Demos M, Nouri K, McLeod MP. Recurrent furunculosis: a review of the literature.
British Journal of Dermatology. 2012; 167: 725-332.
15. Sakr A, et al. Staphylococcus aureus nasal colonization: an update on mechanism,
epidemiology, risk factors, and subsequent infections. Frontiers in microbiology. 2018;
9: 1-15
16. Kadu AS, et al. Management of reccurent nasal vestibular furunculosis by
Jalaukavacarana and palliative treatment. Available at: Management of Recurrent Nasal
Vestibular Furunculosis by Jalaukāvacaraṇa and Palliative Treatment (nih.gov)
17. Friedrichs I, Rowe-Jones J. Acute and chronic infections of the ear, nose, and throat. The
Medicine Company Ltd. 2004.
18. Dahle KW, et al. The rudolph sign of nasal vestibular furunculosis: questions raised by
this common but under-recognized nasal mucocutaneous disorder. 2012. Available at:
The Rudolph sign of nasal vestibular furunculosis: Questions raised by this common but
under-recognized nasal mucocutaneous disorder (escholarship.org)

Anda mungkin juga menyukai