lepas dari Hari Raya Idul Adha. Kedua peristiwa tersebut adalah ibadah Haji dan
Kurban. Namun pada situasi saat ini, kedua ibadah tersebut harus dilaksanakan di
tengah pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum mereda. Tentunya ketentuan
Allah subhanahu wata'ala ini tidak boleh serta merta menurunkan semangat spiritual
kita sebagai umat Islam. Kita harus meyakini bahwa selalu ada hikmah besar yang
terkandung dari setiap ketetapan yang diberikan oleh Allah subhanahu wata'ala.
Seperti kita ketahui bersama, akibat pandemi Covid-19 yang mewabah di berbagai
penjuru dunia. Jamaah Haji Indonesia tahun 2020 tidak diberangkatkan ke Tanah Suci.
Hal ini dilakukan pemerintah untuk menjaga keselamatan jiwa jamaah dari tertular
virus Corona. Pemerintah Arab Saudi pun tidak mengizinkan jamaah dari luar negeri
untuk menjalankan rukun Islam kelima ini. Hanya warga Arab Saudi dan warga Asing
yang berada di Arab Saudi saja yang diperkenankan melaksanakan ibadah Haji. Dan itu
pun dengan pembatasan jumlah dan peraturan yang sangat ketat.
Bagi calon jamaah haji tahun 2020, keputusan ini tentu sangat berat untuk diterima.
Setelah sekian lama menunggu antrean kuota haji dengan berbagai macam usaha
untuk melunasi ongkos naik haji (ONH), namun giliran saatnya berangkat harus
mengalami penundaan. Namun ada hikmah besar yang bisa diambil dari keputusan ini
di antaranya adalah kesabaran dan kepasrahan. Allah subhanahu wata'ala berfirman
dalam Qur’an Surat Al-Anfal ayat 46: ين ِ َواصْ ِبرُوا ِإنَّ هَّللا َ َم َع الص “Bersabarlah kalian,
َ َّاب ِر
sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh, Kesabaran sendiri adalah sikap yang paling
dibutuhkan dalam menjalankan ibadah haji. Dalam ibadah haji, kesabaran juga bisa
menjadi ukuran mabrur atau tidaknya haji yang dilaksanakan. Hampir seluruh
rangkaian ibadah haji membutuhkan kesabaran mulai dari pendaftaran sampai
dengan pelaksanaan dan kembali ke Tanah Air. Tanpa kesabaran, jamaah haji tidak
akan mungkin mampu melewati rangkaian ibadah yang memerlukan kekuatan mental
dan fisik seperti tawaf, sa'i, wukuf di Arafah, dan melempar jumrah. Ini memberikan
hikmah kepada calon jamaah haji yang ditunda keberangkatannya, untuk semakin
melatih kesabaran sebelum waktunya berangkat nanti. Insyaallah kesabaran dalam
menerima penundaan ini nantinya akan menjadi wasilah kemabruran haji kelak.
Hikmah kedua adalah kepasrahan atau tawakkal kepada Allah subhanahu wata'ala.
Terkait dengan hal ini Allah subhanahu wata'ala pun telah memberikan panduan, jika
kita memiliki tekad bulat dalam melaksanakan sesuatu, maka kita harus pasrah diri
kepada Allah subhanahu wata'ala. Hal ini termaktub dalam QS Ali Imran ayat 159:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37) Kendati
sejarah kurban sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, namun
syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk
menyembelih anak kesayangannya, Ismail (‘alaihissalâm). Seorang anak yang ia idam-
idamkan bertahun-tahun karena istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat ash-Shaffat
dijelaskan bahwa semula Nabi Ibrahim berdoa: ِينَ َربِّ َهبْ لِي م َِن الصَّالِح. “Ya Rabbku,
anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”
Allah lalu memberi kabar gembira dengan anugerah kelahiran seorang anak yang amat
cerdas dan sabar (ghulâm halîm). Hanya saja, ketika anak itu menginjak dewasa, Nabi
Ibrahim diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku
bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu.
Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku,
laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-
orang yang sabar."
Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa
anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dengan posisi
pelipis di atas tanah dan siap disembelih.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh, Atas kehendak Allah, drama penyembelihan
anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang
baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”
Hadirin,
Ibadah kurban tahunan yang umat Islam laksanakan adalah bentuk i’tibar atau
pengambilan pelajaran dari kisah tersebut. Setidaknya ada tiga pesan yang bisa kita
tarik dari kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ritual penyembelihan
hewan kurban secara umum. Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah
subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yang mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah)
mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran sang
buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah seolah
hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak—betapapun
mahalnya kita menilai—tak boleh melengahkan kita bahwa hanya Allahlah tujuan akhir
dari rasa cinta dan ketaatan. Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa
dirinya sanggup mengalahkan egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi.
Dengan penuh ketulusan, Nabi Ibrahim menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah
sebagaimana makna qurban, yakni pendekatan diri. Sementara Nabi Ismail, meski
usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak berbakti dan patuh
kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah tersebut
dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata yang halus, tanpa
unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia miliki, ia pun memenuhi
panggilan Tuhannya.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh, Pelajaran kedua adalah tentang kemuliaan
manusia. Dalam kisah itu di satu sisi kita diingatkan untuk jangan menganggap mahal
sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita
juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi
Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk
tubuh manusia—sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok
pada zaman dulu—adalah hal yang diharamkan. Manusia dengan manusia lain
sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu bapak, yakni Nabi Adam
‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam
kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh
manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan
manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam
dan karenanya mesti dijamin hak-haknya.
Pelajaran yang ketiga yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan.
Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yang sejatinya
sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu,
dan lain sebagainya. Pengorbanan merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai
makhluk sosial. Bayangkan, bila masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan
kebutuhan sendiri tanpa peduli dengan kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya
kehidupan ini. Orang mesti mengorbankan sedikit waktunya, misalnya, untuk
mengantre dalam sebuah loket pejualan tiket, bersedia menghentikan sejenak
kendaraannya saat lampu merah lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan
hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego
kebinatangan kita, untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi
kurban adalah solidaritas sesama dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan
Allah. Wallahu a’lam.
https://islam.nu.or.id/post/read/71088/khutbah-idul-adha-tiga-pelajaran-utama-hari-
raya-kurban
Ma’asyiral Musliminwal Muslimat rahimakumullah, Ungkapan rasa syukur sudah
seharusnya kita ungkapkan biqauli alhamdulillah karena sampai dengan saat ini kita
masih mendapat anugerah dari Allah subhanahu wata’ala untuk tetap bisa menikmati
dan menginjakkan kaki kita di atas bumi-Nya. Terlebih lagi saat ini kita masih di
berikan-Nya kesempatan untuk bertemu dengan hari raya Idul Adha 1441 H. Mudah-
mudahan semua ini mampu menjadi motivasi kita untuk meningkatkan dan
memperkuat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. ُهللا، هللاُ َأ ْك َبر
ِ َو،ُ هللاُ َأ ْك َبر،ُ َأ ْك َبرPertama, haji ini berbasis pada cerita Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang
هلل ْال َحمْ ُد
kemudian diceritakan dalam Al-Qur’an. Ibrahim ‘alaihissalam adalah seorang nabi yang
cerdas. Anak seorang penjual patung (disebutkan nama ayahnya adalah Tarakh, ada
yang menyatakan adalah Azar). Masa anak-anaknya dipenuhi dengan kisah-kisah
ketaatan dan baktinya kepada kedua orang tuanya. Pada masa mudanya, Ibrahim
‘alaihissalam mengalami kegelisahan, bagaimana mungkin patung bisa memberikan
perlindungan sedangkan ia tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Lalu Ibrahim
‘alaihissalam mencari siapakah sebenarnya Tuhan yang telah menciptakan ia, orang-
orang di sekitarnya, dan alam semesta. Tatkala datang malam, ia melihat bintang, lalu
ia menyangka bahwa itulah Tuhannya. Namun, tatkala bintang itu timbul tenggelam, ia
pun berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”
Lalu tatkala siang, ia melihat matahari, ia berkata, “Ini Tuhanku, ini terlihat lebih besar”
tapi tatkala terbenam ia berkata, “Wahai kaumku sesungguhnya aku terlepas dari apa
ِ َو،ُ هللاُ َأ ْك َبر،ُهللاُ َأ ْك َبر، هللاُ َأ ْك َبرHadirin
yang kalian persekutukan” (QS Al-An’am: 74-78). هلل ْال َحمْ ُد
rahimakumullah, Setelah ia menjadi nabi, Ibrahim ‘alaihissalam diketahui melakukan
penghancuran terhadap patung-patung yang ada di kuil Raja Namrud dan
meninggalkan satu patung terbesar. Lalu ia taruh tongkat yang ia buat untuk
menghancurkan patung-patung itu di tangan patung terbesar tersebut. Lalu ia pulang.
Atas kedajian tersebut, ia dipanggil dan terjadilah perdebatan tentang ketuhanan.
Pertanyaan yang sukar dijawab adalah, jika patung-patung itu tak bisa melindungi diri
mereka sendiri lalu bagaimana mungkin mereka akan melindungimu? Atas kejadian
terebut Ibrahim lalu dibakar. Saat Ibrahim dibakar, apakah Ibrahim tahu bahwa api
yang berkobar akan dingin? Sekali-kali tidak. Tapi, Tuhan tidak tidur. Tuhan jadikan api
itu dingin dan menyelamatkan untuk Ibrahim.