Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

KULTUR JARINGAN TUMBUHAN


PADA TANAMAN HIAS ANGGREK (Vanda tricolor)

Dosen Pengampu

Dr. A. Mu’nisa, S.Si., M.Si.

Oleh:
Kelompok 6

LISA ARIYANTI 220013301031

NUR HAFIDZAH 220013301042

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang,
puja dan puji syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas kelompok untuk mata kuliah Kultur Jaringan dengan
judul “Kultur Jaringan Tumbuhan Pada Tanaman Hias Anggrek Vanda
tricolor”.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
Ibunda Dr. A. Mu’nisa, S.Si., M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Kultur
Jaringan yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
untuk dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Namun dalam penulisan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa
ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan masukan dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Pada akhirnya kami mengharapkan dengan adanya makalah ini, semoga
dapat memberi tambahan ilmu serta dapat diambil hikmah dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca dan mengaplikasikannya

Penyusun

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................
C. Tujuan..................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................
A. Pengertian dan Prinsip Kultur Jaringan................................................................
B. Jenis-jenis Kultur Jaringan ...................................................................................
C. Tahapam Kultur Jaringan Tumbuh .....................................................................
D. Manfaat dan Aplikasi Kultur Jaringan................................................................
E. Kelebihan dan Kekurangan Kultur Jaringan.......................................................
F. Tanaman Anggrek..............................................................................................
G. ZPT (Zat Pengatur Tumbuh)...............................................................................
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................................
A. Rencana Penelitian ..............................................................................................
B. Alat dan Bahan.....................................................................................................
C. Pelaksanaan..........................................................................................................
D. Analisis Data.........................................................................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................
BAB V PENUTUP..........................................................................................................
A. Kesimpulan..........................................................................................................
B. Saran....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anggrek merupakan salah satu tanaman hias berbunga yang karena
keindahannya banyak diminati dipasaran, selain itu anggrek juga dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan produk kesehatan dan kecantikan. Anggrek tergolong
anggota famili “orchidaceae”, famili ini merupakan salah satu famili tanaman
berbunga yang besar dengan jumlah spesies kurang lebih 43.000 spesies dari 750
generasi yang berbeda, dan sekitar 5000 spesies terdapat di Indonesia (Putra,
2009).
Permintaan anggrek di pasaran yang tidak sebanding dengan
ketersediaannya menjadi salah satu permasalahan dalam budidaya tanaman ini.
Teknik kultur jaringan menjadi alternatif yang dapat menjawab permasalah
tersebut. Pada tahun 1920-an, Knudson menunjukkan bahwa perkecambahan biji
anggrek dapat dilakukan dengan menanam biji anggrek pada media yang
mengandung mineral dan gula sebagai sumber energi. Penelitian yang berhasil
dilakukan Knudson menunjukkan bahwa biji anggrek dapat berkecambah secara
in vitro. Beberapa alasan untuk megecambahkan biji anggrek secara in vitro
adalah biji anggrek sangat kecil dan mengandung cadangan makanan yang sangat
sedikit atau bahkan tidak ada. Perkecambahan secara in vitro dapat membantu
perkecambahan embrio anggrek yang belum berkembang atau belum matang
sehingga memperpendek siklus pemuliaannya atau budidayanya (Arditti, 2010).
Kultur jaringan sering disebut juga perbanyakan tanaman secara in vitro,
yaitu budidaya tanaman yang dilaksanakan dalam botol-botol dengan media
khusus dan alat-alat yang steril. Sistem perbanyakan tanaman dengan kultur
jaringan ini dapat menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak dan
dalam waktu yang singkat. Tanaman baru yang dihasilkkan mempunyai sifat-sifat
biologis yang sama dengan sifat induknya. Sistem budidaya jaringan juga

1
2

Masyarakat pecinta tanaman anggrek adalah yang paling dahulu tertarik


dengan perbanyakan tanaman dengan sistem kultur jaringan. Sistem kultur
jaringan ini dapat menghasilkan bibit-bibit anggrek dalam jumlah banyak. Bibit-
bibit anggrek hasil dari kultur jaringan memiliki kualitas yang sangat baik dengan
warna bunga yang seragam (Prasetyo, 2009).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh pemberian hormon NAA dan BAP pada media MS
(Murashige and Skoog) terhadap pertumbuhan anggrek vanda tricolor secara in-
vitro?

C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh pemberian hormon NAA dan BAP pada
media MS (Murashige and Skoog) terhadap pertumbuhan anggrek vanda tricolor
secara in-vitro.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Prinsip Dasar Kultur Jaringan


Berdasarkan bagian tanaman yang dikultur, secara lebih spesifik terdapat
beberapa tipe kultur, yaitu kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur akar, kultur
pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul, kultur anter, dan kultur kuncup bunga.
Namun, semua jenis kultur tersebut sering disebut dalam istilah umum, yaitu
kultur jaringan.
Keberhasilan perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
memerlukan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip yang mendasarinya. Prinsip-
prinsip dasar mengenai kultur jaringan menurut Hendaryono (1994), adalah
sebagai berikut :

1. Mengetahui Teori Totipotensi Sel


Teori totipotensi sel dikemukakan oleh Schwan dan Schleiden pada tahun
1938. Menurut teori ini, setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik
dan perangkta fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang
menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai. Pada saat itu, seltanaman mampu
berkembang menjadi tanaman utuh masih merupakan hipotesis. Banyak usaha
untuk membuktikannya mengalami kegagalan, yang mungkin disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan mengenai nutrisi dan hormon tanaman pada masa itu.
Pada tahun 1920-an, kultur organ secara terus-menerus dalam suatu media
berhasil dilakukan, tetapi hal ini belum membuktikan kebenaran teori totopotensi.
Pada pertengahan tahun 1930-an teori tersebut dapat dibuktikan.
Keberhasilan pembuktian teori totipotensi ini diduga berkat penemuan auksin,
yaitu IAA dan NAA.
2. Memahami Konsep Skoog dan Miller
Pada tahun 1957, Skoog dan Miller mengemukakan bahwa regenerasi tunas
dan akar in vitro dikontrol secara hormonal oleh ZPT sitokinin dan auksin.
Organogenasis adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau akar, baik

3
4

secara langsung daei permukaan eksplan atau secara tidak langsung melalui
pembentukan kalur terlebih dulu.
Dengan menggunakan eksplan empulur tembakau, Skoog dan Miller
mendemonstrasikan bahwa nisbah sitokinin dan auksin yang tinggi mendorong
pembentukan tunas, sedangkan nisbah sitokinin dan auksin yang rendah
mendorong pembentukan akar. Jika diberikan dalam jumlah yang seimbang,
sitokinin dan auksin akan mendorong pembentukan kalus. Hasil studi yang
dipublikasikan oleh Skoog dan Miller merupakan tonggak sejarah penting yang
dianggap sebagai konsep klasik yang mendasari perbanyakan tanaman in vitro.
Konsep tersebut memang tidak selalu berlaku untuk setiap spesies tanaman yang
dikultur jaringkan. Namun, dengan beberapa pengecualian,hubungan antara
sitokinin dan auksin dalam mengontrol regenerasi tunas atau akar berlaku untuk
berbagai spesies tanaman.
3. Memahami Sifat Kompeten, Dedifferensiasi, dan Determinasi
Sifat kompeten, dediferensiasi dan determinasi sel atau jaringan eksplan
sangat penting agar terjadi organogenesis atau embriologi pada eksplan. Suatu sel
atau jaringan dikatakan kompeten jika sel atau jaringan tersebut mampu
memberikan tanggapan terhadap signal lingkungan atau signal hormonal. Bentuk
tanggapannya berupa pemrograman diri yang mengarah ke proses organogenesis
atau embriogenesis. Eksplan yang dikondisikan di lingkungan dengan
penambahan ZPT yang cocok akan menjadi kompeten untuk membentuk organ
atau embrio. Istilah lain proses ini adalah induksi.

B. Jenis - Jenis Kultur Jaringan


1. Kultur Organ
Kultur Organ (Organ culture) merupakan kultur yang diinisiasi dari
bagian-bagian tanaman seperti : ujung akar, ujung pucuk (meristem dengan
beberapa primordial daun) dan embrio sebagai bagian dari biji (Gunawan, 1992).
Sedangkan menurut Sjahril (2011), kultur organ merupakan kultur yang diinisiasi
dari organ-organ tanaman seperti pucuk terminal dan aksilar, meristem, daun,
batang, ujung akar, bunga, buah muda, dan embrio. Berdasarkan asal eksplan,
5

kultur organ dapat dibedakan menjadi kultur meristem, kultur tunas, kultur
anther/ovul, kultur akar dan kultur embrio.

2. Kultur Meristem
Kultur meristem adalah kultur yang menggunakan eksplan yang berasal dari
jaringan meristem, biasanya di peroleh dari meristem apikal atau meristem tunas
aksilar. Pada ujung pucuk, jaringan ini berada dibagian dalam, oleh karena itu,
untuk mengambil jaringan ini agar dapat digunakan sebagai eksplan, kita
membutuhkan mikroskop.
Setiap pengambilan sampel, terlebih dahulu dilakukan pengirisan bagian
pucuk secara transversal, lalu jaringan meristem yang tertutupi oleh primordial
daun akan dapat diambil, semua kegiatan ini dilakukan dibawah mikroskop.
Apabila kultur meristem ini adalah untuk mengeliminir penyakit,terutama
virus,karena jauh berada dibagian dalam,sehingga penetrasi penyakit
diharapkan belum menjauhkan jaringan ini, penyimpanan plasma nutfah bebas
virus .Kultur meristem telah banyak diterapkan pada berbagai tanaman. Pada
anggrek cymbidium, ternyata dengan teknik ini dapat dihasilkan kelipatan jumlah
dibanding kultur lainnya. Tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem ini
berasal dari jaringan vegetatif.
Pelaksanaan perbanyakan mikro dengan teknik kultur jaringan ini, apabila
kita menggunakan eksplannya adalah daerah meristem pucuk (yaitu bagian ujung
dari pucuk, dimana jaringannya terdapat dibagian dalam dan banyak dilapisi oleh
jaringan- jaringan primordial yang nantinya akan membentuk tunas dan daun)
yang berukuran sangat kecil (0,2 mm), dan dalam pelaksanaanya
digunakan perlakuan pemberian zat kimia untuk membunuh penyakit, maka hasil
yang diperoleh kemungkinan besar adalah bebas patogen.Tanaman yang
dihasilkan dari kultur meristem disebut meriklon (mericlone). Saat ini sudah
banyak beredar anggrek meriklon terutama, vanda dan cymbidium, karena
harganya yang cukup mahal. Namun sayangnya anggrek- anggrek tersebut adalah
hasil import dari negara Taiwan. Tanaman meriklon lainnya adalah
kedelai,kentang,anyelir,capsella. Melalui kultur meristem, jaringan meristem
sebagai sumber eksplan dapat langsung diregenerasikan untuk membentuk tunas
6

dengan subkultur berulang dan menggunakan variasi ZPT, atau melalui fase kalus
terlebih dahulu, seperti yang telah dilakukan ahli kultur jaringan morel, yang
memperoleh meristem pucuk anggrek yang bebas virus, kemudian dikulturkan
membentuk kalus, kemudian dikulturkan untuk membentuk protocorm dan
akhirnya dikulturkan untuk berdiferensiasi lebih lanjut guna membentuk tunas dan
akar.

3. Kultur Kalus
Pada awal kultur kalus bertujuan untuk mempelajari proses dediferensiasi
dan diferensiasi sel dan jaringan pada kultur in vitro dan memperoleh kalus dari
eksplan yang dikulturkan. Saat ini kultur kalus dan suspensi sel banyak dilakukan
dalam penelitian untuk menghasilkan metabolit sekunder.
Kalus adalah kumpulan masa sel yang amorphus yang terdiri dari sel-sel
atau jaringan-jaringan yang membelah diri terus menerus. Kalus tersusun oleh sel-
sel parenkim yang mana ikatannya dengan sel lainnya sangat rengggang. Jaringan
ini belum mengalami deferensiasi lanjut. Untuk menginduksi terbentuknya tunas
diperlukan media regenerasi dengan modifikasi ZPT.
Kemampuan jaringan dalam menbentuk kalus sangat terkait dengan:
 Umur fisiologi jaringan waktu isolasi dilakukan. Jaringan yang masih
meristematis lebih mudah penanganannya dibanding jaringan yang sudah
berdeferensiasi
 Musim pada saat tanaman diisolasi
 Jenis tanaman-tanaman berkayu seperti manggis sangat sulit untuk
mendapatkan kalus yang variable.
 Bagian tanaman yang diisolasi, bagian yang sudah tua akan memerlukan
modifikaasi dengan merejuvenilisasikan sel nya kembali.
Medium yang digunakan untuk kultur kalus adalah medium dasar dengan
modifikasi ZPT. Umumnya digunakan auksin 2,4-0, kadang-kadang digunakan
bahan organik kompleks seperti sari pisang, air kelapa.

Eksplan yang digunakan untuk menginduksi kalus adalah : batang, akar,


daun, embrio, kotiledon dan lainnya. Eksplan awal ini kemudian ditempatkan
7

pada media padat. Kalus yang tumbuh, harus disubkultur ke media baru dalam
kurun waktu tertentu, agar keterwidiaan hara dan airnya tetap ada dan mencegah
terhambatnya pertumbuhan kalus akibat keluarnya senyawa-senyawa hasil
metabolisme kalus tersebut.
Subkultur dapat dilakukan ke media yang sama atau media regenerasi. Hal
ini tergantung kepada tujuan subkultur tersebut. Untuk tujuan menghasilkan
senyawa atau metabolit sekunder maka jangan menggunakan media regenerasi.
Namun subkultur yang berulang-ulang dengan sumber eksplan yang terdiri dari
sel-sel yang heterogen yang dapat menyebebkan perubahan berupa :
 Aberasi kromosom, dapat terjadi pematahan kromosom, mengakibatkan
terjadinya mutasi gen.
 Poliploidi, yang disebabkan oleh pembelahan kromosom yang tidak diikuti
dengan terbentuknya dinding sel anak, sehingga terjadi penggandaan jumlah
kromosom.
 Delesi, translokasi, substitusi
Pengerjaan praktek kultur kalus pada penempatan di daerah gelap tanpa
sinar akan lebih memacu pembentukan kalus. Hal ini dapat kita pahami bersama
karena untuk proses pembentukan kalus, zat pengatur tumbuh yang sangat
berperan adalah auksin. Auksin akan sangat baik bekerja dengan kondisi gelap,
sementara dengan adanya cahaya maka kerja auksin akan terganggu, sehingga
kalus yang dihasilkan juga tidak baik kualitasnya.
Perlakuan membungkus dengan kain hitam pada tanaman yang akan
diinduksi kalusnya, pada tanaman krisan menunjukkan respon yang sangat baik,
dengan memperlihatkan kumpulan kalus yang terbentuk lebih banyak dibanding
botol yang tidak dibungkus kain hitam.
Kalus yang baik adalah kalus yang uriable dan mempunyai spot-spot hijau
pada permukaan atasnya. Kalus yang padat akan sulit beregenerasi membentuk
emrio somatik dan tunas.

4. Kultur Protoplasma
Protoplas adalah sel dalam keadaan telanjang. Fusi protoplas (yang
terjadididalam sel tanpa campur tangan manusia) adalah proses alamiah yang
8

terjadi padatumbuhan rendah sampai tingkat tinngi. Pada proses pembuahan


terjadi penyatuangamet jantan (sub protoplas) dengan gamet betina (protoplas)
menjadi zigot (hibridaseksual). Sel-sel tanaman tingkat tinggi berhubungan satu
dengan lainnya melalui plasmodesmata, hubungan sel melalui plasmodesmata ini
merupakan fusi protoplasdengan protoplas terapi terjadi secara alamiah.
Modifikasi genetik dengan fusi protoplas bertujuan untuk mengatasi
masalah ilompatibilitas, mengatasi masalah sterilitas, mendapatkan sifat yang
diinginkan, melalui fusi sel guna menghasilkan hibrida somatik, mendapatkan
tanaman bebas virus dan penyakit serta mendapatkan tanaman dengan variasi
somaklonal yang baik.
Protoplas dapat diisolasi secara mekanik dengan menggunakan prinsip
proses plasmolisis sel, juga dapat diisolasi secara enzimatis. Umummnya saat ini
digunakancara terakhir ini. Enzim-enzim digunakan untuk mengisolasi protoplas
antara lain selluase, driselase, zymolase, pectiolyase, pectinase, hemisellulase dan
maserase.
Sumber protoplas yang umum untuk diisolasi adalah daun (paling sering
digunakan), pucuk, buah, akar, nodul akar. Jaringan mesofil daun
(diutamakan berasal dari invitro) yang paling mudah diisolasi karena susunannya
yang jarang sehingga penetresi enzim lebih cepat.
Seluruh rangkaian isolasi protoplas, menurut sterilitas lebih tinggi dibanding
dengan kultur in vintro biasa. Hal ini di karenakan kita bekerja dengan sel
telanjang. Media untuk mengkulturkan protoplas maupun hasil fusi hasil protoplas
umumnya adalah media Ms atau Bs dengan berbagai modifikasi garam mineral
ZPT .
Osmotikum sangat dibutuhkan mulai dari prosesi isolasi mengkulturkan
hasilfusi protoplas, hingga terbentuk dinding sel. Larutan osmotikum biasanya
digunakan mannitol dan sorbitol. Setelah dinding sel terbentuk maka harus
diteteskan media tanpa manitol atau sorbitol, untuk menurunkan tekanan osmotik.
Jika tekanan osmotik tetap tinggi dan regenerasi sel menjadi terhambat. Fusi sel
(protoplas) tanaman dilakukan dengan cara memfusikan dua macam protoplas
yang sama atau berbeda. Teknik fusi protoplas yang dikembangkan saat ini antara
lain fusi antara protoplas dengan protoplas, fusi antara sub prtoplas dengan
9

protoplas dan fusi antara sub protoplas dengan sub protoplas sub protoplas terdiri
dari sitoplasma (protoplas tanpa inti), inti (karyoplas, protoplas mini), kloroplas
mitokondria.

5. Kultur Suspensi
Kultur suspensi sangat berguna dalam penelitian metabolit primer maupun
sekunder, juga untuk regulasi nitrogen didalam organ dan asimilasi sulfur,
metabolisme karbohidrat dan karbon fotosintetik, namun kultur sel kulit dipakai
untuk penelitian-penelitian path-way (biosintesis) senyawa tertentu.
Kultur sel dilakukan dengan menggunakan eksplan adalah kalus. Kalus
dipindahkan ke media cair untuk menginduksi sel-sel independen atau inisiasi
suspensi sel. Pada kutur sel ini juga harus dilakukan subkultur secara periodik,
tergantung tujuannya yaitu ke media yang sama atau modifikasi untuk
memperbanyak suspensi sel atau ke media regenerasi (media padat). Untuk
regenerasi harus didahulukan menginduksi munculnya tunas, setelah muncul
tunas kemudian baru diinduksi pembentukan akar.
Umumnya kultur sel digunakan untuk :
 Sumber protoplas
 Perlakuan dengan mutagen kimia, penyakit dan lain-lain.
 Memproduksi metabolit sekunder
 Untuk keperluan seleksi in vitro dalam pemuliaan tanaman
Kultur sel harus terus berkembang terutama untuk melihat hubungan
tanaman dengan mikroba, tidak hanya dalam pembentukan tunas tetapi juga dalam
proses biokimia dan perkembangan virus, phytotoksin, resistensi penyakit.

6. Kultur Anther/Haploid
Kultur anther (anther culture) sering juga disebut kultur haploid jika serbuk
sari yang digunakan sebagai sumber eksplan maka disebut kultur serbuk sari
(polen culture). Kultur serbuk sari ini lebih tepat disebut kultur haploid dibanding
dengan kultur anther. Kultur haploid lain adalah kultur ovul, dimana sebagai
sumber eksplannya adalah ovul. Kultur haploid adalah kultur yang menghasilkan
tanaman haploid. Tanaman haploid adalah tanaman yang memiliki jumlah
10

kromosom yang sama dengan jumlah kromosom gamet (N).jadi tidak harus sama
dengan kromosom dasar. Untuk tanaman diploid (2N), jumlah kromosom gamet
(N) adalah sama dengan kromosom dasar, tetapi untuk tanaman tetraploid (4N)
maka jumlah kromosom gamet adalah 2 kali kromosom dasar (N=2X). Dengan
demikian istilah haploid pada tanaman tetraploid dibedakan atas dihaploid
(N=2X) dan monohaploid (N=X)
Keuntungan dari tanaman haploid adalah :
 Semua sifat ditampilkan dalam kondisi monohaploid, baik sifat dominan
ataupun resesif
 Seleksi pada level haploid jauh lebih mudah dibanding level ploidi yang
tinggi
 Penggandaan kromosom tanaman haploid akan menghasilkan tanaman
dihaploid yang homozigot, penggandaan kromosom berikutnya akan
menghasilkan tanaman tetraploid homozigot
 Hibridisasi seksual dengan tanaman diploid akan menghasilkan tanaman
triploid
C. Tahapan Kultur Jaringan Tumbuhan
Kultur in-vitro adalah suatu teknik mengisolasi bagian tanaman seperti
protoplas, sel, jaringan dan organ, yang kemudian menumbuhkannya dalam
media buatan dengan kondisi aseptik dan terkendali. Teknik ini pada awalnya
digunakan dalam usaha perbanyakan tanaman secara cepat, namun saat ini telah
berkembang juga menjadi sarana pendukung program perbaikan sifat tanaman
(Basri, 2016).
Tahapan-tahapan dalam melakukan metode kultur jaringan tumbuhan
adalah sebagai berikut.
1. Pembuatan Media
Hal mendasar yang harus dipersiapkan dalam melakukan kultur jaringan
adalah media tumbuh. Komposisi media tumbuh ini sangat mempengaruhi
tingkat keberhasilan proses kultur jaringan karena terkait pada pemenuhan
kebutuhan nutrisi pada eksplan. Media tumbuh yang digunakan umumnya
mengandung bahan- bahan seperti agar sebagai bahan pemadat, garam mineral,
11

vitamin, zat pengatur tumbuh dan zat-zat lain yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan (Basri, 2016).
Media yang umum digunakan karena memiliki kandungan unsur hara
makro dan unsur mikro seperti myoinositol, niacin, pyridoxin HCl, thiamin HCl,
glycine dan glukosanitrat, kalium dan ammonium yang tinggi untuk
pertumbuhan tanaman adalah media Murashige dan Skoog (MS). Media tanam
yang telah dibuat harus terlebih dahulu disterilisasi dengan menggunakan
autoklav, begitu pula dengan alat-alat yang akan digunakan dalam proses
penanaman eksplan nantinya. (Inkiriwang dkk, 2016).

2. Isolasi Bahan Tanam (Eksplan)


Tanaman yang akan dijadikan sebagai bahan eksplan adalah tanaman
yang bebas penyakit, sehat serta memiliki pertumbuhan yang baik. Hal ini untuk
menghindari eksplan tersebut sebagai sumber kontaminan pada proses kultur in
vitro.

3. Sterilisasi Eksplan
Bahan yang telah diisolasi selanjutnya harus disterilisasi dengan
memotong bagian-bagian yang tidak diperlukan. Eksplan harus dicuci bersih
dengan detergen kemudian disikat dengan lembut menggunakan sikat gigi di
bawah air mengalir dan direndam dalam larutan fungisida selama 10 menit
sambil digoyang. Setelah itu dibilas dengan air bersih kemudian dimasukkan ke
dalam laminar. Eksplan disterilisasi lagi di dalam laminar dengan menggunakan
sodium hipoklorida atau Clorox. Perendaman dengan Clorox dilakukan 2 kali,
pertama dengan konsentrasi 10% selama 5 menit kemudian dibilas dengan air
destilasi steril dan yang kedua dengan konsentrasi Clorox 5% selama 5-7 menit
dan dibilas lagi dengan air steril

4. Penanaman Eksplan
Sebelum ditanam, eksplan harus dipotong terlebih dahulu menjadi bagian
yang lebih kecil. Eksplan selanjutnya ditanam pada media tumbuh yang telah
disterilisasi sebelumnya dalam kondisi aseptic di dalam laminar airflow. Kondisi
aseptik ini harus tetap dijaga selama proses penanaman, baik ruang tanam,
12

pekerja dan juga alat-alat yang digunakan untuk menanam. Sukses pekerjaan
kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh kemampuan pekerja menjaga kondisi
aseptik.

5. Perbanyakan (Proliferasi)
Propagul adalah bentukan baru hasil morfogenesis yang terbentuk dari
jaringan eksplan yang ditanam. Propagul ini dapat berupa kalus, tunas atau
embrio somatik. Untuk melakukan perbanyakan kalus maka dilakukan subkultur
ke media yang baru.
6. Pengakaran
Tahap ini adalah tahap dimana tunas-tunas yang sudah tumbuh dipindahkan
ke media induksi akar agar nantinya dapat terbentuk plantlet. Induksi akar ini
harus tetap dilakukan dalam kondisi aseptik. Untuk menstimulasi pertumbuhan
akar, pada media kultur ditambahkan ZPT dari golongan auksin. Induksi akar
secara eks-vitro dilakukan dengan jalan melakukan transplanting tunas-tunas mini
ke media semi steril di luar laboratorium. Pangkal-pangkal tunas ini biasanya
dicelupkan dahulu ke larutan yang mengandung auksin untuk merangsang
tumbuhnya akar sebelum akhirnya ditanam pada media semisteril yang sudah
disiapkan.

7. Aklimatisasi dan Pemindahan Tanaman ke Lapang


Aklimatisasi adalah proses adaptasi yang harus dilakukan oleh tanaman
hasil kultur in vitro untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang
baru baik berupa suhu, cahaya dan kelembaban. Tahap ini adalah tahap yang
krusial karena kematian planlet seringkali terjadi sehingga perlu kehati-hatian
dalam melakukan proses aklimatisasi.

D. Manfaat dan Aplikasi Kultur Jaringan


Beberapa manfaat kultur jaringan tumbuhan menurut Henuhili (2012), adalah:
1. Menghasilkan sejumlah besar tanaman (bibit) yang secara genetika sama,
dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat.
13

2. Mendapatkan bibit dengan sifat yang dikehendaki (unggul) dalam waktu yang
relative singkat.
3. Memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak secara tradisional.
4. Mendapatkan tanaman yang bebas virus dan penyakit.
5. Mempertahankan keaslian sifat-sifat tanaman.
6. Melestarikan tanaman-tanaman langka.

E. Kelebihan dan Kekurangan Kultur Jaringan


Menurut Henuhili (2012), terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan
kultur jaringan, yaitu:
 Kelebihan:
1. Kultur jaringan merupakan suatu cara menghasilkan jumlah bibit tanaman
yang banyak dalam waktu singkat.
2. Tidak memerlukan tempat yang luas.
3. Tidak tergantung pada musim sehingga bias dilaksanakan sepanjang  tahun.
4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat.
5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.

 Kelemahan:
1. Memerlukan biaya besar karena harus dilakukan dalam laboratorium dan
menggunakan bahan kimia.
2. Memerlukan keahlian khusus.
3. Memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal karena tanaman hasil kultur
biasanya berukuran kecil dan bersifat aseptic serta sudah terbiasa berada di
tempat yang mempunyai kelembapan udara tinggi

F. Tanaman Anggrek
1. Tanaman Anggrek
Anggrek termasuk tanaman florikultura yang daerah persebarannya di
seluruh dunia. Kemudahan bentuk dan warna bunga yang beranekaragam
menjadikan tanaman ini populer. Anggrek termasuk famili Orchidaceae yang
memiliki sekitar 900 genus yang sebagian besar tumbuh endemik di hutan hutan.
14

Untuk meningkatkan kualitas dan nilai jual anggrek, maka dilakukan persilangan
Anggrek hasil persilangan disebut dengan anggrek hibrida. (Sasongko, 2010).
Tanaman anggrek merupakan komoditas tanaman hias yang disukai banyak
penggemar tanaman hias. Tanaman anggrek vanda langka pada habitat aslinya
dikarenakan adanya kerusakan hutan akibat overgathering dan bencana alam.
Perbanyakan vegetative tanaman anggrek vanda dilakukan dengan cara stek
tanaman untuk menginduksi tunas aksiler pada tanaman sangat lambat dan
perbanyakan tanaman menjadi terbatas. Sehingga diperlukan cara perbanyakan
tanaman untuk menghasilkan bibit tanaman anggrek dalam jumlah banyak dan
memiliki kualitas tinggi, hal ini dilakukan menggunakan teknik kultur jaringan
(Jayanti, 2021).

2. Klasifikasi Tanaman Anggrek


Kedudukan anggrek Vanda tricolor dalam sistematika (taksonomi
tumbuhan menurut Sutiyoso dan Sarwono (2002), yaitu:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Orchidales
Famili : Orchidaceae
Genus : Vanda
Spesies : Vanda tricolor

3. Morfologi Tanaman Anggrek


Seperti tanaman lainnya, anggrek mempunyai bagian-bagian seperti
akar, batang, daun, bunga dan buah.
1. Akar
Pada umumnya akar anggrek berbentuk silindris, berdaging, lunak dan
mudah patah. Bagian ujung akar meruncing, licin, dan sedikit lengket. Dalam
keadaan kering akar akan tampak berwarna putih keperak-perakan dan hanya
bagian ujung akar saja yang berwarna hijau kekuningan. Akar yang sudah tua
akan kelihatan coklat dan kering.
15

2. Batang

Bentuk batang anggrek beraneka ragam, ada yang ramping, gemuk


berdaging seluruhnya atau menebal di bagian tertentu saja, dengan atau tanpa
umbi semu (pseudoblub). Berdasarkan pertumbuhannya batang anggrek
dibedakan menjadi:
a. Simpodial, pada umumnya anggrek ini berumbi semu dengan pertumbuhan
ujung batang terbatas. Pertumbuhan baru dilanjutkan oleh anggrek anakan
yang tumbuh di sampingnya. Contoh anggrek tipe ini adalah Cattleya,
Oncidium, dan Dendrobium.
b. Monopodial, anggrek ini mempunyai batang utama dengan pertumbuhan tidak
terbatas. Bentuk batangnya ramping tidak berumbi semu. Tangkai bunga akan
keluar di antara 2 ketiak daun. Contohnya Vanda, Aranthera dan
Phalaenopsis.

3. Daun

Bentuk daun anggrek bermacam-macam ada yang tebal ada yang tipis. Ada
yang berbentuk agak bulat, lonjong, sampai lanset. Tebal daun juga beragam, dari
tipis sampai bedaging, rata dan kaku. Daun anggrek tidak bertangkai, sepenuhnya
duduk pada batang. Tepinya tidak bergerigi (rata). Daun memanjang, ujungnya
berbelah, tulang daun sejajar dengan tepi daun hingga ke ujung daun.

Susunan daun berselang-seling atau berhadapan. Dilihat dari pertumbuhan


daunnya, anggrek digolongkan menjadi dua kelompok sebagai berikut
a. Evergreen (tipe daun tetap segar/hijau), yaitu helaian-helaian daun tidak
gugur secara serentak.
b. Decidous (tipe gugur), yaitu semua helaian-helaian daun gugur dan tanaman
mengalami masa istirahat.
4. Bunga

Bunga anggrek akan tersusun dalam karangan bunga. Jumlah kuntum pada
satu karangan bunga terdiri dari satu sampai banyak kuntum. Bunga anggrek
memiliki lima bagian utama yaitu sepal (daun kelopak), petal (daun mahkota),
16

stemen (benang sari), pistil (putik), dan ovari (bakal buah). Sepal anggrek
berjumlah tiga buah. Sepal bagian atas disebut sepal dorsal, sedangkan dua
lainnya disebut sepal lateral.

5. Buah

Buah anggrak berbentuk kapsular yang di dalamnya terdapat biji yang


sangat banyak dan berukuran sangat kecil dan halus seperti tepung. Biji-biji
anggrek tersebut tidak memiliki endosperm (cadangan makanan) sehingga dalam
perkecambahannya diperlukan nutrisi dari luar atau lingkungan sekitarnya
(Widiastoety, 2003).

Perbanyakan tanaman anggrek dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu


perbanyakan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif
biasanya dilakukan dalam skala penelitian atau percobaan yang bertujuan untuk
menghasilkan turunan baru melalui persilangan (hibridasi). Persilangan bertujuan
untuk mengkombinasikan dua sifat atau lebih yang baik dari kedua tanaman induk
yang disilangkan. Sedangkan perbanyakan secara vegetatif memiliki keuntungan
yaitu dapat diperoleh turunan atau generasi baru yang mempunyai sifat-sifat dan
karakteristik yang sama seperti induknya. Disamping itu perbanyakan tersebut
juga bertujuan untuk menyeleksi tanaman unggul yang terdapat diantara populasi,
memperoleh keseragaman tanaman karena komersial (Rukmana, 2000).

G. ZPT (Zat Pengatur Tumbuh)


Hormon tumbuh atau zat pengatur tumbuh merupakan sekumpulan
senyawa organik, baik yang terbentuk secara alami maupun buatan. Hormon
tumbuh dalam kadar sangat kecil mampu menimbulkan suatu reaksi atau
tanggapan baik secara biokimia, fisiologis maupun morfologis, yang berfungsi
untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Zat pengatur
tumbuh berbeda dengan unsur hara atau nutrisi tanaman, baik dari segi fungsi
maupun senyawa penyusunnya (Agustin, 2002).

Ada 2 golongan ZPT penting, yaitu sitokinin dan auksin. Zat pengatur
tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel,
jaringan, dan atau kultur organ. Perimbangan konsentrasi dan interaksi antara
17

ZPT yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen
akan menentukan arah perkembangan suatu kultur (Karjadi, 2007).

Hormon NAA adalah senyawa kimia yang termasuk dalam golongan


auksin sedangkan BAP termasuk dalam golongan sitokinin yang berperan dalam
pertumbuhan tunas. Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin tidak bekerja
sendiri-sendiri, tetapi kedua ZPT tersebut bekerja secara berinteraksi dalam
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Wareing dan Phillips
(1970), mengemukakan bahwa sitokinin merangsang pembelahan sel tanaman
dan berinteraksi dengan auksin dalam menentukan arah diferensiasi sel. Apabila
perbandingan konsentrasi sitokinin lebih besar dari auksin, maka pertumbuhan
tunas dan daun akan terstimulasi. Sebaliknya apabila sitokinin lebih rendah dari
auksin, maka mengakibatkan menstimulasi pada pertumbuhan akar. Apabila
perbandingan sitokinin dan auksin berimbang, maka pertumbuhan tunas, daun,
dan akar akan berimbang pula (Karjadi, 2007).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) Faktorial dengan dua faktor yang diteliti, yaitu :
a. NAA dengan taraf pemberian hormon yakni 0; 2; 4; 6 ppm/l.
b. BAP dengan taraf pemberian homon yakni 0; 2; 4; 6 ppm/l
Masing-masing perlakuan dilakukannya pengulangan sebanyak 3 kali, setiap unit
eksplan diulang lagi sebanyak 3 kali, sehingga didapatkan hasil sebanyak 4x3x3 =
36 perlakuan.

B. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: botol kultur,
petridish, magnetic stirrer dan hot plate, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, labu
ukur, corong, spatula, pipet, pinset, hand sprayer, scalpel, autoclave, laminar air
flow cabinet (LAFC), neraca analitik, pH meter, korek api, gunting, kamera, alat
tulis dan peralatan lainnya yang mendukung dalam penelitian ini.
Bahan pada penelitian ini ialah media Murashige and skoog (unsur hara
makro dan mikro, agar, sukrosa dan vitamin), planlet tanaman anggrek vanda,
NAA, BAP, Alkohol 95% dan Alkohol 90%.

C. Pelaksanaan
1) Sterilisasi Alat
Sterilisasi ruang tanam dilakukan dengan menyemprotkan alkohol 70 %
untuk seluruh bagian ruangan, menghidupkan lampu UV (Ultra Violet) blower
pada laminar air flow selama 30 menit. Setelah itu lampu UV dimatikan blower
tetap dihidupkan. Ruangan dapat digunakan setelah 30 menit lampu UV
dimatikan.

18
19

Alat–alat kultur adalah seperti petridish, pisau, gunting, pinset dan botol
kultur, terlebih dahulu dicuci bersih dan dikeringkan. Kemudian alat–alat
tersebut disterilisasi pada autoclave atau oven pada suhu 121 ℃ dengan tekanan
1,2 kg/cm selama 1 jam. Setelah di sterilisasi alat–alat tersebut kemudian disusun
dalam rak pada ruang tanam yang sudah seteril.

2) Pembuatan Media MS
Pembuatan larutan Media MS dengan melarutkan stok A, B, C, D, E, F.
Vitamin, Asam Amino dan larutan Myoinositol diencerkan untuk stok. Apabila
unsur sudah homogen, ditambahkan 30 gr sukrosa dan aquades hingga volumenya
900 ml, laludiaduk dengan stirer. Kemudian, ukur ph dengan menggunakan ph
meter. Ditambahkan NaOH jika pH kurang dari 6 hingga mencapai 6. Media yang
telah siap dipanaskan dengan menambahkan agar bubuk 8 gr sampai mendidih
kemudian dimasukkan didalam botol kultur dan ditutup dengan plastik.
Pengaplikasian zat zpt dilakukan penyuntikan kedalam agar-agar dalam botol
kultur lalu digoyang sedikit- sedikit sebelum agar- agar memadat, selama 15
menit media disterilisasi dengan autoklaf pada 121 ℃ – 126 ℃ lalu media
diinkubasi selama tiga hari untuk melihat perkembangan media, dan media MS
siap digunakan

3) Persiapan Eksplan
Eksplan anggrek vanda diperoleh dari laboratorium Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian Kota Surabaya. Eksplan anggrek vanda yang akan di tanam
sudah memiliki daun, batang dan akar.

4) Penanaman Eksplan
Sebelum melakukan penanaman eksplan dilakukan sterilisasi ruangan kerja,
kemudian dilakukan penanaman eksplan dengan mengambil satu planlet anggrek
vanda dan di amati jumlah daun awal, jumlah akar awal, berat eksplan awal dan
tinggi tanaman awal selanjutnya planlet ditanam pada media control maupun
media perlakuan. Eksplan yang sudah di tanam pada media di dalam botol kultur
jaringan kemudian botol ditutup rapat menggunakan alumunium foil dan plastic
20

wrap setelah itu diberi label pada setiap botol kultur. Kemudian tata rapi dalam
rak kultur jaringan dan dilakukan dengan menjaga kondisi ruang kultur tetap
bersih dan steril. Pada pembuatan media perlakuan maupun control dikondisikan
media memiliki pH tetap 6, botol kultur jaringan di inkubasi pada suhu 22-25℃
dan pencahayaan pada 1300 watt.

Indeks Pertumbuhan Dinyatakan dengan rumus:

D. Analisis data:

Variabel yang diamati adalah jumlah akar, tinggi tanaman (cm), jumlah
daun dan berat planlet (gram). Analisis data pada penelitian ini menggunakan
Analisis of Variant (ANOVA) sesuai dengan rancangan percobaan pada taraf
signifikan dibawah 0,05 dan menggunakan uji DMRT pada taraf signifikan 0,05
sebagai uji lanjutan jika data penelitian mendapatkan hasil signifikan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pada penelitian menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan planlet


tanaman anggrek vanda pada media MS dengan pemberian hormon NAA
(Naphtalane Acetic Acid) dan BAP (Benzyl Amino Purine) yang memiliki
perbedaan konsentrasi terhadap masing-masing perlakuan.

1. Jumlah Daun
Daun merupakan induk terjadinya fotosintesis yang merupakan bahan
makanan pusat bagi tanaman, dalam artian lebih banyak daun yang dimiliki
tanaman maka diharapkan tanaman dapat tumbuh dengan lebih baik.

Hasil dari data yang di dapatkan dapat dikatakan pemberian NAA


(Naphtalane Acetic Acid) dan BAP (Benzyl Amino Purine) tidak berpengaruh
nyata terhadap pertambahan jumlah daun pada tanaman anggrek vanda hal ini
dikarenakan anggrek vanda sudah memiliki hormon endogen yang sudah
mencukupi pertumbuhan pada tanaman itu sendiri. Sesuai yang dikemukakan
Siron et al. (2019) bahwa pemberian peerlakuan hormon NAA dan BAP dari luar
tanaman tidak adanya peningkatan yang nyata terhadap pertumbuhan dari
tanaman, hal ini diduga tanaman memiliki hormon dari dalam yang sudah
memenuhi pertumbuhan dari tanaman itu sendiri.

21
22

Hal ini diduga akibat adanya hormon sitokinin dan auksin dari dalam
tanaman sudah dapat meningkatkan pertambahan jumlah daun tanaman, sehingga
dengan adanya pemberian hormon dari luar pada tanaman tidak memberikan
penambahan yang nyata pada pertumbuhan jumlah daun planlet. Hal lain yang
dapat menyebabkan hasil perlakuan tidak berbeda nyata bagi pertambahan
variabel jumlah daun yakni kondisi dimana tanaman mengalami beberapa kali
subkultur pada media kontrol dengan tanpa penambahan hormon, hal tersebut bisa
menyebabkan tanaman terhabituasi oleh media MS dengan adanya penambahan
hormon NAA dan BAP. Menurut Arti dan Mukarlina (2017) mengatakan
habituasi ialah kondisi dimana planlet tanaman telah mengalami beberapa kali
subkultur ke media dengan tidak adanya perlakuan pemberian hormon maka
tanaman dapat tumbuh dengan tidak adanya pemberian hormon tambahan,
dikarenakan dapat menghambat pertumbuhan planlet tanaman.
Jumlah daun planlet tanaman anggrek vanda terbanyak terdapat pada
perlakuan B (MS + 2ppm NAA + 2ppm BAP) dengan rata-rata jumlah daun 4,7
dan jumlah daun planlet tanaman anggrek vanda dengan ratarata paling sedikit
terdapat pada perlakuan D (MS + 6ppm NAA + 6ppm BAP) dengan rata-rata
jumlah daun 2. Hal tersebut diakibatkan semakin banyaknya zat pengatur tumbuh
diberikan pada media tumbuh tanaman maka dapat mengakibatkan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman terhambat. Didukung oleh pernyataan Mariska et al.
(1992) menyatakan konsentrasi zat pengatur tumbuh diberikan pada tanaman
terlalu banyak dalam kultur jaringan secara in vitro dapat menghambat
perkembangan dan pertumbuhan pada tanaman. Hal tersebut kemungkinan dapat
berhubungan dengan adanya kemampuan dari sel sudah mencapai batas optimal
untuk memacu sel berdiferensiasi (Tripepi 1997)

2. Jumlah akar
Semakin banyak jumlah akar terdapat pada tanaman maka semakin luas
tanaman tersebut dapat menghasilkan unsur hara yang semakin banyak dan nutrisi
dapat diserap tanaman sehingga penyebaran nutrisi yang diperoleh dari media
tanam ke seluruh bagian tanaman dapat disebarkan dengan baik (Yusnita 2003) .
23

Hasil dari data diatas dapat dikatakan pemberian NAA (Naphtalane


Acetic Acid) dan BAP (Benzyl Amino Purine) berpengaruh nyata pada
pertumbuhan jumlah akar pada tanaman anggrek vanda. Seperti yang
dikemukakan dalam penelitian Pajaitan (2005), yakni NAA termasuk
golongan hormon auksin yang dapat digunakan pada diferensiasi dan
pembesaran akar sehingga peningkatan pemberian konsentrasi hormon
NAA juga dapat meningkatkan pertambahan akar planlet anggrek.
Menurut pendapat Salisbury dan Ross (1992), tunas mikro yang dikultur
pada media ditambah dengan NAA juga dapat menumbuhkan akar liar.
Akar ini tumbuh di bagian batang tunas mikro dengan menyebar di batang.
Semakin tinggi pemberian konsentrasi NAA, maka semakin banyak pula
terbentuk akar liar hal ini dikarenakan hormon auksin dapat memacu
perkembangan akar liar.
Jumlah akar planlet tanaman anggrek vanda terbanyak pada
perlakuan B (MS 2ppm NAA + 2ppm BAP) dengan ratarata jumlah 4 akar
pada planlet tanaman anggrek dan jumlah akar planlet tanaman anggrek
vanda paling sedikit terdapat pada perlakuan D (MS 6ppm NAA + 6ppm
BAP) dengan rata-rata jumlah 2,3 akar pada planlet. Hal ini dapat
24

menyatakan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh pada eksplan tanaman


anggrek paling optimal ialah 2ppm NAA + 2ppm BAP. Hal ini sesuai
dengan pedapat Karjadi dan Buchory (2007), umumnya pada kultur
jaringan tanaman membutuhkan hormon auksin untuk perkembangan akar.
Didukung dengan penelitian yang dilakukan Marlin (2005),
mengemukakan bahwa pada penambahan auksin dengan konsentrasi lebih
tinggi dari sitokinin, hal tersebut menjadikan morfogenesis pada jaringan
lebih mengarah dalam pembentukan akar.
Nickel (1982) dalam Rahmaniar (2007) mengemukakan bahwa
auksin yang aktif dapat digunakan pada terjadinya pembentukan akar ialah
NAA dan IBA. Beberapa jenis yang lain digunakan ialah 2,4-D atau 2,4,4-
T, keduanya dapat menumbuhkan akar jika ditambahkan dalam
konsentrasi sedikit. Tipe dari sistem perakaran juga tergantung dari zat
pengatur tumbuh yang diberikan pada tanaman. Himanen et al. (2002),
meyatakan dengan pemberian auksin dapat memicu pembelahan sel,
sehingga pemberian auksin diperlukan dalam pembentukan dari akar.
Kemampuan planlet tanaman dalam membentuk akar dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor termasuk dengan perbedaan genotip, tingkat
kedewasaan jaringan dan karakter dari fisiologis tanaman (Octaviana et al.,
2003). Oleh karena itu, planlet tanaman anggrek vanda memberikan
respon berbeda terhadap jumlah akar. Berdasarkan sensitifitas dari eksplan
pada hormon perakaran Octaviana et al. (2003) menyatakan planlet
tanaman memiliki golongan tanaman yang dapat berakar dengan mudah
dan tanaman yang berakar dengan sukar. Hal tersebut penting dalam
menentukan respon auksin dalam pemberian secara dari luar kedalam
media tanam.
Kemampuan planlet tanaman dalam membentuk akar dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk dengan perbedaan genotip,
tingkat kedewasaan jaringan dan karakter dari fisiologis tanaman
(Octaviana et al., 2003). Oleh karena itu, planlet tanaman anggrek vanda
memberikan respon berbeda terhadap jumlah akar. Berdasarkan sensitifitas
25

dari eksplan pada hormon perakaran Octaviana et al. (2003) menyatakan


planlet tanaman memiliki golongan tanaman yang dapat berakar dengan
mudah dan tanaman yang berakar dengan sukar. Hal tersebut penting
dalam menentukan respon auksin dalam pemberian secara dari luar
kedalam media tanam.

3. Tinggi Tanaman
Indikator pertumbuhan dari tanaman yang sering diamati dan dijadikan
parameter ukuran tanaman maupun sebagai pengukur dari lingkungan atau
perlakuan yang diberikan pada tanaman ialah tinggi tanaman. Tinggi tanaman
merupakan pengukuran pertumbuhan dari tanaman yang efektif diukur dan dilihat
yang disebabkan oleh pemanjangan sel maupun pembelahan sel tanaman
(Sitompul dan Bambang, 1995).

Dari hasil data diatas dapat dikatakan pemberian NAA (Naphtalane


Acetic Acid) dan BAP (Benzyl Amino Purine) tidak berpengaruh nyata
pada pertumbuhan tinggi tanaman planlet anggrek vanda. Hal ini
26

dikarenakan sitokinin yang ditambahkan terlalu tinggi sehingga dapat


menyebabkan kandungan sitokinin dalam sel menjadi berlebihan,
kemudian tanaman tidak semakin tinggi melainkan menghambat
pertumbuhan tinggi planlet. Pada penelitian Panjaitan (2005), menyatakan
bahwa pemberian 0,75 mg/l zat pengatur tumbuh BAP sudah dapat
menghasilkan eksplan paling tinggi pada kultur tanaman anggrek
(Denrobium sp.).
Hal tersebut didukung pada penelitian yang dilaksanakan oleh
Panjaitan (2005) menunjukkan bahwa lebih tinggi konsentrasi zat pengatur
tumbuh auksin diberikan pada eksplan anggrek, maka pertumbuhan tinggi
eksplan anggrek lebih kecil dan berlaku sebaliknya dengan pemberian zat
pengatur tumbuh sitokinin semakin rendah konsentrasinya diberikan pada
planlet anggrek akan menyebabkan tanaman mengalami pertumbuhan
semakin tinggi planlet tanaman anggrek.
Penggunaan zat pengatur tumbuh sitokinin dengan pemberian
rendah belum tentu bisa meningkatkan proses terjadinya pemanjangan sel
secara optimum, sedangkan penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin
dengan pemberian yang tinggi justru dapat mengakibatkan menurunnya
pertumbuhan tunas dikarenakan sel tidak bisa (gagal) dalam proses
pemanjangan (George et al., 2008).

4. Indeks Pertumbuhan
Indeks pertumbuhan pada planlet anggrek merupakan berat tanaman yang
menunjukkan aktivitas metabolisme yang berpengaruh pada unsur hara dan hasil
metabolisme, air dalam jaringan, peningkatan ukuran sel dan jumlah sel yang
berakhir didapatkan peningkatan berat pada tanaman (Sugiarto 2008).
27

Hasil dari data diatas dapat dikatakan pemberian NAA (Naphtalane Acetic
Acid) dan BAP (Benzyl Amino Purine) berpengaruh nyata terhadap indeks
pertumbuhan tanaman pada tanaman anggrek vanda. Dengan rerata tertinggi
sebesar 2,2 terdapat di perlakuan B (MS + 2ppm NAA + 2ppm BAP) dan rata-
rata terendah dengan nilai 1,2 pada perlakuan D (MS + 6ppm NAA + 6ppm BAP).
Hal ini didukung pada penelitian Corina et al. (2014), menyatakan pembesaran
sel-sel tanaman dihasilkan dari zat pengatur tumbuh berupa auksin yang dapat
bekerja pada bagian meristem seperti bagian daun, dimana daun ialah tempat
terjadinya proses fotosintesis tanaman yang memberikan fotosintat dapat berupa
unsur organic maupun nonorganic dan dapat digunakan pula sebagai diferensiasi
sel dan pembesaran sel pada tanaman.
Zat pengatur tumbuh berupa auksin berfungsi meningkatkan pemanjangan,
pembesaran dan diferensiasi sel pada tanaman, zat pengatur tumbuh berupa
sitokinin dapat berfungsi sebagai meningkatkan pertumbuhan sel tanaman dan
diferensiasi. Pemberian zat pengatur tumbuh berupa auksin bisa memacu
pertumbuhan maupun pemanjangan akar, akar dapat digunakan sebagai tahap
penyerapan air yang terkandung pada media tanam kultur jaringan oleh tanaman.
(Salisbury dan Ross, 1995).
28

Rahayu et al. (2003), mengemukakan berat basah yang terdapat pada


planlet tanaman disebabkan oleh kandungan air yang terdapat dalam planlet
banyak, berat basah dihasilkan tanaman tergantung kecepatan dari sel dapat
membelah diri dan kemudian diteruskan dengan membesarnya kalus.
Pertumbuhan in vitro pada tanaman disebabkan oleh perimbangan dan interaksi
yang terjadi pada penambahan zat pengatur tumbuh dalam media tumbuh planlet
dengan hormon pada pertumbuhan kemudian diberikan secara endogenus oleh sel-
sel tanaman dalam kultur jaringan (George dan Sherrington, 1984). Hal ini
diperkuat dengan pendapat dari Kusumo (1984) pada Mariani (2005), menyatakan
bahwa auksin dan sitokinin saling melengkapi dalam proses penginduksi tunas.
Menurut Davies (2004), menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh berupa
sitokinin dan auksin pada kultur in vitro dapat membuat sel dalam jaringan
tanaman mengalami tahap pembesaran serta pembelahan, sedangkan media tidak
adanya pemberian BAP, zat pengatur tumbuh berupa hormon auksin tahap ini
sudah memulai pembentukan planlet. Pemberian perlakuan zat pengatur tumbuh
berupa BAP kedalam media tumbuh planlet dapat menambah jumlah daun dan
tunas serta memiliki kecenderungan dapat menurunkan tinggi tunas dan jumlah
akar planlet (Tjandra, 2002 dalam Kurniawati, 2004).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis maupun pembahasan data dari hasil penelitian yang
sudah dilaksanakan, memiliki kesimpulan yakni pemberian zat pengatur
tumbuh 2ppm NAA + 2ppm BAP merupakan perlakuan terbaik untuk
mendapatkan hasil optimum dalam meningkatkan jumlah akar dan indeks
pertumbuhan planlet anggrek vanda tricolor, pemberian zat pengatur tumbuh
yang dapat dengan optimal mengahasilkan jumlah daun dan tinggi tanaman
yakni pemberian konsentrasi 0ppm NAA + 0ppm BAP atau dengan konsentrasi
pemberian zat pengatur tumbuh di bawah 2ppm NAA + 2ppm BAP.

B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan perlakuan
kombinasi yang optimal dengan cara meningkatkan konsentrasi NAA dan
BAP.

28
DAFTAR PUSTAKA

Arditti, J. 2010. Plenary Presentation : History of Orchid Propagation. AsPac


J.Mol. Biol. Biotecnol. Vol 18 (1): 171-174.
Agustin. 2002 . Hormon Tumbuhan atau ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) .http: //
tanijogonegoro.com.

Arti, Lisa, dan Murkalina, 2017. Multiplikasi Anggrek Bulan Dengan


Penambahan Ekstrak Taoge dan Benzyl Amino Purine. Jurnal Protobion.
Universitas Tanjungpura. Pontianak. 6 (3): 278-282

Basri, A. H. H. 2016. Kajian Pemanfaatan Kultur Jaringan Dalam Perbanyakan


Tanaman Bebas Virus. Agrica Ekstensia, 10(6), 64–73.

Corina, P.I. Mukarlina, Linda. R, 2014. Respon Pertumbuhan Kultur Biji Jeruk
Siam Seed (Citrus nobilis var. Microcarpa) dengan Penambahan Ekstrak
Tauge dan Benzyl Amino Purine (BAP). Jurnal Potobion 3(2): 120-124.

Davies, P.J, 2004. Plant Hormones: Biosyntesis Signal Transduction, Action.


London. Kluwer Academic Publisher

Henuhili, V. 2012. Kultur Jaringan Tumbuhan. Petunjuk Praktikum FMIPA


UNY. Yogyakarta.

George, E. F. dan P. D. Sherrington. 1984. Plant ropagation by Tissue Culture.


Eastern Press. England.

George, E. F.., M. A. Hall, dan G.J. De Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue
Culture: The Background: 3rd Edition. The Netherlands, Springer.

Hendaryono, D.P.S., dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit


Kanisius. Yogyakarta. 139p.

Himanen, K.; E. Boucheron; S. Vannese; J. de Almeida-Engler; D. Inze & T.


Beeckman, 2002. Auxin-mediated cell cycle activation during early root
initiation. Plant Cell. 14, 2339-2352

Jayanti, T. 2021. Pengaruh Pemberian Hormon NAA Dan BAP Pada Media MS
(Murashige and Skoog) Terhadap Pertumbuhan Anggrek Vanda tricolor
Secara In-Vitro. STIGMA: Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Unipa, 14(02), 89-98.

29
30

Karjadi dan Buchor, 2007. Pengaruh NAA dan BAP Terhadap Pertumbuhn
Jaringan Meristem Bawag Putih Pada Media B5. J.Hort. 17(3); 217- 223.

Karjadi, A. K., & Buchory, A. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap
pertumbuhan jaringan meristem bawang putih pada media B5.

Kurniawati, M, 2004. Pengaruh 2,4-D, BAP, dan Kinetin untuk Induksi Kalus
Tunas Mentha arvensis Var. Tempaku. Skripsi. Departemen Biologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian
Bogor. Bogor

Mariani, Y. dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur


Jaringan. J. Ilmu Pertanian. Vol 12, No. 1: 1-7.

Mariska, I. dan S.F. Syahid. 1992. Perbanyakan Vegetative Melalui Kultur


Jaringan Pada Tanaman Jahe. Bulletin Littri 4: 1-5.

Octaviana, F, Siswanto; A, Buiani dan Sudarsono 2003. Pengaruh Somatik


Lngsung dan Regenerasi Planlet Kopi Arabika (Coffea Arabica L.) dari
Berbagai Eksplan. Jurnal Menara Perkebunan. 71(2): 44-55.

Panjaitan, E. 2005. Respon pertumbuhan tanaman anggrek (Dendrobium sp.)


terhadap pemerian BAP dan NAA secara in vitro. J. Penelitian Bidang
Ilmu Pertanian. 3 (3) : 45 – 51.

Putra, Virnanto Hasmana. 2009. Budidaya dan Prospek Pemasaran Anggrek


Bulan Lokal (Phalaenopsis Anabilis) di Kebun Anggrek Widorokandang
Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Prasetyo, C.H. 2009. Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium sp. di
Pembudidayaan Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Skripsi. Program
Diploma III Agribisnis Hortikultura dan Arsitektur Pertamanan
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Rahayu, Y. Rostiwati dan Rodinah. 2003. Analisis Pengaruh Kandungan


Karbohidrat terhadap Warna Kalus Secara in vitro. Jurnal menara pertnian,
vol 73 (2):33-40.

Rahayu, B., Solichatun dan E. Anggarwulan. 2003. Pengaruh Asam 2,4-


Diklorofenoksiasetat (2,4-D) terhadap Pemnentukan dan Pertumbuhan
Kalus serta Kandungan Flavonoid Kultur Kalus Acalypha indica L.
Biofrms 1(1): 1-6.

Rahmaniar, A. 2007. Pengaruh Macam Eksplan dan Konsentrasi 2,4-


Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) terhadap Pertumbuhan Anthurium
31

(Anthuriumm plowmanii Croat) pada Medium MS. Skripsi Fakultas


Pertanian UNS. Surakarta.

Salisbury, Frank B. dan Ross, Cleon W. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3.


Terjemahan Diah R. Luqman dan Sumaryono. Bandung: ITB. Press.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 4. ITB. Bandung

Siron, U., Noertjahyani, Y. Taryana, dan Romiyadi. 2019. Pengaruh konsentrasi


zat pengatur tumbuh naphthalene acetic acid dan benzil amino purin
terhadap pertumbuhan protokorm anggrek dendrobium spetabile pada
kultir in vitro. Paspalum: J. Ilmiah Pertanian. 7 (1): 16 – 23.

Sasokong, B. A. 2010.Penentuan Genotip Hibrida Hasil Persilangan Anggrek


Lokan Indonesia Vanda trycolor. Yogyakarta: Bioteknologi.

Sitompul, S.M., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Tripepi, R.R. 1997. Andventitious shoot regeneration in: R.L. Gereve, J.E. Preece,
and S.A. Merkle (eds). Biotechnology of Ornamentals Plants. CAB
International. USA. P. 45-71.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.


PT. Agromedia Pustaka. Bogor.

Yusnita, 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.


Agromedia Pustaka, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai