Anda di halaman 1dari 21

PENYIMPANGAN PRINSIP KOLABORATIF PADA TATA KELOLA

PROYEK PENGADAAN E-KTP

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Tata Kelola dan Etika Sektor Publik

Dosen Pengampu :

Prof. Dr Ilya Avianti, SE., M.Si., Ak., CA., CPA.


Farhatun Nisa, M.Ak.

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Triana Oktariani 120204210044

Dewi Martika Apriani 120204210049

Alvira Sya'bannia Putri 120204210052

Syam Gusti Pranadhis Tama 120204210059

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti
dan sesuai dengan harapan. Makalah yang berjudul “Penyimpangan Prinsip Kolaboratif pada
Tata Kelola Proyek Pengadaan E-KTP.” ini disusun sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan tugas Mata Kuliah Tata Kelola dan Etika Sektor Publik

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Prof. Dr Ilya Avianti, SE., M.Si., Ak.,
CA., CPA dan Ibu Farhatun Nisa, M.Ak.MS., Ak. sebagai dosen pengampu Mata Kuliah Tata
Kelola dan Etika Sektor Publik yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakann makalah ini. Semoga apa yang ditulis
dapat bermanfaat bagi semua yang membutuhkan.

Jatinangor, 26 April 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................................2
1.3. Tujuan dan Manfaat.................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................ 3
2.1. Hubungan Prinsip Tata Kelola Sektor Publik dengan Proyek Pengadaan E-KTP....................3
2.2. Kronologi Kasus Pengadaan E-KTP.........................................................................................7
2.2.1. Penyimpangan Etika pada Proyek Pengadaan E-KTP................................................... 12
2.3. Hubungan Teori Dasar Tata Kelola dengan Tata Kelola pada penyimpangan Prinsip
Kolaboratif pada Proyek Pengadaan E-KTP................................................................................. 14
BAB III PENUTUPAN................................................................................................................ 16
3.1. Kesimpulan............................................................................................................................. 16
3.2. Saran....................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah negara berkembang yang terus berusaha menjadi negara maju.
Tak heran jika kini Indonesia mulai memperbaiki kinerjanya dari berbagai sektor,
khususnya di sektor publik.Saat ini bisnis yang paling digandrungi adalah bisnis
properti karena bisnis ini mampu mendulang omzet yang cukup besar serta menjadi
kebutuhan primer setiap manusia bahkan menjadi investasi yang memberikan return
cukup besar. Para pengusaha mulai kompetitif dalam hal ini sehingga meningkatkan
daya saing. Dengan begitu, diharapkan mampu memperbaiki perekonomian Indonesia
di masa mendatang.

Tak cukup jika sebuah bisnis atau perusahaan bergerak tanpa adanya tata kelola
perusahaan di dalam untuk menata dan mengelola aktivitas perusahaannya. Tata
kelola perusahaan atau governansi korporat adalah “suatu struktur dan proses yang
digunakan untuk mengarahkan dan mengelola usaha untuk mencapai kemajuan usaha
dan akuntabilitas korporasi dengan tujuan akhir menciptakan nilai korporasi dan
kekayaan pemegang saham secara berkelanjutan dengan memperhatikan kepentingan
para pemangku kepentingan.” (PUG-KI, 2021)

e-KTP merupakan kartu identitas warga Negara Indonesia. Pada proses


pembuatanya tidak dapat dilihat dari proses kesederhanaan. Program Elektronik Kartu
Tanda Penduduk (selanjutnya disingkat e-KTP) dilatarbelakangi oleh sistem
pembuatan KTP konvensional/nasional di Indonesia yang memungkinkan seseorang
dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data
terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Program
pembuatan e-KTP ini adalah langkah maju dari pemerintah Indonesia yang
dimaksudkan untuk pendataan penduduk Indonesia yang tersebar di berbagai pulau di
Indonesia. Sehingga program pembuatan e-KTP dengan menggunakan TI ini
menjadikan pemerintah lebih mudah dalam pendataan penduduk serta diharapkan
tidak ada duplikasi KTP dan menciptakan kartu identitas multifungsi

1
Namun pengadaan proyek e-KTP tersebut disalahgunakan oleh oknum-oknum
yang juga merupakan bagian dari stakeholder pelaksanaan proyek pengadaan e-KTP.
Proyek e-KTP tersebut dikorupsi oleh stakeholder yang terlibat seperti politisi,
birokrat, pengusaha dan perusahaan swasta. Penyimpangan ini sudah melanggar
prinsip-prinsip tata kelola khususnya pada sektor publik.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa hubungan prinsip tata kelola sektor publik dengan proyek pengadaan E-KTP?
2. Bagaimana kronologi kasus pengadaan E-KTP?
3. Bagaimana penyimpangan prinsip kolaboratif pada proyek pengadaan E-KTP?
1.3. Tujuan dan Manfaat
1. Memberikan informasi terkait prinsip tata kelola sektor publik
2. Mengetahui adanya kasus penyimpangan prinsip tata kelola dalam suatu proyek di
sektor publik
3. Memahami lebih dalam terkait prinsip tata kelola sektor publik berdasarkan
PUGSPI
4. Menjadi sumber bacaan bagi yang membutuhkan informasi terkait tata kelola
perusahaan

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Hubungan Prinsip Tata Kelola Sektor Publik dengan Proyek Pengadaan E-KTP

Pengadaan E-KTP sudah direncanakan oleh Kemendagri untuk tahun 2011-2012


yang menelan dana kurang lebih Rp 6 triliun. Namun sayang, mega proyek ini malah
dikotori oleh para pejabat yang ingin mengambil keuntungan untuk memperkaya diri
sendiri. Tentunya itu semua sudah menyalahi aturan yang ada, maka dari itu
dibutuhkan suatu indikator atau alat yang mampu memperkecil peluang berbuat kotor
atas jahat. Maka dari itu diperlukan suatu tata kelola sektor publik dalam proyek ini.
Jika dihubungkan berdasarkan pedoman baru yakni Pedoman Umum Governansi
Sektor Publik Indonesia (PUGSPI) 2022 yang ditetapkan oleh Komite Nasional
Kebijakan Governansi (KNKG). Penyusunan pedoman berbasis prinsip ini
memberikan ruang gerak yang luas bagi lembaga yang akan menerapkannya. Dalam
penetapan prinsip governansi sektor publik, pendalaman telah dilakukan terhadap
beberapa konsep yang ada pada amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang, serta konsep lainnya yang disusun oleh beberapa lembaga seperti
Bank Dunia, UNDP, OECD, APEC, dan European Council.

Terdapat 13 (tiga belas) nilai dasar dalam pedoman ini yaitu: kepemimpinan, etika
dan kejujuran, supremasi hukum, transparansi, independensi, akuntabilitas, amanah,
berorientasi pelayanan, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif, berikut
penjelasan prinsip governansi sektor adalah sebagai berikut :

1. Kepemimpinan

Nilai kepemimpinan dalam sektor publik berpusat kepada pengaturan pada


posisi tertinggi yang mana ketika para pemimpin memutuskan harus melalui
kepemimpinan yang berlandaskan peraturan yang berlaku pada kementerian atau
pemerintahan. Kebijakan yang dibuat oleh pemimpin wajib mengedepankan
kepentingan masyarakat secara adil dan merata. Seorang pemimpin harus mampu

3
memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat, dekat dengan masyarakat dan di
antara masyarakat sehingga mampu memberikan pelayanan yang maksimal.

2. Etika dan Kejujuran

Etika dan kejujuran sektor publik menuntut pejabat publik untuk


mematuhi seperangkat prinsip, standar, atau nilai-nilai moral yang mengatur
perilaku mereka. Pejabat publik harus berorientasi untuk kepentingan
masyarakat, tidak untuk kepentingan individu dan kelompok. Etika dan kejujuran
sangat dijadikan acuan dalam mengambil keputusan atas kebijakan publik, jika
adanya penyimpangan maka yang dirugikan adalah pemerintah dan masyarakat.
Maka dari itu pentingnya penyaringan Sumber Daya Manusia untuk menjadi
pejabat publik khususnya dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri.

3. Supremasi Hukum

Supremasi hukum adalah dimana masyarakat dan pemerintah harus tunduk


dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia mencakup Pancasila,
Undang-Undang Dasar, dan Peraturan Perundangan-undangan lainnya.
Supremasi hukum menyediakan mekanisme checks and balances untuk
meminimalisir peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat pemerintah
untuk kepentingan pribadi dan golongannya dengan mengorbankan kepentingan
publik melalui tindakan sewenang-wenang dan korupsi. Supremasi hukum juga
berarti bahwa semua kebijakan, keputusan dan tindakan pejabat publik harus
didasarkan pada ketentuan hukum, serta hukum berlaku sama bagi semua warga
negara.

4. Transparansi

Transparansi atau keterbukaan dalam pemerintah menjawab hak warga


negara untuk memiliki akses terhadap informasi tentang hal yang sudah, sedang,
dan akan dilakukan oleh pemerintah. Informasi yang disampaikan khususnya di
Kementerian Dalam Negeri berupa website yang dapat mengakses segala
informasi yang menjadi hak warga negara untuk mengetahui. Nilai transparansi
memiliki hubungan erat dengan supremasi hukum karena kemungkinan

4
masyarakat untuk menilai kesesuain antara keputusan, tindakan, ataupun
transaksi pemerintah dengan peraturan perundang-undangan dan regulasi yang
ada.

5. Independensi

Independensi mengacu pada kondisi dimana suatu entitas khususnya


Kementerian Dalam Negeri dituntut untuk memiliki nilai independensi dalam
membuat keputusan agar keputusan yang diambil berdasarkan kepada pemikiran
dan analisis yang objektif dengan mengedepankan aspek profesionalitas. Oleh
karena itu, nilai independensi juga berkaitan dengan tuntutan bagi pejabat publik
untuk memiliki integritas yang tinggi sehingga segala keputusan yang diambil
dilandasi oleh objektivitas, profesionalisme, dan tanpa adanya intervensi dari
pihak-pihak lainnya sehingga bebas dari unsur benturan kepentingan.

6. Akuntabilitas

Mardiasmo (2018) mendefinisikan akuntabilitas publik sebagai kewajiban


agent (pihak pemegang amanah) untuk melakukan pertanggungjawaban,
menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang
menjadi tanggung jawabnya kepada principal (pihak pemberi amanah). Principal
memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Jadi, akuntabilitas publik dapat dilihat sebagai pemberian informasi dan
pengungkapan atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah, baik pusat maupun
daerah, kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut.

7. Amanah

Amanah mencakup beberapa kata kunci, seperti : tulus, integritas,


konsisten, dan dapat dipercaya. Kementerian Dalam Negeri harus mampu
memberikan pelayan yang baik kepada masyarakat dengan amanah. Amanah
yang baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan
kementrian yang mendampinginya.

8. Berorientasi Pelayanan dan Bangga Melayani Masyarakat

5
Sejalan dengan semangat new public service (NPS) (Denhardt and
Denhardt, 2015, 2000) pemerintah harus berorientasi pada pemberian pelayanan
terbaik kepada masyarakat tanpa melihat latar belakang dari budaya, ekonomi,
dan sosialnya yang berbasis kepada kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas,
bukan berdasarkan permintaan pasar. Rakyat tidak semata-mata dilihat sebagai
“customer” tetapi sebagai “citizen” yang memiliki berbagai latar belakang dan
posisi sosial yang berbeda-beda. Tapi terkadang masyarakat malah balik
menuntut kepada pemerintah tanpa melakukan riset lebih lanjut apa yang
sebenarnya yang mereka butuhkan dan mampu diberikan oleh pemerintah. Pada
hakikatnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah itu terbatas tetapi
masyarakat banyak meminta lebih dari itu.
9. Kompeten
Kompeten disini memiliki arti bahwasanya pejabat publik harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan apa yang dikerjakan serta digeluti.
Sumber Daya Manusia yang ada di Kementerian Dalam Negeri harus memiliki
kemampuan yang secara terus-menerus dan konsisten meningkatkan kemampuan
dan kompetensinya melalui pelatihan-pelatihan berkala.
10. Harmonis
Menciptakan lingkungan harmonis bagi masyarakat dengan cara
menanamkan nilai kepedulian dan menghargai perbedaan. Bertindak adil adalah
menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan harmonis dimana heterogennya
budaya yang ada di Indonesia membuat banyaknya perbedaan yang tercipta.
Kementerian Dalam Negeri banyak ikut andil dalam menciptakan lingkungan
yang harmonis pada masyarakat karena mengatur bagaimana di dalam
pemerintah.
11. Loyal
Kementerian Dalam Negeri harus mampu menunjukkan komitmen yang
kuat untuk mencapai tujuan bernegara. Pejabat publik wajib berkomitmen untuk
selalu patuh kepada seluruh aturan yang berlaku secara umum agar tercipta
lingkungan yang kondusif dalam proses pengambilan kebijakan publik. Hal ini
diharapkan mampu meningkatkan loyalitas pejabat publik kepada negara.

6
Pejabat publik wajib hukumnya untuk loyal pada negara dan peraturan
perundang-undangan, namun “tingkat keloyalan” harus dibedakan dengan loyal
pada atasan. Kebijakan negara yang tercantum dalam konstitusi negara dan
peraturan perundang-undangan wajib diikuti, tapi pejabat publik tidak boleh
loyal pada atasan yang melawan atau melanggar kebijakan dan peraturan negara.
Dalam rangka “loyal pada negara dan peraturan perundangan” pejabat publik
wajib hukumnya untuk menolak perintah atasan yang bertentangan dengan
undang-undang dan tujuan negara.
12. Adaptif
Adaptif yang dimaksud adalah Kementerian Dalam Negeri harus proaktif
terhadap perubahan-perubahan yang sangat cepat terjadi di hampir seluruh sendi
kehidupan dengan cara selalu memutakhirkan keahlian dan pengetahuan secara
berkala melalui pelatihan-pelatihan. Sikap adaptif diperlukan oleh pejabat publik
dalam menghadapi volatility (volatilitas), uncertainty (ketidakpastian),
complexity (kompleksitas), dan ambiguity (ambiguitas) atau yang disingkat
sebagai VUCA, yaitu situasi kompleks dan penuh ketidakpastian yang terjadi
dalam sektor publik yang dapat menyebabkan kesulitan dalam mengidentifikasi
sebab-akibat dari perubahan yang terjadi (OECD, 2017a)
13. Kolaboratif
Kolaboratif ialah bekerja sama dengan berbagai pihak, tanpa
membeda-bedakan. Secara spesifik, pemerintah wajib untuk menekan dan
mengeliminasi ego sektoral, ego daerah, dan ego ilmu antar instansi pemerintah
sehingga menciptakan lingkungan yang kolaboratif antar instansi pemerintah
untuk mencapai kebijakan publik yang efektif. Iklim kolaboratif ini akan
meningkatkan sinergi instansi pemerintah secara signifikan sehingga diharapkan
mampu mencapai tujuan bersama.

2.2. Kronologi Kasus Pengadaan E-KTP

Pengadaan Proyek e-KTP merupakan salah satu program nasional dalam rangka
memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia. Pengadaan e-KTP diluncurkan
oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia pada bulan Februari 2011. Pada

7
pelaksanannya terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama dimulai pada tahun
2011 dan berakhir pada 30 April 2012 yang mencakup 67 juta penduduk di 2348
kecamatan dan 197 kabupaten / kota. Sedangkan tahap kedua mencakup 105 juta
penduduk yang tersebar di 300 kabupaten/kota lainnya di Indonesia. Pemerintah
menargetkan pembuatan e-KTP bisa selesai secara keseluruhan di akhir tahun 2012
yang setidaknya ditargetkan 172 juta penduduk sudah memiliki e-KTP. Dana yang
dianggarkan oleh pemerintah untuk proyek pengadaan e-KTP kurang lebih sebesar
Rp 6 triliun. Pada pelaksanaannya, proyek pengadaan e-KTP dilakukan oleh
konsorsium. Konsorsium terdiri dari beberapa perusahaan atau pihak terkait. Untuk
memutuskan konsorsium mana yang berhak melakukan proyek, maka pemerintah
kemudian melaksanakan lelang tender pada 21 Februari hingga 15 Mei 2011.
Pada awalnya proyek ini berjalan lancar dengan adanya pengawasan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan
Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun ditemukan
beberapa kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek pengadaan
e-KTP pada tahun 2011. Pada lelang tersebut ditemukan banyak masalah karena
diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana yang membuat berbagai pihak
mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak
kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak saat itu KPK melakukan
penyelidikan terhadap proyek pengadaan e-KTP ini. Setelah dilakukan penyelidikan,
KPK menemukan fakta bahwa negara harus menanggung kerugian sebesar Rp 2,314
triliun yang menunjukkan hampir separuh atau sekitar 49% dana proyek E-KTP telah
dikorupsi.
KPK menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka korupsi pengadaan e-KTP,
beberapa di antaranya pejabat Kementerian Dalam Negeri dan petinggi Dewan
Perwakilan DPR serta pengusaha swasta lainnya. Mereka adalah Sugiharto, Irman,
Andi Narogong, Markus Nari, Anang Sugiana dan Setya Novanto. Pihak pemenang
tender proyek e-KTP juga terlibat yaitu Konsorsium Perum Percetakan Negara
Republik Indonesia (PNRI). Konsorium proyek ini terdiri dari PNRI serta lima

8
perusahaan BUMN dan swasta, yakni Perum PNRI, PT Sucofindo, PT LEN Industri,
PT Sucofindo, PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Artha Putra. Semua pihak yang
terlibat dalam kasus ini berusaha merancang sedemikian rupa strategi supaya bisa me
mark-up dana proyek e-KTP untuk kemudian dapat mengalir ke kantong mereka
masing - masing. Mereka melakukan pengaturan sebelum adanya tender dengan
membuat suatu struktur di dalam bagaimana supaya bisa me mark-up
(menggelembungkan) dana proyek e-KTP. Mark up yang dilakukan cukup tinggi
yaitu sekitar 35%-40%
Dalam sidang perdana kasus korupsi e-KTP pada hari Kamis, 9 Maret 2017 di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Irene Putri selaku Jaksa penuntut umum
(JPU) KPK membeberkan kongkalikong yang dilakukan para anggota DPR, pejabat
Kementerian, dan sejumlah pihak swasta dalam pengadaan proyek e-KTP. Pada
sidang perdana ini, 2 terdakwa kasus korupsi e-KTP juga dihadirkan, keduanya
adalah Irman, mantan Dirjen Dukcapil di Kemendagri dan Sugiharto, mantan
Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil
Kemendagri. Dari surat dakwaan, terungkap sejumlah pertemuan yang dilakukan para
tersangka untuk membahas proyek pengadaan e-KTP yaitu sebagai berikut:
a. Februari 2010
● Setelah rapat pembahasan anggaran untuk pengadaan e-KTP oleh
Kementerian Dalam Negeri, Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu
meminta sejumlah uang kepada Irman, Dirjen Dukcapil Kemendagri, agar
usulan proyek e-KTP segera disetujui oleh Komisi II DPR. Irman menyetujui
permintaan tersebut dan menyatakan bahwa pemberian uang tersebut akan
diberikan oleh pengusaha yang sudah terbiasa menjadi rekanan Kementerian
Dalam Negeri yaitu Andi Narogong. Sebelumnya Irman sudah bekerja sama
dengan Andi Narogong agar perusahaan Andi dimenangkan dalam tender
proyek e-KTP. Kesepakatan tersebut disetujui oleh Diah Anggraini, Sekretaris
Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
● Irman mengarahkan Andi Narogong untuk berkoordinasi dengan Sugiharto
selaku Mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen
Dukcapil Kemendagri. Beberapa hari kemudian, Irman Sugiharto, Andi

9
Narogong dan Diah Anggriani melakukan pertemuan dengan Setya Novanto
yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar DPR) untuk meminta
bantuan agar Setya Novanto mendukung dalam penentuan anggaran proyek
pengadaan e-KTP dan dalam pertemuan tersebut Setya Novanto menyatakan
dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek pengadaan e-KTP di DPR.
b. Mei 2010
Sebelum rapat dengar pendapat DPR, Irman mengadakan pertemuan dengan
Gamawan, Diah, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh
Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arief Wibowo, M. Nazaruddin,
dan Andi Narogong, di ruang kerja Komisi II DPR. Pada pertemuan itu
disepakati bahwa proyek e-KTP akan dianggarkan sebesar Rp 5,9 triliun secara
multiyears.
c. Juli-Februari 2011
Mengadakan pertemuan yang membahas pembentukan konsorsium untuk ikut
dalam tender proyek e-KTP dan membahas pengaturan untuk memenangkan
tender hingga mendaftar penggembungan harga sejumlah barang yang akan
dibeli unutk proyek ini. Pengaturan ini melibatkan pihak lelang yang berasal dari
Kemendagri. Panitia tender beberapa kali menerima uang dari Andi Narogong
dan konsorsium.
d. 22 November 2010
Diadakannya rapat kerja antara Komisi II dan Kemendagri di gedung DPR
dengan hasil Kemendagri akhirnya menyepakati proyek e-KTP untuk tahun 2011
sebesar Rp 2,4 triliun yang bersumber dari APBN anggaran 2011.
e. 7 hari sebelum pengumuman tender
Andi Septinus dan Dedi Priyono memanggil PPK, ketua panitia dan sekretaris
panitia untuk memfinalisasi rekayasa dan spesifikasi tender yang dihadiri oleh
seluruh direktur utama konsorsium yaitu Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero),
PT LEN Industri (persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthapurtra.
Semua konsorsium mempunyai peran masing-masing. PT ANRI mencetak
blangko e-KTP dan personalisasi, PT Sucofindo melaksanakan bimbingan dan
pendampingan teknis, PT LEN industri mengadakan perangkat keras AFIS, PT

10
Quadro Solution bertugas mengadakan mengadakan perangkat keras dan lunak
serta PT Sandipula Arthaputra dan PT Paulus Tanos mencetak blanko e-KTP dan
personalisasi dari PNRI.
f. 21 Juni 2011
Gamawan Fauz menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang tender proyek
e-KTP dengan penawaran harga Rp 5,8 triliun. Konsorsium PNRI tetap
dimenangkan meskipun sejumlah syarat belum dipenuhi. Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM) bernama Government Watch (Gowa) menilai bahwa terjadi
kejanggalan pada proses lelang tersebut
g. Juni 2011
Penetapan pemenang lelang digugat, tetapi Sugiharto tetap menunjuk
konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang
h. Maret 2012
Konsorsium PNRI belum dapat menyediakan pengadaan blangko e-KTP
sebanyak 65,3 juta keping dengan nilai Rp 1,04 triliun. Hal tersebur tidak
diberikan teguran maupun sanksi kepada konsorsium PNRI, bahkan dibuat
laporan seolah-olah pekerjaan sudah sesuai target kontrak sehingga pembayaran
kepada pihak PNRI tetap bisa dilakukan.
i. 2013
Karena banyak ditemukan kejanggalan demi kejanggalan pada proyek pengadaan
e-KTP, akhirnya KPK melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.
Pada tahun 2017 pengadilan sudah memvonis bersalah kepada 8 pelaku
yang terlibat dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP yaitu sebagai berikut:
1. Sugiharto: 5 tahun penjara (vonis 22 Juni 2017)
2. Irman: 7 tahun penjara (vonis 20 Juli 2017)
3. Andi Naragong: 8 tahun penjara (21 Desember 2017)
4. Setya Novanto: 15 tahun penjara (divonis 24 April 2018, kemudian mengajukan
peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya)
5. Anang Sugiana Sudiharjo: 6 tahun penjara (divonis 30 Juli 2018, inkrah setelah
banding dan PK)

11
6. Made Oka Masagung: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018, mengajukan
PK dan ditolak pada 2020)
7. Irvanto Hendra Pambudi Cahyo: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018)
8. Markus Nari: 6 tahun penjara (divonis 11 November 2019) karena berusaha
menghalangi penyidikan dan penuntutan KPK dengan mempengaruhi Miryam
untuk memberikan keterangan palsu
Berikut perkara baru dan tersangka baru yang diumumkan KPK dalam
kasus korupsi e-KTP yaitu:
1. Fredrich Yunadi dan dr. Bimanesh Sutarjo : masing-masing 7,5 tahun penjara dan
3 tahun penjara
2. Miryam S Hariyani selaku Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI periode
2010-2013
3. Isnu Edhi Wijaya selaku ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik Husni Fahmi
4. Paula Thanos selaku Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra
KPPU juga menyatakan keputusan berupa hukuman pada Konsorsium
Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan PT Astragraphia untuk
membayar denda Rp24 miliar ke negara karena melanggar pasal 22 UU No.
4/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
pada November 2012. Konsorsium PNRI didenda sebesar Rp20 miliar sedangkan
PT Astragraphia didenda Rp4 miliar. Denda tersebut harus dibayar ke kas negara
melalui bank pemerintah dengan kode 423755 dan 423788 (Pendapatan
Pelanggaran di bidang persaingan usaha).

2.2.1. Penyimpangan Etika pada Proyek Pengadaan E-KTP


1. Teori Egoisme Psikologis
Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa
semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri
(selfish). Dalam proyek pengadaan e-KTP ini adanya penyimpangan
etika yang termasuk ke dalam teori egoisme psikologis karena
terjadinya kerjasama yang dilakukan para anggota DPR, pejabat

12
Kementerian, dan sejumlah pihak swasta dalam pengadaan proyek
e-KTP untuk melakukan suatu tindakan korupsi dengan motivasi
kepentingan berkutat diri (selfish) atau memperkaya diri sendiri serta
mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain atau pada kasus
ini adalah merugikan negara dan rakyat Indonesia. Akibat dari tindakan
korupsi, proyek pengadaan e-KTP menjadi terhambat dan masyarakat
tidak mendapatkan manfaat dari e-KTP karena persebaran yang belum
merata pada saat itu.
2. Teori Teleologi Utilitarianisme
Teori Teleologi mempelajari perilaku etika yang terkait dengan
hasil atau konsekuensi dari keputusan-keputusan beretika, sedangkan
utilitarianisme sendiri mendefinisikan baik atau buruk dalam bentuk
konsekuensi kesenangan (pleasure) dan kesakitan (pain). Tindakan
yang beretika pada teori ini adalah tindakan yang menghasilkan
kesenangan atau rasa senang yang paling banyak atau rasa sakit yang
paling sedikit, sedangkan pada proyek pengadaan e-KTP yang
dikorupsi hanya menghasilkan kesenangan pada oknum-oknum dan
pejabat yang terlibat. Bagi negara dan masyarakat sendiri, tindakan
tidak beretika tersebut tidak menghasilkan kesenangan atau rasa senang
karena menimbulkan banyak kerugian yang dirasakan. Oleh karena itu,
kesenangan atau rasa senang yang didapat para pelaku tindak korupsi
tidak sebanding dengan kesakitan atau rasa sakit yang akan dirasakan
negara dan masyarakat.
3. Teori Deontologi
Teori Deontologi terkait dengan tugas dan tanggung jawab etika
seseorang. Deontologi mengevaluasi perilaku beretika berdasarkan
motivasi dari pengambil keputusan. Dalam kasus ini para stakeholder
proyek e-KTP yang memiliki kekuasaan dan sama–sama memiliki
tujuan untuk mengalirkan dana proyek e-KTP untuk diri mereka
sendiri, saling bekerja sama menyusun strategi bagaimana agar mereka
bisa melakukan mark-up dana proyek e-KTP. Dilihat dari motivasi dari

13
pengambil keputusan yang memiliki tujuan korupsi, hal ini
menunjukkan bahwa para pemimpin proyek pengadaan e-KTP ini
menyalahi tugas dan tanggungjawabnya. Hal ini juga membuat para
pegawai pada tingkat bawah mengikuti arahan dari pemimpinnya untuk
melaksanakan tugas atau kewajibannya walaupun tindakan tersebut
salah dan tidak beretika. Hal tersebut yang membuat banyaknya
tersangka korupsi pada kasus proyek pengadaan e-KTP.
4. Teori Justice and Fairness
Dengan prinsip justice and fairness apa yang disebut benar dan adil
adalah setiap orang memperoleh kemanfaatan dari situasi
ketidaksamaan (perbedaan) sosial dan ekonomi. Tindakan korupsi pada
proyek pengadaan e-KTP ini mencerminkan ketidakadilan yang
dirasakan oleh negara dan masyarakat karena tidak memperoleh
manfaat yang menjadi tujuan awal pengadaan e-KTP tersebut. Tindakan
korupsi ini hanya memberikan manfaat kepada para tersangka korupsi.
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Teori keutamaan tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan
tindakan mana yang tidak etis. Teori keutamaan menunjukkan sifat-sifat
atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat disebut
sebagai manusia utama. Untuk pelaku bisnis sendiri, sifat utama yang
perlu dimiliki antara lain: kejujuran, kewajaran (fairness), kepercayaan
dan keuletan. Berdasarkan sifat utama tersebut, sifat yang
mengakibatkan tindakan korupsi pada proyek pengadaan e-KTP ini
sangat tidak sesuai dengan teori keutamaan (virtue theory) sehingga
termasuk ke dalam tindakan tidak etis dan mencerminkan sifat manusia
hina seperti yang dijelaskan pada teori keutamaan.

2.3. Hubungan Teori Dasar Tata Kelola dengan Tata Kelola pada penyimpangan
Prinsip Kolaboratif pada Proyek Pengadaan E-KTP

Prinsip kolaboratif merupakan akibat dari Perubahan yang cepat di berbagai


bidang membuat dunia menjadi semakin “hybrid”, termasuk pemerintah. Hibridisasi

14
ini menuntut pemerintah meningkatkan iklim kolaborasi. Pemerintah harus terbuka
untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, tanpa membeda-bedakan. Secara spesifik,
pemerintah wajib untuk menekan dan mengeliminasi ego sektoral, ego daerah, dan
ego ilmu antar instansi pemerintah sehingga menciptakan lingkungan yang
kolaboratif antar instansi pemerintah untuk mencapai kebijakan publik yang efektif.
Iklim kolaboratif ini akan meningkatkan sinergi instansi pemerintah secara signifikan
sehingga diharapkan mampu mencapai tujuan bersama.
Pada proyek pengadaan e-KTP yang diselenggarakan oleh Kementerian
Dalam Negeri ini awalnya telah menerapkan prinsip kolaboratif yang baik dengan
pihak luar guna memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia dan melakukan
hibridisasi seperti yang sudah dijelaskan di atas. Namun, ditemukan kejanggalan
penyimpangan sejak proses lelang tender proyek e-KTP oleh KPK. Adanya
penyimpangan dalam proyek pengadaan e-KTP yang menyalahi prinsip kolaboratif.
Alih-alih kolaborasi tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan bersama, para
stakeholders proyek ini justru menyalahgunakan dana untuk tujuan atau kepentingan
pribadi guna memperkaya diri. Kolaborasi yang diharapkan dapat mempermudah
proses pengadaan e-KTP justru menjadi boomerang akibat adanya tindakan korupsi
pada proyek pengadaan e-KTP ini.
Jika dijabarkan kasus mana yang mengandung unsur penyimpangan pada
prinsip kolaboratif tata kelola sektor publik adalah adanya kerja sama terkait lelang
antara pejabat publik Kementerian Dalam Negeri dengan salah satu tender yang
mengikuti kegiatan lelang tersebut. Tak sampai disitu prinsip kolaboratif yang
dilanggar adalah dengan pihak DPR RI, dengan menyuap anggota DPR RI untuk
meningkatkan anggaran biaya yang digunakan untuk pengadaan E-KTP. Pentingnya
peningkatan SDM di bagian pejabat publik karena kasus seperti ini bukan hanya di
sini saja tetapi juga banyak kasus lainnya yang hampir serupa yang merugikan
negara.

15
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Proyek pengadaan e-KTP telah disalahgunakan oleh oknum-oknum yang juga


merupakan bagian dari stakeholder pelaksanaan proyek pengadaan e-KTP. Proyek
pengadaan e-KTP tersebut dikorupsi oleh stakeholder yang terlibat seperti para
anggota DPR, pejabat Kementerian, dan sejumlah pihak swasta yang ingin
mengambil keuntungan untuk memperkaya diri sendiri. Tindakan tersebut
mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara.

Terdapat 13 (tiga belas) nilai dasar dalam pedoman PUG-SPI ditetapkan oleh
KNKG yang semestinya diterapkan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam
melaksanakan proyek pengadaan e-KTP yaitu : kepemimpinan, etika dan kejujuran,
supremasi hukum, transparansi, independensi, akuntabilitas, amanah, berorientasi
pelayanan, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif. Prinsip kolaboratif ini
menjadi highlight dalam kasus proyek pengadaan e-KTP yang melibatkan kegiatan
kolaborasi berbagai pihak.

Pada proyek pengadaan e-KTP prinsip kolaboratif dengan pihak luar yang
dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri mengalami penurunan yang signifikan
karena telah ditemukanya kejanggalan penyimpangan sejak proses lelang tender
proyek e-KTP oleh KPK yang bertujuan mencapai keuntungan bersama para
stakeholders proyek, tetapi dengan memanfaatkan dan menyalahgunakan untuk
kepentingan pribadi guna memperkaya diri. Kolaborasi yang diharapkan dapat
mempermudah proses pengadaan e-KTP justru menjadi boomerang akibat adanya
tindakan korupsi pada proyek pengadaan e-KTP ini.

16
3.2. Saran

Sebagai sebuah lembaga Eksekutif di Indonesia, Kementerian Dalam


Negeri seharusnya menjadi contoh bagi lembaga maupun entitas lainnya.
Tentunya terdapat peraturan dan sistem serta etika yang menjadi tolak ukur
keberhasilan yang memperhitungkan baik buruknya pengelolaan dan tata kelola
pada sebuah entitas ataupun menjalankan suatu proyek. Dengan menjaga nama
baik saat menjalankan proyek dengan tidak menyalahgunakan kesempatan untuk
kepentingan pribadi merupakan termasuk salah-satu hal dalam kode etik yang
baik.

Dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri memperbaiki alur dalam lelang
yang meminimalisir kcurangan dengan mengedepankan nilai integritas.
Mengutamakan dan mengacu pada prinsip governansi, terutama dalam nilai dasar
prdoman kepemimpinan, etika dan kejujuran, supremasi hukum, transparansi,
independensi, akuntabilitas, amanah, berorientasi pelayanan, kompeten, harmonis,
loyal, adaptif, dan kolaboratif. Pengendalian internal dan eksternal dalam
Kementrian harus lebih diperketat dan ditinjau ulang karena masih banyak
kelemahan dalam sistem pengendalian tersebut sehingga masih banyak celah
untuk melakukan kecurangan ataupun penyalahgunaan demi kepentingan pribadi.

Pemerintah harus terbuka untuk bekerja sama dengan berbagai pihak,


tanpa membeda-bedakan. Secara spesifik, pemerintah wajib untuk menekan dan
mengeliminasi ego sektoral, ego daerah, dan ego ilmu antar instansi pemerintah
sehingga menciptakan lingkungan yang kolaboratif antar instansi pemerintah.

Melakukan Good Corporate Governance pada seluruh kegiatan dalam


Kementrian tersebut dengan baik dan diiringi dengan tata kelola dan etika yang
baik dan sehat. Mengoptimalkan secara menyeluruh dalam menerapkan prinsip
Good Corporate Governance yang dapat meminimalisir tindakan korupsi
sehingga terjalinnya pengendalian yang lebih efektif dan efisien, serta menjaga
hubungan kepada pihak eksternal secara adil.

17
DAFTAR PUSTAKA

(n.d.). ANALISIS KASUS KORUPSI E-KTP (KTP ELEKTRONIK). Retrieved from


http://eprints.binadarma.ac.id/9836/1/TUGAS%202%20COMBINE.pdf

Hakim, R. N. (2017). Melihat Perjalanan Setya Novanto dalam Kasus E-KTP pada 2017.
Retrieved April 26, 2023, from KOMPAS.com:
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/28/09531001/melihat-perjalanan-setya
-novanto-dalam-kasus-e-ktp-pada-2017

Henny Sri Kusumawati, N. T. (2019). Analisis Framing Berita Korupsi e-KTP Setya
Novanto Pada Media Online. ACCOMAC, 2, 52-59.

Irawan, D. (2017). Nama-nama Besar yang Disebut Terima Duit Haram e-KTP.
Retrieved April 26, 2023, from detiknews:
https://news.detik.com/infografis/d-3442187/nama-nama-besar-yang-disebut-teri
ma-duit-haram-e-ktp

Komite Nasional Kebijakan Governansi. (2022). Pedoman Umum Governansi Sektor Publik
Indonesia (PUG-SPI) 2022. Jakarta.

Muhammad Rizal Wardana, H. L. (n.d.). Analisis Framing Pemberitaan Kasus Korupsi


e-KTP Setya Novanto Harian Kompas & Pikiran Rakyat 1 – 31 Desember 2017.
Retrieved from https://repository.uniga.ac.id/file/mahasiswa/1083733330.pdf

Retaduari, E. A. (2022). Awal Mula Kasus Korupsi E-KTP yang Sempat Hebohkan DPR
hingga Seret Setya Novanto. Retrieved April 26, 2023, from KOMPAS.com:
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/04/12351421/awal-mula-kasus-korupsi
-e-ktp-yang-sempat-hebohkan-dpr-hingga-seret-setya?lgn_method=google

Setyahudi, S. W. (n.d.). Analisis Kasus Ektp. Retrieved April 26, 2023, from scribd:
https://www.scribd.com/document/384254166/Analisis-Kasus-Ektp#

Sukma, P. T. (2018). Analisis Kasus yang Terjadi dalam Kehidupan Sehari-hari di


Indonesia. Retrieved from
file:///D:/SEMESTER%204%20ASP/Tata%20Kelola/Kasus%20Korupsi%20E-K
TP.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai