Anda di halaman 1dari 38

JURNAL PEMBELAJARAN TUTORIAL 2.

3 BLOK 13 KELOMPOK H

Nama Blok : 13 (Neurobehavior)

Koordinator Blok : dr. Inke Kusumastuti, M. Biomed, Sp. KJ

Mata Kuliah : Tutorial 2.3/ Neurobehavior

Dosen Tutor : dr. M. Hasan, M. Kes., Sp. OT

Tanggal Kegiatan : 01 September 2022

Learning Objective

3.Gangguan psikiatri

● Gangguan F40 (gangguan neurotik, gangguan somatoform, gangguan terkait stres)


diego philip putri

Pandego Wahyu Dirgantara (202010101143)

Gangguan Ansietas Fobik

Ancienty = kecemasan
Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri),
yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak membahayakan.
Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan takut akan adanya penyakit
(nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk badan (dismorfofobia) yang tak realistik
dimasukkan dalam klasifikasi F45.2 (gangguan hipokondrik).
Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam.

Anxietas fobik seringkali berbarengan (coexist) dengan depresi. Suatu episode depresif
seringkali memperburuk keadaan anxietas fobik yang sudah ada sebelumnya. Beberapa
episode depresif dapat disertai anxietas fobik yang temporer, sebaliknya afek depresif
seringkali menyertai berbagai fobia, khususnya agoraphobia. Pembuatan diagnosis tergantung
dari mana yang jelas-jelas timbul lebih dahulu dan mana yang lebih dominan pada saat
pemeriksaan.
Anxietas fobik dibagi lagi menjadi beberapa, diantaranya: Agorafobia, Fobia sosial, Fobia
Khas (Terisolasi), Gangguan Anxietas Fobik Lainnya

Gangguan Ansietas Lainnya

Manifestasi anxietas merupakan gejala utama dan tidak terbatas (not restricted) pada situasi
lingkungan tertentu saja.
Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan juga beberapa unsur dari anxietas
fobik, asal saja jelas bersifat sekunder atau ringan.
Gangguan ansietas lainnya digambarkan menjadi beberapa, diantaranya:

- Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)

- Gangguan Cemas Menyeluruh

- Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi

- Gangguan Anxietas Campuran Lainnya

Philip Simon Mardame Marbun (202010101113)

Gangguan obsesif kompulsif

Merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya gejala obsesif dan kompulsif,yang harus
ada selama hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut-turut.

Diagnosis:

-gejala obsesif:

→harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri

→pikiran untuk melakukan tindakan tersebut bukan hal yang memberi kepuasan

atau kesenangan,tetapi hanya merupakan perasaan lega dari ketegangan atau

kecemasan

→gagasan,bayangan pikiran,atau impuls tersebut merupakan pengulangan yang

tidak menyenangkan
-gejala kompulsif: hal yang dilakukan berulang-ulang yang dilatarbelakangi oleh perasaan
takut terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya,dan tindakan
ritual tersebut tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut (misal: mengunci pintu
berulang-ulang,mencuci tangan berulang-ulang) dan hal ini menyita banyak waktu

Tatalaksana:

Farmakologi: anti depresan, anti ansietas

Non-farmakologi: psikoterapi,grup penyokong

Reaksi stress berat dan gangguan penyesuaian

-Reaksi stress akut: merupakan reaksi stress yang langsung terjadi setelah adanya stressor
(sesaat atau beberapa menit setelah kejadian)

Manifestasi yang ditimbulkan reaksi stress akut diantaranya ansietas,kemarahan,perasaan


kecewa,overaktif,ataupun menarik diri.

Distress penyebab reaksi stress akut biasanya sangat berat,akan tetapi dapat dengan mudah
dihilangkan jika pasien dialihkan dari lingkup stressor

-Gangguan penyesuaian: merupakan gangguan yang timbul ketika seseorang mengalami


kejadian tertentu,situasi yang stressfull,atau krisis kehidupan. Gangguan ini timbul dalam
kurun waktu 1 bulan setelah situasi atau kejadian stressor terjadi dan tidak bertahan melebihi
6 bulan kecuali ddengan tambahan kondisi depresif berkepanjangan.

Dalam mendiagnosis gangguan ini harus ditemukan bukti dan kejelasan bahwa jika
seandainya kejadian stressor tidak terjadi maka gangguan penyesuaian juga tidak terjadi.

Manifestasi yang ditimbulkan gangguan penyesuaian bervariasi meliputi afek


depresif,ansietas,campuran ansietas-depresif, gangguan tingkah laku,disertai disabilitas dalam
kegiatan rutin sehari-hari. Gejala tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis.

-Gangguan stress pasca trauma: merupakan gangguan yang timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatik berat.
Diagnosis: pasien mengalami trauma,didapatkan adanya bayang-bayang atau mimpi buruk
dari kejadian traumatik secara berulang-ulang kembali atau flashbacks, dan bisa juga disertai
gangguan otonomik,gangguan afek dan kelainan tingkah laku.

Tatalaksana

Non farmakologi: psikoterapi,grup penyokong,pengalihan dari lingkungan/kejadian stressor

Farmakologi: anti ansietas,anti depresan

Putri Ayu Ardiani (202010101032)

GANGGUAN DISOSIATIF/KONVERSI (F44)


1. Poin Penting
a. Adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah
kendali kesadaran) antara ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan
penginderaan, kontrol gerakan tubuh.
b. Ada bukti penyebab psikologis yang bersifat stressful.
2. Jenis
a. Amnesia disosiatif = hilangnya daya ingat yang selektif, biasanya mengenai
kejadian penting atau traumatic yang baru terjadi.
b. Fugue disosiatif = melakukan perjalanan ke tempat yang melampaui hal yang
umum dilakukannya sehari-hari, disertai dengan amnesia disosiatif.
c. Stupor disosiatif = sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan volunteer dan
respon normal terhadap rangsangan (cahaya, suara, raba).
d. Gangguan trans dan kesurupan = hilangnya sementara penghayatan akan
identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungan, seakan-akan kerasukan
kekuatan gaib.
e. Gangguan motorik disosiatif = tidak mampu menggerakkan seluruh/sebagian
anggota tubuh.
f. Konvulsi disosiatif = mirip kejang epileptic, tetapi jarang ada lidah tergigit, luka
karena jatuh, mengompol, atau kehilangan kesadaran.
g. Anesthesia dan kehilangan sensorik disosiatif = anestesi pada kulit dengan
batas tegas, tidak disebabkan kerusakan neurologis (tidak sesuai dermatom);
penurunan tajam penglihatan, pandangan kabur, tunnel vision.

TRIAS konversi à primary gain, secondary gain, la belle indifference.

GANGGUAN SOMATOFORM (F45)


1. Poin Penting
a. Keluhan gejala fisik berulang à Merasa diri sakit, padahal dia sehat.
b. Keluhan berlangsung 6 bulan, kecuali pada gangguan somatisasi (minimal 2
tahun)
c. Penolakan terhadap penjelasan dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik à
akan meminta pemeriksaan berulang dan memeriksa ke >1 dokter (shopping
doctors).
2. Jenis Gangguan Somatoform
a. Gangguan Somatisasi
· Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri [ex. nyeri kepala, nyeri perut, nyeri
dada, nyeri dll.], 2 GI tract [ex. diare, konstipasi], 1 gejala seksual [ex.
impotensi, gangguan menstruasi, dll.], 1 pseudoneurologis [ex.
pandangan kabur, kebas]) à minimal 2 tahun
· Banyak gejala, tetapi tidak berat
b. Gangguan Hipokondrik
Pasien mengeluhkan 1 keluhan fisik yang berat (ex. nyeri kepala yang diduga tumor,
nyeri dada yang diduga gagal jantung).
c. Disfungsi Otonomik Somatoform
Adanya bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka
panas/memerah (flushing), yang menetap dan mengganggu.
d. Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
· Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa, dan menetap yang tidak
terjelaskan
· Biasanya terjadi di >1 lokasi.

TATALAKSANA GANGGUAN NEUROTIK, SOMATOFORM, DAN TERKAIT


STRESS

TERAPI PSIKOFARMAKA
a. Lini Pertama -- SSRI (Selective-Serotonin Reuptake Inhibitor) à Sertraline,
Fluoxetine, Citalopram, Paroxetine
b. Lini Kedua à TCA (Tri Cyclic Antidepressant) à Amitirptilin, Imipramin,
Clomipramine
c. Terapi lainnya : Benzodiazepine à Lorazepam, Alprazolam, Diazepam, Beta
blocker à Acebutolol, Bisoprolol, propranolol

PSIKOTERAPI

a. Pendekatan Kognitif Perilakà Relaksasi, mindfulness, grounding = gangguan


somatoform

b. Pendekatan Psikodinamik à Hipnosis = gangguan disosiatif

● Gangguan makan F50 mbak lia brilli


Brilliantara Buaji (202010101074)

· Anoreksia nervosa (AN)

Definisi

Ketakutan yang tidak wajar terhadap kegemukan, penyimpangan kesan


tubuh, penurunan berat badan yang disengaja, amenore, IMT <17,5. Ciri khas
dari AN adalah mengurangi berat badan dengan sengaja yang dipacu dan
atau dipertahankan oleh pasien.

Epidemiologi

o Onset è usia 13 – 20 tahun

o Wanita : pria è 3 : 1

o Prevalensi 1 – 2% pada anak perempuan usia sekolah dan mahasiswi

Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dari AN di antaranya genetic (riwayat keluarga menderita gangguan


makan, kepribadian obsesif, obsessive compulsive disorders (OCD); konflik
hebat (interksi keluarga yang tidak menyenangkan); tekanan budaya dan
teman sebaya untuk diet; kesulitan makan saat masa kanak-kanak; dan
memilih-milih makanan.

Patogenesis dari AN sebagai berikut:


Patogenesis Anoreksia Nervosa

Gambaran Klinis

o Preokupasi dengan makanan è diet karbohidrat, lemak, menyiapkan


makanan secara teliti

o Olahraga dengan giat

o Konstipasi, intoleransi dingin, ketakutkan seksual, gejara depresif

o Dapat ditemukan obsesif-kompulsif

o Pemeriksaan fisik dapat ditemukan: kurus, kulit kering berwarna


kuning, wajah terdapat lanugo halus, bradikardi, hipotensi, anemia,
leukopeni, osteoprorosis, dan russel sign (pembengkakan parotis +
parut pada punggung tangan.
Diagnosis

Untuk memastikan diagnosis pasti anoreksia nervosa, kriteria berikut perlu


dipenuhi di antaranya:

o BB tetap dipertahankan 15% di bawah yang seharusnya

o Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindari


makanan yang mengandung banyak lemak dan salah satu atau lebih
dari hal berikut:

§ Merangsang muntah diri sendiri

§ Menggunakan pencahar

§ Olahraga berlebihan

§ Konsumsi penekan nafsu makan atau diuretic

o Ada distorsi body image è ketakutan gemuk secara terus menerus pada
pasien dan penilaian berlebih pada berat badan yang rendah

o Ada gangguan endokrin meluas yang melibatkan aksis hipotalamus-


pituitari-gonad è amenore pada wanita dan kehilangan minat serta
potensial seksual pada laki-laki
o Bila pra pubertas, perkembangan pubertas tertunda atau tertahan

Diagnosis Banding

o Kehilangan nafsu makan organic è malabsorpsi, diabetes, penyakit


Addison

o Kehilangan nafsu makan psikogenik è skizofrenia (waham tentang


makanan)

Tatalaksana

o Menjaga hubungan terapeutik yang baik dan penyuluhan motivasional

o Intervensi keluarga terutama untuk anak-anak dan remaja

o Cognitive behavioural therapy (CBT) untuk AN dewasa

o Pilihan lain è interpersonal psychotherapy (IPT)

o Indikasi rawat inap:

§ Terdapat abnormalitas fisik yang jelas seperti kelaparan atau


pengaruh pencahar

§ Risiko bunuh diri

§ IMT <13,5

Prognosis

Prognosis AN bervariasi yaitu 40% sembuh, 35% membaik, 20% kronis, 5%


mortalitas, dan risiko jangka panjang adalah osteoporosis.
Dr. dr. Rusdi Maslim, S. K. M. K., 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. II
penyunt. Jakarta: FKIK Atma Jaya.

Katona, C., Cooper, C. & Robertson, M., 2012. At a Glance Psikiatri. IV penyunt.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kusnul Amalia (182010101150)

Anoreksia Nervosa

1. Prinsip Terapi
a. Perbaikan status nutrisi: tirah baring, koreksi status hidrasi, suplementasi
multivitamin per oral (tiamin 100 mg/hari untuk 5 hari; sodium fosfat 550 mg.
3 kali sehari selama 21 hari; zinc gluconate I 00-200 mg/hari selama 2 bulan;
kalium klorida 24 mEq, 3 kali sehari selama 21 hari). Pemberian makanan
dimulai dengan hati-hati. dapat dimulai dari 600- 800 KKal/ hari dan
ditingkatkan 300 KKal setiap 3 hari. Teknik dan dosis pemberian multivitamin
serta jumlah kalori makanan dapat disesuaikan dengan pertimbangan klinis.
b. Medikamentosa: efektivitas antidepresan dan antipsikotik pada penderita
anoreksia nervosa belum dapat dibuktikan. Akan tetapi, dapat
dipertimbangkan pemberian antidepresan pada penderita dengan gejala depresi
berat dan olanzapine untuk mengurangi hiperaktivitas.
c. Non-medikamentosa: pemberian terapi keluarga dan terapi kognitif perilaku
(lihat bab Terapi Kognitif) dapat membantu perkembangan mental pasien.
Dalam setiap sesi terapi, penting untuk diberikan saran untuk perbaikan nutrisi
pasien.
2. Prognosis
a. Prognosis yang baik pada penderita anoreksia nervosa ditandai dengan:
i. Perbaikan berat badan pasien (IMT >17,5 kg/ m')
ii. Tidak ada komplikasi medis yang fatal
iii. Adanya motivasi yang kuat dari pasien untuk mengubah perilaku
iv. Adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan pasien.
b. Prognosis yang buruk ditandai dengan:
i. Refleks muntah yang sangat sering timbul, bahkan telah terjadi
otomatisasi: Awitan timbul pada masa dewasa
ii. Adanya komorbid dengan penyakit psikiatrik lainnya atau gangguan
kepribadian
iii. Tidak adanya dukungan keluarga dan lingkungan
iv. Lamanya durasi gangguan.

Bulimia Nervosa

1. Prinsip Terapi
a. Perbaikan status nutrisi dan penghentian konsumsi laksatif atau obat
perangsang muntah. Penting sekali dilakukan pemeriksaan saluran pencernaan
karena umumnya pasien mengkonsumsi laksatif ataupun obat perangsang
muntah dalam jangka waktu lama dan dosis yang besar.
b. Medikamentosa: penggunaan antidepresan (terutama SSRI tipe selektif) pada
penderita bulimia nervosa dapat menurunkan konsumsi makanan dalam
jumlah berlebihan.
c. Non-medikamentosa: dapat dipertimbangkan pemberian terapi keluarga dan
terapi kognitif perilaku, diselingi dengan terapi nutrisi untuk pasien.
2. Prognosis

Sekitar 50% pasien dengan bulimia nervosa dapat sembuh dan meningkatkan
berat badannya secara spesifik, 20% pasien akan terus mengalami bulimia nervosa,
dan sisanya mengidap bulimia sub diagnostik dalam bentuk remisi atau relaps ataupun
persisten.

● Gangguan tidur F51 luthfiyyah nicho philip

Luthfiyyah Nuur Haniifah (202010101038)

Tidur adalah suatu kebutuhan dalam hidup manusia yang sangat penting dan bisa
mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan
lainnya, baik faktor psikiatrik atau fisik yang terkait kontribusi pada kejadian
gangguan tidur. Walaupun gangguan tidur yang spesifik terlihat secara klinis berdiri
sendiri, sejumlah faktor psikiatrik dan atau fisik yang terkait kontribusi pada kejadian
gangguan tidur. Secara umum adalah lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur
yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untuk menjelaskan
secara adekuat psikopatologi dan tahu patofisiologinya.

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-3 (PPDGJ-
III) mengklasifikasikan Kelompok gangguan tidur non organik menjadi dua, yaitu:

(a) "dyssomnia" = kondisi psikogenik primer di mana gangguan utamanya adalah


jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan
dengan emosional, misalnya: insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal tidur-jaga.

(b) "parasomnia" = peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur; (pada
kanak-kanak kanak-kanak hal ini terkait dengan perkembangan anak, sedangkan pada
dewasa tama pengaruh psikogenik) misalnya: somnambulisme (sleepwalking), teror
tidur (night terrors), mimpi buruk (nightmares).

Gangguan Tidur Non-Organik

F51.0 Insomnia non-organik

Insomnia Non-organik

Insomnia adalah kaitannya dengan keluhan gangguan tidur, sama ada kesulitan dalam
memulai tidur atau mempertahankan tidur, dan kondisi di mana kualitas atau kuantitas tidur
tidak memuaskan, dan berlangsung dalam periode waktu yang signifikan.

Kuantitas sebaiknya tidak ditetapkan berdasarkan jumlah waktu tidur yang


sebenarnya, karena terdapat individu-individu yang mempunyai waktu tidur yang singkat
(short sleeper) dan tidak merasa mengalami gangguan tidur. Sebaliknya ada pula individu-
individu yang mengalami gangguan kualitas tidur yang berat meskipun mempunyai kuantitas
tidur yang mencukupi.

Gangguan tidur yang paling banyak dialami pada insomnia adalah kesulitan untuk
jatuh tertidur, diikuti oleh kesulitan untuk mempertahankan tidur, dan terbangun lebih awal.

Umumnya gangguan tidur dimulai dengan munculnya gejala-gejala, seperti:


● Kesulitan jatuh tertidur atau tidak tercapainya tidur nyenyak. Keadaan ini bisa
berlangsung sepanjang malam dan dalam tempo berhari-hari, berminggu-minggu, atau
lebih.
● Merasa lelah saat bangun tidur dan tidak merasakan kesegaran. Mereka yang
mengalami insomnia seringkali merasa tidak pernah tertidur sama sekali.
● Sakit kepala di pagi hari. Ini sering disebut sebagai “efek mabuk‟ padahal nyatanya
orang tersebut tidak minum minuman keras di malam itu.
● Kesulitan berkonsentrasi.
● Mudah marah.
● Mata memerah.
● Mengantuk di siang hari.

Menurut buku PPDGJ-III pedoman diagnostik untuk insomnia adalah sebagai berikut:

● Keluhan utamanya adalah kesulitan untuk jatuh tertidur, mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk.
● Gangguan tidur timbul setidaknya tiga kali seminggu selama minimal satu bulan.
● Terdapat preokupasi terhadap kekurangan tidur dan terdapat kekhawatiran berlebihan
terhadap konsekuensinya pada waktu malam dan siang hari.
● Kualitas dan atau kuantitas tidur yang tidak memuaskan menimbulkan distress yang
nyata atau mengganggu aktivitas sehari-hari.
● Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, kecemasan, atau obsesi tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
● Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya
gangguan. Lama tidur itu tidak bisa ditetapkan sebagai faktor gangguan tidur.

Menurut Joewana (2006), insomnia dapat terjadi karena beberapa faktor berikut, diantaranya
adalah sebagai berikut:

● Suara atau bunyi: bisa memengaruhi tidurnya seseorang. biasanya orang dapat
menyesuaikan dengan suara atau bunyi sehingga tidak mengganggu tidurnya. Namun
jika seseorang mengalami ketakutan untuk diserang atau dirampok, pada malam hari
akan terbangun berkali-kali meski suara yang halus sekalipun.
● Suhu udara: kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara yang
menyenangkan bagi dirinya. Bila suhu udara rendah maka seseorang cenderung untuk
memakai selimut dan pada suhu tinggi memakai pakaian tipis, insomnia seperti ini
sering dijumpai di daerah tropik.
● Tinggi suatu daerah: insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai pada
mountain sickness (mabuk udara tipis), keadaan tersebut terjadi pada pendaki gunung
yang mendaki lebih dari 3.500 meter diatas permukaan air laut.
● Penggunaan bahan yang mengganggu susunan saraf pusat: insomnia dapat terjadi
karena penggunaan bahan-bahan seperti kopi yang mengandung kafein, tembakau
yang mengandung nikotin.

Berdasarkan International Journal of Humanities and Social Science tahun 2014,


studi mengenai hubungan antara gejala psikologis dengan tingkat ketergantungan
nikotin ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara gangguan
obsesif kompulsif, kecemasan umum, pikiran paranoid dan psikosis, insomnia, serta
gejala anoreksia dengan tingkat ketergantungan nikotin. Studi ini memaparkan bahwa
tingkat ketergantungan nikotin mempengaruhi 28 kadar kemunculan gejala
psikologis. Di mana semakin tinggi tingkat ketergantungan seseorang terhadap nikotin
maka terjadi peningkatan kemunculan insomnia (Mustafa Koç, et al., 2014).

● Penyakit psikologi: beberapa penyakit psikologi ditandai dengan adanya insomnia


seperti pada gangguan afektif, gangguan neurotik, beberapa gangguan kepribadian,
gangguan stress pasca trauma dan lain-lain.

Jenis Insomnia

Bisa dibagi Berdasarkan etiologinya, terdapat 2 macam insomnia (Turana, 2007) yaitu:

a. Insomnia Primer

Pada insomnia primer, terjadi hyperarousal state dimana terjadi aktivitas ascending reticular
activating system yang berlebihan. Pasien bisa tidur tapi tidak merasa tidur. Masa tidur
REM sangat kurang, sedangkan masa tidur NREM cukup. Periode tidur berkurang dan
terbangun lebih sering. Insomnia primer ini tidak berhubungan dengan kondisi kejiwaan,
masalah neurologi, masalah medis lainnya, ataupun penggunaan obat-obat tertentu.

b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder disebabkan karena gangguan irama sirkadian, kejiwaan, masalah
neurologi atau masalah medis lainnya, atau reaksi obat. Insomnia ini sangat sering terjadi
pada orang tua. Insomnia ini bisa terjadi karena psikoneurotik dan penyakit organik. Pada
orang dengan insomnia karena psikoneurosis, sering didapatkan keluhan-keluhan non organik
seperti sakit kepala, kembung, dan badan pegal yang mengganggu tidur. Keadaan ini akan
menjadi lebih parah jika orang tersebut mengalami ketegangan karena persoalan hidup. Pada
insomnia sekunder karena penyakit organik, pasien tidak bisa tidur atau kontinuitas tidurnya
terganggu karena nyeri organik, misalnya penderita arthritis yang mudah terbangun karena
nyeri yang timbul karena perubahan sikap tubuh.

Berdasarkan waktu terjadinya insomnia (Ibrahim, 2001) dibagi menjadi:

a. Initial Insomnia, yaitu kesulitan untuk memulai tidur. Biasanya terdapat pada pasien
gangguan jiwa dengan ansietas.

b. Middle Insomnia ditandai dengan seringnya terbangun di tengah malam dan kesulitan
untuk tidur kembali. Biasanya terdapat pada pasien depresi.

c. Late Insomnia, yaitu sering bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali. Biasanya
ditemukan pada pasien depresi.

Dampak Insomnia

Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, diantaranya sebagai berikut:

a. Efek fisiologis: karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress.

b Efek psikologis: dapat berupa gangguan memori, gangguan konsentrasi, kehilangan


motivasi, depresi, dan lain-lain.

c. Efek fisik/ somatik: dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan sebagainya.

d. Efek sosial: dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat promosi
pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial, dan keluarga.
e. Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih
sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit
yang mengindikasi insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high
arousal state yang terdapat pada insomnia. Selain itu, orang yang menderita insomnia
memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika
dibandingkan dengan orang yang normal (Turana, 2007).

Terapi Penderita Insomnia

Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi
yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala,
namun gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivitas penderita,
terutama penderita dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan
terapi yang sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan
farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu
sendiri.

Farmakologi

Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat


keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia jangka
pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis.

Terdapat beberapa pertimbangan dalam memberikan pengobatan insomnia, yaitu:

1) Memiliki efek samping yang minimal.

2) Mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur.

3) Lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari.

Obat tidur hanya digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu.

Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa diklasifikasikan menjadi :


benzodiazepine, non-benzodiazepine, dan miscellaneous sleep promoting agent.

Non-farmakologi
Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun sekunder.
Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita insomnia karena
tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan penderita
untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat memerlukan
kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat yang diberikan oleh
dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa diterapkan, seperti yang dibahas di bawah ini:

A. Stimulus Control

Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset tidur dengan tempat
tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dipercepat. Malah dalam suatu studi menyatakan
bahwa jumlah tidur pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini sangat
tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam menjalankan metode
ini, seperti:

● Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu
tidur.
● Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhubungan sexual. Membaca,
menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur.
● Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika
penderita sudah merasa ingin tidur kembali.
● Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi.
● Hindari tidur di siang hari.

Metode ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam
menjalankan metode ini,

B. Sleep Restriction

Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya waktu tidur dan
dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur
penderita.

C. Sleep Hygiene

Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan
penderita dalam rangka meningkatkan kualitas tidur penderita itu
F51.1 Hipersomia non-organik

Hipersomnia Non-organik

Hipersomnia merupakan suatu kondisi yang membuat seseorang merasakan kelelahan dan
ingin tidur meskipun sudah tidur dalam waktu cukup.

Kondisi hipersomnia juga terjadi pada sindrom putri tidur dan sekilas mirip dengan
narkolepsi. Narkolepsi merupakan kondisi neurologis yang menyebabkan serangan tidur
tiba-tiba dan sulit dicegah selama siang hari. Sementara, orang dengan hipersomnia masih
bisa menahan rasa kantuknya, meski mereka merasa lelah.

Beberapa hal yang bisa menyebabkan munculnya hipersomnia adalah sebagai berikut:

● Tidak memiliki waktu yang cukup untuk tidur di malam hari.


● Pola hidup tidak sehat.
● Obesitas.
● Depresi.
● Gangguan tidur lain, seperti narkolepsi atau sleep apnea.
● Riwayat cedera kepala.
● Penggunaan obat-obatan tertentu.
● Genetik atau keturunan.

Perbedaan Gejala Insomnia dan Hipersomnia

Gejala yang ditimbulkan kedua gangguan tidur ini tentunya juga berbeda. Selain sulit tidur
pada insomnia dan sering mengantuk pada hipersomnia, berikut adalah gejala dari masing-
masing kondisi ini:

Gejala insomnia

Insomnia akan menyebabkan penderitanya kesulitan untuk tidur, biasanya gangguan ini akan
disertai dengan:

● Sulit untuk memulai tidur di malam hari.


● Sering terbangun di tengah malam atau bangun sangat pagi,
● Bangun tidur dengan tubuh yang lelah.
● Mengantuk dan kelelahan di siang hari.
● Mudah marah, sedih yang berlebihan, dan cemas.
● Sulit berkonsentrasi.
● Sakit kepala.
● Merasa khawatir tentang tidur.

Gejala hipersomnia

Sedangkan gejala-gejala yang bisa terjadi pada penderita hipersomnia adalah sebagai
berikut:

● Merasa sangat lelah sepanjang waktu.


● Selalu merasa butuh tidur siang.
● Tetap mengantuk meski telah tidur cukup atau dalam jangka waktu lama.
● Sulit berkonsentrasi.
● Sulit mengingat.
● Mudah marah atau tersinggung.
● Sering merasa cemas.
● Tidak nafsu makan.

Diagnosis

Untuk memastikan diagnosis hipersomnia, dokter dapat melakukan serangkaian pemeriksaan


di bawah ini:

● Tanya jawab

Dokter akan menanyakan gejala serta riwayat kesehatan pasien maupun keluarga.
Dokter juga akan mendata obat-obatan yang sedang di konsumsi.

● Pemeriksaan fisik

Dokter akan memeriksa kondisi fisik pasien, misalnya detak jantung.

● Epworth sleepiness scale

Dokter akan meminta pasien untuk menilai rasa kantuk yang dirasakan. Langkah ini
bertujuan melihat pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari.

● Sleep diary
Dokter bisa menyarankan pasien untuk mencatat waktu tidur dan bangun, untuk
melihat durasi serta pola tidur pasien.

● Polysomnogram

Pada polysomnogram atau sleep study, pasien harus menginap di klinik khusus selama
semalam. Dokter akan memeriksa aktivitas otak pasien, serta pergerakan mata, kaki,
detak jantung, pernapasan, hingga kadar oksigen.

● Multiple sleep latency test

Multiple sleep latency test bertujuan melihat kadar kantuk yang dirasakan oleh pasien.
Dokter juga akan mengecek sejauh mana pasien memasuki fase tidur saat tidur siang.
Umumnya, tes ini dilakukan sehari setelah polysomnogram.

Gambaran klinis esensial untuk penegakan diagnosis adalah sebagai berikut:

● Mengantuk berlebihan atau jatuh tertidur pada siang hari, yang bukan disebabkan oleh
kurangnya waktu tidur, dan atau waktu transisi dari terjaga ke sadar penuh yang lebih
panjang.
● Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari satu bulan atau kejadian berulang
dengan durasi yang lebih pendek, yang menyebabkan distress yang jelas atau
mengganggu aktivitas sehari-hari.
● Tidak ditemukan gejala-gejala narkolepsi (katapleksi, sleep paralysis, halusinasi
hypnagogic) atau bukti klinis adanya apnea tidur (kesulitan bernafas malam hari,
suara ngorok intermittent).
● Tidak ditemukan adanya kondisi neurologis atau medis yang dapat menimbulkan
gejala mengantuk pada siang hari .

Penanganan hipersomnia akan ditentukan berdasarkan penyebab yang mendasarinya.


Dokter dapat menganjurkan cara mengobati hipersomnia yang meliputi:
● Obat-obatan

Beberapa jenis obat yang dapat mengatasi narkolepsi, juga bisa digunakan untuk
mengatasi hipersomnia. Contohnya, amphetamine, methylphenidate, dan modafinil.
Obat-obatan ini termasuk golongan stimulan yang dapat membantu pasien agar
merasa lebih segar dan tidak mengantuk.

● Perubahan gaya hidup

Perubahan gaya hidup juga penting sebagai bagian dari pengobatan hipersomnia.
Dokter mungkin akan menyarankan pasien untuk:

❖ Mengikuti jadwal tidur yang teratur.


❖ Menghindari kegiatan yang dapat memperparah gejala yang dirasakan, terutama
menjelang tidur.
❖ Tidak mengonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang.
❖ Menerapkan pola makan kaya nutrisi yang diberikan oleh dokter supaya energi
tubuh tetap tercukupi.

Nicholas Jirezra Gianevan (202010101139)

F51.3

Penyakit tidur berjalan atau somnabulisme adalah kondisi saat seseorang bangun, berjalan,
atau melakukan berbagai kegiatan dalam keadaan tidur.

Penyebab

Penyakit tidur berjalan bisa dialami oleh siapa saja. Tetapi, kondisi ini lebih sering terjadi
pada anak-anak. Walaupun belum diketahui secara pasti penyebabnya, ada sejumlah kondisi
yang sering dikaitkan dengan terjadinya sleepwalking, yaitu:

Kurang tidur

Kelelahan
Tidur tidak teratur

Stres

Mabuk

Penggunaan obat tertentu, seperti antipsikotik, stimulan, atau antihistamin

Gejala

seseorang biasanya akan mengalami keluhan dan gejala, seperti:


Berjalan-jalan dalam keadaan tidur
Melakukan berbagai aktivitas dalam keadaan tidur

Duduk di tempat tidur dengan mata terbuka tapi masih dalam keadaan tidur

Mata terbuka namun dengan tatapan kosong

Kebingungan dan tidak mengingat apa yang dilakukan ketika terbangun

Mengigau dan tidak merespon percakapan

Berperilaku agresif atau kasar saat dibangunkan

Kantuk pada siang hari

Diagnosis

Untuk mendiagnosis penyakit tidur berjalan, dokter akan melakukan tanya jawab seputar
keluhan yang dialami, riwayat kesehatan, dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi. Dokter
juga akan bertanya kepada keluarga atau teman sekamar tentang kebiasaan tidur pasien.
Polisomnografi

Polisomnografi atau sleep study dilakukan dengan merekam semua kegiatan tidur guna
mengamati gelombang otak, kadar oksigen dalam darah, denyut jantung, pola napas, serta
pergerakan mata dan kaki, yang terjadi selama tidur.
Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) bertujuan untuk mengukur aktivitas listrik di otak jika dokter
mencurigai adanya kondisi kesehatan lain yang mendasari terjadinya penyakit tidur berjalan.

Tata Laksana

1. Penerapan sleep hygiene

Menerapkan sleep hygiene bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

Membuat pola tidur yang teratur

Menghindari konsumsi minuman berkafein dan yang mengandung alkohol berdekatan


dengan waktu tidur

Membuang air kecil terlebih dahulu sebelum tidur

Membuat kamar tidur menjadi senyaman mungkin

Melakukan aktivitas yang bisa merelaksasi pikiran sebelum tidur, misalnya mandi air
hangat atau membaca buku bacaan yang isinya ringan

2. Psikoterapi

Salah satu contoh psikoterapi yang dapat dilakukan adalah terapi perilaku kognitif (CBT)
untuk mengubah pola pikir pasien terkait gangguan tidur yang dialami sekaligus
meningkatkan kualitas tidur.

3. Obat-obatan

Pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi frekuensi terjadinya tidur berjalan tiap
malam. Beberapa jenis obat yang dapat diberikan adalah obat golongan antidepresan atau
golongan benzodiazepine, seperti clonazepam.

F51. 4

Night terror adalah gangguan tidur yang membuat seseorang mengalami halusinasi, berteriak,
takut, napas lebih cepat, berkeringat, bahkan menangis di tengah tidurnya. Namun, orang
yang mengalami kondisi ini seringkali kesulitan untuk tersadar dari tidur, sehingga kondisi
ini berbeda dengan mimpi buruk. Pasalnya saat mengalami mimpi buruk, seseorang yang
mengalaminya akan terbangun dan mengingat pengalaman tersebut.

Penyebab
Sampai saat ini, penyebab night terror masih belum diketahui secara pasti, tapi fenomena ini
dikelompokkan sebagai gangguan tidur atau dalam bahasa medis disebut parasomnia.
Kondisi tersebut dikaitkan dengan belum matangnya sistem saraf pusat, dan lebih sering
dijumpai pada anak-anak.

Gejala

Gejala utama night terror adalah satu atau lebih episode terbangun dari tidur dengan berteriak
karena panik, dan disertai kecemasan yang hebat. Pengidapnya juga akan mengalami
beberapa hal, seperti:

Seluruh tubuh bergetar.

Mengalami hiperaktivitas otonomik, seperti jantung berdebar-debar, napas cepat, pupil


melebar, dan berkeringat.

Diagnosis

Untuk memastikan diagnosis night terror, cara yang paling utama adalah dengan
menanyakan gejala-gejala yang dirasakan oleh pengidap.

Tata Laksana

Mengobati kondisi yang mendasari. Jika teror tidur berkaitan dengan kondisi medis
tertentu, seperti depresi, pengobatan untuk penyakit tersebut perlu Anda jalani.

Mengatasi stres. Jika stres atau kecemasan tampaknya berkontribusi pada teror tidur,
dokter Anda mungkin menyarankan untuk menemui terapis. Perawatannya mungkin
meliputi terapi perilaku kognitif, hipnosis, biofeedback, atau terapi relaksasi.

Membangunkan dan mengantisipasi. Keluarga perlu membangunkan orang yang


mengalami teror tidur sekitar 15 menit sebelum watu biasanya terjadi. Kemudian, biarkan
terjaga selama beberapa menit dan kembali tidur.

Mengonsumsi obat. Obat jarang dokter rekomendasikan untuk mengatasi teror tidur,
terutama pada anak-anak. Namun, pada beberapa kasus penggunaan benzodiazepin atau
antidepresan tertentu mungkin dokter pertimbangkan.

F51.5

Mimpi buruk merupakan sebuah perasaan tidak nyaman atau menakutkan yang terjadi saat
seseorang tertidur. Terkadang saat terbangun dari mimpi buruk, seseorang masih dapat
merasakan perasaan yang tidak menyenangkan tersebut.
Gejala

Pada dasarnya mimpi buruk yang umum dikenali oleh masyarakat adalah “nightmare”, yaitu
keadaan yang menimbulkan perasaan tidak nyaman pada saat seseorang terbangun dari
tidurnya. Seseorang yang mengalami mimpi buruk mungkin melihat, mendengar, atau
merasakan hal-hal yang menakutkan dan mengerikan pada saat terlelap sehingga tidurnya
menjadi tidak tenang.

Penyebab

Penyebab mimpi buruk yang paling sering adalah adanya keadaan yang stres dan kondisi
yang mengakibatkan kecemasan. Faktor risiko dari terjadinya mimpi buruk adalah orang
yang baru mengalami trauma psikis, riwayat kegagalan, keadaan depresi, cemas, dan orang
yang terlalu lelah bekerja.

Diagnosis

Diagnosis pada umumnya ditegakkan melalui wawancara medis. Pada beberapa kasus berat,
dokter mungkin akan menyarankan pemeriksaan rekam listrik otak (elektroensefalografi)
untuk menentukan apakah terdapat gelombang otak yang abnormal pada saat pasien tidur.

Tata Laksana

Pada umumnya tidak ada pengobatan khusus untuk kasus mimpi buruk. Pasien dapat
melakukan meditasi, relaksasi, dan mengurangi beban pikiran serta beban kerja untuk
mengurangi frekuensi terjadinya mimpi buruk.

Philip Simon Mardame Marbun (202010101113)

Gangguan jadwal tidur-jaga non organic

Merupakan gangguan dari jadwal tidur dan bangun seseorang yang bisa diakibatkan berbagai
macam penyebab diantaranya kebiasaan,pekerjaan,pengaruh lingkungan. Gangguan ini juga
bisa menjadi penyerta dari gangguan jiwa lain seperti ansietas,depresi,dan hipomania

Diagnosis:

1. Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola tidur-jaga yang normal
bagi masyarakat setempat

2. Insomnia pada saat orang lain tidur dan hypersomnia saat orang lain terjaga yang
terjadi hapir setiap hari untuk setidaknya 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu yang
lebih pendek

3. Ketidakpuasan kuantitas,kualitas,dan waktu tidur yang menyebabkan penderitaan


yang cukup berat dan memengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan

Terapi:

Non farmakologi: chromotherapy (terapi cahaya),perbaikan gaya hidup dan kebiasaan,


pembiasaan terhadap lingkungan
Farmakologi: melatonin untuk meningkatkan kualitas tidur

● Gangguan seksual mas sakti putri diego

Terang Sakti Anjaringrat (192010101007)

Blok Diagnostik Menurut PPDGJ III

F52 Disfungsi Seksual bukan disebabkan oleh gangguan atau penyakit organik = disfungsi
seksual meliputi berbagai gangguan dimana individu tidak mampu berperan serta dalam
hubungan seksual seperti yang diharapkan. Gangguan tersebut dapat berupa kekurangan
minat (interest), kenikmatan (enjoyment), gagal dalam respon fisiologis yang dibutuhkan
untuk interaksi seksual yang efektif (misal ereksi), atau tidak mampu mengendalikan

F52.0 Kurang atau Hilangnya Nafsu Seksual Hilangnya nafsu seksual merupakan masalah
utama tidak merupakan dan tidak merupakan gangguan sekunder dari kesulitan seksual
lainnya, seperti kegagalan ereksi atau dispareunia (F52.6) Berkurangnya nafsu seksual tidak
menyingkirkan kenikmatan atau bangkitan (arousal) seksual, tetapi menyebabkan kurangnya
aktivitas awal seksual. Termasuk: frigiditas.

F52.1 Penolakan dan Kurangnya Kenikmatan Seksual

F52.10 Penolakan Seksual (sexual aversion) Adanya perasaan negatif terhadap


interaksiseksual,sehingga aktivitas dihindarkan.

F52.11 Kurangnya Kenikmatan Seksual (lack of sexual enjoyment) Respons seksual


berlangsung normal dan mengalami orgasme, tetapi kurang ada kenikmatan yang memadai.

F52.2 Kegagalan dari Respon Genital Pada pria masalah utama adalah disfungsi ereksi,
misalnya kesukaran untuk terjadinya atau mempertahankan ereksi yang memadai untuk suatu
hubungan seksual yang memuaskan. Pada wanita masalah utama adalah kekeringan vagina
atau kegagalan pelicinan (lubrication)

F52.3 Disfungsi Orgasme Baik orgasme tidak terjadi sama sekali maupun yang sangat
terlambat. Termasuk: "psychogenic anorgasmy"

F52.4 Ejakulasi Dini Ketidakmampuan mengendalikan eyakulasi sedemikian rupa sehingga


masing-masing menikmati hubungan seksual.
F52.5 Vaginismus Non Organik Terjadi spasme otot-otot vagina, menyebabkan tertutupnya
pembukaan vagina. Masuknya penis menjadi tak mungkin atau nyeri

F52.6 Dispareuni Non Organik Dispareunia adalah keadaan nyeri pada waktu hubungan
seksual, dapat terjadi pada wanita maupun pria. Diagnosis ini dibuat hanya bila tidak ada
kelainan seksual primer lainnya (seperti vaginismus atau keringnya vagina).

F52.7 Dorongan Seksual yang Berlebihan Baik pria maupun wanita dapat kadang-kadang
mengeluh dorongan seksual berlebihan sebagai problem dalam dirinya, biasanya pada remaja
akhir belasan tahun atau dewasa muda. Bila keadaan ini sehunder dari Gangguan Afektif
(F30-F39) atau terjadi pada stadium awal dari Dementia (F00-F03), maka gangguan
primernya harus di-diagnosis.

Pandego Wahyu Dirgantara (202010101143)

F65: GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL

Fetishisme

Mengandalkan pada beberapa benda mati (non living object) sebagai rangsangan untuk
membangkitkan keinginan seksual dan memberikan kepuasan seksual. Kebanyakan benda
tersebut (objek fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia seperti pakaian atau sepatu.

Fantasi fetishistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila menjurus
kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai mengganggu
hubungan seksual dan menyebabkan penderitaan bagi individu.
Fetishisme terbatas hampir pada pria saja.

Transvestisme Fetishistik
Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan
seksual.
Gangguan ini harus dibedakan dari fetishisme (F65.0) dimana pakaian sebagai objek fetish
bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan penampilan seorang dari lawan
jenis kelaminnya.
Transvestisme fetishistik dibedakan dari transvestisme transseksual oleh adanya hubungan
yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat yang kuat untuk
melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsangan seksual menurun.

Ekshibisionisme
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada asing
(biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak ditempat umum, tanpa ajakan atau
niat untuk berhubungan lebih akrab.
Ekshibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang memamerkan
pada wanita, remaja atau dewasa biasanya menghadap mereka dalam jarak yang aman
ditempat umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut atau terpesona, kegairahan
penderita menjadi meningkat.
Voyeurisme
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang berhubungan
seksual atau berperilaku intip seperti sedang menanggalkan pakaian.
Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbasi yang dilakukan tanpa
orang yang diintip menyadarinya.

Pedofilia
Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya prapubertas, atau awal masa pubertas, baik
laki-laki maupun perempuan.
Biasa terjadi pada laki-laki
Termasuk : laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual dewasa, tetapi
karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual yang diharapkan,
maka kebiasaannya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.

Sadomasokisme
Preferensi terhadap aktifitas seksual yang melibatkan pengikatan atau menimbulkan rasa sakit
atau penghinaan; (individu yang lebih suka untuk menjadi resipien dari perangsangan
demikian disebut ‘masochism’, sebagai pelaku = ‘sadism’).

Putri Ayu Ardiani (202010101032)

Gangguan Seksual
1. Disfungsi Seksual

· Disfungsi seksual meliputi berbagai gangguan dimana individu tidak mampu berperan
serta dalam hubungan seksual seperti yang diharapkannya

· Gangguan tersebut dapat berupa kekurangan an minat (interest), kenikmatan


(enjoyment), gagal dalam flsiologis yang dibutuhkan untuk interaksi seksual yang efektif
(misalnya, ereksi), atau tidak mampu mengendalikan/mengalami orgasme

· Respons seksual proses adalah suatu proses psiko-somatik, dan kedua proses
(psikologis dan somatik) terlibat sebagai penyebab disfungsi seksual

· Jenis Disfungsi Seksual


1. Kurang atau Hilangnya Nafsu Seksual menyebabkan kurangnya aktivitas
aktivitas awal seksual
2. Penolakan seksual karena adanya perassan negative terhadap interaksi seksual
atau kurangnya kenikmatan seksual
3. Kegagalan respon genital. Pada pria masalh utama adalah disfungsi ereksi :
ketidakmampuan memulai atau mempertahankan ereksi. Pada wanita masalah
utama adalah kekeringan vagina atau kegagalan lubrikasi
4. Disfungsi orgasme
5. Ejakulasi dini : ejakulasi tanpa orgasme, biasanya terjadi lebih cepat
6. Vaginismus : Otot dinding vagina berkontraksi sehingga penis tidak bisa
masuk
7. Dispareunia : Nyeri saat berhubungan biasanya akibat kurang lubrikasi
natural

2. Gangguan Identitas Gender

a. Transvetisme peran ganda : Gemar memakai pakaian lawan jenis tanpa keinginan
mengubah gender

b. Transgender : Merasa identitas gender berbeda dengan identitas biologis

c. Transeksual : Transgender yang berniat atau sudah mengubah kelamin secara


permanen

4.Farmakologi

● Anti anxietas shinta tambora ghaiska

Shinta Ahmada Rahmaputri (202010101013)


Bandelow B, Michaelis S, Wedekind D. Treatment of anxiety disorders. Dialogues Clin
Neurosci. 2017;19(2):93-107. doi:10.31887/DCNS.2017.19.2/bbandelow. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5573566/

Inhibitor reuptake serotonin selektif dan inhibitor reuptake serotonin norepinefrin


selektif

Karena manfaat/keseimbangan risiko yang positif, inhibitor reuptake serotonin selektif


(SSRI) dan inhibitor reuptake serotonin norepinefrin selektif (SNRI direkomendasikan
sebagai obat lini pertama. Sebuah tinjauan studi pada pasien depresi menunjukkan bahwa
SNRI mungkin kurang ditoleransi dengan baik daripada SSRI.

Beberapa SSRI dan SNRI adalah penghambat enzim sitokrom P450 dan karenanya dapat
berinteraksi dengan obat psikofarmakologis dan obat untuk penyakit medis lainnya. Setelah
menghentikan pengobatan dengan SSRI, reaksi putus obat dapat terjadi. Namun, ini jauh
lebih jarang dan parah daripada reaksi penarikan yang diamati setelah penghentian
pengobatan benzodiazepin. Reaksi merugikan ini mungkin lebih sering terjadi dengan
paroxetine dibandingkan dengan sertraline atau fluoxetine.

Pregabalin

Pregabalin adalah modulator kalsium, bekerja pada subunit saluran kalsium bergerbang
tegangan. Obat ini memiliki sifat penenang. Gangguan tidur, yang umum pada pasien dengan
gangguan kecemasan, dapat membaik lebih awal dengan pregabalin dibandingkan dengan
SSRI atau SNRI. Onset kemanjuran lebih awal dengan pregabalin dibandingkan dengan
antidepresan. Pregabalin tidak melewati hati dan karenanya tidak berinteraksi dengan
inhibitor atau penginduksi enzim sitokrom P450. Namun, ada kekhawatiran tentang
penyalahgunaan pregabalin pada individu yang menderita penyalahgunaan zat dan juga
sindrom penarikan setelah penghentian mendadak.

Antidepresan trisiklik
Antidepresan trisiklik tradisional (TCA) imipramine dan clomipramine sama efektifnya
dengan antidepresan generasi kedua dalam pengobatan gangguan kecemasan. Secara umum,
frekuensi efek samping lebih tinggi untuk TCA daripada SSRI atau SNRI. Dengan demikian,
obat ini harus dicoba terlebih dahulu sebelum TCA digunakan. Dosis harus dinaikkan
perlahan-lahan sampai tingkat dosis mencapai yang digunakan dalam pengobatan depresi.
TCA harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang dianggap berisiko bunuh diri,
karena potensi toksisitas fatalnya setelah overdosis.

Buspiron

a. Farmakodinamik

Berbeda dengan benzodiazepin, buspiron tidak memperlihatkan aktivitas GABA


dan antikonvulsan. Buspiron merupakan antagonis selektif reseptor serotonin
postsinaps 5-HT1A di hipokampus; potensi antagonis dopamin ergiknya rendah
sehingga risiko menimbulkan efek samping ekstra piramidal pada dosis pengobatan
ansietas kecil.

Studi klinik menunjukkan buspiron merupakan antiansietas efektif yang efek


sedatifnya relatif ringan. Risiko timbulnya toleransi dan ketergantungan kecil. Obat
ini tidak efektif pada panic disorder. Efek antiansietas baru timbul pada penggunaan
10-15 hari (bukan untuk penggunaan akut).

b. Farmakokinetik

Buspiron diabsorpsi secara cepat pada pemberian peroral namun mengalami


metabolisme lintas pertama secara ekstensif, yaitu melalui proses hidroksilasi dan
dealkilasi. Bioavailabilitas 5% dan ikatan protein 95%. Waktu paruh eliminasi
buspiron adalah 2-4 jam, Buspiron diekskresikan melalui urine dan feces.

c. Efek samping

Efek samping : takikardi, palpitasi, nervousness, keluhan gastrointestinal,


parastesia dan miosis. Pada pasien yang menerima Monoamin oxidase inhibitor
dapat terjadi peningkatan tekanan darah.

Benzodiazepin
a. Farmakodinamik

Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABA-A, berikatan langsung pada sisi spesifik
subunit γ2 sehingga pengikatan ini menyebabkan pembukaan kanal klorida,
memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel. menyebabkan peningkatan potensial
elektrik sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sulit tereksitasi.

Efek pada SSP : sedasi, hipnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas,


relaksasi otot dan antikonvulsan. Sedangkan efek perifernya: vasodilatasi koroner (pada
pemberian IV) dan blokade neuromuskular (pada pemberian dosis tinggi).

b. Farmakokinetik
1. Absorpsi

Benzodiazepin diabsorpsi secara sempurna kecuali klorazepat (klorazepat baru


diabsorpsi sempurna setelah didekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-
desmetil diazepam (nordazepam).

2. Distribusi

Benzodiazepin dan metabolitnya terikat pada protein plasma (albumin) dengan


kekuatan berkisar dari 70% (alprazolam) hingga 99% (diazepam) bergantung dengan
sifat lipofiliknya. Kadar pada CSF sama dengan kadar obat bebas dalam plasma. Vd
(volume of distribution) benzodiazepin besar.

3. Metabolisme

Metabolisme benzodiazepin di hepar. Benzodiazepin tertentu seperti oksazepam


langsung dikonjugasi tanpa dimetabolisme sitokrom P. Secara garis besar,
metabolisme benzodiazepin terbagi dalam tiga tahap: desalkilasi, hidroksilasi, dan
konjugasi.

4. Ekskresi

Ekskresi metabolit benzodiazepin bersifat larut air melalui ginjal

c. Efek samping
Pada dosis hipnotik kadar puncak menimbulkan efek samping antara lain malas,
tidak bermotivasi, lamban, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental
dan psikomotor, gangguan koordinasi berfikir, bingung, disartria, amnesia
anterogard. Interaksi dengan etanol (alkohol) menimbulkan efek depresi yang berat.

Efek samping lain yang lebih umum: lemas, sakit kepala, pandangan kabur,
vertigo, mual/muntah, diare, nyeri epigastrik, nyeri sendi, nyeri dada dan
inkontinensia.

Penggunaan kronik benzodiazepin memiliki risiko terjadinya ketergantungan


dan penyalahgunaan. Untuk menghindari efek tsb disarankan pemberian obat tidak
lebih dari 3 minggu. Gejala putus obat berupa insomnia dan ansietas. Pada
penghentian penggunaan secara tiba-tiba, dapat timbul disforia, mudah tersinggung,
berkeringat, mimpi buruk, tremor, anoreksi serta pusing kepala. Oleh karena itu
penghentian penggunaan obat sebaiknya secara bertahap.

Moclobemide

Moclobemide adalah inhibitor selektif dan reversibel dari monoamine oksidase A. Ini
digunakan dalam pengobatan SAD. Karena tidak semua penelitian menunjukkan bukti
keunggulan dibandingkan plasebo, obat ini tidak direkomendasikan sebagai pengobatan lini
pertama.

Obat lain

Agomelatin

Agomelatine antidepresan — yang bertindak sebagai agonis untuk reseptor melatonin MT 1

dan MT 2 dan sebagai antagonis untuk reseptor serotonin 5-HT— terbukti efektif dalam
empat penelitian di GAD. Namun, obat ini hanya dilisensikan untuk pengobatan depresi
berat, bukan untuk GAD. Dengan agomelatine, gejala penghentian dan disfungsi seksual
lebih kecil kemungkinannya dibandingkan dengan antidepresan SSRI atau SNRI.

Quetiapine

Quetiapine antipsikotik atipikal terbukti efektif dalam sejumlah penelitian di GAD. Biasanya
diresepkan dalam pengobatan psikosis skizofrenia dalam dosis antara 150 dan 800 mg/hari.
Untuk pengobatan kecemasan, dosis yang lebih rendah (50 hingga 300 mg/hari) diperlukan.
Namun, mungkin karena efek samping seperti sindrom metabolik, obat itu tidak dilisensikan
untuk gangguan kecemasan di sebagian besar negara. Secara umum, efek samping yang khas,
seperti sedasi atau penambahan berat badan, lebih jarang terjadi pada pasien yang menerima
dosis yang lebih rendah.

M. Dyan Tambora S. (202010101118)

a. MAOIs

Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) atau yang disebut juga irreversible Monoamine
Oxsidase Inhibitor ini merupakan pengobatan lini ke-tiga yang direkomendasikan. Cara
kerjanya yaitu dengan menghambat penguraian serotonin sehingga ketersediaannya
meningkat. Penggunaan obat golongan ini harus dibatasi, sebab obat ini memiliki efek
samping yang potensial, toksisitas saat overdosis, dan interaksi farmakokinetik yang perlu
untuk diperhatikan. Selain itu, obat ini juga memiliki interaksi dengan diet sehingga
diperlukan pembatasan diet pada kasus tertentu. Dijelaskan bahwa pembatasan diet ini tidak
diperlukan saat konsumsi obat dosis rendah pada pasien dengan diet yang normal (contohnya:
pada pasien yang tidak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung tiramin secara
berlebihan), namun akan diperlukan pembatasan diet saat konsumsi obat dengan dosis yang
lebih tinggi. Meski begitu, obat ini telah dibuktikan efikasi nya pada penderita SAD dan
gangguan panik (panic disorder).

b. RIMA

Reversible Inhibitor Monoamine Oxsidase A (RIMA), disebutkan bahwa obat ini efektif
untuk pengobatan SAD (Seasonal Affective Disorder merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan keadaan episodik depresi yang terjadi secara musiman dan berulang).
Namun, obat ini tidak direkomendasikan sebagai lini pertama pengobatan gangguan ansietas
dikarenakan tidak semua penelitian menunjukkkan bukti bahwan obat ini lebih unggul
daripada placebo.

Ghaiska Najma Amnur (202010101109)


Antidepresan Klasik (Trisiklik dan Tetrasiklik) Mekanisme kerja: Obat–obat ini menghambat
resorpsi dari serotonin dan noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.

Pilihan. Obat antidepresan trisiklik dan sejenisnya dapat dibagi menjadi kelompok yang
memiliki sifat sedatif dan yang kurang sedatif. Pasien dengan agitasi dan kecemasan
cenderung memberikan respon terbaik pada senyawa yang sedatif sedangkan pasien apatis
dan pasien yang mengalami penghentian obat akan lebih baik diberi terapi obat yang kurang
sedatif. Antidepresan dengan efek sedatif meliputi amitriptilin, klomipramin, dosulepin
(dotiepin), doksepin, maprotilin, mianserin, trazodon, dan trimipramin. Yang bersifat kurang
sedatif seperti amoksapin, imipramin, lofepramin dan nortriptilin. Imipramin merupakan obat
yang relatif aman dan efektif, namun imipramin memiliki efek samping antimuskarinik dan
efek samping pada jantung yang lebih menonjol dibandingkan dengan obat-obat seperti
doksepin, mianserin dan trozadon; hal ini mungkin penting untuk pasien secara individual.
Amitriptilin dan dosulepin (dotiepin) efektif, namun obat–obat tersebut berbahaya pada dosis
berlebih (lihat dosis berlebih di bawah) dan tidak dianjurkan untuk terapi depresi. Lofepramin
mempunyai efek samping antimuskarinik dan efek samping sedatif yang lebih rendah dan
tidak terlalu berbahaya pada dosis berlebih; namun, kadang–kadang dikaitkan dengan
toksisitas hati. Amoksapin sejenis dengan antipsikotik loksapin dan efek sampingnya
meliputi tardive dyskinesia. Untuk perban- dingan antidepresan trisiklik dan sejenisnya
dengan SSRI dan antidepresan sejenis dan penghambat MAO, lihat bagian 4.3.

Anak dan Dewasa. Bukti efikasi antidepresan trisiklik untuk pengobatan depresi pada anak-
anak belum diketahui dengan pasti. Umumnya penggunaan antidepresan trisiklik sebaiknya
dihindari untuk pengobatan depresi pada anak. Pengobatan sebaiknya dilakukan oleh dokter
spesialis dan melibatkan ahli terapi psikologis.

Efek samping. Aritmia dan blokade jantung kadang-kadang menyertai penggunaan


antidepresan trisiklik khususnya amitriptilin, dan mungkin menjadi salah satu faktor
penyebab kematian tiba-tiba pada penderita penyakit jantung. Obat-obat tersebut kadang
dikaitkan dengan konvulsi (oleh karena itu sebaiknya diresepkan dengan hati-hati pada
epilepsi karena memiliki ambang batas konvulsi yang lebih rendah). Reaksi hematologik dan
hepatik mungkin terjadi dan khususnya dikaitkan dengan pemberian mianserin.
Efek samping lain dari antidepresan trisiklik dan sejenisnya meliputi mengantuk, mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi, dan retensi urin (semua karena aktivitas antimuskarinik)
dan berkeringat. Pasien sebaiknya diyakinkan untuk terus melanjutkan pengobatan meskipun
efek samping mungkin muncul. Efek samping tersebut dapat dikurangi jika dosis yang
diberikan mula-mula rendah dan kemudian dinaikkan secara bertahap, namun hal ini harus
diseimbangkan dengan kebutuhan untuk mencapai efek terapetik secepat mungkin.
Pengenalan secara bertahap terhadap pengobatan ini penting khususnya pada pasien lansia,
karena efek hipotensif dari obat-obat ini menyebabkan serangan pusing dan bahkan sinkop.
Efek samping lain pada pasien lansia adalah hiponatremia. Sindroma keganasan neuroleptik
dapat terjadi walau sangat jarang.

Dosis berlebih. Antidepresan trisiklik sebaiknya diresepkan dalam jumlah yang terbatas
untuk satu waktu tertentu karena efek obat-terhadap kardiovaskular berbahaya pada dosis
berlebih. Khususnya dosis berlebih karena dosulepin (dotiepin) dan amitriptilin dapat
berakibat fatal.

Penghentian obat. Jika memungkinkan penghentian antidepresan trisiklik dan sejenisnya


sebaiknya dilakukan secara perlahan.

Interaksi.Antidepresan trisiklik dan sejenisnya (atau SSRI atau antidepresan sejenis) baru
boleh mulai diberikan 2 minggu setelah pemberian penghambat MAO dihentikan (3 minggu
apabila yang akan diberikan adalah klomipramin atau imipramin). Sebaliknya, penghambat
MAO baru boleh diberikan setelah antidepresan trisiklik dan sejenisnya dihentikan (kurang
lebih 7-14 hari, atau 3 minggu pada kasus dengan klomipramin atau imipramin). Untuk
interaksi antidepresan trisiklik lihat Lampiran 1.

Nyeri kepala sekunder

Berikut ini adalah beberapa diagnosis kritis yang paling penting dari sakit kepala sekunder
untuk dipertimbangkan dan fitur klinis utama mereka:

• Perdarahan Subarachnoid
o Sakit kepala "Thunderclap" yang tiba-tiba, dengan nyeri maksimal saat onset dan
sering digambarkan sebagai "sakit kepala terburuk dalam hidup saya." [13]

o Berhubungan dengan mual atau muntah, nyeri leher dan/atau kekakuan, dan defisit
neurologis fokal.

o Sejarah mungkin termasuk usia lebih dari 50, kehilangan kesadaran, aneurisma
vaskular diketahui, penyakit jaringan ikat, penyakit ginjal polikistik, anggota keluarga dengan
SAH, atau riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. [14]

o Temuan pemeriksaan fisik mungkin termasuk hemotimpanum, defisit neurologis


fokal, atau kaku kuduk. [15]

• Diseksi arteri serviks

o Gejala termasuk sakit kepala, sakit leher, pusing atau goyah, penglihatan ganda,
kelemahan fokal, kebingungan, dan gejala seperti stroke pada pasien yang lebih muda. [15]

o Sejarah mungkin termasuk trauma pada kepala atau leher.

o Temuan pemeriksaan fisik mungkin termasuk bruit karotis, defisit serebelar, defisit
bidang visual, defisit bulbar, dan kekuatan asimetris atau temuan motorik.

• Meningitis dan Ensefalitis

o Gejala mungkin termasuk demam, sakit kepala, kaku kuduk, perubahan status mental,
prodromal seperti flu non-spesifik, mual, muntah, defisit neurologis fokal, fotofobia, dan
kejang.

o Sejarah mungkin termasuk non-vaksinasi, keadaan immunocompromised, hidup jarak


dekat, perjalanan baru-baru ini, gigitan kutu atau nyamuk, dan kontak yang sakit.

o Temuan pemeriksaan fisik mungkin termasuk tanda Kernig (ekstensi lutut yang
menyakitkan pada fleksi pinggul), tanda Brudzinski (fleksi pinggul pasif pada fleksi leher
aktif), papilledema, atau ruam petekie.

• Trombosis sinus dural

o Gejala termasuk sakit kepala, penglihatan kabur atau defisit bidang visual, mual, dan
muntah. Anamnesis mungkin termasuk infeksi, trauma kepala, kelainan hiperkoagulasi
bawaan atau didapat dari pasien atau anggota keluarga, atau penyebab hiperkoagulabilitas
lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), anemia sel sabit, penggunaan OCP,
kanker, kehamilan, penggunaan estrogen, riwayat penyakit sebelumnya. kejadian
tromboemboli, sindrom antifosfolipid, dan dehidrasi. [16]

o Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan papilledema dan defisit neurologis fokal


dan/atau saraf kranial.

• Stroke iskemik atau hemoragik/kecelakaan serebrovaskular

o Gejala sesuai dengan area anatomi otak yang terkena. Defisit neurologis fokal adalah
temuan yang paling umum dan spesifik. Gejala lain mungkin termasuk sakit kepala, mual,
muntah, vertigo, afasia, kebingungan, dan defisit visual. [17]

o Riwayat mungkin termasuk kejadian iskemik atau hemoragik sebelumnya,


penggunaan tembakau, diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan faktor risiko vaskular
lainnya.

o Pemeriksaan fisik mungkin termasuk defisit neurologis, perubahan status mental, dan
wajah terkulai.

Anda mungkin juga menyukai