Anda di halaman 1dari 40

Laporan Praktikum Tempat Praktikum :

RK B3D Fakultas Peternakan, IPB University

MK Logistik Peternakan

FLOWCHART LOGISTIK KULINER LIVESTOCK


STEAK DAGING SAPI PREMIUM

Kelompok 6 /Paralel 4
Sulistiani Munggaran D2401201006

Edi Kalvin Donta P. D2401201014

Tiara Devika D2401201038

Riani Rachmawati D2401201061

Felia Dixa Restu Larasati D2401201064

Rahmat Yulianto Setiyawan D2401201088

Silva Aulia Hapsari D2401201100

Nurul Sri Wahyuni D2401201102

Haykal Muhammad Istisyhad D2401201121

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2023
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rantai pasokan adalah jaringan fisik, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam
memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir
(Pongoh 2016). Rantai pasok berhubungan secara terus menerus mengenai barang, uang, dan
informasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Rantai pasok perlu diolah dengan baik yang
disebut dengan manajemen rantai pasok. Manajemen rantai pasok adalah sekumpulan aktivitas
dan keputusan yang saling terkait untuk mengintegrasikan pemasok, manufaktur, gudang, jasa
transportasi, pengecer dan konsumen secara efisien (Pongoh 2016). Tujuan dari logistik adalah
proses pemilihan bahan yang akan diproduksi, proses produksi dan distribusi sampai tujuan akhir
ke tangan konsumen dilakukan dengan proses sesuai dengan standar suatu produk (Fayaqun dan
Sulistiyaningsih 2021).

Sumber pasokan daging sapi berasal dari sapi lokal, sapi bakalan impor, dan daging sapi
impor, sementara untuk menutup kekurangan permintaan daging sapi di dalam negeri dilakukan
impor dari berbagai negara, terutama dari Australia (Abdal dan Nurdin 2020). Salah satu produk
daging sapi yang banyak diminati meski harganya cukup mahal yaitu daging steak. Steak adalah
potongan daging (terutama daging sapi) yang tebal dan dimasak dengan dipanggang atau di pan
fry. Sebuah sumber menyebutkan bahwa daging steak sapi diperkenalkan oleh bangsa Spanyol
ke Meksiko pada abad ke-15. Makanan khas Barat ini telah lama digemari oleh orang Indonesia.
Besar kemungkinan bahwa Belanda yang pernah menjajah Indonesia menurunkan resep steak
kepada para koki yang Sebagian adalah orang Indonesia (Putra et.al 2021). Daging sendiri adalah
bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat
berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Daging segar adalah daging yang
belum diolah dan atau tidak ditambahkan dengan bahan apapun. Daging beku adalah daging
segar yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperature
internal minimum -18°C (BSN 2008). Kualitas daging sapi terdiri dari primary cut (tenderloin,
sirloin, lamusir, short rib), secondary cut (tanjung, sengkel, gandik, sampil, dan pendasar),
manufacturing meat atau daging industri (daging giling, dan daging dadu), fancy and variety
meat (lidah, bibir, dading kepala, dan buntut), dan jeroan (hati, usus, paru, limpa, jantung, otak,
dan babat) (Fayaqun dan Sulistiyaningsih 2021). Untuk kualitas daging yang digunakan sebagai
steak adalah pada bagian primary cut yang menjadi bahan baku bagi bisnis Hotel, Restoran dan
Catering.

Rantai pasokan daging sapi harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat
mempengaruhi kelancaran proses distribusi hingga ke tangan konsumen. Pemasaran dan
distribusi daging sapi membutuhkan lembaga pemasaran yang bekerja secara efektif, karena
daging sapi memiliki sifat produk yang mudah rusak (Irwansyah et.al 2022). Penyaluran daging
sapi dari tangan produsen ke konsumen memerlukan proses dan tindakan-tindakan yang khusus.
Kegiatan ini dilakukan untuk menciptakan, menjaga dan meningkatkan nilai serta manfaatnya.
Kesalahan dalam memilih saluran distribusi dapat memperlambat bahkan dapat terjadi
kemacetan usaha penyaluran barang dan jasa tersebut. Rantai pasok pada produk pertanian yang
tidak dikelola secara baik dapat menyebabkan biaya yang tinggi (Farisandi 2018). Faktor penting
dalam sistem penjualan adalah margin dan struktur biaya tataniaga yang terjadi (Ismareni 2019).
Pengaturan ini penting untuk dilakukan terkait banyaknya mata rantai yang terlibat dalam rantai
pasokan daging sapi.

1.2 Tujuan

Laporan ini bertujuan mengetahui rantai pasok dari daging steak sapi premium dari hulu
sampai hilir.

II HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil

Gambar 1 Flow chart kuliner livestock daging sapi

2.2 Pembahasan
2.2.1 Peternakan
2.2.1.1 Standar Kebutuhan Pakan
Pakan utama ternak sapi adalah rumput segar untuk menunjang produksi
di samping pakan penguat (konsentrat). Kebutuhan dan ketersediaan pakan
khususnya pakan hijauan merupakan faktor yang penting dalam menentukan
keberhasilan usaha peternakan ternak ruminansia. Hal ini disebabkan hampir 90%
pakan ternak ruminansia berasal dari hijauan dengan konsumsi segar per hari
10-15% dari berat badan, sedangkan sisanya adalah konsentrat dan pakan
tambahan (feed supplement), pakan ternak ruminansia selama ini diperoleh dan
bersumber dari padang penggembalaan (Syaiful 2017). Oleh karena itu, standar
kebutuhan pakan sapi diatur oleh Permentan Nomor 46 Tahun 2015 mengenai
pakan diberikan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi sebagai
berikut :
a. Tersedia pakan yang cukup dalam jumlah dan mutu (sesuai SNI mutu
pakan sapi potong)
b. Pakan yang diberikan dapat berasal dari pakan yang diolah sendiri atau
pakan pabrikan
c. Pakan yang diolah sendiri diuji di laboratorium pengujian mutu pakan
yang terakreditasi baik milik pemerintah maupun swasta untuk menjamin
kandungan nutrisi dan keamanan pakan
d. Dilarang menggunakan pakan yang dicampur dengan hormon tertentu
dan/atau antibiotik imbuhan pakan, darah, daging, dan/atau tulang
e. Untuk pola pemeliharaan ekstensif, ketersediaan pakan pada padang
rumput disesuaikan dengan kapasitas tampung
f. Pemberian pakan hijauan segar minimal 10% dari bobot badan dan pakan
konsentrat sekitar 1-2% dari bobot badan
g. Jumlah dan jenis pakan yang diberikan harus disesuaikan dengan tujuan
produksi, umur, dan status fisiologi ternak serta memenuhi persyaratan
standar mutu yang ditetapkan

Tabel 1 SNI mutu pakan sapi potong


Sapi Potong
No Kandungan Nutrisi
Penggemukan Induk Pejantan

1 Kadar air (maks) (%) 14 14 14

2 Protein Kasar (min) (%) 13 14 12

3 Lemak kasar (maks) (%) 7 6 6

4 TDN (min) % 70 65 65

5 Abu (maks) (%) 12 12 12

6 Calcium (Ca,%) 0,8 - 1,0 0,8 - 1,0 0,5 - 0,7

7 Phospor (P,%) 0,6 - 0,8 0,6 - 0,8 0,3 - 0,5

8 Aflatoksin maksimum (ppb) 200 200 200

9 NDF (maks) % 35 35 30

10 UDP (min) % 5,2 5,6 4,2


2.2.1.2 Standar Kesehatan Ternak
Menurut Permentan Nomor 46 Tahun 2015 bahwa dalam usaha budidaya
sapi potong harus memperhatikan persyaratan kesehatan ternak meliputi situasi
penyakit ternak dan pencegahan penyakit ternak sebagai berikut :
a. Usaha budidaya sapi potong harus terletak di lokasi yang tidak terdapat
gejala klinis atau bukti lain tentang penyakit radang limpa (Anthrax)
b. Dalam hal budidaya sapi potong dilakukan di lokasi yang terdapat
penyakit hewan menular strategis perlu dilakukan tindakan sesuai
peraturan perundang-undangan
c. Pengebalan dilaksanakan melalui vaksinasi, pemberian antisera, dan
peningkatan status gizi ternak. Vaksinasi, pemberian antisera, dan
peningkatan status gizi ternak dilakukan oleh perusahaan peternakan,
peternak, dan orang perseorangan yang memelihara ternak. Pelaksanaan
vaksinasi dan pemberian antisera ternak dilakukan oleh dokter hewan
dan/atau di bawah penyeliaan dokter hewan. Dalam hal vaksinasi dan
pemberian antisera ternak diberikan secara parenteral, pelaksanaannya
dilakukan oleh dokter hewan atau paramedik veteriner yang berada di
bawah penyeliaan dokter hewan
d. Pengoptimalan kebugaran ternak dilakukan dengan cara penerapan prinsip
kesejahteraan ternak

2.2.1.3 Standar Sanitasi Kandang


Menurut Permentan Nomor 46 Tahun 2015 dalam rangka pelaksanaan
kesehatan ternak, usaha budidaya sapi potong harus memperhatikan hal sebagai
berikut :
a. Menyediakan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan di
pintu masuk peternakan
b. Menjaga agar tidak setiap orang dapat bebas masuk dan keluar kandang
yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit
c. Lokasi usaha peternakan tidak mudah dimasuki binatang liar dan hewan
peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit
d. Melakukan desinfektan kandang dan peralatan, penyemprotan terhadap
serangga, lalat dan pembasmian terhadap hama lainnya dengan
menggunakan desinfektan yang ramah lingkungan atau teregistrasi
e. Sapi yang menderita penyakit menular dipisahkan dan dimasukkan ke
kandang isolasi untuk segera diobati atau dipotong dan sapi serta bahan
yang berasal dari kandang yang bersangkutan tidak diperbolehkan dibawa
keluar komplek peternakan
f. Melakukan pembersihan kandang sesudah kandang dikosongkan dan
dibiarkan selama 2 minggu sebelum dimasukkan sapi baru ke dalam
kandang
g. Setiap sapi baru yang masuk ke areal peternakan harus ditempatkan di
kandang karantina/isolasi selama 1 (satu) minggu, selama sapi di kandang
karantina/isolasi harus dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan
adanya penyakit
h. Segera mengeluarkan sapi yang mati dari kandang untuk dikubur atau
dimusnahkan

2.2.1.4 Standar Kandang Aman


Manajemen perkandangan adalah salah satu cara untuk mengelola
perkandangan yang dikelompokan berdasarkan jenis-jenis kandang dan tipe-tipe
kandang. Kandang yang baik adalah kandang yang sesuai dengan kebutuhan
ternak, syarat kandang yang baik yaitu jauh dari pemukiman penduduk, memiliki
suhu dan ventilasi udara yang baik, pengelolaan yang efisien, kuat dan tahan
lama, memudahkan petugas dalam proses pemberian pakan, pembersihan
kandang, dan penanganan kesehatan, selain itu syarat kandang yang baik yaitu
tidak berdampak kepada lingkungan sekitar (Zaenal dan Khairil 2020). Menurut
Sandi dan Purnama (2017) menyatakan bahwa syarat perkandangan yang baik
yaitu pemilihan lokasi kandang, tata letak kandang, konstruksi kandang, bahan
kandang, dan perlengkapan kandang sehingga kandang yang sesuai akan dapat
meningkatkan produktivitas sapi potong. Kandang merupakan salah satu faktor
lingkungan tempat ternak hidup, kandang juga harus bisa memberikan jaminan
untuk hidup yang sehat dan nyaman dan bangunan kandang harus dapat
melindungi ternak dari gangguan yang berasal dari luar misalnya cahaya
matahari, hujan, dan cuaca buruk lainnya. Secara umum konstruksi yang ada di
kandang harus kuat, mudah dibersihkan, bersirkulasi udara yang baik.

2.2.1.5 Standar Pengolahan Limbah


Limbah adalah bahan sisa dari suatu kegiatan atau proses produksi yang
bentuk dan fungsinya sudah berubah dari aslinya. Limbah peternakan secara
langsung dapat berdampak negatif bagi hewan ternak dan bagi ternak itu sendiri
(Prambudi et al. 2020). Limbah peternakan merupakan seluruh sisa hasil buangan
dari usaha kegiatan peternakan baik berupa limbah cair, limbah padat, dan limbah
gas. Limbah pada dasarnya tidak dapat dicegah akan tetapi dapat diolah
keberadaannya. Limbah yang tidak dapat diolah akan mengakibatkan pencemaran
lingkungan mulai dari air, tanah, dan udara (Prambudi et al. 2020). Penanganan
limbah cair dalam peternakan yaitu dengan pembuatan IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah). Selain pembuatan IPAL dalam peternakan, salah satu
upaya pengolahan limbah yaitu menjadikan urine dari peternakan menjadi pupuk
organik cair yang dapat bermanfaat bagi tanaman (Erwin 2007). Sementara untuk
penanganan limbah padat yang dilakukan yaitu dengan memanfaatkan limbah
padat menjadi pupuk organik sehingga kotoran ternak tidak menumpuk terlalu
lama dalam penampungan. Pupuk organik sangat bermanfaat dalam pembentukan
hara tanah dan berguna untuk penyubur tanaman dan juga menyediakan nutrisi
bagi tanaman (Purnamasari et al. 2022). Kemudian untuk penanganan limbah gas
juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan kotoran sapi menjadi pupuk organik.
Hal itu dikarenakan agar kotoran ternak sapi tidak menumpuk di kandang yang
akan menyebabkan amonia yang akan berdampak buruk bagi ternak dan juga
peternak (Purnamasari et al. 2022).

2.2.1.6 Moda Transportasi Ternak Hidup


Pengangkutan ternak merupakan faktor yang sangat penting dalam rantai
pasok. Pengangkutan ternak digunakan untuk distribusi kepada konsumen dalam
jarak dekat maupun jarak jauh. Moda transportasi yang digunakan untuk
pengangkutan dari peternakan ke rumah potong hewan (RPH) yaitu menggunakan
truk pengangkut. Syarat truk pengangkutan ternak sapi potong yang baik yaitu
memberikan desain yang memberikan kenyamanan, keamanan, pergerakan
optimal agar ternak terhindar dari stress, sudut truk tidak tajam, melindungi dari
cuaca dingin dan panas, memiliki ventilasi dan pencahayaan yang baik, memiliki
lantai kering, bebas celah, tidak licin dan bersih, alas yang digunakan harus dapat
menyerap kencing dan kotoran. Selain itu ada beberapa persyaratan khusus untuk
bak truk yang digunakan dalam proses pengangkutan ternak sapi potong yaitu
atap harus tertutup yang bertujuan untuk menghindari paparan angin, hujan, dan
terik cahaya matahari, memiliki ventilasi yang dapat menjamin aliran udara yang
baik, sisi truk tidak memiliki lubang yang terlalu besar hal itu dikarenakan agar
ternak tidak bisa keluar dari dalam truk pada proses pengangkutan di jalan dan
mengurangi paparan angin dan hujan yang masuk. Menurut Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) manajemen transportasi harus
dilakukan dengan baik. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam transportasi
ternak sapi potong yaitu tahap pemilihan ternak, tahap pembuatan dan
penanganan awal (handling), persiapan pra pengangkutan, tahap dalam
perjalanan, dan yang terakhir adalah tahap pembongkaran muatan atau penurunan
hewan ternak.
Tahap pemilihan ternak dilakukan agar ternak yang akan di kirim tidak
mengalami stress perjalanan atau bahkan mengalami kematian, maka dari itu
tahap pemilihan hewan perlu dan sangat penting dilakukan. Pemilihan ternak
dilakukan dengan beberapa kriteria diantaranya yaitu memilih ternak yang
mempunyai kondisi fisik yang sehat, tidak atau bisa berpotensi stress, bisa
berjalan dengan baik (lurus), tidak kurus dan kering, bukan sapi yang baru
melahirkan, dan bukan sapi yang sedang mengalami sakit. Tahap pembuatan dan
penanganan awal (handling) dilakukan dengan memindahkan ternak dengan baik
dan hati-hati agar ternak tidak mengalami stress, ciri dari ternak stress yaitu
ternak akan terus bergerak, harus selalu mengawasi ternak dan memastikan ternak
benar-benar masuk ke dalam truk pengangkutan, setelah ternak masuk ke dalam
truk pengangkutan perhatikan tingkat kepadatan dan sesuaikan jumlah ternak
untuk meminimalisir stress dalam perjalanan. Tahap persiapan pra pengangkutan,
tahap ini dilakukan untuk menghitung jarak yang akan ditempuh yang berfungsi
untuk mengatur waktu makan, minum, dan istirahat ternak, selain itu pastikan
bahwa pakan ternak mencukupi selama dalam perjalanan. Tahap ini merupakan
tahapan yang sangat penting, peternak harus benar-benar memahami tentang
pra-pengangkutan yang benar jika tidak akan berakibat kesehatan pada ternak dan
akan mengalami stress perjalanan. Tahap dalam perjalanan, pada tahap ini
peternak harus sering berkoordinasi dengan pengemudi truk dan mereka
bertanggung jawab penuh pada kondisi ternak di perjalanan, harus memperhatikan
prakiraan cuaca dan harus mempersiapkan cuaca yang ekstrim. Tahap
pembongkaran muatan atau penurunan, pada tahap ini merupakan tahapan yang
terakhir dalam pengangkutan ternak. Tahapan pembongkaran muatan harus
dilakukan monitoring ternak agar terstruktur, antisipasi stress pada hewan karena
perubahan situasi dan lokasi, meminimalisir jumlah orang yang melakukan
pembongkaran, hindari gerakan tiba-tiba karena akan menyebabkan ternak kaget
sehingga ternak akan sulit untuk diatur.

2.2.2 Rumah Potong Hewan (RPH)


2.2.2.1 QC RPH
Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan tempat yang ditunjuk dan diakui
untuk mengawasi proses pemotongan hewan/ternak yang akan digunakan untuk
konsumsi manusia. RPH adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi
khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan
sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat. Fungsi RPH secara umum merupakan fasilitas atau sarana tempat
berubahnya bentuk sapi menjadi karkas atau daging sapi dan bagian-bagian
lainnya, serta semua sapi yang dipotong harus dilakukan di RPH. Oleh karena itu,
penetapan standar Rumah Potong Hewan merupakan hal penting untuk
memperoleh kualitas daging yang aman, sehat, utuh, dan halal.
Lokasi RPH harus memenuhi berbagai persyaratan untuk menjamin
kualitas dan keamanan daging yang dihasilkan. SNI 01-6159-1999 menjelaskan
persyaratan lokasi RPH, di antaranya tidak bertentangan dengan Rencana Umum
Tata Ruang (RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan/atau Rencana
Bagian Wilayah Kota (RBWK); tidak berada di bagian kota yang padat
penduduknya serta letaknya lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak
menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan; tidak berada dekat industri
logam dan kimia, tidak berada di daerah rawan banjir, bebas dari asap, bau, debu,
dan kontaminan lainnya; serta memiliki lahan yang relatif datar dan cukup luas
untuk pengembangan rumah pemotongan hewan.
SNI 01-6159-1999 juga menetapkan standar mengenai persyaratan sarana
RPH, diantaranya sarana jalan yang baik menuju RPH dapat dilalui kendaraan
pengangkut hewan potong dan kendaraan daging; sumber air yang cukup dan
memenuhi persyaratan SNI 01-0220-1987; serta persediaan air minum yang
disediakan memenuhi kebutuhan air minum hewan (sapi, kerbau, dan kuda
sebanyak 1000 liter/ekor/hari; kambing dan domba sebanyak 100 liter/ekor/hari;
serta babi sebanyak 450 liter/ekor/hari); sumber tenaga listrik yang cukup; RPH
babi harus ada persediaan air panas untuk pencelupan sebelum pengerokan
rambut; serta RPH dilengkapi instalasi air bertekanan dan/atau air panas suhu 80
o
C. SNI 01-0220-1987 menetapkan persyaratan air minum di antaranya memenuhi
syarat fisik, kimia, radioaktivitas, dan mikrobiologi yang telah ditetapkan. Sarana
penyediaan air minum bebas dari bahaya pencemaran dan pengrusakan.
Penyediaan air minum diselenggarakan secara teratur dan terus menerus.
Bangunan dan tata letak memiliki persyaratan kompleks RPH terdiri atas
bangunan utama, kandang penampung istirahat hewan, kandang isolasi, kantor
administrasi dan kantor dokter hewan, tempat istirahat karyawan, kantin, mushola,
tempat penyimpanan barang pribadi/ruang ganti pakaian, kamar mandi dan toilet,
sarana penanganan limbah, insinerator, tempat parkir, rumah jaga, gardu listrik,
dan menara air. RPH harus dipagar untuk mencegah keluar masuknya orang yang
tidak berkepentingan dan hewan selain hewan potong. Pintu masuk hewan potong
harus terpisah dari pintu keluar daging. RPH dilengkapi dengan ruang pendingin
(chilling room) atau ruang pelayuan, ruang pembeku, ruang pembagian karkas
(meat cutting room) dan pengemasan, dan laboratorium. Sistem saluran
pembuangan limbah cair yang besar, kedap air, dan tertutup/terbuka (di bangunan
utama) yang dilengkapi grill yang mudah dibuka-tutup. RPH terdiri atas daerah
kotor dan daerah bersih. Daerah kotor sebagai tempat pemotongan, penyelesaian
penyembelihan, ruang untuk jeroan, ruang untuk kepala dan kaki, ruang untuk
kulit, dan tempat untuk pemeriksaan postmortem. Daerah bersih terdiri atas
tempat penimbangan karkas dan tempat keluar karkas.

2.2.2.2 Standar Pemotongan Hewan


Pemerintah memiliki peraturan yang mengatur keamanan dan
kesejahteraan hewan ternak yang dipotong. Hal tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Pemotongan hewan adalah
serangkaian kegiatan di RPH yang meliputi penerimaan hewan, peristirahatan,
pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong, pemotongan/penyembelihan,
pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan dipotong, dengan
memperhatikan higiene dan sanitasi, kesejahteraan hewan, serta kehalalan bagi
yang dipersyaratkan.
Pemotongan hewan di RPH harus menerapkan cara yang baik, di
antaranya pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum dipotong; penjaminan
kebersihan sarana prasarana, peralatan, dan lingkungannya; penjaminan
kecukupan air bersih; penjaminan kesehatan dan kebersihan personel;
pengurangan penderitaan hewan potong ketika dipotong; penjaminan
penyembelihan yang halal bagi yang dipersyaratkan dan bersih; pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan potong dipotong; dan pencegahan
tercemarnya karkas, daging, dan jeroan dari bahaya biologis, kimiawi, dan fisik.
Pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum dipotong dan pemeriksaan
kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan potong dipotong harus dilakukan oleh
dokter hewan di rumah potong hewan atau paramedik veteriner di bawah
pengawasan dokter hewan berwenang.
Pemeriksaan kesehatan hewan potong dilakukan untuk memastikan bahwa
hewan potong yang akan dipotong sehat dan layak untuk dipotong. Hewan potong
yang layak untuk dipotong harus memenuhi kriteria berikut, seperti tidak
memperlihatkan gejala penyakit hewan menular dan/atau zoonosis; bukan
ruminansia besar betina anakan dan betina produktif; tidak dalam keadaan
bunting; dan bukan hewan yang dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hewan potong yang telah diperiksa kesehatannya diberi
tanda “SL” untuk hewan potong yang sehat dan layak untuk dipotong, serta
“TSL” untuk hewan potong yang tidak sehat dan/atau tidak layak untuk dipotong.
Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas dilakukan dengan cara inspeksi,
palpasi, dan insisi. Hasil pemeriksaan yang aman dan layak dikonsumsi
dinyatakan dalam bentuk pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan
yang bertuliskan “telah diperiksa oleh dokter hewan” dan surat keterangan
kesehatan daging. Jeroan dan karkas yang dinyatakan tidak aman dan tidak layak
dikonsumsi wajib dimusnahkan di RPH.

2.2.2.3 Standar Higiene dan Sanitasi RPH


Proses penanganan ternak dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak
memperhatikan faktor - faktor sanitasi dan higienis berdampak pada mutu,
kehalalan, dan keamanan daging yang dihasilkan. Penerapan sistem jaminan mutu
dan keamanan pangan di RPH sangat penting untuk diperhatikan mulai dari
proses penyembelihan hingga menghasilkan karkas harus dilakukan secara benar
dan tepat. Menurut World Health Organization (WHO) sanitasi lingkungan
(environmental sanitation) merupakan upaya pengendalian semua faktor
lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan
hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan
hidup manusia. Penerapan prosedur standar operasional sanitasi di RPH
memerlukan implementasi dan pengawasan khusus untuk dapat menjamin
kualitas karkas sesuai dengan permintaan konsumen (Gaznur et al. 2017).
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010, mensyaratkan lokasi
rumah pemotongan hewan harus mempunyai akses air bersih yang cukup untuk
pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi.
Pengujian kualitas air perlu dilakukan karena air banyak digunakan selama proses
pemotongan, desinfeksi peralatan dan bangunan RPH sehingga dapat
mempengaruhi kualitas daging.
Penjaminan keamanan produk daging dari RPH diatur dalam persyaratan
higiene karyawan dan perusahaan pada SNI 01-6159-1999. RPH harus memiliki
peraturan untuk semua karyawan dan pengunjung agar pelaksanaan sanitasi dan
higiene RPH serta higiene produk tetap terjaga baik. Setiap karyawan harus sehat
dan diperiksa kesehatannya secara rutin minimal satu kali dalam setahun. Setiap
karyawan harus mendapat pelatihan yang berkesinambungan tentang higiene dan
mutu. Daerah kotor atau daerah bersih hanya diperkenankan dimasuki oleh
karyawan yang bekerja di masing-masing tempat tersebut, dokter hewan, da
petugas pemeriksa berwenang. Orang lain (tamu) yang hendak memasuki
bangunan utama RPH harus mendapat ijin dari pengelola dan mengikuti peraturan
yang berlaku.

2.2.2.4 Standar Pengemasan dan Penjaminan Produk Hewan


Ruang pembagian dan pengemasan karkas terletak di daerah bersih dan
berdekatan dengan ruang pendingin/pelayuan dan ruang pembeku. Ruang didesain
agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke
dalam ruang pembagian dan pengemasan daging. Ruang dilengkapi dengan meja
dan fasilitas untuk memotong karkas dan mengemas daging. Meja harus terbuat
dari bahan yang tidak toksik, kedap air, kuat, mudah dibersihkan, dan mudah
dirawat. Penjaminan produk hewan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 dilakukan melalui pengaturan
peredaran produk hewan, pengawasan unit usaha produk hewan, pengawasan
produk hewan, pemeriksaan dan pengujian produk hewan, standardisasi produk
hewan, sertifikasi produk hewan, sertifikasi produk hewan, dan registrasi produk
hewan. Produk hewan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dilarang diedarkan
di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Peredaran produk hewan meliputi peredaran hasil produksi dalam negeri,
produk yang masuk ke wilayah Indonesia, dan produk yang keluar dari wilayah
Indonesia. Produk hewan hasil produksi dalam negeri hanya dapat diedarkan
apabila berasal dari unit usaha yang telah memiliki nomor kontrol veteriner atau
unit usaha yang sedang dalam pembinaan penerapan cara yang baik. Produk yang
masuk ke wilayah Indonesia harus berasal dari negara dan unit usaha yang telah
disetujui oleh menteri dan wajib memiliki sertifikat veteriner dari otoritas
veteriner di negara asal dan sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan. Pengeluaran
produk ke luar wilayah Indonesia harus disertai dengan sertifikat veteriner yang
diterbitkan oleh otoritas veteriner di bidang kesehatan masyarakat veteriner
kementerian dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan.
Pengawasan unit usaha dilakukan pada RPH dan unit usaha produk ewan
selain RPH (tempat pemerahan, tempat produksi telur, tempat produksi pangan
asal hewan lainnya, tempat produksi produk hewan non pangan, serta tempat
pengumpulan dan penjualan). Pengawasan RPH dilakukan oleh dokter hewan
berwenang yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kesehatan masyarakat
veteriner. Sedangkan pengawasan unit usaha produk hewan selain RPH dilakukan
oleh dokter hewan berwenang yang memiliki kompetensi sebagai pengawas
kesehatan masyarakat veteriner atau lembaga pemerintahan non kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan
untuk unit usaha yang menghasilkan pangan olahan asal hewan.
Pengawasan produk hewan dilakukan terhadap produk hewan yang
diproduksi dalam negeri dan dimasukkan dari luar negeri. Pengawasan produk
hewan yang diproduksi dalam negeri harus dilakukan terhadap produk hewan
sejak diproduksi sampai dengan diedarkan yang dilakukan oleh dokter hewan
berwenang yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kesehatan masyarakat
veteriner. Pengawasan terhadap pemasukan produk hewan dari luar negeri
dilakukan pada negara dan unit usaha asal, tempat pemasukan, dan peredaran.
Pengawasan produk hewan dilakukan melalui pemeriksaan kondisi fisik produk,
dokumen, dan/atau label.
Pemeriksaan dan pengujian produk dilakukan di laboratorium veteriner
milik pemerintah atau laboratorium milik swasta yang terakreditasi. Standardisasi
produk dilakukan terhadap produk yang diedarkan di wilayah Indonesia sesuai
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh menteri. Sertifikasi produk
dilakukan terhadap produk yang diedarkan di dan dikeluarkan dari wilayah
Indonesia. Sertifikasi meliputi sertifikat veteriner untuk produk hewan yang
diedarkan di wilayah Indonesia diterbitkan oleh otoritas veteriner di bidang
kesehatan masyarakat veteriner dan sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan yang
dilakukan oleh institusi yang berwenang di bidang sertifikasi halal. Registrasi
produk hewan dilakukan terhadap produk hewan berupa pangan segar asal hewan
yang dikemas untuk diedarkan. Registrasi dilakukan oleh menteri dalam bentuk
pemberian nomor registrasi. Nomor registrasi wajib dicantumkan pada label
kemasan produk.

2.2.2.5 SOP Pekerja


Standar operasional prosedur (SOP) merupakan pedoman atau acuan
dalam melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan agar sesuai dengan fungsi dari
pekerjaan tersebut. Dengan menerapkan SOP maka semua kegiatan dalam suatu
perusahaan dapat tersusun dengan baik dan berjalan sesuai ketentuan yang ada.
Menurut SNI 01-6159-1999 mengenai persyaratan higiene karyawan dan
perusahaan, Rumah Pemotongan Hewan harus memiliki peraturan untuk semua
karyawan dan pengunjung agar pelaksanaan sanitasi dan hygiene rumah
pemotongan hewan dan higiene produk tetap terjaga baik. SOP pekerja pada RPH
sebagai berikut :
1. Setiap karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya secara rutin
minimal satu kali dalam setahun.
2. Setiap karyawan harus mendapat pelatihan yang berkesinambungan
tentang higiene dan mutu.
3. Daerah kotor atau daerah bersih hanya diperkenankan dimasuki oleh
karyawan yang bekerja di masing-masing tempat tersebut, dokter hewan
dan petugas pemeriksa berwenang.
4. Orang lain (misalnya tamu) yang hendak memasuki bangunan utama
Rumah Pemotongan Hewan harus mendapat ijin dari pengelola dan
mengikuti peraturan yang berlaku.
Dalam observasi Fitri et al. (2019), dijelaskan mengenai
ketentuan-ketentuan bagi para pekerja di RPH yang menangani karkas, daging,
dan/atau jeroan harus menerapkan praktik higiene antara lain :
1. Petugas yang menangani daging harus dalam kondisi sehat, terutama dari
penyakit pernafasan dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis A, tipus,
dll.
2. Pekerja diwajibkan memakai alat pelindung diri (APD) seperti: sepatu bot,
penutup kepala (hair net), pakaian kerja.
3. Pekerja wajib melakukan cuci tangan secara rutin ketika sebelum dan
pasca penanganan produk serta ketika selesai dari kamar mandi/toilet.
4. Tidak melakukan tindakan yang dapat mengkontaminasi produk (bensin,
merokok, meludah, dll) di dalam bangunan utama rumah potong.
Dalam menjaga higiene dan sanitasi kebersihan dalam RPH,
karyawan/petugas/pekerja diwajibkan selalu membersihkan segala sesuatu yang
berkaitan dengan produksi. Hal ini dapat dimulai seperti proses pembersihan
peralatan dan higiene karyawan, maka dilakukan uji Coliform dengan cara
melakukan test swab pada mata pisau, pakaian dan telapak tangan karyawan.
Hasil uji Coliform yang tinggi, mengindikasikan bahwa hasil yang kurang baik,
kemungkinan karena petugas tidak mencuci tangan dengan menggunakan air yang
mengalir. Kontaminasi silang dari personal karyawan dan air berpindah ke karkas
begitu juga sebaliknya (Ollong et al. 2020). Higiene personal merupakan bagian
dari terjadinya kontaminasi silang yang berpengaruh terhadap kualitas dan
keamanan produk yang dihasilkan. Penyebab utama yang dapat mempengaruhi
adanya kontaminasi dan tingginya jumlah Coliform pada daging disebabkan oleh
air 60 % dan 40 % dari petugas. Pelatihan higiene personal sangat diperlukan
karena RPH harus menghasilkan produk yang sudah terjamin kualitas, keamanan,
dan kehalalannya.

2.2.2.6 Desain RPH (HACCP)


RPH atau ahli sanitasi kesehatan masyarakat terdaftar, tugas utama adalah
untuk menerapkan prinsip-prinsip HACCP dalam industri makanan. HACCP
adalah suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi dan mengendalikan
potensi bahaya dalam proses produksi makanan. Proses produksi yang panjang
sangat memungkinkan terjadinya perkembangan bakteri di tempat produksi, untuk
itu sangat diperlukan pengawasan pada titik-titik tertentu produksi atau dalam
HACCP disebut titik kritis untuk tetap menjaga kualitas dari daging sapi potong.
Sesuai dengan SNI 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan, RPH yang
baik harus memiliki sistem Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP). HACCP merupakan sistem yang digunakan untuk mengawasi proses
untuk mengetahui, mengukur serta mengendalikan bahaya yang mungkin muncul
yang dapat mengganggu kualitas dan keamanan produk (Susanawati et al. 2015).
Tahapan pengendalian kritis merupakan tahap produksi yang dapat menurunkan
bahaya hingga ke batas aman.
Gambar 2 Alur produksi RPH menurut titik kritis

2.2.2.6.1 Persyaratan Lokasi


Lokasi Rumah Pemotongan Hewan harus memenuhi syarat-syarat
seperti, letak RPH tidak bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan/atau Rencana Bagian
Wilayah Kota (RBWK). Lokasi RPH tidak berada di bagian kota yang
padat penduduknya serta letaknya lebih rendah dari pemukiman
penduduk, tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan,
tidak berada dekat industri logam dan kimia, tidak berada di daerah rawan
banjir, bebas dari asap, bau, debu dan kontaminan lainnya. Kemudian,
lokasi RPH sebaiknya memiliki lahan yang relatif datar dan cukup luas
untuk pengembangan rumah pemotongan hewan.
2.2.2.6.2 Persyaratan Sarana
Dalam SNI tahun 1999 dijelaskan mengenai Sarana RPH atau
Rumah Potong Hewan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
pihak berwenang dalam bidang kesehatan masyarakat dan keamanan
pangan. Berikut adalah beberapa persyaratan umum yang harus dipenuhi
oleh sarana RPH :
1. Lokasi yang sesuai: Sarana RPH harus ditempatkan di lokasi yang
sesuai, jauh dari tempat-tempat yang dapat mempengaruhi kualitas
daging, seperti tempat pembuangan sampah atau tempat
penampungan air limbah.
2. Bangunan dan peralatan yang memadai: Bangunan RPH harus
dirancang dengan baik dan memadai untuk keperluan produksi
daging yang aman dan sehat. Peralatan produksi, seperti pisau,
gergaji daging, dan alat pemotong, harus terbuat dari bahan yang
tahan karat dan mudah dibersihkan.
3. Sistem sanitasi yang baik: Sarana RPH harus memiliki sistem
sanitasi yang baik untuk mencegah kontaminasi silang dan
penyebaran penyakit. Peralatan produksi dan area kerja harus
dibersihkan secara teratur dan disterilkan sebelum digunakan.
4. Pengolahan limbah yang benar: Limbah dari proses produksi harus
diolah dengan benar dan dibuang dengan aman agar tidak
mencemari lingkungan sekitarnya.
5. Pelatihan dan pengawasan karyawan: Semua karyawan yang
terlibat dalam produksi daging harus dilatih dan diawasi untuk
memastikan bahwa mereka memahami dan mematuhi semua
prosedur keamanan pangan dan kesehatan masyarakat yang
berlaku.
6. Memiliki izin resmi: Sarana RPH harus memiliki izin resmi dari
pihak berwenang dalam bidang kesehatan masyarakat dan
keamanan pangan, seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Ketahanan
Pangan setempat.
7. Menerapkan prinsip HACCP: Sarana RPH harus menerapkan
prinsip HACCP untuk memastikan bahwa produksi daging aman
dan bebas dari bahaya bagi kesehatan masyarakat.
Dengan memenuhi persyaratan sarana RPH menurut SNI,
diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas produksi daging serta
mencegah terjadinya kontaminasi pada daging yang dihasilkan.
2.2.2.6.3 Persyaratan Bangunan dan Tata Letak
Sesuai ketentuan SNI atau Standar Nasional Indonesia adalah
pedoman teknis yang mengatur standar dan persyaratan untuk produk atau
layanan tertentu, termasuk RPH atau Rumah Potong Hewan. Beberapa
persyaratan bangunan dan tata letak RPH yang diatur oleh SNI 1999 dan
Permentan Nomor 13 Tahun 2010 antara lain :
1. Rumah Potong Hewan (RPH) harus terdiri dari bangunan utama,
kandang penampung dan istirahat hewan, kandang isolasi, kantor
administrasi dan kantor dokter hewan, tempat istirahat karyawan,
kantin, dan mushola, kamar mandi/WC, sarana penanganan
limbah, inseneractor, tempat parkir, rumah jaga, gardu listrik,
menara air.
2. Kompleks Rumah Pemotongan Hewan harus dipagar sedemikian
rupa sehingga dapat mencegah keluar masuknya orang yang tidak
berkepentingan dan hewan lain selain hewan potong. Pintu masuk
hewan potong harus terpisah dari pintu keluar daging.
3. Kompleks Rumah Pemotongan Hewan babi harus dipisahkan
dengan kompleks Rumah Pemotongan Hewan lain dengan jarak
yang cukup jauh atau dibatasi dengan tinggi pagar minimal 3 meter
atau terpisah total dengan dinding tembok serta terletak di tempat
yang lebih rendah daripada Rumah Pemotongan Hewan lain.
4. RPH harus dilengkapi dengan ruang pendingin, ruang pembeku,
ruang pembagian karkas (meat cutting room) dan pengemasan,
serta laboratorium.
5. Sistem saluran pembuangan limbah cair yang cukup besar,
didesain agar limbah dapat mengalir dengan lancar. Sistem
pembuangan limbah juga harus tertutup agar tidak menimbulkan
bau.
6. Bangunan utama pada RPH terdiri dari daerah kotor (tempat
pemotongan dan tempat pengeluaran darah, tempat penyelesaian
proses penyembelihan, ruang untuk jeroan, tuang untuk kepala,
kaki, dan kulit), dan daerah bersih (tempat penimbangan dan
keluar karkas).
7. Tata ruang RPH harus didesain agar searah dengan alur proses
serta memiliki ruang yang cukup sehingga seluruh kegiatan
pemotongan hewan dapat berjalan baik dan higienis. Besarnya
ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan, dan tempat
pemotongan didesain sedemikian rupa agar menunjang
pemotongan memenuhi syarat halal.
8. Tinggi dinding pada tempat proses pemotongan dan pengerjaan
karkas minimum 3 meter dengan warna bagian dalam berwarna
terang dan minimum setinggi 2 meter terbuat dari bahan yang
kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap
benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak
mudah mengelupas. Selanjutnya, sudut pertemuan antara dinding
dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25
mm
9. Lantai ruang terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif,
tidak licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan
landai ke arah saluran pembuangan. Sudut pertemuan antara
dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari
sekitar 75 mm.
10. Memiliki sistem ventilasi dan pencahayaan yang memadai, serta
tidak terdapat tempat penumpukan debu atau kotoran.
Dengan memenuhi persyaratan bangunan dan tata letak RPH
menurut SNI, diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas produksi
daging serta mencegah terjadinya kontaminasi pada daging yang
dihasilkan.

2.2.2.7 Pemotongan/Pemisahan Daging Bagian


Berdasarkan sistem HACCP maka dikenal terdapat empat titik kendali
kritis selama proses penyembelihan di RPH yaitu pelepasan kulit, pengeluaran
jeroan, pemisahan tulang dan pendinginan (Bolton et al. 2001). Titik kendali kritis
ini harus dapat dikendalikan untuk menekan pencemaran mikroba pada daging.
Dalam Deswita et al. (2018) dijelaskan mengenai tata cara dalam menangani
ternak dan karkas/daging di RPH yang tidak sesuai dengan SOP serta tidak
memperhatikan sanitasi higienisnya, maka daging yang dihasilkan tidak bisa
dijamin kualitas, keamanan, dan kehalalannya yang akan berdampak pada
kesehatan konsumennya. Selama proses penyembelihan di RPH disarankan para
pekerja menggunakan dua pisau dengan cara bergantian salah satu pisau direndam
dalam air panas >82℃ untuk menghindari pencemaran silang.
Teknik penanganan dan pemotongan karkas merupakan faktor utama yang
dapat mempengaruhi karkas baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam
penelitian Rizal et al. (2014) dijelaskan mengenai enam aspek kritis yang dapat
mempengaruhi kuantitas maupun kualitas karkas, yaitu proses merebahkan dan
penyembelihan sapi, pemisahan kulit, pemisahan ekor, proses pengeluaran jeroan
(eviscerasi) ,pemisahan lemak subkutan (trimming), dan pemotongan karkas.
Pengupasan dan pengeluaran jeroan merupakan salah satu teknik pengolahan
karkas yang erat kaitannya dengan higiene pangan (Narváez-Bravo et al. 2013).
Proses pemisahan ekor, pemisahan lemak subkutan (untuk memotong), dan
memotong mayat adalah teknik Pengolahan karkas erat kaitannya dengan
kuantitas karkas dan efisiensi produksi.
Pemotongan atau pemisahan daging menjadi bagian-bagian tertentu sangat
penting dalam proses produksi daging di RPH atau Rumah Potong Hewan.
Pemotongan yang dilakukan dengan benar akan menghasilkan daging yang
berkualitas dan aman untuk dikonsumsi. Berikut adalah beberapa bagian daging
yang umumnya dipotong atau dipisahkan di RPH :
1. Dada: Bagian daging dada umumnya terletak pada bagian depan tubuh
hewan dan memiliki kadar lemak yang rendah. Bagian dada biasanya
digunakan untuk membuat steak, cincangan daging, atau potongan daging
lainnya.
2. Paha belakang: Bagian daging paha belakang umumnya terletak pada
bagian belakang tubuh hewan dan memiliki kadar lemak yang sedikit lebih
tinggi daripada dada. Bagian paha belakang biasanya digunakan untuk
membuat steak, daging cincang, atau potongan daging lainnya.
3. Daging cincang: Daging cincang umumnya dibuat dari potongan daging
yang sudah dipotong kecil atau sisa-sisa pemotongan lainnya. Daging
cincang biasanya digunakan untuk membuat burger, sosis, atau produk
daging olahan lainnya.
4. Tulang belakang: Tulang belakang sering dipotong dari hewan untuk
digunakan sebagai bahan dasar kaldu atau sup. Tulang belakang juga dapat
digunakan untuk membuat daging panggang atau iga panggang.
5. Jeroan: Bagian jeroan atau organ dalam hewan seperti hati, limpa, atau
ginjal juga dipisahkan dan diolah di RPH untuk dijual atau digunakan
sebagai bahan dasar makanan.
Pemotongan atau pemisahan daging harus dilakukan dengan
memperhatikan kebersihan dan higienitas, serta memastikan tidak terjadinya
kontaminasi silang antara satu jenis daging dengan jenis daging lainnya. Selain
itu, pemotongan atau pemisahan daging harus dilakukan oleh tenaga kerja yang
terampil dan terlatih. Hal ini akan memastikan kualitas dan keamanan daging
yang dihasilkan.

2.2.2.8 Standar Penyimpanan Daging


Komposisi kimia dan kelembaban daging sangat ideal untuk
berlangsungnya proses kehidupan bakteri dan jamur. Hal ini menyebabkan daging
tidak dapat bertahan lama bila disimpan pada suhu kamar. Mikroorganisme
kontaminan yang banyak hidup pada daging sapi adalah bakteri dan jamur. Kedua
mikroorganisme tersebut sangat potensial merusak. Penyimpanan daging potong
di Rumah Potong Hewan (RPH) memerlukan standar yang lebih ketat karena
adanya aturan-aturan sanitasi yang harus dipatuhi. Rohyati et al. (2017)
mengatakan bahwa kebersihan, sistem sanitasi, higiene, dan kesrawan merupakan
aspek yang harus diperhatikan dalam melakukan proses produksi di RPH. Sesuai
SNI 01-1659-1999 mengenai persyaratan ruang pembeku untuk penyimpanan
daging dijelaskan sebagai berikut :
1. Ruang Penyimpanan Beku terletak di daerah bersih.
2. Besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan.
3. Ruang didesain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari
ruang lain yang masuk ke dalam ruang penyimpanan beku.
4. Ruang mempunyai alat pendingin yang dilengkapi dengan kipas (blast
freezer). Suhu dalam ruang di bawah -18 oC dengan kecepatan udara
minimum 2 meter per detik.
Dalam Permentan Nomor 13 Tahun 2010 dijelaskan mengenai persyaratan
standar ruang beku penyimpanan daging, antara lain kapasitas ruang disesuaikan
dengan jumlah produk beku yang disimpan, ruang didesain agar tidak ada aliran
air atau limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang
penyimpanan beku. Ruang penyimpanan beku daging seharusnya dilengkapi
dengan fasilitas pendingin sebagai berikut: memiliki ruang penyimpanan
berpendingin yang mampu mencapai dan mempertahankan secara konstan
temperatur daging pada +4 oC hingga - 4 oC (chilled meat); - 2 oC hingga - 8oC
(frozen meat); atau <_-18oC (deep frozen), serta kapasitas ruangan harus
mempertimbangkan sirkulasi udara dapat bergerak bebas; 2. ruang penyimpanan
berpendingin dilengkapi dengan termometer atau display suhu yang diletakkan
pada tempat yang mudah dilihat.

2.2.2.9 Standar Pengolahan Limbah


Limbah pemotongan hewan yang tidak dikelola dengan baik berpotensi
untuk mencemari lingkungan. Selain itu, limbah RPH yang tidak dikelola dengan
baik dapat berdampak pada masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar RPH
(Gading et al. 2021). Limbah yang dihasilkan oleh RPH terdiri dari limbah cair,
limbah padat, serta limbah udara.
2.2.2.9.1 Limbah Cair
RPH menghasilkan limbah cair yang sebagian besar berasal dari
air pembersih ruang potong, air pembersih intestinal, dan pembersihan
kandang ternak. Limbah cair RPH mengandung bahan organik, padatan
tersuspensi, serta bahan koloid seperti lemak, protein, dan selulosa dengan
konsentrasi tinggi sehingga limbah cair RPH termasuk ke dalam kategori
limbah cair kompleks (Sari 2018). Berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah,
baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam media air dari suatu
usaha dan/atau kegiatan. Tujuan ditetapkannya baku mutu air limbah bagi
kegiatan RPH adalah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas
lingkungan hidup, serta menurunkan beban pencemaran lingkungan
melalui upaya pengendalian pencemaran dari kegiatan RPH. Berdasarkan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2006
tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan
Hewan, baku mutu air limbah yang boleh dilepaskan oleh RPH harus
memiliki standar sebagai berikut:

Tabel 2 Baku mutu air limbah kegiatan rumah pemotongan hewan


Parameter Satuan Kadar Maksimum

BOD (Biochemical Oxygen Demand) mg/L 100

COD (Chemical Oxygen Demand) mg/L 200

TSS (Total Suspended Solid) mg/L 100

Minyak dan lemak mg/L 15

NH3-N mg/L 25

pH - 6-9

Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau, dan kuda : 1,5 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0,15 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0,65 m3/ekor/hari

Penanganan limbah cair di RPH menggunakan Instalasi


Pengolahan Air Limbah (IPAL). Model IPAL yang digunakan tergantung
pada jenis parameter pencemar, volume limbah yang diolah, syarat baku
yang harus dipenuhi, kondisi lingkungan, dan lainnya. Di dalam proses
pengolahan air limbah khususnya yang mengandung polutan senyawa
organik, teknologi yang digunakan sebagian besar menggunakan aktivitas
mikroorganisme untuk menguraikan senyawa polutan organik tersebut.
Proses pengolahan air limbah dengan aktivitas mikro-organisme biasa
disebut dengan “Proses Biologis”. Proses pengolahan air limbah secara
biologi tersebut dapat dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara),
kondisi anaerobik atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses biologis
aerobik biasanya digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban
BOD yang tidak terlalu besar, sedangkan proses biologis anaerobik
digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat
tinggi (Sari 2018).

2.2.2.9.2 Limbah Padat


Limbah padat yang dihasilkan RPH terdiri dari sisa pakan, kulit,
feses, isi rumen, tulang, dan tanduk. Limbah padat seperti kulit, tulang,
dan tanduk dapat dijual kembali untuk digunakan sebagai bahan baku
usaha kulit dan olahan makanan. Sedangkan, limbah padat berupa feses,
isi tumen, darah, dan sisa pakan dapat dimanfaatkan menjadi pupuk (Sari
2018). Limbah padat RPH memiliki kadar bahan kering yang
berbeda-beda berdasarkan karakter fisiknya. Berikut adalah karakteristik
fisik limbah padat RPH menurut Waddin (2015).

Tabel 3 Karakteristik fisik limbah padat rumah pemotongan hewan


Jenis Limbah Bahan Kering (%)

Feses dan rumput sisa pakan 28

Isi rumen segar 13

Isi rumen setelah di press 25

Limbah padat dari pengolahan limbah cair 15

Lumpur dari pengolahan limbah cair 6

Campuran limbah di atas 28

Limbah padat tersebut dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos


dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan,
seperti kelembaban, konsentrasi oksigen, temperatur, perbandingan karbon
dan nitrogen, derajat keasaman (pH), serta ukuran partikel (Waddin 2015).
Proses pengomposan dapat diklasifikasikan menjadi dua sistem, yaitu :
1. Sistem terbuka (Unconfined process)
a. Windrow (turned windrow)
b. Aerated static pile (forced aeration static windrow)
c. Individual pile
d. Extended pile
2. Sistem tertutup (Confined process)
2.2.2.9.3 Limbah gas
Limbah padat RPH yang belum dikelola dengan baik, biasanya
ditumpuk di tempat terbuka dan ada pula yang langsung dibuang ke
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Tumpukan limbah padat RPH
menghasilkan emisi gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) yang
merupakan kontributor utama pemanasan global. Oleh karena itu,
pengelolaan limbah RPH perlu dilakukan secara sistematis seperti adanya
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap
lingkungan hidup. Salah satu penanganan limbah gas dengan cara
mendaur ulang limbah padat menjadi pupuk kompos maupun pupuk cair
sehingga emisi gas rumah kaca dapat berkurang.

2.2.2.10 Legalitas Produsen


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2019 tentang
Keamanan Pangan menyebutkan bahwa setiap pangan segar asal hewan yang
diedarkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproduksi di
dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan berlabel
wajib memiliki nomor registrasi. Nomor registrasi yang dimaksud diterbitkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. Registrasi produk
hewan menjadi salah satu standar yang tercantum pada Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan
Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko Sektor Pertanian. Untuk mendapatkan nomor registrasi tersebut, terdapat
dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, yaitu persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan administrasi yang harus dipenuhi
seperti surat permohonan, Nomor Induk Berusaha, identitas diri, Nomor Pokok
Wajib Pajak, profil perusahaan, akta pendirian perusahaan, dan lainnya.
Sedangkan, persyaratan teknis yang harus dipenuhi seperti sertifikasi Nomor
Kontrol Veteriner (NKV), memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk
hewan, memiliki sertifikat halal, rancangan label yang sesuai, dan lainnya. Setelah
semua persyaratan terpenuhi, Nomor Registrasi Produk Hewan Dalam Negeri
(PHD), dan Nomor Registrasi Produk Hewan Impor (PHI) akan diterbitkan
dengan masa berlaku perizinan selama 5 tahun. Setelah mendapatkan nomor
registrasi, para pelaku usaha diwajibkan untuk mencantumkan nomor registrasi
Produk Hewan pada label dan kemasan, menyampaikan laporan kegiatan usaha
dan kelayakan produknya kepada gubernur atau bupati/wali kota.
2.2.2.11 Moda Transportasi Darat (Produk Setengah Jadi)
Moda transportasi darat yang dapat digunakan adalah truk. Truk
utamanya digunakan untuk mengangkut produk setengah jadi atau produk jadi.
Transportasi ini dapat berupa Truckload (TL) maupun Less Than Truckload
(LTL). Pelayanan Truckload (TL) dapat mengangkut muatan penuh secara
langsung dari tempat asal ke tempat tujuan dalam satu trip perjalanan. Sedangkan,
pelayanan Less Than Truckload (LTL) adalah pengangkutan yang muatannya
dimiliki beberapa orang untuk beberapa tujuan, sehingga lebih lambat
dibandingkan Truckload (TL). Kelebihan dari penggunaan truk adalah waktu
pengiriman relatif cepat, pengiriman dilakukan secara langsung, dan biaya yang
dikeluarkan murah. Sedangkan, kelemahannya adalah kapasitas kecil, dan
tergantung pada kondisi jalan raya (Hidayana 2019).

2.2.2.12 Moda Transportasi Udara (Produk Setengah Jadi)


Moda transportasi udara yang sering digunakan untuk mengangkut
produk setengah jadi adalah pesawat kargo. Transportasi menggunakan pesawat
pada dasarnya sangat cepat, tetapi dalam praktiknya kecepatan berkurang karena
pelayanan penanganan muatan di bandar udara yang birokratis. Akibatnya,
transportasi udara tidak kompetitif untuk mengangkut barang dalam jumlah besar.
Transportasi udara sering digunakan untuk pengangkutan barang-barang yang
mempunyai nilai tinggi dengan jarak yang jauh (Hidayana 2019).

2.2.3 Restoran Steak


2.2.3.1 Standar penyimpanan daging
Standar yang digunakan dalam penyimpanan daging yaitu adalah
HACCP. HACCP adalah salah satu bentuk manajemen yang dikembangkan
untuk terjaminnya keamanan pangan dengan melakukan pendekatan terhadap
pencegahan (preventive) sehingga dapat memberikan jaminan dalam
menghasilkan pangan yang aman. Berdasarkan standar Critical Control Point
(CCP), suhu yang di anjurkan untuk penyimpanan daging adalah Menyimpan
sampai 3 hari: -50 sampai 00C, Penyimpanan untuk 1 minggu: -190 sampai -50C,
dan penyimpanan lebih dari 1 minggu: dibawah -100C. Penyimpanan suhu
rendah ini dapat berupa lemari es atau freezer untuk penyimpanan lebih dari 3
hari dan kamar beku dengan suhu mencapai -2000C untuk penyimpanan dalam
jangka waktu yang relatif lebih lama.

2.2.3.2 Standar Pengolahan


Pengolahan dan pengawetan daging wajib diterapkan sebagai cara untuk
menghambat perubahan-perubahan yang menyebabkan daging tidak dapat
dimanfaatkan lagi sebagai bahan pangan atau yang menurunkan beberapa aspek
mutunya. Perubahan-perubahan daging dapat diakibatkan oleh proses fisik,
kimiawi, maupun mikroorganisme. Kualitas steak dipengaruhi oleh kualitas
daging serta metode pemasakan yang digunakan. Lama pemasakan akan
menentukan kualitas fisik daging seperti tekstur, pH, kekuatan tarik, susut masak,
dan organoleptik. Waktu pemanggangan yang lama akan lebih banyak kehilangan
juice daging dan daya ikat air akan berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa
daging dengan daya ikat air yang rendah juga akan berpengaruh pada keempukan,
warna, serta pengerutan daging. Salah satu alat pemanggang yang dapat diatur
suhu dan lama pemanggangan adalah microwave, dengan begitu akan
memberikan kualitas steak yang baik dan juga dapat memberikan efek matang
yang merata pada daging (Nazhar et al. 2012).

2.2.3.3 Quality control


Quality Control adalah penelitian,pengembangan, dan pemenuhan
kepuasan pada konsumen, serta pemberian pelayanan yang baik pada
pelaksananya dengan melibatkan pimpinan teratas sampai karyawan pelaksana
dalam perusahaan (Damayanti 2018). Quality control dalam daging steak, yaitu
praktek higienis agar terhindar dari mikroba yang dapat menyebabkan penyakit
dan keracunan makanan, temperatur yang sesuai untuk penanganan produk daging
segar 0 -5 atau bahkan -1 -0. Adapun kemasan vakum (kemasan hampa udara)
adalah sejenis plastik yang merupakan kopolimer dari vinylidene chloride dan
vinyl chloride yang dapat mengkerut bila dipanaskan. Udara dari dalam kemasan
harus disedot keluar karena salah satu media yang diperlukan bakteri dalam
pertumbuhannya adalah oksigen. Kemudian terdapat indikator daging segar
melalui warna dengan warna daging merah cerah, tekstur yang dapat disentuh
konsumen menggunakan media kantong plastik yang membungkus tangan dan
baru memencet daging untuk mengetahui keempukannya, dan aroma yang
normal, tidak berbau, dan tidak ada penyimpangan aroma (Johan dan Kodrat
2019).

2.2.3.4 Standar Pengemasan


Pengemasan merupakan salah satu cara untuk memperpanjang lama
penyimpanan produk dan cara menghindari kontaminasi dari mikroorganisme
sehingga dapat meningkatkan kualitas. Keuntungan bagi konsumen adalah
jaminan mutu terhadap produk yang dibeli serta keamanan produk yang
dikonsumsi. Tujuan pokok pengemasan adalah melindungi produk dari
kontaminasi, kerusakan fisik, memudahkan penanganan selama distribusi dan
kepraktisan penggunaannya, serta fungsi pemasaran/promosi (Soeka dan Jumiono
2019). Steak termasuk dalam produk pangan yang perlu dikemas dengan kemasan
food grade atau kemasan pangan seperti kertas, plastik jenis PP
(Polypropylene)/plastik vacuum, kaleng, logam atau plastik alumunium, dan kaca.

2.2.3.5 Legalitas Produsen


Menurut Suliyanto (2010), kelayakan yang digunakan sebagai dasar aspek
hukum adalah ketika pelaku bisnis dapat memenuhi semua syarat ketentuan
hukum dan izin yang berlaku. Salah satu legalitas yang perlu dimiliki oleh
produsen makanan yaitu legalitas dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan) serta sertifikasi halal dari MUI. Ketentuan tentang pangan juga terdapat
pada Undang Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yang berbunyi “Setiap
orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan
pangan, dan atau bahan Bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan
yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu
memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan”.
Peraturan Kepala BPOM No 27 tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.
Registrasi diajukan untuk setiap pangan olahan termasuk yang memiliki
perbedaan dalam hal jenis pangan, jenis kemasan, komposisi, desain label, nama
dan/atau alamat produsen wilayah indonesia, nama dan/atau alamat
importir/distributor, nama dan/atau alamat produsen asal luar negeri Registrasi
pangan olahan BPOM melalui 2 tahap, diantaranya registrasi akun perusahaan
dan registrasi produk pangan olahan. Registrasi Pangan Olahan dilakukan dengan
cara elektronik/berbasis web melalui http://e-reg.pom.go.id.

2.2.3.6 BPOM dan MUI


Izin labelisasi dikeluarkan oleh BPOM berdasarkan sertifikat halal yang
diterbitkan oleh MUI dengan melalui beberapa tahapan proses sampai putusan
halal dikeluarkan. Sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang
telah dikeluarkan oleh badan penyelenggara jaminan produk halal yang
selanjutnya disingkat sebagai BPJPH. Pemasangan label halal terhadap produk
halal sangatlah penting, karena merupakan sumber informasi bagi konsumen.
Untuk itu para pelaku usaha hendaklah mengacu pada undang- undang nomor 18
tahun 2012 pasal 97 ayat 3, pada suatu label harus membuat sekurang-kurangnya
keterangan mengenai : a). Nama produk, b). Daftar bahan yang digunakan, c).
Berat bersih atau isi bersih, d). Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
mengimpor, e). Halal bagi yang dipersyaratkan, f). Tanggal dan kode produksi, g).
Tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa, h). Nomor izin edar bagi pangan olahan, i).
Asal usul bahan pangan tertentu (Syaifudin et al. 2022)
2.2.3.7 SOP Pekerja
a. SOP (standar operasional prosedur) pada penerimaan daging dari pusat.
Orang yang terlibat dalam penerimaan daging dari pusat. Berikut Standar
Operasional Prosedur (SOP) alur penerimaan daging antara lain :
1) Menerima daging kiriman dari pusat di meja terima dan tidak
boleh diletakan di lantai
2) Mengecek kualitas daging yang diterima dari dapur pusat
3) Mengecek potongan daging tidak bau dan masih segar
4) Tolak atau kembalikan jika tidak sesuai dengan spesifikasi yang
telah ditentukan
5) Tulis dinota tanda terima daging yang diterima sesuai jumlah
daging yang diterima
6) Disimpan ke dalam freezer
b. Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pelayanan konsumen
Pelayanan konsumen adalah kegiatan operasional yang dilakukan di outlet
yang bertujuan untuk menyambut, melayani, dan memuliakan konsumen
yang datang agar mendapat pelayanan kepuasan yang dapat dapat
berdampak pada restoran :
1) Memberikan senyuman kepada setiap konsumen
2) Selalu bersikap ramah kepada konsumen yang baru datang
3) Mengucapkan salam kepada konsumen yang baru datang
4) Menyampaikan prosedur pemesanan
5) Memastikan kenyamanan setiap konsumen
6) Mengucapkan terima kasih kepada konsumen yang hendak
meninggalkan outlet
7) Melakukan koordinasi kepada petugas parkir untuk waktu
operasional buka serta menutup akses konsumen yang datang
ketika antrian konsumen panjang (Jannah 2021).

2.2.3.8 Desain dapur/Rumah Produksi (HACCP)


Pengertian kitchen menurut Sihite dalam Widyastuti (2012) adalah sebuah
ruangan di mana di dalamnya terdapat beberapa fasilitas perlengkapan untuk
memasak. Fungsi Utama Kitchen Fungsi utama kitchen atau dapur menurut Sihite
dalam Widyastuti(2012) adalah:
a. Pusat kegiatan proses bahan baku makanan di hotel.
b. Pusat kegiatan pengolahan makanan di hotel.
c. Pusat kegiatan masak-memasak makanan di hotel.
d. Tempat menghasilkan resep yang baku suatu hidangan di hotel.
e. Alat pengukur reputasi dan image hotel, melalui pengolahan makanan.
Gambar 3 Layout dapur menurut Racmadia et al. (2018).

2.2.3.9 Sanitasi Rumah Produksi


Persyaratan higiene sanitasi merupakan salah satu persyaratan standar
mutu dan keamanan pangan yang wajib dilaksanakan oleh setiap pelaku usaha
rumah makan dan restoran. Ini merupakan bentuk standardisasi TPM rumah
makan dan restoran yang menghasilkan produk pangan olahan siap saji, dengan
tujuan agar produk yang dihasilkan memenuhi standar dan aman dikonsumsi oleh
konsumen. Bukti pemenuhan syarat adalah berupa sertifikat laik higiene
sanitasi/sertifikat laik sehat. Pemenuhan syarat higiene sanitasi pada TPM serta
produk pangan yang dihasilkannya adalah hal mutlak yang harus dilaksanakan
oleh setiap rumah makan dan restoran sebagai kewajibannya. Mulai dari
pemilihan dan penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, kebersihan
dan kesehatan personil/tenaga kerja, kebersihan dan lokasi dan bangunan,
pengangkutan hingga penyajian makanan dan minuman kepada konsumen.
Kesalahan/kelalaian rumah makan dan restoran dalam melaksanakan pemenuhan
persyaratan higiene sanitasi, dapat mengakibatkan terjadinya berbagai kasus yang
merugikan konsumen (Tanurahardja dan Fugen 2020)
2.2.3.10 Bahan atau komponen additional
Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan sayuran rempah yang
digunakan sebagai bumbu/penyedap masakan sehari-hari. Standar Nasional
Indonesia (SNI) 01-3160-1992. umbi dari tanaman bawang putih (Allium sativum
L) yang terdiri dari siung-siung bernas, kompak, dan masih terbungkus oleh kulit
luar, utuh, segar, sehat, dan bersih. Bawang putih memiliki aroma dan rasa yang
khas. Beberapa persyaratan umum yang harus dipenuhi diantaranya, yaitu umbi
sehat dan utuh/kompak dengan panjang tangkai umbi tidak lebih dari 2 cm dari
leher umbi, bersih dan bebas dari kotoran, bebas dari kerusakan, bebas dari bau
asing, bentuk, warna dan rasa sesuai karakteristik varietasnya, umbi bebas dari
tunas dan akar telah mencapai kering simpan, memenuhi ketentuan devitalisasi
(panjang tangkai umbi minimum 2 cm dari leher umbi dan umbi bebas dari tunas
dan akar), umbi dipanen setelah memenuhi kriteria panen sesuai karakteristik
varietas dan lokasi tanam. Adapun persyaratan khusus yang dibagi menjadi kelas
super, kelas 1, dan kelas 2.
Mentega adalah produk berbentuk padat lunak yang dibuat dari lemak
susu atau krim susu atau campurannya dan atau tanpa penambahan garam (NaCl)
atau bahan tambahan makanan yang diizinkan. Mentega diatur dalam SNI
01-3744-1995. Beberapa syarat umum pada mentega, yaitu memiliki bau, rasa,
dan penampakan pada suhu dibawah 30°C dengan normal, kadar air maksimal
16%, lemak susu minimal 80%, asam lemak bebas sebagai asam butirat maksimal
5%, garam dapur (NaCl) maksimal 4%, dan lain-lain. Adapun bahan makanan
lain seperti lada hitam (Piper nigrum L.) yang dipetik setelah sebagian besar buah
lada matang petik untuk lada hitam dan telah mengalami perontokan dan
pengeringan. Lada hitam diatur dalam SNI 01-0005-1995. Beberapa syarat pada
lada hitam yang harus dipenuhi, yaitu bebas dari serangga hidup/mati, bebas dari
bagian yang berasal dari binatang, kadar benda asing maksimal 1%, kadar biji
enteng maksimal 2-3%, kadar cemaran kapang maksimal 1%, dan kadar air
maksimal 13-14%.
Garam merupakan produk bahan makanan yang berbentuk padat dengan
komponen utamanya natrium klorida (NaCl) dengan penambahan fortifikasi
kalium iodat (KlO3). Garam diatur dalam SNI 01-3556-2000. Beberapa
persyaratan mutu garam konsumsi beryodium yang harus dipenuhi, yaitu kadar air
maksimal 7%, kadar NaCl minimal 94%, kadar iodium minimal 30 mg/kg, bagian
yang tidak larut dalam air maksimal 5%, dan lain-lain. Garam perlu dikemas
dalam wadah yang rapat, kuat, dan tidak mempengaruhi isi dan aman.
2.2.3.11 Pengolahan limbah (misal minyak, plastik, dll)
Pengolahan limbah organik yang mudah membusuk di TPA (Tempat
Pemrosesan Akhir limbah) akan membutuhkan biaya yang tinggi dan juga lahan
yang luas. Permasalahan tersebut dapat diminimalisir dengan pengolahan limbah
organik menggunakan metode conductive drying (pengeringan) sehingga dapat
mengurangi volume dan proses pembusukan limbah sisa makanan dikarenakan
kadar air dan kadar organik berkurang. Metode conductive drying merupakan
metode pemanasan dengan sistem pemanas yang terpisah dari bahan yang akan
dikeringkan sehingga disebut dengan pengeringan tidak langsung (indirect
drying) (Naryono dan Soemarno 2013). Metode conductive drying digunakan
pada alat Food Waste Recycler sehingga alat ini selain dapat mengurangi volume,
kadar air dan kadar organik dari limbah organik, dapat juga merubah karakteristik
fisik (warna, bau, dan massa) dan kimia (suhu, pH, kadar air, kadar volatil,
nitrogen total, phosphor, kalium, karbon organik, dan rasio C/N) limbah sisa
makanan daging dan tulang yang dipengaruhi oleh suhu dan waktu.

2.2.3.12 Moda transportasi darat (serving goods)


Metode distribusi setelah makanan dikemas yaitu dengan menempatkan
pada tray dan dimasukkan di dalam holding chiller kemudian diisi dengan dry ice
lalu dikirim menggunakan kendaraan hi-lift truck/ kijang box.

2.2.4 Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sehingga terhadap konsumen diperlukan
adanya perlindungan hukum untuk mendapatkan hak-haknya sebagai konsumen.
Perlindungan terhadap Konsumen dipandang secara materil maupun formil makin terasa
sangat penting, mengingat makin laju nya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau
jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar
dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka
Konsumen lah yang pada umumnya merasakan dampaknya.

2.2.4.1 Perlindungan Hak Konsumen


Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin segala
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen. Tetapi apakah
sesuai kenyataan saat ini konsumen benar-benar dapat terlindungi dan lebih
mengecewakan yang terjadi konsumen sering dianaktirikan oleh para produsen.
Padahal secara nyata Pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 merumuskan bahwa asas
Perlindungan Konsumen adalah :
1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun
spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk dilindungi oleh


negara.Menurut komunitas Masyarakat Ekonomi Eropa (Europese Economische
Gemeenschap atau EEG) terdapat lima hak dasar konsumen, yaitu hak
perlindungan kesehatan dan keamanan, hak perlindungan kepentingan ekonomi,
hak mendapat ganti rugi, hak atas penerangan, dan hak untuk didengar.
Rumusan pasal-pasal UU Nomor 8 Tahun 1999, telah mengatur Hak-hak
konsumen dan pelaku usaha, Meskipun realitanya, terkadang konsumen seringkali
berada pada posisi yang kurang menguntungkan dan daya tawarnya rendah. Ini
karena mereka belum memahami hak-hak mereka dan terkadang sudah
menganggap itu persoalan biasa saja.Untuk Lembaga perlindungan Konsumen
swadaya masyarakat adalah lembaga advokasi kepentingan konsumen yang secara
ideal mampu memperjuangkan hak-hak konsumen, adapun sesuai dengan Pasal 4
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasatersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Kesadaran konsumen akan hak haknya masih rendah, hal ini dipengaruhi
beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan yang belum memenuhi standar wajib
karenanya belum dapat dianggap sebagai konsumen yang cerdas. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pendidikan dan pembinaan
konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak gampang menyadarkan
pelaku usaha yang telah mendarah daging berpegang teguh dengan prinsipnya,”
mengeluarkan barang atau modal minimal tetapi mendapatkan keuntungan yang
semaksimal mungkin. Kondisi ini sangat potensial merugikan kepentingan
konsumen secara langsung maupun tidak langsung.
Maka dengan demikian konsumen pun perlu memiliki dan meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan untuk melindungi dirinya.
Sosialisasi Undang-undang perlindungan konsumen harus secara gencar
dilakukan terutama kepada masyarakat tingkat bawah dan berpendidikan rendah.
Karena permasalahan- permasalahan ini tentu akan terjadi akibat dari
ketidakpahaman konsumen. Untuk peningkatan kesadaran dan kewaspadaan
konsumen, sesuai rumusan Pasal 5 Undang-undang perlindungan konsumen,
memiliki kewajiban sebagai berikut :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Seperangkat penegakan hukum ada untuk melindungi konsumen dan tidak
dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, namun timbal balik ini
perlindungan konsumen dapat mendorong iklim perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas.
Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan konsumen tetap memberikan perhatian
khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya
pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Disamping itu sesuai Pasal
6 Undang-undang Perlindungan konsumen, merumuskan hak pelaku usaha
adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenaikondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya,adapun sesuai pasal 7, merumuskan kewajiban pelaku usaha
adalah :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.

Peran lembaga Perlindungan Konsumen swadaya masyarakat, yang


bergerak di bidang perlindungan konsumen menjadi sangat dibutuhkan dalam
masyarakat, perannya yang diakui oleh pemerintah memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Lembaga
perlindungan konsumen swadaya Masyarakat ini berdiri atas perintah
undang-undang dan diakui keberadaannya dan memiliki kegiatan sebagaimana
rumusan Pasal 44 Undang-undang Perlindungan Konsumen, antara lain :
1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa.
2. Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya.
3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen.
4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.

Disisi lain Lembaga Pengawasan dan/atau instansi pemerintah dapat


dianggap bertanggung jawab terhadap pengawasan peredaran barang-barang dan
jasa yang dikonsumsi masyarakat seperti, BPOM, DINKES dan departemen
terkait yang mengeluarkan izin produksi, perdagangan dan peredaran suatu
produk. Tidak mudah dikibuli oleh pelaku usaha yang akhirnya merugikan
konsumen.

2.2.4.2 Good Retail Practices (GRP)


Penanganan produk pangan yang dipasarkan secara wholesale/retail guna
menjaga kualitas dan keamanan produk mencakup pengemasan (repack),
penanganan, penyimpanan, pelabelan, display, sanitasi/kebersihan tempat, dan
kebersihan personal. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 pasal 8
menyebutkan bahwa pedoman cara ritel pangan yang baik atau Good Retailing
Practices adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan pangan. Secara
lebih jelas GRP dalam bidang pangan dapat didefinisikan sebagai praktek-praktek
yang dianjurkan dalam usaha ritel untuk menjamin bahwa produk pangan yang
dijual di ritel tersebut adalah aman, bebas dari risiko yang dapat mengganggu
kesehatan manusia sambil juga memperhatikan kesehatan dan keselamatan
pekerja dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Menurut PP No 28 tahun 2004 pasal 8 dapat dilakukan antara lain dengan:


1. Mengatur cara penempatan pangan dalam lemari gerai dan rak
penyimpanan agar tidak terjadi pencemaran silang.
2. Mengendalikan stok penerimaan dan penjualan.
3. Mengatur rotasi stok pangan sesuai dengan masa kadaluarsanya.
4. Mengendalikan kondisi lingkungan penyimpanan pangan khususnya yang
berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara. Di lapangan
praktek-praktek yang dilakukan diantaranya adalah :
a. Pengendalian suhu (cold room, frozen room, showcase, dan
sebagainya).
b. Penerapan metode kerja dan penggunaan bahan baku yang baik
(termasuk didalamnya pengaturan penyimpanan, penempatan, dan
rotasi stok).
c. Pengemasan dan pelabelan.
d. Program pencucian dan kebersihan (ruangan, mesin, alat serta
barang lain yang kontak dengan makanan termasuk penggunaan
bahan kimia dan peralatan).
e. Pengendalian hama dan penyakit.
f. Pengelolaan sampah dan barang tarikan (breakage)
g. Hygiene personal: kebersihan pribadi, pakaian seragam, kebiasaan
cuci tangan, penggunaan perhiasan, penggunaan masker dan
sarung tangan.
h. Audit pemasok terutama untuk private brand.
i. Manajemen sanitasi dan hygiene.

Menurut Pasal 8 PP No. 28 Tahun 2004, hal tersebut dapat dicapai dengan:
(1) mengatur tata cara penempatan pangan dalam lemari penyimpanan dan rak
penyimpanan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang; (2) pengendalian
stok yang masuk dan keluar; (3 ) Standarisasi rotasi stok gabah sesuai umur
simpan; (4) Kontrol kondisi lingkungan penyimpanan pangan terutama yang
berkaitan dengan suhu, kelembaban dan tekanan udara. Praktik yang dilakukan di
lokasi antara lain (1) pengendalian suhu (ruang dingin, freezer, etalase, dll), (2)
penerapan metode kerja dan penggunaan bahan baku yang baik (termasuk
pengaturan penyimpanan, penempatan dan rotasi stok), (3) pengemasan dan
pelabelan, (4) program pencucian dan pembersihan (ruangan, mesin, peralatan,
dan item lain yang bersentuhan dengan makanan, termasuk penggunaan bahan
kimia dan peralatan), (5) pengendalian hama, (6) pengelolaan limbah dan
pengangkutan kargo (kerusakan).
DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1987. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-0220-1987
tentang Air Minum. Jakara: Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-6159-1999
tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakara: Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 3932:2008 Mutu Karkas dan Daging Sapi.
Jakarta (ID) : BSN.
[PP] 2019. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan
Pangan. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
[PP] 1996. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
Jakarta: Pemerintah Indonesia
[Permen] 2006. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan.
Jakarta: Pemerintah Indonesia.
[Permen] 2014. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
tentang Baku Mutu Air Limbah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
[Permen] 2021. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2021 tentang
Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko Sektor Pertanian. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Abdal A, Nurdin I. 2020. Kebijakan keamanan pangan indonesia: analisis kebijakan impor sapi
dan daging sapi dari australia periode 2013-2017. Sosiohumaniora. 22(1): 96-104.
Damayanti VP. 2018. Quality control dalam meningkatkan kualitas produk perusahaan pada
perusahaan pusat oleh-oleh haji dan umroh di kawasan religi sunan ampel surabaya. Jurnal
Studi Manajemen. 4(1): 1-24.
Daryanto A, Hafizrianda Y. 2018. Model-Model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan
Ekonomi Daerah: Konsep dan Aplikasi. Bogor (ID): IPB Press.
Deswita FS, Razali, Ismail. 2018. Penilaian kelengkapan dan fasilitas sanitasi, prosedur
pemotongan dan higiene pribadi di rumah pemotongan hewan kota banda aceh. JIMVET.
2(1):188-195
Erwin IM. 2007. Perancangan sistem monitoring pengolahan limbah cair pada ipal. Jurnal
INKOM. 1(2): 68-72. doi:10.14203/j.inkom.14.
Farisandi NA. (2018). Analisis nilai tambah (value added) rantai pasok daging sapi
menggunakan metode hayami (studi kasus di rph karangrejo banyuwangi) [disertasi].
Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Fayaqun R, Sulistiyaningsih F. 2021. Pemetaan jaringan logistik daging sapi di kotamadya
bandung. Majalah Ilmiah UNIKOM. 19(2): 77-85.
Fitri M, Nuraini H, Priyanto R, Endrawati YC. 2019. Implementasi higiene sanitasi pada rph
kategori i sebagai syarat produksi daging sehat. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil
Peternakan. 9(3): 138-143. doi:10.29244/jitpthp.9.3.138-143.
Gading BMWT, Adib NR, Edi S. 2021. Studi kasus: permasalahan limbah di tempat pemotongan
hewan (tph) amessangeng, kota sengkang. Jurnal Triton. 12(1): 68-77.
Gaznur ZM, Nuraini H, Priyanto R. 2017. Evaluasi penerapan standar sanitasi dan higiene di
rumah potong hewan kategori ii. Jurnal Veteriner. 18(1): 107-115.
doi:10.19087/jveteriner.2017.18.1.107.
Hidayana A. 2019. Peran sistem informasi logistik dalam kegiatan transportasi trucking pt.
suzuyo indonesia oleh pt. samudera bandar logistik [skripsi]. Semarang (ID): Universitas
Maritim Amni.
Irwansyah I, Nealma S, Sudirman S, Sukarne S. 2022. Supply chain analysis of beef from
slaughterhouse to end consumers (case study: bangkong slaughterhouse). Jurnal Biologi
Tropis. 22(3): 883-888.
Ismareni AM. 2019. Kajian rantai pasok dan pemasaran daging sapi di kabupaten mempawah.
Jurnal Social Economic of Agriculture. 7(1): 100-110.
Jannah N. 2021. Budaya organisasi di waroeng steak and shake cabang semarang perspektif
dakwah [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Islam Negeri Walisongo.
Johan E, Kodrat DS. 2019. Faktor-faktor pembentukan quality control kesegaran daging pada
perusahaan akuna. Jurnal Manajemen dan Start Up Bisnis. 4(3): 416-424.
Naryono E, Soemarno. 2013. Pengeringan sampah organik rumah tangga. Indonesian Green
Technology Journal. 2(2): 61-69.
Nazhar V, Rasyad B, Rosyidi D, Widati AS. 2012. Pengaruh lama pemanggangan dalam
microwave terhadap kualitas fisik steak daging ayam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil
Ternak. 7(1): 6-11.
Narváez-Bravo CA, Rodas-González Y, Fuenmayor C, Flores-Rondon G, Carruyo M, Moreno A,
Perozo-Mena P, Hoet AE. 2013. Salmonella on feces, hides and carcasses in beef slaughter
facilities in venezuela. International Journal of Food Microbiology. 166: 226-230.
Ollong AR, Palulungan JA, Arizona R. 2020. Analisis jumlah coliform dan faecal coli (mpn)
pada daging sapi dan ayam di kota manokwari. JIPVET. 10(2): 113-118.
Pemerintah Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012
tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Jakarta: Pemerintah
Indonesia.
Pertiwi AF, Soenarno MS. 2020. Persepsi masyarakat desa situgede kota bogor terhadap daging
sapi beku impor dan daging sapi segar lokal. Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat (PIM). 2(5):
850-859.
Pongoh M. 2016. Analisis penerapan manajemen rantai pasokan pabrik gula aren masarang.
Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan Akuntansi. 4(3): 651-781.
Prambudi SBF, Salundik S, Muladno M. 2020. Potensi pemanfaatan limbah peternakan sapi
pedaging di spr (sekolah peternakan rakyat) ngudi rejeki, kabupaten kediri. Jurnal Pusat
Inovasi Masyarakat. 2(3): 343-347.
Purnamasari L, Sari VK, Khasanah H. 2022. Penguatan pembibitan sapi potong lokal dan
optimalisasi pengolahan limbah peternakan di desa klabang, bondowoso. Jurnal
Pengabdian Magister Pendidikan. 5(2): 71-75. doi:10.29303/jpmpi.v5i2.1564.
Putra PWK, Purwanto D, Zulaika E. 2021. Sistem kontrol suhu dan kelembaban dalam kulkas
untuk proses dry aging pada daging sapi menggunakan logika fuzzy. Jurnal Teknik ITS.
10(2): 244-251.
Racmadia, et al. 2018. Amerta Nutr. 17-28. DOI : 10.2473/amnt.v2i1.2018.17-28.
Rizal A, Nuraini H, Proyanto R, Muladno. 2014. Produktivitas karkas dan daging dengan teknik
penanganan karkas yang berbeda di beberapa rph [carcass and meat productivity with
different handling carcass technique at slaughterhouses]. Jurnal Ilmu Produksi dan
Teknologi Hasil Peternakan. 2(1): 201-206.
Sandi S, Purnama PP. 2017. Manajemen perkandangan sapi potong di desa sejaro sakti
kecamatan indralaya kabupaten ogan ilir. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 6(1): 12-19.
Sari EDA. 2018. Kandungan limbah cair berdasarkan parameter kimia di inlet dan outlet rumah
potong hewan (studi di rumah potong hewan kecamatan kaliwates kabupaten jember)
[skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember.
Soeka Y, Jumiono A. 2019. Studi penerapan produksi pangan yang baik (cppb) dan umur simpan
mi glosor di kota bogor. Jurnal Pangan Halal. 1(1): 22-32.
Susanawati LD, Wirosoedarmo R, Nasfhia SD. 2015. Analisa potensi penerapan produksi bersih
di rumah potong hewan kota malang. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 13(2):
22-30.
Syaiful FL. 2017. Pemberdayaan masyarakat melalui budidaya sapi potong terintegrasi sawit dan
penanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum Schaum) sebagai bahan pakan ternak di
nagari kinali kabupaten pasaman barat. UNES Journal of Community Service. 2(2):
142-149.
Saifudin S, Abrori A, Bahrudin B. 2022. Sumbangsih sertifikat halal dalam kontribusi usaha
pada waroeng steak and shake di lumajang. Al-Mansyur: Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Syariah. 1(2): 35-58.
Tanurahardja EJ, Fugen GA. 2020. Peran pembinaan dan pengawasan suku dinas kesehatan kota
administrasi jakarta barat dalam mendorong pelaku usaha rumah makan dan restoran untuk
memenuhi tanggung jawab atas tidak terlaksananya pemenuhan persyaratan higiene
sanitasi. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan. 5(02): 188-214.
Waddin AK. 2015. Pengelolaan sampah organik rumah pemotongan hewan, industri tahu,
peternakan, dan pasar di kecamatan krian kabupaten sidoarjo [skripsi]. Surabaya (ID):
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Widyastuti, Indah. 2012. Upaya Cheff Untuk Meningkatkan Efisiensi Waktu Pelayanan Kepada
Konsumen Di Warung Makan Khas Thailand “Phuket” Yogyakartao [skripsi]. Yogyakarta:
AKPAR BSI.
Zaenal HM, Khairil M. 2020. Sistem manajemen kandang pada peternakan sapi bali di cv enhal
farm. Jurnal Peternakan Lokal. 2(1): 15-19. doi:10.46918/peternakan.v2i1.831.
NOTULENSI KELOMPOK 6 PARALEL 4

Anggota:
Sulistiani Munggaran D2401201006 (Presenter)
Edi Kalvin Donta P. D2401201014 (Presenter)
Tiara Devika D2401201038 (Notulen)
Riani Rachmawati D2401201061 (Presenter)
Felia Dixa Restu Larasati D2401201064 (Presenter)
Rahmat Yulianto Setiyawan D2401201088 (Moderator)
Silva Aulia Hapsari D2401201100 (Operator)
Nurul Sri Wahyuni D2401201102 (Presenter)
Haykal Muhammad Istisyhad D2401201121 (Presenter)

Sesi Diskusi

Penanya 1: Sekar Ayu H R (D2-052)


Penjawab: Sulistiani M (D2-006)
Pertanyaan: Permasalahan yang ada di Indonesia mengenai flowchart, apa dan mengapa,
sarannya seperti apa?
Jawaban: Permasalah yang masih ada yaitu pada bagian dari transportasi ke RPH, karena
tidak mensejahterakan hewan yang dibawa dan yang terpenting hanya sampai di tempat
penerimaan. Kemudian bagian sanitasi, bangunan, dan transportasi belum memenuhi
standar. Sarannya adalah pemerintah harus lebih tegas dan memfokuskan terkait
standar-standar yang sudah disebutkan.

Penanya 2: Handi Saputra (D2-027)


Penjawab: Riani Rachmawati (D2-061)
Pertanyaan: Kenapa letak RPH harus jauh dari pemukiman penduduk dan bagaimana RPH
jika berada di dataran tinggi?
Jawaban: Jika RPH berada di dataran tinggi maka limbah cair akan mencemari lingkungan
yang berada dibawahnya dan jika RPH berada di dataran rendah maka harus jauh dari
pemukiman penduduk agar tidak mencemari lingkungan sekitar.

Anda mungkin juga menyukai