Anda di halaman 1dari 11

Laporan Praktikum Pengawasan Hari/tanggal : Senin, 22 Febriari 2021

Mutu Pakan Ke-1

REGULASI PAKAN SUMBER PROTEIN NABATI

Kelompok 2

Alisa Fuji Agustin D24180014


Raiza Tri Pangesti D24180026
Yayang Ila Yuliant D24180030
Gina Maulidarni Yusuf D24180034
Eka Puspitasari D24180045
Himmatin Khusna D24180055
Aripin D24180057
Novi Tri Ayuningsih D24180059
Indah Wahyuni Azizah D24180061
Farid Yazied D24180103

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2021
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam dunia
peternakan. Kualitas pakan bagi ternak dilihat dari kandungan proteinnya,
semakin tinggi dan lengkap proteinnya maka pakan tersebut semakin baik
(Sugiyono et al 2015). Protein merupakan nutrisi yang sangat penting bagi tubuh
ternak, Protein yang tidak dihasilkan dalam tubuh ternak harus diberikan melalui
bahan pakan. Bahan pakan sumber protein yang diberikan juga harus mengandung
asam amino yang lengkap serta berimbang sehingga penggunaan protein lebih
efisien. Bahan pakan sumber protein yang digunakan sebagai pakan ternak
merupakan pakan konvensional seperti bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil
inti sawit, tepung ikan, Meat Bone Meal (MBM), Poultry Meat Meal (PMM).
Protein yang dikonsumsi akan disintesis menjadi asam amino dan digunakan
untuk pembentukan daging sehingga bobot badan akan bertambah. Pertambahan
bobot badan sangat erat hubungannya dengan asupan protein ke dalam tubuh
ternak. Asupan protein dipengaruhi oleh konsumsi protein dan kecernaan protein,
semakin tinggi konsumsi protein dan kecernaan protein maka asupan protein
dalam tubuh ternak semakin tinggi, namun tingginya konsumsi protein akan
menyebabkan rendahnya rasio efisiensi penggunaan protein (Kingori et al 2003).
Rasio efisiensi protein akan menunjukkan tingkat koefisien seekor ternak untuk
mengubah setiap gram protein yang dikonsumsi menjadi pertambahan bobot
badan (Situmorang et al 2013).
Pemerintah telah membentuk Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang –undang ini sekaligus menggantikan
UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Standard Nasional Indonesia atas jenis pakan atau bahan pakan
ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Secara garis besar Permentan
22 Tahun 2017 mengatur bahwa semua pakan yang dibuat/diproduksi untuk
diedarkan baik yang diperdagangkan maupun tidak, wajib memiliki Nomor
Pendaftaran Pakan (NPP) serta Sertifikat Mutu dan Keamanan Pakan. Kelulusan
uji mutu dan keamanan pakan ditentukan oleh pemenuhan kandungan nutrisi dan
anti nutrisi pakan/bahan pakan seperti telah dipersyaratkan dalam Standar
Nasional Indonesia (SNI) atau Persyaratan Teknis Minimal (PTM) untuk pakan
yang belum mempunyai SNI. Penjaminan mutu dan keamanan pakan dapat
dilakukan secara berkelanjutan idealnya setiap 5 (lima) tahun sekali dilakukan
peninjauan.  
Tujuan

Praktikum ini bertujuan mengetahui penerapan regulasi bahan pakan


ternak sumber protein nabati di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Regulasi Bahan Pakan

Bahan pakan merupakan segala sesuatu yang dapat dimakan, dicerna dan
diserap baik oleh ternak tanpa menimbulkan keracunan bagi ternak itu sendiri.
Bahan pakan yang berasal dari tumbuhan maupun hewan dapat berupa hasil
maupun sisa produksi. Berdasarkan kandungan seratnnya bahan makanan ternak
dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni konsentrat dan hijauan. Kontrol
kualitas bahan pakan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan pada
industri peternakan. Tidak ada faktor lain yang lebih penting dan kritis yang
secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan keseimbangan
nutrisi dan performan ternak, selain kontrol kualitas pakan dan konsistensi
ransum. Tingkat kualitas suatu bahan baku pakan yang akan disusun menjadi
ransum dapat menjadi salah satu patokan untuk mengukur kualitas ransum yang
dihasilkan.
Regulasi bahan pakan merupakan suatu peraturan yang harus dibuat untuk
mengendalikan manusia atau masyarakat dengan batasan-batasan tertentu dengan
tujuan bahan pakan aman dan mendukung kegunaan bahan pakan. Regulasi bahan
pakan diberlakukan pada berbagai lembaga masyarakat, baik untuk keperluan
masyarakat umum maupun untuk bisnis. Regulasi yang mengatur dalam cara
prehensive pengendalian residu hewan (Animal By Products Regulation) telah
diperkenalkan di awal abad ke-21 (Jedrejek et al 2016). Regulasi terhadap
larangan mengekspor bahan baku pakan, sebelum kebutuhan lokal terpenuhi.
Sejalan dengan pengurangan ketergantungan impor bahan baku pakan, maka perlu
dilakukan pengawasan mutu dari bahan baku pakan. Pengawasan mutu pakan
serta bahan baku pakan perlu dilaksanakan dan ditingkatkan dengan menjaga
keamanan dan kualitas pakan yang beredar, disertai dengan adanya perangkat
kendali peraturan di bidang pakan yang lebih luas. Regulasi menentukan sistem
pelacakan pasokan pakan, prosedur evaluasi untuk umpan baru dan pemurnian
produk makanan impor (Coffey et al 2015).

Dasar Regulasi Bahan Pakan Sumber Protein


Pakan adalah bahan makanan baik tunggal maupun campuran, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk
kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang biak. Peredaran Pakan
merupakan kegiatan penyaluran pakan di dalam negeri atau ekspor, baik untuk
diperdagangkan maupun tidak diperdagangkan. Peraturan ini dimaksudkan
sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pendaftaran, pengujian, dan labelisasi
pakan, dengan tujuan agar pakan yang beredar di wilayah Negara Republik
Indonesia terjamin keamanannya dan memenuhi standar mutu pakan atau
persyaratan teknis minimal yang ditetapkan. Ruang lingkup dalam peraturan
meliputi persyaratan pendaftaran, tata cara pendaftaran, biaya pengujian,
pembinaan dan pengawasan, dan ketentuan sanksi.
Jangkauan pengaturan dalam peraturan meliputi, pakan unggas, pakan
ruminansia, pakan non ruminansia, dan pakan aneka ternak. Penyediaan pakan
dapat dilakukan melalui produksi dalam negeri dan/atau pemasukan dari luar
negeri. Sedangkan untuk pakan yang diproduksi, dimasukkan ke, dan/atau
dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia wajib didaftarkan setelah
memenuhi standar mutu pakan atau persyaratan teknis minimal. Selain
persyaratan teknis, pakan juga harus memenuhi persyaratan seperti berikut. Pakan
unggas dan non ruminansia (babi), tidak diperbolehkan menggunakan urea atau
nitrogen yang bukan protein sebagai campuran dalam formulasi pakan. Sedangkan
pakan konsentrat ternak ruminansia tidak diperbolehkan menggunakan bahan
baku pakan asal hewan ruminansia seperti tepung daging dan tulang (meat bone
meal) (Kementan 2009). Regulasi terhadap larangan mengekspor bahan baku
pakan, sebelum kebutuhan lokal terpenuhi. Sejalan dengan pengurangan
ketergantungan impor bahan baku pakan, maka perlu dilakukan pengawasan mutu
dari bahan baku pakan. Pengawasan mutu pakan serta bahan baku pakan perlu
dilaksanakan dan ditingkatkan dengan menjaga keamanan dan kualitas pakan
yang beredar, disertai dengan adanya perangkat kendali peraturan di bidang pakan
yang lebih luas.

Bungkil Kedelai

Bungkil kedelai merupakan limbah dari produksi minyak kedelai. Sebagai


bahan makanan sumber protein asal tumbuhan, bungkil ini mempunyai kandungan
protein yang berbeda sesuai kualitas kacang kedelai. Kisaran kandungan protein
bungkil kedelai mencapai 44-51%. Pada dasarnya bungkil kedelai dikenalsebagai
sumber protein dan energi (Nazilah 2004). Adapun kandungan nutrisi

bungkil kedelai dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini :

Tabel 1. Kandungan nutrisi bungkil kedelai


Sekitar 50% protein untuk pakan unggas berasal dari bungkil kedelai dan
pemakaiannya untuk pakan ayam pedaging berkisar antara 15-30%, sedangkan
untuk pakan ayam petelur 10-25% (Wina, 1999). Kandungan protein bungkil
kedelai mencapai 43-48%. Bungkil kedelai juga mengandung zat antinutrisi
seperti tripsin inhibitor yang dapat mengganggu pertumbuhan unggas, namun zat
antinutrisi tersebut akan rusak oleh pemanasan sehingga aman untuk digunakan
sebagai pakan unggas. Bungkil kedelai dibuat melalui beberapa tahapan seperti
pengambilan lemak, pemanasan, dan penggilingan (Boniran, 1999). Bungkil
kedelai yang baik mengandung air tidak lebih dari 12% (Hutagalung, 1999).Bahan
pakan sumber protein memiliki tingkat kelarutan yang berbeda-beda. Semakin
tinggi kelarutan protein dari suatu bahan, maka protein tersebut semakin tidak
tahan terhadap degradasi di dalam rumen.
Berdasarkan tingkat ketahanan protein di dalam rumen, bungkil kedelai
termasuk kelompok sumber protein dengan tingkat ketahanan rendah (<40%),
bersama-sama dengan kasein, bungkil kacang dan biji matahari (Khalil, 1999a)
dalam (Ali 2006 ). Oleh sebab itu bungkil kedelai memiliki nilai biologis yang
kurang memberikan arti bagi ternak ruminansia, disebabkan sebagian besar
protein kasar bungkil kedelai terfermentasi dalam rumen dan kurang dapat
dimanfaatkan oleh ternak. Untuk memperkecil degradasi protein bungkil kedelai
dari perombakan mikroba di dalam rumen, maka bungkil kedelai sebelum
diberikan pada ternak perlu mendapat perlindungan. Perlindungan dimaksudkan
untuk mengurangi perombakan protein oleh degradasi mikroba rumen tanpa
mengurangi ketersediaan amonia untuk sintesis protein mikroba dan tanpa
mengurangi kemampuan hidrolisis oleh enzim-enzim di dalam abomasum dan
usus. Perlindungan protein dari degradasi rumen dapat dilakukan dengan cara
pemanasan, pemberian formalin, tanin dan kapsulasi.
Bungkil kedelai mensuplai hampir 25% kebutuhan protein pada unggas
(McNoughton et al., 1981). Dibandingkan dengan sumber protein nabati
lainnya,kedelai mengandung lisin yang tinggi, namun memiliki pembatas tripsin
yang oleh banyak ahli dipandang sebagai inhibitor proteolitik yang paling penting
dalam pakan unggas karena menyebabkan ketersediaan beberapa asam amino
esensial terutama lisin dan argini menjadi berkurang (Renner et al., 1953).
Ditambahkan pula oleh Waldroup et al., (1985) bahwa penghambat tripsin
bukanlah satu-satu faktor dala kedelai mentah yang dapat mengambat
pertumbuhan.
Berdasarkan hasil penelitian Kakade et al., (1973) dalam Waldroup et al.,
(1985) bahwa perlakuan panas yang diberikan pada kedelai mentah menyebabkan
penghambat tripsin berkurang bahkan sampai hilang, sehingga mampu
meningkatkan protein efisiensi rasio (PER) sebesar 40%. Selain penghambat
tripsin, berkurangnya ketersediaan asam amino dan penurunan nilai nutrisi dalam
bungkil kedelai disebabkan pula oleh proses pemanasan yang berlebih.

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa merupakan limbah dari pengolahan minyak kelapa dan


sudah banyak digunakan sebagai bahan penyusun ransum,, akan tetapi
pemanfaatannya belum optimal. Hal ini disebabkan tingginya kandungan serat
kasar dalam bungkil kelapa sehingga menyebabkan ketersediaan zat gizi yang
rendah. Zamora dkk. (1989) melaporkan bahwa bungkil kelapa umumnya
mengandung protein kasar sekitar 20% dan kandungan serat kasar yang cukup
tinggi yaitu sekitar 23,5±25,5% yang terdiri atas fraksi selulosa 13%,
galaktomanan 61% dan manan 26%. Di samping pati sebagai bahan karbohidrat,
beberapa spesies palem mengandung sejumlah D-manopiranosa yang berikatan B-
4 terutama dalam bentuk polisa-karida manan. Manan secara fisik merupakan
molekul seperti pita tetapi lebih fleksibel dan kurang kuat dibandingkan dengan
selulosa, lurus dan bisa diperpanjang (Warren, 1996).
Umumnya manan dari pohon spesies palem sangat keras serta tinggi
kristalinnya, dan tidak larut dalam air. Galaktomanan dan manan dalam ransum
telah teridentifikasi sebagai anti nutrisi karena bahan ini meningkatkan viskositas
ransum akibat kemampuan penyerapan airnya sangat tinggi sehingga laju enzim
untuk mencapai substratnya dan laju nutrien untuk mencapai dinding usus
menjadi menurun sehingga penyerapan nutrisi berkurang (Dingle, 1995; Kumar et
al., 1997). Effective microorganism-4 (EM-4) adalah suatu campuran
mikroorganisme yang bermanfaat terutama mengandung bakteri fotosintetik, asam
laktat, Actinomycetes, jamur, kapang dan ragi (Arifin, 2003). Struktur penyusun
EM-4 merupakan mikroba yang menguntungkan, dapat bertahan dalam kondisi
asam dengan pH di bawah 3,5. Mikrobamikroba ini mampu memberikan fungsi
yang beraneka ragam yang dapat mempengaruhi budidaya peternakan, produksi
panen dan perlindungan terhadap lingkungan.Penelitian sebelumnya (Mairizal,
2003) dilaporkan bahwa fermentasi bungkil kelapa dengan menggunakan kapang
Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein dari 22,41% menjadi
35,27% dan menurunkan serat kasar dari 15,15% menjadi 10,24%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan Pakan adalah bahan hasil pertanian, perikanan, Peternakan, atau


bahan lain serta yang layak dipergunakan sebagai Pakan, baik yang telah diolah
maupun yang belum diolah. Bahan Pakan Asal Tumbuhanadalah bahan yang
berasal dari tumbuhan baik yang diolah maupun yang belum diolah.Bahan pakan
asal impor untuk pembuatan pakan ternak, harus memenuhi kriteria: a. berasal
dari negara yang bebas dari penyakit hewan menular serta bebas dari organisme
pengganggu tumbuhan atau organisme pengganggu tumbuhan karantina; b.
dilengkapi dengan phytosanitary certificate dan atau health certificate; dan c.
dilengkapi dengan certificate of origin, certificate of analysis dan keterangan
perlakuan furnigasi untuk bahan pakan biji-bijian (Kemenkeu 2017).
Bahan Pakan Asal Tumbuhan yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia bebas dari (Organisme Pengganggu Tumbuhan) OPT,
(Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina) OPTK, agen penyakit hewan
menular, penyakit hewan eksotik, serta memenuhi persyaratan mutudan keamanan
bahan pakan. Pemasukan Bahan Pakan Asal Tumbuhan harus memenuhi
persyaratan administrasidan persyaratan teknis. Persyaratan Unit Usaha pemasok
Bahan Pakan Asal Tumbuhan paling sedikit menerapkan sistem jaminan mutu dan
keamanan Bahan Pakan Asal Tumbuhan sesuai dengan pedoman budidaya
tanaman yang baik (Good Agricultural Practices),atau pedoman penanganan yang
baik (Good Handling Practice) yang dibuktikan dengan sertifikat jaminan mutu.
Untuk stabilisasi pasokan Bahan Pakan Asal Tumbuhan di dalam negeri, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dapat melakukan pemasukan (Kementan 2015).
Pengeluaran Bahan Pakan Asal Tumbuhan harus memenuhi persyaratan
administrasidan persyaratan teknis. Pelaku Usaha dalam melakukan Pengeluaran
Bahan Pakan Asal Tumbuhan harus memperoleh izin pengeluaran dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Jika di
Negara Asal terjadi wabah, pelaku usaha dapat mengajukan permohonan
pemasukan ulang dari negara lain yang bebas wabah OPT, OPTK dan PMK
kepada Direktur Jenderal sesuai dengan alokasi yang telah ditetapkan, dengan
melampirkan RP-I yang telah diterbitkan dan masih berlaku (Kementan 2015).
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Boniran, S. 1999. Quality control untuk bahan baku dan produk akhir pakan
ternak. Kumpulan Makalah Feed Quality Management Workshop.
American Soybean Association dan Balai Penelitian Ternak. hlm. 2-7.
Coffey D, Dawson K, Ferket P, Connolly A. 2015. Feed industry from a historical
perspective and implications for its future. Journal of Applied Animal
Nutrition. 4(3): 1-11.
Dingle, J.G. 1995. The use of enzymes for better performance of poultry. Proc.
Queensland Poultry Science Symposium 4. The University Queensland,
Gatton. Queensland.
Hutagalung, R.I. 1999. Definisi dan Standar Bahan Baku Pakan. Kumpulan
Makalah Feed Qualiy Management Workshop. American Soybean
Association dan Balai Penelitian Ternak. hlm. 2-13.
Jedrejek D, Levic J, Wallace, Olesek W. 2016. Animal by-product for feed :
hrcteristics. Europan regulatory framework, anda potential impact on
human and animal health and the environment. Jurnal of Animal and Feed
Sciences. 25(1): 189-202.
Kingori AM, Tuitoek, Muiruri, HK, Wachira, A.M., 2003. Protein requirements
of growing indigenous chickens during the 14 – 21 weeks growing period.
Jurnal Animal Science. 33 (2) : 78-82.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2009. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19
Tahun 2009 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pakan. Jakarta
(ID) : Kementan.
[Kementan] Kementrian Pertanian. 2015. Pemasukandan Pengeluaranbahan Pakan
Asal Tumbuhanke Dan Dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Jakarta
(ID) : Kementan.
[Kemenkeu] Kementrian Keuangan. 2017. Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menter! Keuangan Nomor 267 /Pmk.010/2015 Tentang Kriteria Dan/ Atau
Rincian Ternak, Bahan Pakan Untuk Pembuatan Pakan Ternak Dan Pakan
Ikan Yang Atas Impor Dan/Atau Penyerahannya Dibebaskan Dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta (ID) : Kemenkeu
Khalil. 1999a. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel terhadap Sifat Fisik
Pakan Lokal: Kerapatan Pemadatan tumpukan dan Berat Jenis: Buku
Media Peternakan. 22 (1) :1 -11.
Mairizal. 2003. Pengaruh penggunaan bungkil kelapa hasil fermentasi dengan
Aspergillus niger dalam ransum terhadap pertumbuhan ayam pedaging.
Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Edisi Spesial (Special Edition)
bulan Oktober 2003.
McNaughten, J.L., F.N. Reece, and J.W. Deaton. 1981. Relationships
betweencolour, trypsin inhibitor contents, and urease index of soybean
meal and effect on broiller performance. Poultry Sci. 60: 393-400.
Nazilah, R,. 2004. Kajian Interaksi Sifat Fisik dan Kimia Bahan Pakan Serta
Kecernaan Lemak pada Kambing. Skripsi Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor, Makassar. hlm 1-48.
[PERMENTAN] Peraturan Kementrian Pertanian. 2017. Pendaftaran dan
Peredaran Pakan. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian RI.
Renner, R., D.R. Clandinin, and A.R. Robblee. 1953. Action of moisture on
damagedone during over-heating of soybean oil meal. Poultry Sci. 32:
582-585.
Situmorang NA, Mahfudz, L.D., Atmomarsono, U, 2013. Pengaruh pemberian
tepung rumput laut (Gracilaria verrucosa) dalam ransum terhadap efisiensi
penggunaan protein ayam broiler. Jurnal Animal Agriculture. 2 (2) : 49-
56.
Sugiyono, N., Elindratiningrum dan Primandini, Y. 2015. Determinasi energi
metabolis dan kandungan nutrisi hasil samping pasar sebagai potensi
bahan pakan lokal ternak unggas. Jurnal Agripet. 15 (1) : 41-45.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
Waldroup, P., B.E. Ramsey., H.M. Hellwing, and N.K. Smith. 1985.
Optimumprocessing for soybean meal used in broiller diets. Poultry Sci.
64: 2314- 2320.
Wina, E. 1999. Kualitas protein bungkil kedelai: Metode analisisdan hubungannya
dengan penampilan ayam. KumpulanMakalah Feed Quality Management
Workshop. AmericanSoybean Association dan Balai Penelitian Ternak.
hlm. 1-3.
Warren, R.A.J. 1996. Microbial hydrolisis of polisaccharides. Ann. Rev.
Microbiol. 50: 1-11.
Zamora, A.F., M.R. Calapardo, K.P. Rosario, E.S. Luis dan I.F. Dalmacio. 1989.
Improvement of copra meal quality for use in animal feeds. Proc.
FAO/UNDP workshop on biotechnology in animal production and health
in Asia and America Latin, pp : 312-320.

Anda mungkin juga menyukai