METODE PENGUJIAN KANDUNGAN DALAM BAHAN PAKAN TERNAK
RIZKI IDHAR ANWAR
201410350311042
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2019 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan memiliki peranan penting bagi ternak, baik untuk pertumbuhan ternak muda maupun untuk mempertahankan hidup dan menghasilkan produk (susu, anak, daging) serta tenaga bagi ternak dewasa. Fungsi lain dari pakan adalah untuk memelihara daya tahan tubuh dan kesehatan. Agar ternak tumbuh sesuai dengan yang diharapkan, jenis pakan yang diberikan pada ternak harus bermutu baik dan dalam jumlah cukup. Pakan yang sering diberikan pada ternak kerja antara lain berupa: hijauan dan konsentrat (makanan penguat). Adapun Keberhasilan usaha peternakan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : bibit, pakan, kesehatan hewan, manajemen dan sumber daya peternak. Pakan merupakan faktor yang paling berperan dalam usaha peternakan yaitu sekitar70 –80 % dari jumlah biaya produksi. Bahan pakan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap ternak. Sebagian besar bahan pakan terdiri dari unsur - unsur pokok yaitu air, mineral, karbohidrat, lemak dan protein. Kelima unsur ini dibutuhkan oleh hewan ternak dan manusia untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi dan hidup pokok. Makanan ternak berisi zat nutrisi dengan kandungan yang berbeda- beda karena itu perlu dilakukan analisis untuk mengetahui kualitas dan kuantitas zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak. Kualitas bahan pakan dan komponennya ini dapat dinilai melalui tiga tahapan penilaian, yaitu secara fisik, kimia, dan biologis. Dari Penjelasan di atas, maka Pengawasan berupa Pengujian mutu pakan dapat dilakukan secara uji fisik, uji kimia dan uji biologis. Umumnya pengujian yang banyak dilakukan adalah pengujian yang menggunakan kimia. Parameter uji ini adalah pengujian mutu pakan secara kasar yang prosedurnya mengacu pada metode Association of Official Analytical Chemists (AOAC) atau Standar Nasional Indonesia. Hasil uji ini dapat digunakan untuk mengetahui mutu pakan ternak dan akan disesuaikan dengan persyaratan mutu yang berlaku. Pakan yang bermutu sesuai standar belum tentu akan memberikan performance ternak yang baik, apabila tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternaknya. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan makalah kali ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui metode yang tepat tentang analisa bahan pakan 2. Untuk mengetahui macam-macam metode analisa bahan pakan BAB II PEMBAHASAN Kualitas nutrisi bahan makanan ternak merupakan faktor utama dalam menentukan kebijakan dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksinya. Kualitas nutrisi bahan pakan terdiri atas komposisi nilai gizi, serat dan energi serta aplikasinya pada nilai palatabilitas dan daya cerna. Penentuan komposisi nilai gizi secara garis besarnya dapat dilakukan dengan analisa proksimat, dimana dapat ditentukan kandungan air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N). Dengan analisa proksimat komponen-komponen fraksi serat tidak dapat tergambarkan secara terperinci berdasarkan manfaatnya dan kecernaan pada ternak. Untuk dapat menyempurnakannnya, komponen-komponen serat tersebut dapat dianalisa secara terperinci dengan menggunakan analisa Van Soest. 2.1 Analisis Proksimat Analisis proksimat mulai dikembangkan oleh Wilhelm Henneberg dan asistennya Stohman pada tahun 1960 di laboratorium Wende di Jerman. Oleh karena itu analisis model ini dikenal juga dengan analisis Wendee. Pada prinsipnya bahan pakan terdiri atas dua bagian yaitu air dan bahan kering yang dapat diketahui melalui pemanasan pada suhu 105°C. Selanjutnya bahan kering ini dapat dipisahkan antara kadar abu dan kadar bahan organik melalui pembakaran dengan suhu 500°C ( Sutardi, 2012 ). Tujuan dari analisasi proksimat adalah untuk mengetahui persentase nutrien dalam pakan berdasarkan sifat kimianya, diantaranya kadar air, protein, lemak, serat, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (Aslamsyah, 2017). 1. Kadar Air Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari bahan pangan tersebut. Oleh karena itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang tepat. Banyaknya kadar air dalam suatu bahan pakan dapat diketahui bila bahan pakan tersebut dipanaskan pada suhu 105⁰C. Bahan kering dihitung sebagai selisih antara 100% dengan persentase kadar air suatu bahan pakan yang dipanaskan hingga ukurannya tetap (Anggorodi, 1994). Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis). Metode pengeringan melalui oven sangat memuaskan untuk sebagian besar makanan, akan tetapi beberapa makanan seperti silase, banyak sekali bahan-bahan atsiri (bahan yang mudah terbang) yang bisa hilang pada pemanasan tersebut (Winarno, 1997). 2. Kadar Abu Analisa kadar abu bertujuan untuk memisahkan bahan organik dan bahan anorganik suatu bahan pakan. Kandungan abu suatu bahan pakan menggambarkan kandungan mineral pada bahan tersebut. Menurut Cherney (2000) abu terdiri dari mineral yang larut dalam detergen dan mineral yang tidak larut dalam detergen Kandungan bahan organik suatu pakan terdiri protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Jumlah abu dalam bahan pakan hanya penting untuk menentukan perhitungan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Kandungan abu ditentukan dengan cara mengabukan atau membakar bahan pakan dalam tanur, pada suhu 400-600oC sampai semua karbon hilang dari sampel, dengan suhu tinggi ini bahan organik yang ada dalam bahan pakan akan terbakar dan sisanya merupakan abu yang dianggap mewakili bagian inorganik makanan. Namun, abu juga mengandung bahan organik seperti sulfur dan fosfor dari protein, dan beberapa bahan yang mudah terbang seperti natrium, klorida, kalium, fosfor dan sulfur akan hilang selama pembakaran. Kandungan abu dengan demikian tidaklah sepenuhnya mewakili bahan inorganik pada makanan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif (Anggorodi, 1994). 3. Protein Kasar Kadar protein pada analisa proksimat bahan pakan pada umunya mengacu pada istilah protein kasar. Protein kasar memiliki pengertian banyaknya kandungan nitrogen (N) yang terkandung pada bahan tersebut dikali dengan 6,25. Definisi tersebut berdasarkan asumsi bahwa rata-rata kandungan N dalam bahan pakan adalah 16 gram per 100 gram protein (NRC, 2001). Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan nitrogen bahan pakan kemudian dikali dengan faktor protein 6,25. Angka 6,25 diperoleh dengan asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen. Kelemahan analisis proksimat untuk protein kasar itu sendiri terletak pada asumsi dasar yang digunakan. Pertama, dianggap bahwa semua nitrogen bahan pakan merupakan protein, kenyataannya tidak semua nitrogen berasal dari protein dan kedua, bahwa kadar nitrogen protein 16%, tetapi kenyataannya kadar nitrogen protein tidak selalu 16% (Soejono, 1990). Menurut Siregar (1994) senyawa-senyawa non protein nitrogen dapat diubah menjadi protein oleh mikrobia, sehingga kandungan protein pakan dapat meningkat dari kadar awalnya. Sintesis protein dalam rumen tergantung jenis makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Jika konsumsi N makanan rendah, maka N yang dihasilkan dalam rumen juga rendah. Jika nilai hayati protein dari makanan sangat tinggi maka ada kemungkinan protein tersebut didegradasi di dalam rumen menjadi protein berkualitas rendah. 4. Lemak Kasar Metode yang digunakan antara lain extraksi soxhlet dengan pelarut lemak petroleum ether. Analisis lemak dipergunakan istilah lemak kasar karena dalam analisis ini yang diperoleh adalah suatu zat yang larut dalam proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik antara lain ether, petroleum ether atau chloroform. Kemungkinan yang terlarut dalam pelarut organik ini bukan hanya lemak tetapi juga antara lain : glyserida, chlorophyl, asam lemak terbang, cholesterol, lechitin dan lain-lain dimana zat-zat tersebut tidak termasuk zat makanan tetapi terlarut dalam pelarut lemak 5. Serat Kasar Serat kasar mempunyai pengertian sebagai fraksi dari karbohidrat yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan masing- masing 30 menit. Termasuk dalam komponen serat kasar ini adalah campuran hemisellulosa, sellulosa dan lignin yang tidak larut. Dalam analisa ini diperoleh fraksi lignin, sellulosa dan hemisellulosa yang justru perlu diketahui komposisinya khusus untuk hijauan makanan ternak atau umumnya pakan berserat. Untuk memperoleh data yang lebih akurat tentang fraksi lignin dan sellulosa dapat dilakukan analisa lain yang lebih spesifik dengan metode analisa serat Van Soest 6. Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan bagian karbohidrat yang mudah dicerna atau golongan karbohidrat non-struktural. Karbohidrat non- struktural dapat ditemukan di dalam sel tanaman dan mempunyai kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat struktural. Gula, pati, asam organik dan bentuk lain dari karbohidrat seperti fruktan termasuk ke dalam kelompok karbohidrat non-struktural dan menjadi sumber energi utama bagi sapi perah yang berproduksi tinggi. Kemampuan karbohidrat non-struktural untuk difermentasi dalam rumen nilainya bervariasi tergantung dari tipe pakan, cara budidaya dan pengolahan (NRC, 2001). Menurut Cherney (2000) bahan ekstrak tanpa nitrogen tersusun dari gula, asam organik, pektin, hemiselulosa dan lignin yang larut dalam alkali. 7. Penyajian Analis Proksimat Dalam menyajikan data komposisi zat makanan dari analisa proximat dapat dilakukan dalam komposisi persen berdasarkan segar (dikembalikan dengan menghitung berat awal segar), kering matahari (untuk ransum dan butiran/bijian serta limbah industrinya) dan berdasarkan bahan kering. Data berdasarkan bahan kering ini dipergunakan untuk membandingkan kualitas antar bahan makanan ternak. Manfaat lain dari komposisi data proximat adalah untuk menduga koefesien cerna (berdasarkan rumus Schneider) dan menghitung TDN berdasarkan NRC (Tim Laboratorium, 2012).
2.2 Analisis Van Soest
Metode ini digunakan untuk mengestimasi kandungan serat dalam pakan dan fraksi-fraksinya kedalam kelompok-kelompok tertentu didasarkan atas keterikatanya dengan anion atau kation detergen (metode detergen). Metode ini dikembangkan oleh Van Soest (1963), kemudian disempurnakan oleh Van Soest dan Wine (1967) dan oleh Goering dan Van Soest (1970). Tujuan awalnya metode ini adalah untuk menentukan jumlah kandungan serat dalam pakan ruminan tetapi kemudaian dapat digunakan juga untuk menentukan kandungan serat baik untuk nonruminant maupun dalam pangan. Metode detergen terdiri dari 2 bagian yaitu : Sistem netral untuk mengukur total serat atau serat yang tidak larut dalam detergen netral (NDF) dan sistem detergen asam digunakan untuk mengisolasi sellulosa yang tidak larut dan lignin serta beberapa komponen yang terikat dengan keduanya (ADF). 1. Peralatan Analis Van Soest Peralatan utama yang diperlukan untuk analisis ini adalah : 1). Gelas beaker : Kapasitas 600 ml, 2). Hot plate : 400 watt masing-masing untuk satu gelas dengan alat kontrol, 3). Kondensor : Alat pendingin ini berhubungan dengan air yang mengalir dan bentuknya biasanya bulat sehingga pas masuk dibagian mulut gelas beaker 600 ml, 4) Crusibel atau kertas saring. Peralatan pendukung lainnya adalah sama dengan alat yang digunakan waktu penentuan serat kasar. Penggunaan crusibel atau kertas akan menghasilkan nilai analisis yang sama apabila dilakukan dengan benar. Apabila menggunakan kertas saring biasanya akan ditempatkan pada cawan yang sudah ada bolongan dibagian bawahnya sehingga akan memudahkan waktu penyaringan dengan menggunakan vacum. Kehati-hatian sangat diperlukan dengan kertas saring dibanding dengan crusibel, dimana ketas saring mudah sobek juga ketika akan diangkat dari tempat penyaringan ketempat pengeringan. Tanur sebagai alat untuk pengabuan perlu juga diperhatikan dimana seharusnya suhu yang dicapai tidak melewati 500 oC, untuk itu alat pengontrol suhu sangat diperlukan. Suhu yang melewati 500oC bisa melelehkan crusibel dan kemungkinan mempengaruhi hasil perhitungan. 2. Bahan Kimia Pencampuran bahan kimia dalam sistem detergen ini memerlukan pengukuran yang benar dan tempat yang cukup memadai untuk pembuatan larutan sesuai dengan yang direncanakan, baik menyangkut volume maupun beratnya. Tabel 1. Larutan untuk Neutral-Detergent Fiber (NDF)
reagent grade Kalau menggunakan yang hydrous 10H2O 2-ethoxyethanol (ethylene glycol monoethyl 10 ml ether), purified grade
. Larutan dibuat pertama dengan cara melarutkan EDTA dan
Na2B4O7.10H2O. Kemudian ditambahkan Na2HPO4 atau Na2HPO4.10H2O, sambil diaduk dengan menggunakan stirer yang sekaligus berfungsi sebagai hot plate untuk mempermudah kelarutan. Ethylene glycol monoethyl ether ditambahkan sebagai mana perlunya untuk mengontrol busa supaya tidak berlebihan. Untuk memastukan larutan detergen ini netral bisa dilakukan pengecekan pH dan biasanya akan berkisar antara 6.9-7.1. Apabila larutan disimpan ditempat yang suhunya dibawah 18oC deterjen biasanya akan mengendap tetapi dpat dilarutkan kembali dengan pemanasan. Total larutan akan mencapai lebih dari volume yang dibuat karena adanya penambahan volume dari bahan kimia. Sebagai contoh apabila membuat larutan sebanyak 18 liter maka dengan adanya penambahan kimia tersebut total larutan bisa mencapai 18.5 liter. Untuk menganalisis bahan pakan atau pangan yang mengandung patinya sangat tinggi biasanya ditambahkan enzim pencerna pati seperti : Amyloglucosidase, hog pancreas amylase, Bacillus subtilis amylase dan termamyl. Tabel 2. Larutan untuk Acid-Detergent Fiber (ADF)
Acid Detergent Fiber (ADF)
Sulfuric acid 1 N, reagent grade, sebanyak 1 liter. 1 liter Apabila menggunakan H2SO4 murni tiap liter 49.04 gram larutan Cetyltrimethylammonium Bromida (CETAB), 20 gram technical grade Larutan ADF dibuat dengan cara pertama dibuat dulu larutan asam sulfat 0.5 M (1 N) dan boleh sedikit adanya variasi larutan sebesar 0.98 – 1.02 N. Apabila menggunakan larutan asam sulfat murni bisa dibuat dengan cara menambahkan 49.0 gram asam sulfat murni kedalam air sehingga didapat sebanyak 1 liter (ini akan sama dengan larutan 1 N). Kemudian ditambahkan 20 gram CETAB dan diaduk dengan stirer sampai larut. Penambahan CETAB kedalam larutan asam sulfat 1 N kemungkinan sedikit akan menaikan volumenya. 3. Neutral Detergent Fiber (NDF) Komponen serat yang tergabung dalam NDF merupakan bahan yang tidak dapat larut dari matrix dinding sel tanaman. Serat tersebut secara kovalen terikat sangat kuat dengan ikatan hidrogen, kristallin atau ikatan intramolekular lain yang mereka sangat resisten terhadap larutan yang masih berada pada tingkat konsentrasi physiologis. Karena larutan NDS tidak bersifat hidrolitik maka hampir semua ikatan-ikatan tersebut masih berada dalam residu NDF. Hal ini dapat dilihat apabila dibandingkan antara nilai daya cerna in vitro dan in vivo dari NDF. Terdapat sedikit perbedaan daya cerna akibat dari adanya pengahancuran beberapa komponen seperti silica dan tannin oleh neutral detergen. Tidak semua komponen dari dinding sel terikat ke dalam matrik. Pektin, sebagai contoh hampir 90% nya dapat dilarutkan oleh NDS, demikian juga pektin adalah komponen yang mudah difermentasikan, sehingga hal ini memperlihatkan tidak adanya pengaruh lignifikasi pada ikatan pektin. Dengan demikian NDF tidak dapat dinyatakan mewakili komponen dinding sel secara keseluruhanya, tetapi hanya mewakili sebagai residu dari komponen nutirisi yang mempunyai ikatan dengan matrix lignin dan secara physik merupakan struktur yang tidak dapat larut dan mempunyai pengaruh khusus baik pada rumen maupun pada saluran pencenrnaan non ruminan. Serat biasanya digunakan sebagai indeks negatif dari kualitas pakan, dimana secara umum menggambarkan bagian dari komponen pakan yang tidak dapat dicerna. Meskipun NDF telah mencakup semua komponen yang tidak dapat dicerna, dibandingkan dengan ADF (NDF - hemiselulosa) atau Serat Kasar (lignin + hemiselulosa + selulosa), korelasi NDF dengan daya cerna pada ruminan sering tidak bisa menggambarkan hasil yang diinginkan. Hal ini telah menyebabkan digunakanya ADF sebagai standar untuk menguji daya cerna hijauan, meskipun NDF lebih baik hubunganya dengan ruminasi (mamah biak), efisiensi dan konsumsi pakan. Standar kebutuhan serat untuk ruminansia hanya bisa dinyatakan dengan nilai NDF, hal ini disebabkan hemiselulosa mempunyai pengaruh yang besar. Nilai NDF adalah kandungan semua serat yang teranalisis, dan ini satu-satunya cara yang bisa menggambarkan kandungan serat meskipun dari bahan hijauan atau konsentrat yang berbeda. Untuk itu NDF adalah satusatunya analisis serat yang bisa merangking komponen pakan mulai dari yang tidak berserat, sedikit mengandung serat sampai pada bahan yang sangat tinggi seratnya seperti jerami dan selulosa. Protein NDF. Ekstraksi dengan larutan detergen netral tidak melarukan semua protein dalam matrik dinding sel, tetapi sebagian tetap terikat secara kovalen pada polysakarida dinding sel. Sebagian juga terikat akibat adanya reaksi Maillard akibat pemanasan dan sebagian lagi mungkin terendapkan bersama tanin. Hanya sebanyak 80 % diperkirakan protein dapat terlarut dengan larutan detergen netral selebihnya diduga hanya protein yang rendah daya larutnya atau terikat dengan matrik dinding sel sehingga merupakan bagian yang tidak dapat dicerna. Untuk alasan tersebut maka bagian protein yang terlarut dengan larutan detergen netral dapat digunakan sebagai cara untuk mengetes protein terlarut dari suatu bahan pakan. Prosedur analisis. Timbang bahan sampel sebanyak 0.5 – 1 g (kering udara dan sudah digiling) masukan kedalam gelas beaker 600 ml. Tambahkan 100 ml larutan detergen netral dan 2-3 tetes decalin. Simpan ditempat pemanasan (hot plate) tunggu antara 5-6 menit sampai mulai panas kemudaian dihitung waktu pemanasanya selama 60 menit sambil di reflux dengan aliran air untuk menghindari sampel yang nempel didinding gelas dan tidak terendam larutan. Apabila mengerjakan lebih dari satu sampel bisa ditambah 3 menit antara satu dengan lainya untuk memberikan semua bahan yang dilarutkan dimulai dari panas yang cukup. Setelah 60 menit dididihkan baker diambil dari pemanas dan dibiarkan sebentar supaya bahan padatan mengendap dibawahnya. Siapkan gelas saring pada tempatnya dan panaskan dengan air mendidih. Bahan larutan kemudian disaring secara pelan-pelan mulai dari bahan cairan yang terlarut cukup dengan vaccum yang rendah dayanya. Kemudian bagain padatanya bisa dimasukan ke saringan sambil dibilas dengan air mendidih sampai semua sampel habis masuk ke gelas saring. Vaccum bisa ditambah kekuatanya sesuai dengan kebutuhan. Sampel dicuci sekitar 2 kali dengan air panas, 2 kali dengan aseton dan kemudian dapat dikeringkan. Crusibel dapat dikeringkan minimal selama 8 jam (atau disimpan semalam apabila analsis dilanjutkan hari berikutnya) pada suhu 105oC dalam oven yang dilengkapi dengan sistem kipas. Setelah ditimbang akan didapatkan berat kering resisu NDF, kemudian sampel dibakar dalam tanur 500°C cukup selama 3 jam. Pindahkan kedalam oven sampai suhunya kembali menjadi 105°C kemudain ditimbang. Bahan yang tersisa pada crusible adalah abu dari dinding sel. 2.3 Analisis Energi Adanya perubahan energi kimia dalam molekul bahan makanan ke dalam bentuk energi kinetik dari suatu reaksi metabolic yang dapat menimbulkan kerja atau panas. Menurut La voisier dan La place tahun 1780 dari Perancis bahwa panas yang diproduksi hewan berasal dari oksidasi zat organik bahan makanan yang disuplai, dapat dijadikan sumber energi akibatnya nilai energi yang dihasilkan dapat dijadikan criteria nilai gizi pakan atau ransum yang dikonsumsi hewan tersebut. Pembakaran makanan tersebut menggunakan oksigen (O2) dan menghasilkan energi bruto atau gross energi (GE). Pengukuran energi bruto ini menggunakan alat Bomb Calorimeter (perubahan suhu akibat pembakaran pakan dengan oksigen). Pengukuran energi bahan makanan ternak atau ransum menggunakan satuan-satuan atau indicator angka sebagai jumlah energi yang dinyatakan dalam satuan : 1. Kalori (kal) yaitu jumlah panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan temperatur 1 gram air dari suhu 14.5°C menjadi 15.5°C. 2. Them adalah jumlah panas yang dibituhkan untuk menaikkan suhu 1 ton air 1°F. 3. British Them Unit = BTU adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu 1 liter air 1°F. 4. Joule = 107 Erg adalah jumlah panas yang dibituhkan untuk memindahkan 1 liter air/barang sejauh 0.7375 kaki. Setiap kandungan nutrien mempunyai nilai setara kalor (energi) yang berbeda yaitu : 1. Protein setara 5.65 kkal/g 2. Karbohidrat setara 4.10 kkal/g 3. Lemak setara 9.45 kkal/g Sehingga rasio sumbangan energi kandungan nutrien tersebut (Protein : KH : Lemak) adalah 1 : 1 :2.5 kali. Nilai GE dari karbohidrat berkisar antara 3.75 – 4.25 kkal, sedangkan nilai GE untuk protein lebih tinggi daripada karbohidrat, tetapi di dalam tubuh ternak, energi protein tidak dapat dipergunakan seluruhnya, energi ini akan keluar dalam bentuk ikatan asam urat atau urea yang masih mengandung GE sekitar 1.25 kkal, sehingga energi yang akan didapat dalam tubuh ternak yang berasal dari protein hampir sama dengan karbohidrat yaitu : 4.25 kkal (5.50-1.25). BAB III KESIMPULAN
Makanan ternak berisi zat nutrisi dengan kandungan yang berbeda-beda
karena itu perlu dilakukan analisis untuk mengetahui kualitas dan kuantitas zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak. Kualitas bahan pakan dan komponennya ini dapat dinilai melalui tiga tahapan penilaian, yaitu secara fisik, kimia, dan biologis. Pengujian kualitas pakan secara kimiawi meliputi Analisis Proksimat, Analisis Van Soest, dan Analisis Energi. Analisis proksimat adalah suatu metoda analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan atau bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya. DAFTAR PUSTAKA
Aslamsyah, S. 2017. Pengujian Kualitas Bahan Baku Dan Pakan.
http://oldlms.unhas.ac.id (diakses pada 12 Juli 2019). Danuarsa. 2006. “Analisis Proksimat dan Asam Lemak Pada Beberapa Komoditas Kacang-kacangan”. Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1 NRC. 2001. Nutrient Requirements of Beef Cattle: Seventh Revised Edition: Update 2000. Subcommittee on Beef Cattle Nutrition. Committee on Animal Nutrition. National Research Council Siregar, S.1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya : Jakarta Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sutardi, T. R. Dan S. Rahayu. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. 2012. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. CV. Nutri Sejahtera. IPB Bogor Winarno.1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta