Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ILMU NUTRISI TERNAK


METODE PENGUJIAN KANDUNGAN DALAM BAHAN
PAKAN TERNAK

RIZKI IDHAR ANWAR


201410350311042

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pakan memiliki peranan penting bagi ternak, baik untuk pertumbuhan
ternak muda maupun untuk mempertahankan hidup dan menghasilkan produk
(susu, anak, daging) serta tenaga bagi ternak dewasa. Fungsi lain dari pakan
adalah untuk memelihara daya tahan tubuh dan kesehatan. Agar ternak
tumbuh sesuai dengan yang diharapkan, jenis pakan yang diberikan pada
ternak harus bermutu baik dan dalam jumlah cukup. Pakan yang sering
diberikan pada ternak kerja antara lain berupa: hijauan dan konsentrat
(makanan penguat). Adapun Keberhasilan usaha peternakan sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : bibit, pakan, kesehatan hewan,
manajemen dan sumber daya peternak. Pakan merupakan faktor yang paling
berperan dalam usaha peternakan yaitu sekitar70 –80 % dari jumlah biaya
produksi.
Bahan pakan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap ternak. Sebagian
besar bahan pakan terdiri dari unsur - unsur pokok yaitu air, mineral,
karbohidrat, lemak dan protein. Kelima unsur ini dibutuhkan oleh hewan
ternak dan manusia untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi dan hidup
pokok. Makanan ternak berisi zat nutrisi dengan kandungan yang berbeda-
beda karena itu perlu dilakukan analisis untuk mengetahui kualitas dan
kuantitas zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak. Kualitas bahan pakan dan
komponennya ini dapat dinilai melalui tiga tahapan penilaian, yaitu secara
fisik, kimia, dan biologis.
Dari Penjelasan di atas, maka Pengawasan berupa Pengujian mutu pakan
dapat dilakukan secara uji fisik, uji kimia dan uji biologis. Umumnya
pengujian yang banyak dilakukan adalah pengujian yang menggunakan kimia.
Parameter uji ini adalah pengujian mutu pakan secara kasar yang prosedurnya
mengacu pada metode Association of Official Analytical Chemists (AOAC)
atau Standar Nasional Indonesia. Hasil uji ini dapat digunakan untuk
mengetahui mutu pakan ternak dan akan disesuaikan dengan persyaratan mutu
yang berlaku. Pakan yang bermutu sesuai standar belum tentu akan
memberikan performance ternak yang baik, apabila tidak sesuai dengan
kebutuhan nutrisi ternaknya.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah kali ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui metode yang tepat tentang analisa bahan pakan
2. Untuk mengetahui macam-macam metode analisa bahan pakan
BAB II
PEMBAHASAN
Kualitas nutrisi bahan makanan ternak merupakan faktor utama dalam
menentukan kebijakan dalam pemilihan dan penggunaan bahan makanan tersebut
sebagai sumber zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan
produksinya. Kualitas nutrisi bahan pakan terdiri atas komposisi nilai gizi, serat
dan energi serta aplikasinya pada nilai palatabilitas dan daya cerna. Penentuan
komposisi nilai gizi secara garis besarnya dapat dilakukan dengan analisa
proksimat, dimana dapat ditentukan kandungan air, abu, protein kasar, lemak
kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N). Dengan analisa
proksimat komponen-komponen fraksi serat tidak dapat tergambarkan secara
terperinci berdasarkan manfaatnya dan kecernaan pada ternak. Untuk dapat
menyempurnakannnya, komponen-komponen serat tersebut dapat dianalisa secara
terperinci dengan menggunakan analisa Van Soest.
2.1 Analisis Proksimat
Analisis proksimat mulai dikembangkan oleh Wilhelm Henneberg dan
asistennya Stohman pada tahun 1960 di laboratorium Wende di Jerman. Oleh
karena itu analisis model ini dikenal juga dengan analisis Wendee. Pada
prinsipnya bahan pakan terdiri atas dua bagian yaitu air dan bahan kering
yang dapat diketahui melalui pemanasan pada suhu 105°C. Selanjutnya bahan
kering ini dapat dipisahkan antara kadar abu dan kadar bahan organik melalui
pembakaran dengan suhu 500°C ( Sutardi, 2012 ). Tujuan dari analisasi
proksimat adalah untuk mengetahui persentase nutrien dalam pakan
berdasarkan sifat kimianya, diantaranya kadar air, protein, lemak, serat, bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (Aslamsyah, 2017).
1. Kadar Air
Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan
daya simpan dari bahan pangan tersebut. Oleh karena itu, penentuan kadar air
dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses pengolahan
maupun pendistribusian mendapat penanganan yang tepat. Banyaknya kadar
air dalam suatu bahan pakan dapat diketahui bila bahan pakan tersebut
dipanaskan pada suhu 105⁰C. Bahan kering dihitung sebagai selisih antara
100% dengan persentase kadar air suatu bahan pakan yang dipanaskan hingga
ukurannya tetap (Anggorodi, 1994). Kadar air adalah persentase kandungan
air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis)
atau berat kering (dry basis). Metode pengeringan melalui oven sangat
memuaskan untuk sebagian besar makanan, akan tetapi beberapa makanan
seperti silase, banyak sekali bahan-bahan atsiri (bahan yang mudah terbang)
yang bisa hilang pada pemanasan tersebut (Winarno, 1997).
2. Kadar Abu
Analisa kadar abu bertujuan untuk memisahkan bahan organik dan
bahan anorganik suatu bahan pakan. Kandungan abu suatu bahan pakan
menggambarkan kandungan mineral pada bahan tersebut. Menurut
Cherney (2000) abu terdiri dari mineral yang larut dalam detergen dan
mineral yang tidak larut dalam detergen Kandungan bahan organik suatu
pakan terdiri protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak
tanpa nitrogen (BETN). Jumlah abu dalam bahan pakan hanya penting
untuk menentukan perhitungan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Kandungan
abu ditentukan dengan cara mengabukan atau membakar bahan pakan
dalam tanur, pada suhu 400-600oC sampai semua karbon hilang dari
sampel, dengan suhu tinggi ini bahan organik yang ada dalam bahan pakan
akan terbakar dan sisanya merupakan abu yang dianggap mewakili bagian
inorganik makanan. Namun, abu juga mengandung bahan organik seperti
sulfur dan fosfor dari protein, dan beberapa bahan yang mudah terbang
seperti natrium, klorida, kalium, fosfor dan sulfur akan hilang selama
pembakaran. Kandungan abu dengan demikian tidaklah sepenuhnya
mewakili bahan inorganik pada makanan baik secara kualitatif maupun
secara kuantitatif (Anggorodi, 1994).
3. Protein Kasar
Kadar protein pada analisa proksimat bahan pakan pada umunya
mengacu pada istilah protein kasar. Protein kasar memiliki pengertian
banyaknya kandungan nitrogen (N) yang terkandung pada bahan tersebut
dikali dengan 6,25. Definisi tersebut berdasarkan asumsi bahwa rata-rata
kandungan N dalam bahan pakan adalah 16 gram per 100 gram protein
(NRC, 2001).
Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan nitrogen
bahan pakan kemudian dikali dengan faktor protein 6,25. Angka 6,25
diperoleh dengan asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen.
Kelemahan analisis proksimat untuk protein kasar itu sendiri terletak pada
asumsi dasar yang digunakan. Pertama, dianggap bahwa semua nitrogen
bahan pakan merupakan protein, kenyataannya tidak semua nitrogen
berasal dari protein dan kedua, bahwa kadar nitrogen protein 16%, tetapi
kenyataannya kadar nitrogen protein tidak selalu 16% (Soejono,
1990). Menurut Siregar (1994) senyawa-senyawa non protein nitrogen
dapat diubah menjadi protein oleh mikrobia, sehingga kandungan protein
pakan dapat meningkat dari kadar awalnya. Sintesis protein dalam rumen
tergantung jenis makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Jika konsumsi N
makanan rendah, maka N yang dihasilkan dalam rumen juga rendah. Jika
nilai hayati protein dari makanan sangat tinggi maka ada kemungkinan
protein tersebut didegradasi di dalam rumen menjadi protein berkualitas
rendah.
4. Lemak Kasar
Metode yang digunakan antara lain extraksi soxhlet dengan pelarut
lemak petroleum ether. Analisis lemak dipergunakan istilah lemak kasar
karena dalam analisis ini yang diperoleh adalah suatu zat yang larut dalam
proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik antara lain ether,
petroleum ether atau chloroform. Kemungkinan yang terlarut dalam
pelarut organik ini bukan hanya lemak tetapi juga antara lain : glyserida,
chlorophyl, asam lemak terbang, cholesterol, lechitin dan lain-lain dimana
zat-zat tersebut tidak termasuk zat makanan tetapi terlarut dalam pelarut
lemak
5. Serat Kasar
Serat kasar mempunyai pengertian sebagai fraksi dari karbohidrat
yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan masing-
masing 30 menit. Termasuk dalam komponen serat kasar ini adalah
campuran hemisellulosa, sellulosa dan lignin yang tidak larut. Dalam
analisa ini diperoleh fraksi lignin, sellulosa dan hemisellulosa yang justru
perlu diketahui komposisinya khusus untuk hijauan makanan ternak atau
umumnya pakan berserat. Untuk memperoleh data yang lebih akurat
tentang fraksi lignin dan sellulosa dapat dilakukan analisa lain yang lebih
spesifik dengan metode analisa serat Van Soest
6. Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)
Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan bagian karbohidrat yang
mudah dicerna atau golongan karbohidrat non-struktural. Karbohidrat non-
struktural dapat ditemukan di dalam sel tanaman dan mempunyai
kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat struktural.
Gula, pati, asam organik dan bentuk lain dari karbohidrat seperti fruktan
termasuk ke dalam kelompok karbohidrat non-struktural dan menjadi
sumber energi utama bagi sapi perah yang berproduksi tinggi. Kemampuan
karbohidrat non-struktural untuk difermentasi dalam rumen nilainya
bervariasi tergantung dari tipe pakan, cara budidaya dan pengolahan
(NRC, 2001). Menurut Cherney (2000) bahan ekstrak tanpa nitrogen
tersusun dari gula, asam organik, pektin, hemiselulosa dan lignin yang
larut dalam alkali.
7. Penyajian Analis Proksimat
Dalam menyajikan data komposisi zat makanan dari analisa proximat
dapat dilakukan dalam komposisi persen berdasarkan segar (dikembalikan
dengan menghitung berat awal segar), kering matahari (untuk ransum dan
butiran/bijian serta limbah industrinya) dan berdasarkan bahan kering.
Data berdasarkan bahan kering ini dipergunakan untuk membandingkan
kualitas antar bahan makanan ternak. Manfaat lain dari komposisi data
proximat adalah untuk menduga koefesien cerna (berdasarkan rumus
Schneider) dan menghitung TDN berdasarkan NRC (Tim Laboratorium,
2012).

2.2 Analisis Van Soest


Metode ini digunakan untuk mengestimasi kandungan serat dalam pakan
dan fraksi-fraksinya kedalam kelompok-kelompok tertentu didasarkan atas
keterikatanya dengan anion atau kation detergen (metode detergen). Metode
ini dikembangkan oleh Van Soest (1963), kemudian disempurnakan oleh Van
Soest dan Wine (1967) dan oleh Goering dan Van Soest (1970). Tujuan
awalnya metode ini adalah untuk menentukan jumlah kandungan serat dalam
pakan ruminan tetapi kemudaian dapat digunakan juga untuk menentukan
kandungan serat baik untuk nonruminant maupun dalam pangan. Metode
detergen terdiri dari 2 bagian yaitu : Sistem netral untuk mengukur total serat
atau serat yang tidak larut dalam detergen netral (NDF) dan sistem detergen
asam digunakan untuk mengisolasi sellulosa yang tidak larut dan lignin serta
beberapa komponen yang terikat dengan keduanya (ADF).
1. Peralatan Analis Van Soest
Peralatan utama yang diperlukan untuk analisis ini adalah : 1). Gelas
beaker : Kapasitas 600 ml, 2). Hot plate : 400 watt masing-masing untuk
satu gelas dengan alat kontrol, 3). Kondensor : Alat pendingin ini
berhubungan dengan air yang mengalir dan bentuknya biasanya bulat
sehingga pas masuk dibagian mulut gelas beaker 600 ml, 4) Crusibel atau
kertas saring. Peralatan pendukung lainnya adalah sama dengan alat yang
digunakan waktu penentuan serat kasar.
Penggunaan crusibel atau kertas akan menghasilkan nilai analisis yang
sama apabila dilakukan dengan benar. Apabila menggunakan kertas saring
biasanya akan ditempatkan pada cawan yang sudah ada bolongan dibagian
bawahnya sehingga akan memudahkan waktu penyaringan dengan
menggunakan vacum. Kehati-hatian sangat diperlukan dengan kertas saring
dibanding dengan crusibel, dimana ketas saring mudah sobek juga ketika
akan diangkat dari tempat penyaringan ketempat pengeringan. Tanur
sebagai alat untuk pengabuan perlu juga diperhatikan dimana seharusnya
suhu yang dicapai tidak melewati 500 oC, untuk itu alat pengontrol suhu
sangat diperlukan. Suhu yang melewati 500oC bisa melelehkan crusibel dan
kemungkinan mempengaruhi hasil perhitungan.
2. Bahan Kimia
Pencampuran bahan kimia dalam sistem detergen ini memerlukan
pengukuran yang benar dan tempat yang cukup memadai untuk pembuatan
larutan sesuai dengan yang direncanakan, baik menyangkut volume maupun
beratnya.
Tabel 1. Larutan untuk Neutral-Detergent Fiber (NDF)

Neutral Detergent Fiber (NDF)

Distilled water 1 liter


Sodium lauryl sulfate, lab grade 30 gram
Disodium ethylenediaminetetraacetate (EDTA) 18.61 gram
dihydrate crystal, reagent grade
Sodium borate decahydrate, reagent grade 6.81 gram

Disodium hydrogen phosphate, anhydrous, 11.48 gram


reagent grade Kalau menggunakan yang
hydrous 10H2O
2-ethoxyethanol (ethylene glycol monoethyl 10 ml
ether), purified grade

. Larutan dibuat pertama dengan cara melarutkan EDTA dan


Na2B4O7.10H2O. Kemudian ditambahkan Na2HPO4 atau
Na2HPO4.10H2O, sambil diaduk dengan menggunakan stirer yang
sekaligus berfungsi sebagai hot plate untuk mempermudah kelarutan.
Ethylene glycol monoethyl ether ditambahkan sebagai mana perlunya untuk
mengontrol busa supaya tidak berlebihan. Untuk memastukan larutan
detergen ini netral bisa dilakukan pengecekan pH dan biasanya akan
berkisar antara 6.9-7.1. Apabila larutan disimpan ditempat yang suhunya
dibawah 18oC deterjen biasanya akan mengendap tetapi dpat dilarutkan
kembali dengan pemanasan. Total larutan akan mencapai lebih dari volume
yang dibuat karena adanya penambahan volume dari bahan kimia. Sebagai
contoh apabila membuat larutan sebanyak 18 liter maka dengan adanya
penambahan kimia tersebut total larutan bisa mencapai 18.5 liter.
Untuk menganalisis bahan pakan atau pangan yang mengandung
patinya sangat tinggi biasanya ditambahkan enzim pencerna pati seperti :
Amyloglucosidase, hog pancreas amylase, Bacillus subtilis amylase dan
termamyl.
Tabel 2. Larutan untuk Acid-Detergent Fiber (ADF)

Acid Detergent Fiber (ADF)


Sulfuric acid 1 N, reagent grade, sebanyak 1 liter. 1 liter
Apabila menggunakan H2SO4 murni tiap liter 49.04 gram
larutan
Cetyltrimethylammonium Bromida (CETAB), 20 gram
technical grade
Larutan ADF dibuat dengan cara pertama dibuat dulu larutan asam
sulfat 0.5 M (1 N) dan boleh sedikit adanya variasi larutan sebesar 0.98 –
1.02 N. Apabila menggunakan larutan asam sulfat murni bisa dibuat dengan
cara menambahkan 49.0 gram asam sulfat murni kedalam air sehingga
didapat sebanyak 1 liter (ini akan sama dengan larutan 1 N). Kemudian
ditambahkan 20 gram CETAB dan diaduk dengan stirer sampai larut.
Penambahan CETAB kedalam larutan asam sulfat 1 N kemungkinan sedikit
akan menaikan volumenya.
3. Neutral Detergent Fiber (NDF)
Komponen serat yang tergabung dalam NDF merupakan bahan
yang tidak dapat larut dari matrix dinding sel tanaman. Serat tersebut secara
kovalen terikat sangat kuat dengan ikatan hidrogen, kristallin atau ikatan
intramolekular lain yang mereka sangat resisten terhadap larutan yang masih
berada pada tingkat konsentrasi physiologis. Karena larutan NDS tidak
bersifat hidrolitik maka hampir semua ikatan-ikatan tersebut masih berada
dalam residu NDF. Hal ini dapat dilihat apabila dibandingkan antara nilai
daya cerna in vitro dan in vivo dari NDF. Terdapat sedikit perbedaan daya
cerna akibat dari adanya pengahancuran beberapa komponen seperti silica
dan tannin oleh neutral detergen.
Tidak semua komponen dari dinding sel terikat ke dalam matrik.
Pektin, sebagai contoh hampir 90% nya dapat dilarutkan oleh NDS,
demikian juga pektin adalah komponen yang mudah difermentasikan,
sehingga hal ini memperlihatkan tidak adanya pengaruh lignifikasi pada
ikatan pektin. Dengan demikian NDF tidak dapat dinyatakan mewakili
komponen dinding sel secara keseluruhanya, tetapi hanya mewakili sebagai
residu dari komponen nutirisi yang mempunyai ikatan dengan matrix lignin
dan secara physik merupakan struktur yang tidak dapat larut dan
mempunyai pengaruh khusus baik pada rumen maupun pada saluran
pencenrnaan non ruminan.
Serat biasanya digunakan sebagai indeks negatif dari kualitas pakan,
dimana secara umum menggambarkan bagian dari komponen pakan yang
tidak dapat dicerna. Meskipun NDF telah mencakup semua komponen yang
tidak dapat dicerna, dibandingkan dengan ADF (NDF - hemiselulosa) atau
Serat Kasar (lignin + hemiselulosa + selulosa), korelasi NDF dengan daya
cerna pada ruminan sering tidak bisa menggambarkan hasil yang
diinginkan. Hal ini telah menyebabkan digunakanya ADF sebagai standar
untuk menguji daya cerna hijauan, meskipun NDF lebih baik hubunganya
dengan ruminasi (mamah biak), efisiensi dan konsumsi pakan. Standar
kebutuhan serat untuk ruminansia hanya bisa dinyatakan dengan nilai NDF,
hal ini disebabkan hemiselulosa mempunyai pengaruh yang besar. Nilai
NDF adalah kandungan semua serat yang teranalisis, dan ini satu-satunya
cara yang bisa menggambarkan kandungan serat meskipun dari bahan
hijauan atau konsentrat yang berbeda. Untuk itu NDF adalah satusatunya
analisis serat yang bisa merangking komponen pakan mulai dari yang tidak
berserat, sedikit mengandung serat sampai pada bahan yang sangat tinggi
seratnya seperti jerami dan selulosa.
Protein NDF. Ekstraksi dengan larutan detergen netral tidak
melarukan semua protein dalam matrik dinding sel, tetapi sebagian tetap
terikat secara kovalen pada polysakarida dinding sel. Sebagian juga terikat
akibat adanya reaksi Maillard akibat pemanasan dan sebagian lagi mungkin
terendapkan bersama tanin. Hanya sebanyak 80 % diperkirakan protein
dapat terlarut dengan larutan detergen netral selebihnya diduga hanya
protein yang rendah daya larutnya atau terikat dengan matrik dinding sel
sehingga merupakan bagian yang tidak dapat dicerna. Untuk alasan tersebut
maka bagian protein yang terlarut dengan larutan detergen netral dapat
digunakan sebagai cara untuk mengetes protein terlarut dari suatu bahan
pakan.
Prosedur analisis. Timbang bahan sampel sebanyak 0.5 – 1 g
(kering udara dan sudah digiling) masukan kedalam gelas beaker 600 ml.
Tambahkan 100 ml larutan detergen netral dan 2-3 tetes decalin. Simpan
ditempat pemanasan (hot plate) tunggu antara 5-6 menit sampai mulai panas
kemudaian dihitung waktu pemanasanya selama 60 menit sambil di reflux
dengan aliran air untuk menghindari sampel yang nempel didinding gelas
dan tidak terendam larutan. Apabila mengerjakan lebih dari satu sampel bisa
ditambah 3 menit antara satu dengan lainya untuk memberikan semua bahan
yang dilarutkan dimulai dari panas yang cukup. Setelah 60 menit dididihkan
baker diambil dari pemanas dan dibiarkan sebentar supaya bahan padatan
mengendap dibawahnya. Siapkan gelas saring pada tempatnya dan panaskan
dengan air mendidih. Bahan larutan kemudian disaring secara pelan-pelan
mulai dari bahan cairan yang terlarut cukup dengan vaccum yang rendah
dayanya. Kemudian bagain padatanya bisa dimasukan ke saringan sambil
dibilas dengan air mendidih sampai semua sampel habis masuk ke gelas
saring. Vaccum bisa ditambah kekuatanya sesuai dengan kebutuhan. Sampel
dicuci sekitar 2 kali dengan air panas, 2 kali dengan aseton dan kemudian
dapat dikeringkan. Crusibel dapat dikeringkan minimal selama 8 jam (atau
disimpan semalam apabila analsis dilanjutkan hari berikutnya) pada suhu
105oC dalam oven yang dilengkapi dengan sistem kipas. Setelah ditimbang
akan didapatkan berat kering resisu NDF, kemudian sampel dibakar dalam
tanur 500°C cukup selama 3 jam. Pindahkan kedalam oven sampai suhunya
kembali menjadi 105°C kemudain ditimbang. Bahan yang tersisa pada
crusible adalah abu dari dinding sel.
2.3 Analisis Energi
Adanya perubahan energi kimia dalam molekul bahan makanan ke
dalam bentuk energi kinetik dari suatu reaksi metabolic yang dapat
menimbulkan kerja atau panas. Menurut La voisier dan La place tahun 1780
dari Perancis bahwa panas yang diproduksi hewan berasal dari oksidasi zat
organik bahan makanan yang disuplai, dapat dijadikan sumber energi
akibatnya nilai energi yang dihasilkan dapat dijadikan criteria nilai gizi
pakan atau ransum yang dikonsumsi hewan tersebut.
Pembakaran makanan tersebut menggunakan oksigen (O2) dan
menghasilkan energi bruto atau gross energi (GE). Pengukuran energi bruto
ini menggunakan alat Bomb Calorimeter (perubahan suhu akibat
pembakaran pakan dengan oksigen). Pengukuran energi bahan makanan
ternak atau ransum menggunakan satuan-satuan atau indicator angka
sebagai jumlah energi yang dinyatakan dalam satuan :
1. Kalori (kal) yaitu jumlah panas yang dibutuhkan untuk meningkatkan
temperatur 1 gram air dari suhu 14.5°C menjadi 15.5°C.
2. Them adalah jumlah panas yang dibituhkan untuk menaikkan suhu 1 ton
air 1°F.
3. British Them Unit = BTU adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk
menaikkan suhu 1 liter air 1°F.
4. Joule = 107 Erg adalah jumlah panas yang dibituhkan untuk
memindahkan 1 liter air/barang sejauh 0.7375 kaki.
Setiap kandungan nutrien mempunyai nilai setara kalor (energi)
yang berbeda yaitu : 1. Protein setara 5.65 kkal/g 2. Karbohidrat setara 4.10
kkal/g 3. Lemak setara 9.45 kkal/g Sehingga rasio sumbangan energi
kandungan nutrien tersebut (Protein : KH : Lemak) adalah 1 : 1 :2.5 kali.
Nilai GE dari karbohidrat berkisar antara 3.75 – 4.25 kkal, sedangkan nilai
GE untuk protein lebih tinggi daripada karbohidrat, tetapi di dalam tubuh
ternak, energi protein tidak dapat dipergunakan seluruhnya, energi ini akan
keluar dalam bentuk ikatan asam urat atau urea yang masih mengandung GE
sekitar 1.25 kkal, sehingga energi yang akan didapat dalam tubuh ternak
yang berasal dari protein hampir sama dengan karbohidrat yaitu : 4.25 kkal
(5.50-1.25).
BAB III
KESIMPULAN

Makanan ternak berisi zat nutrisi dengan kandungan yang berbeda-beda


karena itu perlu dilakukan analisis untuk mengetahui kualitas dan kuantitas zat
gizi yang dibutuhkan oleh ternak. Kualitas bahan pakan dan komponennya ini
dapat dinilai melalui tiga tahapan penilaian, yaitu secara fisik, kimia, dan biologis.
Pengujian kualitas pakan secara kimiawi meliputi Analisis Proksimat, Analisis
Van Soest, dan Analisis Energi. Analisis proksimat adalah suatu metoda analisis
kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat,
lemak dan serat pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Analisis
proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan atau bahan pangan
terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aslamsyah, S. 2017. Pengujian Kualitas Bahan Baku Dan Pakan.


http://oldlms.unhas.ac.id (diakses pada 12 Juli 2019).
Danuarsa. 2006. “Analisis Proksimat dan Asam Lemak Pada Beberapa Komoditas
Kacang-kacangan”. Buletin Teknik Pertanian Vol. 11 No. 1
NRC. 2001. Nutrient Requirements of Beef Cattle: Seventh Revised Edition:
Update 2000. Subcommittee on Beef Cattle Nutrition. Committee on
Animal Nutrition. National Research Council
Siregar, S.1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya : Jakarta
Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sutardi, T. R. Dan S. Rahayu. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi
Ransum. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto
Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. 2012. Pengetahuan Bahan
Makanan Ternak. CV. Nutri Sejahtera. IPB Bogor
Winarno.1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai