Anda di halaman 1dari 15

Makalah AIK 7

PARADIGMA PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN,


(NABI MUHAMMAD SAW., LUQMAN AL-HAKIM. NABI
KHIDIR, NABI IBRAHIM)

PUTRIANI
105401110117
7C

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan kesehatan kepada penulis karena berkat usaha, kerja keras dan ketekunan
serta keridohan Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Paradigma Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Nabi Muhammad
Saw., Luqman Al-Hakim.Nabi Khidir, Nabi Ibrahim)” dengan baik. Penulisan
makalah ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah AIK VII.
Penyusun sadar bahwa apa yang telah penulis peroleh tidak semata-mata
hasil dari jerih payah penyusun sendiri tetapi hasil dari keterlibatan semua pihak.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah
Pembelajaran bahasa indonesia kelas lanjut atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
           Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini
mampu memberikan manfaat dan mampu memberikan segi positif bagi para
pembaca.

Makassar, 16 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dapat merambah
ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika
Islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan paling tidak berpijak
pada tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora
tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu.
Pada taraf ini, nilai- nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan
norma dalam ilmu pendidikan. Kedua, dalam menganalisis masalah
pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan
falsafah pendidikan Barat.
Falsafah pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan
berbagai dimensi kehidupan, sedangkan masyarakat Indonesia lebih
bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat
memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena ke-
pendidikan. Ketiga, dengan menjadikan Islam sebagai paradigma, maka
keberadaan ilmu pendidikan memilih ruh yang dapat menggerakkan
kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti
pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu
pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan
itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki
hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk praktik pendidikan yang
sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada taraf ini, paradigma Islam
menuntut adanya desain besar tentang ontologi, epistemologi dan
aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif
Islam dalam rangka memahami realitas ilmu pendidikan. Tentunya hal ini
harus ditopang oleh konstruks pengetahuan yang menempatkan wahyu
sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur
transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma pendidikan yang terdapat dalam
al-qur’an ?
2. Bagaimana mencontoh pendidikan yang diajarkan oleh para nabi dan rasul
serta orang-orang pilihan dalam al-qur’an ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui paradigma pendidikan yang terdapat dalam al-qur’an.
2. Untuk mengetahui contoh pendidikan yang diajarkan oleh para nabi dan
rasul serta orang-orang pilihan dalam al-qur’an.

D. Manfaat
1. Mampu memahami dan menjelaskan paradigma pendidikan yang terdapat
dalam al-qur’an.
2. Mampu mencontoh pendidikan yang diajarkan oleh para nabi dan rasul
serta orang-orang pilihan dalam al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma pendidikan yang terdapat dalam al-qur’an
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah
tarbiyah, ta’lim, tadib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing
istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau
semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki
makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu
sebenarnya mewakili istilah yang lain. Atas dasar itu, dalam beberapa
buku pendidikan Islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian
dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.

Dalam leksikologi Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan istilah


al- tarbiyah, namun terdapat beberapa istilah kunci yang seakar
dengannya, yaitu al-rabh, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Dalam
mu jam bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan,
yaitu:

1. Rabba, yarbu, tarbiyah: yang memiliki makna ‘tambah’ (zad) dan


'berkembang’ (nama). Pengertian ini juga didasarkan QS. ar-Rum
ayat 39: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada
sisi Allah.” Artinya, pendidikan (itarbiyah) merupakan proses
menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta
didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.
2. Rabba, yurbi, tarbiyah: yang memiliki makna tumbuh (nasyaa) dan
menjadi besar atau dewasa (tara’ra’a). Artinya, pendidikan
(tarbiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan dan
mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial,
maupun spiritual.
3. Rabba, yarubbu, tarbiyah: yang memiliki makna memperbaiki
(ashlaha), menguasai urusan, memelihara dan merawat,
memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki,
mengatur dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Artinya,
pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk memelihara,
mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengatur kehidupan
peserta didik, agar ia dapat survive lebih baik dalam ke-
hidupannya.

Jika istilah tarbiyah diambil dari fiil madhi-nya (rabbayani) maka


ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi
makan, menumbuhkan, mengembangkan memelihara, membesarkan,
dan menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga ayat dalam
Al-Qur’an. Dalam QS. al-Isra ayat 24 disebutkan: “kama
rabbayanishaghira, sebagaimana mendidikku sewaktu kecil.” Ayat ini
menunjukkan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-
anaknya, yang tidak saja mendidik pada domain jasmani, tetapi juga
domain rohani. Sedang dalam QS. asy-Syu araayat 18 disebutkan:
“alam nurabbikafina walida, bukankah kami telah mengasuhmu di
antara (keluarga) kami.” Ayat ini menunjukkan pengasuhan Fir’aun
terhadap Nabi Musa sewaktu kecil, yang mana pengasuhan itu hanya
sebatas pada domain jasmani, tanpa melibatkan domain rohani. Sementara
dalam QS. al-Baqarah: 276 disebutkan: “Yamhu Allah al-riba wa yurbi
shadaqah, Allah menghapus sistem riba dan mengembangkan sistem
sedekah.” Ayat ini berkenaan dengan makna ‘menumbuhkembangkan
dalam pengertian tarbiyah, seperti Allah menumbuhkembangkan sedekah
dan menghapus riba.
Menurut Fahr al-Razi, istilah rabbayani tidak hanya mencakup
ranah kognitif, tapi juga afektif. 7 Sementara Syed Quthub menafsirkan
istilah tersebut sebagai pemeliharaan jasmani anak dan menumbuhkan
kematangan mentalnya. 8 Dua pendapat ini memberikan gambaran
bahwa istilah tarbiyah mencakup tiga domain pendidikan, yaitu
kognitif (cipta), afektif (rasa) dan psikomotorik (karsa) dan dua aspek
pendidikan, yaitu jasmani dan rohani.
Merujuk pada kesamaan akar kata, konsep tarbiyah selalu saja
dikaitkan dengan konsep tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah
mengesakan Allah SWT. dalam segala perbuatan-Nya, dengan
meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk (QS.
al-Zumar: 62), memberi rezeki (QS. Hud: 6), menguasai dan mengatur
alam semesta (QS. ali Imran: 26 -27), dan memelihara alam dan isinya
(QS. al -Fatihah: 2). Tidak mungkin alam yang tercipta dan tersusun
dengan rapi ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar, sebab jika
dikendalikan oleh dua kekuatan atau lebih, maka akan terjadi
perebutan kehendak yang mengakibatkan kehancuran (QS. al-Anbiya:
22), atau jika masing-masing Tuhan itu berkompromi untuk
menciptakan sesuatu berarti kekuasaan masing-masing Tuhan tidak
mutlak, karena dibatasi oleh kekuasaan Tuhan yang lain. Hal itu
mengandung arti bahwa esensi pendidikan Islam harus mengandung
pengembangan jiwa tauhid rububiyah, tanpa itu maka pendidikan
Islam akan kehilangan makna.
Tarbiyah dapat juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu
pengetahuan dari pendidik (rabbanif kepada peserta didik, agar ia
memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan
menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti,
dan kepribadian yang luhur.” Sebagai proses, tarbiyah menuntut
adanya penjenjangan dalam transformasi ilmu pengetahuan, mulai dari
pengetahuan yang dasar menuju pada pengetahuan yang sulit.
Pengertian tersebut diambil dari QS. ali Imran ayat 79 “kunu
rabbaniyyin bima kuntum tuallimun al-kitab wa bima kuntum tadrusun,
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya,”
dan Hadis Nabi SAW.:
"Jadilah rabbani yang penyantun, memiliki pemahaman dan
berpengetahuan. Disebut rabbani karena mendidik manusia dari
pengetahuan tingkat rendah l serta menuju pada tingkat tinggi
(HR. Al-Bukhari dari Ibn Abb.as)

Ta’lim

Ta’lim merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari


akar kata ’allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah
dengan pendidikan, sedangkan ta’lin diterjemahkan dengan pengajaran.
Kalimat allamahu al-’ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya.
Pendidikan (tarbiyah) tidak saja tertumpu pada domain kognitif, tetapi
juga afektif dan psikomotorik, sementara pengajaran (ta’lim) lebih
mengarah pada aspek kognitif, seperti pengajaran mata pelajaran
Matematika. Pemadanan kata ini agaknya kurang relevan, sebab menurut
pendapat yang lain, dalam proses ta’lim masih menggunakan domain
afektif.

Tadib

Tadib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata


krama, adab, 16 budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Tadib yang seakar
dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan.
Artinya, orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban,
sebaliknya, peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan.
Menurut al- Naquib al-Attas, 17 tadib berarti pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
kekuatan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini didasarkan Hadis Nabi
SAW.:
“Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik
pendidikanku.”

Riyadhah
Riyadhah secara bahasa diartikan dengan pengajaran dan pelatihan.
Menurut al-Bastani, riyadhah dalam konteks pendidikan berarti
mendidik jiwa anak dengan akhlak yang muliai Pengertian ini akan
berbeda jika riyadhah dinisbatkan kepada disiplin tasawuf atau
olahraga. Riyadhah dalam tasawuf berarti Jatihan rohani dengan cara
menyendiri pada hari-hari tertentu untuk melakukan ibadah dan tafakur
mengenai hak dan kewajibannya. Sementara riyadhah dalam disiplin
olahraga berarti latihan fisik untuk menyehatkan tubuh

B. Mencontoh pendidikan yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul serta
orang-orang pilihan dalam al-qur’an
Kisah Nabi Muhammadi SAW yang kehadirannya membawa berkah
dan rahmah bagi semua alam; kehidupannya sederhana, jujur dalam
berdagang dan bisa dipercaya; perilakunya qur’anv, sikapnya yang tabah
dalam menghadapi berbagai ejekan, cemooh, dan siksaan; tidak
memiliki dendam kesumat pada orang yang menyakiti; mampu
mengendalikan diri dalam berperang, seperti tidak membunuh orang tua,
wanita, anak-anak yang telah menyerah; mampu memperbanyak
makanan atau minuman; melalui ujung jarinya, keluar mata air kasih
sayang; bapak pemula bagi penjelajahan ruang angkasa dalam peristiwa
isra dan mi’raj; menjangkau masa lalu dan masa depan; melakukan
imigrasi untuk menyebaran agama; tidak pernah memiliki imaginasi
yang buruk, sehingga tidak pernah mimpi mengeluarkan mani
(iikhtilam); biar pun matanya terpejam tapi hatinya tetap terjaga untuk
bexzikir kepada Allah.
Luqman al-Hakim yang selalu menganjurkan dasar-dasar filosofi pen
didikan kepada anak-anaknya: tidak menyekutukan Allah SWT. namun tetap
bersyukur kepada-Nya, diserukan mengerjakan shalat, berbuat sopan santun
pada ibu bapak, mengajak yang baik dan meninggalkan yang mungkar, selalu
bersabar, hidup bersahaja, dan tidak menyombongkan diri. Perhatikan QS.
Luqman ayat 12-19.
Dari kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidir As yang diceritakan dalam al-
Qur’an pada Surat al-Kahfi ayat 60-82, penulis menyimpulkan beberapa kode
etik yang dapat digunakan ketika berinteraksi dengan guru, yakni:

1) Murid harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak putus asa
dalam mencari ilmu, meski jarak yang ditempuh jauh dan
membutuhkan waktu yang lama. Ini adalah nilai yang terkandung
dalam surat al-Kahfi ayat 60-64 yang menceritakan perjuangan Nabi
Musa As untuk mencari Nabi Khidir As. Dalam tafsir al-Thabary
dikisahkan bahwa Nabi Musa As meminta Yusya’ bin Nun yang
menjadi rekan perjalanan untuk membawakan makanan untuknya,
karena benar-benar lelah usai menjalani perjalanan jauh dalam
mencari Nabi Khidir As (al-Thabary: 127).
2) Seorang murid harus bersikap sopan kepada gurunya, dalam cerita
tersebut tergambarkan ketika Nabi Musa meminta izin untuk
mengikuti (baca: belajar) kepada Nabi Khidir As. Menurut al-Thabary
kata ‘abdan min ‘ibadina pada ayat 65 merujuk kepada Nabi Khidir
As. Ayat selanjutnya menceritakan bagaimana Musa As kemudian
mendatangi khidir seraya mengatakan keinginannya untuk berguru
kepada Nabi Khidir (Al-Thabary: 1163). “Musa berkata kepada
Khidir, ‘Bolehkah aku mengikutimu?’‟
3) Berbaik-sangka dan meyakini bahwa guru lebih pandai dari murid.
Dengan melakukan hal ini akan muncul sifat ketawadu’an kepada
guru serta dengan sendirinya akan menghilangkan sifat sombong.
Nilai tersebut diisyaratkan dalam frasa mimma ullimta rusydan (di
antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu). Ini selaras dengan
filosofi gelas kosong. Kesombongan pelajar ibarat gelas yang merasa
penuh sehingga tidak akan dapat diisi lagi tambahan ilmu dari
gurunya.

4) Murid tidak selayaknya mudah merasa tersinggung, tatkala guru


melemahkan/ merendahkan murid dengan perkataannya.

Kisah Nabi Ibrahim as. yang memiliki kepribadian ketuhanan


yang tangguh meskipun hidup pada keluarga dan lingkungan yang
korup; mampu bertahan hidup meskipun dibuang ke hutan belantara;
perintis metode induktif dalam mencari kebenaran, sebagaimana
ketika ia mencari Tuhan; mempunyai kekuatan diplomatik yang baik
ketika menghadapi penguasa yang zalim (Naimrudz); menghancurkan
sistem pemberhalaan kehidupan dalairn segala hal; mampu
mendinginkan kobaran api yang panas, melarai panasnya amarah;
menjadi pemula dalam mengembangkan teknologi AC (air
conditioning); mau menyembelih jiwa kebinatangan anaknya; mampu
menyembuhkan (menghidupkan) yang sakit (mati); dan menjadi bapak
agama (millah Ibrahim) yang hanif bagi seluruh umat manusia,
sehingga dibangunkan tem Lpat kiblat yang disebut dengan Kabah.
Perhatikan QS. al-Aji’am: 76-79, al-Anbiya’: 51-69, Maryam: 41-49,
as-Shaffat: 100-111, al- Baqarah: 260,126,128, ali Imran. 96-97.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah
tarbiyah, ta’lim, tadib, riyadhah, irsyad, dan tadris.
2. Kisah Nabi Muhammadi SAW yang kehadirannya membawa berkah
dan rahmah bagi semua alam; kehidupannya sederhana, Luqman al-
Hakim yang selalu menganjurkan dasar-dasar filosofi pen didikan kepada
anak-anaknya: tidak menyekutukan Allah SWT, Dari kisah Nabi Musa As
dan Nabi Khidir As yang diceritakan dalam al-Qur’an pada Surat al-Kahfi
ayat 60-82, penulis menyimpulkan beberapa kode etik yang dapat
digunakan ketika berinteraksi dengan guru, Kisah Nabi Ibrahim as. yang
memiliki kepribadian ketuhanan yang tangguh meskipun hidup pada
keluarga dan lingkungan yang korup; mampu bertahan hidup
meskipun dibuang ke hutan belantara; perintis metode induktif dalam
mencari kebenaran.
B. Saran
inilah yang dapat saya paparkan dalam makalah ini yang tentunya
pembahasan tentang Paradigma Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Nabi
Muhammad Saw., Luqman Al-Hakim.Nabi Khidir, Nabi Ibrahim), disini
masih perlu diperdalam dan perluas lagi. penulis menyadari masih banyak
kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis harapkan
kritik dan sarannya mengenai pembahasan pada makalah ini dari pembaca dan
teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Sa’ad Mursi dan Sa’id Ismail Ali, Tarikh Tarbiyah wa Ta’lim, Kairo:
Alim Kutub, 1974.
Al-Aziz, Abd al-Rasyid ibn Abd, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha,
Kuwait: Darul Buhuts al-llmiyah, 1975.

Fakhry, Majid. 1996. Etika dalam Islam. Yogyakart: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai