PUTRIANI
105401110117
7C
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan kesehatan kepada penulis karena berkat usaha, kerja keras dan ketekunan
serta keridohan Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Paradigma Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Nabi Muhammad
Saw., Luqman Al-Hakim.Nabi Khidir, Nabi Ibrahim)” dengan baik. Penulisan
makalah ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah AIK VII.
Penyusun sadar bahwa apa yang telah penulis peroleh tidak semata-mata
hasil dari jerih payah penyusun sendiri tetapi hasil dari keterlibatan semua pihak.
Tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah
Pembelajaran bahasa indonesia kelas lanjut atas bimbingan dan arahan dalam
penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini
mampu memberikan manfaat dan mampu memberikan segi positif bagi para
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit dapat merambah
ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika
Islam dijadikan sebagai paradigma ilmu pendidikan paling tidak berpijak
pada tiga alasan. Pertama, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora
tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu.
Pada taraf ini, nilai- nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan
norma dalam ilmu pendidikan. Kedua, dalam menganalisis masalah
pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan
falsafah pendidikan Barat.
Falsafah pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan
berbagai dimensi kehidupan, sedangkan masyarakat Indonesia lebih
bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat
memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena ke-
pendidikan. Ketiga, dengan menjadikan Islam sebagai paradigma, maka
keberadaan ilmu pendidikan memilih ruh yang dapat menggerakkan
kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti
pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan adalah suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas ilmu
pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan
itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki
hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuk praktik pendidikan yang
sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada taraf ini, paradigma Islam
menuntut adanya desain besar tentang ontologi, epistemologi dan
aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif
Islam dalam rangka memahami realitas ilmu pendidikan. Tentunya hal ini
harus ditopang oleh konstruks pengetahuan yang menempatkan wahyu
sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur
transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma pendidikan yang terdapat dalam
al-qur’an ?
2. Bagaimana mencontoh pendidikan yang diajarkan oleh para nabi dan rasul
serta orang-orang pilihan dalam al-qur’an ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui paradigma pendidikan yang terdapat dalam al-qur’an.
2. Untuk mengetahui contoh pendidikan yang diajarkan oleh para nabi dan
rasul serta orang-orang pilihan dalam al-qur’an.
D. Manfaat
1. Mampu memahami dan menjelaskan paradigma pendidikan yang terdapat
dalam al-qur’an.
2. Mampu mencontoh pendidikan yang diajarkan oleh para nabi dan rasul
serta orang-orang pilihan dalam al-qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma pendidikan yang terdapat dalam al-qur’an
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah
tarbiyah, ta’lim, tadib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing
istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau
semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki
makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu
sebenarnya mewakili istilah yang lain. Atas dasar itu, dalam beberapa
buku pendidikan Islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian
dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.
Ta’lim
Tadib
Riyadhah
Riyadhah secara bahasa diartikan dengan pengajaran dan pelatihan.
Menurut al-Bastani, riyadhah dalam konteks pendidikan berarti
mendidik jiwa anak dengan akhlak yang muliai Pengertian ini akan
berbeda jika riyadhah dinisbatkan kepada disiplin tasawuf atau
olahraga. Riyadhah dalam tasawuf berarti Jatihan rohani dengan cara
menyendiri pada hari-hari tertentu untuk melakukan ibadah dan tafakur
mengenai hak dan kewajibannya. Sementara riyadhah dalam disiplin
olahraga berarti latihan fisik untuk menyehatkan tubuh
B. Mencontoh pendidikan yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul serta
orang-orang pilihan dalam al-qur’an
Kisah Nabi Muhammadi SAW yang kehadirannya membawa berkah
dan rahmah bagi semua alam; kehidupannya sederhana, jujur dalam
berdagang dan bisa dipercaya; perilakunya qur’anv, sikapnya yang tabah
dalam menghadapi berbagai ejekan, cemooh, dan siksaan; tidak
memiliki dendam kesumat pada orang yang menyakiti; mampu
mengendalikan diri dalam berperang, seperti tidak membunuh orang tua,
wanita, anak-anak yang telah menyerah; mampu memperbanyak
makanan atau minuman; melalui ujung jarinya, keluar mata air kasih
sayang; bapak pemula bagi penjelajahan ruang angkasa dalam peristiwa
isra dan mi’raj; menjangkau masa lalu dan masa depan; melakukan
imigrasi untuk menyebaran agama; tidak pernah memiliki imaginasi
yang buruk, sehingga tidak pernah mimpi mengeluarkan mani
(iikhtilam); biar pun matanya terpejam tapi hatinya tetap terjaga untuk
bexzikir kepada Allah.
Luqman al-Hakim yang selalu menganjurkan dasar-dasar filosofi pen
didikan kepada anak-anaknya: tidak menyekutukan Allah SWT. namun tetap
bersyukur kepada-Nya, diserukan mengerjakan shalat, berbuat sopan santun
pada ibu bapak, mengajak yang baik dan meninggalkan yang mungkar, selalu
bersabar, hidup bersahaja, dan tidak menyombongkan diri. Perhatikan QS.
Luqman ayat 12-19.
Dari kisah Nabi Musa As dan Nabi Khidir As yang diceritakan dalam al-
Qur’an pada Surat al-Kahfi ayat 60-82, penulis menyimpulkan beberapa kode
etik yang dapat digunakan ketika berinteraksi dengan guru, yakni:
1) Murid harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak putus asa
dalam mencari ilmu, meski jarak yang ditempuh jauh dan
membutuhkan waktu yang lama. Ini adalah nilai yang terkandung
dalam surat al-Kahfi ayat 60-64 yang menceritakan perjuangan Nabi
Musa As untuk mencari Nabi Khidir As. Dalam tafsir al-Thabary
dikisahkan bahwa Nabi Musa As meminta Yusya’ bin Nun yang
menjadi rekan perjalanan untuk membawakan makanan untuknya,
karena benar-benar lelah usai menjalani perjalanan jauh dalam
mencari Nabi Khidir As (al-Thabary: 127).
2) Seorang murid harus bersikap sopan kepada gurunya, dalam cerita
tersebut tergambarkan ketika Nabi Musa meminta izin untuk
mengikuti (baca: belajar) kepada Nabi Khidir As. Menurut al-Thabary
kata ‘abdan min ‘ibadina pada ayat 65 merujuk kepada Nabi Khidir
As. Ayat selanjutnya menceritakan bagaimana Musa As kemudian
mendatangi khidir seraya mengatakan keinginannya untuk berguru
kepada Nabi Khidir (Al-Thabary: 1163). “Musa berkata kepada
Khidir, ‘Bolehkah aku mengikutimu?’‟
3) Berbaik-sangka dan meyakini bahwa guru lebih pandai dari murid.
Dengan melakukan hal ini akan muncul sifat ketawadu’an kepada
guru serta dengan sendirinya akan menghilangkan sifat sombong.
Nilai tersebut diisyaratkan dalam frasa mimma ullimta rusydan (di
antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu). Ini selaras dengan
filosofi gelas kosong. Kesombongan pelajar ibarat gelas yang merasa
penuh sehingga tidak akan dapat diisi lagi tambahan ilmu dari
gurunya.
Ahmad, Sa’ad Mursi dan Sa’id Ismail Ali, Tarikh Tarbiyah wa Ta’lim, Kairo:
Alim Kutub, 1974.
Al-Aziz, Abd al-Rasyid ibn Abd, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha,
Kuwait: Darul Buhuts al-llmiyah, 1975.