Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Filsafat Pendidikan Islam

Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti


Filsafat Pendidikan Islam
Makna Filosofis dan Pandangan Ahli Tentang Kependidikan Islam

Dosen:
Nunu Mahnun M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 4:
Sahrul Ramadan (12110312688)
Syifa Adela (12110321286)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah, SWT; karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Makna
Filosofis dan Pandangan Ahli Tentang Kependidikan Islam“ dengan baik
meskipun terdapat banyak kekurangan di dalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Tenaga Pendidik dan Kependidikan “.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat untuk di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.


Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang
membangun dari anda demi perbaikan makalah ini dilain waktu yang akan datang.

Pekanbaru,5 April 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................1
Daftar Isi...........................................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................3
C. Tujuan...................................................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................................3
A. Makna Filosofis Pendidikan Islam......................................................................4
1. Tarbiyah............................................................................................................4
2. Ta’lim................................................................................................................6
3. Ta’dib................................................................................................................7
4. Riyadhah...........................................................................................................8
B. Pendidikan Islam Menurut Pada Ahli................................................................9
1. Ibnu Maskawaih...............................................................................................9
2. Ibnu Sina (370-428 H)....................................................................................11
3. Al-Ghazali (450-505 H)..................................................................................12
4. Ibnu Kaldun....................................................................................................14
5. Muhammad Abduh (1849-1905)...................................................................15
BAB III...........................................................................................................................16
PENUTUP.......................................................................................................................16
A. Kesimpulan.........................................................................................................16
B. Saran...................................................................................................................17
Daftar Pustaka...............................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu unsur pembangun peradaban bangsa adalah melalui pendidikan.
Sedangkan hasil akhir sebuah pendidikan tergantung pada tujuan awal pendidikan
itu sendiri. Islam dan Barat memiliki pandangan berbeda mengenai hal tersebut.
Paham rasionalisme yang berkembang di Barat dijadikan dasar pijakan bagi
konsep-konsep pendidikan Barat. Ini jauh berbeda dengan Islam yang memiliki
al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad para ulama sebagai konsep pendidikannya. Hal
inilah yang membedakan ciri-ciri dari pendidikan yang ada di Barat dengan
pendidikan Islam. Masing-masing peradaban ini memiliki karakter yang berbeda
sehingga produk yang ‘dihasilkan’ pun memiliki ciri-ciri yang berbeda.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja makna filosofis pendidikan Islam?
2. Bagaimana pendapat para ahli mengenai pendidikan Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui makna filosofis pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui pendapat para ahli mengenai pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Filosofis Pendidikan Islam


Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah
tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib, riyadhah, irsyad dan tadris. Masing-masing istilah
tersebut memiliki batasan dan lingkup pengertian tersendiri. Namun,
kesemuanya mengacu pada makna yang sama jika disebut secara terpisah,
sebab salah satu istilah tersebut sebenarnya mewakili istilah yang lain. Karena
itu, beberapa buku pendidikan Islam menyebutkan semua istilah tersebut dan
digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.
1. Tarbiyah
Dalam leksikologi Al-Qur‘an dan Sunnah tidak ditemukan istilah
al-tarbiyah, namun ada beberapa istilah kunci yang seakar dengannya,
yaitu al-rabb, rabbayâni, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Dalam kamus bahasa
Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu:
a) Rabbâ, yurabbî, tarbiyah yang memiliki makna “tambah” (âd) dan
“berkembang” (namâ). Pengertian ini juga didasarkan QS. Al-Rum:
39 yang artinya: “Dan sesuatu ribâ (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka ribâ itu tidak
menambah pada sisi Allah.” Maksudnya, pendidikan (tarbiyah)
merupakan proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada
pada diri peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial maupun
spiritual.
b) Rabbâ, yurabbî, tarbiyah memiliki makna tumbuh (nasya‟a) dan
menjadi besar atau dewasa (tara‟ra‟a). Artinya, pendidikan
(tarbiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan dan mendewasakan
peserta didik baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritual.
c) Rabbâ, yurabbî, tarbiyah memiliki makna memperbaiki (ashlaha),
menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi
makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian
maupun eksistensinya (Al-Bastani, 1975: 243-244). Ini memberi
makna bahwa pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk
memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengatur
kehidupan peserta didik, agar ia dapat survive lebih baik dalam
kehidupannya.

Jika istilah tarbiyah diambil dari fi‟il madhi nya (rabbayânî) maka
ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan,
menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan dan
menjinakkan (al-Attas, 1988:66). Pemahaman tersebut diambil dari salah
satu ayat dalam QS. AlIsra‘: 24 disebutkan:

‫ص ِغ ْير ًۗا‬
َ ‫وقُلْ رَّبِّ ارْ َح ْمهُ َما َك َما َرب َّٰينِ ْي‬...
َ
Yang artinya: “...dan kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka
mendidikku sewaktu kecil.” Ayat ini menunjukkan pengasuhan dan
pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, yang tidak saja mendidik pada
domain jasmani, tetapi juga domain rohani.
Secara filologis, konsep tarbiyah selalu dikaitkan dengan konsep
tauhid rubûbiyah. Tauhid rubûbiyah adalah mengesakan Allah SWT.
dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang
menciptakan segenap makhluk (QS. Al-Zumar:62), memberi rezeki (QS.
Hud: 6) menguasai dan dan mengatur alam semesta (QS. Ali Imran: 26-
27) dan memelihara alam dan isinya (QS. Al-Fatihah: 2). Hal ini
mengandung arti bahwa esensi pendidikan Islam harus mengandung
pengembangan jiwa tauhid rubûbiyah. Tanpa itu maka pendidikan Islam
akan kehilangan makna.
Tarbiyah dapat juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu
pengetahuan dari pendidik (rabbâni) kepada peserta didik agar ia memiliki
sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari
kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan
kepribadian yang luhur.” Sebagai proses, tarbiyah menuntut adanya
penjenjangan dalam transformasi ilmu pengetahuan, mulai dari
pengetahuan yang dasar menuju pada pengetahuan yang lebih kompleks.
Pengetian tersebut diambil dari QS. Ali Imran:79 yang artinya:
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbâni, karena kamu selalu
mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya,” dan
hadis Nabi SAW.:

‫ين حُ َل َما َء فُ َق َها َء ُع َل َما َء َويُ َقالُ َالرَّ بَّا ِن ُّي الَّ ِذى‬
َ ‫ُك ْونـُ ْـوا َربَّا ِن ِّي ْـ‬
ِ ‫ار ْا ِلع ْل ِم َقب َْل ِك َب‬
‫ار ِه‬ ِ ‫ص َغ‬ َ َّ‫ُــر ِبــّى الن‬
ِ ‫اس ِب‬ َ ‫ي‬
Artinya:
“Jadilah rabbâni yang penyantun, memiliki pemahaman dan pengetahuan.
Disebut rabbâni karena mendidik manusia dari pengetahuan tingkat rendah
menuju pada tingkat tinggi.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas) .
2. Ta’lim
Ta‟lim merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari
akar kata ‗allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah
dengan pendidikan, sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran.
Kalimat allamahu al„ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya
(Mahmud Yunus, 1973: 277). Pendidikan, dalam istilah tarbiyah, tidak
saja tertumpu pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik,
sementara pengajaran (ta‟lim) lebih mengarah pada aspek kognitif, seperti
pengajaran mata pelajaran matematika. Pemadanan kata ini agaknya
kurang relevan, sebab menurut pendapat yang lain, dalam proses ta‟lim
masih menggunakan domain afektif.
Muhammad Rasyid Ridha (1373 H: 262) mengartikan ta‟lim
dengan: “proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu
tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.” Pengertian ini didasarkan
atas firman Allah SWT. dalam QS. Al-
Baqarah ayat 31 tentang proses transmisi pengetahuan (‗allama)
Tuhan kepada Nabi Adam as. Proses transmisi itu dilakukan secara
bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma‟
yang diajarkan oleh Allah kepadanya.
Dalam ayat lain, yaitu QS. Al-Baqarah: 151 disebutkan:
“Dan mengajarkan (yu‟allim) kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (Sunnah)
serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” Ayat ini
menunjukkan perintah Allah SWT. kepada rasul-Nya untuk mengajarkan
(ta‟lim) kedua hal tersebut kepada umatnya. Menurut Muhaimin (2005:
45), pengajaran pada ayat itu mencakup teoretis dan praktis, sehingga
peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal-hal
yang mendatangkan manfaat dan menampik kemudlaratan. Pengajaran
mencakup ilmu pengetahuan dan al-hikmah (kebijaksanaan). Guru
matematika misalnya, akan berusaha mengajarkan al-hikmah matematika,
yaitu pengajaran nilai kepastian dan ketepatan dalam mengambil sikap dan
tindakan dalam kehidupannya, yang dilandasi oleh pertimbangan rasional
dan perhitungan yang matang. Inilah suatu usaha untuk menguak
sunnatullah dalam alam semesta melalui pelajaran matematika.
3. Ta’dib
Ta‟dib biasanya dipahami dalam pengertian pendidikan sopan
santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral dan etika. Ta‟dib
yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau
kebudayaan. Artinya orang berpendidikan adalah orang yang
berperadaban. Sebaliknya, peradaban yang berkualitas dapat diraih
melalui pendidikan. Naquib al-Attas (1988: 66) menulis, ta‟dib berarti
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan
kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di
dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini bertolak dari
hadis Nabi SAW Yang artinya:
“Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik (hasil)
pendidikanku.”
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa kompetensi Muhammad
sebagai rasul dan misi utamanya adalah pembinaan akhlak. Karena itulah,
maka seluruh aktivitas pendidikan Islam seharusnya memiliki relevansi
dengan peningkatan kualitas budi pekerti sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW.
Ta‟dib, sebagaimana yang disebutkan Abdul Mujib dan Yusuf
Mudzakkir (2006:20-21), adalah upaya dalam pembentukan adab (tata
krama) terbagi atas empat macam:
a) ta‟dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran,
yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di
dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang
dengannya segala sesuatu diciptakan;
b) ta‟dib adab al-khidmah, pendidikan spiritual dalam pengabdian.
Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi kepada sang Raja
(Malik) dengan menempuh tata krama yang pantas;
c) ta‟dib adab al-syari‟ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syariah,
yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala
pemenuhan syariah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang
mulia;
d) ta‟dib adab alshuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam
persahabatan, berupa saling menghormati dan berperilaku mulia di
antara sesama.
4. Riyadhah
Secara etimologis, riyadhah diartikan dengan pengajaran dan
pelatihan. Menurut al-Bastani (1875:287), riyadhah dalam konteks
pendidikan berarti mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia.
Pengertian ini akan berbeda jika riyadhah dikaitkan dengan disiplin ilmu
tasawuf atau olah raga. Riyadhah dalam tasawuf berarti latihan rohani
dengan cara menyendiri pada harihari tertentu untuk melakukan ibadah
dan tafakkur mengenai hak dan kewajibannya. Sementara riyadhah dalam
disiplin olahraga berarti latihan fisik untuk menyehatkan tubuh.
Menurut al-Ghazali (Syalabi, 1977:288), kata riyadhah jika
dinisbahkan kepada anak-anak, maka memiliki arti pelatihan atau
pendidikan anak. Dalam pendidikan anak, al-Ghazali lebih menekankan
pada domain psikomotorik dengan cara melatih. Pelatihan memiliki arti
pembiasaan dan masa kanak-kanak adalah masa yang paling cocok untuk
metode pembiasaan itu. Anak kecil yang terbiasa melakukan aktivitas
yang positif, maka di masa remaja dan dewasanya lebih mudah
berkepribadian saleh.
B. Pendidikan Islam Menurut Pada Ahli
Dalam mengemukakan pemikiran para filosof pendidikan Islam
mengenai pendidikan Islam hanya sebatas pada beberapa filosof saja, yaitu:
Ibnu Maskawaih,Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Kaldun,dan Muhammad Abduh

1. Ibnu Maskawaih
Ibnu Miskawaih lahir di Ray, mengenai tahun kelahirnya belum
ada kepastian tahun dan tanggalnya. Menurut M. Syarif, Ibnu Miskawaih
Lahir pada tahun 320 H/932 M, sedangkan Margoliuoth menyebutkan
tahun 330 H/942 M. Menurut Abd al-Aziz Izzat menyebutkan tahun
kelahirannya adalah 325 H. Sedangkan mengenai wafatnya semua
sejarawan sepakat pada 9 Shafar/16 Februari 1030 M.
Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah yang pemikirannya
sangat cemerlang. Dialah ilmuan Islam yang paling terkenal dan yang
pertama kali menulis filsafat akhlak.1 Selain sebagai seorang filosof yang
terkenal di bidang etika, Ibnu Maskawaih juga dikenal sebagai seorang
sejarawan, tabib, ilmuan dan dan sastrawan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa
kecenderungan pemikiran Ibnu Maskawaih adalah mengenai etika dan
akhlak, maka konsep pendidikan Ibnu Maskawaih yang akan dijelaskan

1
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
154.
pada bagian ini juga cenderung kepada pendidikan akhlak yang berkaitan
dengan tujuan pendidikan, materi, pendidik dan anak didik, lingkungan
dan metode pendidikan.
1) Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Ibnu Maskawaih


adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan
untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga tercapai
kesempurnaan dan kebahagiaan sejati (As-saadah). Konsep ini yang
kemudian sebagian filosof lain menggolongkan Ibnu Maskawaih
sebagai filosof yang bermazhab Assa’adah. Assa’adah merupakan
masalah yang utama dan mendasar bagi manusia karena konsep ini
mengandung unsur-unsur yang menyeluruh meliputi kebahagiaan,
kemakmuran, keberhasilan, sukses, kesempurnaan, kesenangan dan
kecantikan (keindahan). Karena itu tujuan pendidikan yang diharapkan
oleh Ibnu Maskawaih adalah bersifat menyeluruh, yaitu kebahagian
hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.2

2) Lingkungan Pendidikan

Dalam masalah ini Ibnu Maskawaih tidak terlalu memperinci,


beliau hanya menjelaskan secara global yang meliputi tiga hal yaitu
lingkungan keluarga, sekolah dan Masyarakat. Ibnu Miskawaih
berpendapat dari ketiga lingkungan tersebut hendaknya diupayakan
sekondusif benar agar tercipta lingkungan yang baik. Terkait dengan
tanggungjawab lingkungan pendidikan ini Ibnu Maskawih berpendapat
bahwa pemimpin harus mengupayakan adanya lingkungan yang ada.
Dan itu menjadi tanggungjawab pemerintah.3

3) Metode Pendidikan

2
Anas Mahfudi, “Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Maskawaih: Transformasi Antara Filsafat dan
Agama”, dalam Jurnal Madinah: Jurnal Studi Islam, Vol. III, No. 1, 2016, 5
3
Ibnu Maskawaih, Tahzibul Akhlak, 128-129
Ibnu Maskawih berpendapat bahwa akhlak bukan faktor
keturunan melainkan bisa diupayakan. Sebab jika akhlak adalah faktor
bawaan (keturunan), maka tidak perlu adanya pendidikan. Metode
perbaikan akhlak ini dapat dimaksudkan sebagai metode mencapai
akhlak yang baik dan metode memperbaiki akhlak yang buruk. Adapun
metode yang digunakan adalah meliputi, pertama, kemauan yang
sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri
(al-’adat wa al-jihad). Kedua, dengan menjadikan semua ilmu yang
dimilikinya sebagai cerminan bagi dirinya.

2. Ibnu Sina (370-428 H)


Abu ‘Ali Al-Husein Ibn Abdullah Ibnu Sina, yang selanjutnya
dikenal dengan Ibnu Sina, lahir di Buhkara tahun 370 H/980 M. Sebagai
ilmuan, Ibnu Sina telah berhasil menyusun buku sebanyak 276 buah.
Bukunya yang terkenal antara lain “Al-Syifa” berupa ensiklopedia tentang
fisika, matematika dan logika serta “Al-Qanun Al-Tibb” yang merupakan
ensiklopedia kedokteran.
Menurut Ibnu Sina ilmu itu terbagi dua, yaitu ilmu yang kekal
(hikmah) dan ilmu yang tidak kekal. Ilmu yang kekal dipandang dari
peranannya sebagai alat disebut dengan logika. Berdasarkan tujuan, ilmu
itu menurutnya dibagi menjadi ilmu praktis dan ilmu teoritis. Ilmu teoritis
seperti ilmu alam, matematika, ilmu ketuhanan dan sejenisnya, sedangkan
ilmu praktis seperti ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah, ilmu pengurusan
kota, ilmu syariah dan sebagainya (Jalaluddin dan Usman Said, 1996).
Pemikiran pendidikan Ibnu Sina menurut Hasan Lagulung (1986)
antara lain berkaitan dengan cara mengatur dan membimbing manusia
dalam berbagai tahap dan sistem. Diawali dari pendidikan individu, yaitu
bagaimana seseorang mengendalikan diri (akhlak), dilanjutkan dengan
bimbingan terhadap keluarga dan seterusnya meluas kepada masyarakat,
sehingga akhirya kepada seluruh umat manusia. Karena itu, menurut Ibnu
Sina pendidikan yang diberikan Nabi Muhammad SAW adalah pendidikan
kemanusiaan.
Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah mencapai
kebahagiaan (sa’adah) secara bertingkat sesuai dengan tingkat pendidikan
yang dikemukakan sebelumnya, yaitu: kebahagiaan pribadi, kebahagiaan
rumah tangga, kebahagiaan masyarakat dan kebahagiaan manusia secara
menyeluruh pada akhirnya kebahagiaan manusia di akhirat kelak. Jika
setiap individu anggota keluarga memiliki akhlak mulia maka akan
tercipta kebahagiaan rumah tangga, selanjutnya jika setiap rumah tangga
memiliki akhlak mulia, maka akan tercipta kebahagiaan masyarakat dan
selanjutnya kebahagiaan manusia seluruhnya.
Ibnu Sina juga menguraikan mengenai psikologi pendidikan antara
lain uraiannya mengenai hubungan antara pendidikan anak dengan usia,
kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat
pengembangan bakat dan kemauan anak, maka bimbingan yang diberikan
kepada anak akan lebih berasil.
3. Al-Ghazali (450-505 H)
Abu Hanid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang
selanjutnya lebih dikenal dengan Imam Al-Ghazali lahir pada tahun
450/1058 di Thus wilayah Khurasan.
Al Ghazali mulai menuntut ilmu agama di desa kelahirannya
Gazalah pada seorang sufi sehabat ayahnya. Umaruddin (1996) menulis,
Al-Ghazali sebenarnya secara alami bersama ayahnya dan ajaran ayahnya
sangat berpengaruh positif terhadap pola pikirrnya di masa kecil, guru
pertama pendidikannya adalah ayahnya yang dikenal sebagai sufi.
Al-Ghazali banyak sekali menyusun buku, di antara karyanya,
Fatihat Al-Kitab, Ayyuha Al-Walad, Ikya Ulumuddin, yang sangat
terkenal dan banyak menjadi rujukan bagi ulama dan cendekia muslim di
Indonesia, Maqasid Al-Falasifah, Tahafut Al-Falasifah dan sebagainya.
Al-Ghazali termasuk filosofis pendidikan Islam berpaham emperis,
yang menekankan pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada
orang tua yang mendidiknya. Seorang anak hatinya bersih, murni laksana
permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apa pun.
Jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka ia akan
baik, sebaliknya jika anak dibiasakan perbuatan buruk dan jahat, maka ia
akan berakhlak jelek.
Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut Al-Ghazali ialah
diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat
untuk mencapai tujuan itu, manusia harus memanfaatkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai bakatnya. Sehubungan dengan
tujuan jangka pendek yaitu terwujudnya kemampuan manusia untuk
melaksanakan tugastugas keduniaan dengan baik, Al-Ghazali
menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas dan
kemuliaan dunia secara naluri, yang kesemuanya itu bukan tujuan dasar
seorang yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan.
Tujuan pendidikan (jangka panjang) menurut Al-Ghazali, untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan,
kemegahan, kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan
uang. Jika tujuan pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan
permusuhan.
Akhirnya Al-Ghazali mengelompokkan ilmu menjadi dua
kelompok, yaitu: a) ilmu yang wajib (fardhu) yang harus diketahui semua
orang seperti ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah, dan b)
ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan
urusan dunia seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu
pertanian dan industri.
Adapun metode pendidikan diklasifikasikan Al-Ghazali menjadi
dua bagian:
Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode khusus
pendidikan agama ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah
karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan
dengan pendidikan umum lainnya, karena pendidikan agama menyangkut
problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan
personality peserta didik.
Kedua, metode khusus pendidikan akhlak, Al-Ghazali
mengungkapkan “sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya
dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang
sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan
satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati mereka. Akan
tetapi seyogyanyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang
keadaan umurnya, sifat tubuhnya dan latihan apa yang disanggupinya.
Berdasarkan yang demikian itu, dibina latihan. Berikutnya kalau guru
melihat murid keras kepala, sombong dan congkak, maka suruhlah ia ke
pasar untuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri dan egois
tidak akan hancur, selain dengan sifat mandiri. Al-Ghazali menegaskan
bahwa akhlak tercela anak dihentikan dengan menyuruhnya melakukan
perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan
cara menurunkan panas atau obatnya ialah membuang penyakit itu.
4. Ibnu Kaldun
Abdurrahman Abu Zayid Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun, yang
selanjutnya lebih dikenal degan Ibnu Khaldun lahir tanggal 17 Mei 1332
M di Tunisia. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri. Namun karena
cintanya yang besar terhadap ilmu pengetahuan, mendorong Ibnu Khaldun
melanjutkan upayanya memperdalam ilmu pengetahuan dengan berguru
kepada berbagai ahli. Pelajaran bahasa diperolehnya dari Abu ‘Abdullah
Muhammad Ibnu Al-Arabi AlHasyayiri, Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Al-
Qushshar dan Abu ‘Abdillah. Pengetahuan hadits diperolehnya dari
Syamsuddin Abu ‘Abdillah Al-Wadiyasyi, pengetahuan fiqh diperoleh
dari Abdillah Muhammad Al-Jiyani dan Abu Al-Qasim Muhammad Al-
Qashir. Pengetahuan ilmu teologi, logika dan ilmu kealaman, matematika
dan astronomi diperolehnya dari Abu ‘Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim
Al-Abili. Dengan demikian, corak keilmuannya bersifat ensiklopedi. Ibnu
Khaldun berhenti belajar pada usia 20 tahun dan selanjutnya terjun ke
dunia politik yang penuh pergolakan dan mewarnai Maghrib ketika itu.
Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan pendidikan dan ilmu
pengetahaun dipengaruhi peradaban. Terjadinya perbedaan lapisan sosial
dalam masyarakt akibat hasil kecerdasan yang diproses melalui
pengajaran. Ia tidak setuju dengan pendapat sebagian kalangan yang
mengatakan terjadinya lapisan sosial lantaran perbedaan hakikat
kemanusiaan. Ia membagi ilmu pengetahaun menjadi tiga kelompok yaitu:
a) Ilmu lisan (bahasa), yaitu ilmu tentang tata bahasa sastra atau bahasa
yang tersusun secara puitis.
b) Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah Nabi.
Ilmu ini diperoleh dengan membaca kita suci Al-
c) Qur’an dan tafsirnya, sanad dan hadis pentashihannya serta istinbat
tentang kaidah-kaidah fiqih.

d) Ilmu aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengnan daya
pikir dan kecerdasannya kepada filsafat dan semua pengetahuan,
termasuk dalam kategori ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam,
ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku
(psikologi), ilmu sihir dan ilmu nujum.
Menurut Ibnu Khaldun mengajarkan pengetahuan kepada anak
didik akan berhasil apabila dilakukan dengan bertahap, setapak demi
setapak, sedikit demi sedikit. Pertama-tama ia harus diberi pelajaran
mengenai hal-hal setiap cabang pembahasan yang dipelajarinya.
Penjelasan yang diberikan harus secara umum dulu dengan
memperhatikan kemampuan pikir peserta didik dan kesanggupannya
memahami apa yang diberikan kepadanya.
Ibnu Khaldun berpendapat, orang yang mendapat keahlian dalam
bidang tertentu jarang sekali ahli pada bidang lainnya. Hal ini lantaran
sekali seseorang menjadi ahli hingga keahliannya tersebut tertanam
berurat berakar dalam jiwanya sehingga ia tidak akan ahli lagi dalam
bidang lainnya, kecuali keahlian yang pertama tadi belum tetanam kuat
dan memberi corak pemikirannya. Alasannya karena keahlian merupakan
sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak (Abuddin Nata,
1997).
5. Muhammad Abduh (1849-1905)
Muhammad Abduh dilahirkan tahun 1849 M/1266 H di salah satu
desa Delta Mesir bagian hilir. Ayahnya seorang petani keturunan Turki
yang telah lama menetap di Mesir dan ibunya keturunan Arab.
Dalam bidang pendidikan Muhammad Abduh cenderung
menggunakan matode yang didasarkan pada filsafat rasioalis. Pendidikan
agama, terutama yang berkaitan dengan tauhid digunakan pendekatan
nalar seperti yang diperolehnya melalui Jamaludiin Al-Afghani. Selain itu,
dalam bidang pendidikan, ia melakukan penataan bidang keuangan,
kurikulum dan sarana kependidikan. Dalam kurikulum, Muhammad
Abduh memasukkan mata pelajaran ilmu hisab, matematika, aljabar,
sejarah Islam, mengarang, ilmu bahasa, dasar-dasar ilmu hitung dan
geografi, yang sebelumnya belum diberikan di Al-Azhar.
Pembaharuan di bidang pendidikan yang dilakukan oleh
Muhammad Abduh di Al-Azhar ternyata juga berpengaruh besar pada
institusi pendidikan yang ada di Mesir. Bahkan ide pembaharuannya
ditulis dan disebarluaskan pula melalui majalah terkenal di Mesir yaitu Al-
Manar dan Al-Urwat Al-Wusqa.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam agama yang rasional.
Dengan membuka pintu ijtihad kebangunan akan dapat ditingkatkan. Ilmu
pengetahuan harus dimajukan di kalangan rakyat sehingga mereka dapat
berlomba dengan masyarakat Barat. Jika Islam ditafsirkan sebaik-baiknya
dan dipahami secara benar, tak satupun dari ajaran Islam yang
bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Menurutnya, akal salah satu
potensi manusia dan Islam sangat menganjurkan menggunakan akal. Iman
menjadi kurang sempurna tanpa didasarkan akal. Jika secara lahiriayah
ayat Al-Qur’an tampaknya bertentangan dengan akal, maka harus dicari
interpretasi yang membuat ayat tersebut tidak bertentangan dengan akal
(Jalaluddin dan Usman Said, 1996).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah
tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib, riyadhah, irsyad dan tadris. Masing-masing istilah
tersebut memiliki batasan dan lingkup pengertian tersendiri. Namun,
kesemuanya mengacu pada makna yang sama jika disebut secara terpisah,
sebab salah satu istilah tersebut sebenarnya mewakili istilah yang lain. Karena
itu, beberapa buku pendidikan Islam menyebutkan semua istilah tersebut dan
digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.
Dalam mengemukakan pemikiran para filosof pendidikan Islam
mengenai pendidikan Islam hanya sebatas pada beberapa filosof saja, yaitu:
Ibnu Maskawaih,Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Kaldun,dan Muhammad Abduh

B. Saran
Dengan adanya makalah mengenai Makna Filosofis dan Pandangan
Ahli Tentang Kependidikan Islam, penulis berharap pembaca dapat memahami
dan menambah wawasan pembaca. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu untuk memperkuat pemahaman dan
wawasan pembaca bisa mencari sumber sumber lain
DAFTAR PUSTAKA

Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2001), 154.
Anas Mahfudi, “Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Maskawaih:
Transformasi Antara Filsafat dan Agama”, dalam Jurnal Madinah: Jurnal Studi
Islam, Vol. III, No. 1, 2016, 5
Ibnu Maskawaih, Tahzibul Akhlak, 128-129
Harisah,Afifuddin(2017) Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar
Perkembangan,Cet 1:Yogyakarta ; Deepublish

16

Anda mungkin juga menyukai