Anda di halaman 1dari 6

TUGAS

MANAJEMEN LINGKUNGAN

MANAJEMEN SUMBER DAYA AIR (SDA) TERHADAP WILAYAH YANG TERDAMPAK


BENCANA LIKUIFAKSI DI KOTA PALU

SUHARTINI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK SIPIL

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU
1.1 Latar Belakang

Daerah Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi di
Indonesia, terkhusus kota Palu yang dilewati Sesar Palu Koro, merupakan sesar utama di
Pulau Sulawesi dan tergolong sesar aktif. Wilaya Sulawesi Tegah paling tidak telah
mengalami 19 kali kejadian gempa bumi merusak sejak tahun 1910 hingga 2013.

Peristiwa bencana gempabumi yang terjadi di Kota Palu pada tanggal 28 September 208
pukul 5.00, berkekuatan 6.1 Mw yang mengguncang Kota Palu, mengakibatkan hancurnya
sarana dan prasarana di Pesisir Kota Palu. Kabupaten Donggala Sigi, dan sekitarnya yang
terdampak langsung oleh bencana mengakibatkan kondisi daerah tersebut menjadi lumpuh.
Gempa yang diiringi tsunami berkekuatan magnitudo 7,4 dengan kedalaman 10 km itu
mengakibatkan kerusakan bangunan, jalan jembatan, dan infrastruktur sumber daya air.

Kejadian gempabumi dengan episenter di darat bermagnitudo terbesar yang tercatat yaitu
berada di darat berjarak 77 km timur llaut dari Kota Palu, bagian dari sesar aktif Palu-Koro.
Gempa bumi ini diikuti tsunami dan likuefaksi.

Tsunami merupakan hal yang janggal apabila melihat gempa bumi yang terjadi berasal
daro sesar Palu-Koro yang memiliki mekanisme patahan mendatar dan bukan vertical.
Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, disimpulkan bahhwa gempa bumi menyebabkan
longsoran bawah laut di beberapa tempat, inilah yang memicu terjadinya tsunami. Materi
longoran itu mendorong massa air laut dan menimbulkan gelombang air laut yang masuk
menuju daerah teluk yang sempit sehingga amplitude gelombang mengalami penguatan
(amplifikasi) dan kecepatan gelombang meningkat hingga mencapai daratan.

Berbeda dengan kejadian bencana di Nanggroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004


atau di Lombok pada Agustus 2018 lalu bencana alam di Palu memunculkan fenomena baru
yakni likuefaksi di beberapa wilayah pemukiman di Kota Palu, terutama Balaroa dan Petobo
serta di wilayah perbatasan Kota Palu dengan Kabupaten Sigi, Jono Oge. Peristiwa likuefaksi
atau perubahan perilaku tanah yang menjadi lunak dan cair mengakibatkan permukaan tanah
bergerak dan bangunan-bagunan yang berada di permukaannya ambles.

Pada 2012 Risna Widyaningrum dari Badan Geogologi Kementerian Energi dan Sumberdaya
Mineral (ESDM) melakukan penelitian untuk komponen tekstur tanah dan muka air di
wilayah sesar Palu-Koro. Hasil penelitian iini menyatakan bahwa secara umum wilayah Palu
meruopakan endapan alluvial dengan komposisi lapisan pasir pada kedalaman 1-7,2 meter,
selanjutnya terdapat lanau dan lapisan lempung pada bagian paling bawah.
1.2 Permasalahan
Gempa bumi di Sulawesi Tengah pada September 2018 menimbulkan longsor, tsunami,
dan likuifaksi tanah yang berdampak terhadap lebih dari 1,4 juta jiwa di daerah tersebut.
Bencana tersebut merenggut nyawa 2018 orang melukai 4.438 orang dan menjadikan
200.000 orang kehilangan tempat tinggalnya. Menurut perkiraan pemerintah, kerugian
ekonomi dari bencana tersebut mencapai US$ 1,7 miliar, sebagian besar karena kerusakan
parah terhadap perumahan, jalan, jembatan, Bandar udara, dan infrastuktur pelabuhan.

Selain menyebabkan kerusakan bangunan tersebut diatas juga menimbulkan kerusakan


pada bangunan infrastuktur sumber daya air (SDA) atau sumber daya air itu sendiri. Berikut
kerusakan infrastruktur SDA pascabencana:

1. Daerah Irigasi Gumbasa


Daerah Irigasi (DI) Gumbasa terletak di lembah Palu, memanjang dari kaki Hulu
Gumbasa sampai di Sungai Kawatuna, Kota Palu. Secara Administrasi DI Gumbasa
meliputi lima kecamatan yang berada di Kabupaten Sigi dan Kota Palu. Kelima
Kecamatan tersebut yaitu Gumbasa, Tanambulava, Dolo, Sigi, Biromaru, dan Palu
Selatan.

Gambar 1.1 DI Gumbasa terdampak bencana gempa bumi

Likuifaksi memutus saluran irigasi primer sehingga areal fungsional dan areal
potensial tidak dapat dialiri. Di Jono Oge, likuifaksi memutus saluran irigasi primer
sehingga areal fungsional dan potensial tidak dapat diairi. Di Lolu, likuikfaksi memutus
saluran sekunder Bobora sehingga areal fungsional dan potensial tidak dapat dialiri.
Selain itu, juga di Petobo likuifaksi terjadi di ujung hilir saluran primer sehingga areal
fungsional dan potensial tidak dapat dialiri.
Akibat kerusakan, baik ringan, sedang, maupun berat, lahan sawah kekurangan
pasokan air. Kerusakan yang terjadi hamper di seluruh bagian jaringan irigasi (bending,
saluran pembawa, bangunan sadapbagi sadap, dan bangunan lengkap) yang menyebabkan
DI Gumbasa berhenti beroperasi.

2. Bendungan Pasigala pemasok air bersih Palu, Sigi, dan Donggala


Bencana tsunami dan likuifaksi merusakan Bendung Pasigala. Bendung tersebut
merupakan bangunan vital yang berkonstribusii terhadap pasokan air bersih di Kabupaten
Palu, Sigi, dan Donggala. Pasigala ini merupakan bendung sarana penyediaan air minum
(SPAM) regional luar Jawa dan Banjar Bakula. Air dari bendung ini melewati pipa dan
ditampung di penampungan air di Desa Oloboju untuk dikelola menjadi air bersih dan
didistribusikan ke Palu, Sigi dan Dongggala.

Sebelum terdampak bencana, Bendung Pasigala/Saluki ini menampung debit air


baku 600 liter/detik, untuk memenui kebutuhan air bersih di tiga wilayah, yakni Kota
Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala.

Gambar 1.2 Kerusakan Intake Bendung Pasigala/Saluki


3. Kualitas air tanah di daerah terdampak likuefaksi
Daerah likuefaksi, baik di Petobo maupunn Balaroa sebagian besar merupakan
kawasan pemukiman padat dengan fasilitas tangki septik sebagai sarana pengolahan
limbah cair pada masing-masing rumah. Bencana likuifaksi yang terjadi di empat lokasi,
yaitu di Kelurahan Petobo, Balaroa Jono Oge, dan Sibalaya mengakibatkan tangki septik
dan jasad manusia yang tidak dapat dievakuasi di dalam tanah dikhawatirkan
berpengaruh terhadap kualitas air tanah akibat pembusukan.

Gambar 1.3 Model pergerakan partikel akibat peluruhan

1.3 Pemecahan Masalah


1. Pemulihan DI Gumbasa
Daerah Irigasi (DI) Gumbasa merupakan kewenangan pusat dengan luas
fungsional mencapai 4.73 hektare. Sejak 2016, DI Gumbasa direhabilitasi untuk
meningkatkan luas fungsional menjadi 8.180,65 hektare, jaringan yang telah selesai di
rehab mauoun yang belum di rehab mengalami kerusakan sampai dengan 70%.

Saran yang diberikan dalam pemulihan ini terdiri atas: tahapan penanganan
dampak bencana pada jaringan irigasi, konsep desain perbaikan jaringan irigasi dengan
focus jangka pendek yaitu hingga BGKn 7, modifikasi jaringan sekunder untuk drainase,
kosep desain bangunan penangkap dan pembilas sedimen, dan pola operasi irigasi.

2. Pemulihan layanan air baku dan air bersih bendung/intake Saluki, Wuno dan Paneka
Seperti telah dijelaskan diatas akibat bencana gempa, Bendung Saluki terdampak
dan sementara tidak dapat berfungsi. Alternati untuk menggantikan peran Bendung
Sanuki dan untuk meningatkan layanan air bersih Kota Palu dan Kabupaten Sigi adalah
Bendung Wuno. Untuk mengetahui kelayakan bendung tersebut dalam memenuhi
kebutuhan air baku, dilakukan analisis keterediaan air untuk DAS Bendung Wuno.

Kegiatan yang dilakukan untuk menganalisis ketersediaan air di Bendung Wuno


adalah pengumpulan data primer dan data sekunder, tabulasi dan analisis data,
perhitungan debit sesaat di Bendung Wuno, analisis hujan limpasan untuk menghitung
debit aliran dan analisis ketersediaan air sampau pembuatan Kurva Durasi Debit.

3. Pemulihan kualitas air tanah di daerah terdampak likuefaksi


Dampak likuifaksi terhadap kualitas air yang perlu diwaspadai adalah dampak
dari tangki septik penduduk yang tetimbun dari polutan jasad yang membusuk di dalam
tanah.

Dari data pengujian kualitas air terlihat bahwa pengaruh bencana likuifaksi belum
terlihat trennya, fluktuasi konsentrasi yang ada kemungkinan disebabkan oleh peruntukan
lahan bervariasi serta struktur geologinya, factor waktu juga memengaruhi. Oleh sebab
itu perlu dilakukan pemantauan secara berkala. Sesuai dengan perhitungan keceptan
pengaliran polutan dalam air tanag yang memerlukan waktu cukup panjang, maka
pemantauan kualitas air di kawasan di sekitar daerah likuifaksi perlu dilakukan secaa
menerus dan periodic. Disarankan dilakukan pemantauan kualitas air selama inimal satu
bulan sekali selama satu tahun dengan parameter dan titik pantau yang sama.

Metode yang dapat dilakukan dalam menghadapi dampak likuifaksi terhadap


kualitas air, sebagai berikut:
a. Kajian pustaka: proses pembusukan jasad manusia dan studi dampak
pemakaman terhadap kualitas air
b. Penentuan parameter pemantauan
c. Penentuan titik-titik pantau kualitas air berdasarkan aliran air tanah.
d. Pengambilan sampel air dan pengujian laboratorium
e. Perhitungan perkiraan kecepatan coli dalam aliran air tanah
f. Penyusunan SOP pemantauan kualitas air
g. Sosialisasi SOP Pemantauan Kualitas Air kepada BWS Sulawesi III untuk
kelanjautan pemantauan.

Anda mungkin juga menyukai