Anda di halaman 1dari 81

PROSES LEGISLATIF

INDONESIA
RACHMAT RAMDANI.,S.I.P.,M.I.Pol
Daftar isi

BAB I Konsep Perwakilan Politik ..................................................................................... 1

BAB II Model-Model Perwakilan Politik ......................................................................... 7

BAB III Struktur Dan Fungsi Legislatif ......................................................................... 14

BAB IV Legislasi Dalam Sistem Presidensil Dan Parlementer .................................... 30

BAB V Demokrasi Dan Partai Politik ............................................................................. 38

BAB VI Keterwakilan Politik Perempuan .................................................................... 46

BAB VII Paradigma Kekuasaan Dalam Politik Kebijakan .......................................... 53

BAB VIII Pembentukan Penyusunan Peraturan Daerah Yang Responsif ................. 62

BAB IX Template Tugas Kelompok Penyusunan Naskah Akademik ......................... 71


BAB I

KONSEP PERWAKILAN POLITIK

Untuk perwakilan di Indonesia, isu terkini yang mengemuka adalah

tentang integritas para wakil rakyat. Berdasarkantemuan yang diperoleh Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2018) melalui survei "Pemetaan Kondisi

Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan" menjelang Pemilu

Serentak 2019" dimana DPR dan Parpol juga diposisikan oleh masyarakat sebagai

instansi demokrasi yang menempati posisi yang rendah. Katadata (2018) mencatat

setidaknya sejak 2007 hingga Mei 2018, terdapat 205 anggota DPRD dan DPR-RI

yang tertangkap korupsi. Lebih lanjut, persepsi tidak baik juga tercipta karena

sikap dan perilaku wakil yang seringkali dianggap tidak mencerminkan rakyat

yang diwakilinya. Keputusan dan produk legislasi yang dihasilkan banyak

dianggap yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat.

Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Pasal 1 ayat (2) menetapkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam konsep ini, sistem

perwakilan politik Indonesia merupakan resultante dari kedaulatan rakyat.

Mengembangkan sistem perwakilan politik berintegritas merupakan bagian dari

usaha untuk memberikan ruang terhadap konektivitas antar perwakilan politik

dengan kedaulatan rakyat. Perwakilan politik yang ideal adalah perwakilan politik

yang tidak mencederai kedaulatan rakyat.

1
Secara umum, untuk memahami konsep perwakilan politik atau repsentasi

politik menurut pandangan Urbinanti dan Warren (2008) terdapat empat sudut

pandang. Pertama, perwakilan politik dipahami sebagai relasi prinsipal dan agen,

dimana prinsipal dalam hal ini ada konsituten yang berbasis teritorial untuk

memilih agen untuk mewakili dan bertindak sesuai dengan kepentingan dan opini

dari para konstituen. Dengan demikian, jika mengikuti logika dari perspektif ini,

maka ada pihak yang memberikan sumber untuk legitimasi kekuasaan dan ada

pihak yang menjalankan kekuasaan. Kedua, perwakilan dipahami sebagai

perwakilan elektoral yang menggambarkan sebuah ruang melalui mana kedaulatan

dikenali oleh kekuasan negara. Ketiga, perwakilan dipahami sebagai mekanisme

elektoral yang memastikan beberapa ukuran responsivitas kepada rakyat oleh para

wakil dan partai politik yang berbicara dan bertindak atas nama rakyat. Keempat,

perwakilan dipahami sebagai hal-hal yang terkait dengan hak pilih yang

membentuk perwakilan politik dengan sebuah elemen penting yaitu kesamaan

politik.

Merujuk karya klasik Pitkin yang berjudul The Copcept Of Representation

(1967) yang menjelaskan empat dimensi penting dari perwakilan elektoral, yaitu

wakil, yang diwakili, subtansi perwakilan dan konteks. Dimensi wakil yaitu

merujuk pada mereka yang dipilih oleh rakyat dalam sebuah pemilu, sedangkan

dimensi pihak yang diwakili merujuk pada pemilih yang memiliki hak pilih

sebagai simbol dari rakyat secara keseluruhan. Dimensi subtansi perwakilan

adalah materi yang menjadi landasan dari wakil dan yang diwakili yang terkait

dengan kepentingan dan tuntutan dari pihak yang diwakili untuk kemudian

2
diteruskan menjadi kebijakan publik oleh pihak yang mewakili. Proses perwakilan

ditentukan oleh dimensi konteks yang ada misalnya sistem politik, sistem pemilu,

sistem kepartaian dan budaya politik yang ada di sebuah negara.

Lebih lanjut, Pitkin berpandangan terdapat dimensi legitimasi dan

akuntabilitas dalam perwakilan politik. Pihak yang diwakili memberikan

legitimasi kekuasaan kepada sang wakil melalui pemilu untuk membuat sebuah

tindakan politik. Pada sisi yang lain, sang wakil wajib memberikan akuntabilitas

terkait kinerja mereka dalam proses pembuatan kebijakan publik kepada rakyat

dalam rangka memastikan bahwa wakil selalu mempromosikan kepentingan dari

yang diwakili.

Cara pandang dalam menjelaskan konsep perwakilan politik mengalami

perkembangan secara lebih luas menyesuaikan dengan perkembangan

kontemporer. Perkembangan model perwakilan politik banyak para ahli

memberikan pandangan dengan implikasi serta redefinisi dari konsep perwakilan

politik.

Pertama oleh Saward (2010) yang menggunakan pendekatan

konstruktivisme. Pandangan Saward menawarkan konsep baru dalam

mendefinisikan konsep perwakilan politik. Pandangan Saward tidak lagi mengikuti

pendekatan klasik dalam mendefinisikan perwakilan politk yaitu prinsipal dan

agen. Saward menawarkan pendekatan baru, melihat sejauhmana si wakil

menciptakan dan membingkai identitas dan klaim terkait dengan pihak yang

mewakilinya. Dalam pandangan Saward menjelaskan lebih lanjut perwakilan

politik sebagai proses dimana “seseorang pembuat perwakilan (M) meletakkan

3
sebuah subyek (S) yang membela seorang objek (O) dan terkait dengan rujukan

(R) dan ditawarkan kepada audien (A).

Kedua Williams (1998), menurut pandangan Williams konsep perwakilan

politik tidak sekedar melibatkan relasi antara pihak wakil dan pihak yang diwakili.

Menurut Williams lebih dari itu, konsep perwakilan politik melibatkan tiga

dimensi yaitu dimensi proses pembuatan kebijakan publik, dimensi watak dari

relasi antara wakil dan yang diwakili dan dimensi dasar dalam menggabungkan

warga negara ke dalam konstitusi yang dapat mampu terwakili. Konsep

perwakilan politik yang ditawarkan oleh Williams sangat terkait dengan upaya

mediasi dari seorang wakil dalam menjembatani ketiga dimensi ini.

Ketiga oleh Urbinati (2002) menawarkan cara pandang yang lain, yaitu

perwakilan sebagai advokasi. Dalam pandangannya, fokus kajian dari konsep

perwakilan politik sebenarnya bukan tentang agregasi kepentingan, tapi tentang

bagaimana mempertahankan perdebatan yang diperlukan untuk menjamin

kebebasan dalam demokrasi. Penjelasan Urbinati menawarkan cara pandang baru

dalam memahami konsep perwakilan politik dengan melibatkan para aktor non-

negara sebagai pihak wakil dalam proses pembuatan kebijakan publik.

Wakil adalah hanya satu pihak. Pihak lain yang sama pentingnya dalam

konsep perwakilan politik adalah mereka yang diwakili. Membicarakan konsep

perwakilan politik dengan demikian tidak bisa dilepaskan dari pihak pihak yang

diwakili atau konstituen. Dalam konteks ini, konsep perwakilan politik sangat

terkait dengan konsep konstituensi dan konstituen.

4
Keempat Rehfeld (2005, 36) mendefinisikan konstituensi sebagai “sebuah

hal dimana negara mendefinisikan kelompok-kelompok warga negara untuk tujuan

memilih wakil-wakil politik.” Sedangkan konstituen mengarah pada mereka yang

memberikan suara dalam pemilu, kelas tertentu, agama atau suku tertentu,

kelompok dengan ciri-ciri deskriptif tertentu, misalnya kelompok profesi, dan

kelompok-kelompok relawan, misalnya kelompok yang berorientasi pada ras,

gender dan orientasi seksual tertentu.

Lebih lanjut, Rehfeld menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi penting

dalam konsep konstituensi. Ketiganya akan sangat menentukan model-model

perwakilan politik. Ketiganya juga saling memiliki keterkaitan. Pertama adalah

homogenitas, yaitu cara mendefinisikan konstituen dengan melihat derajad

kesamaan karakteristik dari sebuah kelompok. Dari sisi wakil, seorang wakil yang

mendefinisikan konstituennya adalah homogen tentu saja akan sangat berbeda

dengan seorang wakil yang mendefinisikan konstituennya adalah heterogen.

Kedua adalah stabilitas, yaitu frekuensi yang dengan mana kita akan dapat

melihat kontinyiutas dan diskontinyuitas dari para pemilih dari satu pemilu ke

pemilu yang lain. Wakil akan sangat mempertimbangkan konstituen mana yang

loyal pada wakil tersebut dan konstituen mana yang tidak loyal. Ketiga adalah

kesukarelaan, yaitu merujuk pada derajad melalui mana setiap individu konstituen

memiliki ruang untuk pilihan pribadi. Wakil akan memiliki sikap dan perilaku

yang berbeda dalam merespon konstituen yang ruang pilihan pribadinya sempit

dengan konstituen yang memiliki ruang pilihan pribadi lebih longgar.

5
Daftar Pustaka

Pitkin, Hanna Fenichel, 1967. The Concept of Representation. Berkeley:


University of California.

Rehfeld, Andrew, 2005. The Concept of Constituency: Political Representation,


Democratic Legitimacy and Institutional Design, Cambridge: Cambridge
University Press

Saward, Michael, 2010. The Representative Claim. Oxford: Oxford University


Press.

Urbinati, Nadia dan Mark E. Warren, 2008. “The Concept of Representation in


Contemporary Democratic Theory,” Annual Review of Political Science,
Vol. 11, hal. 387–412.

Williams, Melissa, 1998. Voice, Trust, and Memory: Marginalized Groups and the
Failings of Liberal Representation. Princeton, NJ: Princeton University.

6
BAB II

MODEL-MODEL PERWAKILAN POLITIK

Model perwakilan politik juga menjelaskan sejauhmana proses artikulasi,

agregasi, dan advokasi dari tuntutan serta kepentingan publik menjadi kebijakan

publik melalui pihak wakil sebagai pembuat kebijakan. Menurut Rehfeld (2009),

setidaknya ada tiga alasan yang menjelaskan relevansi untuk mendiskusikan

model perwakilan politik. Pertama adalah untuk memperjelas sumber yang

digunakan oleh para wakil dalam membuat keputusan atas sebuah situasi dalam

proses pembuatan kebijakan publik. Apakah seorang wakil bisa otonom dan

mandiri dalam menentukan sebuah sikap ketika terlibat dalam proses pembuatan

kebijakan publik (self-reliant)? Atau dia harus bergantung kepada sikap dan

perilaku mereka yang diwakilinya (dependent)? Kedua adalah untuk menentukan

pencapaian tujuan dari sebuah kebijakan publik.

Apakah sebuah kebijakan publik akan diarahkan kepada semua orang

dengan resiko bahwa tuntutan dan kepentingan pihak yang diwaliki oleh sang

wakil justru tidak akan terakomodir sepenuhnya (Republican aims)? Atau, apakah

sebuah kebijakan publik harus secara sangat spesifik diarahkan oleh sang wakil

kepada pemenuhan atas tuntutan dan kepentingan dari yang diwakilinya semata

sehingga beresiko untuk mengorbankan kepentingan dan tuntutan dari orang lain

(Pluralist aims)? Ketiga adalah responsivitas diri dari seorang wakil kepada

sanksi. Dalam artian, apakah seorang wakil akan sangat responsif (induced) atau

tidak responsif (Gyroscopic) pada prospek untuk terpilih kembali dalam pemilu

7
berikutnya atau sanksi politik dalam bentuk yang lain ketika mereka bersikap

dalam proses pembuatan kebijakan publik?

Kajian Pitkin (1967) yang menjadi dasar dalam studi-studi berikutnya

menjelaskan empat pandangan dalam memahami konsep perwakilan politik. Yang

pertama adalah perwakilan formalistik, yaitu pengaturan institusional yang

memelopori dan menginisiasi perwakilan. Representasi formalistik memiliki dua

dimensi utama, yaitu otorisasi dan akuntablitas. Istilah pertama merujuk pada cara

yang melalui mana si pihak wakil mendapatkan jabatan kekuasaannya. Sedangkan

istilah kedua merujuk pada kemampuan dari si pihak yang diwakili untuk

memberikan hukuman kepada si pihak wakil ketika si pihak wakil gagal dalam

bertindak sesuai dengan tuntutan dan kepentingan si pihak yang diwakili. Dengan

demikian, perwakilan formalistik sangat terkait dengan topik bagaimana si pihak

wakil mendapat legitimasi untuk menjadi wakil dan bagaimana si pihak yang

diwakili memastikan bahwa tuntutan dan kepentingannya akan ditindaklanjuti

oleh si pihak wakil.

Yang kedua adalah perwakilan simbolik, yaitu cara dimana si pihak wakil

membela (stand for) tuntutan dan kepentingan dari si pihak yang diwakili. Dengan

menggunakan perspektif ini, dalam melihat perwakilan politik, kita akan fokus

pada sejauhmana si wakil memperjuangkan tuntutan dan kepentingan pihak yang

diwakili. Selain itu, kita juga akan fokus pada bagaimana wakil dalam

memperjuangkan aspirasi dari pihak yang diwakili. Semakin seorang wakil

memperjuangkan tuntutan dan kepentingan dari pihak yang diwakili di dalam

proses pembuatan kebijakan publik, maka si wakil tersebut semakin memiliki

8
model perwakilan simbolik. Sebaliknya, semakin seorang wakil tidak

memperjuangkan aspirasi dari pihak yang diwakili, maka si wakil tersebut

semakin tidak dapat dikatakan sedang mengadopsi model perwakilan simbolik

ketika sang wakil menjadi salah satu aktor pembuat kebijakan publik.

Yang ketiga adalah perwakilan deskriptif yang merujuk pada sejauhmana

si wakil menyamai pihak yang diwakilinya (act for). Dengan perspektif ini, kita

akan melihat apakah si wakil menyamai pihak yang diwakilinya? Sejauhmana si

wakil memiliki kepentingan yang sama dengan pihak yang diwakilinya? Atau

sejauhmana si wakil memiliki kesamaan pengalaman dengan pihak yang

diwakilinya? Semakin si wakil menyamai dan memiliki kepentingan serta

pengalaman yang sama dengan yang diwakilinya ketika sang wakil terlibat dalam

proses perumusan kebijakan publik, maka si wakil sebenarnya sedang mengadopsi

model perwakilan deskriptif. Begitu juga sebaliknya. Semakin si wakil tidak sama

dan memiliki kepentingan serta pengalaman yang berbeda dengan pihak yang

diwakilinya, maka si wakil tidak dapat dikategorikan memiliki model perwakilan

deskriptif dalam konteks pembuatan kebijakan publik.

Keempat adalah perwakilan substantif yang merujuk pada aktivitas dari

pihak sang wakil, yaitu sejauhmana tindakan-tindakan yang diambil oleh sang

wakil dalam rangka mengatasnamakan mereka yang diwakili (act for). Hal ini

juga merujuk pada tindakan-tindakan dari sang wakil dalam rangka untuk

memperjuangkan kepentingan pihak yang diwakili. Dalam konteks ini, perspektif

ini melihat sejauhmana sang wakil menjadi agen dan menjadi pengganti dari

mereka yang diwakilinya. Semakin tindakan-tindakan sang wakil sama

9
mengatasnamakan dan sesuai dengan tuntutan dan kepentingan dari pihak yang

diwakili, maka sang wakil tersebut sebenarnya sedang menjadi agen dan

pengganti dari mereka yang diwakili di dalam proses perumusan kebijakan publik.

Dan sebaliknya.

Melanjutkan apa yang sudah digagas oleh Pitkin, Heywood (2013; 197-

202) kemudian menjelaskan empat model perwakilan politik. Pertama adalah

model wali (trustee), yaitu wakil yang bertindak atas nama pihak lain dan

mengandalkan pada pengetahuan pribadi karena memiliki tingkat pendidikan yang

tinggi serta pengalaman yang banyak. Kedua adalah model delegasi (delegate),

yaitu wakil yang memposisikan diri sebagai saluran untuk menyampaikan

pendapat orang lain dan sangat minim atau bahkan tidak memiliki kapasitas untuk

mengandalkan pada kemampuan diri sendiri. Ketiga adalah model mandat

(mandate), dimana seorang wakil benar-benar menjadi agen partai politik dalam

menterjemahkan ideologi dan platform partai politik ke dalam kebijakan publik.

Keempat adalah model kemiripan (resemblance), yaitu seorang wakil yang dipilih

karena dia menyerupai grup yang dia klaim sedang dia wakili.

Secara lebih spesifik lagi, Rehfeld (2011) dengan sangat intensif kemudian

berusaha mengerucutkan model perwakilan politik ke dalam dua model, yaitu

model wali (trustee) dan mandat (mandate). Karakter model wali adalah jika

seorang wakil lebih mengandalkan pada justifikasinya sendiri ketika dia terlibat

dalam proses pembuatan kebijakan publik, untuk mempromosikan kebaikan

bersama, dan dia tidak begitu peduli dengan soal sanksi politik yang diberikan

kepada yang diwaliki atas kinerjanya selama menjadi seorang wakil. Atau, dalam

10
bahasana Rao (1998), model wali merujuk pada seorang wakil yang merupakan

agen yang bebas dan mengikuti pertimbangannya sendiri dalam menentukan apa

yang baik, adil, dan lain sebagainya, dimana pertimbangan ini dibuat dengan dasar

analisa dia atas fakta yang ada. Sedangkan karakter model mandat adalah jika

seorang wakil lebih mengandalkan pada tuntutan dan kepentingan pihak yang

diwalikinya ketika dia terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik, untuk

mempromosikan kebaikan dari pihak yang diwakilinya, dan dia sangat

mempertimbangkan agar dapat dipilih kembali dalam pemilu berikutnya dan tidak

mendapat sanksi politik dalam bentuk yang lain dari pihak yang diwakilinya.

Dengan mengacu pada proses pembuatan kebijakan publik di arena politik

lokal di Inggris, Rao (1998) kemudian menambahkan satu model perwakilan

politik lagi di luar model wali dan mandat, yaitu model politiko (politico). Model

ini merujuk pada karakter seorang wakil yang memiliki elemen model wali dan

model mandat dalam berbagai cara. Atau dengan kata lain, model politiko adalah

model yang mengkombinasikan model wali dan model mandat sesuai dengan

konteks yang ada ketika seorang wakil sedang terlinat dalam proses pembuatan

sebuah kebijakan publik. Dengan demikian, bisa jadi dalam satu waktu seorang

wakil akan cenderung ke arah model wali dan pada waktu yang lain seorang wakil

akan lebih dekat ke model mandat.

Dengan model politiko, seorang wakil akan lebih sensitif untuk

mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan dan lebih fleksibel dalam

mengadopsi model mana yang lebih pas untuk sebuah kebijakan publik tertentu.

Dengan demikian, perkembangan perdebatan teoritik tentang perwakilan politik

11
telah menghasilkan berbagai definisi atas konsep tersebut. Perbedaan cara

pandang juga telah menghasilkan rumusan model-model perwakilan yang

beragam. Namun demikian, dari uraian di atas, setidaknya kita dapat

mengidentifikasi tiga model perwakilan politik, yaitu model wali, mandat dan

politiko.

12
Daftar Pustaka

Heywood, Andrew, 2013. Politics. New York: Palgrave Macillan.

Pitkin, Hanna Fenichel, 1967. The Concept of Representation. Berkeley:


University of California.

Rao, Nirmala. 1998. “Representation in Local Politics: a Reconsideration and


some New Evidence,” Political Studies, Vol. XLVI, hal. 19-35.

Rehfeld, Andrew, 2009. “Representation Rethought: On Trustees, Delegates, and


Gyroscopes in the Study of Political Representation and Democracy,” The
American Political Science Review, Vol. 103, No. 2, hal. 214-230.

Rehfeld, Andrew. 2011. “The Concepts of Representation,” The American


Political Science Review, Vol. 105, No. 3, hal. 631-641.

13
BAB III

SEJARAH, STRUKTUR DAN FUNGSI PARLEMEN

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH TERBENTUKNYA LEMBAGA


PERWAKILAN
Gagasan tentang demokrasi langsung (direct democracy), sebuah
sistem politik yang melibatkan warga terlibat secara langsung dalam
pembuatan keputusan, menghadapi banyak kendala mendasar untuk
dipraktikkan dalam kehidupan politik modern. Wilayah yang luas, jumlah
penduduk yang semakin besar telah „memaksa‟ warga menyalurkan
pendapat dan keinginannya melalui sebuah lembaga yang beranggotakan
orang-orang yang mereka pilih. Dalam konsep demokrasi perwakilan
(indirect democracy) ini warga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok yang mewakili disebut wakil dan kelompok yang diwakili
disebut sebagai terwakil.
Para wakil merupakan kelompok orang yang mempunyai
kemampuan/kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama terwakil
yang jumlahnya lebih besar. Ada beberapa istilah yang biasa digunakan
dalam menyebut lembaga perwakilan, antara lain legislature, assembly,
dan parliament. Istilah lembaga legislatif atau legislature mencerminkan
salah satu fungsi utama dari lembaga tersebut, yaitu pembuatan undang-
undang (legislasi), sedangkan istilah assembly menunjuk pada pengertian
bahwa lembaga tersebut merupakan wadah berkumpul untuk
membicarakan masalah-masalah publik. Istilah parliament mempunyai
pengertian yang hampir sama dengan istilah assembly.
Dengan asal kata parler, yang berarti bicara, parlemen dianggap
sebagai tempat bicara atau merundingkan masalah-masalah kenegaraan.
(Budiardjo, 2008: 315) istilah-istilah tersebut menunjuk pada sejarah
perkembangan lembaga perwakilan di dunia, di mana istilah legislature
biasa digunakan di AS, sementara istilah parliament atau assembly lebih

14
banyak digunakan di negara-negara Eropa atau non-AS. (Cipto, 1995: 2).
Parlemen yang dibentuk di Inggris pada abad pertengahan merupakan
parlemen pertama di dunia.Sebenarnya awalnya lembaga ini mempunyai
fungsi dan peran yang jauh berbeda dengan parlemen dewasa ini.
Parlemen saat itu hanya terdiri dari raja, bangsawan, tuan tanah, serta
petinggi agama yang melakukan pertemuan hanya jika dikehendaki oleh
raja.
Pada abad keempat belas raja mengembangkan pertemuan tersebut
sebagai media untuk meminta nasihat atau informasi kepada para petinggi
kerajaan tentang persoalan-persoalan penting. Para petinggi kerajaan
memainkan peran sebagai penasihat dan pembantu raja. Meskipun nasihat
mereka tidak selalu menjadi pertimbangan raja dalam memutuskan
sesuatu, komunikasi satu arah ini menjadi cikal-bakal House of Lords,
salah satu majelis parlemen di Inggris yang masih bertahan hingga saat ini.
(Cipto, 1995: 3).
Kekuasaan House of Lords yang semakin hari semakin besar
mendorong raja untuk mengurangi hak-hak lembaga tersebut, namun
upaya ini menimbulkan konflik di antara keduanya. Dengan dukungan
rakyat dan kelas menengah akhirnya para bangsawan ini justru dapat
memaksa raja untuk menerima pembatasan kekuasaan. Dasar-dasar
monarki konstitusional di Inggris pun mulai terbentuk. Dalam
perkembangan berikutnya, rakyat dan kalangan menengah yang merasa
sebagai kelompok yang terkena dampak langsung dari setiap kebijakan
yang dibuat menuntut untuk dilibatkan dalam pembicaraan menyangkut
pajak dan rencana anggaran.
Dari sinilah kemudian lahir perwakilan rakyat biasa, yang dikenal
dengan nama House of Commons. (Boboy, 1994: 18). Perkembangan
parlemen di Inggris menunjukkan besarnya pengaruh perkembangan
sosio-ekonomi terhadap sistem politik. Pada abad ketujuh belas parlemen
tidak hanya terdiri dari kalangan bangsawan dan gereja, tetapi juga
kalangan pengusaha. Sementara itu, dampak revolusi industri yang terjadi

15
pada abad kesembilan belas mendorong diberikannya alokasi kursi
parlemen bagi daerah-daerah industri, seperti Manchester, Birmingham,
dan Sheffield. The Great Reform Act yang dibuat pada 1832 memperkuat
terakomodirnya berbagai kekuatan di dalam parlemen. (Cipto, 1995: 4).
Reform Act pada 1867 memperluas hak pilih kepada buruh dan petani.
Pada tahun 1918 hak pilih diberikan kepada semua warga negara yang
telah berusia 21 tahun untuk laki-laki dan tiga puluh tahun untuk
perempuan. Baru pada tahun 1970 batasan usia pemilih kemudian
diturunkan menjadi 18 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
(Cipto, 1995: 4).
B. HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA LEGISLATIF DAN LEMBAGA
EKSEKUTIF
Hubungan antara parlemen dan lembaga eksekutif di negara
demokratis dapat dibedakan menjadi sistem parlementer dan sistem
presidensil. Di samping keduanya, ada berbagai negara yang mencoba
mengkombinasikan keduanya, seperti sistem semi-presidensialis di
Perancis. Sistem pemerintahan Inggris dan AS biasanya dijadikan
referensi mengenai bagaimana kedua sistem tersebut dijalankan.
Perbedaan mendasar antara sistem parlementer dan sistem presidensil
terletak pada status dan kewenangan kepala pemerintahan dan
hubungannya dengan parlemen. (Budiardjo, 2008: 297). Di bawah ini akan
diuraikan tentang sistem parlementer dan sistem presidensial.
1. Sistem Parlementer
Dalam sistem parlementer, fungsi eksekutif sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara dijalankan oleh dua lembaga yang
berbeda. Kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri yang
memimpin kabinet dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Ia biasanya adalah pimpinan partai politik pemenang
pemilihan umum. Sementara fungsi kepala negara dijalankan oleh
presiden atau di negara monarki oleh raja/ratu. Kekuasaan kepala negara
cenderung bersifat simbolis dan tidak menjalankan kekuasaan yang nyata

16
dalam kehidupan politik sehari-hari sehingga ia tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan. (Lijphart, 1995:
37−38).
Prinsip dasar pemerintahan di Inggris, Jepang, India, negara-negara
Eropa Barat dan Skandinavia, negara-negara persemakmuran, dan negara-
negara lain yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer adalah
fusi kekuasaan yang mengkonsentrasikan semua kekuasaan di tangan
parlemen. Prinsip tersebut diwujudkan, antara lain dengan adanya
tumpang-tindih personel, di mana dengan sedikit pengecualian, konstitusi
di negara-negara dengan sistem parlementer mengharuskan jabatan-
jabatan puncak lembaga eksekutif diisi oleh anggota parlemen. Selain itu,
terdapat supremasi formal parlemen, di mana kekuasaan para menteri
untuk menjalankan pemerintahan adalah kekuasaan yang diberikan oleh
parlemen. Karena itu, para menteri dalam sistem parlementer bertanggung
jawab kepada parlemen.
Parlemen bisa mengganti menteri tertentu atau bahkan kabinet
kapan saja dengan mosi tidak percaya yang dilakukan melalui pemungutan
suara. Jika mosi tidak percaya didukung oleh mayoritas anggota parlemen
maka perdana menteri atau anggota kabinet harus berhenti. Dalam konflik
dengan parlemen, perdana menteri biasanya mempunyai kewenangan
untuk membubarkan parlemen. Pembubaran ini harus disertai
penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang baru yang
akan memilih kabinet baru. (Ranney, 1993: 241−242) Sistem ini
merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan di negara-
negara demokratis dewasa ini.

2. Sistem Presidensial
Pada saat menyusun draf Konstitusi, lima puluh lima founding
fathers AS menekankan pentingnya keserasian hubungan antara
pemerintah dan hak asasi manusia. Mereka percaya bahwa dalam
menyusun pemerintahan yang benar-benar adil dan bebas, rakyat berada di

17
antara dua kecenderungan yang sama-sama berbahaya. Di satu sisi,
besarnya kekuasaan dan kemampuan penggunaan paksaan yang dimiliki
pemerintah adalah sebuah ancaman yang permanen terhadap kebebasan
sipil. Dalam kondisi ini rakyat dihadapkan pada bahaya kecenderungan
pemerintah yang tirani.
Di sisi yang lain, ketiadaan hukum dan anarki yang diakibatkan
oleh terlalu lemahnya pemerintah juga berbahaya bagi hak asasi manusia
karena setiap individu menjadi ancaman bagi individu yang lainnya. Lalu
bagaimana mendamaikan antara kebutuhan adanya pemerintahan yang
cukup kuat untuk menegakkan hukum dan ketertiban dengan kebutuhan
untuk mencegahnya menjadi pemerintahan yang tirani? James Madison
dan para penyusun Konstitusi lainnya sepakat bahwa pemisahan
kekuasaan adalah jawabannya. Maka, di AS kemudian dikenal pemisahan
antara tiga cabang kekuasaan yang sejajar, yaitu Kongres, Presiden, dan
Mahkamah Agung. (Ranney, 1993: 240)
Secara filosofis, pemikiran para pendiri AS ini sangat dipengaruhi
pemikiran John Locke. Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif, baik
sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan, sedangkan
Mahkamah Agung menjalankan kekuasaan yudikatif, yaitu menjaga
ketertiban hukum dan konstitusi. Adapun Kongres, yang terdiri dari Senat
dan DPR, menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan. Ada dua alat
yang digunakan untuk menjalankan pemisahan kekuasaan di AS, yaitu
checks and balances dan pemisahan personel. Pemisahan kekuasaan tidak
dimaksudkan untuk mengisolasi satu cabang kekuasaan dari cabang
kekuasaan yang lain.
Masing-masing cabang justru dilengkapi dengan sejumlah
kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap cabang yang lain dalam
rangka mewujudkan keseimbangan antara cabang yang satu dengan yang
lain. Dalam hal hubungan antara presiden dan Kongres, mekanisme checks
and balances dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada Kongres
untuk melakukan pemakzulan (impeachment) terhadap presiden,

18
menerima atau menolak rencana anggaran yang diajukan presiden, dan
memberikan persetujuan terhadap pengisian berbagai jabatan penting di
pemerintahan. Sebaliknya, presiden mempunyai kewenangan untuk
mengontrol Kongres dengan mem-veto keputusan Kongres. Sementara
dalam hal pengisian jabatan, Konstitusi AS melarang adanya rangkap
jabatan. (Ranney, 1993: 241) Indonesia, Filipina, Meksiko, Kolombia,
Kostarika, dan negara-negara di kawasan Amerika Latin juga
mempraktikkan sistem pemerintahan presidensial.
Dalam sistem presidensil, fungsi eksekutif sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara dijalankan oleh presiden, yang dipilih
oleh rakyat secara langsung ataupun dipilih oleh lembaga tertentu dengan
masa jabatan tertentu (fixed term). Sebagai kepala pemerintahan, presiden
mengangkat menterimenteri yang akan duduk dalam kabinet dan bertugas
sebagai pembantu dan bertanggung jawab kepada presiden. Sebagai kepala
negara, presiden memegang berbagai kekuasaan simbolis. Dalam sistem
presidensil, kedudukan presiden dan parlemen adalah sama kuat karena
keduanya memperoleh legitimasi melalui pemilu yang terpisah. Presiden
tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan parlemen tidak bisa
memberhentikan presiden, kecuali karena alasan pelanggaran hukum berat
yang memerlukan proses panjang. (Lijphart, 1995: 44-47).

C. STRUKTUR KELEMBAGAAN PARLEMEN


Menurut Rod Hague, dkk, ada tiga aspek penting terkait dengan
struktur parlemen di dunia, yaitu ukuran lembaga atau jumlah anggotanya,
jumlah majelis di dalamnya, dan sistem komisinya. Pertama, dari segi
ukurannya, secara umum ada kecenderungan bahwa besarnya lembaga
perwakilan berkorelasi positif dengan jumlah penduduk. Negara kecil
dengan jumlah penduduk yang sedikit biasanya memiliki parlemen dengan
jumlah anggota sedikit pula, contohnya Tuvalu di Pasifik Selatan. Di
negara yang jumlah penduduknya berjumlah 8.624 jiwa ini jumlah anggota

19
parlemen hanya 12 orang. Di Cina, yang jumlah penduduknya lebih dari 1
miliar jiwa, anggota Kongres Rakyat Cina berjumlah 3.000 orang.
(Hague: 185) Kedua, sistem komisi di dalam parlemen. Secara
umum, ada tiga tipe komisi, yaitu standing committee, select committee,
dan joint committee. Standing coomittee adalah badan yang bersifat tetap
untuk menangani fungsi legislatif parlemen di bidang-bidang dianggap
penting dan mendasar. Select committee dibentuk untuk menjalankan
fungsi pengawasan atau penyelidikan terhadap pemerintah, sedangkan
joint committee dibentuk pada sistem bikameralisme untuk menengahi
perbedaan antara kedua majelis dalam pengambilan keputusan. Komisi-
komisi ini mempunyai fungsi yang lebih menonjol di negara-negara yang
tidak mempunyai sistem dominasi partai, seperti di AS. (Hague, 188−189).
Ketiga, dari segi jumlah majelisnya ada dua sistem yang digunakan
dewasa ini, yaitu sistem unikameral (unicameralism) dan sistem bikameral
(bicameralism). Dalam sistem unikameral kekuasaan terkonsentrasi pada
satu unit pusat, sedangkan dalam sistem bikameral kekuasaan lembaga
perwakilan dilakukan oleh dua majelis, yaitu biasa dikenal dengan sebutan
majelis rendah (lower house) dan majelis tinggi (upper house). Pilihan
pada unikameralisme didasarkan pada alasan, salah satunya bahwa model
ini meminimalkan terjadinya manuver-manuver politik yang menganggu
pengambilan keputusan sehingga dapat „menghambat‟ pemerintahan. Para
pendukung bikameralisme biasanya mengemukakan kebutuhan adanya
checks and balances internal di lembaga perwakilan. Majelis tinggi
diharapkan dapat mempertahankan kepentingan individual, kelompok atau
regional terhadap potensi pemaksaan kehendak atau kepentingan
mayoritas di majelis rendah. (Hague: 186−187).
Jumlah anggota majelis rendah biasanya bersifat proporsional, di
mana jumlah wakil berbanding dengan jumlah warga negara yang
diwakilinya, sedangkan majelis tinggi sebagian ada yang berdasarkan
keturunan, seperti Inggris dan ada juga yang merefleksikan pembagian
wilayah, seperti di AS. Dengan beberapa pengecualian, sistem unikameral

20
biasanya diterapkan di negara yang secara geografis kecil, penduduknya
homogen dan tidak besar, umumnya kurang dari 10 juta jiwa. Sementara
itu, sistem bikameral biasanya dipraktikkan di negara dengan sistem
federal. Secara umum, masa jabatan majelis tinggi lebih lama
dibandingkan masa jabatan majelis rendah. Contohnya, AS, di mana
pemilihan anggota Senat AS dilakukan setiap enam tahun sekali,
sedangkan anggota House of Representative dipilih setiap dua tahun.
Tabel 1.1.
Beberapa Struktur Legislatif di Beberapa Negara
No. Negara Majelis Rendah Majelis Tinggi
1 Amerika Serikat House of Representative Senate (100 orang, 6
(sekitar 435 orang, masa
tahun)
jabatan 2 tahun)
2 Australia House of Representative Senate (76 orang)
(150 orang, 3 tahun)
3 Fhilipina National Assembly (104 Senate (24 orang, 6
orang, 4 tahun)
tahun)
4 Inggris House of Commons (646 House of Lords (847
orang, 5 tahun orang, berdasarkan
keturunan dan sebagian
seumur hidup)
5 India Lok Sabha (530−552 orang, Rajya Sabha (sekitar 250
5 tahun) orang, 6 tahun)
Sumber: Budiardjo, (hlm. 320−322).
Dalam praktiknya, bikameralisme dapat dibedakan menjadi dua, yaitu weak
dan strong bicameralism. Pembagian ini didasarkan pada hubungan antara kedua
majelis di dalam parlemen. Jika kedua majelis memiliki kekuasaan yang kurang-
lebih setara maka ini disebut strong atau hard bicameralism. Sebagai contoh,
dalam hal-hal atau bidang tertentu ada perbedaan kewenangan, berbagai kebijakan
yang dihasilkan oleh Kongres AS dalam prosesnya melibatkan Senat dan DPR;
sedangkan weak atau soft bicameralism dicirikan oleh adanya dominasi majelis
rendah atas majelis tinggi, seperti House of Commons atas House of Lords di
Inggris.

21
D. FUNGSI PARLEMEN
Menurut Rod Hague, dkk. parlemen modern menjalankan beberapa
fungsi pokok, yaitu fungsi perwakilan, fungsi deliberasi, dan fungsi
legislasi. Selain itu, beberapa parlemen mempunyai fungsi yang lain, yaitu
membentuk pemerintahan, mengesahkan anggaran, melakukan
pengawasan terhadap eksekutif, dan menyediakan sarana bagi rekrutmen
elit dan sosialisasi.
Pertama, fungsi perwakilan. Parlemen secara sederhana dipahami
sebagai sebuah mikrokosmos dari masyarakat. Ia dianggap mewakili
kepentingan yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Akan tetapi, sering
kali ilustrasi ini dianggap terlalu utopis. Kenyataannya anggota parlemen
berada di simpang jalan antara kepentingan partai, konstituen di daerah
pemilihan, dan kepentingan penduduk secara nasional. Dalam hal ini,
sistem pemilihan dan sistem kepartaian adalah dua hal penting yang
banyak menentukan kecenderungan loyalitas seorang wakil. (Hague, dkk:
190).
Kedua, fungsi deliberasi. Inti dari fungsi ini adalah penyebaran
informasi melalui diskusi publik menyangkut isu-isu nasional yang terjadi
di dalam parlemen. Fungsi ini tidak dapat dilepaskan dari fungsi
perwakilan. (Hague, dkk: 190) Akan tetapi, sebagian dari proses deliberasi
ini lebih bersifat teatrikal. Kalaupun masyarakat mempunyai akses dalam
proses pembuatan kebijakan di lembaga parlemen, sering kali ia tidak
mempunyai pengaruh terhadap keputusan atau kebijakan yang diambil
oleh parlemen. Karena itu, muncul tuntutan bagi perluasan dan
pendalaman partisipasi masyarakat dalam pembuatan berbagai kebijakan
publik, berupa pengaturan yang menjamin hak dan kewajiban masyarakat
dalam pembuatan kebijakan publik serta mekanisme dan prosedur yang
harus ditempuh. Dalam hal ini beberapa negara di Amerika Latin telah
melangkah lebih maju dengan menerapkan demokrasi deliberatif,
khususnya dalam penyusunan anggaran di tingkat lokal. Sejauh ini

22
terobosan ini mempunyai dampak positif dalam mewujudkan good
governance di negara-negara tersebut.
Pentingnya partisipasi masyarakat setidaknya didasarkan
„keterbatasan‟ demokrasi perwakilan dewasa ini. Di hampir semua negara
yang menjalankan pemerintahan berdasarkan sistem demokrasi perwakilan
ada kecenderungan bahwa orang yang terpilih sebagai wakil adalah
kelompok elit yang sering kali tidak memiliki hubungan langsung dengan
konstituennya. Proses ini sering kali disebut sebagai proses pembajakan
demokrasi oleh kelompok elit. Selain itu, mekanisme demokrasi
perwakilan juga memiliki kelemahan-kelemahan antarwaktu di mana
adanya jarak yang cukup lama antara satu pemilihan dengan pemilihan
berikutnya, yaitu rata-rata antara 4−5 tahun. Jarak yang lama ini
memungkinkan para wakil rakyat melupakan janji-janji yang telah
dikemukakannya waktu kampanye. Instrumen kelembagaan yang
memungkinkan partisipasi masyarakat langsung bukan merupakan
pengganti dari demokrasi perwakilan melainkan instrumen untuk
memperdalam demokrasi (democratic depeening) (Suhirman: 21−22).
Ketiga, fungsi legislasi. Sebagian besar konstitusi di dunia secara
eksplisit menegaskan fungsi legislasi yang dimiliki oleh parlemen.
Demokrasi liberal yang menolak kekuasaan absolut lembaga eksekutif
memberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Di negara-
negara dengan sistem presidensial otonomi parlemen dalam pembuatan
undangundang relatif lebih besar dibanding di negara-negara dengan
sistem parlementer. (Hague, dkk: 191) Namun, fungsi parlemen dalam hal
legislasi saat ini semakin mengecil karena dalam praktiknya proses
legislasi didominasi oleh lembaga eksekutif, terutama dalam hal
penyusunan rancangan undang-undang.
Keempat, fungsi budgeting. Fungsi anggaran merupakan salah satu
fungsi paling pertama yang dimiliki oleh parlemen, khususnya majelis
rendah. Seperti dibahas pada bagian awal tulisan ini, kehadiran parlemen
di Eropa bermula dari kebutuhan kerajaan terhadap dukungan dana dari

23
kalangan bangsawan. Mereka mengajukan tuntutan-tuntutan kepada raja
sebelum mereka memberikan apa yang diminta oleh raja. Akan tetapi,
seperti halnya fungsi legislasi, rancangan anggaran yang akan disahkan
umumnya juga datang dari lembaga eksekutif. (Hague, dkk: 193)
Meskipun demikian, biasanya rancangan anggaran mengharuskan adanya
persetujuan parlemen terhadap rancangan yang diajukan eksekutif.
Kelima, fungsi pengawasan. Fungsi ini merupakan salah satu
fungsi yang paling berguna dari parlemen modern. Fungsi ini
memungkinkan parlemen memantau aktivitas-aktivitas pemerintah dan
mengawasi kualitas jalannya pemerintahan. Fungsi pengawasan ini
menegaskan pemisahan kekuasaan bahwa lembaga eksekutiflah, bukan
parlemen yang harus menjalankan pemerintahan. Parlemen biasanya
dilengkapi beberapa cara pokok untuk menjalankan fungsi ini, antara lain
mengajukan pertanyaan dan interpelasi, menyelenggarakan debat, dan
melakukan investigasi. (Hague, dkk: 194).
Keenam, fungsi membentuk pemerintahan. Di dalam sistem
parlementer terbentuknya atau jatuhnya pemerintah ditentukan melalui
dinamika politik di parlemen. Kekuasaan untuk membentuk kabinet
diberikan kepada kelompok mayoritas di parlemen, baik terdiri dari satu
partai maupun koalisi dari beberapa partai. Meskipun kabinet mempunyai
masa jabatan normal tertentu, ia bisa saja dibubarkan kapan saja jika tidak
lagi mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Ketujuh, fungsi
rekrutmen elit dan sosialisasi. Parlemen merupakan tempat di mana bakat-
bakat calon pengambil keputusan dibentuk. Fungsi ini terlihat jelas di
negara dengan sistem pemerintahan parlementer, di mana jabatan menteri
dan kedudukan penting lain di lembaga eksekutif harus diisi oleh anggota
parlemen. Di parlemen anggota dari kelompok oposisi (backbenchers)
juga membentuk karir dan reputasi mereka untuk bersiap jika pemerintah
yang ada jatuh. (Hague, dkk: 196).

24
Prof. Miriam Budiardjo berpendapat bahwa ada dua fungsi pokok
dari lembaga legislatif. Pertama, menentukan kebijakan dan membuat
perundangundangan (fungsi legislasi). Untuk melaksanakan fungsi ini
lembaga legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengamandemen
rancangan undangundang yang diajukan pemerintah, terutama dalam soal
budget atau anggaran. Kedua, mengontrol lembaga eksekutif. Untuk
menjalankan kewenangannya ini lembaga legislatif dilengkapi dengan
sejumlah hak, antara lain hak bertanya, hak interpelasi atau hak untuk
meminta keterangan, hak angket atau hak untuk melakukan penyelidikan,
dan hak mosi. (Budiardjo, 2008: 322−323).
E. KEANGGOTAAN PARLEMEN
Anggota parlemen di dunia umumnya, terutama untuk majelis
rendah di negara dengan sistem bikameral menduduki jabatannya melalui
proses pemilihan umum. Sementara untuk pengisian kursi majelis tinggi,
ada beberapa cara yang digunakan, antara lain (1) pemilihan langsung oleh
rakyat; (2) penunjukan oleh pemerintah, yang kadang-kadang berlaku
seumur hidup; (3) pemilihan tidak langsung oleh pemerintah daerah atau
tingkat lokal; dan (4) pewarisan. Berikut ini cara pemilihan anggota
majelis tinggi di beberapa negara.
Tabel 1.3.
Cara Pemilihan Legislatif di Beberapa Negara

Negara Majelis Tinggi Jumlah Cara Pemilihan


Anggota
Amerika Senat 100 Orang Pemilihan langsung
Serikat dengan suara terbanyak
sederhana (plurality
system), 2 anggota untuk
masingmasing negara
bagian
Austalia Senate 76 Orang Pemilihan langsung oleh
lembaga perwakilan di
masing-masing negara
bagian
India Rajya Sabha (Council 245 Orang Pemilihan tidak langsung

25
of States) melalui parlemen negara
bagian, kecuali untuk 12
orang ditunjuk
berdasarkan keahlian.
Inggris House of Lords 847 orang Campuran antara
(tahun 2007) pewarisan dan pemilihan
oleh pemerintah
Jepang House of Councillors 252 orang Dipilih langsung dengan
mixed member system.
Jerman Bundesrat 69 o rang Dipilih oleh pemerintah
negara bagian.
Kanada Senate 104 orang Dipilih oleh perdana
menteri.
Perancis Senate 321 orang Pemilihan tidak langsung
melalui departemen-
departemen
Sumber: Diolah dari Hague, dkk, (hlm. 187) dan Budiardjo, (hlm. 320−321).

F. HUBUNGAN ANTARA ANGGOTA PARLEMEN DAN


KONSTITUEN
Tentang hubungan antara anggota parlemen sebagai wakil dan
pemilihnya sebagai terwakil, Ranney mengemukakan dua perspektif
berbeda, yaitu teori kebebasan dan teori mandat. (Ranney, 1993: 260−262)
Pertama, teori kebebasan melihat bahwa wakil dipilih karena diasumsikan
ia adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengenali dan
merumuskan kepentingan terwakil. Karena itu, wakil mendapatkan
kepercayaan untuk melakukan tindakan yang menurutnya terbaik dan tidak
perlu mengonsultasikan semua hal kepada terwakil. Wakil boleh bersikap
dan bertindak tanpa terikat secara ketat kepada terwakil karena terwakil
sudah memberikan kepercayaan kepada wakil. Kedua, teori mandat
menempatkan bahwa kekuasaan wakil ada karena mandat dari terwakil.
Karena itu, tindakan yang ia ambil di dalam parlemen harus sesuai dengan
keinginan dari terwakil. Dalam hal ini, konsultasi dengan konstituen
menjadi penting.

26
G. MASA DEPAN PARLEMEN
Parlemen tidak pernah benar-benar „memerintah‟, bahkan di negara
yang menerapkan sistem presidensial, di mana tidak ada kaitan yang
„dekat‟ antara legislatif dan eksekutif, sebagaimana terdapat pada sistem
parlementer. Bahkan, hal ini terjadi dalam fungsi legislasi yang gagasan
awalnya menjadi alasan bagi kehadiran lembaga parlemen. Dewasa ini
usulan rancangan undang-undang secara keseluruhan lebih banyak berasal
dari pihak eksekutif. Hague, dkk. mencatat persentasenya mencapai angka
90%. Parlemen dilihat lebih berperan sebagai pembahas usulan yang
diajukan eksekutif. (Hague, dkk.: 192)
Di satu sisi, dominasi eksekutif dalam menyusun rancangan
peraturan dapat dipahami dengan memperhatikan kedudukan serta peran
yang dijalankan lembaga eksekutif. Di mana pun lembaga eksekutif di
dunia ini mempunyai peran menangani kehidupan rakyat sehari-hari secara
langsung. Karena itu, ia dilengkapi struktur kelembagaan yang lebih
kompleks dari pusat hingga unit-unit terkecil di daerah dengan sejumlah
staf yang memiliki keahlian. Hal ini menyebabkan eksekutif memiliki
lebih banyak informasi yang memungkinkannya merumuskan rancangan
peraturan atau kebijakan. Akan tetapi, di sisi lain keadaan ini tetap
memunculkan pertanyaan mengenai masa depan dan relevansi keberadaan
parlemen. Akankah keberadaan lembaga parlemen menjadi tidak relevan
lagi?
Alan Balls dan B. Guy Peters berpendapat bahwa parlemen akan
tetap relevan dalam politik modern. Seberapa pun besarnya peran yang
dimainkan pemerintah, lembaga ini membutuhkan dewan perwakilan
untuk memberikan legitimasi, terutama dalam pembuatan kebijakan-
kebijakan yang sulit dan mendasar. Pemotongan tunjangan sosial dan
unifikasi ekonomi dan moneter di negara-negara Eropa Barat adalah
contoh kebijakan-kebijakan yang sangat membutuhkan legitimasi dari
dewan perwakilan. (Ball and Peters, 2000: 193) Hague, dkk. juga
sependapat bahwa parlemen akan tetap penting, terutama karena fungsinya

27
sebagai simbol dari adanya perwakilan rakyat dalam struktur legal otoritas
kenegaraan. Parlemen juga terus menjalankan beberapa fungsi sebagai
sarana rekrutmen. Jadi, peran parlemen bukan semakin menghilang,
melainkan berubah. (Hague, dkk.: 201)

28
Daftar Pustaka
Ball, Alan R. and B. Guy Peters. (2000). Modern Politics and Government. Hampshire
and London: MacMilan Press Ltd.

Boboy, Max. (1994). DPR RI dalam Perspektif Sejarah dan Tatanegara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Cipto, Bambang. (1995). Dewan Perwakilan Rakyat dalam Era Pemerintahan Modern
Industrial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Hague, Rod Martin Harrop, and Shaun Breslin. Comparative Government and Politics:
An Introduction. Hampshire: MacMillan Press Ltd.

Lijphart, Arend. (1995). Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Ranney, Austin. (1993). Governing: An Introduction to Political Science. New Jersey:


Prentice-Hall.

Suhelmi, Ahmad. (2001). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suhirman. (tt).

Makalah. Kerangka Hukum dan Kelembagaan untuk Perencanaan dan Penganggaran


Daerah di Indonesia: Peluang dan Tantangan untuk Partisipasi Publik.

29
BAB IV

LEGISLASI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN

PRESINDENSIL DAN PARLEMENTER

Menurut Miriam Budiarjo (2002) Pada hakikatnya, Trias Politica

menghendaki kekuasaan-kekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada

orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang

berkuasa. Jimly Asshidiqie (2007) berpandangan bahwa pemisahan yang tegas

antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang legislatif menjadi titik penting

dalam menjelaskan fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan presidensil. Lebih

lanjut, Jimly menjelaskan dalam sistem presidensil badan legislatif menentukan

agendanya sendiri, membahas dan menyetujui rancangan undang-undang. Hal ini,

didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat sehingg merupakan wewenang

eksklusif dari badan perwakilan yang berdaulat untuk menentukan suatu peraturan

yang mengikat dan membatasi setiap warga negara.

Undang-Undang Dasar telah mengalami empat kali amademen, hasil dari

amademen tersebut terdapat perubahan konsep checks and balances struktur

parlemen tidak hanya terdiri dari satu kamar (Unicameral) tetapi terdiri dari dua

kamar (bicameral). Menurut pandangan Saldi Isra (2010) maka pembentukan

suatu undang-undang di bahas dan disetujui oleh kedua kamar. Saldi isra

menjelaskan lebih lanjut terdapat negara yang menganut strong bicameral seperti

amerika serikat dan ada juga negara yang menganut soft bicameral seperti

30
indonesia. Strong bicameral ditandai dengan kekuasaan yang di miliki oleh

masing-masing kamar sama-sama kuat, sedangkan soft bicameral ditandai dengan

kekuasaan salah satu kamar yang lebih dominan atas kamar lainnya.

Terkait dengan fungsi legislasi, Jimly asshidiqie (2009) mengatakan

Kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan

kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga

hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu: (i)

pera- turan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, (ii)

pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, (iii) pengaturan-

pengaturan mengenai pengeluaran oleh penyelenggara negara. Pengaturan

mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas perse- tujuan dari warga

negara sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka di parlemen sebagai

lembaga perwakilan rakyat.

Lebih lanjut, pandangan Jimly Asshiddidie, fungsi legislasi memiliki

empat bentuk kegiatan yaitu per- tama, prakarsa pembuatan undang-undang;

kedua, pembahasan rancangan undang- undang; ketiga, persetujuan atas

pengesahan rancangan undang-undang; dan keempat, pem- berian persetujuan

pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan

dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.

Fungsi legislasi dalam sistem presidensil didasarkan pada adanya

pemisahan kekuasaan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan

legislatif. Pemisahan tersebut meru- pakan karakter khas dari sistem presidensil.

Dengan demikian, dalam sistem presidensil badan legislatif menentukan

31
agendanya sendiri, mambahas dan menyetujui rancangan undang-undang pun

sendiri pula. Artinya bahwa, fungsi legislasi dalam sistem presi- densil merupakan

wewenang eksklusif dari badan legislatif.Namun pemisahan kekuasaan tersebut

pada hakikatnya tidak serta merta dijalankan secara mutlak.Namun dalam sistem

negara modern, ada hubungan fungsional antara eksekutif dan legislatif. Bahkan

dalam fungsi legislasi di Indonesia dilakukan secara bersama-sama antara

eksekutif dan legislatif.

Konsep pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif

dalam fungsi legislasi, menurut Jhon H. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff

(dalam Saldi Isra 2010) mempunyai empat konsekuensi. Keempat konsekuensi

tersebut sebagai berikut;

1. The supremacy of statute artinya bahwa pemisahan kekuasaan pelaksana


fungsi legislasi menyebabkan undang-undang menjadi sesuatu yang supreme
atau utama.
2. The Necessity for legislation artinya bahwa dengan meletakkan kekuasaan
membentuk undang-undang di lembaga legislatif tidak dimungkin cabang
kekuasaan lainnya untuk membentuk undang-undang.
3. The non delegation function artinya bahwa undang-undang tidak dapat dapat
didelega- sikan lebih lanjut kepada ketentuan yang lebih rendah.
4. The legislative veto yaitu kewenangan yang diberikan kepada legislatif untuk
membatalakan veto yang diajukan oleh Presiden.

Dengan semangat checks and balances, setelah perubahan UUD 1945

dalam struktur parlemen dibentuklah kamar penyeimbang sebagai representatif

daerah yang disebut dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD diatur

dalam ketentuan Pasal 22D UUD 1945.Kelahiran DPD merupakan sebagai

kamar kedua (bicameral) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sehingga

menyerupai keberadaan Senat di Amerika Serikat. Dalam fungsi legislasi, Jimly

Asshiddidie (2009) peranan DPD tidak terlalu kuat bahkan sangat

32
lemah.Sehingga hanya sebagai lembaga supporting bagi DPR. Hal ini dapat kita

lihat dari kewe- nangan yang dimiliki oleh DPD hanya sebatas pada mengajukan

RUU dan memberikan pertimbangan kepada DPR serta ikut memba- has suatu

RUU.18 DPD tidak ikut serta untuk menyetujui suatu RUU.Peranan DPR lebih

dominan ketimbang DPD, sehingga Indonesia menganut soft bicameral.

Menurut Syafiie (2011) , sistem parlementer digunakan untuk mengawasi

eksekutif oleh legislatif, jadi kekuasaan parlemen lebih besar dari pada eksekutif.

Dalam sistem ini Dewan Menteri (kabinet) bertanggungjawab kepada parlemen.

Lebih lanjut diuraikan Syafiie (2011), sistem menggambarkan keadaan dimana

lembaga eksekutif bertanggungjawab kepada lembaga legislatif membutat

lembaga eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif melalui mosi tidak percaya.

Akan tetapi karena eksekutif (perdana menteri) memiliki kedudukan yang kuat

karena berasal dari suara mayoritas parlemen, maka perdana menteri sulit untk

dijatuhkan.

Sistem parlementer mempunyai kriteria adanya hubungan antara legislatif

dengan eksekutif, dimana satu dengan yang lain dapat saling mempengaruhi.

Pengertian mempengaruhi di sini adalah bahwa salah satu pihak mempunyai

kemampuan kekuasaan (Power Capacity) untuk menjatuhkan pihak lain dari

jabatannya. Alan R. Ball dalam (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007)

menamakan sistem pemerintahan parlementer ini dengan sebutan the

parliamentary types of government dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kepala negara hanya mempunyai kekuasaan nominal. Hal ini berarti


bahwa kepala negara hanya merupakan lambang / simbol yang hanya
mempunyai tugas-tugas yang bersifat formal, sehingga pengaruh
politiknya terhadap kehidupan negara sangatlah kecil.

33
2. Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/ nyata adalah
perdana menteri bersama-sama kabinetnya yang dibentuk melalui
lembaga legislatif/ parlemen; dengan demikian kabinet sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif riil harus bertanggung jawab kepada
badan legislatif/parlemen dan harus meletakkan jabatannya bila
parlemen tidak mendukungnya.
3. Badan legislatif dipilih untuk bermacam-macam periode yang saat
pemilihannya ditetapkan oleh kepala negara atas saran dari perdana
menteri.

Agak berlainan dengan C.F. Strong dalam (Mariana, Paskalina, &

Yuningsih, 2007)8 yang menamakan sistem pemerintahan parlementer itu dengan

istilah the parliamentar executive yang ciricirinya sebagai berikut:

1. Anggota kabinet adalah anggota parlemen; ciri ini berlaku antara lain
di Inggris dan Malaysia, sedang di negara-negara lain ciri ini sudah
mengalami modifikasi.
2. Anggota harus mempunyai pandangan politik yang sama dengan
parlemen; ciri ini antara lain berlaku di Inggris, sedang negara-negara
yang yang tidak menganut sistem dua partai, hal itu sering dilakukan
melalui kompromi di antara partai-partai yang mendukung kabinet.
3. Adanya politik berencana untuk dapat mewujudkan programnya; Ciri
ini tampak universal.
4. Perdana menteri dan kabinetnya harus bertanggung jawab kepada
badan legislatif/parlemen.
5. Para menteri mempunyai kedudukan di bawah perdana menteri;

Dari apa yang telah dikemukakakan baik oleh Alan R. Ball maupun oleh

C.F. Strong tersebut menurut (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007) belum

terlihat adanya satu ciri yang sangat penting yaitu adanya kewenangan bagi kepala

negara untuk membubarkan parlemen. Dikatakan ciri ini penting justru karena ia

dapat dijadikan sarana untuk menekan sekecil mungkin kelemahan sistem

pemerintahan parlementer yaitu ketidakstabilan pemerintahan. Bahkan tidak

berlebihan kalau dikatakan bahwa kewenangan kepala negara (unsur eksekutif)

untuk membubarkan parlemen, adalah dalam rangka menjaga titik keseimbangan

(balance of power) antara eksekutif dengan legislatif. Sebab, secara psikologis

34
parlemen akan lebih berhati-hati menjatuhkan kabinet sehingga parlemen tidak

mengumbar kewenangannya untuk menjatuhkan mosi tidak percaya kepada

kabinet, karena pada gilirannya parlemen akan dapat dijatuhkan juga oleh

eksekutif (kepala negara).

Fungsi Legislasi dalam sistem pemerintahan parlementer

• Tingkat ketergantungan eksekutif atas dukungan parlemen dan tidak

adanya pemisahan yang tegas antara cabang eksekutif dengan cabang

legislatif menjadi bagian penting dalam menjelaskan fungsi legislasi dalam

sistem pemerintahan parlementer.

• T.A Legowo dalam Isra: penggabungan antara cabang eksekutif dan

cabang legislatif menjadi ciri kuat yang membedakan sistem pemerintahan

parlementer dengan sistem pemerintahan yang lain. Tetapi, hal ini

membuat posisi eksekutif sekaligus anggota legislatif, menjadi lebih

mudah untuk menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang

dalam proses legislasi.

T.A Legowo dalam Isra:

Setidaknya ada tiga faktor yang menentukan fungsi legislasi dalam sistem

pemerintahan parlementer, yaitu:

- Kepala eksekutif dan anggota kabinetnya menginisiasi setiap legislasi

yang berpengaruh terhadap anggaran ataupun pengeluaran negara.

- Hanya terdapat sedikit komisi permanen dengan dukungan sedikit staf

profesional untuk membantu merancang dan menilai kembali legislasi

35
- Kebijakan-kebijakan penting dapat dan seringkali dibuat pada tingkat

kaukus partai daripada di dalam komisi-komisi.

Michael L. Mezey menyebutkan bahwa legislature dalam sistem

pemerintahan parlementer membentuk dan sekaligus merupakan pendukung

pemerintah. Karena itu, kemacetan (deadlock) dalam fungsi legislasi tidak muncul

dalam sistem pemerintahan parlementer.

36
Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. Jakarta: Sekertariat Jendral Mahkamah Konstitusi.

----, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Populer.

----, 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. ----, 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada

Budiarjo, Miriam. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi


Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

Mariana, D., Paskalina, C., & Yuningsih, N. Y. (2007). Perbandingan


Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka

Syafiie, I. K. (2011). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT. Refika


Aditama.

Syafiie, I. K., & Azikin, A. (2008). Perbandingan Pemerintahan. Bandung: PT.


Refika Aditama

37
BAB V

DEMOKRASI DAN PARTAI POLITIK

Demokratisasi sebagai wahana untuk pencapaian ide-ide demokrasi,

demokratisasi sebagai upaya dan strategi yang berkaitan untuk mencapai

pemerintahan yang demokrasi. Pemerintahan yang demokrasi mesti

mendapatkan dukungan dari berbagai instrumen seperti adanya partai

politik, partai politik sebagai instrumen penting dalam demokrasi karena

memiliki tugas untuk memandu pengawasan dalam penyelenggaran

pemerintahan serta merebut politik kekuasaan dalam organisasi

pemerintahan.

Sebelum membahas lebih dalam dari demokrasi dan partai politik

terlebih dahulu akan menjelaskan dari definisi maupun terminologi dari

konsep demokrasi. Demokrasi yang saat ini berkembang pada abad ke XX

menurut pandangan Samuel P. Huntington sebagai tradisi yang mengikuti

Schumpeterian, tradisi Schumpeterian mendefinisikan bahwa sistem

politik yang demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang

paling kuat dalam sistem yang dipilih melalui pemilihan umum yang adil,

jujur, dan berkala. Samuel Huntington (1995) lebih lanjut menjelaskan

dalam tradisi sistem ini, para calon secara bebas bersaing untuk

memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak

memberikan suara.

Sementara pendapat David Poter (2000) demokratisasi erat kaitannya

dengan transisi demokrasi. Demokratisasi adalah perubahan politik yang

38
bergerak ke arah demokratis. Sedangkan, transisi adalah titik awal atau

interval masa rezim otoriterian dengan rezim demokratis. Transisi

demokrasi mengacu pada sebuah proses untuk mencapai taraf maksimal

dari demokratisasi, yaitu konsolidasi demokrasi. Jadi transisi demokrasi

itu adalah bagian dari proses demokratisasi. Dengan demikian dapat

dikemukakan menurut Andres Uhlin demokratisasi adalah sarana untuk

mencapai demokrasi, sehingga ide-ide tentang demokratisasi berkaitan

dengan strategi untuk mencapai demokrasi.

Sementara pendapat Larry Diamond (2003) berpandangan bahwa

jalur negosiasi antara elit rezim lama dan rezim baru akan mengurangi

potensi pergolakan dan kekerasan dalam proses transisi, sehingga

membuka kemungkinan untuk duduk bersama baik untuk menyusun

aturan main baru maupun untuk menyelesaikan masalah-masalah lain

dalam masa transis. Lebih lanjut Larry Diamond berpandangan bahwa

problematika lainnya itu disebut sebagai tiga krisis pemerintahan, yaitu (1)

tiadanya akuntabilitas dan rule of law, seperti adanya pelanggaran hak

azasi manusia (HAM),personalisasi kekuasaan, kekerasan, dan korupsi; (2)

ketidakmampuan mengelola konflik etnis dan wilayah; serta (3) krisis

ekonomi dan stagnasi ekonomi.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ketiga

problematika tersebut tidak mampu diselesaikan oleh negara yang baru

transisi maka akan terjadi gelombang balik apabila sebaliknya, jika negara

mampu mengatasinya maka negara yang transisi itu memiliki potensi

39
menuju konsolidasi demokrasi. Jika negara mampu mengatasi

problematika tersebut maka negara masuk ke ranah masa konsolidasi

menurut Larry Diamon berpandangan bahwa masa konsolidasi ini sebagai

proses sosialisasi dan internalisasi mengenai sistem yang dipilih

(lembaga-lembaga politik demokratis) dan aturan main baru yang sudah

disepakati bersama, sehingga muncul komitmen seluruh elemen

masyarakat pada aturan main dari demokrasi. Dari uraian diatas, terdapat

tiga komponen penting dalam masa transisi demokrasi menuju

konsolidasi demokrasi yaitu (1) pelembagaan politik, (2) aturan main

(konstitusi), (3) dan budaya demokrasi.

Pembahasan selanjutnya akan membahas partai politik, Menurut

Miriam Budiardjo, partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir

yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita

yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan

politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara

konstitusional untuk melaksanakan programnya. Sementara menurut

Sigmund Neuman, partai politik adalah organisasi dan aktivis- aktivis

politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta

merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau

golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Secara operasional lebih teknis, sebagaimana digambarkan oleh

undang-undang (UU) Politik, yaitu UU No. 2/2008 tentang Partai Politik,

menegaskan bahwa pengertian partai politik adalah organisasi yang

40
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia

secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,

bangsa, dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian dari uraian definisi partai politik yang telah di

kemukakan diatas baik menurut pendapat ahli maupun secara operasional

teknis undang-undang tentang partai politik maka dapat disimpulkan bahwa

partai politik merupakan kelompok yang terorganisir yang memiliki

orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama untuk menguasai kekuasaan

pemerintahan dengan cara konstitusional.

Kemudian fungsi partai politik, menurut pandangan Ramlan Subakti

fungsi partai politik baik dalam sistem politik apapun, terutama dalam

sistem politik demokrasi partai politik melaksanakan sejumlah fungsi partai

politik diantaranya. Pertama Sosialisasi Politik adalah proses

pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat, melalui

proses sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh

sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam

masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup, baik diperoleh secara

sengaja (pendidikan formal, nonformal, informal) maupun secara tidak

sengaja (pengalaman sehari-hari dalam keluarga, teman bermain,

tetangga, dalam kehidupan bermasyarakat).

41
Kedua Rekrutmen Poltik adalah seleksi dan pemilihan atau

pengangkatan seseorang atau seke- lompok orang untuk melaksanakan

sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan

pada khususnya, semakin besar fungsinya manakala partai politik itu

mayoritas di parlemen, sehingga berwenang membentuk pemerintahan

dalam sistem demokrasi. Ketiga Partisipasi Politik adalah kegiatan warga

negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan

kebijakan publik (public policy) dan dalam ikut menentukan pimpinan

pemerintahan melalui suatu pemilihan umum yang teratur dan demokratis.

Kegiatan dimaksud di antaranya mengajukan tuntutan, membayar pajak,

melaksanakan keputusan, mengajukan pemimpin, dan men- dukung calon

pemimpin. Partai politik juga membuka kesempatan, mendorong dan

mengajak para anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk

menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses

politik. Dengan demikian, partai politik merupakan wadah partisipasi

politik.

Keempat Pemandu Kepentingan Untuk menampung dan

memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan,

maka partai politik dibentuk. Kegiatan menampung, menganalisis, dan

me- madukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan

menjadi berbagai alternatif kebijakan publik kemudian diperjuangkan

dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Itulah yang

dimaksud dengan fungsi pemaduan kepentingan.

42
Kelima Komunikasi Politik adalah proses penyampaian informasi

mengenai politik dari pemerintah kepada warga masyarakat, dan dari warga

masyarakat kepada pemerintah. Dalam konteks ini partai politik berfungsi

sebagai komunikator politik, tidak terbatas menyampaikan segala

keputusan dan penjelasan pemerintah kepada warga masyarakat tetapi

juga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok

masyarakat kepada peme- rintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai

politik dalam sistem politik demokrasi.

Keenam Pengendalian Konflik dalam negara demokrasi, setiap

warga negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan

memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik

merupakan gejala yang sukar dielakan. Sistem politik hanya akan

mentolerir konflik yang tidak menghancurkan dirinya, dengan demikian

permasalahannya bukan menghilangkan konflik itu, melainkan

mengendalikan konflik melalui lembaga demokrasi untuk mendapatkan

penyelesaian dalam bentuk keputusan politik. Partai politik sebagai salah

satu lembaga demokrasi berfungsi untuk bisa mengendalikan konflik

melalui cara dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan

memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang

berkonflik dan mem- bawa permasalahan kedalam musya- warah badan

perwakilan rakyat (DPR) untuk mendapatkan penyelesaian berupa

keputusan politik (kompromi di antara para wakil rakyat yang berasal dari

partai-partai politik).

43
Ketujuh Kontrol Politik adalah kegiatan untuk menunjukkan

kesalahan, kelemahan, dan penyimpangan dalam pengertian bahwa suatu

kebijakan (formulasi, implementasi) yang dibuat dan dilaksanakan oleh

pemerintah. Pada saat melakukan suatu kontrol politik atau pengawasan

harus ada tolok ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat relatif

obyektif. Adapun tolok ukur suatu kontrol politik berupa nilai-nilai politik

yang dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan kedalam

berbagai kebijakan (policy) atau perundang-undangan. Tujuan suatu

kontrol politik adalah untuk meluruskan kebijakan terutama pelaksanaan

kebijakan yang dianggap menyimpang dan memperbaiki yang keliru,

sehingga kebijakan dan pelaksanaannya sejalan dengan tolok ukur

tersebut. Fungsi kontrol ini adalah merupakan salah satu mekanisme politik

dalam sistem politik demokrasi dalam rangka memperbaiki dan

memperbaharui dirinya secara terus menerus.

44
Daftar Pustaka

Anders Uhlin, Oposisi Berserak, Arus Demokratisasi Gelombang Ketiga di


Indonesia, Bandung, Pustaka Mizan, hal. 25

David Poter, David Goldblati, Margaret Kiloh, Paul Levis, Democratization, Polity
Press, 2000, hal.3

Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation, Edisi Terjemahan,


Yogyakarta, ERE Press, 2003, hal. Xviii

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008, Jakarta: Gramedia,


hal. 404

Ramlan Surbakti,Memahami Ilmu Politik,1992, Jakarta: Gramedia Widia


sarana Indonesia, hal.116-121

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta, Grafiti Press,


1995.

Sigmund Neuman, Modern Political Parties,dalam Comparative Politics:A


Reader,diedit oleh Harry Ecktein dan David E.
Apter,1963,London,The Free Press of Glencoe, hal.342.

45
BAB VI

KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN

Pengaturan tentang kuota 30% keterwakilan perempuan yang bertujuan


untuk meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif telah
diatur dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan pemilu, bahkan bila
dibandingkan dengan beberapa pemilu sebelumnya, peraturan perundang-
undangan yang mengatur hal tersebut pada Pemilu 2014 lebih banyak dan rinci.
Meskipun demikian, jumlah perempuan yang pada akhirnya menjadi Anggota
DPR RI periode 2014-2019 justru menurun dari 101 orang atau 17,86% menjadi
hanya 79 orang atau 14% dari total 560 anggota terpilih. Hal ini perlu dicermati
secara kritis karena hasil yang diperoleh berbanding terbalik dengan tingkat
pencalonan caleg perempuan yang mengalami peningkatan pada Pemilu 2014 ini.
Dimulai sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 tentang kuota perempuan
sekurang-kurangnya 30% baik yang duduk sebagai pengurus partai politik,
sebagai calon anggota KPU maupun sebagai calon anggota DPR/DPRD. Sejak
saat itulah perempuan Indonesia yang selama ini tidak sadar kalau sudah terkena
getar gender (genderquake) mulai bangkit untuk memperjuangkan kebijakan
affirmative action. Pada pemilu 2014, kaum perempuan kembali mendapat
kesempatan lagi bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi syarat untuk
menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada
kepengurusan parpol tingkat pusat (UU No.8/2012, pasal 15 huruf d) dan
pencalonan anggota DPR/D (UU No 8/2012 pasal 55).
Sebab masalah yang dihadapi masyarakat selama ini juga merupakan
masalah perempuan. Sebaliknya, masalah perempuan juga persoalan masyarakat.
Untuk itulah perempuan wajib menentukan sikap dalam pengambilan keputusan
tersebut dan melakukan kontrol atas keputusan politik itu sendiri. Keterwakilan
perempuan di parlemen juga sangat penting dalam pengambilan keputusan publik
karena akan berimplikasi pada kualitas legislasi yang dihasilkan lembaga Negara
dan publik. Selain itu juga akan membawa perempuan pada cara pandang yang

46
berbeda dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan publik karena
perempuan akan lebih berpikir holistic dan beresponsif gender.Signifikansi
keberadaan perempuan di parlemen juga akan berdampak pada perumusan
kebijakan dan peraturan perundangundangan sebagai bagian dari agenda nasional
yang akan mempercepat implementasi Pengarusutamaan Gender.
Hal ini patut untuk dilakukan analisis kritis dan logis untuk memberikan
pemaknaan yang mendalam, baik secara yuridis, filosofis dan sosiologis terhadap
adanya teks keterwakilan perempuan di politik yang selama ini hanya dimaknai
secara parsial dan hanya dari kebutuhan para pihak saja. Atas dasar itu, sistem
negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas
kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Berdasarkan
paparan latar belakang di atas maka dapat ditarik masalah tentang bagaimana
peran politik perempuan dalam presfektif gender?
Sebagai tindak lanjut untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan
Soetjipto A.W. (2011) perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Memperkuat peran partisipasi perempuan dalam dunia politik.
Salah satu peran penting dari manifestasi proses demokratisasi adalah
bagaimana peran partai politik dalam meletakkan dasardasar yang
fundamental, terutama peran parpol. Di Indonesia keterlibatan
perempuan dalam level manajemen partai masih sangat rendah dan
system ini masih belum dapat dilaksanakan.
b. Secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus harus
dengan affirmative action.
Artinya harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan
dalam aktifitas politik. Dibeberapa Negara dalam proses pemilihan
kandidat untuk anggota parlemen masingmasing partai politik
memberikan kuota kepada kandidat perempuan. Seperti di Argentina
yang memberikan kuota 30%, Brazil 20%, India 33%.
Berbicara mengenai pemberdayaan atau partisipasi politik perempuan
mengutip pandangan dari Subono N.I. (2013) terdapat dua faktor utama maka
sedikitnya ada dua faktor utama, sebagaimana diajukan oleh Center For Asia-

47
Pasific Women In Folitics, yang menjadi hambatan utama. Adapun dua faktor
yang dimaksud adalah :
a. Pengaruh dan masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara
laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau
menghambat partisipasi perempuan dibidang kepemimpinan dan
pembuatan kebijakan atau keputusan.
b. Kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas
akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar diberbagai
kelembagaan sosial dan politik

Praktek keterwakilan politik perempuan adalah tuntutan sistem demokrasi


moderen, seperti yang dijelaskan oleh Ballington sebagaimana di kutip oleh
Rahmatunisa (2016). Satu hal yang pasti, keterwakilan sesungguhnya
menyangkut sebuah hubungan di mana di dalamnya terdapat seorang individu
atau kelompok yang mengatasnamakan atau bertindak atas nama kelompok lain
yang lebih besar (Heywood, 2002;224). Keterwakilan politik merupakan salah
satu prinsip dasar demokrasi dalam masyarakat moderen saat ini. Keterwakilan
politik pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan apa yang disebut dengan
policy congruence yakni preferensi kebijakan warga negara terwujud dalam
berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Atas dasar ini pula, Diamon & Morlino (2005) berpendapat bahwa “policy
congruence between citizens and their representatives” merupakan salah satu
indikator penting dari kualitas demokrasi. Maka eksistensi strategi dari
keterwakilan politik dalam sistem demokrasi kontemporer. Paxton dan Hughes
(2017) dalam bukunya yang bertajuk “Women, Politics and power; A global
Perspective” mengatakan bahwa ide terkait pentingnya keterwakilan perempuan
secara formal di dalam politik sudah diterima secara universal. Hak politik
perempuan telah dipandang sebagai hak asasi manusia. Pengakuan formal terkait
hak politik perempuan dapat ditemukan dalam berbagai dokumen resolusi dan
konvensi baik internasional maupun di berbagai negara secara individual.

48
Dengan mengutip pendapat Dahlerup (2014:13) menjelaskan tiga
argumentasi mendasar pentingnya keterwakilan politik perempuan, yakni
Pertama, argumentasi keadilan, di mana perempuan mewakili setengah dari
populasi sehingga berhak atas setengah jumlah kursi parlemen; kedua,
argumentasi pengalaman, di mana perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman
yang berbeda, baik secara bilologis ataupun sosial; ketiga, argumentasi
kepentingan kelompok di mana perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan
yang berbeda, oleh karenanya laki-laki tidak dapat mewakili kepentingan
perempuan. Dengan merujuk berbagai sumber, Paxton dan Hughes (2017;5)
menambahkan secara umum, bahwa laki-laki kurang memiliki inisiatif dan
mengajukan kebijakan yang melayani kepentingan perempuan dan anak. Mereka
dianggap kurang memiliki kepekaan tentang isu perkosaan, kekerasan dalam
rumah tangga, kesehatan perempuan dan anak. Pemikiran mendasar inilah yang
menjadi alasan pentingnya kehadiran perempuan di arena politik.
Dari berbagai argumentasi yang telah dikemukakan oleh para ahli penting
keterwakilan politik perempuan dalam arena pengambilan keputusan. Hal yang
mendasar pemikiran keharusan kehadiran keterwakilan politik perempuan adalah
terkait hak asasi manusia. Kehadiran keterwakilan politik perempuan akan
menghasilkan ouput kebijakan yang berpihak kepada perempuan serta akan
berdampak pada penguatan sistem demokrasi hal ini menjadi penting lainnya
terkait keterwakilan perempuan dalam arena pengambilan keputusan.
Paxton dan Hughes (2017:9-16) lebih lanjut menjelaskan tipe keterwakilan
politik membagi menjadi tiga tipe yakni, keterwakilan formal, keterwakilan
deskriptif, dan keterwakilan subtanstif. Keterwakilan formal merupakan formula
yang pertaman dan mendasar dari keterwakilan yang setara. Makna dari
keterwakilan formal adalah bahwa perempuan memiliki hak yang sah untuk
berpartisipasi dalam politik atas dasar kesetaraan dengan laki-laki. Keterwakilan
formal juga menghendaki dihilangkannya segala halangan untuk perempuan
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan memiliki hak
untuk memilih dan dipilih dan berkedudukan sama seperti laki-laki muka hukum.

49
Hal yang mendasar dari keterwakilan formal adalah perempuan harus memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Keterwakilan deskriptif muncul sebagai reaksi atas kelemahan praktek
ketewakilan formal. Meski telah ada pengakuan formal atas keterwakilan
perempuan, namun belum mampu memfasilitasi kehadiran perempuan dalam
proses politik secara signifikan. Atas dasar inilah, para ahli teori politik feminis
berpendap tentang perlunya konsep yang berbeda untuk keterwakilan yang setara.
Oleh karenannya, keterwakilan yang setara juga membutuhkan keterwakilan
deskriptif yakni perlunya “descriptive similarity between representatives and
constituents” artinya jika perempuan merupakan setengah dari populasi, maka
mereka paling tidak harus mengisi setengah dari anggota lembaga legislatif dan
eksekutif.
Pada prinsipnya, keterwakilan deskriptif menunjukan bahwa keterwakilan
formal tidaklah mencukupi. Hanya sekadar membuka kesempatan untuk
memperoleh kedudukan di lembaga politik tidak menjamin perempuan untuk
mendapatkannya. Argumentasi mendasar dari keterwakilan deskriptif adalah
prinsip bahwa kelompok-kelompok rasial, etnik atau gender lebih baik diwakili
oleh kelompok mereka sendiri dalam demokrasi. Meski diakui bahwa perempuan
memiliki kepentingan yang berbeda dengan laki-laki, dan karenanya tidak
mewakili oleh laki-laki, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah
perempuan memang dapat mewakili perempuan? Dari pertanyaan mendasar ini
menurut Paxton dan Hughes yang menjadi dasar munculnya konsep keterwakilan
subtanstif.
Keterwakilan subtanstif menghendaki politisi untuk berbicara untuk dan
mendukung isu-isu perempuan. Beranjak lebih jauh dari sekedar hadir secara
jumlah seperti dalam perspketif keterwakilan deskriptif, para pendukung
keterwakilan subtantif mempercayai bahwa sekedar ada untuk perempuan. Dalam
perspektif ketewakilan subtanstif jumlah wakil perempuan di arena politik tidak
serta merta menjamin terlayaninya kepentingan perempuan. Agar kepentingan
perempuan terwakili di arena politik, maka politisi perempuan harus memiliki
keinginan untuk dan dapat mewakili kepentingan-kepentingan itu. Hal yang dapat

50
dilakukan diantaranya dengan menguslkan atau mendukung kebijakan yang
mempromosikan keseteraan sosial, pendidikan dan ekonomi untuk perempuan,
penghentian kekerasan dalam rumah tangga atau isu yang secara tidak langsung
berkait dengan perempuan, misalnya child care dan elderly care serta kebijakan
prioritas lainnya misalnya tentang aborsi dan penggunaan kontrasepsi.
Oleh karena itu, efektivitas keterwakilan politik tidak bisa hanya diukur
dari kehadiran politisi perempuan di arena proses pengambilan keputusan saja
misalnya. Upaya penguatan keterwakilan politik perempuan tidak hanya di
maknai sebagai upaya untuk memperoleh proporsi yang setara antara laki-laki dan
perempuan. Sebagaimana telah disepakati banyak ahli dan aktivis perempuan,
bahwa perempuan memang memiliki pendekatan atau gaya yang berbeda ketika
berada di arena politik, sehingga pada giliranya dapat membawa perubahan
terhadap karakter kelembagaan, agenda kebijakan dan juga dapat mempengaruhi
pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat dan memiliki keterpihan kepada kaum
perempuan.

51
Daftar Pustaka

Dahlerup, D,. & Freidenvall, L. (2005) International Feminist Journal of Politics,.

Heywood, A. (2002). Politcs (Second) Hampshired New York; palgrave

Paxton, P., & Hughes, M. M (2017) Women, Politics and Power; A global
perspective

Rahmatunnisa. (2016) Affirmative action dan pengutan partisipasi politik kaum


perempuan di Indonesia. Wacana politik

Soetjipto A.W. 2011, Politik Harapan (Perjalanan Politik Perempuan Indonesia


Pasca Reformasi), Tangerang: PT Wahana Aksi Kritika.

Subono N.I. 2013, Perempuan dan Partisipasi Politik, Jakarta Selatan: Yayasan
Jurnal Perempuan (YJP).

52
BAB VII

PENDEKATAN INSTITUSIONALISME BARU

DALAM PROSES LEGISLASI

Pendekatan institusionalisme baru merupakan bagian dari perkembangan

pendekatan dalam ilmu politik, dalam perkembangan nya pendekatan institusional

baru relatif muda. Pendekatan institusional baru mulai tumbuh dan berkembang sejak

dekade 1970-an, dalam pendekatan ini tidak hanya mempelajari politik dari aspek

normatif sebagaimana dari pendekatan institusional lama atau yang dikenal dengan

pendekatan tradisional. Dalam pendekatan institusional baru memperhatikan aspek

perilaku individu, gagasan, konplik hingga struktur ekonomi politik.

Pendekatan institusional baru secara umum berpandangan bahwa

mempelajari institusi sangat penting karena institusi merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi peristiwa, perilaku dan perubahan politik. Pandangan pendekatan ini

berpandangan bahwa bukan lagi dipandang sebagai faktor determinan, namun

institusi tetap diperlukan sebagai salah satu faktor yang penting dalam kajian ilmu

politik.

Hall dan Taylor (1995) membagi pendekatan institusionalisme baru ke dalam

tiga kelompok teori yaitu Pertama institusionalisme historis, kedua institusionalisme

pilihan rasional dan ketiga institusionalisme sosiologi. Pertama Institusionalisme

historis, Hall dan Taylor (1996:7) berpandangan bahwa pendekatan yang eclectic

yang mempertimbangkan faktor gagasan, perilaku individu maupun struktur di dalam

interaksi politik yang melibatkan institusi.

53
Di dalam studi ilmu politik, pada umumnya faktor-faktor tersebut dipelajari

dengan pendekatan yang berbeda-beda misalnya, faktor gagasan umumnya dipelajari

dengan pendekatan normatif atau dekonstruktif. Faktor perilaku individu umumnya

dipelajari dengan pendekatan behavioral (positivisme) atau pilihan rasional,

sedangkan faktor struktur pada umunya dipelajari dengan pendekatan Marxisme

menggunakan teori elite, realisme. Para ilmuan yang bersentuhan dengan

institusionalisme historis berusaha untuk berpikir terbuka terhadap kemungkinan

berlakunya berbagai faktor tersebut dan tidak membatasi analisisnya hanya pada

faktor tertentu saja. Bahwa studi ilmu politik lebih difokuskan pada sejarah mengenai

apa yang terjadi, apa yang dipikirkan dan apa yang dicitrakan bukannya berpegang

terlalu ketak pada kerangka teoritis.

Inilah yang membuat para ilmuan sebagai institusionalisme historis karena

bagai para ilmuan “history matters”. Oleh karena itu, analisis kontektual historis

terhadap suatu proses institusionalisasi dan dampaknya perlu dilakukan untuk dapat

benar-benar memahami suatu peristiwa, perilaku dan perubahan politik.

Bagi para ilmuwan yang bersentuhan dengan institusionalisme his- toris, suatu

proses institusionalisasi dapat terjadi dari hubungan keku- asaan yang asimetris.

Suatu institusi dapat terbentuk, beroperasi dan berkembang karena hubungan

kekuasaan yang asimetris. Dalam sebu- ah hubungan kekuasaan yang asimetris,

institusi menjalankan fungsi memelihara status quo atau membuat perubahan dan

membangun per- imbangan kekuasaan baru. Hal ini karena institusi cenderung

mendis- tribusikan kekuasaan secara tidak merata kepada kelompok-kelompok

masyarakat. Dalam hubungan kekuasaan yang tidak merata (asimetris) tersebut,

54
manusia membentuk koalisi-koalisi dan bersaing antara satu koalisi dengan yang

lainnya (Marsh, Batters dan Savigny 2004). Misalnya contoh kasus, dalam

perspektif ini jika UU MD3 direvisi pada tahun 2014 karena kecenderungan hasil

Pemilu Presiden 2014 cenderung mengarah pada kemenangan kandidat dari KIH,

kemudian revisi tersebut akan memastikan dominasi KMP di parlemen yang mela-

kukan konsolidasi untuk bersaing setelah kemenangan KIH. Hasil revisi tersebut

menghasilkan institusi juga yang mendistribusikan kekuasaan secara asimetris di

parlemen. Dalam perspektif institusionalisme his- toris, KIH juga akan berusaha

untuk mengubah pola relasi kekuasaan yang asimetris melalui perubahan institusi.

Kedua Institusionalisme pilihan rasional memandang proses institusio

nalisasi sebagai suatu mekanisme instrumental untuk menyelesaikan masalah-

masalah bersama (collective action dilemmas). Manusia seca- ra individual

dipandang sebagai individu rasional yang bertindak atas dorongan kepentingan

rasional. Setiap tindakan politik dari para aktor rasional tersebut didasari oleh

perhitungan untung-rugi dan aksi-reak- si dari aktor lainnya. Interaksi di antara

aktor-aktor rasional ini dapat menimbulkan persaingan dan konflik yang pada

gilirannya berdampak pada kepentingan banyak orang. Pembentukan institusi pada

umumnya dipandang sebagai agen untuk menyelesaikan masalah kolektif, terma-

suk konflik dan distribusi nilai.

Bagi para penganut institusionalisme pilihan rasional, para aktor politik

akan lebih cenderung untuk memilih institusionalisasi daripa- da kekosongan

institusi (Hall dan Taylor 1996; Shepsle dalam Binder, Rhodes, dan Rockman

2008). Kehadiran institusi memberikan insentif bagi kerjasama dan pertukaran

55
(gains from cooperation dan gains from exchange) karena menghindarkan para

aktor politik dari ketidakpasti- an hasil dari persaingan dan konflik di antara

mereka. Dengan saling bekerjasama dan bertukar informasi, dapat terjalin

koordinasi yang me- mastikan ekuilibrium dan mengurangi biaya transaksi politik

(political transactional cost).

Kelompok teori yang ketiga, yaitu institusionalisme sosiologis,

menekankan studi institusi politik pada aspek gagasan, norma, budaya dan

identitas. Menurut Hall dan Taylor (1996:13), para ilmuwan yang bersentuhan

dengan institusionalisme sosiologis berpandangan bah- wa studi politik harus

mencakup tidak hanya aturan-aturan formal, aspek kognitif, dan kerangka moral,

namun juga kerangka pedoman bagi tindakan manusia.

Dalam perspektif ini, terdapat tumpang tindih pengertian antara institusi

dengan budaya. Kajian institusi yang sering dipandang berbeda karena

berdasarkan struktur dan organisasi, diban- dingkan dengan kajian budaya yang

berdasarkan pemahaman tentang nilai-nilai, sikap dan perilaku bersama; dalam

perspektif institusiona- lisme sosiologis ini sama dengan budaya. Budaya sendiri

dipandang sebagai institusi. Di sinilah letak relevansi nomenklatur „sosiologi‟ yang

dilekatkan pada institusionalisme dalam perspektif ini, karena adanya penekanan

dalam perspektif ini untuk mempelajari dimensi kognitif dari institusi. Institusi

dipelajari dari pola perilaku, simbol-simbol, nor- ma yang memberi pedoman bagi

perilaku, dan identitas. Model perspektif ini memiliki kemiripan dengan salah satu

kecenderungan studi dalam sosiologi, yaitu konstruktivisme sosial (social

constructivism).

56
Institusionalisme sosiologis memandang bahwa institusi mempe- ngaruhi

individu, termasuk dalam hal preferensi dan identitasnya (Hall dan Taylor 1996:

16). Berlawanan dengan teori pilihan rasional yang mengatakan bahwa perilaku

politik manusia didorong oleh kepen- tingan obyektif (interest-driven), kalangan

penganut teori institusionalisme sosiologis cenderung berpandangan bahwa justru

institusi yang membentuk preferensi dan identitas individu.

Hal ini karena di dalam praktiknya tidak semua institusi dan organisasi

dibentuk untuk me- maksimalkan kepentingan obyektif atau material. Banyak di

antaranya dibentuk berdasarkan budaya atau nilai-nilai bersama. Dalam kaitannya

dengan identitas, menurut teori ini, umumnya institusi dibentuk bersi- fat

isomorfis, yaitu berdasarkan kesamaan identitas, preferensi kebijakan atau posisi di

dalam struktur (Amenta dan Ramsey dalam Leicht dan Jenkins 2010: 17). Institusi

membentuk preferensi dan identitas karena individu ingin berperilaku sesuai

dengan lingkungan sosialnya (the lo- gic of social appropriateness), bukan hanya

karena perhitungan strategis berdasarkan kepentingan ekonomi atau kekuasaan.

Dalam proses pembentukan institusi baru atau revisi institusi lama,

dorongan yang lebih kuat memotivasi perubahan menurut teori ini adalah

legitimasi sosial. Perubahan institusi dilakukan bukan semata- mata perhitungan

efisiensi, akan tetapi lebih dari itu, karena perubahan itu sendiri dihargai oleh

masyarakat. Karena masyarakat menghargai efisiensi lah maka perubahan tersebut

dilakukan. Jika masyarakat tidak menghargai efisiensi dan maksimalisasi

keuntungan, misalnya dalam kebijakan subsidi pendidikan, kesehatan atau

57
pangan, maka efisiensi tidak diinginkan. Perubahan dengan mengurangi subsidi

menjadi tidak berharga dan tidak memotivasi pemerintah untuk melakukannya.

Ketiga kelompok teori institusionalisme tersebut dapat digunakan untuk

menganalisis pembuatan kebijakan UU MD3 2014. Institusionalisme historis

dapat menjelaskan faktor-faktor sejarah, struktur politik, kepentingan, gagasan

dan interaksi kekuasaan yang menyertai proses institusionalisasi UU MD3 2014.

Institusionalisme pilihan rasional da- pat digunakan untuk menjelaskan motif,

proses tawar-menawar, solusi kolektif dan transaksi politik. Sedangkan

institusionalisme sosiologis dapat digunakan untuk menjelaskan proses

institusionalisasi UU MD3 dari gagasan, pembangunan diskursus, simbol-simbol,

pembentukan koalisi, proses sosialisasi, dan akhirnya terbentuknya institusi

tersebut (UU MD3). Penekanan ketiganya dalam hal faktor yang mempenga- ruhi

proses institusionalisasi tersebut berbeda, yaitu kekuasaan asimetris

(institusionalisme historis), transaksi politik (institusionalisme pilihan rasional)

atau sosialisasi gagasan (institusionalisme sosiologis).

Intensi dan preferensi aktor politik yang terlibat dalam suatu proses

institusionalisasi secara umum dapat dibedakan dalam beberapa para- digma.

Paradigma yang pertama adalah liberalisme atau pluralisme. Para aktor yang

menganut liberalisme memandang penting kebebasan dan demokrasi (Parsons

2005: 255). Pembangunan institusi demokra- si dipandang perlu diwarnai dengan

prosedur pengawasan dan per- imbangan kekuasaan (checks and balances). Hal

ini diperlukan agar sistem pemerintahan dapat terhindar dari dominasi suatu

kelompok dan penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok dominan. Distribusi

58
kekuasaan di antara kelompok dan di antara lembaga negara diperlukan agar

tercipta keseimbangan dan pengawasan yang baik.

Paradigma yang kedua adalah realisme. Para aktor politik yang di-

pengaruhi oleh realisme cenderung memandang penting dominasi ke- kuasaan atas

kelompok lain. Kekuasaan dipandang memiliki struktur, di mana tiap kelompok

memiliki sumber daya, domain dan jangkauan kekuasaan yang berbeda-beda.

Paradigma ini memandang setiap orang atau kelompok tergerak untuk

mengakumulasi kekuasaannya apabila memiliki kesempatan dan kekuatan untuk

melakukannya (lihat Lukes dalam Parsons 2005: 146). Oleh karena itu, setiap aktor

atau kelompok memandang akan selalu ada persaingan kekuasaan dengan aktor

atau kelompok lainnya baik yang kekuasaannya simetris (setara) ataupun

asimetris (tidak setara). Proses persaingan kekuasaan tersebut terbagi dalam tiga

tahap, yaitu kontrol satu pihak terhadap pihak lainnya yang disebut Lukes sebagai

dimensi pertama, penutupan akses oleh satu pi- hak terhadap pihak lainnya

(dimensi kedua), dan hegemoni (dimensi ketiga).

Paradigma yang ketiga adalah rasionalisme. Dalam pandangan ini,

kekuasaan dipandang sebagai sebuah instrumen atau alat. Kekuasaan digunakan

sebagai alat untuk memaksimalkan utilitas atau pemenuhan kepentingan (Parsons

2005: 274). Kelompok rasionalis berusaha untuk melakukan institusionalisasi

untuk memastikan agar pengaturan kekua- saan dapat memastikan agar

kelompoknya mendapatkan peluang.

Dominasi atas kelompok lain bukan merupakan tujuan, akan tetapi

institusi yang superior di atas semua kelompok dipandang perlu agar semua

59
kelompok dapat memaksimalkan pemenuhan kepen- tingannya. Paradigma yang

mendasari intensi dan preferensi dari para aktor po- litik ini, meskipun tidak

mudah diidentifikasi, namun mempengaruhi secara signifikan karakteristik dari

perilaku mereka dalam membangun institusi. Kecenderungan mengadopsi

paradigma liberalisme mendorong institusionalisasi ke arah perimbangan

kekuasaan dan gagasan ideal demokrasi. Kecenderungan mengadopsi paradigma

realisme men- dorong institusionalisme ke arah dominasi kekuasaan atau

hegemoni. Sedangkan kecenderungan menganut paradigma rasional akan men-

dorong pembangunan institusi ke arah kesetimbangan (ekuilibrium) di antara

kelompok atau koalisi.

60
DAFTAR PUSTAK A

Amenta, E. dan Kelly M. Ramsey. 2010. “Institutional Theory”, dalam


Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective, eds. Kevin
T. Leicht dan J. Craig Jenkins. New York: Springer.

Dahl, Robert A. 1957. “The Concept of Power.” Behavioral Science , 2 (July).


No. 3: 201-216.

Hall, Peter A. dan Rosemary C. R. Taylor. 1996. “Political Science and the
Three New Institutionalisms”, paper dipresentasikan di the MPIFG
Advisory Board Meeting‟s Public Lecture, 9 Mei 1996.

Lasswell, Harold D. 1950. Power and Society: A Framework for Political


Inquiry. New Haven: Yale University Press.

March, James. 1966. “The Power of Power”, dalam Classics of Orga-


nization Theory, eds. Jay M. Shafritz, J. S. Ott, dan Yong S. Jang.
California: Cengage Learning.

Marsh, D. dan Gerry Stoke. Eds. 1995. Theory and Methods in Political
Science. London: MacMillan.

Marsh, David, Elizabeth Batters, dan Heather Savigny. 2004. “Histori- cal
Institutionalism: Beyond Pierson and Skocpol”, University of Bir- mingham
Working Paper, UK.

Parsons, Wayne. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Ana- lisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana.

61
BAB VIII

PEMBENTUKAN PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

Kewenangan pembentukan Perda merupakan salah satu wujud

kemandirian daerah dalam mengatur urusan rumah tangga daerah atau urusan

pemerintahan daerah. Perda merupakan instrumen yang strategis sebagai sarana

mencapai tujuan desentralisasi. Menurut pandangan Syarif Hidayat desentralisasi

sebagai bagian dari pemberdayaan politik, tujuan desentralisasi dapat dilihat dari

dua sisi, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tujuan desentralisasi dari

sisi pemerintahan daerah adalah untuk mewujudkan political equality, local

accountability dan local responsiveness. Sementara itu, tujuan desentralisasi dari

sisi pemerintah pusat adalah untuk mewujudkan political education, provide

training in political leadership dan create political stability.

Keberadaan Peraturan Daerah dalam UUD 1945 sebelum diamandemen

memang tidak dikenal, sehingga peraturan Daerah termarjinalkan dalam tata

susunan peraturan perundang- undangan Indonesia. Setelah UUD 1945

diamanden, eksistensi Peraturan Daerah sudah dikukuhkan secara konsitusional

sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18 ayat (6) yang selengkapnya berbunyi;

Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain

untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sebagai landasan utama

kewenangan DPR dalam mengusulkan Rancangan Undang-undang tertuang

dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1), menyatakan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat

memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya dipertegas lagi

62
pada Pasal 21 menyatakan, bahwaAnggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak

mengajukan usul rancangan undang-undang.

Berdasarkan pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Pasal 39 disebutkan bahwa

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dilakukan dalam

Prolegda Kabupaten/ Kota. Dalam pasal ini mengisyarakat bahwa DPRD

memiliki peran penting dalam perancangan Peraturan daerah. Program Legislasi

Daerah (Prolegda) sebagaimana dimaksud sebelumnya disusun bersama-sama

oleh DPRD dan Pemerintah Daerah yang ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu)

tahun, Prolegda merupakan instrumen perencanaan program pembentukan

Peraturan Daerah yang disusun secara berencana dan sistematis sesuai skala

prioritas yang ditetapkan. Peraturan daerah (Perda) merupakan instrumen dalam

pelaksanaan otonomi daerah untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan

daerah serta fasilitas pendukungnya.

Lahirnya sebuah Peraturan Daerah (Perda) harus mengandung sebuah

regulasi yang dapat ditaati oleh masyarakatnya, dan untuk menunjang menunjang

ini maka sangat perlu memahami keinginan dan kondisi sosial masyarakatnya

sehingga dapat diterapkan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu

pertimbangan filosofisnya harus jelas kemana masyarakat akan dibawa. Untuk

mencapai Peraturan Daerah yang responsif dalam mendukung Otonomi Daerah,

selayaknya para perancang memperhatikan asas-asas pembentukan Perda sebagai

kerangka acuan seperti kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang

tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan dan lain sebagainya.

63
Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo merupakan kemampuan seseorang

atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau

kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan

dan tujuan dari orang atau negara. Kekuasaan membuat peraturan perundang-

undangan juga merupakan kekuasaan yang melekat secara atributif kepada

legislatif sebagai perwakilan seluruh rakyat yang berada di dalam lapangan

hukum publik.

Salah satu kewenangan organ negara adalah kewenangan DPR/D untuk

membuat undang-undang atau Peraturan Daerah. Kewenangan ini bersifat

atributif, karena diberikan oleh UUD 1945 untuk DPR dan Undang Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk DPRD. Oleh karena

itu penggunaanya harus dilakukan berdasar atas prinsip atau asas akuntable dan

asas transparansi, sehingga benar-benar sesuai dengan peraturan yang

mendasarinya.

Kewenangan ini tentunya tidak dapat dipisahkan dengan wewenang yang

dimilki oleh eksekutif, karena Perda hanya dapat dibentuk secara bersama-sama

antara DPR dengan Pemerintah. Oleh karena itu, hubungan antara kedua lembaga

ini disebut sebagai hubungan partnership, tidak ada sebuah prosuk Perda yang

dibentuk oleh DPRD tanpa kerjasama dengan Pemerintah, sebaliknya tidak ada

Perda tanpa DPRD.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bahwa kedudukan,

yang penting, karena sebagai unsur dari pemerintah daerah dalam

penyelenggaraanpemerintahan daerah. Kedudukan DPRD sebagai Badan

64
Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah

Daerah, sekaligus menjalankan fungsi kontrol atau pengawasan terhadap

Pemerintah Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahah Daerah, bahwa tugas dan wewenang DPRD antara lain:

a. Membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk


mendapat persetujuan bersama;
b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah bersama dengan Kepala Daerah;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah
dan peraturan perundang-undangan lain, Keputusan Gubernur. Bupati
dan Walikota, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Kebijakan
Pemerintah Daerah, dan Kerjasama Intemasional didaerah;

Prinsip-prinsip pembentukan Perda menurut Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 sebagai berikut:

1. Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan


bersama DPRD;
2. Perda di bentuk dalam rangka menyelenggarakan otonomi, tugas
pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirikhas masing-masing daerah;
3. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
4. Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-
undangan,
5. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka menyiapkan atau pembahasan Raperda
6. Perdadapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum,
atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
7. Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah ditetapkan
untuk melaksanakan Perda.
8. Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran berita daerah.
9. Perdadapat menunjukkan pejabat tertentu sebagai pejabat penyidik tertentu
sebagai pejabat penyidik pelanggaran Perda (PPNS Perda);
10. Pengundangan. Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah dalam Berita Daerah.
Apabila dalam satu masa sidang DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota

menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas

65
adalah rancangan Perdayang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota untuk

ditetapkan sebagai Perda. Penyampaian rancangan Perda ditetapkan oleh

Gubernur atau Bupati/Wali kota paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak rancangan

tersebut disetujui bersama. Dalam hal rancangan. Perda tidak ditetapkan Gubernur

atau Bupati/Walikota dalam 30 (tiga puluh) hari, rancangan Perdatersebut sah

menjadi Perdadan wajib diundangkan dengan memuatnya di dalam lembaran

daerah.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengaturbeberapa prinsip

mengenai pembentukan Perda sebagai berikut:

1. Pembahasan rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD bersama


Gubernur/
Bupati/Walikota.
2. Rancangan Perda yang telah disetujui oleh DPRD ditetapkan oleh Kepala
Daerah untuk menjadi Peraturan Daerah;
3. Perda dibentuk dalam penyelenggaraan otonomi, tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.
4. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perdalain, atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5. Perdadapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum atau
pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak banyaknya
lima juta rupiah.
6. Keputusan Kepala Daerah ditetapkan untuk melaksanakan Perda.
7. Perdadan Keputusan Kepala Daerah yang mengatur, dimuat dalam
lembaran daerah.

Materi muatan Peraturan daerah dapat memuat asas sesuai dengan substansi

peraturan daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan pada

asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

66
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan

Politik hukum menurut Mahfud. MD adalah bagaimana hukum akan atau

seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta

bagaimana hukum difungsikan. Pembentukan undang-undang merupakan proses

sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh

yang luas, karena itu (undang-undang) akan memberi bentuk dan mengatur atau

mengendalikan masyarakat. Undang-undang oleh penguasa digunakan untuk

mencapai dan mewujudkan tujuantujuan sesuai dengan yang dicitia-citakan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Undang-undang mempunyai dua

fungsi, yaitu: Pertama Fungsi untuk mengekspresikan nilai, dan kedua Fungsi

instrumental.

Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan,

masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem

kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi untuk

melakukan social control, dispute settlement dan social engeneering atau

inovation, sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi

(socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule

adjudication, interest articulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas

(regulatif extractif, distributif dan responsif). Sistem hukum memikul tanggung

jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang

timbul karena hak yang bersangkutan. Sasaran utama sistem politik ialah

memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan

67
sistem politik dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering bertumpang

tindih.

Untuk menghindari adanya peraturan daerah yang bermasalah serta mendapat

dukungan dari masyarakatnya, maka aplikasi politik hukum dalam pembuatan

perda harus selaras dengan teori tujuan hukum yaitu perda yang dibuat harus

dapat memberikan rasa keadilan, memberikan kepastian hukum dan terdapat nilai

kemanfaatan setelah dilaksanakan nantinya.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya merupakan

sebuah proses sistemik dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,

perumusan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Berdasarkan pengertian tersebut,

maka perencanaan merupakan tahap yang paling krusial dan urgent yang harus

diperhatikan dalam setiap pembentukan peraturan perundang- undangan, termasuk

juga Perda. Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat

tiga landasan yaitu:

a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Perda haruslah dibuat dengan
berlandaskan pada kebenaran dan prinsip-prinsip keadilan.
b. Landasan Sosiologis
Hamzah Halim dan Kemal Redinho Syahrul Putera dalam bukunya
menjelaskan bahwa Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri
atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang
mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan (perda), yaitu
bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat
sehingga perlu pengaturan.

68
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat. Oleh
karena itu, landasan sosiologis ini akan tercermin di dalam konsiden
menimbang yang didalamnya memuat fakta-fakta sosiologis yang melatar
belakangi dibentuknya pertauran perundang-undangan tersebut.
c. Landasan Yuridis
Dasar yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber
hukum/dasar hukum untuk pembuatan/perancangan suatu peraturan
perundang-undangan.W.Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono
mengatakan: Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-
undangan meliputi tiga hal yaitu Kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan, Kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-
undangan dengan materi yang akan diatur, Keharusan mengikuti tata cara
tertentu.

Indonesia sebagai negara hukum maka dalam penyelenggaraan

pemerintahannya harus dapat mencerminkan adanya penerapan hukum terhadap

segala aturan yang berkaitan

dengan masyarakat, termasuk daerah yang telah diberi kewenangan untuk

membuat peraturan daerah. Di dalam negara hukum segala aturan dibuat dengan

jelas agar masyarakat dapat mengetahuinya terhadap hal-hal yang diberolehkan

dan apa yang tidak diperbolehkan. Negara hukum sangat menjunjung tinggi

sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan pertimbangan terhadap hak

asasi manusia. Kepastian hukum secara nyata direalisasikan dengan adanya

wadahwadah hukum yang ditegakkan dan dilaksanakan. Sehingga dengan

demikian sebagai daerah yang telah otonom Peraturan daerah mutlak diperlukan.

69
Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan


Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium
yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM, 2003.

F, Marbun, S., Mahfud MD, Moh., Pokok- Pokok Hukum Administrasi Negara,
Cetakan Kelima, Jogjakarta; Liberty, Yogyakarta. 2009.

Hamidi, Jazim dkk, Teori dan Politik Hukum Tata Negara (Green Mind
Community), Cetakan I, Penerbit Total Media, Yogyakarta, 2009

Indra, Muh. Ridwan, Kedudukan Lembagalembaga Negara dan Hak Menguji


Menurut Uud 1945,SinarGrafika, Jakarta, 1987.

Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

MD, Moh.Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001,

-----, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta,
Jakarta, 2001,

-----,Politik Hukum diIndonesia, Edisi Revisi, PT Rajawali Press, cetakan Ketiga


Maret 2010

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta


perubahannya

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang Undangan.

70
Contoh Template
Naskah Akademik Dalam Penyusunan Peraturan Undang-
Undang/Peraturan Daerah
Tentang .............................

Diajukan Naskah Akademik Dalam Penyusunan Peraturan Undang-Undang/


Peraturan Daerah Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Proses Legislatif Indonesia

Dosen Pengampu Mata Kuliah


Rachmat Ramdani,.S.IP.,M.I.Pol

Nama Anggota Kelompok:

Program Studi Ilmu Pemerintahan


Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Singaperbangsa Karawang

71
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perlindungan Hak Kakayaan Intelektual (HKI) atas Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional (PT dan EBT) merupakan sebuah masalah yang
masih baru bagi bangsa Indonesia. Masalah ini muncul disebabkan oleh
berkembangnya aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di dalam karya-
karya budaya yang kepemilikannya bersifat kolektif dan telah diwariskan secara
turuntemurun serta tidak diketahui lagi siapa penciptanya pertama kali. Tingkat
kompleksitas masalah ini menjadi semakin tinggi karena konsep hukum Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia saat ini lebih merupakan sebuah
tindakan pengambilalihan sistem hukum perlindungan hak kebendaan
perseorangan yang pada awalnya dikembangkan di Perancis (mulai dari Code
Penal dan Code Civil di masa Napoleon).
Sistem hukum tersebut kemudian dibawa ke Indonesia oleh pemerintah
Kolonial Belanda. Hal ini berlawanan kondisinya dengan masyarakat di Negara
maju yang telah mengenal dan menerapkan hukum Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) sejak lebih dari 100 tahun yang lalu ketika disepakatinya Paris Convention
for the Protection of Industrial Property pada tahun 1883 (Konvensi Paris) dan
Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works pada tahun
1886 (Konvensi Bern). Kedua konvensi ini merupakan pilar utama bagi
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk karya cipta yang diketahui
individu penciptanya. Adapun keterkaitan dengan Pengetahuan Tradisional (PT)
dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), sebagaimana telah diuraikan di atas,
tidak diketahui lagi siapa penciptanya dan tidak diatur masalah kepemilikannya
oleh Konvensi Paris dan Konvensi Bern.
Walaupun demikian, pembahasan masalah perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) atas Pengetahuan Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya
Tradisional (EBT) di tingkat internasional sebenarnya tidak sepenuhnya
merupakan sesuatu yang baru, karena telah dimulai sejak tahun 1967 (WIPO

72
Publications No. 913 (E),3). 2 Indonesia merupakan Negara dengan
keanekaragaman budaya yang sangat luar biasa. Kekayaan budaya tersebut
ternyata menyimpan pula potensi ekonomi yang sangat besar sehingga dapat
mendukung proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Tidak
mengherankan bahwa nilai tersebut telah menyebabkan pihak asing berulangkali
memanfaatkan tanpa izin dan/atau mengakui Pengetahuan Tradisional (PT) dan
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) di Indonesia sebagai milik mereka.
Dalam jangka panjang, tindakan-tindakan tersebut dapat merugikan
kepentingan nasional, karena semakin lama akan semakin banyak Pengetahuan
Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) Indonesia yang diambil
alih oleh bangsa lain, sedangkan dari segi kepentingan nasional di Indonesia
sendiri belum dapat dikalkulasi seberapa besar potensi keuntungan ekonomi
secara berkelanjutan yang dapat diperoleh dari kekayaan intelektual warisan
budaya bangsa tersebut. Sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa
keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan secara komersial atas Pengetahuan
Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang ada di berbagai
Negara mencapai angka hingga ratusan juta bahkan puluhan dolar AS pertahun.
Dalam rangka mencari arah langkah ke depan untuk menghadapi tantangan
dan rintangan yang menghadang, serta tuntutan kebutuhan internal, perlu
dipelajari secara mendalam perkembangan upaya perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) atas Pengetahuan Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya
Tradisional (EBT) di tingkat internasional untuk memberikan suatu pemahaman
yang memadai masalah ini. Disamping itu, perlu pula dipelajari pengalaman yang
sama di Indonesia sendiri untuk melihat derajat kepentingannya dibandingkan
dengan kepentingan bangsa-bangsa lain di dunia. Berdasarkan hal tersebut di atas
dalam Upaya memberikan perlindungan perkembangan Pengetahuan Tradisional
(PT) dan pemanfaatan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang
berpotensi memberikan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan yang dapat
diperoleh dari kekayaan intelektual warisan budaya bangsa, maka dalam
penyusunan Naskah Akademik dengan memperhatikan landasan pemikiran
sebagai berikut :

73
1. Landasan Filosofis.
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), sebagaimana segi-segi lain dari suatu
kebudayaan tradisional, adalah sesuatu yang sangat berarti bagi suatu bangsa 3
atau suku bangsa, karena hal ini merupakan penanda dari kebudayaan dan
sekaligus dari (suku) bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu pantaslah jika
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) senantiasa dihargai, dihormati, dan dirawat
agar tetap lestari dan berfungsi penuh di dalam masyarakat pendukungnya. Citra
suatu (suku) bangsa antara lain dibentuk oleh khasanah Ekspresi Budaya
Tradisionalnya (EBT).
2. Landasan Yuridis.
Landasaan yuridis yang dapat diinterpretasikan dengan pembangunan
kebudayaan bangsa Indonesia dijabarkan dalam Pasal demi Pasal UndangUndang
Dasar 1945 dan Amandemennya, yaitu :
1. Pasal 18 B ayat (2) (Amandemen II) menyatakan bahwa : “ Negara
mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya semapanjang masih hisup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang”
3. Landasan Sosiologis
“Kepemilikan” Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) sudah tentu ada pada
komunitas atau golongan etnik yang telah membangun dan
memperkembangkannya. Untuk menggeser posisi Ekspresi Budaya
Tradisional (EBT) dari tersisih ke tengah kancah kehidupan masyarakat
luas (lagi) diperlukan kekuatan-kekuatan sosial untuk menggerakkannya.
Peranan “ penggerak” itu dapat diperbedakan pula antara lain : (a). Pelaku
kampanye “ideologis” agar khalayak menyukai dan membutuhkan
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) (lagi); (b). Pemodal; (c). Para ahli
pengemas; dan (d). Para seniman pelaku Ekspresi Budaya Tradisional
(EBT). 6 Kekuatan-kekuatan sosial itu perlu ditemu-kenali dan

74
dipersatukan sehinngga tumbuh suatu momentum untuk menggerakkan
“mainstreaming” (kembali) Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)

B. Identifikasi Masalah.
Konsep perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah
dikenal di negera-negara maju lebih mengedepankan pada perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) untuk karya cipta yang diketahui individu
penciptanya, sedangkan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PT dan EBT),
merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Permasalahan muncul
disebabkan berkembangnya aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
dalam karya-karya budaya yang kepemilikannya yang bersifat kolektif dan
telah diwariskan secara turun-menurun serta tidak diketahui siapa
penciptanya.
Kondisi sebagaimana dimaksud di atas, sudah selayak/sepatutnya
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PT dan EBT)
mendapat perlindungan melalui sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam
sebuah produk peraturan perundang-undangan tersendiri, sehingga dengan
adanya perlindungan dimaksud dapat memberikan kekuatan pendorong dalam
meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Selain dari pada itu dengan
perlindungan terhadap kebudayaan akan menentukan eksistensi dan jati diri
suatu bangsa dapat dipertahankan dan ditingkatkan serta dapat mendorong
masyarakat meningkatkan kualitas dari ciptaan yang dihasilkan.

C. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang (RUU)


Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam menyusun Naskah Akademik
ini, Tim menguraikan Substansi muatan Rancangan RUU tentang Perlindungan
dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional, hal ini dimaksudkan agar RUU yang akan diserahkan untuk
dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyuat (DPR) telah memadai dan dapat

75
dipertangungjawabkan hasilnya bagi kepastian hukum pada khususnya dan
kepentingan nasional pada umumnya. Substansi muatan tersebut, antara lain
memuat :
1. Ketentuan Umum Dalam ketentuan umum yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut : a. Pengetahuan Tradisional (PT) Konsepsi pengaturan
PT, bilamana hal itu disepakati, diarahkan pada terciptanya ketentuan
subtantif yang diusulkan akan meliputi antara lain: Perolehan atau
penggunaan PT secara tidak jujur atau secara gelap merupakan tindak
penyalahgunaan dan penggelapan. Secara hukum harus disediakan untuk
mengatasi perolehan melalui pencurian, penyuapan, kekerasan/paksaan,
bujukan, perolehan atau kontrol atas PT yang perolehannya mestinya
berlangsung dengan persetujuan terlebih dahulu pemegang/pemeliharanya;
klaim pemilikan atau kontrol yang palsu; ataupun kegiatan akses atau
pemanfaatan PT untuk tujuan komersial tetapi tanpa disertai kompensasi
yang adil dan wajar.

D. Asas dan Tujuan


Asas Perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual Pengetahuan
Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) dilaksanakan
berdasarkan pada asas sebagai berikut:
1. tanggungjawab negara
2. kelestarian dan keberlanjutan
3. manfaat
4. keadilan
5. partisipatif
6. kearifan lokal
7. tata pemerintahan yang baik
8. otonomi daerah
E. Ketentuan Sanksi
Terhadap para pelaku, baik secara pribadi kelompok: korporasi atau
negara, maka pemberian sanksi harus dapat ditentukan sesuai dengan

76
tingkat maupun keberadaan yang bersangkutan, apakah pembuatannya
hanya untuk pribadi dalam artian melakukan penelitian untuk ilmu
pengetahuan, atau korporasi/negara untuk kekayaannya. Mengenai
penerapan sanksi terdapat teori-teori yang mendukung antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Tindak pidana materil dan formil
Dalam RUU ini mengenal tindak pidana formil dan materil, tindak
pidana formil dapat dijumpai di Pasal 19 (revisi RUU tanggal
19/10/2009) yang merujuk pada ketentuan di Pasal 3 huruf a
menyatakan sebagai berikut: “Pemanfaatan yang dilakukan tanpa izin
akses pemanfaatan dan perjanjian, pemanfaatan oleh orang asing atau
badan hukum asing”. Inti dari pasal tersebut di atas adalah adanya
larangan terhadap orang dan/ atau badan hukum untuk melakukan
suatu kegiatan di kawasan wilayah Indonesia tanpa izin. Sedangkan
untuk rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam ketentuan
Pasal 8 (revisi RUU tanggal 19/10/2009), dengan merujuk pada
ketentuan Pasal 7 ayat (1) harus ditolak apabila: (a) Pemanfaatan yang
akan dilakukan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku, ketertiban umum, moralitas, agama, nilai budaya atau
kesusilaan. Dalam ketentuan pasal ini merumuskan larangan
melakukan kegiatan yang melanggar ketentuan ketertiban umum serta
merusak nilai-nilai moral bangsa.
b. Tindak Pidana Administratif
Semua kategori kejahatan sebagaimana yang dirumuskan di atas
adalah sanksi pidana yang sebetulnya adalah sanksi administrasi.
Sanksi administrasi bisa digunakan kekuatan hukum pidana untuk
menimbulkan efek jera yang lebih tinggi. Namun dalam RUU ini
rumusan-rumusan tindak pidana masuk dalam ketentuan tindak pidana,
artinya dari segi teknik perancangan perundangundangan, ketentuan ini
secara sengaja ditempatkan sebagai delik pidana, bukan sebagai sanksi
administrasi. Seharusnya berdasarkan perbedaan bidang hukum

77
ketentuan-ketentuan sanksi administrasi tidak dicantumkan dalam
Bab/bagian ketentuan pidana tetapi dalam sanksi administrasi. Selain
itu, tindak pidana hanya ditujukan kepada pemegang izin. Dalam hal
ini jika pemegang izin yang berdalil telah memiliki izin melakukan
suatu tindakan yang melawan hukum, seperti melaukan penelitian dan
bertentangan dengan masyarakat hukum adat setempat, maka tindakan
tersebut adalah semata-mata pihak yang melakukan aktivitas tersebut.
Di sana sama sekali tidak diperhitungkan pertanggungjawaban pidana
memberi izin.
c. Tindak Pidana oleh Badan Hukum
Dalam RUU ini sebenarnya telah mengenal badan hukum selaku
pelaku tindak pidana. Ketentuan ini di atur dalam Pasal 1 angka 10
yang menyatakan sebagai berikut: “Pemegang izin akses pemanfaatan
adalah orang asing atau badan hukum asing yang telah memperoleh
izin akses pemanfaatan”. Apabila memperhatikan dalam ketentuan
RUU tersebut, khususnya dalam Pasal 1 angka (10) maka
pertanggungjawaban pidana dari pengurus badan usaha yang
melakukan kejahatan di bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi
budaya nasional telah di atur dengan tegas. Konsep
pertanggungjawaban pidana seperti ini mirip dengan ketentuan Pasal
59 KUHP yang berbunyi: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran
ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan
pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan
pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur, melakukan
pelanggaran tindak pidana”. Dalam ajaran pertanggunggjawaban
pidana korporasi, pertanggungjawaban kejahatan oleh pengurus
dikenal sebagai doktrin “vicarius liability”. Menurut doktrin ini,
korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau
mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggungjawab kepada
korporasi tersebut. Namun demikian, rumusan tindak pidana yang

78
dilakukan oleh badan hukum dalam RUU ini, tidak menyebutkan
secara tegas secara tegas bahwa Undang-undang ini mengenal
kejahatan korporasi.

79

Anda mungkin juga menyukai