INDONESIA
RACHMAT RAMDANI.,S.I.P.,M.I.Pol
Daftar isi
Serentak 2019" dimana DPR dan Parpol juga diposisikan oleh masyarakat sebagai
instansi demokrasi yang menempati posisi yang rendah. Katadata (2018) mencatat
setidaknya sejak 2007 hingga Mei 2018, terdapat 205 anggota DPRD dan DPR-RI
yang tertangkap korupsi. Lebih lanjut, persepsi tidak baik juga tercipta karena
sikap dan perilaku wakil yang seringkali dianggap tidak mencerminkan rakyat
1945, Pasal 1 ayat (2) menetapkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dengan kedaulatan rakyat. Perwakilan politik yang ideal adalah perwakilan politik
1
Secara umum, untuk memahami konsep perwakilan politik atau repsentasi
politik menurut pandangan Urbinanti dan Warren (2008) terdapat empat sudut
pandang. Pertama, perwakilan politik dipahami sebagai relasi prinsipal dan agen,
dimana prinsipal dalam hal ini ada konsituten yang berbasis teritorial untuk
memilih agen untuk mewakili dan bertindak sesuai dengan kepentingan dan opini
dari para konstituen. Dengan demikian, jika mengikuti logika dari perspektif ini,
maka ada pihak yang memberikan sumber untuk legitimasi kekuasaan dan ada
elektoral yang memastikan beberapa ukuran responsivitas kepada rakyat oleh para
wakil dan partai politik yang berbicara dan bertindak atas nama rakyat. Keempat,
perwakilan dipahami sebagai hal-hal yang terkait dengan hak pilih yang
politik.
(1967) yang menjelaskan empat dimensi penting dari perwakilan elektoral, yaitu
wakil, yang diwakili, subtansi perwakilan dan konteks. Dimensi wakil yaitu
merujuk pada mereka yang dipilih oleh rakyat dalam sebuah pemilu, sedangkan
dimensi pihak yang diwakili merujuk pada pemilih yang memiliki hak pilih
adalah materi yang menjadi landasan dari wakil dan yang diwakili yang terkait
dengan kepentingan dan tuntutan dari pihak yang diwakili untuk kemudian
2
diteruskan menjadi kebijakan publik oleh pihak yang mewakili. Proses perwakilan
ditentukan oleh dimensi konteks yang ada misalnya sistem politik, sistem pemilu,
legitimasi kekuasaan kepada sang wakil melalui pemilu untuk membuat sebuah
tindakan politik. Pada sisi yang lain, sang wakil wajib memberikan akuntabilitas
terkait kinerja mereka dalam proses pembuatan kebijakan publik kepada rakyat
yang diwakili.
politik.
menciptakan dan membingkai identitas dan klaim terkait dengan pihak yang
3
sebuah subyek (S) yang membela seorang objek (O) dan terkait dengan rujukan
politik tidak sekedar melibatkan relasi antara pihak wakil dan pihak yang diwakili.
Menurut Williams lebih dari itu, konsep perwakilan politik melibatkan tiga
dimensi yaitu dimensi proses pembuatan kebijakan publik, dimensi watak dari
relasi antara wakil dan yang diwakili dan dimensi dasar dalam menggabungkan
perwakilan politik yang ditawarkan oleh Williams sangat terkait dengan upaya
Ketiga oleh Urbinati (2002) menawarkan cara pandang yang lain, yaitu
dalam memahami konsep perwakilan politik dengan melibatkan para aktor non-
Wakil adalah hanya satu pihak. Pihak lain yang sama pentingnya dalam
perwakilan politik dengan demikian tidak bisa dilepaskan dari pihak pihak yang
diwakili atau konstituen. Dalam konteks ini, konsep perwakilan politik sangat
4
Keempat Rehfeld (2005, 36) mendefinisikan konstituensi sebagai “sebuah
memberikan suara dalam pemilu, kelas tertentu, agama atau suku tertentu,
kesamaan karakteristik dari sebuah kelompok. Dari sisi wakil, seorang wakil yang
Kedua adalah stabilitas, yaitu frekuensi yang dengan mana kita akan dapat
melihat kontinyiutas dan diskontinyuitas dari para pemilih dari satu pemilu ke
pemilu yang lain. Wakil akan sangat mempertimbangkan konstituen mana yang
loyal pada wakil tersebut dan konstituen mana yang tidak loyal. Ketiga adalah
kesukarelaan, yaitu merujuk pada derajad melalui mana setiap individu konstituen
memiliki ruang untuk pilihan pribadi. Wakil akan memiliki sikap dan perilaku
yang berbeda dalam merespon konstituen yang ruang pilihan pribadinya sempit
5
Daftar Pustaka
Williams, Melissa, 1998. Voice, Trust, and Memory: Marginalized Groups and the
Failings of Liberal Representation. Princeton, NJ: Princeton University.
6
BAB II
agregasi, dan advokasi dari tuntutan serta kepentingan publik menjadi kebijakan
publik melalui pihak wakil sebagai pembuat kebijakan. Menurut Rehfeld (2009),
digunakan oleh para wakil dalam membuat keputusan atas sebuah situasi dalam
proses pembuatan kebijakan publik. Apakah seorang wakil bisa otonom dan
mandiri dalam menentukan sebuah sikap ketika terlibat dalam proses pembuatan
kebijakan publik (self-reliant)? Atau dia harus bergantung kepada sikap dan
dengan resiko bahwa tuntutan dan kepentingan pihak yang diwaliki oleh sang
wakil justru tidak akan terakomodir sepenuhnya (Republican aims)? Atau, apakah
sebuah kebijakan publik harus secara sangat spesifik diarahkan oleh sang wakil
kepada pemenuhan atas tuntutan dan kepentingan dari yang diwakilinya semata
sehingga beresiko untuk mengorbankan kepentingan dan tuntutan dari orang lain
(Pluralist aims)? Ketiga adalah responsivitas diri dari seorang wakil kepada
sanksi. Dalam artian, apakah seorang wakil akan sangat responsif (induced) atau
tidak responsif (Gyroscopic) pada prospek untuk terpilih kembali dalam pemilu
7
berikutnya atau sanksi politik dalam bentuk yang lain ketika mereka bersikap
dimensi utama, yaitu otorisasi dan akuntablitas. Istilah pertama merujuk pada cara
istilah kedua merujuk pada kemampuan dari si pihak yang diwakili untuk
memberikan hukuman kepada si pihak wakil ketika si pihak wakil gagal dalam
bertindak sesuai dengan tuntutan dan kepentingan si pihak yang diwakili. Dengan
wakil mendapat legitimasi untuk menjadi wakil dan bagaimana si pihak yang
Yang kedua adalah perwakilan simbolik, yaitu cara dimana si pihak wakil
membela (stand for) tuntutan dan kepentingan dari si pihak yang diwakili. Dengan
menggunakan perspektif ini, dalam melihat perwakilan politik, kita akan fokus
diwakili. Selain itu, kita juga akan fokus pada bagaimana wakil dalam
8
model perwakilan simbolik. Sebaliknya, semakin seorang wakil tidak
ketika sang wakil menjadi salah satu aktor pembuat kebijakan publik.
si wakil menyamai pihak yang diwakilinya (act for). Dengan perspektif ini, kita
wakil memiliki kepentingan yang sama dengan pihak yang diwakilinya? Atau
pengalaman yang sama dengan yang diwakilinya ketika sang wakil terlibat dalam
model perwakilan deskriptif. Begitu juga sebaliknya. Semakin si wakil tidak sama
dan memiliki kepentingan serta pengalaman yang berbeda dengan pihak yang
pihak sang wakil, yaitu sejauhmana tindakan-tindakan yang diambil oleh sang
wakil dalam rangka mengatasnamakan mereka yang diwakili (act for). Hal ini
juga merujuk pada tindakan-tindakan dari sang wakil dalam rangka untuk
ini melihat sejauhmana sang wakil menjadi agen dan menjadi pengganti dari
9
mengatasnamakan dan sesuai dengan tuntutan dan kepentingan dari pihak yang
diwakili, maka sang wakil tersebut sebenarnya sedang menjadi agen dan
pengganti dari mereka yang diwakili di dalam proses perumusan kebijakan publik.
Dan sebaliknya.
Melanjutkan apa yang sudah digagas oleh Pitkin, Heywood (2013; 197-
model wali (trustee), yaitu wakil yang bertindak atas nama pihak lain dan
tinggi serta pengalaman yang banyak. Kedua adalah model delegasi (delegate),
pendapat orang lain dan sangat minim atau bahkan tidak memiliki kapasitas untuk
(mandate), dimana seorang wakil benar-benar menjadi agen partai politik dalam
Keempat adalah model kemiripan (resemblance), yaitu seorang wakil yang dipilih
karena dia menyerupai grup yang dia klaim sedang dia wakili.
Secara lebih spesifik lagi, Rehfeld (2011) dengan sangat intensif kemudian
model wali (trustee) dan mandat (mandate). Karakter model wali adalah jika
seorang wakil lebih mengandalkan pada justifikasinya sendiri ketika dia terlibat
bersama, dan dia tidak begitu peduli dengan soal sanksi politik yang diberikan
kepada yang diwaliki atas kinerjanya selama menjadi seorang wakil. Atau, dalam
10
bahasana Rao (1998), model wali merujuk pada seorang wakil yang merupakan
agen yang bebas dan mengikuti pertimbangannya sendiri dalam menentukan apa
yang baik, adil, dan lain sebagainya, dimana pertimbangan ini dibuat dengan dasar
analisa dia atas fakta yang ada. Sedangkan karakter model mandat adalah jika
seorang wakil lebih mengandalkan pada tuntutan dan kepentingan pihak yang
diwalikinya ketika dia terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik, untuk
mempertimbangkan agar dapat dipilih kembali dalam pemilu berikutnya dan tidak
mendapat sanksi politik dalam bentuk yang lain dari pihak yang diwakilinya.
politik lagi di luar model wali dan mandat, yaitu model politiko (politico). Model
ini merujuk pada karakter seorang wakil yang memiliki elemen model wali dan
model mandat dalam berbagai cara. Atau dengan kata lain, model politiko adalah
model yang mengkombinasikan model wali dan model mandat sesuai dengan
konteks yang ada ketika seorang wakil sedang terlinat dalam proses pembuatan
sebuah kebijakan publik. Dengan demikian, bisa jadi dalam satu waktu seorang
wakil akan cenderung ke arah model wali dan pada waktu yang lain seorang wakil
mengadopsi model mana yang lebih pas untuk sebuah kebijakan publik tertentu.
11
telah menghasilkan berbagai definisi atas konsep tersebut. Perbedaan cara
mengidentifikasi tiga model perwakilan politik, yaitu model wali, mandat dan
politiko.
12
Daftar Pustaka
13
BAB III
14
banyak digunakan di negara-negara Eropa atau non-AS. (Cipto, 1995: 2).
Parlemen yang dibentuk di Inggris pada abad pertengahan merupakan
parlemen pertama di dunia.Sebenarnya awalnya lembaga ini mempunyai
fungsi dan peran yang jauh berbeda dengan parlemen dewasa ini.
Parlemen saat itu hanya terdiri dari raja, bangsawan, tuan tanah, serta
petinggi agama yang melakukan pertemuan hanya jika dikehendaki oleh
raja.
Pada abad keempat belas raja mengembangkan pertemuan tersebut
sebagai media untuk meminta nasihat atau informasi kepada para petinggi
kerajaan tentang persoalan-persoalan penting. Para petinggi kerajaan
memainkan peran sebagai penasihat dan pembantu raja. Meskipun nasihat
mereka tidak selalu menjadi pertimbangan raja dalam memutuskan
sesuatu, komunikasi satu arah ini menjadi cikal-bakal House of Lords,
salah satu majelis parlemen di Inggris yang masih bertahan hingga saat ini.
(Cipto, 1995: 3).
Kekuasaan House of Lords yang semakin hari semakin besar
mendorong raja untuk mengurangi hak-hak lembaga tersebut, namun
upaya ini menimbulkan konflik di antara keduanya. Dengan dukungan
rakyat dan kelas menengah akhirnya para bangsawan ini justru dapat
memaksa raja untuk menerima pembatasan kekuasaan. Dasar-dasar
monarki konstitusional di Inggris pun mulai terbentuk. Dalam
perkembangan berikutnya, rakyat dan kalangan menengah yang merasa
sebagai kelompok yang terkena dampak langsung dari setiap kebijakan
yang dibuat menuntut untuk dilibatkan dalam pembicaraan menyangkut
pajak dan rencana anggaran.
Dari sinilah kemudian lahir perwakilan rakyat biasa, yang dikenal
dengan nama House of Commons. (Boboy, 1994: 18). Perkembangan
parlemen di Inggris menunjukkan besarnya pengaruh perkembangan
sosio-ekonomi terhadap sistem politik. Pada abad ketujuh belas parlemen
tidak hanya terdiri dari kalangan bangsawan dan gereja, tetapi juga
kalangan pengusaha. Sementara itu, dampak revolusi industri yang terjadi
15
pada abad kesembilan belas mendorong diberikannya alokasi kursi
parlemen bagi daerah-daerah industri, seperti Manchester, Birmingham,
dan Sheffield. The Great Reform Act yang dibuat pada 1832 memperkuat
terakomodirnya berbagai kekuatan di dalam parlemen. (Cipto, 1995: 4).
Reform Act pada 1867 memperluas hak pilih kepada buruh dan petani.
Pada tahun 1918 hak pilih diberikan kepada semua warga negara yang
telah berusia 21 tahun untuk laki-laki dan tiga puluh tahun untuk
perempuan. Baru pada tahun 1970 batasan usia pemilih kemudian
diturunkan menjadi 18 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
(Cipto, 1995: 4).
B. HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA LEGISLATIF DAN LEMBAGA
EKSEKUTIF
Hubungan antara parlemen dan lembaga eksekutif di negara
demokratis dapat dibedakan menjadi sistem parlementer dan sistem
presidensil. Di samping keduanya, ada berbagai negara yang mencoba
mengkombinasikan keduanya, seperti sistem semi-presidensialis di
Perancis. Sistem pemerintahan Inggris dan AS biasanya dijadikan
referensi mengenai bagaimana kedua sistem tersebut dijalankan.
Perbedaan mendasar antara sistem parlementer dan sistem presidensil
terletak pada status dan kewenangan kepala pemerintahan dan
hubungannya dengan parlemen. (Budiardjo, 2008: 297). Di bawah ini akan
diuraikan tentang sistem parlementer dan sistem presidensial.
1. Sistem Parlementer
Dalam sistem parlementer, fungsi eksekutif sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara dijalankan oleh dua lembaga yang
berbeda. Kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri yang
memimpin kabinet dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Ia biasanya adalah pimpinan partai politik pemenang
pemilihan umum. Sementara fungsi kepala negara dijalankan oleh
presiden atau di negara monarki oleh raja/ratu. Kekuasaan kepala negara
cenderung bersifat simbolis dan tidak menjalankan kekuasaan yang nyata
16
dalam kehidupan politik sehari-hari sehingga ia tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan. (Lijphart, 1995:
37−38).
Prinsip dasar pemerintahan di Inggris, Jepang, India, negara-negara
Eropa Barat dan Skandinavia, negara-negara persemakmuran, dan negara-
negara lain yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer adalah
fusi kekuasaan yang mengkonsentrasikan semua kekuasaan di tangan
parlemen. Prinsip tersebut diwujudkan, antara lain dengan adanya
tumpang-tindih personel, di mana dengan sedikit pengecualian, konstitusi
di negara-negara dengan sistem parlementer mengharuskan jabatan-
jabatan puncak lembaga eksekutif diisi oleh anggota parlemen. Selain itu,
terdapat supremasi formal parlemen, di mana kekuasaan para menteri
untuk menjalankan pemerintahan adalah kekuasaan yang diberikan oleh
parlemen. Karena itu, para menteri dalam sistem parlementer bertanggung
jawab kepada parlemen.
Parlemen bisa mengganti menteri tertentu atau bahkan kabinet
kapan saja dengan mosi tidak percaya yang dilakukan melalui pemungutan
suara. Jika mosi tidak percaya didukung oleh mayoritas anggota parlemen
maka perdana menteri atau anggota kabinet harus berhenti. Dalam konflik
dengan parlemen, perdana menteri biasanya mempunyai kewenangan
untuk membubarkan parlemen. Pembubaran ini harus disertai
penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang baru yang
akan memilih kabinet baru. (Ranney, 1993: 241−242) Sistem ini
merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan di negara-
negara demokratis dewasa ini.
2. Sistem Presidensial
Pada saat menyusun draf Konstitusi, lima puluh lima founding
fathers AS menekankan pentingnya keserasian hubungan antara
pemerintah dan hak asasi manusia. Mereka percaya bahwa dalam
menyusun pemerintahan yang benar-benar adil dan bebas, rakyat berada di
17
antara dua kecenderungan yang sama-sama berbahaya. Di satu sisi,
besarnya kekuasaan dan kemampuan penggunaan paksaan yang dimiliki
pemerintah adalah sebuah ancaman yang permanen terhadap kebebasan
sipil. Dalam kondisi ini rakyat dihadapkan pada bahaya kecenderungan
pemerintah yang tirani.
Di sisi yang lain, ketiadaan hukum dan anarki yang diakibatkan
oleh terlalu lemahnya pemerintah juga berbahaya bagi hak asasi manusia
karena setiap individu menjadi ancaman bagi individu yang lainnya. Lalu
bagaimana mendamaikan antara kebutuhan adanya pemerintahan yang
cukup kuat untuk menegakkan hukum dan ketertiban dengan kebutuhan
untuk mencegahnya menjadi pemerintahan yang tirani? James Madison
dan para penyusun Konstitusi lainnya sepakat bahwa pemisahan
kekuasaan adalah jawabannya. Maka, di AS kemudian dikenal pemisahan
antara tiga cabang kekuasaan yang sejajar, yaitu Kongres, Presiden, dan
Mahkamah Agung. (Ranney, 1993: 240)
Secara filosofis, pemikiran para pendiri AS ini sangat dipengaruhi
pemikiran John Locke. Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif, baik
sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan, sedangkan
Mahkamah Agung menjalankan kekuasaan yudikatif, yaitu menjaga
ketertiban hukum dan konstitusi. Adapun Kongres, yang terdiri dari Senat
dan DPR, menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan. Ada dua alat
yang digunakan untuk menjalankan pemisahan kekuasaan di AS, yaitu
checks and balances dan pemisahan personel. Pemisahan kekuasaan tidak
dimaksudkan untuk mengisolasi satu cabang kekuasaan dari cabang
kekuasaan yang lain.
Masing-masing cabang justru dilengkapi dengan sejumlah
kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap cabang yang lain dalam
rangka mewujudkan keseimbangan antara cabang yang satu dengan yang
lain. Dalam hal hubungan antara presiden dan Kongres, mekanisme checks
and balances dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada Kongres
untuk melakukan pemakzulan (impeachment) terhadap presiden,
18
menerima atau menolak rencana anggaran yang diajukan presiden, dan
memberikan persetujuan terhadap pengisian berbagai jabatan penting di
pemerintahan. Sebaliknya, presiden mempunyai kewenangan untuk
mengontrol Kongres dengan mem-veto keputusan Kongres. Sementara
dalam hal pengisian jabatan, Konstitusi AS melarang adanya rangkap
jabatan. (Ranney, 1993: 241) Indonesia, Filipina, Meksiko, Kolombia,
Kostarika, dan negara-negara di kawasan Amerika Latin juga
mempraktikkan sistem pemerintahan presidensial.
Dalam sistem presidensil, fungsi eksekutif sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara dijalankan oleh presiden, yang dipilih
oleh rakyat secara langsung ataupun dipilih oleh lembaga tertentu dengan
masa jabatan tertentu (fixed term). Sebagai kepala pemerintahan, presiden
mengangkat menterimenteri yang akan duduk dalam kabinet dan bertugas
sebagai pembantu dan bertanggung jawab kepada presiden. Sebagai kepala
negara, presiden memegang berbagai kekuasaan simbolis. Dalam sistem
presidensil, kedudukan presiden dan parlemen adalah sama kuat karena
keduanya memperoleh legitimasi melalui pemilu yang terpisah. Presiden
tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan parlemen tidak bisa
memberhentikan presiden, kecuali karena alasan pelanggaran hukum berat
yang memerlukan proses panjang. (Lijphart, 1995: 44-47).
19
parlemen hanya 12 orang. Di Cina, yang jumlah penduduknya lebih dari 1
miliar jiwa, anggota Kongres Rakyat Cina berjumlah 3.000 orang.
(Hague: 185) Kedua, sistem komisi di dalam parlemen. Secara
umum, ada tiga tipe komisi, yaitu standing committee, select committee,
dan joint committee. Standing coomittee adalah badan yang bersifat tetap
untuk menangani fungsi legislatif parlemen di bidang-bidang dianggap
penting dan mendasar. Select committee dibentuk untuk menjalankan
fungsi pengawasan atau penyelidikan terhadap pemerintah, sedangkan
joint committee dibentuk pada sistem bikameralisme untuk menengahi
perbedaan antara kedua majelis dalam pengambilan keputusan. Komisi-
komisi ini mempunyai fungsi yang lebih menonjol di negara-negara yang
tidak mempunyai sistem dominasi partai, seperti di AS. (Hague, 188−189).
Ketiga, dari segi jumlah majelisnya ada dua sistem yang digunakan
dewasa ini, yaitu sistem unikameral (unicameralism) dan sistem bikameral
(bicameralism). Dalam sistem unikameral kekuasaan terkonsentrasi pada
satu unit pusat, sedangkan dalam sistem bikameral kekuasaan lembaga
perwakilan dilakukan oleh dua majelis, yaitu biasa dikenal dengan sebutan
majelis rendah (lower house) dan majelis tinggi (upper house). Pilihan
pada unikameralisme didasarkan pada alasan, salah satunya bahwa model
ini meminimalkan terjadinya manuver-manuver politik yang menganggu
pengambilan keputusan sehingga dapat „menghambat‟ pemerintahan. Para
pendukung bikameralisme biasanya mengemukakan kebutuhan adanya
checks and balances internal di lembaga perwakilan. Majelis tinggi
diharapkan dapat mempertahankan kepentingan individual, kelompok atau
regional terhadap potensi pemaksaan kehendak atau kepentingan
mayoritas di majelis rendah. (Hague: 186−187).
Jumlah anggota majelis rendah biasanya bersifat proporsional, di
mana jumlah wakil berbanding dengan jumlah warga negara yang
diwakilinya, sedangkan majelis tinggi sebagian ada yang berdasarkan
keturunan, seperti Inggris dan ada juga yang merefleksikan pembagian
wilayah, seperti di AS. Dengan beberapa pengecualian, sistem unikameral
20
biasanya diterapkan di negara yang secara geografis kecil, penduduknya
homogen dan tidak besar, umumnya kurang dari 10 juta jiwa. Sementara
itu, sistem bikameral biasanya dipraktikkan di negara dengan sistem
federal. Secara umum, masa jabatan majelis tinggi lebih lama
dibandingkan masa jabatan majelis rendah. Contohnya, AS, di mana
pemilihan anggota Senat AS dilakukan setiap enam tahun sekali,
sedangkan anggota House of Representative dipilih setiap dua tahun.
Tabel 1.1.
Beberapa Struktur Legislatif di Beberapa Negara
No. Negara Majelis Rendah Majelis Tinggi
1 Amerika Serikat House of Representative Senate (100 orang, 6
(sekitar 435 orang, masa
tahun)
jabatan 2 tahun)
2 Australia House of Representative Senate (76 orang)
(150 orang, 3 tahun)
3 Fhilipina National Assembly (104 Senate (24 orang, 6
orang, 4 tahun)
tahun)
4 Inggris House of Commons (646 House of Lords (847
orang, 5 tahun orang, berdasarkan
keturunan dan sebagian
seumur hidup)
5 India Lok Sabha (530−552 orang, Rajya Sabha (sekitar 250
5 tahun) orang, 6 tahun)
Sumber: Budiardjo, (hlm. 320−322).
Dalam praktiknya, bikameralisme dapat dibedakan menjadi dua, yaitu weak
dan strong bicameralism. Pembagian ini didasarkan pada hubungan antara kedua
majelis di dalam parlemen. Jika kedua majelis memiliki kekuasaan yang kurang-
lebih setara maka ini disebut strong atau hard bicameralism. Sebagai contoh,
dalam hal-hal atau bidang tertentu ada perbedaan kewenangan, berbagai kebijakan
yang dihasilkan oleh Kongres AS dalam prosesnya melibatkan Senat dan DPR;
sedangkan weak atau soft bicameralism dicirikan oleh adanya dominasi majelis
rendah atas majelis tinggi, seperti House of Commons atas House of Lords di
Inggris.
21
D. FUNGSI PARLEMEN
Menurut Rod Hague, dkk. parlemen modern menjalankan beberapa
fungsi pokok, yaitu fungsi perwakilan, fungsi deliberasi, dan fungsi
legislasi. Selain itu, beberapa parlemen mempunyai fungsi yang lain, yaitu
membentuk pemerintahan, mengesahkan anggaran, melakukan
pengawasan terhadap eksekutif, dan menyediakan sarana bagi rekrutmen
elit dan sosialisasi.
Pertama, fungsi perwakilan. Parlemen secara sederhana dipahami
sebagai sebuah mikrokosmos dari masyarakat. Ia dianggap mewakili
kepentingan yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Akan tetapi, sering
kali ilustrasi ini dianggap terlalu utopis. Kenyataannya anggota parlemen
berada di simpang jalan antara kepentingan partai, konstituen di daerah
pemilihan, dan kepentingan penduduk secara nasional. Dalam hal ini,
sistem pemilihan dan sistem kepartaian adalah dua hal penting yang
banyak menentukan kecenderungan loyalitas seorang wakil. (Hague, dkk:
190).
Kedua, fungsi deliberasi. Inti dari fungsi ini adalah penyebaran
informasi melalui diskusi publik menyangkut isu-isu nasional yang terjadi
di dalam parlemen. Fungsi ini tidak dapat dilepaskan dari fungsi
perwakilan. (Hague, dkk: 190) Akan tetapi, sebagian dari proses deliberasi
ini lebih bersifat teatrikal. Kalaupun masyarakat mempunyai akses dalam
proses pembuatan kebijakan di lembaga parlemen, sering kali ia tidak
mempunyai pengaruh terhadap keputusan atau kebijakan yang diambil
oleh parlemen. Karena itu, muncul tuntutan bagi perluasan dan
pendalaman partisipasi masyarakat dalam pembuatan berbagai kebijakan
publik, berupa pengaturan yang menjamin hak dan kewajiban masyarakat
dalam pembuatan kebijakan publik serta mekanisme dan prosedur yang
harus ditempuh. Dalam hal ini beberapa negara di Amerika Latin telah
melangkah lebih maju dengan menerapkan demokrasi deliberatif,
khususnya dalam penyusunan anggaran di tingkat lokal. Sejauh ini
22
terobosan ini mempunyai dampak positif dalam mewujudkan good
governance di negara-negara tersebut.
Pentingnya partisipasi masyarakat setidaknya didasarkan
„keterbatasan‟ demokrasi perwakilan dewasa ini. Di hampir semua negara
yang menjalankan pemerintahan berdasarkan sistem demokrasi perwakilan
ada kecenderungan bahwa orang yang terpilih sebagai wakil adalah
kelompok elit yang sering kali tidak memiliki hubungan langsung dengan
konstituennya. Proses ini sering kali disebut sebagai proses pembajakan
demokrasi oleh kelompok elit. Selain itu, mekanisme demokrasi
perwakilan juga memiliki kelemahan-kelemahan antarwaktu di mana
adanya jarak yang cukup lama antara satu pemilihan dengan pemilihan
berikutnya, yaitu rata-rata antara 4−5 tahun. Jarak yang lama ini
memungkinkan para wakil rakyat melupakan janji-janji yang telah
dikemukakannya waktu kampanye. Instrumen kelembagaan yang
memungkinkan partisipasi masyarakat langsung bukan merupakan
pengganti dari demokrasi perwakilan melainkan instrumen untuk
memperdalam demokrasi (democratic depeening) (Suhirman: 21−22).
Ketiga, fungsi legislasi. Sebagian besar konstitusi di dunia secara
eksplisit menegaskan fungsi legislasi yang dimiliki oleh parlemen.
Demokrasi liberal yang menolak kekuasaan absolut lembaga eksekutif
memberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Di negara-
negara dengan sistem presidensial otonomi parlemen dalam pembuatan
undangundang relatif lebih besar dibanding di negara-negara dengan
sistem parlementer. (Hague, dkk: 191) Namun, fungsi parlemen dalam hal
legislasi saat ini semakin mengecil karena dalam praktiknya proses
legislasi didominasi oleh lembaga eksekutif, terutama dalam hal
penyusunan rancangan undang-undang.
Keempat, fungsi budgeting. Fungsi anggaran merupakan salah satu
fungsi paling pertama yang dimiliki oleh parlemen, khususnya majelis
rendah. Seperti dibahas pada bagian awal tulisan ini, kehadiran parlemen
di Eropa bermula dari kebutuhan kerajaan terhadap dukungan dana dari
23
kalangan bangsawan. Mereka mengajukan tuntutan-tuntutan kepada raja
sebelum mereka memberikan apa yang diminta oleh raja. Akan tetapi,
seperti halnya fungsi legislasi, rancangan anggaran yang akan disahkan
umumnya juga datang dari lembaga eksekutif. (Hague, dkk: 193)
Meskipun demikian, biasanya rancangan anggaran mengharuskan adanya
persetujuan parlemen terhadap rancangan yang diajukan eksekutif.
Kelima, fungsi pengawasan. Fungsi ini merupakan salah satu
fungsi yang paling berguna dari parlemen modern. Fungsi ini
memungkinkan parlemen memantau aktivitas-aktivitas pemerintah dan
mengawasi kualitas jalannya pemerintahan. Fungsi pengawasan ini
menegaskan pemisahan kekuasaan bahwa lembaga eksekutiflah, bukan
parlemen yang harus menjalankan pemerintahan. Parlemen biasanya
dilengkapi beberapa cara pokok untuk menjalankan fungsi ini, antara lain
mengajukan pertanyaan dan interpelasi, menyelenggarakan debat, dan
melakukan investigasi. (Hague, dkk: 194).
Keenam, fungsi membentuk pemerintahan. Di dalam sistem
parlementer terbentuknya atau jatuhnya pemerintah ditentukan melalui
dinamika politik di parlemen. Kekuasaan untuk membentuk kabinet
diberikan kepada kelompok mayoritas di parlemen, baik terdiri dari satu
partai maupun koalisi dari beberapa partai. Meskipun kabinet mempunyai
masa jabatan normal tertentu, ia bisa saja dibubarkan kapan saja jika tidak
lagi mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Ketujuh, fungsi
rekrutmen elit dan sosialisasi. Parlemen merupakan tempat di mana bakat-
bakat calon pengambil keputusan dibentuk. Fungsi ini terlihat jelas di
negara dengan sistem pemerintahan parlementer, di mana jabatan menteri
dan kedudukan penting lain di lembaga eksekutif harus diisi oleh anggota
parlemen. Di parlemen anggota dari kelompok oposisi (backbenchers)
juga membentuk karir dan reputasi mereka untuk bersiap jika pemerintah
yang ada jatuh. (Hague, dkk: 196).
24
Prof. Miriam Budiardjo berpendapat bahwa ada dua fungsi pokok
dari lembaga legislatif. Pertama, menentukan kebijakan dan membuat
perundangundangan (fungsi legislasi). Untuk melaksanakan fungsi ini
lembaga legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengamandemen
rancangan undangundang yang diajukan pemerintah, terutama dalam soal
budget atau anggaran. Kedua, mengontrol lembaga eksekutif. Untuk
menjalankan kewenangannya ini lembaga legislatif dilengkapi dengan
sejumlah hak, antara lain hak bertanya, hak interpelasi atau hak untuk
meminta keterangan, hak angket atau hak untuk melakukan penyelidikan,
dan hak mosi. (Budiardjo, 2008: 322−323).
E. KEANGGOTAAN PARLEMEN
Anggota parlemen di dunia umumnya, terutama untuk majelis
rendah di negara dengan sistem bikameral menduduki jabatannya melalui
proses pemilihan umum. Sementara untuk pengisian kursi majelis tinggi,
ada beberapa cara yang digunakan, antara lain (1) pemilihan langsung oleh
rakyat; (2) penunjukan oleh pemerintah, yang kadang-kadang berlaku
seumur hidup; (3) pemilihan tidak langsung oleh pemerintah daerah atau
tingkat lokal; dan (4) pewarisan. Berikut ini cara pemilihan anggota
majelis tinggi di beberapa negara.
Tabel 1.3.
Cara Pemilihan Legislatif di Beberapa Negara
25
of States) melalui parlemen negara
bagian, kecuali untuk 12
orang ditunjuk
berdasarkan keahlian.
Inggris House of Lords 847 orang Campuran antara
(tahun 2007) pewarisan dan pemilihan
oleh pemerintah
Jepang House of Councillors 252 orang Dipilih langsung dengan
mixed member system.
Jerman Bundesrat 69 o rang Dipilih oleh pemerintah
negara bagian.
Kanada Senate 104 orang Dipilih oleh perdana
menteri.
Perancis Senate 321 orang Pemilihan tidak langsung
melalui departemen-
departemen
Sumber: Diolah dari Hague, dkk, (hlm. 187) dan Budiardjo, (hlm. 320−321).
26
G. MASA DEPAN PARLEMEN
Parlemen tidak pernah benar-benar „memerintah‟, bahkan di negara
yang menerapkan sistem presidensial, di mana tidak ada kaitan yang
„dekat‟ antara legislatif dan eksekutif, sebagaimana terdapat pada sistem
parlementer. Bahkan, hal ini terjadi dalam fungsi legislasi yang gagasan
awalnya menjadi alasan bagi kehadiran lembaga parlemen. Dewasa ini
usulan rancangan undang-undang secara keseluruhan lebih banyak berasal
dari pihak eksekutif. Hague, dkk. mencatat persentasenya mencapai angka
90%. Parlemen dilihat lebih berperan sebagai pembahas usulan yang
diajukan eksekutif. (Hague, dkk.: 192)
Di satu sisi, dominasi eksekutif dalam menyusun rancangan
peraturan dapat dipahami dengan memperhatikan kedudukan serta peran
yang dijalankan lembaga eksekutif. Di mana pun lembaga eksekutif di
dunia ini mempunyai peran menangani kehidupan rakyat sehari-hari secara
langsung. Karena itu, ia dilengkapi struktur kelembagaan yang lebih
kompleks dari pusat hingga unit-unit terkecil di daerah dengan sejumlah
staf yang memiliki keahlian. Hal ini menyebabkan eksekutif memiliki
lebih banyak informasi yang memungkinkannya merumuskan rancangan
peraturan atau kebijakan. Akan tetapi, di sisi lain keadaan ini tetap
memunculkan pertanyaan mengenai masa depan dan relevansi keberadaan
parlemen. Akankah keberadaan lembaga parlemen menjadi tidak relevan
lagi?
Alan Balls dan B. Guy Peters berpendapat bahwa parlemen akan
tetap relevan dalam politik modern. Seberapa pun besarnya peran yang
dimainkan pemerintah, lembaga ini membutuhkan dewan perwakilan
untuk memberikan legitimasi, terutama dalam pembuatan kebijakan-
kebijakan yang sulit dan mendasar. Pemotongan tunjangan sosial dan
unifikasi ekonomi dan moneter di negara-negara Eropa Barat adalah
contoh kebijakan-kebijakan yang sangat membutuhkan legitimasi dari
dewan perwakilan. (Ball and Peters, 2000: 193) Hague, dkk. juga
sependapat bahwa parlemen akan tetap penting, terutama karena fungsinya
27
sebagai simbol dari adanya perwakilan rakyat dalam struktur legal otoritas
kenegaraan. Parlemen juga terus menjalankan beberapa fungsi sebagai
sarana rekrutmen. Jadi, peran parlemen bukan semakin menghilang,
melainkan berubah. (Hague, dkk.: 201)
28
Daftar Pustaka
Ball, Alan R. and B. Guy Peters. (2000). Modern Politics and Government. Hampshire
and London: MacMilan Press Ltd.
Boboy, Max. (1994). DPR RI dalam Perspektif Sejarah dan Tatanegara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Cipto, Bambang. (1995). Dewan Perwakilan Rakyat dalam Era Pemerintahan Modern
Industrial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Hague, Rod Martin Harrop, and Shaun Breslin. Comparative Government and Politics:
An Introduction. Hampshire: MacMillan Press Ltd.
Lijphart, Arend. (1995). Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Suhelmi, Ahmad. (2001). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suhirman. (tt).
29
BAB IV
orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang legislatif menjadi titik penting
eksklusif dari badan perwakilan yang berdaulat untuk menentukan suatu peraturan
parlemen tidak hanya terdiri dari satu kamar (Unicameral) tetapi terdiri dari dua
suatu undang-undang di bahas dan disetujui oleh kedua kamar. Saldi isra
menjelaskan lebih lanjut terdapat negara yang menganut strong bicameral seperti
amerika serikat dan ada juga negara yang menganut soft bicameral seperti
30
indonesia. Strong bicameral ditandai dengan kekuasaan yang di miliki oleh
kekuasaan salah satu kamar yang lebih dominan atas kamar lainnya.
kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga
hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu: (i)
pera- turan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, (ii)
pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, (iii) pengaturan-
mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas perse- tujuan dari warga
legislatif. Pemisahan tersebut meru- pakan karakter khas dari sistem presidensil.
31
agendanya sendiri, mambahas dan menyetujui rancangan undang-undang pun
sendiri pula. Artinya bahwa, fungsi legislasi dalam sistem presi- densil merupakan
pada hakikatnya tidak serta merta dijalankan secara mutlak.Namun dalam sistem
negara modern, ada hubungan fungsional antara eksekutif dan legislatif. Bahkan
daerah yang disebut dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD diatur
32
lemah.Sehingga hanya sebagai lembaga supporting bagi DPR. Hal ini dapat kita
lihat dari kewe- nangan yang dimiliki oleh DPD hanya sebatas pada mengajukan
RUU dan memberikan pertimbangan kepada DPR serta ikut memba- has suatu
RUU.18 DPD tidak ikut serta untuk menyetujui suatu RUU.Peranan DPR lebih
eksekutif oleh legislatif, jadi kekuasaan parlemen lebih besar dari pada eksekutif.
lembaga eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif melalui mosi tidak percaya.
Akan tetapi karena eksekutif (perdana menteri) memiliki kedudukan yang kuat
karena berasal dari suara mayoritas parlemen, maka perdana menteri sulit untk
dijatuhkan.
dengan eksekutif, dimana satu dengan yang lain dapat saling mempengaruhi.
33
2. Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/ nyata adalah
perdana menteri bersama-sama kabinetnya yang dibentuk melalui
lembaga legislatif/ parlemen; dengan demikian kabinet sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif riil harus bertanggung jawab kepada
badan legislatif/parlemen dan harus meletakkan jabatannya bila
parlemen tidak mendukungnya.
3. Badan legislatif dipilih untuk bermacam-macam periode yang saat
pemilihannya ditetapkan oleh kepala negara atas saran dari perdana
menteri.
1. Anggota kabinet adalah anggota parlemen; ciri ini berlaku antara lain
di Inggris dan Malaysia, sedang di negara-negara lain ciri ini sudah
mengalami modifikasi.
2. Anggota harus mempunyai pandangan politik yang sama dengan
parlemen; ciri ini antara lain berlaku di Inggris, sedang negara-negara
yang yang tidak menganut sistem dua partai, hal itu sering dilakukan
melalui kompromi di antara partai-partai yang mendukung kabinet.
3. Adanya politik berencana untuk dapat mewujudkan programnya; Ciri
ini tampak universal.
4. Perdana menteri dan kabinetnya harus bertanggung jawab kepada
badan legislatif/parlemen.
5. Para menteri mempunyai kedudukan di bawah perdana menteri;
Dari apa yang telah dikemukakakan baik oleh Alan R. Ball maupun oleh
C.F. Strong tersebut menurut (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007) belum
terlihat adanya satu ciri yang sangat penting yaitu adanya kewenangan bagi kepala
negara untuk membubarkan parlemen. Dikatakan ciri ini penting justru karena ia
34
parlemen akan lebih berhati-hati menjatuhkan kabinet sehingga parlemen tidak
kabinet, karena pada gilirannya parlemen akan dapat dijatuhkan juga oleh
Setidaknya ada tiga faktor yang menentukan fungsi legislasi dalam sistem
35
- Kebijakan-kebijakan penting dapat dan seringkali dibuat pada tingkat
pemerintah. Karena itu, kemacetan (deadlock) dalam fungsi legislasi tidak muncul
36
Daftar Pustaka
----, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Populer.
----, 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. ----, 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Budiarjo, Miriam. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
37
BAB V
pemerintahan.
paling kuat dalam sistem yang dipilih melalui pemilihan umum yang adil,
dalam tradisi sistem ini, para calon secara bebas bersaing untuk
memberikan suara.
38
bergerak ke arah demokratis. Sedangkan, transisi adalah titik awal atau
jalur negosiasi antara elit rezim lama dan rezim baru akan mengurangi
problematika lainnya itu disebut sebagai tiga krisis pemerintahan, yaitu (1)
transisi maka akan terjadi gelombang balik apabila sebaliknya, jika negara
39
menuju konsolidasi demokrasi. Jika negara mampu mengatasi
masyarakat pada aturan main dari demokrasi. Dari uraian diatas, terdapat
40
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
fungsi partai politik baik dalam sistem politik apapun, terutama dalam
41
Kedua Rekrutmen Poltik adalah seleksi dan pemilihan atau
politik.
42
Kelima Komunikasi Politik adalah proses penyampaian informasi
mengenai politik dari pemerintah kepada warga masyarakat, dan dari warga
keputusan politik (kompromi di antara para wakil rakyat yang berasal dari
partai-partai politik).
43
Ketujuh Kontrol Politik adalah kegiatan untuk menunjukkan
harus ada tolok ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat relatif
obyektif. Adapun tolok ukur suatu kontrol politik berupa nilai-nilai politik
tersebut. Fungsi kontrol ini adalah merupakan salah satu mekanisme politik
44
Daftar Pustaka
David Poter, David Goldblati, Margaret Kiloh, Paul Levis, Democratization, Polity
Press, 2000, hal.3
45
BAB VI
46
berbeda dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan publik karena
perempuan akan lebih berpikir holistic dan beresponsif gender.Signifikansi
keberadaan perempuan di parlemen juga akan berdampak pada perumusan
kebijakan dan peraturan perundangundangan sebagai bagian dari agenda nasional
yang akan mempercepat implementasi Pengarusutamaan Gender.
Hal ini patut untuk dilakukan analisis kritis dan logis untuk memberikan
pemaknaan yang mendalam, baik secara yuridis, filosofis dan sosiologis terhadap
adanya teks keterwakilan perempuan di politik yang selama ini hanya dimaknai
secara parsial dan hanya dari kebutuhan para pihak saja. Atas dasar itu, sistem
negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas
kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Berdasarkan
paparan latar belakang di atas maka dapat ditarik masalah tentang bagaimana
peran politik perempuan dalam presfektif gender?
Sebagai tindak lanjut untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan
Soetjipto A.W. (2011) perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Memperkuat peran partisipasi perempuan dalam dunia politik.
Salah satu peran penting dari manifestasi proses demokratisasi adalah
bagaimana peran partai politik dalam meletakkan dasardasar yang
fundamental, terutama peran parpol. Di Indonesia keterlibatan
perempuan dalam level manajemen partai masih sangat rendah dan
system ini masih belum dapat dilaksanakan.
b. Secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus harus
dengan affirmative action.
Artinya harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan
dalam aktifitas politik. Dibeberapa Negara dalam proses pemilihan
kandidat untuk anggota parlemen masingmasing partai politik
memberikan kuota kepada kandidat perempuan. Seperti di Argentina
yang memberikan kuota 30%, Brazil 20%, India 33%.
Berbicara mengenai pemberdayaan atau partisipasi politik perempuan
mengutip pandangan dari Subono N.I. (2013) terdapat dua faktor utama maka
sedikitnya ada dua faktor utama, sebagaimana diajukan oleh Center For Asia-
47
Pasific Women In Folitics, yang menjadi hambatan utama. Adapun dua faktor
yang dimaksud adalah :
a. Pengaruh dan masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara
laki-laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau
menghambat partisipasi perempuan dibidang kepemimpinan dan
pembuatan kebijakan atau keputusan.
b. Kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas
akses perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar diberbagai
kelembagaan sosial dan politik
48
Dengan mengutip pendapat Dahlerup (2014:13) menjelaskan tiga
argumentasi mendasar pentingnya keterwakilan politik perempuan, yakni
Pertama, argumentasi keadilan, di mana perempuan mewakili setengah dari
populasi sehingga berhak atas setengah jumlah kursi parlemen; kedua,
argumentasi pengalaman, di mana perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman
yang berbeda, baik secara bilologis ataupun sosial; ketiga, argumentasi
kepentingan kelompok di mana perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan
yang berbeda, oleh karenanya laki-laki tidak dapat mewakili kepentingan
perempuan. Dengan merujuk berbagai sumber, Paxton dan Hughes (2017;5)
menambahkan secara umum, bahwa laki-laki kurang memiliki inisiatif dan
mengajukan kebijakan yang melayani kepentingan perempuan dan anak. Mereka
dianggap kurang memiliki kepekaan tentang isu perkosaan, kekerasan dalam
rumah tangga, kesehatan perempuan dan anak. Pemikiran mendasar inilah yang
menjadi alasan pentingnya kehadiran perempuan di arena politik.
Dari berbagai argumentasi yang telah dikemukakan oleh para ahli penting
keterwakilan politik perempuan dalam arena pengambilan keputusan. Hal yang
mendasar pemikiran keharusan kehadiran keterwakilan politik perempuan adalah
terkait hak asasi manusia. Kehadiran keterwakilan politik perempuan akan
menghasilkan ouput kebijakan yang berpihak kepada perempuan serta akan
berdampak pada penguatan sistem demokrasi hal ini menjadi penting lainnya
terkait keterwakilan perempuan dalam arena pengambilan keputusan.
Paxton dan Hughes (2017:9-16) lebih lanjut menjelaskan tipe keterwakilan
politik membagi menjadi tiga tipe yakni, keterwakilan formal, keterwakilan
deskriptif, dan keterwakilan subtanstif. Keterwakilan formal merupakan formula
yang pertaman dan mendasar dari keterwakilan yang setara. Makna dari
keterwakilan formal adalah bahwa perempuan memiliki hak yang sah untuk
berpartisipasi dalam politik atas dasar kesetaraan dengan laki-laki. Keterwakilan
formal juga menghendaki dihilangkannya segala halangan untuk perempuan
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan memiliki hak
untuk memilih dan dipilih dan berkedudukan sama seperti laki-laki muka hukum.
49
Hal yang mendasar dari keterwakilan formal adalah perempuan harus memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Keterwakilan deskriptif muncul sebagai reaksi atas kelemahan praktek
ketewakilan formal. Meski telah ada pengakuan formal atas keterwakilan
perempuan, namun belum mampu memfasilitasi kehadiran perempuan dalam
proses politik secara signifikan. Atas dasar inilah, para ahli teori politik feminis
berpendap tentang perlunya konsep yang berbeda untuk keterwakilan yang setara.
Oleh karenannya, keterwakilan yang setara juga membutuhkan keterwakilan
deskriptif yakni perlunya “descriptive similarity between representatives and
constituents” artinya jika perempuan merupakan setengah dari populasi, maka
mereka paling tidak harus mengisi setengah dari anggota lembaga legislatif dan
eksekutif.
Pada prinsipnya, keterwakilan deskriptif menunjukan bahwa keterwakilan
formal tidaklah mencukupi. Hanya sekadar membuka kesempatan untuk
memperoleh kedudukan di lembaga politik tidak menjamin perempuan untuk
mendapatkannya. Argumentasi mendasar dari keterwakilan deskriptif adalah
prinsip bahwa kelompok-kelompok rasial, etnik atau gender lebih baik diwakili
oleh kelompok mereka sendiri dalam demokrasi. Meski diakui bahwa perempuan
memiliki kepentingan yang berbeda dengan laki-laki, dan karenanya tidak
mewakili oleh laki-laki, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah
perempuan memang dapat mewakili perempuan? Dari pertanyaan mendasar ini
menurut Paxton dan Hughes yang menjadi dasar munculnya konsep keterwakilan
subtanstif.
Keterwakilan subtanstif menghendaki politisi untuk berbicara untuk dan
mendukung isu-isu perempuan. Beranjak lebih jauh dari sekedar hadir secara
jumlah seperti dalam perspketif keterwakilan deskriptif, para pendukung
keterwakilan subtantif mempercayai bahwa sekedar ada untuk perempuan. Dalam
perspektif ketewakilan subtanstif jumlah wakil perempuan di arena politik tidak
serta merta menjamin terlayaninya kepentingan perempuan. Agar kepentingan
perempuan terwakili di arena politik, maka politisi perempuan harus memiliki
keinginan untuk dan dapat mewakili kepentingan-kepentingan itu. Hal yang dapat
50
dilakukan diantaranya dengan menguslkan atau mendukung kebijakan yang
mempromosikan keseteraan sosial, pendidikan dan ekonomi untuk perempuan,
penghentian kekerasan dalam rumah tangga atau isu yang secara tidak langsung
berkait dengan perempuan, misalnya child care dan elderly care serta kebijakan
prioritas lainnya misalnya tentang aborsi dan penggunaan kontrasepsi.
Oleh karena itu, efektivitas keterwakilan politik tidak bisa hanya diukur
dari kehadiran politisi perempuan di arena proses pengambilan keputusan saja
misalnya. Upaya penguatan keterwakilan politik perempuan tidak hanya di
maknai sebagai upaya untuk memperoleh proporsi yang setara antara laki-laki dan
perempuan. Sebagaimana telah disepakati banyak ahli dan aktivis perempuan,
bahwa perempuan memang memiliki pendekatan atau gaya yang berbeda ketika
berada di arena politik, sehingga pada giliranya dapat membawa perubahan
terhadap karakter kelembagaan, agenda kebijakan dan juga dapat mempengaruhi
pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat dan memiliki keterpihan kepada kaum
perempuan.
51
Daftar Pustaka
Paxton, P., & Hughes, M. M (2017) Women, Politics and Power; A global
perspective
Subono N.I. 2013, Perempuan dan Partisipasi Politik, Jakarta Selatan: Yayasan
Jurnal Perempuan (YJP).
52
BAB VII
baru relatif muda. Pendekatan institusional baru mulai tumbuh dan berkembang sejak
dekade 1970-an, dalam pendekatan ini tidak hanya mempelajari politik dari aspek
normatif sebagaimana dari pendekatan institusional lama atau yang dikenal dengan
mempelajari institusi sangat penting karena institusi merupakan salah satu faktor yang
institusi tetap diperlukan sebagai salah satu faktor yang penting dalam kajian ilmu
politik.
historis, Hall dan Taylor (1996:7) berpandangan bahwa pendekatan yang eclectic
53
Di dalam studi ilmu politik, pada umumnya faktor-faktor tersebut dipelajari
berlakunya berbagai faktor tersebut dan tidak membatasi analisisnya hanya pada
faktor tertentu saja. Bahwa studi ilmu politik lebih difokuskan pada sejarah mengenai
apa yang terjadi, apa yang dipikirkan dan apa yang dicitrakan bukannya berpegang
bagai para ilmuan “history matters”. Oleh karena itu, analisis kontektual historis
terhadap suatu proses institusionalisasi dan dampaknya perlu dilakukan untuk dapat
Bagi para ilmuwan yang bersentuhan dengan institusionalisme his- toris, suatu
proses institusionalisasi dapat terjadi dari hubungan keku- asaan yang asimetris.
institusi menjalankan fungsi memelihara status quo atau membuat perubahan dan
membangun per- imbangan kekuasaan baru. Hal ini karena institusi cenderung
54
manusia membentuk koalisi-koalisi dan bersaing antara satu koalisi dengan yang
lainnya (Marsh, Batters dan Savigny 2004). Misalnya contoh kasus, dalam
perspektif ini jika UU MD3 direvisi pada tahun 2014 karena kecenderungan hasil
Pemilu Presiden 2014 cenderung mengarah pada kemenangan kandidat dari KIH,
kemudian revisi tersebut akan memastikan dominasi KMP di parlemen yang mela-
kukan konsolidasi untuk bersaing setelah kemenangan KIH. Hasil revisi tersebut
parlemen. Dalam perspektif institusionalisme his- toris, KIH juga akan berusaha
untuk mengubah pola relasi kekuasaan yang asimetris melalui perubahan institusi.
rasional. Setiap tindakan politik dari para aktor rasional tersebut didasari oleh
aktor-aktor rasional ini dapat menimbulkan persaingan dan konflik yang pada
institusi (Hall dan Taylor 1996; Shepsle dalam Binder, Rhodes, dan Rockman
55
(gains from cooperation dan gains from exchange) karena menghindarkan para
aktor politik dari ketidakpasti- an hasil dari persaingan dan konflik di antara
koordinasi yang me- mastikan ekuilibrium dan mengurangi biaya transaksi politik
menekankan studi institusi politik pada aspek gagasan, norma, budaya dan
identitas. Menurut Hall dan Taylor (1996:13), para ilmuwan yang bersentuhan
mencakup tidak hanya aturan-aturan formal, aspek kognitif, dan kerangka moral,
berdasarkan struktur dan organisasi, diban- dingkan dengan kajian budaya yang
perspektif institusiona- lisme sosiologis ini sama dengan budaya. Budaya sendiri
dalam perspektif ini untuk mempelajari dimensi kognitif dari institusi. Institusi
dipelajari dari pola perilaku, simbol-simbol, nor- ma yang memberi pedoman bagi
perilaku, dan identitas. Model perspektif ini memiliki kemiripan dengan salah satu
constructivism).
56
Institusionalisme sosiologis memandang bahwa institusi mempe- ngaruhi
individu, termasuk dalam hal preferensi dan identitasnya (Hall dan Taylor 1996:
16). Berlawanan dengan teori pilihan rasional yang mengatakan bahwa perilaku
Hal ini karena di dalam praktiknya tidak semua institusi dan organisasi
dengan identitas, menurut teori ini, umumnya institusi dibentuk bersi- fat
dalam struktur (Amenta dan Ramsey dalam Leicht dan Jenkins 2010: 17). Institusi
dengan lingkungan sosialnya (the lo- gic of social appropriateness), bukan hanya
dorongan yang lebih kuat memotivasi perubahan menurut teori ini adalah
efisiensi, akan tetapi lebih dari itu, karena perubahan itu sendiri dihargai oleh
57
pangan, maka efisiensi tidak diinginkan. Perubahan dengan mengurangi subsidi
tersebut (UU MD3). Penekanan ketiganya dalam hal faktor yang mempenga- ruhi
Intensi dan preferensi aktor politik yang terlibat dalam suatu proses
Paradigma yang pertama adalah liberalisme atau pluralisme. Para aktor yang
prosedur pengawasan dan per- imbangan kekuasaan (checks and balances). Hal
ini diperlukan agar sistem pemerintahan dapat terhindar dari dominasi suatu
58
kekuasaan di antara kelompok dan di antara lembaga negara diperlukan agar
Paradigma yang kedua adalah realisme. Para aktor politik yang di-
pengaruhi oleh realisme cenderung memandang penting dominasi ke- kuasaan atas
melakukannya (lihat Lukes dalam Parsons 2005: 146). Oleh karena itu, setiap aktor
atau kelompok memandang akan selalu ada persaingan kekuasaan dengan aktor
asimetris (tidak setara). Proses persaingan kekuasaan tersebut terbagi dalam tiga
tahap, yaitu kontrol satu pihak terhadap pihak lainnya yang disebut Lukes sebagai
dimensi pertama, penutupan akses oleh satu pi- hak terhadap pihak lainnya
institusi yang superior di atas semua kelompok dipandang perlu agar semua
59
kelompok dapat memaksimalkan pemenuhan kepen- tingannya. Paradigma yang
mendasari intensi dan preferensi dari para aktor po- litik ini, meskipun tidak
60
DAFTAR PUSTAK A
Hall, Peter A. dan Rosemary C. R. Taylor. 1996. “Political Science and the
Three New Institutionalisms”, paper dipresentasikan di the MPIFG
Advisory Board Meeting‟s Public Lecture, 9 Mei 1996.
Marsh, D. dan Gerry Stoke. Eds. 1995. Theory and Methods in Political
Science. London: MacMillan.
Marsh, David, Elizabeth Batters, dan Heather Savigny. 2004. “Histori- cal
Institutionalism: Beyond Pierson and Skocpol”, University of Bir- mingham
Working Paper, UK.
Parsons, Wayne. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Ana- lisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana.
61
BAB VIII
kemandirian daerah dalam mengatur urusan rumah tangga daerah atau urusan
sebagai bagian dari pemberdayaan politik, tujuan desentralisasi dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tujuan desentralisasi dari
dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1), menyatakan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
62
pada Pasal 21 menyatakan, bahwaAnggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
oleh DPRD dan Pemerintah Daerah yang ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu)
Peraturan Daerah yang disusun secara berencana dan sistematis sesuai skala
regulasi yang dapat ditaati oleh masyarakatnya, dan untuk menunjang menunjang
ini maka sangat perlu memahami keinginan dan kondisi sosial masyarakatnya
sehingga dapat diterapkan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu
kerangka acuan seperti kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan dan lain sebagainya.
63
Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo merupakan kemampuan seseorang
atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan
dan tujuan dari orang atau negara. Kekuasaan membuat peraturan perundang-
hukum publik.
atributif, karena diberikan oleh UUD 1945 untuk DPR dan Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk DPRD. Oleh karena
itu penggunaanya harus dilakukan berdasar atas prinsip atau asas akuntable dan
mendasarinya.
dimilki oleh eksekutif, karena Perda hanya dapat dibentuk secara bersama-sama
antara DPR dengan Pemerintah. Oleh karena itu, hubungan antara kedua lembaga
ini disebut sebagai hubungan partnership, tidak ada sebuah prosuk Perda yang
dibentuk oleh DPRD tanpa kerjasama dengan Pemerintah, sebaliknya tidak ada
64
Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah
menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas
65
adalah rancangan Perdayang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota untuk
Gubernur atau Bupati/Wali kota paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak rancangan
tersebut disetujui bersama. Dalam hal rancangan. Perda tidak ditetapkan Gubernur
daerah.
Materi muatan Peraturan daerah dapat memuat asas sesuai dengan substansi
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
66
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan
seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta
sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh
yang luas, karena itu (undang-undang) akan memberi bentuk dan mengatur atau
fungsi, yaitu: Pertama Fungsi untuk mengekspresikan nilai, dan kedua Fungsi
instrumental.
jawab utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang
timbul karena hak yang bersangkutan. Sasaran utama sistem politik ialah
67
sistem politik dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering bertumpang
tindih.
perda harus selaras dengan teori tujuan hukum yaitu perda yang dibuat harus
dapat memberikan rasa keadilan, memberikan kepastian hukum dan terdapat nilai
perumusan, pembahasan,
maka perencanaan merupakan tahap yang paling krusial dan urgent yang harus
juga Perda. Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat
a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Perda haruslah dibuat dengan
berlandaskan pada kebenaran dan prinsip-prinsip keadilan.
b. Landasan Sosiologis
Hamzah Halim dan Kemal Redinho Syahrul Putera dalam bukunya
menjelaskan bahwa Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri
atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang
mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan (perda), yaitu
bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat
sehingga perlu pengaturan.
68
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat. Oleh
karena itu, landasan sosiologis ini akan tercermin di dalam konsiden
menimbang yang didalamnya memuat fakta-fakta sosiologis yang melatar
belakangi dibentuknya pertauran perundang-undangan tersebut.
c. Landasan Yuridis
Dasar yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber
hukum/dasar hukum untuk pembuatan/perancangan suatu peraturan
perundang-undangan.W.Riawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono
mengatakan: Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-
undangan meliputi tiga hal yaitu Kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan, Kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-
undangan dengan materi yang akan diatur, Keharusan mengikuti tata cara
tertentu.
membuat peraturan daerah. Di dalam negara hukum segala aturan dibuat dengan
dan apa yang tidak diperbolehkan. Negara hukum sangat menjunjung tinggi
sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan pertimbangan terhadap hak
demikian sebagai daerah yang telah otonom Peraturan daerah mutlak diperlukan.
69
Daftar Pustaka
F, Marbun, S., Mahfud MD, Moh., Pokok- Pokok Hukum Administrasi Negara,
Cetakan Kelima, Jogjakarta; Liberty, Yogyakarta. 2009.
Hamidi, Jazim dkk, Teori dan Politik Hukum Tata Negara (Green Mind
Community), Cetakan I, Penerbit Total Media, Yogyakarta, 2009
-----, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta,
Jakarta, 2001,
Peraturan Perundang-undangan:
70
Contoh Template
Naskah Akademik Dalam Penyusunan Peraturan Undang-
Undang/Peraturan Daerah
Tentang .............................
71
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan Hak Kakayaan Intelektual (HKI) atas Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional (PT dan EBT) merupakan sebuah masalah yang
masih baru bagi bangsa Indonesia. Masalah ini muncul disebabkan oleh
berkembangnya aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di dalam karya-
karya budaya yang kepemilikannya bersifat kolektif dan telah diwariskan secara
turuntemurun serta tidak diketahui lagi siapa penciptanya pertama kali. Tingkat
kompleksitas masalah ini menjadi semakin tinggi karena konsep hukum Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia saat ini lebih merupakan sebuah
tindakan pengambilalihan sistem hukum perlindungan hak kebendaan
perseorangan yang pada awalnya dikembangkan di Perancis (mulai dari Code
Penal dan Code Civil di masa Napoleon).
Sistem hukum tersebut kemudian dibawa ke Indonesia oleh pemerintah
Kolonial Belanda. Hal ini berlawanan kondisinya dengan masyarakat di Negara
maju yang telah mengenal dan menerapkan hukum Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) sejak lebih dari 100 tahun yang lalu ketika disepakatinya Paris Convention
for the Protection of Industrial Property pada tahun 1883 (Konvensi Paris) dan
Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works pada tahun
1886 (Konvensi Bern). Kedua konvensi ini merupakan pilar utama bagi
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk karya cipta yang diketahui
individu penciptanya. Adapun keterkaitan dengan Pengetahuan Tradisional (PT)
dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), sebagaimana telah diuraikan di atas,
tidak diketahui lagi siapa penciptanya dan tidak diatur masalah kepemilikannya
oleh Konvensi Paris dan Konvensi Bern.
Walaupun demikian, pembahasan masalah perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) atas Pengetahuan Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya
Tradisional (EBT) di tingkat internasional sebenarnya tidak sepenuhnya
merupakan sesuatu yang baru, karena telah dimulai sejak tahun 1967 (WIPO
72
Publications No. 913 (E),3). 2 Indonesia merupakan Negara dengan
keanekaragaman budaya yang sangat luar biasa. Kekayaan budaya tersebut
ternyata menyimpan pula potensi ekonomi yang sangat besar sehingga dapat
mendukung proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Tidak
mengherankan bahwa nilai tersebut telah menyebabkan pihak asing berulangkali
memanfaatkan tanpa izin dan/atau mengakui Pengetahuan Tradisional (PT) dan
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) di Indonesia sebagai milik mereka.
Dalam jangka panjang, tindakan-tindakan tersebut dapat merugikan
kepentingan nasional, karena semakin lama akan semakin banyak Pengetahuan
Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) Indonesia yang diambil
alih oleh bangsa lain, sedangkan dari segi kepentingan nasional di Indonesia
sendiri belum dapat dikalkulasi seberapa besar potensi keuntungan ekonomi
secara berkelanjutan yang dapat diperoleh dari kekayaan intelektual warisan
budaya bangsa tersebut. Sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa
keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan secara komersial atas Pengetahuan
Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang ada di berbagai
Negara mencapai angka hingga ratusan juta bahkan puluhan dolar AS pertahun.
Dalam rangka mencari arah langkah ke depan untuk menghadapi tantangan
dan rintangan yang menghadang, serta tuntutan kebutuhan internal, perlu
dipelajari secara mendalam perkembangan upaya perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) atas Pengetahuan Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya
Tradisional (EBT) di tingkat internasional untuk memberikan suatu pemahaman
yang memadai masalah ini. Disamping itu, perlu pula dipelajari pengalaman yang
sama di Indonesia sendiri untuk melihat derajat kepentingannya dibandingkan
dengan kepentingan bangsa-bangsa lain di dunia. Berdasarkan hal tersebut di atas
dalam Upaya memberikan perlindungan perkembangan Pengetahuan Tradisional
(PT) dan pemanfaatan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang
berpotensi memberikan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan yang dapat
diperoleh dari kekayaan intelektual warisan budaya bangsa, maka dalam
penyusunan Naskah Akademik dengan memperhatikan landasan pemikiran
sebagai berikut :
73
1. Landasan Filosofis.
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), sebagaimana segi-segi lain dari suatu
kebudayaan tradisional, adalah sesuatu yang sangat berarti bagi suatu bangsa 3
atau suku bangsa, karena hal ini merupakan penanda dari kebudayaan dan
sekaligus dari (suku) bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu pantaslah jika
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) senantiasa dihargai, dihormati, dan dirawat
agar tetap lestari dan berfungsi penuh di dalam masyarakat pendukungnya. Citra
suatu (suku) bangsa antara lain dibentuk oleh khasanah Ekspresi Budaya
Tradisionalnya (EBT).
2. Landasan Yuridis.
Landasaan yuridis yang dapat diinterpretasikan dengan pembangunan
kebudayaan bangsa Indonesia dijabarkan dalam Pasal demi Pasal UndangUndang
Dasar 1945 dan Amandemennya, yaitu :
1. Pasal 18 B ayat (2) (Amandemen II) menyatakan bahwa : “ Negara
mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya semapanjang masih hisup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang”
3. Landasan Sosiologis
“Kepemilikan” Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) sudah tentu ada pada
komunitas atau golongan etnik yang telah membangun dan
memperkembangkannya. Untuk menggeser posisi Ekspresi Budaya
Tradisional (EBT) dari tersisih ke tengah kancah kehidupan masyarakat
luas (lagi) diperlukan kekuatan-kekuatan sosial untuk menggerakkannya.
Peranan “ penggerak” itu dapat diperbedakan pula antara lain : (a). Pelaku
kampanye “ideologis” agar khalayak menyukai dan membutuhkan
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) (lagi); (b). Pemodal; (c). Para ahli
pengemas; dan (d). Para seniman pelaku Ekspresi Budaya Tradisional
(EBT). 6 Kekuatan-kekuatan sosial itu perlu ditemu-kenali dan
74
dipersatukan sehinngga tumbuh suatu momentum untuk menggerakkan
“mainstreaming” (kembali) Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)
B. Identifikasi Masalah.
Konsep perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang telah
dikenal di negera-negara maju lebih mengedepankan pada perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) untuk karya cipta yang diketahui individu
penciptanya, sedangkan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PT dan EBT),
merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Permasalahan muncul
disebabkan berkembangnya aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
dalam karya-karya budaya yang kepemilikannya yang bersifat kolektif dan
telah diwariskan secara turun-menurun serta tidak diketahui siapa
penciptanya.
Kondisi sebagaimana dimaksud di atas, sudah selayak/sepatutnya
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PT dan EBT)
mendapat perlindungan melalui sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam
sebuah produk peraturan perundang-undangan tersendiri, sehingga dengan
adanya perlindungan dimaksud dapat memberikan kekuatan pendorong dalam
meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Selain dari pada itu dengan
perlindungan terhadap kebudayaan akan menentukan eksistensi dan jati diri
suatu bangsa dapat dipertahankan dan ditingkatkan serta dapat mendorong
masyarakat meningkatkan kualitas dari ciptaan yang dihasilkan.
75
dipertangungjawabkan hasilnya bagi kepastian hukum pada khususnya dan
kepentingan nasional pada umumnya. Substansi muatan tersebut, antara lain
memuat :
1. Ketentuan Umum Dalam ketentuan umum yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut : a. Pengetahuan Tradisional (PT) Konsepsi pengaturan
PT, bilamana hal itu disepakati, diarahkan pada terciptanya ketentuan
subtantif yang diusulkan akan meliputi antara lain: Perolehan atau
penggunaan PT secara tidak jujur atau secara gelap merupakan tindak
penyalahgunaan dan penggelapan. Secara hukum harus disediakan untuk
mengatasi perolehan melalui pencurian, penyuapan, kekerasan/paksaan,
bujukan, perolehan atau kontrol atas PT yang perolehannya mestinya
berlangsung dengan persetujuan terlebih dahulu pemegang/pemeliharanya;
klaim pemilikan atau kontrol yang palsu; ataupun kegiatan akses atau
pemanfaatan PT untuk tujuan komersial tetapi tanpa disertai kompensasi
yang adil dan wajar.
76
tingkat maupun keberadaan yang bersangkutan, apakah pembuatannya
hanya untuk pribadi dalam artian melakukan penelitian untuk ilmu
pengetahuan, atau korporasi/negara untuk kekayaannya. Mengenai
penerapan sanksi terdapat teori-teori yang mendukung antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Tindak pidana materil dan formil
Dalam RUU ini mengenal tindak pidana formil dan materil, tindak
pidana formil dapat dijumpai di Pasal 19 (revisi RUU tanggal
19/10/2009) yang merujuk pada ketentuan di Pasal 3 huruf a
menyatakan sebagai berikut: “Pemanfaatan yang dilakukan tanpa izin
akses pemanfaatan dan perjanjian, pemanfaatan oleh orang asing atau
badan hukum asing”. Inti dari pasal tersebut di atas adalah adanya
larangan terhadap orang dan/ atau badan hukum untuk melakukan
suatu kegiatan di kawasan wilayah Indonesia tanpa izin. Sedangkan
untuk rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam ketentuan
Pasal 8 (revisi RUU tanggal 19/10/2009), dengan merujuk pada
ketentuan Pasal 7 ayat (1) harus ditolak apabila: (a) Pemanfaatan yang
akan dilakukan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku, ketertiban umum, moralitas, agama, nilai budaya atau
kesusilaan. Dalam ketentuan pasal ini merumuskan larangan
melakukan kegiatan yang melanggar ketentuan ketertiban umum serta
merusak nilai-nilai moral bangsa.
b. Tindak Pidana Administratif
Semua kategori kejahatan sebagaimana yang dirumuskan di atas
adalah sanksi pidana yang sebetulnya adalah sanksi administrasi.
Sanksi administrasi bisa digunakan kekuatan hukum pidana untuk
menimbulkan efek jera yang lebih tinggi. Namun dalam RUU ini
rumusan-rumusan tindak pidana masuk dalam ketentuan tindak pidana,
artinya dari segi teknik perancangan perundangundangan, ketentuan ini
secara sengaja ditempatkan sebagai delik pidana, bukan sebagai sanksi
administrasi. Seharusnya berdasarkan perbedaan bidang hukum
77
ketentuan-ketentuan sanksi administrasi tidak dicantumkan dalam
Bab/bagian ketentuan pidana tetapi dalam sanksi administrasi. Selain
itu, tindak pidana hanya ditujukan kepada pemegang izin. Dalam hal
ini jika pemegang izin yang berdalil telah memiliki izin melakukan
suatu tindakan yang melawan hukum, seperti melaukan penelitian dan
bertentangan dengan masyarakat hukum adat setempat, maka tindakan
tersebut adalah semata-mata pihak yang melakukan aktivitas tersebut.
Di sana sama sekali tidak diperhitungkan pertanggungjawaban pidana
memberi izin.
c. Tindak Pidana oleh Badan Hukum
Dalam RUU ini sebenarnya telah mengenal badan hukum selaku
pelaku tindak pidana. Ketentuan ini di atur dalam Pasal 1 angka 10
yang menyatakan sebagai berikut: “Pemegang izin akses pemanfaatan
adalah orang asing atau badan hukum asing yang telah memperoleh
izin akses pemanfaatan”. Apabila memperhatikan dalam ketentuan
RUU tersebut, khususnya dalam Pasal 1 angka (10) maka
pertanggungjawaban pidana dari pengurus badan usaha yang
melakukan kejahatan di bidang pengetahuan tradisional dan ekspresi
budaya nasional telah di atur dengan tegas. Konsep
pertanggungjawaban pidana seperti ini mirip dengan ketentuan Pasal
59 KUHP yang berbunyi: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran
ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan
pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan
pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur, melakukan
pelanggaran tindak pidana”. Dalam ajaran pertanggunggjawaban
pidana korporasi, pertanggungjawaban kejahatan oleh pengurus
dikenal sebagai doktrin “vicarius liability”. Menurut doktrin ini,
korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau
mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggungjawab kepada
korporasi tersebut. Namun demikian, rumusan tindak pidana yang
78
dilakukan oleh badan hukum dalam RUU ini, tidak menyebutkan
secara tegas secara tegas bahwa Undang-undang ini mengenal
kejahatan korporasi.
79